Rabu, 15 Mei 2013

Gabriel Stresser: Tak Mau Mati Sebagai Non-Muslim

Fiqhislam.com - Gabriel Stresser lahir di Salzburg, Austria. Ia tumbuh dan besar dalam lingkungan Katolik Roma. Seperti halnya penganut Katolik, sejak kecil Gabriel mengikuti komuni pertama pada usia 12 tahun.
Seiring perjalanan waktu, Gabriel mulai mempertanyakan ajaran Katolik. Ada sejumlah hal dari apa yang dianutnya itu tidak sesuai logika berpikirnya. Sejak itu, ia coba untuk mencari kebenaran hakiki. "Jujur, saat itu aku tidak mengenal ajaran agama Islam atau agama lainnya," kata dia.
Dengan tekad membaja, ia putuskan untuk meninggalkan Austria guna mencari kebenaran. Putusannya itu banyak dipertanyakan keluarga dan kerabatnya. Bagi mereka, putusan Gabriel tidak masuk akal.
"Aku pahami penolakan itu. Bagaimana bisa aku meninggalkan lingkungan yang aman. Lalu mencari kebenaran," kata dia.
Usai meyakinkan keluarganya, ia pun berangkat meninggalkan Austria. Amerika Serikat selanjutnya menjadi tujuan pencariannya. Di sana, ia menetap bersama keluarga angkat.
Saat itu, kemampuan bahasa Inggris-nya sangat buruk. Namun, ia tak patah semangat. Dengan kerja keras ia akhirnya bisa berbahasa Inggris kendati terbata-bata.
Selama setahun, Gabriel berpindah-pindah tempat. Mulai dari New Jersey, Arizona, dan California. Akhirnya, ia pun kembali ke Austria.Tak lama di negeri kelahirannya, ia kembali menuju AS. Saat itu, ia menetap bersama keluarga angkat. Di sana, ia mulai berinteraksi dengan Muslim.
Selanjutnya, ia berkenalan dengan seorang pria asal Aljazair. Tak berselang lama, pria itu melamarnya. Gabriel akhirnya menerima pinangan itu. Keluarganya kembali menolak putusan Gabriel. Namun, ia tetap pada putusannya itu.  
Pada satu waktu, suaminya memberikan sebuah buku berjudul paduan singkat ajaran Islam. Buku paduan ini berisi mukzijat ilmiah dalam Alquran. Gabriel pun dibuat kagum buku tersebut. Namun, ia mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa kagumnya itu. 
Berikutnya, Gabriel sering terlibat diskusi tentang Islam bersama suaminya. Diskusi berlangsung mendalam. Satu kesimpulan yang didapat Gabriel, ia berniat untuk menjadi Muslim.
"Waktu itu, banyak pertimbangan. Aku tidak yakin apakah bisa menuaikan shalat lima waktu, tidak mengkonsumsi alkohol dan babi, dan berpuasa di bulan Ramadhan," kenang dia.
Jeda sejenak dengan keraguan yang dialaminya, Gabriel coba untuk kembali mengikuti kuliah. Satu waktu, ia bermimpi bertemu dengan sosok mahluk tanpa wajah yang mengenakan jubah panjang. "Mahluk ini selalu mengikutiku," kenang dia.
Beberapa kali ia kembali bertemu mahluk tersebut dalam mimpi itu. Ketika terbangun, spontan Gabriel mengucapkan "Allahu Akbar..Allahu Akbar". Ia pun berdoa seperti apa yang dilakukan suaminya. Tubuhnya gemetar seketika. "Sejak itu, aku mulai yakin, aku tak ingin mati sebagai non-Muslim," kenang dia.
Tak lama, Gabriel memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu, tidak mudah bagi Gabriel untuk mempertahankan keputusannya itu. Lagi-lagi keluarganya menolak keputusannya.
"Dari apa yang aku alami, aku semakin paham, mengapa Allah mendorongku menetap di AS. Karena Ia tahu, kalau aku tidak mungkin bisa menjadi Muslim bila menetap di Austria. Alhamdulillah," kenangnya. [yy/republika.co.id]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar