Senin, 11 Juni 2012

Karena Saya Tak Percaya Tuhan Bisa Mati

Anthony Vatswaf Galvin Green mengubah namanya menjadi Abdur Raheem Green setelah memeluk Islam. Sejak kecil, lelaki kelahiran Dar As-Salam, Tanzania ini, sering mempertanyakan konsep ajaran Katolik yang menurutnya banyak yang tak masuk akal, hingga ia menemukan cahaya Islam.

Ibu Green yang asli Polandia dan penganut Katolik Roma yang taat, membesarkan Green dan anak-anaknya yang lain dengan didikan ala Katolik. Green bahkan sempat disekolahkan di sebuah keuskupan Katolik Roma di Yorkshire di utara Inggris.

Hal pertama yang mengusik pikirannya tentang ajaran Katolik adalah ketika ia mendengar ibunya berdoa dan menyebut “Bunda Maria, ibu dari Tuhan Yesus”. Green merasa aneh dengan doa itu, bagaimana bisa Tuhan punya ibu? Karena Yesus yang ia kenal selama dalam konsep ajaran Katolik adalah Tuhan, bukan nabi seperti dalam ajaran Islam.

“Saya duduk dan memikirkan tentang ibu dari tuhan itu. Jika Bunda Maria adalah ibu dari tuhan (Yesus), ia pastilah lebih juga tuhan yang lebih baik dari tuhan itu sendiri. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya,” tutur Green mengenang pengalaman masa kecilnya.

Saat masuk sekolah di keuskupan, Green mulai lebih banyak memikirkan banyak hal, mempelajarinya dan melakukan riset terhadap ajaran Katolik yang dianutnya. Salah satunya tentang “kewajiban” pengakuan dosa yang ditetapkan oleh para pendeta di keuskupannya. Green masih ingat, seluruh siswa diwajibkan paling tidak sekali setahun untuk melakukan pengakuan dosa.

“Para pendeta selalu mengatakan, ‘kalian harus mengakui semua dosa kalian, jika tidak mengakui semua dosa, pengakuan di akhir nanti tak ada gunanya dan tak satu pun dosa kalian yang akan diampuni’,” ujar Green menirukan ucapan para pendeta di sekolahnya dulu.

Buat Green, doktrin pengakuan dosa adalah doktrin aneh dan tidak lebih dari konspirasi besar untuk mengendalikan orang lain. “Mengapa? Mengapa saya harus mengakui dosa-dosa saya pada para pendeta itu? Tidak bisakah saya meminta pada Tuhan saja untuk mengampuni saya? Apalagi menurut Alkitab Yesus berkata, berdoalah pada Bapak (Tuhan Yesus) untuk meminta ampunan atas dosa-dosa kita. Jika demikian, mengapa saya harus datang pada seorang pendeta untuk meminta pengampunan dosa?” papar Green.

Green merasa ada persoalan besar dalam doktrin Katolik, doktrin inkarnasi dimana tuhan bisa menjelma menjadi manusia.

Mencari Jawaban

Ketika usia 11 tahun, ayah Green mendapat pekerjaan sebagai Manajer Umum di Bank Barclays di Kairo. Sejak itu, sampai 10 tahun kemudian, Mesir menjadi tempat Green menghabiskan liburan sekolah, karena Green tetap bersekolah di Inggris.

Green selalu menikmati liburannya di Mesir, dan ketika ia kembali ke Inggris, banyak pertanyaan yang menghantui pikirannya. Doktrin ehidupan Barat yang ia kenal selama ini, selalu mengukur kebahagiaan hidup dengan kecukupan dan terpenuhi kebutuhan materi. Membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Muslim di Mesir, Green jadi bertanya-tanya, mengapa ia harus tinggal di sini (Inggris)? Apa tujuan hidupnya? Untuk alasan apa manusia ada? Apa arti semua ini? apa artinya cinta? hidup itu untuk apa?

Green merenungi semua pertanyaan dalam benaknya. Bukan, hidupnya bukan hanya untuk sekolah, lulus ujian dengan nilai bagus, lalu kuliah, dapat gelar sarjana, kemudian dapat pekerjaan yang bisa memberikannya banyak uang. Lalu menikah, punya anak, mengirim mereka ke sekolah terbaik, dan seterusnya …

“Tidak, saya tidak percaya hidup hanya untuk melakukan itu semua,” tukas Green.

Green termotivasi untuk mencari jawaban sesungguhnya. Ia pun mulai mencari tahu tentang ajaran agama lain, yang ia pikir bisa memberikan pandangan dan pemahaman padanya tentang apa hidup itu dan apa tujuan hidup sebenarnya.

Sebuah peristiwa penting pun terjadi. Selama 10 tahun bolak-balik berlibur di Mesir, Green hanya mengenal satu orang yang mau ngobrol dengannya secara terbuka tentang Islam. Suatu hari Green terlibat perbincangan dengan orang itu, dan ia seperti merasa tinju seorang Mike Tyson mendarat di mukanya.

Dalam perbicangan selama 40 menit, orang itu akhirnya bertanya pada Green, “Kamu percaya Yesus itu Tuhan?” Green menjawab, “Ya.” Lalu orang itu bertanya lagi, “Dan kamu percaya Yesus mati di salib?”. Green menjawab, “Ya.”

“Jadi kamu percaya Tuhan itu mati,” tanya orang itu lagi.

Pertanyaan itu seakan menampar muka Green, dan ia tiba-tiba menyadari bahwa fakta itu sangat bodoh dan tidak masuk akal, bagaimana Tuhan bisa mati, mana mungkin manusia bisa membunuh Tuhan. Mendadak Green tersadar bahwa selama ini ajaran Katolik telah mengindoktrinasinya dengan doktrin-doktrin yang membuat hidupnya tak nyaman.

Dalam usia muda, antara 19-20 tahun, Green menjalani kehidupannya sebagai hippis. “Saya berkata pada diri sendiri, lupakan soal agama, soal spiritualitas, lupakan semuanya. Mungkin hidup itu tidak ada maknanya, tak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali menjadi orang kaya,” ujar Green.

Persoalannya kala itu, Green tidak punya uang banyak. Ia lalu berpikir untuk mendapatkan uang banyak. Ia berpikir tentang negara-negara yang dianggapnya kaya dan mudah untuk mendapatkan uang, mulai dari Inggris, Amerika yang menjadi negeri impian, Jepang si negara kaya dari hasil kemajuan teknologinya, sampai Arab Saudi yang juga salah satu negara kaya.

Di titik Arab Saudi, Green mulai berpikir tentang apa agama yang dianut orang Arab, apa kita suci mereka? Green langsung mengingat Al-Quran dan ia pun pergi ke sebuah toko buku untuk membeli Al-Quran yang dilengkap dengan terjemahannya.

“Saya adalah seorang yang bisa membaca dengan cepat. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya naik kereta, duduk dekat jendela dan membaca terjemahan Al-Quran. Saya memandang ke luar jendela sejenak, lalu membaca lagi. Saya bisa mengatakan inilah momen ketika saya menyadari dan memercayai bahwa Quran berasal dari Allah Swt,” tutur Green.

Tak sekedar membaca, Green ingin mencoba apa yang diajarkan dalam Al-Quran. Pulang ke rumah, Green mencoba menunaikan salat meski ia tak tahu caranya. Ia cuma ingat pernah melihat juru masak keluarganya di Mesir menunaikan salat, dan Green mencoba meniru gerakan salat yang pernah dilihatnya itu.

Menjadi Seorang Muslim

Di hari selanjutnya, Green pergi ke sebuah toko buku yang merupakan bagian dari sebuah bangunan masjid. Ia melihat buku-buku tentang Nabi Muhammad dan buku tentang salat. Ketika melihat buku-buku itu Green berdecak kagum, “Wow, fantastis !”

Seorang lelaki lalu menyapanya, “Maaf, apakah Anda muslim?”

Green lalu menjawab, “Dengar, saya percaya hanya ada satu Tuhan dialah Allah Swt dan saya percaya Muhammad adalah utusan-Nya,”

“Kamu seorang Muslim !” pekik orang tadi

“Terima kasih,” jawab Green.

Orang itu lalu berkata lagi, “Ini hampir masuk waktu salat, Kamu mau salat bersama-sama?”

Hari itu hari Jumat, karenanya masjid penuh dengan jamaah yang akan salat Jumat. Green ikut salat meski masih bingung dan gerakannya banyak yang salah. Tapi hari itu menjadi hari bersejarah bagi Green, hanya dalam waktu lima menit, ia mendapatkan banyak saudara baru, yang bersedia mengajarinya tentang Islam. Ya, hari itu juga, Green secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat yang menandai kemuslimannya. (eramuslim.com)

Anne: From Devoted Christian to Devoted Muslim

Aku tumbuh dalam keluarga Kristen yang taat. Pada saat itu, orang-orang Amerika lebih taat dari pada mereka yang sekarang -sebagai contoh, kebanyakan keluarga pada saat itu pergi ke gereja tiap Minggu. Orang tuaku aktif dalam komunitas gereja. Kami sering mengundang pendeta ke rumah. Ibuku mengajar di sekolah Minggu, dan aku membantunya. Aku mungkin terlihat lebih taat daripada anak-anak lainnya. Pada salah satu ulang tahun, bibiku memberikanku sebuah Bible dan memberikan saudariku sebuah boneka. Pada saat yang lain, aku minta buku doa kepada orang tuaku, dan aku membacanya setiap hari selama bertahun-tahun.

Ketika aku di middle school (setara SMP -pent), aku menghadiri program studi Bible selama dua tahun. Ketika itu, aku telah membaca sebagian dari Bible, tetapi tidak terlalu mengerti dengan baik. Saat itu adalah kesempatanku untuk belajar.

Kami mempelajari banyak ayat-ayat di Kitab perjanjian lama & baru yang menurutku tidak dapat dijelaskan dan ganjil. Sebagai contoh, Bible mengajarkan ide “Original Sin”, yang berarti manusia semua lahir dalam keadaan berdosa. Aku mempunyai adik bayi, dan aku tahu bahwa bayi-bayi itu tidak berdosa.

Bible memiliki cerita-cerita tentang Nabi Abraham (Ibrahim -pent) dan David (Dawud -pent) yang sangat aneh. Aku tidak dapat mengerti bagaimana Nabi-nabi dapat bertindak sebagaimana Bible ceritakan.

Ada sangat banyak hal lain yang membingunganku tentang Bible, tetapi aku tidak bertanya. Aku takut untuk bertanya -aku mau dikenal sebagai “anak baik”. Alhamdulillah, ada seorang anak laki-laki yang bertanya, dan terus bertanya.

Masalah paling kritis adalah tentang ide Trinitas. Aku tidak dapat mengerti. Bagaimana bisa Tuhan memiliki tiga bagian, yang salah satunya manusia? Karena aku pernah mempelajari mitos Yunani dan Roma di sekolah, aku berpikir bahwa ide Trinitas dan orang suci yang sakti sangat similar dengan ide Yunani dan Roma yang memiliki banyak -yang mereka sebut- dewa yang bertanggung jawab atas aspek-aspek berbeda dalam hidup. (Astaghfirullah!)

Anak laki-laki tadi bertanya banyak pertanyaan tentang Trinitas, menerima banyak jawaban, namun tidak pernah puas. Begitu pula aku. Pada akhirnya, guru kami, seorang Profesor Theology dari Universitas Michigan, menyuruhnya berdoa untuk diberikan keimanan (akan Trinitas -pent).

Aku pun berdoa.

Ketika aku di high school (setara SMU -pent), diam-diam aku berkeinginan menjadi biarawati. Aku tertarik kepada pola ibadah beberapa kali perhari, kepada hidup yang seluruhnya terabdikan kepada Tuhan, dan kepada cara berpakaian yang menunjukkan gaya hidup agamaku.

Namun, hambatan untuk keinginan ini adalah bahwa aku bukan Katolik. Aku tinggal di kota di mana orang-orang Katolik adalah kaum minoritas, tidak popular dan berbeda!

Di kampus, aku terus berpikir dan berdoa. Mahasiswa-mahasiswa sering bicara tentang agama, dan aku mendengar banyak ide-ide berbeda. Seperti layaknya Yusuf Islam, aku belajar -yang mereka sebut- agama dari Timur: Buddha, Confucianism (Kong Hu Cu), dan Hindu. Tidak membantu.

Aku bertemu seorang muslim dari Libya, yang memberitahuku sedikit tentang Islam dan Kitab Suci Al Qur’an. Dia berkata padaku bahwa Islam adalah agama modern, paling up-to-date yang telah diturunkan. Karena dalam pikiranku saat itu Afrika dan Timur Tengah adalah tempat yang terbelakang, aku tidak dapat melihat Islam sebagai agama yang modern.

Keluargaku membawa muslim Libya ini ke sebuah misa Natal. Misa tersebut sangat indah, tetapi di akhir acara, dia bertanya, “Siapa yang telah membuat prosedur-prosedur ini? Siapa yang mengajarkanmu kapan harus berdiri, menunduk, dan berlutut? Siapa yang mengajarkanmu cara berdoa?”

Aku menceritakan kepadanya tentang awal sejarah gereja, namun pertanyaannya membuatku marah di awal, dan kemudian membuatku berpikir.

Apakah orang-orang yang telah membentuk misa benar-benar berkualifikasi untuk melakukannya? Bagaimana mereka tahu ibadah itu harus seperti apa? Apakah mereka memiliki instruksi dari Tuhan?

Aku sadar kalau aku tidak percaya kepada banyak ajaran-ajaran Kristen, tetapi terus menghadiri gereja. Ketika jemaat membaca ayat-ayat yang aku percaya sebagai hinaan kepada Tuhan, seperti Nicene Creed, aku diam -Aku tidak membacanya. Aku merasa seperti alien di gereja, seperti orang asing.

Sebuah sensasi! Seseorang yang sangat dekat denganku, karena memiliki masalah rumah tangga ia mendatangi gereja untuk mencari jalan keluar. Mengambil kesempatan dari kesedihannya, ia dibawa ke sebuah motel lalu diperkosa.

Hingga saat itu, aku belum pernah berpikir secara mendalam peran dari seorang pendeta dalam kehidupan seorang Kristen. Sejak saat itu aku harus. Kebanyakan pemeluk Kristen percaya bahwa pengampunan datang melalui layanan “Komunitas Suci”, dan layanan tersebut harus dilaksanakan oleh rahib atau pendeta terpilih. Tanpa pendeta, tidak ada pengampunan.

Aku pergi ke gereja lagi, lalu duduk dan melihat pendeta-pendeta di depan. Mereka tidak lebih baik daripada jemaat-beberapa di antara mereka bahkan lebih buruk. Bagaimana mungkin perantaraan seseorang, yang manusia biasa, diperlukan untuk berhubungan dengaan Tuhan? Kenapa aku tidak bisa berhubungan dengan Tuhan secara langsung, dan menerima pengampunanNya tanpa perantara?

Tidak berapa lama kemudian, aku menemukan terjemah Qur’an di sebuah toko buku, membelinya dan mulai membacanya. Aku membacanya selama delapan tahun. Dalam masa itu pula aku meneliti agama-agama lain.

Semakin dewasa aku semakin menyadari dan takut akan dosa-dosaku. Bagaimana aku tahu bahwa Tuhan akan memaafkanku? Aku sudah tidak percaya lagi jalan Kristen untuk memperoleh pengampunan akan berhasil. Dosa-dosaku terasa sangat berat, dan aku tidak tahu bagaimana cara terlepas dari beban tersebut. Aku mencari pengampunan.

Aku baca di dalam Qur’an,

“..Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri). seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.) Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?”

(Al Maaidah: 82-84)

Aku mulai berharap bahwa Islam punya jawabannya. Bagaimana supaya aku bisa tahu dengan yakin?

Aku melihat muslim-muslim beribadah di berita TV, dan aku tahu mereka memiliki cara khusus untuk itu. Aku menemukan sebuah buku (ditulis oleh non-muslim) yang menjabarkannya, lalu aku mencoba melakukannya sendiri.. (saat itu aku tidak tahu Thaharah -bersuci, pent- dan tidak sholat dengan benar). Begitulah aku sholat, sembunyi-sembunyi dan sendiri, selama beberapa tahun.

Pada akhirnya, delapan tahun setelah aku membeli Qur’anku yang pertama, aku baca:
“..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu..” (Al Maaidah: 3)

Aku menangis bahagia, karena aku tahu bahwa, sejak dahulu kala, sebelum Bumi diciptakan, Allah telah menulis Qur’an ini untukku. Allah telah tahu bahwa Anne Collins, di Cheektogawa, NY, USA, akan membaca ayat Qur’an ini pada bulan May tahun 1986, dan akan terselamatkan.

Saat itu aku tahu bahwa banyak hal yang harus aku pelajari, misalnya bagaimana cara sholat dengan benar, yang mana Qur’an tidak menjelaskannya dengan detail. Masalahnya adalah aku tidak kenal dengan seorang muslim pun.

Muslim lebih banyak terlihat di US sekarang dibanding saat itu. Aku tidak tahu di mana bisa bertemu mereka. Aku menemukan nomor telepon Islamic Society dan menghubunginya, namun ketika seseorang mengangkatnya, aku panik dan menutup teleponku. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana mereka akan menjawabku? apa mereka akan curiga? Bagaimana mereka mau menerimaku, sementara mereka saling telah memiliki satu sama lain dan telah memiliki Islam?

Dalam beberapa bulan selanjutnya, aku mencoba menelepon masjid beberapa kali, dan setiap kalinya aku menjadi panik dan menutup teleponku.

Pada akhirnya, aku melakukan tindakan pengecut: Aku menulis surat untuk meminta diberikan informasi. Seorang pria muslim yang baik dan sabar menelponku, dan mulai mengirimiku pamflet tentang Islam. Aku katakan padanya bahwa aku ingin menjadi seorang Muslim, tetapi ia berkata padaku, “Tunggu sampai kamu yakin”. Aku merasa sedih ketika ia menyuruhku untuk menunggu, tetapi aku tahu dia benar bahwa aku harus yakin, karena sekali aku telah menerima Islam, semuanya tidak akan sama lagi.

Aku menjadi terobsesi dengan Islam. Aku memikirkannya siang dan malam. Aku menyetir mobilku ke masjid (pada saat itu, di dalam sebuah rumah tua) dan berputar berkali-kali, berharap melihat seorang muslim, dan bertanya-tanya dalam diriku sendiri seperti apa di dalam masjid itu.

Pada akhirnya, suatu hari di awal November 1986, ketika aku sibuk di dapur, tiba-tiba aku sadar bahwa aku adalah seorang muslim. Masih bertindak pengecut, aku mengirim surat ke masjid. Isinya, “I believe in Allah, the One True God, I believe that Muhammad was his Messenger, and I want to be counted among the witnesses (Aku percaya kepada Allah, Tuhan Yang Satu dan Benar, aku percaya bahwa Muhammad adalah utusanNya, dan aku ingin dimasukkan ke dalam orang-orang yang menjadi saksi)”

Keesokkan harinya, pria muslim itu meneleponku lalu aku mengucapkan syahadahku di telepon kepadanya. Ia mengatakan bahwa saat itu Allah telah mengampuni semua dosaku, dan bahwa aku suci seperti bayi yang baru lahir.

Aku merasa beban dosa jatuh dari bahuku, dan aku menangis bahagia. Aku tidur sedikit malam itu, dan mengulang-ulang nama Allah. Ampunan telah diberikan. Alhamdulillah.

Diterjemahkan dari Islamway.com dengan diedit tanpa mengubah esensi. Text asli dapat dilihat di link tersebut.

(http://jilbab.or.id)

Usai Menyaksikan Jenazah Raja Fahd, Seorang Pendeta Italia Masuk Islam

Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.

Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.

Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.

Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.

Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”

Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”

Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…(istod/AH)

(http://www.alsofwah.or.id)

Minggu, 03 Juni 2012

Kisah Bertaubatnya Pemimpin Komunis LEON TROTSKY

Leon Trotsky adalah salah seorang yang paling terkenal di antara sejawatnya di partai komunis, salah seorang pemikir terbesar dikalangan mereka, dan termasuk orang kedua setelah Lenin. Ia pernah memegang urusan luar negeri setelah terjdinya pemberontakan, bahkan semua permasalahan yang berkaitan dengan peperangan diserahkan kepadanya. Ia seorang Yahudi tulen, nama aslinya adalah Brustalin, Lahir pada Tahun 1879 M, dan diasingkan dari negerinya pada tahun 1940 M.

Namanya sangat terkenal, demikian juga banyak sekali orang yang menulis biografinya, namun -sangat disayangkan sekali- sedikit sekali orang yang menceritakan tentang keislamannya. Disebutkan dalam sebuah majalah Islam yang bernama al-Hidayah, edisi ke-7 jilid I, sebagai berikut: “Trotsky memeluk Islam ditengah-tengah lingkungan yang tidak mengenal Islam.”

Dibawah judul tersebut disebutkan :

Surat kabar yang telah menceritakan tentang masuknya Trotsky ke dalam agama Islam, yakni ketika ia diasingkan ke Turki. Disebutkan kisah tentang keislamannya bahwasanya ketika mengidap suatu penyakit di Astanah, ia memanggil mufti Astanah untuk menjenguknya dan mufti itupun memenuhi undangan tersebut. Pada waktu itu, pertemuan mereka disaksikan oleh reporter Koran “Waqtut Turkiyah”. Dalam perbincangannya, Trotsky berkata : “Dahulu aku adalah seorang penganut Yahudi, hanya saja landasan agamaku tidak sesuai dengan beberapa rabbi (pendeta Yahudi) sehingga mereka mengharamkan dari agama yang aku anut. Namun, semua itu tidak terlalu aku perhatikan. Sebab, landasan agama bangsa Israil tidak bisa membuat aku berkembang sehingga aku pun tidak memprotes ataupun merasa keberatan.”

Adapun sekarang ini-sementara usiaku terus bertambah,sebagaimana orang-orang lain- aku sangat membutuhkan keyakinan dan agama samawi yang benar. Oleh karena itu, pernah suatu hari aku berpikir untuk memeluk agama Nasrani, namun aku mengurungkan niat itu karena kebencianku untuk memeluk agama kekaisaran yang sewenang-wenang dan tindakan para rahib (pastor) yang jahat. Akhirnya, dihadapanku tidak ada pilihan lain selain agama Islam, yang telah kuteliti dengan seksama dan aku mendapatkan berbagai keutamaan yang mulia di dalamnya.

Di antara keutamaan yang aku dapatkan adalah Islam menganjurkan pemeluknya untuk berdiskusi dan melakukan penelitian terhadap pokok-pokok yang melandasi agama ini. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk memeluk agama ini, lalu mufti yang terhormat akan makan malam bersamaku, kemudian beliau akan mengajarkan syari’at-syari’at Islam secara menyeluruh.” [1]

Setelah memaparkan berita tersebut, Syaikh Muhammad al-Khadr Husain mengomentari berita tersebut, beliau berkata : “Trotsky telah menceritakan kepada kita bahwa ia memeluk agama Islam setelah melakukan penelitian secara seksama terhadap hakikat syari’atnya yang indah.”

Barang siapa yang memperhatikan bahwasanya Trotsky yang hidup dan tumbuh ditengah-tengah lingkungan yang sama sekali tidak Islami, didoktrin dengan keyakinan berlandaskan asas yang tidak sesuai dengan tabiat agama yang lurus, dan tinggal dikalangan orang-orang yang menentang Islam maka dapat dipastikan bahwa orang sepertinya tidak mungkin masuk Islam kecuali atas dasar atau hujjah yang jelas.

Bukanlah suatu hal yang aneh bila Trotsky memeluk agama Islam. Sementara di pihak lain, sekelompok orang tertentu yang sudah bertahun-tahun memeluk agama Islam malah berpaling dari agama yang dianutnya. Sekelompok orang yang berpaling tersebut belum memperhatikan hakikat Islam yang sebenarnya, sebagaimana seorang petualang yang mencari kebenaran hakiki. Semua ajaran Islam hanyalah bagaikan gambar-gambar yang tertempel pada hati mereka, tanpa mereka mengenali rahasia-rahasia yang ada dibaliknya. Sebenarnya mereka yang menjauh dari Islam, bukanlah disebabkan karena tidak mengetahui sama sekali tentang agama tersebut.

Satu keinginan kita yang terpenting yaitu memperbaiki cara dan metode pembelajaran dan pengajaran Islam yang benar, dengan demikian, hal itu akan memudahkan setiap orang yang sedang mempelajari hakikat ajaran Islam untuk sampai pada inti syari’at itu dan menembus hikmahnya yang agung.

Seandainya orang-orang yang bertanggung jawab dalam urusan agama berusaha keras dengan memaparkan hujjah yang jelas dan penjelasan tentang hikmah maka tentulah orang yang memeluk agama Islam seperti Trotsky akan bertambah banyak.”[2]

Wallahu A’lam.

Note :

[1] Al-Hidaayatul Islaamiyyah karya Muhammad al-Khadr Husain, jam’u dan tahqiq ‘Ali ar-Ridho al-Husaini (hal.163) Lihat juga surat kabar al-Ahraam edisi ke-19, April tahun 1929M.

[2] Al-Hidaayatul Islaamiyyah (hal.163-164)


Sumber : Diketik ulang dari buku “Cara Bertaubat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd. Hal 443-445. Cetakan 1 – 1421 H. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Dokter Wanita Jerman Masuk Islam Setelah Melakukan Penelitian Penyakit Kelamin

Aku pernah berziarah pada sebuah markas Islam di Jerman. Kulihat di sana ada seorang wanita berhijab dengn hijab syar’i yang menutup seluruh tubuhnya. Sedikit sekali ditemukan wanita seperti itu di Barat. Akupun memuji Allah atas hal tersebut. Kemudian salah seorang ikhwan memberikan isyarat kepadaku untuk mendengarkan kisah keislamannya langsung dari suami wanita tersebut. Maka ketika aku duduk bersamanya, dia bercerita:

Istriku adalah seorang wanita Jerman. Demikian pula orang tua dan nenek moyangnya. Dia seorang dokter spesialis penyakit wanita dan kandungan. Dia memberikan perhatian khusus terhadap penyakit-penyakit kelamin yang menimpa kaum wanita. Kemudian dia mengadakan berbagai penelitian atas banyaknya kaum wanita berpenyakit kelamin yang datang ke polikliniknya. Kemudian salah seorang dokter spesialis menyarankan agar dia pergi ke Negara lain untuk menyempurnakan penelitiannya pada lingkungan yang secara relatif berbeda.

Maka pergilah dia ke Norwegia, selama tiga bulan. Ternyata dia tidak mendapati sesuatu yang berbeda dari yang telah dilihatnya di Jerman. Kemudian dia memutuskan untuk bekerja di Arab Saudi selama setahun.

Berkatalah dokter wanita tersebut: “Ketika aku berkeinginan kuat untuk hal tersebut, aku mulai membaca tentang daerah, sejarah dan peradabannya. Aku merasakan adanya pelecehan yang besar terhadap para wanita muslimah. Aku sangat heran mengapa mereka rela dengan kehinaan hijab [jilbab-ed] dan pengekangannya dan bagaimana mereka bisa bersabar sementara mereka dihinakan dengan kehinaan ini?!

Tatkala aku sampai di Saudi, aku baru tahu kalau aku terpaksa mengenakan abayah [jubah hitam panjang yang menutup kedua pundakku]. Akupun merasakan kesempitan yang luar biasa seakan-akan aku mengenakan tali besi yang membelengguku dan melumpuhkan kebebasan dan kehormatanku!! Akan tetapi aku memilih untuk menanggung itu semua dengan harapan agar aku bisa menyempurnakan penelitian ilmiahku.

Tinggallah aku berkerja pada sebuah poliklinik selama empat bulan berturut-turut. Aku telah melihat kaum wanita dalam jumlah yang besar, akan tetapi aku tidak mendapati seorang wanitapun yang memiliki penyakit kelamin. Mulailah aku merasa bosan dan cemas.

Haripun terus berlalu hingga aku telah menyempurnakan masa kerjaku selama tujuh bulan. Sementara aku masih dalam keadaanku yang semula. Hingga suatu hari aku keluar dari poliklinik dalam keadaan marah dan tegang. Kemudian salah seorang perawat muslimah bertanya kepadaku tentang sebab kelakuanku tersebut. Akupun mengabarkan kekecewaanku karena tidak mendapati penyakit kelamin yang kucari. Diapun tersenyum dan berkata lirih dengan bahasa Arab yang kau tidak memahaminya. Aku bertanya kepadanya: “Apa yang kamu katakan tadi?” Dia menjawab: “Itu adalah buah kesucian, dan konsekuensi dari firman Allah:

وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ

Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya [Al-Ahzab: 35]

Ayat ini menggoncangkan jiwaku dan mengenalkan hakikat sesuatu yang tidak aku ketahui. Itulah jalan pertamaku untuk mengenal agama islam dengan benar. Akupun membaca Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu’alayhiwasallam hingga Allah melapangkan dadaku untuk menerima Islam. Aku yakin bahwa kemuliaan serta kehormatan seorang wanita ada pada hijab dan kesuciannya. Dan aku mendapati bahwa tulisan-tulisan Barat tentang hijab dan wanita muslimah kebanyakan ditulis dengan semangat “Barat arogan [congkak]” yang tidak mengetahui kemuliaan dan sifat malu.

Sesungguhnya nilai sebuah kehormatan tidak tertandingi oleh sesuatupun dan tidak ada jalan menuju hal tersebut kecuali dengan konsisten terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu’alayhiwasallam. Dan kehormatan seorang wanita tidak akan hilang kecuali jika dia digunakan sebagai permainan oleh tangan-tangan westernisasi dan kepongahan media yang berbisnis dengan pornografi dan pornoaksi.

Dan perkara yang paling kita takutkan adalah kehancuran rumah tangga kaum muslimin sebagaimana hancurnya masyarakat barat apabila kaum muslimin mengikuti terompet dan genderang barat dan seruan orang-orang sekuleris dan liberalis untuk meninggalkan kehormatan hijab, kesucian, rasa malu dan akhlak yang telah diluruskan oleh agama kita dengan manhaj yang sempurna bagi kehidupan umat manusia.

Di antara peringatan yang pantas diperhatikan adalah sebuah laporan belakangan ini yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] tentang penyebaran penyakit AIDS di kawasan Arab. Penelitian yang telah diterbitkan tersebut sangat menyakitkan, menunjukan adanya fakta menyedikan. Sungguh sangat disayangkan!!

Sesungguhnya penyakit ini adalah buah busuk dari kebebasan akhlak dan penyimpangan lawan jenis. Buah dari peperangan sengit yang mematikan yang diarahkan oleh media massa terhadap akhlak dan adab islam. Buah dari sapuan topan film dan sinetron menjijikan yang disiarkan oleh banyak statsiun televisi dari belahan timur maupun barat.

Buah dari ajakan terselubung para pengajak kenistaan dan kerusakan yang mendorong para pemuda dan pemudi Islam memenuhi teriakan Barat dengan mengatasnamakan kebebasan dan peradaban. Mereka menhiasi perbuatan keji dengan segala warna perhiasan yang menipu. Sesunggughnya keselamatan dari penyakit tesebut dan yang semacamnya tidak akan ada kecuali dengan jujur kembali ke kolam kesucian dan mendidik umat di atas kesucian dan sifat malu serta diatas muraqabah [merasa diawasi oleh Allah] secara tersembunyi dan terang-terangan. Maka hendaklah pena-pena kotor yang senantiasa menyebarkan kekejian, mengajak putra-putri kita untuk terjerumus ke dalam lumpur kenisataan dengan mengatasnamakan kemajuan tersebut diam dan bungkam!

Hendaklah suara-suara setan yang menebarkan ajakan untuk menanggalkan jilbab, ajakan untuk ikhtilath [campur baur laki-laki dan perempuan] dengan mengatasnamakan kebebasan dan peradaban tersebut diam!

Sungguh Allah telah berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat [An-Nuur: 19].

——————————————————————————————————————-

Selesai disalin dari Majalah Qiblati Vol.2/No.1

(http://mukhtashar.wordpress.com)

Ka’bah Menggetarkan Hati Ratusan Pekerja Cina

Hidayat bisa datang dari cara yang tak pernah diduga. Mungkin itu pula yang dialami ratusan pekerja Cina di Arab Saudi yang kemudian memilih Islam sebagai agamanya yang baru.

Setelah melihat Ka’bah dari televisi, tiba-tiba hati mereka bergetar. Pintu hidayah seakan terbuka. Dan Allah Subhana wa ta’ala pun melapangkan jalan mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Lebih dari 600 pekerja asal Cina berpaling menjadi Muslim setelah mendapatkan pengalaman spiritual di Arab Saudi.

Mereka adalah bagian dari 4.600 warga Cina yang sedang mengerjakan proyek rel kereta api yang menghubungkan Makkah dan Madinah. Rel kereta itu nantinya akan melalui Jeddah dan Khum. Peristiwa yang sempat menghebohkan itu terjadi tahun lalu.

Awalnya, kedatangan ribuan pekerja Cina itu sempat dipertanyakan warga Arab Saudi. Pasalnya dari 4.600 pekerja itu hanya 370 orang yang Muslim. Warga meminta agar pemerintah mempekerjakan buruh Cina yang beragama Islam. Namun Allah mempunyai rencana lain dengan kedatangan para pekerja itu.
Kedatangan ke Arab Saudi ternyata membuka peluang bagi mereka untuk melihat Islam langsung dari tanah tempat agama ini diturunkan. Seperti yang dikatakan seorang pekerja yang telah menjadi Mualaf. Pekerja yang telah mengganti namanya menjadi Hamza (42) ini mengaku tertarik pada Islam setelah melihat Ka’bah untuk kali pertama di televisi Saudi. ”Ini menggetarkan saya. Saya menyaksikan siaran langsung sholat dari Masjidil Haram dan umat Islam yang sedang berjalan memutari Ka’bah (tawaf),” katanya.

”Saya bertanya ke teman yang Muslim tentang semua hal ini. Dia kemudian mengantarkan saya ke Kantor Bimbingan Asing yang ada di perusahaan, di mana saya memiliki kesempatan untuk belajar tentang berbagai aspek mengenai Islam,” tuturnya. Kini Hamza merasa lebih bahagia dan lebih santai setelah menjadi seorang Muslim.

Pekerja lainnya, Ibrahim (51), mengalami peristiwa yang hampir serupa pada September tahun lalu. Dia yang bekerja di bagian pemeliharaan perusahaan negara, Kereta Api Cina, menjadi seorang Muslim usai melihat Ka’bah. ”Meskipun kami berada di Cina, kami tidak memiliki kesempatan untuk belajar tentang Islam. Ketika saya mencapai Mekah, saya sangat terkesan oleh perilaku banyak warganya. Perlakuan yang sama bagi orang Muslim dan non-Muslim memiliki dampak besar pada saya,” tambahnya.

Sementara, Abdullah Al-Baligh (51), terinspirasi untuk memeluk Islam setelah melihat perubahan positif dari rekan-rekannya yang lebih dulu menjadi mualaf. ”Enam bulan setelah saya tiba di Makkah, saya melihat bahwa rekan saya, yang sudah menjadi Muslim, telah benar-benar berubah. Tingkah lakunya patut dicontoh. Saya menyadari bahwa Islam adalah kekuatan penuntun di balik perubahan tersebut,” ujarnya.

”Ketika saya bertanya padanya, ia mengatakan bahwa ia sama sekali tak tahu tentang agama ini selama di Cina. Sekarang, ia memiliki pemahaman yang tepat tentang Islam dan ingin menjadi lebih teladan.”
Begitu pula dengan Younus. Pekerja asal Cina ini baru mempelajari Islam ketika berada di Makkah. ”Islam di Cina begitu kurang. Aku baru mengetahui Islam setelah datang ke Saudi,” ujarnya. (Budi Raharjo/Arab News/RoL)

(http://www.dakwatuna.com) 

Seorang Anggota Gerakan Yahudi Radikal Yang Fanatik Masuk Islam

Yusuf Khaththab adalah seorang pemuda muslim yang taat berumur 36 tahun. Dulu namanya adalah Joseph Kouhen. Dia seorang Yahudi Fanatik dan termasuk salah satu anggota sebuah gerakan Yahudi radikal. Dia sangat mengidolakan pemimpin gerakan tersebut yang bernama Yusuf Ofadiya.
Yusuf Khaththab termasuk yang dilahirkan di Amerika Serikat dan telah berhijrah ke Negara Yahudi sejak 8 tahun yang lalu. Sebagaimana orang-orang Yahudi lain yang tinggal di luar Negara Yahudi [yang dikenal di dunia dengan sebutan Negara Israel-ed], dia memimpikan untuk hijrah ke Negara Yahudi dan hidup di naungan Negara demokrasi dan undang-undang yang dibuat pemerintah Negara Yahudi. Dia tinggal di daerah Nativut. Dia memberi nama anak bungsunya, Ofadiya, sebagai bentuk kekaguman terhadap Yusuf Ofadiya, pemimpin gerakan Yahudi radikal tersebut. Dia memasukkan putra-putranya pada pengarahan Taurat dan bekerja pada sebuah perkantoran yang berafilasi pada sebuah cabang kegiatan agama Yahudi.
Setelah Yusuf Khaththab tinggal di Negara Yahudi dan melihat bahwa berita-berita yang dikeluarkan oleh media massa Barat dan Yahudi tentang Negara Yahudi ternyata tidak lain kecuali kedustaan. Ia melihat sendiri apa yang dilakukan orang-orang di Negara Yahudi yang berupa pembantaian melawan penduduk sipil Palestina. Maka mulailah dia merasa benci dengan orang-orang Yahudi. Dia, istri dan anak-anaknya bertekad untuk memeluk Islam dan merubah nama-nama anak mereka dengan nama-nama Islam.
Sebab keislaman Yusuf Khaththab kembali kepada chatting melalui internet bersama dengan seorang ulama Islam yang membuka pintu dialog dan pertukaran pendapat. Semakin dalam dialog keduanya maka semalam bertambah pula keterikatan Yusuf kepada ulama tersebut dan semakin bertambah pula keinginannya untuk lebih mengetahui Islam dan Agama Islam. Pada suatu saat nanti Yusuf Khaththab mengetahui bahwa temannya tersebut adalah seorang Imam masjid di Saudi. Teman tersebut telah menghadiahinya sebuah Mushaf Al-Quran akan tetapi dia menyembunyikannya dari istrinya.
Berlangsunglah pergaulan Yusuf Khaththab dengan sahabatnya yang muslim itu dengan penuh keakraban, keterbukaan dan kepercayaan. Begitupula pendalaman Yusuf terhadap agama Islam semakin bertambah. Pada akhinya, sahabatnya yang muslim tadi mengirimnya kepada sebagian ulama Islam di tanah Quds bagian timur yang membantunya untuk menambah pemahamannya terhadap agama Islam. Para ulama tersebut memiliki peran yang besar dalam menundukkan hatinya terhadap agama Islam.
Setelah itu, Yusuf menyatakan secara terang-terangan akan keislamannya kepada istrinya dan memberinya kebebasan utuk memilih sekalipun dia berharap agar sang istri juga memeluk Islam. Lantas dia menjelaskan keagungan dan keistimewaan Islam kepada istrinya. Sementara itu sang istri meminta waktu kepadanya hingga dia mempelajari Islam. Maka mulailah sang istri mempelajari Islam yang pada akhirnya diapun menyatakan memeluk Islam. Dia menekankan bahwa dia masuk Islam dengan segenap keinginannya tanpa ada paksaan apapun dari pihak suaminya.
Setelah itu Yusuf membawa istri dan keempat anaknya ke pengadilan agama di Quds Timur. Di sana mereka menyatakan keislaman mereka dan mereka berpindah untuk hidup di kampung Arab Thur yang terletak di Dhaffah [tepi] Timur [jalur Ghaza]. Dia merubah namanya dari Joseph Kohen menjadi Yusuf Khaththab. merubah nama putra sulungnya dari Azran menjadi Abdul Aziz. Merubah nama putrinya dari Hidah menjadi Hasibah, merubah nama putra tengahnya Rahmayem menjadi Abdul Majid dan merubah nama putra bungsunya dari Ofadiya menjadi Abdullah. Kejadian ini adalah kejadian yang tidak lumrah, di mana untuk pertama kalinya sebuah rumah tanga Yahudi memeluk Islam secara keseluruhan.
Setelah keislamannya, Yusuf mengenakan pakaian adat Arab dan bergabung dalam sebuah oraganisasi sosial Islam. Sementara istrinya mengenakan hijab, sangat giat menunaikan ibadah shalat lima waktu dan seluruh ibadah dalam Islam. Memasukkan putra-putranya pada sekolah-sekolah Islam dan mereka berbicara dengan bahasa Arab.
Dengan berlalunya harii, Kohen telah berubah menjadi Khaththab dan dengan terang-teragnan dia menyampaikan kebencian terhadap Yahudi, terhadap kezaliman dan intimidasi mereka terhadap bangsa Palestina. Diapun membantu kegiatan ketentaraan yang dibuat oleh orang-orang Palestina. Dia beranggapan bahwa perbuatan buas orang Yahudi-lah yang mendorong orang Palestina untuk melakukan kegiatan tersebut.
Dia berdakwah kepada agama Islam di dalam tubuh orang-orang Yahudi tanpa menghiraukan ancaman-ancaman Yahudi yang terus menerus. Bahkan dengan keberaniannya mengahadpi ancaman menyebabkan dia mengeraskan suara adzan di atas atap bangunan tempat dia tinggal padahal telah disebutkan bahwa dia bisa saja terbunuh pada setiap saat.
Lelaki tersebut menyatakan dalam sebuah webnya yang terus di update:
“AKU ADALAH SEORANG MUSLIM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, AKU MEMAHAMI ISLAM SEBAGAIMANA YANG DIFAHAMI OLEH SALAFUS SHALIH”
Akhiy Yusuf ini telah menyebarkan syarah penjelasan tentang makna Salafiyah yang sebenarnya, [penjelasan pemahaman tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat. Dia telah menjelaskan perbedaan antara ahlus sunnah wa jama’ah dengan firqah-firqah sesat yang menisbatkan diri mereka kepada Isam seperti Syi’ah Rafidhah, Shufiyah dan seterusnya dengan mengacu kepada perkataan para ulama yang terpercaya seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dia mengirimkan banyak surat kepada komandan-komandan Yahudi seperti Sharon. Di dalam surat tersebut dia mengajaknya kepada Islam. Jika tidak, pasti Allah akan menimpakan adzab kepada mereka.
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَوَهَذَا صِرَاطُ رَبِّكَ مُسْتَقِيمًا قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَلَهُمْ دَارُ السَّلامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.” [Al-An’am: 125-127]
———————-
Disalin dari majalah Qiblati edisi Dzulhijjah 1427 H dengan sedikit perubahan
(http://www.facebook.com/note.php?note_id=453595220148&id=1746020677)

Anton Medan (Tan Hok Liang) : Menemukan Hidayah di Penjara

NAMA saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah. Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
 
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.

Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
 Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.

Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.

Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunvai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan saga hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.

Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.

Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.

Proses mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.

Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.

Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.

Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saga lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.

Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.

Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta’ibin.

Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta’ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.

Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pengabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondok pesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.

(Maulana/Albaz) (dari Buku “Saya memilih Islam” Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ ).

Masuk Islam Melihat Bayinya Lahir Membawa Al-Quran


Allah SWT tak pernah berhenti menunjukkan kuasa-Nya. Seorang bayi di Nigeria lahir sembari membawa Alquran dari rahim ibunya. Sejatinya, ibu bayi tersebut beragama Kristen, tapi pasca melihat mukjizat Allah tersebut, sang ibu dan nenek bayi tersebut langsung mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan diri masuk Islam.

Seperti diberitakan harian Pmnewsnigeria, Senin (14/5) kemarin, bayi tersebut lahir di 112 Olateju Street, Mushin, Lagos State, Nigeria Barat Daya pada 7 Mei 2012 lalu. Saat keluar dari rahim ibundanya, bayi tersebut membawa sebuah Mushaf kecil di tangannya.

Kikelomo Ilori, nama ibu bayi tersebut. Wanita 32 tahun yang bekerja sebagai seorang ahli kecantikan langsung mengganti namanya menjadi Sherifat ketika masuk Islam. Hal itu diikuti nenek bayi tersebut yang mengganti namanya menjadi nama Islam.

Kelahiran bayi tersebut pun menyedot perhatian para ulama di negara benua hitam tersebut. Para ulama di Nigeria berkumpul untuk memberikan nama kepada bayi tersebut. Setelah menyampaikan ceramah singkat, seorang ulama Nigeria, Ustad Abdul Rahman Olanrewaju Ahmed, memberikan nama kepada bayi tersebut Abdul Wahab Iyanda Aderemi Irawo.

Untuk menghindari syirik dan kesesatan, Ustad Abdul Rahman juga menasihati sang ibu bila bayinya bukanlah seorang nabi, meskipun ia terlahir dari rahimnya sambil memegang Alquran. Menurutnya, kejadian itu merupakan kehendak Allah, untuk mengirim bayi tersebut ke dunia dengan cara yang menakjubkan.

Dalam acara pemberian nama itu, turut hadir ulama setempat, Sheikh Abdulraman Sulaiman Adangba, Ketua Nasrulifathi Society of Nigeria, NASFAT, Ustadz Alhaji Abdullahi Akinbode, dan Dr Ramoni Tijani dari Alifathiaquareeb Islamic Society of Nigeria.

Kelahiran sang bayi pun memberi berkah bagi tetangga sekampung. Pedagang tumpah ruah menjual berbagai souvenir terkait bayi tersebut, mulai dari kaos, tasbih, dan foto bayi tersebut.

Tak heran bila kelahiran bayi tersebut dianggap kontroversi sebagian pihak. Sebagian pihak berkata mustahil, tapi sebagian lainnya menganggap kejadian tersebut adalah kuasa Tuhan, dimana tak ada yang mustahil bagi-Nya.

Bahkan, seorang dokter dipecat gara-gara mengatakan kejadian tersebut adalah hoax alias berita bohong. Padahal saksi, media dan ibunya sendiri menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
Sumber: pmnewsnigeria.com
 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/05/19/m49osw-subhanallah-bayi-ini-lahir-membawa-alquran

Jumat, 01 Juni 2012

Saya Dikirim Ke Negeri Yang Jauh Untuk Memerangi Muslim

Selama saya di sana, saya pernah menyantap Burger King di Peshawar, menjadi ketergantungan berat dengan obat-obatan dan minuman keras, dan pernah juga mendapatkan hukuman penjara selama 3 tahun. Daya tarik Mike terhadap Islam muncul sejak 2001, saat penerjemah Afghannya memberi ia al-Quran.
Mike sebenarnya memiliki rasa hormat yang begitu mendalam terhadap jiwa orang-orang yang ia perangi dan ingin sekali memahami apa yang terdapat dalam sistem kepercayaan mereka yang membangkitkan pengabdian yang begitu dahsyat dan tidak pernah bisa ia mengerti.

Bulan yang lalu, setahun setelah ia belajar privat dengan Imam Sabur, Mike mengucapkan syahadat di Mesjid Kemble Street, Utica, New York. Saat ini, ia resmi menjadi seorang pengikut agama Islam.

Sebagai seorang Muslim, ia shalat lima kali sehari, membersihkan tubuhnya untuk kemudian bersujud menghadap ke Ka'bah di Mekah. (Pertama kali, dia menggunakan kompas dan menandai arah kiblat dengan solasi di lantainya.)

"Islam," ujar sang imam, "adalah jalan hidup yang lebih dari sekedar agama. Islam mengajari kita bagaimana melakukan segala hal, dan semua itu akan menjadi bentuk ibadah kita terhadap Allah."

Mike sepakat. Ia setuju dengan semua aturan yang ia temui ketika ia menjadi seorang muslim. Tidak terlalu aneh bagi tentara sepertinya. Mike mengatakan bahwa keduanya, antara Islam dan militer, memiliki struktur yang tidak terlalu berbeda. "Militer tidak jauh berbeda dalam hal disiplin dengan Islam."

Setiap hari, ia memantau jadwal shalat dari situs mesjid. Waktu sholat tersebut diatur sesuai dengan posisi matahari terbit hingga terbenam, dan pada beberapa pagi di musim dingin, ia harus bangun lebih pagi pada pukul 04.30 waktu setempat.

Mike memiliki indeks prestasi kumulatif 4,0 di State University of New York, dan berencana untuk mendapatkan gelar Ph.D. lewat penelitian dan konseling trauma jika ia lulus. Ia juga pernah menjadi narapidana yang ditahan karena menderita stress dan goncangan jiwa yang mengerikan.

Jika Paman Sam menggunakan jarinya seperti pointer Oija untuk mencari pemuda-pemuda yang akan dimanfaatkan dalam militer AS, maka kemungkinan besar pointer itu akan berhenti pada Mike.

Dia tinggi, disayangi, tampan, tegak dengan postur tubuh seorang tentara tanpa kekakuan sedikitpun, dan dia berbicara dengan nada santun, penuh keyakinan, cerdas, dan berwawasan luas, juga sering dipilih sebagai pemimpin baik ketika masih berada dalam penugasan dan bahkan saat ia berada di kampus dan komunitasnya.

Mike adalah merupakan salah satu tentara AS gelombang pertama yang dikirim ke Afghanistan pada 2001. Lalu 15 bulan kemudian, ditugaskan sebagai pasukan AS gelombang pertama yang dikirim ke Irak. Sebagaimana banyak veteran tempur lainnya, ia sangat senang membicarakan kenangan lucu yang ia bawa ke rumah.

Ia adalah seorang yang sangat senang ketika mengetahui ada Burger King di Peshawar, Pakistan, yang berbatasan dengan Afganistan. Jika tidak ada angkutan umum yang melintas di Kyber, ia dan kawan-kawannya bisa sengaja membuat perjalanan dari Jalalabad dengan waktu tempuh satu setengah jam. Seperti anak sekolah yang sedang bermain ayam-ayaman, mereka melakukan perjalanan - terdiri dari 12 orang dengan tiga kendaraan yang dipenuhi senjata.

"Kami akan berlari dan memperoleh burger kami, menyantapnya, dan kembali ke Pakistan. Jika berpapasan dengan seseorang, kami dengan mudah akan membunuhnya," aku Mike.

Meskipun begitu, setelah itu ia menjadi ketakutan dan sering mengalami mimpi yang menakutkan.

"Semua bagian tubuh saya," paparnya dengan nada merendah, "seolah-olah terputus satu sama lain."

Namun Imam menolongnya.

"Entahlah, sepertinya saya merasakan sesuatu dari Imam Sabur," kata Mike. "Ia sudah mengajari saya untuk mempercayainya."

Mungkin karena Imam sendiri adalah seorang veteran dan pensiun baru-baru ini setelah berkarir selama 20 tahun di Departement of Correction di New York.

"Mike tahu bahwa tidak ada hal yang baru dan mengejutkan bagi saya," kata Sabur. "Saya hanya mendengar dan mengingatkan bahwa siapapun mungkin saja melakukan kesalahan di sama lalu, dan mungkin juga membuat kesalahan di masa mendatang. Hanya Allah Yang Maha Sempurna, selain-Nya tidak."

Mike menjadi tentara pada 1998. Semester pertamanya di perguruan tidak berjalan dengan baik, dan atas saran paman-pamannya agar ia lebih dewasa dan disiplin, maka ia bergabung dengan dunia militer. Mereka semua adalah veteran angkatan laut, dan mereka bercerita tentang prestasi, petualangan dan persahabatan. Mereka seolah-olah memberikan ia gambaran bahwa kehidupan militer lebih menyenangkan dibanding kuliah. Meskipun ia tahu bahwa tak seorang pun dari pamannya yang pernah terjun ke medan perang.

Setelah perjalanan pertamanya, Mike mengatakan bahwa apa yang diceritakan pamannya adalah benar. Ia ditempatkan di Korea dan Bosnia, mengunjungi 27 negara lainnya, mendapat lencana cantik di seragamnya. Ia pun memperoleh penghargaan dan pengukuhan, dan katanya setiap menit dia menikmati semua itu.

Sebulan sesudah kontraknya selesai, Menara Kembar WTC diserang dan ia kembali ke dinas militer.

Mike ingin menjadi salah satu staf medik dalam Angkatan Perang Istimewa, namun mereka malah menjadikannya seorang spesialis urusan sipil, yang ternyata "tak lain hanya pekerjaan sosial yang begitu diagungkan."

Pekerjaannya adalah melakukan penilaian dan observasi di beberapa desa, berunding dengan tokoh desa tentang sekolah, klinik dan rumah sakit mana saja yang perlu dibangun, dan mengorganisasikan konstruksi bagi mereka.

"Saya adalah orang yang bisa masuk, tersenyum dan bahagia: ‘Lihatlah, kami akan memberikan kalian sekolah.'"

Tetapi dia tidak kebal dari ironi hidup di bekas istana kerajaan tua di Jalalabad, yang katanya "sangat menarik sebelum kami menghancurkannya," atau di Fallujah, sebelum "anggota marinir datang dan dan meluluhlantakkan tempat tersebut," dan kemudian seolah-olah memberikan hadiah bagi para penduduk di sana melalui penggantian berbagai fasilitas yang telah dihancurkan oleh Amerika.

"Mereka tidak menyukai kami karena kami telah menghancurkan semua hal yang mereka miliki," kata Mike. "Dan kami harus melaksanakan pembangunan sebanyak mungkin agar citra pasukan militer AS membaik."

Bagaimana pun, urusan sipil yang ditangani Mike ini adalah tugas yang masih lama harus ia kerjakan. Ia ingin berkontibusi, dan ia "ingin melakukan hal yang menyenangkan, seperti melabrak pintu-pintu rumah dan berperang."

Oleh sebab itu, ia merangkap sebagai spesialis senjata Bravo 18, dan bergabung dengan tim yang benar-benar melakukan pertempuran. Tetapi hanya malam hari. Karena, jika ia keluar dengan mereka di siang hari, maka ia bisa ketahuan. Dengan begitu ia akan mengalami kesulitan "kembali bergabung keesokan harinya dan memberikan 'senyuman' pada musuh-musuhnya."

Tetapi seiring waktu, ia tidak bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan tersebut dengan kebebasan. Selama empat bulan dalam tur pertamanya, dia mulai dihantui oleh mimpi buruk.

Unit medis memberinya Valium dan mengatakan padanya, "Jika anda tidak tidur, kami tidak bisa memakai anda."

Dia mulai mengkonsumsi satu Valium setiap malamnya, tetapi lebih dari sebulan dia memerlukan tiga atau empat Valium untum membuat dirinya dapat tidur.

Dan ia juga mengonsumsi minuman keras. Semua temannya melakukan hal yang sama, di antaranya untuk memunculkan keberanian, karena alkohol pun jadi alasan bagi para prajurit untuk saling berbagi kengerian masing-masing.

"Kami bisa menggunakan 'obat' atau apapun. Apapun yang terjadi, ketika kami kembali, sebelum melucuti senjata dan segala sesuatunya, beberapa orang membawa sebotol minuman keras, dan kami akan membicarakan segala hal."

"Ini biasa kami lakukan. Jika tidak mabuk, kami tidak leluasa mengungkapkan perasaan, khususnya dengan teman-teman kami."

Hal ini terjadi ketika dia sampai ke Irak dan mulai menjadi pemakai obat-obatan yang berat.

"Dengan uang Amerika, anda bisa masuk apotek mana pun, dan mereka akan memberi anda apa pun yang anda inginkan. Saya meminta seseorang menulis Oxycontin dan Valium atas sepotong kertas dengan bahasa Arab, tetapi beberapa lama kemudian, mereka hanya mengenali saya."

Tentu saja, ia menjadi ketergantungan obat dan alkohol. Kemudian, Angkatan Perang mengirimkannya ke Program Pengawasan dan Pencegahan Penyalahgunaan Obat dan Alkohol ketika ia dipulangkan.

Ia tinggal selama delapan minggu dengan kondisi yang serba sunyi dan membosankan, merayakan kelulusannya sebagai seorang tentara dengan 12 pak obat dan pergi ke bar.

Mike tertekan dan ia pernah mencoba bunuh diri. Ia memakan semua obat yang diberikan VA kepadanya.

"Mereka tidak membuat saya mati," katanya, "Oleh sebab itu saya masih terus minum dan jadi lebih tergantung terhadap obat-obatan."

Kemudian Mike menyerahkan dirinya sendiri dan mengajukan diri untuk ditahan di dalam penjara negara.

Setelah ia berhenti menjadi peminum, ia melewatkan hari-harinya di penjara dengan membaca al-Quran, dan dia mulai menghadiri pengajian. Ketika ia keluar dari penjara, dia langsung bergabung dengan komunitas Mesjid Kemble Street dan diminta menjadi imam.

Walaupun demikian, Mike pun menjadi konselor di SUNY dan VA. Ketika ia pertama kali lepas dari pasukan militer, ia merasa dapat mengendalikannya sendirian.

Mike melakukan beberapa perubahan besar dalam hidupnya. Termasuk menyelesaikan Ph.D.-nya. Ia tahu betul bahwa statusnya sebagai seorang yang pernah menjadi penjahat dan pesakitan membuatnya harus melangkah sepuluh kali lebih banyak dibanding rekan-rekannya di kampus.

Namun hal tersebut tidak membuatnya menyerah. Ia teringat kembali perkataan Imam Sabur. Semua orang tidak ada yang tidak pernah melakukan kesalahan. Dan mulai saat ini dan kemudian hari, Mike merasa memiliki kesempatan untuk memperbaiki segalanya dan juga menjadi muslim yang taat dan selalu melaksanakan perintah Tuhan-Nya, sebagai mana yang ia lihat dari orang-orang yang menjadi musuhnya selama berada di medan perang.

"Karena muslim memiliki semangat yang lebih besar bahkan tak pernah bisa terukur ketika ia telah menyadari bahwa keimanannya hanya ia persembahkan untuk Allah. Hal ini sangat jauh berbeda dengan orang-orang Amerika," ujar Mike.
(Althaf/arrahmah.com)

Aisha Robertson, Kehangatan Umat Islam Menuntunnya Menjadi Muslimah

Interaksi dengan teman-teman Muslim selama emapat tahun masa kuliahnya telah memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan seorang Aisha Robertson. Interaksi itu membawa Aisha yang semula menganut agama Kristen pada jalan Islam, agama yang ia peluk sejak tahun 1991.
"Selama empat tahun, saya bergaul dengan teman-teman Muslim dan Muslimah. Mereka semua sangat baik dan banyak membantu saya menuju jalan kebenaran dengan sabar dan telaten," kata Aisha, nama Islam yang digunakan setelah mengucapkan dua kalimah syahadat.
Ketika itu, Aisha sedang menyelesaikan gelar masternya di bidang sejarah. Aisha yang kini berprofesi sebagai guru dan penulis lepas di Wisconsin, AS sebelumnya sudah menyelesaikan gelar kesarjanaan di bidang pendidikan dari Universitas Wisconsin.
Aisha mulai mempelajari Islam secara formal dua tahun sebelum ia memutuskan pindah agama ke Islam. Suatu malam di bulan Agustus tahun 1991, Aisha mencoba mencari berbagai referensi tentang kekristenan di dalam al-Quran. Saat itu, masih ada hal yang mengganjal hatinya dan mencegahnya memutuskan untuk memeluk Islam. Namun ia meyakini adanya jalan "kebenaran" dan jalan langsung untuk berdialog dengan Tuhan.
"Selama ini saya tidak pernah secara penuh menerima konsep-konsep dalam agama Kristen, yang mengatakan bahwa Kristen adalah jalan satu-satunya menuju Tuhan. Saya pernah menanyakan konsep Trinitas pada seorang pendeta, tapi ia tidak bisa menjawabnya yang membuat saya makin ragu dengan ajaran Kristen. Pendeta itu hanya menasehati saya untuk menerima saja konsep Trinitas itu sebagai sebuah keimanan," tutur Aisha.
Ia melanjutkan,"Dengan kata lain, ajaran Kristen tidak perlu masuk akal. Saya diminta mengimani saja konsep itu apa adanya, jika tidak berarti saya bukan seorang penganut Kristen yang baik. Hal ini sangat mengganggu saya. Saya berpikir, untuk apa Tuhan memberikan manusia akal dan pikiran jika kita tidak menggunakannya ketika kita menyangkut masalah penyembahan padaNya."
Itulah awal Aisha tergerak untuk mempelajari agama lain. Ketika berkunjung ke Jepang, Aisha sempat belajar agama Budha. Tapi ia merasa tidak nyaman karena harus menundukkan diri pada patung Budha. Ia pun kembali berusaha untuk menerapkan ajaran Kristen yang ia anut. Ketika itu, Aisha belum tahu sama sekali tentang Islam. Yang ia pahami, Islam hanyalah budaya dan tradisi orang-orang Arab. "Sebuah pemikiran yang sulit dipercaya. Sebagai seorang mahasiswi yang mempelajari sejarah, bagaimana bisa saya memiliki pandangan yang salah tentang Islam. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa buku-buku teks sejarah yang ditulis Barat sudah dengan tidak adil bersikap bias terhadap Islam." papar Aisha.
Akhirnya, malam itu, pencarian dan semua tanya Aisha terjawab. "Alhamdulillah. Saya membaca surat Al-Maidah ayat 82 sampai 85 dan malam itu saya makin yakin bahwa jauh di dalam lubuk hati saya, saya benar-benar ingin menjadi seorang Muslim," ujar Aisha.
Ia mengungkapkan, salah satu aspek yang sangat mempengaruhi keinganannya masuk Islam adalah karena ia melihat bukan hanya Muslim yang begitu semangat dan dengan bangga menjalankan ajaran Islam, tapi juga Muslim yang begitu toleran dengannya yang ketika itu masih seorang non-Muslim.
"Saya menemui banyak sekali Muslim yang seperti itu di Universitas. Saya melihat seorang Muslimah asal Malaysia, dengan anggun mengenakan jilbab dan baju Muslimnya yang panjang dan tanpa canggung berjalan ke kursinya di kelas. Saya bertemu dengan seorang Muslim yang sering datang ke toko buku tempat saya bekerja. Penampilannya selalu terlihat rapi dan bersih," ungkap Aisha.
Setelah memeluk Islam, barulah ia mengerti mengapa Muslim yang dijumpainya selalu terlihat segar dan bersih. Karena seorang Muslim berwudhu lima kali dalam sehari.
Suatu kali dalam perjalanan dengan pesawat terbang, pesawat yang ditumpangi Aisha mengalami turbulensi. Laki-laki yang duduk di sebelah Aisha, yang ternyata seorang pilot, dengan ramah dan sopan mencoba menenangkan Aisha yang gelisah dan ketakutan bahwa semuanya akan baik-baik saja sambil menjelaskan pada Aisha bagaimana pesawat bekerja dalam menghadapi kondisi semacam itu. Belakangan Aisha tahu, bahwa pilot yang dijumpainya itu adalah seorang Muslim.
"Akhirnya saya tahu bahwa mereka adalah Muslim dari berbagai penjuru dunia. Saya kagum dengan cara mereka membawa diri dan menyaksikan betapa mereka bangga menjadi seorang Muslim. Mereka juga sangat toleran dan baik pada saya yang non-Muslim," ujar Aisha.
Setahun sebelum Aisha bertekad masuk Islam, Aisha melihat pengumuman dialog Kristen dan Islam di majalah dinding gereja yang sering ia kunjungi. Di buletin itu Aisha membaca sedikit informasi tentang Islam. Yang membuat ia kagum, dalam buletin itu disebutkan bahwa saat itu ada sekitar satu milyar Muslim di seluruh dunia.
"Jumlah orang Arab saja tidak sampai satu milyar. Itu artinya Islam adalah agama untuk semua orang. Jika begitu banyak orang yang menganut Islam, pastilah ada kebenaran dalam agama itu," pikir Aisha.
Aisha tidak menghadiri dialog tersebut, tapi ia pergi ke perpustakaan untuk mencari arti al-Quran dalam bahasa Inggris. Tiga hari Aisha membaca terjemahan al-Quran dan ia mengakui bahwa Islam ada cara hidup dan berdasarkan pada keseimbangan antara keadilan dan pengampunan. Sejak itu Aisha bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang Islam.
Beruntung, di universitasnya ada cabang organisasi Muslim Student Association. Dari sanalah Aisha banyak mendapatkan buklet-buklet berisi informasi tentang Islam dan berkenalan dengan para mahasiswa dan mahasiswi Muslim. "Saya banyak bertanya pada mereka tentang Islam, tapi tak satupun dari mereka yang mendorong-dorong saya untuk pindah agama. Saya mengagumi kesabaran mereka menjawab semua rasa keingintahuan saya tentang Islam," ungkap Aisha.
Setelah menjadi seorang Muslim, Aisha mengaku sangat bersyukur atas hidayah yang telah diberikan Allah swt padanya. "Saat itu saya seperti melangkah di atas angin. Saya ingin sekali belajar salat dan mengenakan jilbab, meski saya tahu orang akan menatap aneh pada saya dan memberikan komentar yang tidak mengenakkan," tutur Aisha.
Seperti mualaf pada umumnya, Aisha melalui masa-masa sulit untuk menjelaskan pada keluarga bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim. Hampir semua teman non-Muslim Aisha menolaknya, tapi Allah swt memberi ganti teman-teman yang lebih baik buat Aisha.
"Saya pikir, cara terbaik untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya pada Allah swt atas hadiah keimanan yang sangat berharga ini adalah dengan mengatakan bahwa hari-hari terburuk dan tersulit saya sebagai seorang Muslim jauh lebih indah dibandingkan hari-hari terbaik saya saat masih menjadi non-Muslim," tandas Aisha.
(ln/readislam/iol/eramuslim.com)

Abdul Hakeem Heinz: Islam Mengisi Hatiku

Abdul Hakeem Heinz baru berusia 7 tahun ketika ia pertama kali mengenal Islam. Usia yang masih sangat muda. Heinz bersama seorang saudara perempuannya masuk Islam mengikuti sang ibu yang ketika itu menjadi mualaf. Heinz dan keluarganya adalah Kristiani sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat.
Karena masih sangat muda, perubahan itu membuat Heinz syok. Heinz yang bisanya pergi ke gereja dan hidup di zona nyaman dengan menjalankan ajaran-ajaran Kristen, tiba-tiba harus berkenalan dengan ajaran Islam yang menurutnya ketika itu sangat ketat. Ia harus belajar menjalankan salat lima waktu sehari dan puasa. Belajar membaca al-Quran dan bahasa Arab tanpa mengerti mengapa ia harus menjalani itu semua. Tidak mudah bagi Heinz untuk menjalani itu semua dalam usia yang masih sangat muda.
Tapi seiring pertambahan usia, Heinz memahami bahwa kebingunan yang dialaminya ketika kecil adalah hal yang wajar. Sebagai anak yang beranjak remaja, akan banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya tentan apa itu hidup. Sedikit demi sedikit Heinz memahami ajaran Islam lebih dalam dan ia bisa menerima ajaran itu. Semakin banyak tahu tentang Islam, Heinz makin jatuh cinta dengan Islam dan ia memandang Islam sebagai jalan yang benar yang ia tempuh.
Lingkungan di tempat Heinz tinggal di masa awal remajanya di selatan kota London, membuatnya terpaksa menyembunyikan identitasnya sebagai Muslim. "Di awal remaja saya, menjadi seorang Muslim adalah hal yang memalukan. Di sekolah, pelajaran yang sama terima, Islam disamakan dengan agama seperti Hindu dan Sikh," kata Heinz.
Itu membuat Heinz sempat berpikir bahwa Islam dan penganutnya dianggap berbeda dengan masyarakat pada umumnya di London. Sampai di sekolah menengah pertama, Heinz masih menyembunyikan identitas Islamnya. "Itu karena tekanan dari luar," ujar Heinz. Ketika itu ia hanya tidak mau dianggap berbeda dan ingin berbaur dengan lingkungannya.
Pandangan Heinz mulai berubah ketika ia berusia 14 tahun. Setelah ia melakukan perjalanan ke Spanyol dan Belanda. Perjalanan ke Spanyol yang paling mempengaruhi Heinz dalam hal bagaimana ia mulai terbuka mengakui dirinya sebagai Muslim dan menjalankan ibadah sebagai seorang Muslim.
"Waktu saya di Spanyol, saya melihat warga Muslim menjadi kelompok masyarakat minoritas. Tapi mereka dihormati dan anak-anak seusia saya sangat antusias belajar Islam. Melihat itu, saya tidak malu lagi untuk mengakui sebagai Muslim. Sebaliknya, melihat mereka saya jadi bangga sebagai seorang Muslim," tutur Heinz.
Usia 15 tahun, Heinz kembali ke London dan kembali ke sekolah dengan rasa percaya diri dan mulai berani bicara secara terbuka tentang Islam. "Akhirnya, saya bisa mengatakan bahwa saya Muslim," tukas Heinz.
Sejak itu, ada perubahan sikap di kalangan teman-temannya di sekolah terhadap Islam. "Waktu itu, menjadi seorang Muslim jadi keren dan itu membantu saya untuk lebih percaya diri. Satu yang membantu saya untuk melewati situasi ini adalah sikap berserah diri saya pada Allah," sambung Heinz.
Di waktu luangnya Heinz membaca dan menghapal al-Quran. Ia merasa ada sesuatu yang selalu membawanya dekat pada kebesaran Allah dan Islam. Seperti remaja-remaja lain pada umumnya, Heinz juga mengalami masa-masa sulit. Tapi ketika ia menghadapi persoalan, ia salat sunah dua rakaat dan mengadukan masalahnya pada Allah. "Saya belajar untuk berserah diri pada Allah," imbuhnya.
Heinz mengatakan, seorang Muslim seharusnya berserah diri pada Allah dan membaca al-Quran setiap hari. Ia merasa dua hal itulah yang menolongnya untuk melewati berbagai kesulitan. Ia juga mengatakan bahwa seorang Muslim harus menjadi dirinya sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.
Usia 17 tahun, Heinz bertekad untuk menjalankan Islam dengan kaffah. Heinz sekarang berusia 23 tahun. Keyakinan Islamnya makin kuat ketika ia berkesempatan berkunjung ke Mesir dan belajar Islam serta bahasa Arab di Negeri Piramida itu. Heinz mengakui, Islam telah membimbingnya untuk tumbuh menjadi orang dewasa karena Islam mengajarkannya etika kehidupan yang tegas dan ketat. Tanpa Islam, Heinz merasa akan kehilangan arah dalam menjalani hidupnya. Untuk itu, ia sangat bersyukur pada Allah yang telah membawanya pada Islam.
"Di jaman seperti sekarang ini, mempelajari Islam sangat penting.Setan ada dimana-mana, mereka ingin menjauhkan kita dari apa yang seharusnya kita lakukan sebagai umat manusia," ujar Heinz.
Ketika di Mesir, ia melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat Muslim sehari-hari sebagai bagian dari masyarakat dunia. "Saya bisa menjadi orang yang lebih sabar sekarang, dan lebih stabil setelah banyak belajar tentang kehidupan para sahabat Rasulullah Muhammad saw," tegas Heinz.
Bagi Heinz sekarang, pilihan terbaik baik seorang lelaki dan seorang perempuan adalah hidup berdasarkan standar-standar yang telah ditetapkan oleh Allah swt dalam ajaran agamanya, agama Islam.
(ln/iol/.eramuslim.com)