Fiqhislam.com
- Gabriel Stresser lahir di Salzburg, Austria. Ia tumbuh dan besar
dalam lingkungan Katolik Roma. Seperti halnya penganut Katolik, sejak
kecil Gabriel mengikuti komuni pertama pada usia 12 tahun.
Seiring
perjalanan waktu, Gabriel mulai mempertanyakan ajaran Katolik. Ada
sejumlah hal dari apa yang dianutnya itu tidak sesuai logika
berpikirnya. Sejak itu, ia coba untuk mencari kebenaran hakiki. "Jujur,
saat itu aku tidak mengenal ajaran agama Islam atau agama lainnya," kata
dia.
Dengan
tekad membaja, ia putuskan untuk meninggalkan Austria guna mencari
kebenaran. Putusannya itu banyak dipertanyakan keluarga dan kerabatnya.
Bagi mereka, putusan Gabriel tidak masuk akal.
"Aku pahami penolakan itu. Bagaimana bisa aku meninggalkan lingkungan yang aman. Lalu mencari kebenaran," kata dia.
Usai
meyakinkan keluarganya, ia pun berangkat meninggalkan Austria. Amerika
Serikat selanjutnya menjadi tujuan pencariannya. Di sana, ia menetap
bersama keluarga angkat.
Saat
itu, kemampuan bahasa Inggris-nya sangat buruk. Namun, ia tak patah
semangat. Dengan kerja keras ia akhirnya bisa berbahasa Inggris kendati
terbata-bata.
Selama
setahun, Gabriel berpindah-pindah tempat. Mulai dari New Jersey,
Arizona, dan California. Akhirnya, ia pun kembali ke Austria.Tak lama di
negeri kelahirannya, ia kembali menuju AS. Saat itu, ia menetap bersama
keluarga angkat. Di sana, ia mulai berinteraksi dengan Muslim.
Selanjutnya,
ia berkenalan dengan seorang pria asal Aljazair. Tak berselang lama,
pria itu melamarnya. Gabriel akhirnya menerima pinangan itu. Keluarganya
kembali menolak putusan Gabriel. Namun, ia tetap pada putusannya itu.
Pada
satu waktu, suaminya memberikan sebuah buku berjudul paduan singkat
ajaran Islam. Buku paduan ini berisi mukzijat ilmiah dalam Alquran.
Gabriel pun dibuat kagum buku tersebut. Namun, ia mencoba untuk tidak
memperlihatkan rasa kagumnya itu.
Berikutnya,
Gabriel sering terlibat diskusi tentang Islam bersama suaminya. Diskusi
berlangsung mendalam. Satu kesimpulan yang didapat Gabriel, ia berniat
untuk menjadi Muslim.
"Waktu
itu, banyak pertimbangan. Aku tidak yakin apakah bisa menuaikan shalat
lima waktu, tidak mengkonsumsi alkohol dan babi, dan berpuasa di bulan
Ramadhan," kenang dia.
Jeda
sejenak dengan keraguan yang dialaminya, Gabriel coba untuk kembali
mengikuti kuliah. Satu waktu, ia bermimpi bertemu dengan sosok mahluk
tanpa wajah yang mengenakan jubah panjang. "Mahluk ini selalu
mengikutiku," kenang dia.
Beberapa
kali ia kembali bertemu mahluk tersebut dalam mimpi itu. Ketika
terbangun, spontan Gabriel mengucapkan "Allahu Akbar..Allahu Akbar". Ia
pun berdoa seperti apa yang dilakukan suaminya. Tubuhnya gemetar
seketika. "Sejak itu, aku mulai yakin, aku tak ingin mati sebagai
non-Muslim," kenang dia.
Tak
lama, Gabriel memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah itu, tidak mudah bagi Gabriel untuk mempertahankan keputusannya
itu. Lagi-lagi keluarganya menolak keputusannya.
"Dari
apa yang aku alami, aku semakin paham, mengapa Allah mendorongku
menetap di AS. Karena Ia tahu, kalau aku tidak mungkin bisa menjadi
Muslim bila menetap di Austria. Alhamdulillah," kenangnya. [yy/republika.co.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar