Senin, 20 Mei 2013

Levy: Saya Mendidik Lila dan Alma Sebagai Pembangkang

Dua saudara perempuan ini terpikat dengan Islam. Ayah mereka yang kebetulan seorang yahudi terpaksa berhadapan dengan keinginan agama dan pengusiran mereka dari sekolah. Peristiwa ini telah menimbulkan kontraversi baik secara lokal maupun nasional.
 
Laurent Levy, seorang liberal dan ateis total, melihat perubahan dramatik pada diri dua anak perempuannya, tetapi dia tidak begitu memberikan perhatian penuh terhadap apa yang terjadi. Satu hari, kira-kira dua tahun lalu, dua anak gadisnya berhenti makan babi. "Tidak ada masalah," tuturnya. Tidak lama kemudian, mereka memberitahunya bahwa mereka berniat untuk melaksanakan puasa penuh pada bulan Ramadhan. Levy berfikir bahwa itu adalah satu hal yang paling wajar untuk dilakukan dalam dunia ini oleh anak-anaknya.
 
Ketika anak-anak Levy; Lila 19 tahun dan Alma 16 tahun memberitahunya bahwa mereka akan berpuasa pada bulan Ramadan, dia tidak menghalangi mereka. "Itu hak mereka," katanya.
 
Tidak lama kemudian, anak-anak perempuannya memberitahu niat mereka untuk menunaikan shalat lima kali sehari, seperti yang telah diperintahkan dalam Quran. "Tidak ada alasan mengapa mereka tidak bisa melakukannya,"pikir sang ayah. Kedua anak itu mula berhenti dari pergi ke pantai dan memakai baju renang, dan malam mereka juga berhenti dari mengunakan kolam renang keluarga pada musim cuti. Pada waktu malam, kedua mereka duduk dan mempelajari Quran. Rekan-rekan tetangga menjadi heran akan perubahan yang terjadi pada dua anak ini. Akhirnya secara gradual, mereka mulai mengenakan pakaian panjang yang menutup tubuh mereka, dan mengenakan stoking tebal walaupun pada musim panas.
 
Setahun lalu, transformasi tersebut menjadi lengkap. Lila dan Alma mengenakan kerudung menutupi kepala mereka. Tidak lama kemudian, mereka juga menutup dagu dan dahi mereka. Di sekolah mereka tidak lagi berbicara dengan pelajar lelaki, mereka hanya berbisik antara satu sama lain dan menjauhkan diri dari pelajar-pelajar lain. Mereka tidak mengikuti lagi kelas-kelas olahraga, karena mereka dituntut untuk memakai pakaian olahraga yang menampakkan bentuk tubuh mereka.
 
Dengan segera kedua beradik ini menjadi sebuah fenomena. Malah ditempat mereka tinggal di Aubervilliers, bagian pinggir utara Paris, banyak yang terkejut. Pada tahun-tahun kebelakangan, kawasan ini telah dipenuhi dengan imigran Muslim dari Afrika Utara, dan orang-orang Paris sendiri pindah ke tempat lain. Pada hari Jumat, penduduk kawasan ini mengambil cuti dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan shalat; banyak anak muda yang tidak ke sekolah. Pada bulan Ramadan,  kawasan ini menjadi sunyi waktu puasa dan bangun ketika waktu berbuka.
 
Menurut sang ayah, anak-anak perempuannya begitu terpikat sekali dengan agama Islam dan mendapati dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dalam berhadapan dengan proses laju keislaman anaknya. Sepanjang usianya, dia membenci kepercayaan agama dan menyalahkan mereka karena kejahilan dan pelbagai bentuk kesulitan yang ditimbulkan agama. Dia menyebarkan sekularisme dan ikut terlibat dalam gerakan-gerakan sayap kiri, karena di situ dia merasa tenang. Tidak lama lepas itu, dia menjadi penasihat dalam kasus menentang Jean-Marie Le Pen pemimpin National Front karena menjelaskan bahwa kamp-kamp konsentrasi sebagai "detail" Perang Dunia Kedua. Dia turut mewakili organisasi-organisasi Islam menggugat pelakon Brigitte Bardot selepas dia mempublikasikan sebuah buku anti Islam.
 
Debat jilbab
Kedua saudara ini telah dipanggil oleh kepala sekolah Sekolah Tinggi Henri Wallon, tempat mereka belajar. Penampilan lahiriah mereka telah menimbulkan gejolak dikalangan para pelajar. Mereka diperintah untuk memakai pakaian sekolah seperti orang lain; jika tidak, mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Kedua saudara ini menolak. Pihak sekolah menghantar surat kepada kedua orang tua mereka dan memberi pernyataan tindakan yang akan mereka ambil. Orang tua kedua saudara ini, yang sudah bercerai, mempertahankan tindakan anak-anak mereka dengan cara mereka sendiri. Sang ibu berusaha untuk menampilkan lunak sikap kedua anaknya sementara Sang bapa memberikan dukungan penuh atas tindakan anak-anaknya.
 
Status dua saudara ini digantung dari sekolah sehingga komisi displin mengambil keputusan akan nasib mereka. Pihak media menggambarkan hal tersebut sebagai ujian kepada sekularisme negara, dan kisah tersebut menjadi kepala cerita media. Pihak intelektual menjadi gempar, demikian juga pihak politik lokal; baik intelektual maupun politisi secara terbuka menekan pihak komisi displin sekolah untuk membuat keputusan berdasarkan pandangan mereka.
 
Perdebatan itu tidak sekadar pada tahap teorinya saja. Karena hal ini turut menyentuh detil pakaian yang paling kecil sebagai bentuk menyatakan sekularisme negara, dibandingkan dengan pakaian yang mengancam kedudukannya. Sebelum anak-anak itu digantung dari sekolah, mereka diminta untuk menanggalkan kerudung mereka karena menunjukkan agama mereka. Pihak berkuasa sekolah mengaitkannya dengan undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1905 berkaitan pemisahan antara gereja dan negara, mereka memberi argumentasi bahwa kerudung melanggar semangat undang-undang.
 
Saat berdiskusi tentang status sekolahmereka yang digantung, salah seorang anak perempuan Levy mengatakan bahwa kopiah yahudi juga menutup kepala. Dia diberitahu bahwa menutup sebagian dari kepala tidak termasuk melanggar pemisahan gereja dan negara. Lila merasa marah karena dia digantung dari sekolah. "Mereka mengarahkan kami untuk memperlihatkan akar rambut kami, telinga dan leher kami. Tetapi andainya kami melakukan tersebut, lebih baik kami tidak mengenakan kerudung sama sekali – lebih baik kami bawa kerudung itu dengan tangan kami saja."
Pihak komisi disiplin mengadakan pertemuan di sekolah. Puluhan wartawan berkumpul didepan pintu pagar sekolah, kamera televisi menayangkan kedatangan anak-anak perempuan itu dengan ayahnya. Pertemuan berlangsung alot dari jam 6 petang sehingga hampir lewat tengah malam. Orang-orang Perancis menanti keputusan komisi seperti menanti masa depan Perancis yang bergantung hanya pada keputusan beberapa anggota sekolah dipinggir Paris.
 
Di akhir pembicaraan, anggota keluarga Levy meninggalkan ruangan. Ekspresi wajah mereka memperlihatkan apa yang telah terjadi. Salah seorang guru memberitahu wartawan bahwa itu bukan sebuah diskusi pendidikan tetapi seperti sebuah pengadilan militer. Seorang guru lain pula menyebutkan apa yang terjadi adalah benar dan keputusan yang pasti telah diambil. "Kami memutuskan untuk mengeluarkan mereka dari sekolah, karena 'keseimbangan' di Perancis menyebutkan bahwa menutup kepala tidak menutupi rambut, telinga dan leher." "Tampaknya muslimah tidak ingin bagian ini terbuka." katanya.
 
Setelah tengah malam, keluarga Levy pulang ke rumah. Levy masih marah; anak-anaknya masih menyeka air mata mereka.
 
Levy mempertahankan hak anak-anaknya untuk mematuhi ajaran agama. Dia gembira anak-anaknya telah memilih cara hidup yang dapat memberikan mereka kebahagiaan dan mengatakan bahwa walaupun dia sendiri adalah seorang ateis, dia tidak dapat mengelakkan dirinya dari merasa kagum terhadap pilihan anak-anaknya.
 
Levy 47 tahun, lahir dalam sebuah keluarga Yahudi di Tunisia dan berimigrasi ke Perancis ketika masih muda. Menurutnya dia adalah Yahudi Sephardi yang berakar di Amsterdam dan Leghorn. Ayahnyasangat aktif dalam komunitas Yahudi di Tunisia dan malah telah menulis sebuah buku berkaitan komunitas tersebut. Anak-anaknya tidak pernah menyembunyikan keyahudian mereka dan malah mereka bangga akan warisan yahudi mereka.
 
Levy mempunyai empat anak: Lila dan Alma, Sami 20 tahun dan Noura, 16 tahun. "Mereka adalah anak-anak yang baik," guraunya."Karena saya yang mendidik mereka, saya mengajar mereka untuk tidak menerima realita dan menjadi pembangkang. Saya bangga bahwa saya telah berhasil mendidik mereka. Lila dan Alma telah menjadi penentang dengan cara mereka sendiri."
 
"Anak-anak saya bukan militan dan mereka juga tidak berusaha untuk menarik rekan sekolah mereka memeluk Islam. Tidak ada seorang anggota komisi disiplin yang mengklaimnya, tetapi mereka semuanya meminta anak-anak saya menunjukkan badan mereka. Mereka ini benar-benar telah menjadi ayatullah sekularisme. Sejak kapan, saya bertanya kepada mereka, orang bisa dipaksa untuk menunjukkan tubuh mereka? Malangnya, inilah pemandangan yang amat memalukan. Tidak ada di antara mereka yang mendengar pandangan saya karena hasilnya memang telah ditentukan terlebih dahulu."
 
Dia berhasrat untuk mencari alternatif lain supaya anak-anak perempuannya bisa melanjutkan pendidikan mereka. Agar mereka bisa lulus ujian dan Alma juga bisa menamatkan kelas ke 11-nya. "Sekurang-kurangnya di universitas, tidak ada siapapun yang dapat melarang mereka mengenakan jilbab," tambahnya. Mereka akan dapat merasakan seperti Muslim tanpa diganggu orang lain. (IRIB Indonesia / missionislam.com)

2 komentar: