Selasa, 03 Agustus 2010

Margaret dan Putrinya, Nyssa

Dia menemukan Islam hanya karana melihat seorang teman Muslim-nya, yang berpaikan sopan dan benar-benar punya sopan-santun

Oleh Syamsi Ali*

Siang kemarin kelas di Islamic Forum for non Muslims masih agak sepi. Selain memang karena memang banyak yang lagi liburan akhir tahun, juga karena beberapa kegiatan Islam lainnya di kota New York, sehingga ada beberapa murid berhalangan hadir. Tapi Margaret, seorang Ibu muda warga Amerika, dan anaknya Nyssa, berumur 11 tahun telah tiba lengkap dengan buku catatannya.

Ibu dan anak ini memang telah mengikuti kelas the Islamic Forum sejak enam minggu berturu-turut. Terus terang, saya tidak pernah bertanya ke mereka, apakah Muslim atau tidak, sebab sejak pertama ke kelas mereka menampilkan sikap ramah, bersahabat dan seolah telah mengetahui banyak tentang agama ini. Jadi, sangkaan saya selama ini adalah bahwa Ibu ini mengantarkan anaknya belajar dasar-dasar agama.

Saya masih ingat sekitar tiga minggu sebelumnya, ketika Nyssa sambil tersenyum malu menanyakan, "When should I start pray?" Saya ketika itu sambil becanda menjawab "You should have asked this before!".

Nyssa adalah sosok anak pendiam tapi murah senyum. Dia terkadang sibuk memperbaiki kerudung di kepalanya jika molor dan nampka rambutnya dari arah depan. "But I mean, when I have to do it", tanyanya lagi.

Setelah itu saya baru mengerti bahwa barangkali Nyssa menanyakan kapan awal seorang Muslim dianggap harus melakukan kewajiban-kewajiban agamanya? Maka saya pun jelaskan bahwa semua Muslim jika telah mencapai umur baligh (puber) di pundaknya terhinggap seluruh kewajiban-kewajiban agama. Perintah sudah harus dilaksanakan, larangan sudah harus ditinggalkan.

Ibunya yang menimpali kemudian. "How should you know that a person has reached the age of puberty?".

Saya kemudian menjelaskan bahwa ada perbedaan indikasi pada pria dan wanita. Pada pria biasanya ditandai dengan apa yang lazim disebut "wet dream" (mimpi basah), sementara pada wanita ketika mengalami haid pertamanya.

Nyssa nampak serius mendengarkan setiap kata dari penjelasan itu, bahkan mencatat setiap poin penting dari diskusi di kelas. Walau demikian, Nyssa nampak sangat pendiam, tapi ibunya sedikit terbuka dan banyak bertanya. "I don't know, why she is so quite here, but at home she talks too much", kata ibunya suatu hari. Nyssa, sebagaimana biasanya hanya tersenyum ringan.

Sambil menunggu shalat Zuhur Sabtu lalu, Nyssa dan ibunya (margaret), duduk di kelas dan nampak membuyka-buka buku catatannya. Saya yang kebetulan baru saja menikahkan seorang pasangan Pakistan dan gadis Amerika dari Ohio, lalu gabung di kelas sekedar untuk salam. "I want to tell you some thing" Ibu Margaret memulai. "What's that?", tanyaku singkat. Sambil melihat anaknya di sampingnya, dengan mata berkaca-kaca dia mengatakan "I want to convert today" (saya ingi masuk Islam).

Hampir tidak percaya karena saya kira selama ini, Ibu dan anak ini adalah Muslim. Saya kemudian bertanya: "Wait, are you non Muslims?. Ibu Margaret tertawa terbahak melihat anaknya, kemudian balik bertanya "Why? Do you think we are Muslims?". "Yes", jawabku.

Saya kemudian bertanya sejak kapan dia mulai belajar Islam dan bagaimana latar belakang mereka sehingg datang ke kelas the Islamic Forum itu. Margaret bercerita panjang, yang intinya sejak hampir setahun ini memang dia belajar serius Islam. Dan itu dia lakukan sejak bercerai dengan suaminya yang, menurutnya, peminum dan penjudi. Dia kemudian mencari ketenangan, terkadang dengan mimum-minum, atau bahkan menurutnya, hampir terjatuh ke jurang pemakai obat-bat terlarang. Hingga suatu ketika dia bertemu dengan seorang teman di kantornya, yang menurutnya, seorang warga Hispanic. Namun menurut Ibu Margaret, dia ini beda dengan warga Hispanic lainnya.

"She dressed differently, and completely behave so humbly and respectful". (Dia berpakaian sopan, dan betul-betul bertingkah laku sangat hormat dan rendah hati)

Dia inilah yang kemudian mengenalkan Islam sejak sekitar setahun lalu. Sejak itu, dia sudah hampir tidak pernah minum dan bahkan lebih serius belajar islam. Bahkan tidak saja dirinya, tapi juga mengajak serta anaknya yang ketika itu baru berumur 10-an tahun.

Sekitar tiga minggu lalu Margaret kebetulan mengambil cuti menjelang Thanksgiving dan menyempatkan diri mencari masjid atau Islamic Center. Di sinilah dia memulai datang ke mesjid dan menanyakan pada orang-orang di mesjid itu jiak dia ingin belajar Islam. Diapun diarahkan untuk datang hari Sabtu dan bergabung dengan kelas the Islamic Forum for non Muslims.

Hampir 30 menit Margaret berbincang-bincang dengan saya mengenai latar belakang dia mengenal Islam. Akhrinya tanpa ada waktu lagi menjelaskan hal-hal yang biasanya saya jelaskan kepada seseorang yang mau masuk Islam, saya minta Margaret untuk segera mengambil wudhu. Rupanya dia sudah melakukannya bersama putrinya.

Maka, Margaret dan Nyssa saya ajak menuju ruang shalat. Di hadapan sekitar 200-an jama'ah Margaret dengan khusyuk saya tuntun bersama putrinya mengikrarkan "Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah", diringi pekik takbir para jama'ah.

Saya kemudian meminta kepada jama'ah wanita untuk memberikan selamat, diikuti dengan shalat dzuhur berjama'ah.

Setelah shalat Nyssa dan ibunya masuk kembali ke kelas. Saya baru bertanya perihal nama Nyssa yang kedengaranmnya islami. Margaret mengatakan bahwa mantan suaminya adalah orang Greek (Yunani), dan Nyssa berarti yang pertama. Saya katakan, saya ingin nama Nyssa ditambah A di depan. Maka, sejak Sabtu lalu, Nyssa resmi menjadi Anyssa (Anisah).

Kebetulan Minggu kemarin adalah pengajian bulanan di masjid Al-Hikmah. Saya mengajak Margaret ke masjid Al-hikmah untuk mendapatkan pengalaman bersama Muslim dari Indonesia, tapi juga ingin memberikan hadiah kerudung kepada Nyssa. Nyssa selama ini serius dengan kerudungnya yang kebetulan hanya sepotong kain biasa. Terpikir kerudung buatan Indonesia, selain lebih cantik, juga sudah siap dipakai secara permanen.

Rupanya Margaret sudah ada janjian dengan teman Hispanic itu, dan akhirnya menunda kunjunganna ke masjid Al-Hikmah.

Margaret, Nyssa, selamat dan semoga selalu dijaga di jalan Allah SWT. Doa kami menyertai!

New York, Desember 2008
Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Dua Kalimat Syahadat Membisik di Telingaku

Sebagai seorang mantan pendeta Pantekosta, aku dulu sangat membenci Islam, hingga aku senantiasa berusaha merusak akidah umat nabi Muhammad SAW, melalui pekabaran Injil kepada umat yang beragama Islam khususnya. Sering aku mengatakan bahwa agama Islam adalah agama penyesat, dan sungguh tidak bisa dijadikan pedoman atau dasar iman bagi kehidupan manusia.

Pada suatu hari, aku harus membaptis satu keluarga muslim. Sebelumnya, aku sudah banyak memberikan bantuan materi untuk hidup mereka sehari-hari. Tentu saja bantuan itu tidak kuberikan secara cuma-cuma, tetapi dengan imbalan, keluarga ini harus masuk kristen.

Ketika aku bertanya kepada keluarga ini, apakah mereka sungguh menerima yesus sebagai Tuhan dan juruselamat? Mereka akhirnya mengangguk setuju, hingga seminggu kemudian, aku membaptis seluruh keluarga ini, dan menyuruh mereka membakar semua atribut yang berbau Islam. Saat itu mataku tiba-tiba tertuju pada satu tulisan kaligrafi AlQuran yang ditempel didinding. Aku bertanya pada si pemilik rumah yang hendak kubaptis, tulisan apa itu ?.

Ia menjawab kalau itu adalah tulisan dua kalimat syahadat, yang artinya "Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah".

Tiba-tiba dadaku terasa bergemuruh saat mendengar makna dari tulisan Arab itu. Niatku yang ingin merobek kertas itu mendadak lenyap. Dalam perjalanan kembali ke rumah, ada satu peristiwa yang sungguh di luar jangkauan manusia, karena saat itu kurasakan di telingaku berbisik sebutan dalam bahasa Indonesia "Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad utusan Allah".

Lama aku termenung memikirkan bisikan itu. Pikiranku tertuju pada kalimat "Tiada Tuhan Selain Allah". Kalimat itu dimulai dengan kata tidak, suatu makna yang menandakan penolakan terhadap Tuhan-tuhan lain selain Allah.

Sejak itulah, aku mulai tertarik pada Islam. Dan otomatis, ketertarikanku pada Islam sangat mempengaruhi aktivitasku sebagai pendeta.

Istriku yang juga penginjil, ternyata tanggap dengan perubahan yang terjadi dalam diriku, dan mempertanyakannya padaku. Kupikir, alangkah baiknya kalau kuceritakan saja mengenai kegelisahanku ini, dan mengajaknya berdoa bersama sebagai seorang pendeta. Namun anehnya, saat berdoa bersama itu konsentrasiku hilang, saat kalimat itu kembali terngiang ditelingaku.

Akhirnya, aku sadar kalau batinku menuntut untuk mencari kebenaran yang ada pada Islam, salah satunya dengan membeli buku-buku bacaan tentang Islam, yang berhasil kutemukan di daerah Senen, Jakarta.

Dari beberapa buku yang kupilih, ada satu buku yang menarik minatku, yaitu buku berjudul "Hidup Sesudah Mati" karangan almarhum Bey Arifin. Setiap buku yang kubaca, pasti didukung oleh referensi ayat-ayat AlQuran, yang sungguh kukagumi karena semuanya tidak bertentangan dengan fitrah manusia.

Sementara asyik dengan buku-buku mengenai Islam, kegiatanku berkhotbah di gereja tetap kujalani, meski otomatis jadi sedikit ngawur. Materi ceramahku tidak lagi bicara mengenai Yesus, melainkan lebih kepada hubungan antar manusia.

Selain itu, rapat-rapat kependetaan pun perlahan-lahan mulai kutinggalkan. Melihat semua ini, rekan-rekanku yang lain tentu saja mulai curiga, dan memanggilku dalam pertemuan khusus para pendeta. Singkat cerita, aku dipecat dari kedudukan sebagai seorang pendeta, dan resikonyaadalah meninggalkan kemewahan.

Di daerah Depok I, Jawa barat, tempatku menginap saat usia senja ini terdapat masjid yang letaknya persis di depan rumah.

Ketika kulihat masjid hanya penuh pada saat sholat Jumat, aku sempat jadi bimbang, apa bedanya dengan agama Kristen yang gerejanya penuh jamaat hanya pada hari Minggu. Namun setelah kukaji Al Quran, ternyata perintah sholat telah jelas diwajibkan, hanya saja manusianya saja yang senantiasa melalaikan kewajiban itu. Akupun tenang kembali.

Semula istriku tidak setuju dengan keinginanku menjadi seorang muslim. Bahkan ketika malam hari sebelum aku mengucapkan dua kalimat syahadat, kukatakan keinginanku padanya, ia malah menghardikku sebagai pengkhianat. Aku tak peduli. Bahkan aku cuma bisa berharap istri dankedua anak-anakku ikut jejakku masuk Islam.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1994, di Beji, Depok, aku resmi menjadi muslim. Dan namaku pun berganti menjadi Rudi Mulyadi Foorste, yang semula bernama Rudy Rudolf Otto Foorste. (beliau keturunan Belanda, orang tuanya berasal dari Galela, Halmahera Utara - red).

imageSelang tiga bulan kemudian, istri dan kedua anakku pun mengikuti jejakku, masuk Islam. Ternyata Allah SWT kembali memberikan taufik dan hidayah kepadaku dengan berkumpulnya kami sekeluarga, dalam naungan Islam. Dan yang paling aku syukuri adalah kerelaan istri dan anak-anakku untuk hidup sederhana, jauh dari kemewahan seperti yang dulu pernah kami alami.

Islam telah memberiku jalan, kebenaran dan kehidupan yang sesungguhnya. Dan kebahagiaan seperti ini, tidak kuperoleh dari Yesus Kristus.

Karena hanya melalui agama Islam, aku dapat memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat nanti. Kepada mereka yang pernah kubaptis, aku mohon dibukakan pintu maaf sedalam-dalamnya. Dan mari kembali pada Islam.

email: ibokdenis@hotmail.com

sumber :www.swaramuslim.net

KH. Drs. Alifuddin El-Islamy (d/h Siong Thiam ) : Adiknya Dikubur dalam Kotak Sabun

Tidak selamanya suatu penyakit berat membawa petaka kepada seseorang. Terkadang justru membawa hikmah yang sangat besar bagi hidup dan masa depan orang tersebut. Benarlah apa yang dikatakan orang-orang bijak, segala sesuatu ada hikmahnya. Contoh kejadian ini pernah dialami oleh Siong Thiam yang kelak kemudian menjadi Alifuddin El-Islamy, seorang dai dan salah satu ketua di DPP Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)

Terlahir di lingkungan keluarga Tionghoa yang menganut agama Toapekkong di daerah PTP Perkebunan V Sei Karang, Kebun Tanah Raja (sekitar 50 km dari kota Medan). Lahir 18 Mei 1954 dengan nama Siong Thiam (dialek Hokkian) atau Song Thien dalam dialek Mandarin.

Sejak kecil, papa dan mamanya, telah membiasakan Siong Thiam dan kesepuluh orang adiknya untuk melaksanakan upacara keagamaan dengan baik.

Misalnya, diajak sembahyang di Klenteng maupun di rumah, seperti menyembah malaikat (pay sin) setiap pertengahan dan akhir bulan. Juga menyembah bulan (pay guek nio) setiap tanggal 15 bulan 1 dan tanggal 15 bulan 8 (dalam kalender Cina). Pada setiap awal tahun, mereka menyembah Tuhan Langit (Thi Kong), tetapi lebih sering disebut Pay Jhit Thau (menyembah matahari).

Lingkungan perkebunan dengan berbagai suku yang bekerja, seperti orang Melayu Deli, orang Batak, Mandailing, dan juga keturunan Jawa, telah membentukpergaulan Siong Thiam. Sejak kecil ia sudah akrab dengan kawan-kawannya yang terdiri atas berbagai suku bangsa.

Dan, dari pergaulan dengan lingkungannya ini pula Siong Thiarn kecil mulai mengenal agama lain di luar agama keIuarganya. ia sudah dapat merasakan betapa meriahnya kaum muslimin merayakan Idul Fitri (Lebaran) dan orang Kristen merayakan Natal.

Setamat SD di Perkebunan Tanah Raja, Siong Thiam melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Perbaungan (sekitar 30 km dari Medan). Di sekolah inilah ia mulai mengetahui pokok-pokok ajaran agama Islam yang disampaikan Ustadz Syahruddin Asid pada pelajaran agama di sekolah tersebut. Sebetulnya, bagi siswa yang bukan Islam boleh meninggalkan kelas sewaktu pelajaran agama (Islam) tersebut. Namun, Siong Thiam memilih tetap di dalamn kelas.

Sewaktu mama saya melahirkan adik yang kesepuluh, rupanya kembar dua. Yang satu meninggal dunia. Oleh papa saya, yang meninggal itu dikuburkan begitu saja, tanpa upacara, sebagaimana lazimnya jika yang meninggal itu orang dewasa (tua).

Bahkan, petinya diambil dari bekas kotak sabun. Betapa sedihnya hati saya ketika menyaksikan kenyataan tersebut. Alangkah berbeda ketika saya menyaksikan penghormatan luar biasa yang diberikan tatkala seorang paman saya yang sudah tua meninggal dunia. Segala perbekalan ikut dimasukkan ke dalam kuburan, sebagairnana layaknya seorang hidup yang akan bepergian jauh.

Ketika persoalan perlakuan yang berbeda ini saya tanyakan kepada orang tua saya, saya dibuat terperanjat. Sebab, menurut piham yang diyakini secara turun-temurun oleh penganut Toapekkong bahwa bila yang mati itu anak kecil atau bayi, maka kematiannya dianggap suatu malapetaka, pembawa sial bagi seluruh keluarga.

Mendengar keterangan yang seperti itu, kecutlah hati saya, karena pada saat itu saga masih termasuk anak-anak (remaja) yang masih bersekolah. Sejak kejadian itu, saya pun menjadi ragu dengan kebenaran ajaran yang dianut keluarga kami, karena membedakan manusia dari umumya, bukan dari amal perbuatannya.

Mencari Agama
Sejak peristiwa yang mengganggu pikiran itu, saya pun berusaha mencari dan mempelajari agama lain. Apalagi pada saat itu (antara tahun 1966-1967) kesadaran beragama sedang marak-maraknva, setelah gagalnya kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang terkenal sebagai G 30 S/PKI.

Dimana-mana saya menyaksikan masjid dan mushala penuh sesak. Begitupun jemaat di gereja. Semua itu tentu saja berpengaruh kepada jiwa saya yang baru berusia 14 tahun. Karena di lingkungan tempat tinggal kami mayoritas Islam, maka saya lebih dulu tertarik kepada Islam.

Tetapi, ketika mendengar isi ajaran Islam dari teman-teman saya, rasa tertarik pun jadi sirna seketika, karena banyak isi ajaran Islam yang berlawanan dengan hobi dan kegemaran saya.

Menurut penilaian saya waktu itu, isi ajaran agama Islam terlalu berat. Terlampau banyak mengharamkan kebiasaan dan kegemaran saya. Ini tidak boleh, itu pun tidak boleh. Tidak heran, bila saat itu saya lebih tertarik kepada ajaran agama Kristen yang menghalalkan apa yang dihalalkan oleh ajaran agama yang dianut leluhur kami.

Namun, saya tidak segera memasuki agama Kristen. Sava takut salah pilih, dan nantinya terpaksa meninggalkannya pula. Saya tidak ingin disebut plin-plan, suatu gelar yang tidak enak didengar. Maka, saya pun mulai membanding-bandingkan kedua agama (Islam dan Kristen) tersebut, walaupun dengan pengetahuan yang terbatas berdasarkan pelajaran yang saga dapat di sekolah dan juga dari teman-teman.

Pada saat jiwa saya sedang mencari pegangan hidup, kaum muslimin di lingkungan kami membangun masjid. Kebetulan masjid tersebut dibangun persis bersebelahan dengan rumah kami. Tempat wudhunya yang terbuka, secara kebetulan pula setentang dengan letak dapur rumah kami. Jadi, pada setiap petang-menjelang magrib--saya dapat menyaksikan orang berwudhu dan shalat di sana.

Mulanya saya hanya memandang heran terhadap apa yang mereka kerjakan, baik kala berwudhu maupun saat shalat. Tetapi lama-kelamaan, pandangan saya itu berubah dan melahirkan suatu ketakutan yang luar biasa, mungkin lebih daripada apa yang mereka lakukan dan rasakan.

Rasanya, belum ada agama yang mengajarkan kebersihan dan keagungan setinggi ini, kecuali ajaran agama Islam. Bersih pakaian, bersih badan, bersih tempat, dan bersih hati, untuk menghadap Tuhan Yang Mahasuci. Dengan demikian, saya pun mulai tertarik kepada ajaran agama Islam.

Hati saya berkata, "Inilah agama yang harus kupilih dan kujadikan pegangan hidupku." Tetapi sayang, terlampau banyak ajaran Islam yang mengharamkan hobi dan kegemaran saya.

Terserang Malaria
Sampai pada suatu hari di bulan Februari 1969, saya menderita penyakit berat. Badan saya menjadi kurus dan ceking. Saya hanya berbaring di tempat tidur.

Kata dokter, saya menderita malaria tropicana. Tiba-tiba suatu bayangan yang mengerikan mendadak menyusup ke dalam hati saya. Betapa tidak, bila saya mati saat itu, berdiri bulu roma membayangkan bila saya mati saat itu, disaat masih dianggap mendatangkan kesialan bagi keluarga. Belum lagi membayangkan apa yang akan saya temui setelah berada di dalam kubur. Di saat seperti itulah saya mengharapkan pertolongan. Tetapi, kepada siapa ?

Secara bergantian terlintas Toapekkong yang disembah orang di Klenteng dan patung Yesus yang disembah orang Kristen di gereja. Tetapi, keduanya tidak mampu menenteramkan kegundahan saya. Di saat itulah, sayup-sayup terdengar suara azan magrib dari masjid sebelah rumah. Terbayanglah oleh saya saat mereka berdoa mengangkat tangan dan menengadah, dari saat mereka shalat menyembah Tuhan dengan mengangkat kedua tangan sambil menundukkan kepala. Saat mereka berada dalam kesucian dan keheningan menghadap Tuhan mereka.

"Ya, Tuhan in ilah yang dapat menolongku. Dialah Tuhan satu-satunya. Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya. Tuhan yang disembah orang-orang Islam. Dialah yang dapat menolongku." Begitulah suara batin saga saat itu.

Tanpa saya sadari sepenuhnya, tiba-tiba bibir saya berbisik pelan, "Tuhan berilah aku kesemptan untuk memasuki agamaMu, agar aku dapat mengamalkan ajaran agama-Mu!"

Tampaknya Tuhan memberikan kesempatan, dan saya pun merasa kian sembuh dari penyakit. Tanpa menanti waktu lebih lama--karena saya tidak tahu, apakah saya akan sembuh benar atau tidak--saya pun pergi meninggalkan rumah dan keluarga menuju ke tempat di mana saya dapat masuk Islam.

Singkat cerita, pada hari Kamis, 3 April. 1969, di Masjid Taqwa Lubuk Pakam, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, dibimbing Ustadz Hasan Basri, disaksikan para jamaah yang memenuhi ruangan masjid itu. Allahu Akbar!

Setelah merasa sembuh benar, saya kembali ke rumah orang tua. Rupanya seisi rumah sudah mengetahui perihal keIslaman saya itu. Mama menyambut saya dengan isak tangis. Dan, dalam dekapannya mama membisikkan ucapan yang tidak pemah dapat saya lupakan sepanjang hidup. "Mama tidak dapat menahanmu kalau kau masuk Islam. Tetapi mama pesan, kalau masuk Islam jadilah orang Islam yang benar. Jangan kepalang tanggung: Kalau tidak, kembalilah segera sebelum bertambah jauh."

Pesan mama inilah yang menyadarkan kewajiban saya untuk segera memahami dan mendalami ajaran Islam. Maka, saya yang mendapat nama baru Alifuddin El-Islamy pun mulai merantau menuntut ilmu agama. Setelah belajar Al Qur'an kepada Ustadz Ahmad Onga (ahnarhum) di Lubuk Pakam, saya pun melanjutkan pelajaran ke Bukittinggi berguru kepada Bapak Sabiran Datuk Gunung Kayo. Setelah itu, saya berguru kepada Buya H. Nawawi Arief di Padang Panjang, Sumatra Barat.

Di samping belajar, saya juga aktif berdakwah. Beberapa tempat telah saya singgahi. Bahkan, ketika. saya pinda ke Palembang untuk melanjutkan pendidikan ke IAIN Raden Fatah, saya sudah ditempatkan di bagian Pembinaan Kerohanian PT Pupuk Sriwijaya Palembang, dan bekerja di situ selama 11 tahun. Dan kini saya aktif di kepengurusan DPP PITI sebagai salah satu Ketua PITI (mualaf.com)

sumber : swaramuslim.net

Ruqayyah Waris Maqsood, Menulis Hingga Nafas Berakhir

Ia mendapat ijazah dibidang Teologi Kristen. Namun pengetahuan Kristen-nya yang begitu mendalam menjadikan dia mencintai Islam. Ingin terus menulis hingga akhir hayat

Hidayatullah.com--Ruqayyah Waris Maqsood dilahirkan pada tahun 1942 di kota London, Inggris. Ruqayyah merupakan salah satu penulis buku-buku Islam paling produktif. telah menghasilkan lebih dari 30 buku berkenaan dengan Islam. Buku-bukunya termasuk best seller dan menjadi referensi serta rujukan di berbagai negara. Awalnya dia dibesarkan dalam lingkungan Kristen Protestan. Nama asalnya ialah Rosalyn Rushbrook. Dia memperoleh ijazah dalam bidang Teologi Kristen dari Universitas Hull tahun 1963. Pengetahuan Kristennya begitu mendalam hingga dia menulis beberapa buah buku, tentang Kristen.

Tapi rupanya, karena pengetahuannya yang begitu mendalam tentang Kristen pula yang menyadarkannya. Ia dapati ajaran Kristen telah banyak menyimpang, terutama yang berkaitan dengan konsep Trinitas. Akhirnya tahun 1986, diusia 44 tahun, dia memeluk Islam. Tahun 2001 dia dianugerahkan Muhammad Iqbal Awards karena sumbangannya yang tinggi dalam pengembangan metodologi pengajaran Islam. Bahkan Maret 2004 Ruqayyah terpilih sebagai salah satu dari 100 wanita berprestasi di dunia. Berikut rangkuman kehidupannya dikutip dari berbagai sumber.

***

“Orang beriman tak takut dengan penderitaan hidup; tak takut dengan kematian; juga tak takut dengan kehidupan setelah dunia ini; karena Allah bersama mereka. Mereka tak sendirian, Allah selalu menemani dan membimbingnya. Allah itu nyata, Dia menyayangi kamu. Dia mengetahui semua kesukaran yang kamu hadapi dalam perjuangan. Bahkan, jika kamu berbuat salah, Dia masih tetap mencintaimu.“

~Ruqayyah Waris Maqsood~

Bait-bait kalimat di atas menggambarkan betapa teguhnya hati seorang Ruqayyah. Bait penuh makna itu diadopsinya dari ayat-ayat suci Al-Quran. Dia memang menumpukan setiap tulisannya dengan memasukkan petuah-petuah dari Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Ruqayyah Waris Maqsood yang diilahirkan tahun 1942 di London, Inggris, pada ada usia 8 tahun telah jadi seorang anak yang memiliki komitmen yang tinggi dengan Kristen sebagai hasil dari panggilan hatinya. Setelah menamatkan program sarjana ilmu teologi (1963) dan master bidang pendidikan (1964) dari Universitas Hull, dia selama hampir 32 tahun mengelola program studi ilmu-ilmu keagamaan di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Inggris.

Dia menikah dengan penyair Georg Morris Kendrick pada tahun 1964. Dari perkawinannya dengan Georg mereka memiliki dua orang anak, Daniel George lahir 1968 dan Frances Elisabeth Eva lahir 1969. Tahun 1986 pasangan itu bercerai. Tahun itu pula masuk Islam dan tahun 1990 menikah lagi dengan pria keturunan Pakistan, Waris Ali Maqsood namanya.

“Saat ini Islam dicap sebagai agama bermasalah. Sangat tidak adil. Karena itu saya berupaya menulis untuk memperbanyak literatur-literatur Islam. Harapa saya agar, melalui tulisan-tulisan itu, dapat membantu memperbaiki atmosfir yang kurang berpihak ke Islam,” cetusnya.

“Saya sangat tertarik menggeluti sejarah Islam, terutama tentang kehidupan wanita-wanita di sekitar Nabi Muhammad. Saya acapkali meng-counter kampanye anti Islam yang mendiskreditkan wanita Muslim,” kata dia.

Best seller


ImageMau tahu seberapa produktifnya dia? Catat saja, sewaktu masih bernama Rosalyn Rushbrook dia menghasilkan 9 buah buku yang umumnya berisi isu agama. Dan satu volume buku kumpulan puisi. Lalu selepas hijrah ke Islam, dia menghasilkan sekitar 30 buah buku. Saat ini dia memiliki 9 buah buku yang masih dalam proses penerbitan. Dia juga menulis berbagai artikel di majalah maupun koran yang berkaitan dengan Islam dan Muslim.

Salah satu sumbangannya yang paling penting bagi komunitas Islam adalah The Muslim Marriage Guide (Petunjuk Pernikahan bagi Muslim). Buku itu menjadi rujukan dan direkomendasikan, tidak saja untuk pasangan yang akan menikah namun juga bagi mereka yang telah lama mengarungi bahtera rumah tangga. Bagi kalangan non Muslim, terutama yang sedang mendalami Islam, tentu saja buku Ruqayyah menjadi referensi yang sangat berharga. Dalam buku yang bernilai tinggi itu dia menggambarkan kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dilengkapi dengan petunjuk, tatacara dan hukum perkawinan. Tak hanya dia juga menguraikan bagaimana pertalian suami istri dalam hal warisan dan sejenisnya. Jadi sangat terpadu dan lengkap.

Ruqayyah pernah diundang oleh Hodder Headlines untuk menulis buku Islam for the World Faiths (Islam bagi Penganut Agama se-Dunia). Saat ini buku itu telah dicetak sebanyak tiga kali dan termasuk salah satu buku best seller.

Tak hanya buku-buku kategori “berat”, dia juga menulis buku-buku tentang bimbingan konseling bagi remaja Islam. Juga ada beberapa buku saku, antara lain; a Guide for Visitors to Mosques, a Marriage Guidance booklet, Muslim Women’s Helpline.

Bukunya di Indonesia banyak diterbitkan oleh Mizan. Misalnya Menciptakan Surga Rumah Tangga. Lalu buku bimbingan untuk remaja berjudul Menyentuh Hati Remaja. Buku itu mengulas seputar solusi untuk mengatasi problema-problema remaja.

“Mengapa hidup kita di dunia ini kadang-kadang berlalu dalam keadaan sulit. Ada cerita terkenal tentang seorang petani Afrika yang menanam rami. Ia harus menanamnya dalam keadaan yang sulit, dengan kondisi tanah yang mematahkan punggung dan dengan sedikit hujan untuk menyiraminya. Ketika ia pindah ke tempat yang iklimnya lebih bersahabat, ia membawa beberapa tanaman rami tersebut, dengan pikiran bahwa tanamana ini akan mudah tumbuh di tempat yang baru. Ya, tanaman itu memang tumbuh, besar, hijau dan subur; tetapi ketika ia mencabut batang itu untuk mengeluarkan seratnya, ternyata batangnya tidak berisi serat kecuali ampas. Tanaman itu memerlukan kondisi sulit untuk mengembangkan kekuatan batangnya,” tulis Ruqayyah dalam buku bimbingan remajanya, dengan perumpamaan yang gampang dimengerti remaja dan juga memberi motivasi hidup.

Silabus Islam

“Saya juga diminta menulis buku teks yang dipakai secara luas di Inggris selama hampir 20 tahun. Buku-buku teks itu dipakai oleh kalangan pribadi, muallaf, dan pelajar-pelajar sekolah umum dan madrasah. Tidak saja di Inggris tapi juga di beberapa negara lainnya,” begitu katanya. Ya, memang Ruqayyah juga sibuk menulis buku-buku teks yang banyak dijadikan rujukan.

Ia membantu mengembangkan silabus bagi pelajar sekolah agama, bekerjasama dengan dinas pendidikan setempat. Silabusnya tergolong unik, dibuat khusus agar pelajar mandiri. Jadi, tanpa guru atau fasilitas tetap bisa jalan. Silabusnya dirancang untuk pelajar sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menariknya lagi, bisa dipakai untuk pendidikan formal, non formal, misal di rumah, bahkan juga di penjara. Pokoknya untuk dimana saja. Menjadi tutor jarak jauh (distance learning) untuk Asosiasi Peneliti Muslim (AMR) adalah aktifitas lainnya.

Aktifitas mengajarnya juga padat. Banyak negara telah disambanginya, diantaranya AS, Kanada, Denmark, Swedia, Finlandia, Irlandia dan Singapura. Ruqayyah juga mengajar di beberapa universitas yang ada di Inggris seperti Oxford, Cambridge Edinburg, Glasgow dan Manchester. Juga mengajar di School of Oriental and Arabic Studies di London.

Atas aktifitas dan jasanya itu ia menerima Muhammad Iqbal Award tahun 2001 atas kreatifitasnya dalam mengembangkan pembelajaran Islam. Dialah muslim pertama Inggris yang pernah menerima anugerah bergengsi tersebut. Tak hanya itu, Maret 2004 Ruqayyah terpilih sebagai salah satu dari 100 wanita berprestasi di dunia. Dalam ajang pemilihan Daily Mail’s Real Women of Achievement, dia termasuk satu dari tujuh orang wanita berprestasi dalam kategori keagamaan.

Menulis dan Terus Menulis

ImageMajalah Islam, Emel pernah menanyakan adakah ia merasa lelah dengan seabrek aktifitasnya itu serta bagaimana membagi waktu menulis dan mengurus rumah tangga, misalnya di kesibukannya dengan para cucunya.

“Saya sangat ketat dengan waktu. Bertahun-tahun saya menjalani itu dan sudah jadi irama hidup saya, hingga semua jadi mudah. Saya biasanya menulis malam hari. Kala semua telah tidur, hingga tak ada yang mengganggu saya. Jam 4 pagi saya bangun untuk shalat subuh. Selepas itu saya tidur sejenak hingga jam 8 pagi. Beraktifitas lagi dan siangnya saya ambil waktu untuk istirahat,” ujarnya.

“Kerja saya sehari-hari ya menulis. Kini ada lebih dari 40 buku telah diterbitkan. Belum lama saya telah menyelesaikan satu manuskrip yang sangat tebal tentang Kehidupan Rasulullah SAW. Buku berjudul “The Life of Prophet Muhammad” itu diterbitkan oleh Islamic Research Institute of Islamabad tahun 2006 silam,” katanya. Tentang pembajakan buku-buku, Ruqayyah mengaku sedih dengan tingginya kasus pembajakan buku terutama di negara-negara Islam.

“Kenyataan saat ini banyak buku-buku Islam yang dibajak dan pembajaknya adalah orang Islam sendiri. Sedih bukan? “ ujarnya risau.

Tentang Yesus

Dia memiliki pengetahuan Kristen begitu mendalam. Dengan pengetahuannya itu Ruqayyah bergerak atas inisiatif sendiri mencari kebenaran berdasar kajian-kajian ilmiahnya. Namun akhirnya dia meninggalkan agamanya itu setelah bergulat bertahun-tahun dalam pencarian atas pertanyaan-pertanyaannya tentang konsep teologi Trinitas. Dia tak menemukan apa-apa.

Jadi Ruqayyah memeluk Islam murni berdasar latar belakang pengetahuannya dan kajian mendalam tentang ajaran ketuhanan, baik dalam Islam dan Kristen. Seperti kebanyakan muallaf lainnya, dia menyebut dirinya telah “kembali” menjadi Muslim. Kini dia memperjuangkan Islam lewat tulisan dan buku-bukunya.

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah media, dia ditanya perihal konsep Islam tentang Nabi Isa yang dalam ajaran Kristen disebut Yesus. “Di negara Barat ada ajaran ilmu etika berinti pada cinta dan kasih Tuhan dan tolong menolong sesama manusia. Itu semua diajarkan juga oleh semua nabi termasuk di dalamnya, tentu saja, Nabi Muhammad SAW. Kami orang Islam juga meyakini Nabi Isa sebagai salah satu nabi yang diutus Allah,” kata Ruqayyah.

“Sebelum Nabi Isa datang, nabi-nabi terdahulu membawa ajaran Yahudi. Kami juga beriman dengan nabi-nabi terdahulu yang diutus kepada umat-umat sebelum Islam datang, Yahudi adalah salah satu agama samawi juga. Nabi Isa datang membawa ajaran Kristen itu kami yakni juga. Kemudian Nabi Muhammad diutus Allah membawa ajaran Islam dan tugas Isa AS telah selesai, Jadi tidak seperti dipahami ajaran Kristen dengan konsep Trinitasnya yang menyatakan Yesus itu anak Tuhan. Dia memang dilahirkan dari seorang ibu, Maryam. Tanpa ayah. Jadi jangan lantas disebut sebagai anak Tuhan. Itu kuasa Allah. Jika Allah katakan “jadi”, maka jadilah,” imbuhnya lagi.

Apakah Nabi Muhammad diutus karena misi Nabi Isa dianggap telah gagal? Demikian cocoran pertanyaan menohok media tersebut. “Kami tidak beriman dengan itu, bahwa misi Nabi Isa gagal. Kami beriman, dia (Isa AS) adalah salah satu utusan Allah yang terbaik bagi umatnya. Contoh dan tunjuk ajarnya ditiru oleh jutaan pengikutnya kala itu. Jika kemudian, umatnya rusak, itu bukannya karena ajaran atau misi Isa AS itu rusak lantas dikatakan gagal. Lalu untuk menyelamatkan umatnya, menghapus dosa umatnya, Isa digambarkan (dalam Kristen) mengorbankan dirinya dengan disalib. Tidak begitu. Inilah yang saya katakana ajaran Kristen telah menyimpang dari aslinya,” terangnya.

Cyber counsellor

Salain menulis, kesibukan lainnya adalah sebagai seorang konselor. Melalui internet, ia aktif menjawab dan membantu konseling.

“Kegiatan lain saya adalah mengasuh bimbingan konseling online melalui e-mail hingga dijuluki sebagai cyber councellor. Tiap hari sedikitnya ada 50 e-mail yang saya terima. Kebanyakan berasal dari orang-orang minta nasehat, karena masalah budaya, perkawinan, dan bahkan masalah ketuhanan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang dalam masa pencarian, mereka ingin tahu apa itu Islam. Bahkan ada juga dari orang yang bermaksud menyerang Islam. Kami saling bertukar pendapat. Banyak juga e-mail berisi pengaduan-pengaduan yang sifatnya sangat pribadi. Saya ini persis seperti “ibu atau tante” bagi mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi,” ungkap Ruqayyah senang.

Begitupun dia mengaku sedikit sedih dengan kenyataan masih banyak kalangan Islam yang bertingkah laku kurang baik. Tidak Islami. Hingga merusak wajah Islam sendiri.

“Sebagai contoh di Barat, banyak anak-anak muda Arab dan Asia yang bergaul bebas dengan gadis-gadis kulit putih tanpa memperhatikan kaedah Islam. Sedihnya lagi, ada yang sampai mengandung tanpa ikatan agama. Seringnya si wanita kemudian masuk Islam. Memang baik, tapi saya kira ini bukan jalan menuju Islam yang benar,” keluhnya.

Begitulah, Ruqayyah kini mengisi hari tuanya di sudut kota London dengan menulis, mengasuh para cucunya, disamping juga berbagi ilmu keislamannya dengan non muslim melalui dialog antar umat beragama. Dia menyisihkan waktunya berkunjung ke sekolah-sekolah dan gereja untuk menjelaskan Islam dan memberikan pengetahuan dasar-dasar Islam. Dia berjuang keras menyadarkan berbagai pihak dengan berbagai latar kehidupan yang berbeda agar dapat saling menghargai. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Mualaf Latin di Amerika

By : Mualaf.com

Perasaan aneh dulu selalu dirasakan Jackie Avelar setiap kali terbangun saat subuh. Jam beker bersuarakan adzan lima kali sehari semalam, yang selalu membangunkannya dari tidur, tergeletak di satu pojokan ranjang.

Di pojok lain, sebentuk patung kecil Bunda Maria berlingkarkan rosario, lembut menatapnya. Sebagai seorang muslimah, sudah lama Jackie ingin menyingkirkan patung tersebut. Tapi dengan darah latin yang mengalir di tubuhnya, itu tak mungkin ia lakukan. Ayahnya, seorang penganut Katolik yang taat asal El Salvador, menginginkan patung itu tetap berada di sana. Saya merasa harus menghormati beliau, kata Jackie. Akhirnya, Jackie menemukan sendiri jalan tengah yang dirasanya nyaman: patung itu ditutupnya dengan foto keluarga besarnya.

Hingga kini, wanita 31 tahun itu mengaku masih harus berjuang dengan banyak hal. Berjuang menemukan keseimbangan dalam keluarga, berupaya nyaman berhadapan dengan dunia luar. Bahkan terus melawan dirinya sendiri.

Wajar saja, sebelumnya, Jackie tumbuh sebagai 'gadis pantai yang ceria'. Mengenakan tank-top layaknya gadis-gadis muda, saling menyentuh dengan lawan jenis dalam irama salsa yang panas. Kini, Jackie Avelar adalah tipikal seorang muslimah 'konservatif' yang memilih berbusana muslim dan menghindari pergaulan terbuka dengan laki-laki.

Jackie adalah muslim pertama di keluarga besar yang tak pernah mengenal agama selain Katolik itu. Perjalanan keluar dari negeri asal, yang membuat Jackie, juga ribuan imigran Amerika Latin lainnya, menemukan agama yang mereka rasakan cocok. Beberapa ratus diantaranya bertempat tinggal di wilayah Washington. Lainnya tersebar di seluruh Amerika.

Jumlah persisnya? Tak bisa dipastikan, tetapi diperkirakan antara 40 ribu hingga 70 ribu jiwa. Diduga, proses peralihan agama itu dipermudah dengan maraknya beredar Al Qur'an berbahasa Spanyol, majalah-majalah ke-Islaman, serta website. Tetapi, dengan memeluk agama baru itu, para imigran Latin tersebut langsung harus menghadapi perjuangan baru -- diskriminasi terhadap muslim, apalagi setelah peristiwa 11 September. Kadang timbul perasaan seolah mengkhianati jati diri, seolah meninggalkan keluarga besar, kata Jackie, perempuan bertubuh kecil, bersuara lembut, dengan muka bulat itu.

Para mualaf itu datang dari seantero Amerika Latin. Mereka umumnya beralasan, dalam Islam mereka menemukan kesalehan dan kesederhanaan yang tidak ditemukan dalam Katolikisme. Selain itu, sebagaimana keterikatan yang kuat dalam budaya Latin, Islam menekankan pentingnya keluarga. Hal itulah yang membuat para mualaf itu gampang beradaptasi, kata Jackie.

Sebagian lainnya termotivasi akibat perasaan terasing sebagai imigran di negeri orang. Apalagi umumnya para wanita Latin itu merasa betapa budaya barat -- termasuk budaya yang membesarkan mereka, begitu masokis. Lain lagi dengan Priscilla Martinez. Peralihan agama yang dialami generasi ketiga imigran asal Meksiko itu diawali dengan pertanyaan.

Dibesarkan di Texas, bukan sekali dua Martinez bertanya kepada para pastur tentang kepercayaan Trinitas -- Allah Bapa, Anak, dan Ruh Kudus -- dalam Katolikisme. Menurut pengakuannya, jawaban apapun yang diberikan para pendeta itu tidak pernah memuaskannya.

Pertanyaan itu kemudian berkembang, hingga akhirnya, Saya merasa tak punya hubungan apapun dengan Tuhan, kata Martinez, yang kini tinggal di Ashburn, bersama suami dan anak-anak mereka. Perkenalan Martinez dengan Islam sendiri berawal saat ia kuliah di University of Texas. Bermula dari kursus tentang sejarah Timur Tengah, dilanjutkan dengan aneka kegiatan kemahasiswaan yang melibatkan para mahasiswa muslim di universitas tersebut, pada akhir tahun pertamanya itu Martinez langsung mengucap syahadat. Dan itulah awal perjuangannya. Saat memberitahu keluarga yang merasa aneh dengan tingkah laku dan pakaian yang dikenakannya, kontan Martinez diancam dengan dua pilihan. Atau tinggalkan Islam dan kembali memeluk agama keluarga, atau pergi dari rumah. Martinez memilih meninggalkan rumah.

Persoalannya lebih kepada budaya, kata Martinez, mengenang. Mereka merasa asing dengan saya, apalagi ketika tahu bahwa saya tak pernah lagi datang ke gereja. Ia sendiri kini merasa tenteram dalam keluarganya. Hanya satu hal dari dunianya yang lama yang masih membuatnya kehilangan -- berenang. Tetapi tidak sepenuhnya, karena saat ini pun Martinez mengaku masih bisa berenang dalam kolam renang di rumahnya sendiri. Atau kalaupun di luar rumah, sebelumnya ia memastikan bahwa temannya berenang semuanya wanita di sebuah kolam renang yang tertutup.

Keinginan untuk lebih dekat dengan pencipta, membuat Margareth Ellis berganti keyakinan. Menurut Ellis, di Panama, negara asalnya, Katolikisme yang berkembang, jauh dari religius. Padahal saya ingin memiliki hubungan yang dalam dengan Tuhan, kata Ellis. Tidak hanya itu, di AS, Ellis merasa terkucil. Sebagai wanita latin berkulit hitam, ia merasa warga Afro-Amerika pun tidak sepenuhnya bisa menerimanya. Saat saya berinteraksi dengan komunitas muslim, saya justru merasa nyaman. Mereka umumnya tak mempersoalkan darimana asal Anda, apa warna kulit Anda, kata Ellis yang kini mengubah nama menjadi Farhahnaz Ellis.

Sempat juga setelah Elllis berganti agama, bibinya sempat bertanya, Bagaimana mungkin kamu dapat meninggalkan kepercayaan ibu-bapakmu? Ellis tidak merasa perlu menjawab. Dengan beralih agama, kini identitasnya sebagai orang Latin --sebagaimana mualaf latin lainnya --tak nampak sudah. Pernah suatu saat Ellis yang berpakaian hijab, melintasi dua orang wanita latin di pusat kota. Kontan kedua wanita itu berkata keras dalam bahasa Spanyol, mengatai dirinya. Lihat, kata mereka, Wanita itu sinting, betapa panasnya. Tentu saja, Ellis yang berperawakan tinggi langsing, langsung menemui mereka dan membalas dengan bahasa Spanyol. Mereka langsung pergi, kata Ellis.

Ada berkah lain yang dialami Jackie begitu dirinya masuk Islam. Sebelumnya, Jackie selalu saja digoda pria-pria pekerja kasar, manakala lewat melintasi mereka. Oy, mamacita! teriak mereka, sambil bersiul. Setelah masuk Islam dan mengenakan hijab, hal itu tak pernah lagi ia temui. Mereka kini diam, Alhamdulillah, kata Jackie. Menurut para mualaf itu, tantangan terbesar sebenarnya keluarga. Saya baru berani memberi tahu ayah setelah dua bulan berganti kepercayaan, kata Jackie. Memang, saat itu ayahnya masih mencoba memengaruhinya untuk kembali. Namun ia segera sadar, putrinya telah memiliki tekad yang kuat untuk berubah.

Tertarik Konsep Ketuhanan

Hidayah Allah memang tidak bisa diduga kapan dan bagaimana datangnya. Seperti yang dialami Heny Widiastuti ini. Setelah melalui perdebatan batin yang panjang, akhirnya Heny mengikrarkan diri menjadi seorang muslimah. Berikut penuturannya kepada M. Yunan Muzakki, wartawan NURANi di Semarang.

TAK henti-hentinya aku berucap syukur kepada Allah SWT. Semua itu karena kini aku telah menjadi seorang muslimah sejati. Sungguh tujuan hidup yang telah lama aku impikan. Namaku Heny Widiastuti yang terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Tiga puluh empat tahun yang lalu aku dilahirkan dari sebuah keluarga penganut agama Katholik yang taat di daerah Perumahan Tlogosari, Semarang. Sejak kecil aku tumbuh dan berkembang dengan doktrin agama Katholik. Bahkan, doktrin yang tertanam kuat tersebut membuatku berpikiran negatif tentang Islam.

Aku beranggapan, Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan. Anggapan itu bertambah subur saat aku mengenyam pendidikan formal Kristen mulai dari TK sampai SMA. Baru setelah aku kuliah di Stikubank, alam pikiran kolotku tentang Islam mulai terbuka lebar. Aku pun mulai tersadar dan mulai berpikir serius tentang apa yang selama ini merisaukan hati. Jujur, aku merasakan sebuah dorongan kuat dari hati nurani untuk menjadi seorang mualaf. Entah dari mana niatan itu datang, namun seringkali mengganggu pikiranku.

KONSEP KEESAAN ISLAM
Selanjutnya secara diam-diam aku mulai belajar tentang agama Islam. Bermula dengan membaca Alquran terjemahan yang aku pinjam dari rekan kerjaku, Budi Wahyono, yang kini menjadi suamiku. Dari Alquran tersebut aku mulai tahu tentang ajaran Islam yang sesungguhnya. Terlebih setelah membacanya, anggapan ?miring? terhadap Islam yang sebelumnya tertanam kuat di otakku menjadi menghilang berganti dengan ketakjuban. Terutama dengan konsep Keesaan Tuhan.

Dalam Islam hanya mengenal satu Tuhan yang wajib disembah, yakni Allah SWT. Konsep Keesaan Tuhan tersebut tidak aku temukan dalam agamaku sebelumnya yang mengenal adanya trinitas. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa citra jelek dalam Islam itu bukan karena ajarannya yang salah, tetapi lebih kepada kejahatan individu yang tidak memahami Islam secara sempurna. Ketakjuban itu menggiringku untuk menjadi seorang mualaf.

Dengan segala persiapan mental yang kuat, aku menemui seorang ustad untuk membimbingku. Selang beberapa waktu berikutnya akhirnya aku benar-benar mantap untuk bersyahadat. Namun, niatan itu tidak segera terwujud. Saat akan disyahadatkan, ustad tersebut memberikan ?wejangan? mengenai agama Islam. Semua dijelaskan mulai dari sejarah Nabi Muhammad mendapatkan wahyu sampai perkembangan Islam terkini. Di akhir wejangan tersebut, ustad bertanya kepadaku, ?Apakah kamu benar-benar mantap masuk Islam tanpa ada paksaan??

Mendapatkan pertanyaan itu, ketekatanku yang semula penuh kini mulai berkurang, saat itu juga aku mulai sangsi apakah keputusan ini memang yang terbaik bagiku. Akhirnya malam itu aku menyerah, aku masih belum siap untuk menjadi mualaf. Aku pun kembali lagi ke rumah dan beraktivitas layaknya tidak pernah terjadi apa-apa dengan batinku.

MASUK ISLAM
imageBeberapa waktu kemudian, kegundahan hatiku mulai menggangu konsentrasiku. Kucoba mengungkapkan kegundahanku kepada Mas Budi. Kami pun semakin akrab, aku merasa nyaman dengannya yang tak mempedulikan status agamaku saat itu. Kami pun akhirnya membina hubungan lebih serius. Suatu saat aku berkata kepada Mas Budi ingin sekali menjadi seorang muslimah sejati. Keinginan itu langsung direspon baik olehnya, ia terlihat sangat bahagia dengan niatku itu. Atas inisiatif dari Mas Budi, akhirnya kami datang ke masjid raya baiturrahman Semarang untuk berkonsultasi masalah agama.

Hari semakin hari, niatku makin bulat dan akhinya pada tanggal 20 Maret 2007, aku resmi menjadi mualaf. Dengan dibimbing KH Muslim Nur Aziz, aku mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Raya

Baiturrahman Semarang. Orangtuaku semula kaget dengan keputusanku. Namun akhirnya mereka tak mempersalahkannya. Alhamdulillah, mereka hanya berpesan bahwa agama jangan dibuat mainan, jika aku telah meyakini Islam maka mereka menyuruhku agar menjalani ajaran Islam dengan benar dan setulus hati. Kebahagiaanku semakin bertambah setelah beberapa bulan berikutnya, tepatnya tanggal 12 Mei 2007, aku dipersunting Mas Budi menjadi istrinya. Selanjutnya hari-hari kami sangat bahagia, suamiku membimbingku dalam ibadah. Kami mulai membiasakan diri salat berjamaah di rumah, Mas Budi sebagai imam salat sedangkan aku makmumnya. Jika ada sesuatu yang kurang mengerti dalam Islam, suamiku senantiasa memberikan pengarahan kepadaku. Bahkan kini aku sudah banyak hafal surat-surat pendek dalam Alquran dan beberapa amalan doa sehari-hari. Doaku yang selalu kupanjatkan adalah memohon ampunan dosa atas apa yang aku lakukan selama berpuluh-puluh tahun ini. Juga semoga rumah tangga kami langgeng menjadi keluarga yang sakinah, Amin. 04/yun/tabloidnurani.com

Sir Jalaluddin Louder Brunton

Sungguh saya sangat merasa bahagia dengan kesempatan ini untuk menceritakan dalam kata-kata yang singkat tentang sebab saya memeluk agama Islam. Padahal saya dilahirkan dan dibesarkan dalam pangkuan orang tua yang beragama Kristen.

Sejak kecil, saya sudah tertarik dengan ilmu teologi, dan saya menggabungkan diri dengan lingkungan Gereja Inggris dan turut memberikan perhatian terhadap pekerjaan Misi tanpa ikut serta dalam usaha pelaksanaannya.

Sejak beberapa tahun yang lalu, saya memperhatikan doktrin "Eternal Torment/Siksa Abadi" buat seluruh umat manusia, kecuali beberapa orang pilihan. Doktrin ini sangat membingungkan saya, sehingga saya menjadi ragu-ragu atas kebenarannya.

Saya berpendapat bahwa Tuhan yang menciptakan manusia dengan kekuasaan-Nya dan terlebih dahulu mengetahui di alam gaib bahwa hari depan mereka pasti masuk dalam siksaan yang kekal itu bukan Tuhan yang bijaksana, adil dan welas asih. Kedudukan-Nya lebih rendah daripada manusia kebanyakan.

Namun demikian, saya tetap percaya atas adanya Tuhan, hanya saya tidak dapat menerima kepercayaan umum yang mengatakan bahwa Tuhan menjelma menjadi manusia. Kemudian saya perhatikan kepercayaan dan ajaran-ajaran agama lain, malah saya semakin bingung. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, saya bahkan semakin bersemangat untuk beribadah kepada Tuhan yang sebenarnya dan menyesuaikan diri dengan jalan hidup yang ditunjuk-Nya.

Mereka mengatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan Kristen itu berdasarkan isi Bible, akan tetapi ternyata saya lihat bertentangan. Mungkinkah Bible dan ajaran-ajaran Kristus telah diubah? Kemudian saya kembali mempelajari Bible secara mendalam, akan tetapi saya tetap merasakan adanya kekurangan-kekurangan.

Dalam keadaan demikian, saya mengambil keputusan bahwa saya akan melakukan pembahasan sendiri, dengan mengkesampingkan segala kepercayaan orang banyak. Mulailah saya mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai jiwa dan dibalik itu ada satu kekuatan tersembunyi yang bersifat kekal. Dan barangsiapa berbuat dosa atau kejahatan, pasti dia akan mendapatkan balasannya, baik di dunia maupun di akhirat, dan bahwasanya Tuhan dengan rahmat-Nya akan menerima taubat dari seluruh hamba-Nya yang berdosa, apabila mereka benar-benar menyesal atas segala dosa mereka.

Sesudah saya yakin atas perlunya penyelidikan/pembahasan sendiri tentang kebenaran secara mendalam, sesudah bersusah payah akhirnya sampailah saya menemukan "mutiara yang sangat berharga." Saya kembali menghabiskan waktu untuk mempelajari Islam. Ada sesuatu dalam Islam yang waktu itu meresap dalam jiwa saya.

Di Ichra, sebuah kampung yang terpencil dan tidak dikenal, saya menghabiskan waktu dan kesungguhan untuk melaksanakan perintah Allah Yang Maha Agung dalam lingkungan masyarakat klas terendah, karena didorong oleh keinginan ikhlas untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang Allah Yang Haqq, yang tiada Tuhan selain Dia, dan untuk meresapkan rasa persaudaraan dan kemanusiaan pada jiwa mereka.

Tidak perlu saya tegaskan kepada anda kesungguhan saya yang tercurah di kalangan mereka, tidak pula perlu menceritakan betapa beratnya pengorbanan saya dan rintangan-rintangan yang saya jumpai, namun saya berjalan terus, sebab bagi saya tiada jalan lain selain yang menuju tercapainya kebahagiaan masyarakat, material dan spritual.

Selanjutnya saya pelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw., sebab saya baru sedikit saja mengenal apa yang beliau lakukan untuk kemanusiaan. Akan tetapi saya tahu dan merasa bahwa umat Kristiani telah sepakat untuk mengingkari kebenaran Nabi Besar yang lahir di tanah Arab ini. Pada waktu itu saya mengambil keputusan untuk mempelajari masalah ini tanpa rasa fanatik dan dengki, sehingga dalam waktu yang tidak lama, saya telah mendapat keyakinan bahwa tidak mungkin ada satu keraguan yang bisa masuk ke dalam kesungguhan dan kebenaran dakwahnya kepada Allah s.w.t. Saya yakin bahwa tidak ada kesalahan yang paling besar daripada mengingkari ke-Nabian orang suci ini, yakni sesudah saya mempelajari apa yang beliau berikan kepada kemanusiaan.

Orang-orang yang keras kepala penyembah patung berhala, yang telah tenggelam dalam lautan dosa dan kerendahan budi dan penuh dengan keburukan-keburukan, beliau beri pelajaran bagamana mengenakan pakaian dan bagamana membersihkan kotoran. Beliau bangkitkan dalam jiwa mereka rasa harga diri, sehingga sifat keramahan menjadi kewajiban keagamaan. Patung-patung berhala mereka hancurkan dan mereka menyembah Tuhan yang benar, satu-satunya. Kaum Muslimin menjadi masyarakat paling kuat di dunia. Dan lain-lain pekerjaan mulia yang sudah beliau selesaikan, yang jumlahnya terlalu banyak untuk diterangkan satu persatu.

Dengan adanya bukti-bukti tersebut, yang menunjukkan keluhuran ajaran-ajaran Rasul s.a.w., maka sungguh sangat menyedihkan adanya tuduhan dan cercaan yang dilancarkan oleh orang-orang Kristen terhadap pribadi dan kedudukannya sebagai Rasul. Saya terus berpikir secara mendalam, dan di tengah-tengah pemikiran itu datanglah sahabat saya seorang India bernama Miyan Amiruddin bertamu ke rumah saya. Sungguh aneh sekali, kedatangannya itu telah benar-benar mempengaruhi jiwa saya. Dia telah mengobarkan semangat saya. Saya berpikir dan bertukar pikiran tentang ajaran-ajaran agama Kristen, aliran ,demi aliran. Akhirnya saya mengagungkan agama Islam yang telah memberi kepuasan kepada saya. Saya percaya bahwa Islam adalah agama yang hak/benar, agama yang mudah dan penuh toleransi, agama yang penuh keikhlasan daiam cinta-mencintai dan persaudaraan.

Saya hanya tinggal punya waktu sedikit saja hidup di dunia ini. Oleh karena itu, maka saya bertekad untuk menghabiskan seluruh waktu yang masih ada dari hidup saya untuk menegakkan agama Islam.

Tentang Pengarang: Sir Jalaluddin Louder Brunton belajar di Oxford University, dan beliau adalah seorang bangsawan Inggris yang terkenal.

sumber :

Mengapa Kami Memilih Islam
Oleh Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar Affandie
Cetakan Ketiga 1981
Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung

Pemuda Perancis Dapat Hidayah di Inggris

Lahir dari orangtua Perancis dan Spanyol. Menemukan Islam di Inggris dan mendapat istri seorang wanita asal Brunai. Perjalanan luar biasa!

“Aku tidak tahu darimana harus memulai kisah ini. Kenapa saya masuk Islam?,” ujar Abdul seperti disitir dari 2muslims.com. Begitulah, setelah pindah dari Perancis ke Inggris, untuk keperluan studi lanjut, dia menemukan Islam di negeri Ratu Elizabeth itu. Di sana dia mengaku teratrik Islam karena akhlak teman-temannya asal mayoritas berasal dari Malaysia dan Indonesia. Disana pula dia mendapatkan teman hidupnya, seorang muslimah asal Brunei Darussalam. Lulus kuliah, kedua memutuskan menetap di Brunei dan kini hidup bahagia di sana dengan dua putrid yang mungil. Berikut kisah lengkapnya.

00OO00

“Namaku Abdul Hakim. Aku dilahirkan 24 tahun yang lalu di tengah teriknya sinar matahari di Spanyol. Ibuku asli Perancis, dan ayah asal Spanyol,” kata Abdul memulai kisahnya.

Abdul tinggal di Spanyol hanya dua tahun. Lalu pindah ke Perancis ikut kedua orangtuanya. Lepas sekolah menengah atas, di usia 18 tahun, Abdul pindah ke Inggris untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sheffield.

“Pertama sekali aku ingin tekankan bahwa hingga usiaku 18 tahun, aku tidak suka sama sekali dengan Islam. Kala itu aku baru memasuki tahun pertama kuliah di Inggris,” tukas dia mengenang. Di usia 17 tahun, menurut pengakuannya, dia bahkan pernah bergabung dengan salah satu kelompok ekstrim yang sukanya “memerangi” kelompok Islam lain. Dia menyebut dua alasan masuk grup tersebut,´kisahnya.

“Pertama, karena keluarga dan juga teman-temanku dulunya semua pendukung nasionalis dan rasisme. Jadi aku ingin “membersihkan” lingkungan dari orang-orang yang tak kusukai. Kedua, pengalaman pribadi di mana aku pernah diserang secara pisik dua kali oleh warga asing asal Aljazair,” kata Abdul tentang masa lalunya.

“Sekarang Anda bisa bayangkan bagaimana pola pikir saya bisa berubah setelah kuliah di Inggris. Anda pasti bertanya-tanya apa dan bagaimana aku bisa menemukan Islam di Inggris,´ kata dia lagi.

Kala studi di Inggris Abdul mengaku menjalin hubungan persahabtan dengan sejumlah siswa asal Asia. Kebanyakan anak-anak dari Malaysia dan Indonesia. Saat itu dia tidak tahu sama sekali teman-teman saya itu semuanya beragama Islam. Sebab sebelumnya dia selalu mengidentikkan Islam dengan Arab.

“Teman-teman muslim yang aku kenal itu semuanya mempraktekkan Islam dalam kehidupan harian mereka. Nah secara perlahan aku menemukan sesuatu yang lain dari Islam. Ini muncul murni dari hatiku, tanpa ada tekanan atau paksaan dari mereka untuk masuk Islam. Melihat perangai dan perilaku mereka pikiranku tentang Islam mulai berubah. Islam ternyata berbeda sama sekali dari yang pernah kudengar dan kubayangkan di masa lampau. Islam ternyata sangat toleran. Islam berarti kejujuran, keterbukaan, kasih saying dan rasa damai. Yang bikin aku makin terkesan, ternyata orang-orang Islam punya kepedulian terhadap muslim lainnya,” tukas dia panjang lebar.

Apa yang telah diamati Abdul benar-benar membuat dia syok. Saban hari dia semakin termotivasi untuk “mengintip” kelakuan mahasiswa muslim di kampusnya. “Mereka bahkan tidak tahu aku sedang menjalankan misi seperti “spionase terhadap mereka.” Aku benar-benar ingin tahu tentang Islam. Makin hari makin membuncah saja. Kebencian kini justru berganti dengan keingintahuan. Sebab perangai dan tingkah laku mereka berbanding terbalik dengan prasangka dia akan Islam sebelumnya. Perilaku ternyata lebih hebat daripada sejumlah kata-kata.

”Aku belajar dari mereka tentang perilaku yang benar sebagai seorang muslim. Hal ini jauh dari apa yang pernah kulihat selama di Perancis,” lanjut dia. Kurang dari setahun, Abdul telah belajar banyak hal. Alhasil, dia berani mengambil kesimpulan bahwa Islam itu ternyata amat mengagumkan. “Islam luar biasa!” aku Abdul.

“Pada tahap ini, tanpa sepengetahuan seorangpun, aku mulai mempelajari Islam secara serius. Aku segera mencari mushaf Al-Quran sebagai tahap awal mempelajari Islam. Aku mencarinya ke mesjid. Namun, untuk mendekat ke mesjid kala itu aku tak punya keberanian sama sekali. Aku takut ketahuan teman-temanku yang muslim. Entahlah aku sedikit tertekan kala itu. Tak tahu apa yang musti kulakukan,” aku Abdul.

Begitulah, yang namanya hidayah Allah ada saja jalan yang tak diduga-duga oleh hamba-Nya. Seperti kasus Abdul ini, “tanda-tanda” dari Allah mulai terlihat. “Satu hari aku sedang jalan menyusuri kota dan berharap bisa memperoleh Al-Quran. Entah bagaimana aku melewati satu kawasan dimana disana sedang ada pameran Islam,” kisahnya.

Abdul pun tak menyia-nyiakan peluang yang sudah di depan mata. Dia yakin disitu tak ada seorang pun yang kenal dengannya. Awalnya dia agak ragu-ragu namun karena rasa ingin tahu yang sudah membuncah dia pun memberanikan diri meminta sepotong mushaf Al-Quran beserta terjemahannya.

Selepas mendapatkan Al-Quran yang sekian lama dicari-carinya diapun bersegera pulang ke rumah dan langsung mempelajarinya. “Sedikit demi sedikit aku bisa tahu apa itu Islam. Aku ingin Islam hadir karena usahaku sendiri dan bukan karena paksaan atau tekanan orang lain. Aku juga suka tidak suka adu argumentasi atau berdebat. Aku hanya ingin menemukan jawaban apa itu Islam. Aku benar-benar ingin tahu,” tegas dia.

Beberapa hari berselang, persis selepas aku memperoleh Al-Quran, bulan suci Ramadhan pun tiba. Muncul ide yang kuanggap “gila” kala itu. Aku mau coba berpuasa, kendati belum jadi muslim! Tak hanya itu selama bulan Ramadhan kuhabiskan waktu setiap hari dengan mempelajari Al-Quran,” tutur Abdul.

“Allah akhirnya membuka pintu hatiku. Satu ketika di tengah malam, persis di pertengahan Ramadhan, aku merasakan betapa indahnya Islam itu. Pengajarannya begitu mengagumkan dan penuh makna. Simpel tapi mendasar, dan yang terpenting rasional, mudah dipahami. Ini yang begitu membuatku terkesima, aku sama sekali tidak merasa takut untuk menjadi seorang muslim. Mungkin karena hal ini benar-benar dating dari hati nuraniku sendiri, bukan karena paksaan,” tegas Abdul lagi

Begitulah, akhirnya pada 30 Maret 1997, Abdul mengikrarkan syahadahnya. Prosesi singkat itu berlangsung di kamarnya. Sendirian tanpa ada yang menjadi saksi. “Kala itu, aku ingin shalat tapi belum tahu lagi bagaimana caranya. Gerakan-gerakannya aku tahu, tapi apa yang harus dibaca itu yang aku masih belum tahu lagi. Namun shalat tetap kulakukan sebisa mungkin lima kali sehari, aku dia. Tak berapa lama berselang Abdul pun melakukan prosesi syahadah secara formal di mesjid, di depan para saksi. Dan, saat ini aku dengan bangga sudah dapat menunjuk diri sebagai seorang muslim. Allahu Akbar!, pekiknya gembira.

”Aku berharap banyak orang bisa menjadi kisahku ini sebagai bahan pelajaran. Baik itu untuk yang muslim maupun bukan. Oya jika ada yang mau Tanya-tanya atau silaturrahmi silahkan kirim lewat email saja. Insya Allah aku akan balas,” harap dia..

Abdul mengaku menaruh rasa kagum akan Inggris yang modern, dinamis, nyaman, dan semuanya serba teratur dan terorganisir dengan rapi. “Aku tinggal di kota Sheffield untuk studi Teknik Kimia selama 4 tahun. Selepas studi aku berencana untuk mencari pengalaman kerja disini,” kata dia.

Menariknya, di tahun terakhir, Abdul bertemu dengan seorang wanita asal Brunei yang juga sedang studi di sana. Di kemudian perempuan melayu itu pun menjadi pendamping hidupnya. “Muslimah asal Brunei itu kunikahi persis disaat aku menyelesaikan studiku. Tepatnya. Tanggal 20 Juni 1997. Setahun kemudian rumah kami makin semarak dengan kehadiran buah hati kami seorang anak perempuan mungil dan lucu, imbuhnya gembira.

Setelah itu mereka memutuskan pindah ke Brunei. Mereka telah berniat untuk tinggal menetap di negeri yang juga salah satu negeri muslim kaya di dunia. “Kami ingin agar putri semata wayang kami bisa besar dan tumbuh di dalam lingkungan Islami,” kilah Abdul memberi alasan kepindahannya. Dan, Maret 2000 kebahagiaan makin lengkap dengan kelahiran putri kedua mereka.

“Saat ini, baik aku dan istriku, belum ada pekerjaan yang tetap lagi. Namun aku sangat yakin dengan khazanah Allah. Jika menghendaki sesuatu terjadi, maka dengan mudah hal itu segera terjadi. Sebaliknya jika Allah tidak menginginkan sesuatu terjadi, maka juga tidak akan terjadi. Aku akan terus berusaha sembari berdoa. Semua kuserahkan kepada-Nya untuk memutuskan..Hanya kepada Allah kita meletakkan segala harapan dan mohon pertolongan. Aku meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah,” pungkas Abdul mantap dan penuh keyakinan. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

S.S Lai, Masuk Islam Setelah Mimpi Mendengar Suara Azan

Terlahir dari keluarga berlatarbelakang etnis Cina, S.S Lai tumbuh di tengah budaya yang melakukan penyembahan berhala dan memuja nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Sejak kecul ia sudah dididik untuk mempercayai banyak dewa-dewi dalam keyakinan agama Cina.

Setiap tahun, Lai selalu berharap dan antusias jika ayahnya mengajaknya ke kuil untuk melaksanakan peribadahan persembahan untuk para dewa-dewi. Sebagai anak-anak, kegembiraannya ketika itu bukan karena ia akan beribadah tapi karena setiap acara tahunan di kuil ia akan menikmati makanan yang banyak dan bervariasi.

Itulah sepenggal kenangan S.S Lai, seorang perempuan yang berasal dari etnis Cina yang tinggal di negeri muslim, Brunei Darussalam. Ia merasa bersyukur karena menghabiskan sebagian besar masa sekolahnya di sekolah yang mayoritas siswanya beragama Islam.

"Saya ingat, seorang teman pernah membawa buku komik bergambar tentang mereka yang dihukum di api neraka. Saya tidak begitu paham tentang apa itu neraka pada saat itu. Saya hanya tahu bahwa jangan pernah membuang sedikit pun permen atau keripik (makanan) atau kita akan dihukum di akhirat kelak," ujar Lai.

Ia paham, seorang muslim berpuasa pada bulan Ramadan dan dilarang makan daging babi. Ketika itu, Lai belum tertarik dengan Islam, meski banyak sahabatnya yang muslim. Tapi Lai mengakui, saat berusia 7 tahun, ia merasakan hal yang aneh bahwa suatu saat ia akan menjadi seorang muslim, seperti salah seorang pamannya.

"Namun saya tidak pernah bertanya pada siapa pun tentang Islam. Taku mereka ingin tahu, dan ini yang membuat saya takut dan malu," tutur Lai.

Perjalanan Lai menuju cahaya Islam bermula dari kebingungannya saat ia belajar geografi. Dirinya bertanya-tanya mengapa manusia bisa berdiri dan berjalan bumi dan tidak terlempar ke luar angkasa yang gelap. Pulang ke rumah, Lai menanyakan hal ini pada pamannya, namun sang paman malah menasehatinya agar jangan terlalu banyak bertanya "mengapa" pada semua hal. Sejak itu, Lai selalu menahan diri untuk tidak selalu menanyakan "mengapa" pada hal-hal yang menarik perhatiannya.

Tahun 1988, Lai mendapatkan beasiswa belajar ke Inggris. Sesuatu yang menjadi impiannya dan ia bekerja keras untuk bisa belajar ke luar negeri. "Saya menjadi orang yang berguna dan kaya, dan membuat kedua orang tua saya bangga. Satu-satunya yang saya tahu untuk mencapai ambisi saya itu adalah menjadi seorang dokter," ujar Lai.

Saat kuliah di Inggris, suatu malam Lai bermimpi mendengar suara azan dan ia berjalan menuju ke arah suara itu, lalu ia berdiri di sebuah pintu gerbang yang besar. Di pintu gerbang itu terlihat tulisan dalam bahasa Arab. Dalam mimpi itu, Lai merasakan kedamaian dan rasa aman. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan yang bercahaya dan di sana ia melihat sosok yang sedang salat.

"Saya sulit menggambarkan bagaimana perasaan saya saat itu. Keesokan harinya saya memaksakan diri untuk menanyakan tentang mimpi saya itu pada teman saya, seorang mahasiswi dari Malaysia. Dia bilang, itu adalah 'hadassah' dari Allah," Lai mengisahkan perihal mimpinya itu.

Pembicaraan tentang mimpi itu mendorong Lai untuk lebih banyak bertanya tentang agama Islam. Selama ini, banyak orang mengatakan pada Lai bahwa kaum Muslimin adalah orang-orang yang jahat dan selalu menindas penganut agama lain.

Saat berkesempatan pulang kampung ke Brunei, Lai mengatakan pada keluarganya bahwa ia ingin menenangkan diri selama setahun ini dan melepaskan diri dari segala ambisinya. Ia merasa ada sesuatu yang lebih penting dari semua yang telah ia kejar selama bertahun-tahun. Sudah bisa dipastikan, keluarganya menolak permintaan Lai, yang membuat Lai hanya bisa menangis siang dan malam.

"Saya menangis karena yang terdengar di telinga saya adalah gema suara azan, sampai seorang teman saya menganggap saya sudah gila, dan saya pun mulai berpikir demikian," ungkap Lai.

Ia lalu ingat sahabat masa sekolahnya dulu, seorang muslim yang taat. Darinyalah, Lai mulai belajar tentang bagaimana menjadi seorang muslim. Akhirnya, hari bersejarah itu pun tiba. Tanggal 5 Oktober 1991, Lai mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang muslimah.

"Saya percaya bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci dan hanya orang tua merekalah yang menentukan kemana anak akan melangkah. Semoga Allah menuntun hati-hati mereka menuju Islam," doa Lai menutup ceritanya menjadi seorang muslim. (ln/isc)

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2010/07/ss-lai-masuk-islam-setelah-mimpi.html

Kisah Leonardo Villar mengenal Islam

Sebelum memeluk agama Islam, kebiasaannya saat saya mengunjungi sebuah kota atau kawasan, tempat pertama yang saya masuk atau cari ialah tempat peribadatan, sebuah kuil atau gereja, atau apa saja. Dengan izin Allah, saya telah memasuki sebuah masjid saat umat Islam menunaikan shalat Magrib mereka. Saya menanti sehingga mereka menyelesaikan shalat mereka. Kemudian saya menemui imam masjid tersebut. Di sinilah bermula perjalanan saya menuju Islam. Saya mulai berbincang dengan imam masjid ini.

Sebelum saya memeluk Islam, nama saya ialah Leonardo Villar. Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen pada tahun 1935 bulan Desember tanggal 4. Saya dibesarkan oleh kakek dan nenek saya. Mereka mengajar saya kepercayaan mereka yaitu doktrin Trinitas, sebuah kepercayaan bahwa Nabi Isa as adalah anak Tuhan dan dia turut menerima sembahan selain dari Tuhan itu sendiri. Mereka mengantar saya ke sekolah Inggris, itupun karena permintaan saya. Namun demikian, saya tidak menghabiskan pengajian saya di sekolah ini. Ketika itu usia saya baru lima tahun, pada mulanya Kepala Sekolah tidak menerima saya karena usia saya yang terlalu muda. Kemudiannya dia menerima karena melihatkan kemampuan saya dalam menyaingi teman-teman lain yang lebih tua.

Pada satu ketika saya tidur siang, pintu rumah terbuka. Ayam-ayam dan anak-anaknya masuk kedalam rumah. Saya terbangun. Saya mengambil handuk dan mengusir ayam-ayam tersebut. Ayam-ayampun beterbangan lari tidak karuan, sehingga berhala/patung yang sering kami tatapi saat menyembah jatuh dan hancur. Saya dapati bahwa berhala itu hanyalah kayu semata dan bukannya Tuhan. Saya katakan pada mereka, "Kalian hanyalah kayu, kalian bukan Tuhan seperti yang diklaim oleh ibu-bapakku. Kalian tidak bisa membantu diri kalian, bagaimana kalian bisa membantu orang lain?"

Saya ingin memecahkannya, tetapi karena ketika itu saya masih kecil, saya tidak berani melakukannya, sudah pasti kakek akan memukul saya. Saya meletakkan berhala itu ditempatnya semula. Saya mula berfikir, dan yakin bahwa memang ada Tuhan yang sebenarnya, yang telah menciptakan alam ini.

Keesokkan paginya, saya menemui bapak saya sedang duduk, saya duduk disebelahnya dan bertanya, adakah berhala-berhala itu Tuhan? Dia berkata, tidak, ia hanyalah simbol untuk kita sembah seolah-olah kita sedang berhadapan dengan Tuhan. Saya mendiamkan diri, saya tidak dapat mengucapkan apa yang terpendam dalam hati saya.

Saya meninggalkan sekolah dan berhenti menghadiri upacara-upacara keagamaan. Saya pergi ke sebuah rumah milik seorang tua. Saya meminta orang tua ini bercerita pada saya mengenai kisah para Nabi seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Nuh dan Nabi Adam. Saya juga bertanya kepadanya tentang agama.

Ketika bapa saya mengetahui saya telah berhenti belajar, dia amat marah dan mengancam akan membunuh saya. Kemarahannya bertambah saat dia tahu yang saya juga telah berhenti dari pergi ke gereja pada hari minggu. Ini berlalu hingga saya berusia 17 tahun.

Pada tahun 1963, saya tiba di kota Marawi di Mindanao, propinsi yang terletak di bagian Selatan Filipina yang memiliki penduduk muslim yang ramai. Sudah menjadi kebiasaan saya, setiap kali saya memasuki sebuah kota baru, sudah pasti saya akan masuk ke bangunan yang menjadi tempat peribadatan kawasan tersebut. Di sini saya telah pergi ke sebuah masjid.

Umat Islam saat itu sedang menunaikan shalat Maghrib. Saya menanti sehingga mereka selesai shalat. Kemudian saya menemui imam masjid tersebut dan orang-orang di situ mengelilingi kami. Saya berkata kepada Imam, apa yang telah anda lakukan tadi?

Dia menjawab, "Kami menunaikan shalat." Saya bertanya, "Apakah ini agama anda? Dia berkata, "Iya." Saya bertanya lagi, "Apakah agama ini? Dia menjawab, "Islam." Saya bertanya kembali, "Siapa Tuhan anda? Dia berkata, "Allah." Saya bertanya, "Siapakah nabi anda? Dia berkata, "Muhammad saw." Saya diam, karena inilah kali pertama saya mendengarnya, dan saya mula berfikir.

Saya bertanya lagi, "Apa yang anda fikir mengenai Nabi Isa? Dia berkata, "Ia adalah Isa anak Maryam, semoga Tuhan memberkati keduanya, dan ia adalah Nabi Allah." Saya bertanya," Apakah agamanya? Saya bertanya kembali, "Apakah agamanya? Ia berkata, "Islam. Karena semua nabi mengikuti agama Islam. Kemudian baru saya sadar bahwa kami tidak bisa berbicara lama, dan saya adalah orang asing di kota ini. Saya berkata kepadanya, "Adakah anda punya buku yang bisa saya baca?

Dia memberi tiga buku dalam bahasa Inggris kepada saya; sebuah buku berkaitan agama Islam, terjemahan al-Quran dan ketiga sebuah artikel berkaitan akidah. Saya meninggalkan masjid tersebut dan pergi ke tempat tujuan, saya membaca buku pertama secara terperinci. Saya menemui apa yang saya cari dalam buku tersebut.

Akhirnya, saya sudah pasti bahwa saya telah menemui agama Nabi Isa as yang saya cari selama 20 tahun. Buku itu memberitahu cara berwudu' dan segala hal-hal yang mendasar berkaitan shalat. Saya mencari bagian yang menjelaskannya dan mula menghafal serta melakukannya. Pada pagi Jumat, saya pergi ke rumah Imam dan bertanya kepadanya, "Adakah seorang non-muslim diizinkan untuk memeluk agama Islam jika dia mengingininya?

Dia berkata, "Islam bukan hanya agama untuk kami umat Islam; ia adalah agama miliki semua manusia dan anda haruslah menjadi seorang muslim." Iia mengajar saya untuk mengambil wudu' dan mengucap dua kalimah syahadah, serta menunaikan shalat. Setelah saya selesai menunaikan shalat, saya bertanya kepadanya, "Adakah saya muslim sekarang? Ia berkata, "Iya."

Saya mula mempelajari Islam di sebuah sekolah agama Islam di kota ini lebih kurang selama 4 tahun. Kemudian saya melanjutkan pelajaran ke Mekah. Pada akhir tahun 1967, saya mendapat kartu izin pelajar. Pada tahun 1978, saya dibenarkan untuk menyambung pelajaran di Universitas al-Madinah sehingga tahun 1979 dimana saya menamatkan pelajaran saya.

Kemudian saya diantar ke Sabah, Malaysia. Sehingga saat ini saya bekerja sebagai seorang muballig.[IRIB/AN]

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2010/07/inilah-kisah-leonardo-villar-mengenal.html