Selasa, 01 Maret 2011

Hidayah tak Kenal Warna, Bangsa dan Masa

Al Shahida *) penulis rubrik "Kabar Dari London" Cahaya itu telah mampu menerpa celah relung hati mereka, menerobos tembus kedinding qalbu-qalbu mereka, cahaya yang yang tak kenal warna, bangsa, masa bahkan kendala".

Akhir pekan ini sebetulnya aku berencana untuk diam dirumah. Rest atau rehat. Ingin mengendur regangkan tubuhku, rehat dari berinteraksi, sekaligus ingin bebenah rumah yang begitu lama tak terjamah tangan. Tiba tiba telefon berdering, tanya apa kabar dan menanyakan:"Kak..hari ini kaka sibuk tak, boleh kita jumpa kalau tak pegi mana mana khan ?"

begitu logat Melayu Singapore dari salah seorang adikku, disuatu Sabtu pagi. Kukatakan bahwa aku tidak ada rencana untuk keluar. "Saya hendak menemani 'orang-orang baru' ke masjid besar di Regent Park Mosque. Usroh dimulai jam tigalah, dilantai bawah kak" demikian keterangan Hilaal. Sambil aku berfikir bagaimana caranya merubah rencanaku dari rehat tapi bisa jumpa dengan adikku satu ini. Atau kuundangkah dia kerumah atau haruskah aku ke kota London?

Sambil aku menghabiskan tehku sambil terus berfikir. Aku tengah berhitung, untung rugi, manfaat dan madharatnya. Aku ingin mengundangnya kerumah, namun sepertinya aku tidak siap untuk menjamu orang.Aku tergiur dengan undangannya. Aku tahu disetiap pertemuan selalu membuahkan sesuatu. Aku sangat percaya kalau silaturachmi mendatangkan rejeki, memanjangkan usia, bikjin awat muda. Allhu alam. " Kalau kita jumpa di Mawar restoran, gimana ?

khan cukup sentral, kalaupun kita tak makan tapi bolehlah kita minum teh atau kopi saja, bukan ? aku menawarkan. Akhirnya kita sepakat untuk jumpa pukul 5.30 sore.Mawar Restoran, adalah restoran Malaysia yang terletak disudut jalan, tepat dipersimpangan yang cukup strategis antara Edgward Road dan Sussex Garden, antara persimpangan ke Kilburn, Oxford Street, kawasan Paddington.

Restoran itu sendiri terletak di lantai dasar, basement. Cukup memadai untuk ber-randevous baik untuk organisasi atau sesama teman, dengan menu cukup mewakili dan terjangkau.Aku ditemani oleh salah seorang karibku juga kesana. Saat kami tiba direstoran, .mereka telah berada disana. Oh, ternyata mereka bertujuh, banyak sekali. Kami disambut hangat dan saling memperkenalkan diri.

" Kak kenalkan, ini Terry, James, Ismael, Norman.. Pak Cik dan brother Yunoos", semua berdiri sambil menaruh tangannya di dada mereka, sekedar isyarat tanda hormat. Kami tidak bersalaman. Hilaalpun memperkenalkan namaku."This sister is from Indonesia..her father and my parents knew each other" tambahnya. Mereka mengangguk dan senyum. Iiih santun santun banget siih?.

Aku dipersilakan duduk. Akupun memilih tempat yang sentral untuk memudahkan berbincang. Sementara temanku, Ridwan, pesan makanan dan minuman.***Aku tidak pernah mengira kalau Hilaal membawa teman barunya begitu banyak. Maksudku orang baru disini 'new muslim atau muallaf'' . Buatku ini adalah a nice surprise, kejutan bagus dan aku cukup terperangah menyaksikan wajah wajah baru, wajah bule pula yang betul betul anyar memeluk agama Islam. Aku sangat eksaiting dan mengharu biru menyaksikan ini.Rasanya tak sabar ingin berbincang dengan mereka, semisal wawancara walau tidak resmi banget tentunya. Informal saja. Aku berceloteh dengan mereka. Sambil menunggu pesanan makanan, mulailah mereka kutimbuni dengan pertanyaan yang aku yakin mereka menikmatinya.

Kutanya satu persatu namanya lalu kuucapkan selamat datang pada mereka: "Welcome to Islam, welcome to the club " mereka senyum bahagia mendapat sambutan.

"I am Terry, I live in Uxbridge. I work for Distributor company. I deliver the goods to supermarkets in the country.." ujarnya. Usianya baru 24 . Terry, nampak tinggi, tinggi sekali untuk ukuran pria Inggris. Itulah pria Inggris pertama yang ber'taaruf, memperkenalkan diri dan bercerita bagaimana dia masuk Islam. Lanjutnya:" Saya baru empat bulan memeluk Islam dan saya seneng banget bisa bergabung dan ketemu Bang, brother Hilaal" ujar Terry sambil mereguk minumannya." Apa gerangan yang paling pertama kali menyentak hati anda yang membuatmu menoleh ke agama Islam" tanyaku pada Terry. Dia tampak bingung: "Maksud saya ada kejadian apa yang membuatmu berfikir untuk masuk Islam", aku menjelaskan.

Terry diam sambil berfikir, lalu: " Hmm I dont think I have...". Ternyata Terry tidak memiliki kisah atau catatan sesuatu yang menyentak hatinya yang membuatnya memeluk Islam secara tiba-tiba, inilah keterangan Terry."Saya, mungkin seseorang yang mencari-cari kebenaran, the truth, sesuatu yang membuat saya tenang. Orang tua saya masuk tipe Agnostic barangkali. Mereka tak peduli dengan agama dan merasa tidak perlu dengan agama.

Saya respek itu. Repotnya, dikatakan Atheispun bukan, tapi kalau natalan mereka merayakan. Katanya tradisi. Naah halnya dengan saya memang saya mencoba mencari sesuatu. Saya merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya. Lalu saya belajar agama Budha, kemudian ikutan meditasi, tapi koq saya masih tidak tenang", tutur Terry. Kemudian kutantang Terry dengan gencarnya media yang menyudutkan Islam, serta sikap kebanyakan terhadap Islam dan Muslim. "Does not that put you off to come close to Islam and become Muslim ?", aku mau tahu jawabannya.

" No it does not, it is quite the opposite infact, justru malah sebaliknya, membuat saya bertanya-tanya dan bikin penasaran. Saya ingin tahu apa sih sesungguhnya Islam itu. Saya mencari dimana letak salahnya dan ingin membuktikan bahkan mencocokan dengan apa yang dikatakan media. Sambil saya terus belajar agama Budha" tambahnya. Menurutnya gama Budha belum bisa memberikan ketenangan pada dirinya dan tidak mampu menjawab apa yang ia cari. Utamanya tentang keTuhanan. Saya tahu ada Pencipta, the Creator. Dia cuma ingin meyakinkan bahwa memang ada Sang Pencipta.

Saya masih tetap merasa kosong, ujarnya.
" Saya iseng-iseng main ke google, mencari informasi tentang Islam disana, lalu saya klik ke Islamonline, di sanalah saya temukan info tentang Islam dan saya temukan jawaban-jawaban yang selama ini saya cari, straightforward, simpel, mudah, jelas koq "...demikian Terry.Akhirnya kututup percakapan dengan Terry dan aku mendapat jawaban, diakhir percakapan ia mengatakan bahwa ia cukup groggi menghadapi Ramadhan. Kami semua meyakinkan bahwa tidak akan membuat kita madharat.JamesGiliran bincang dengan James, anak Abege usinya baru 20 tahun ini, lahir dan dibesarkan di Kilburn, London agak ke barat atau NW, mengaku bahwa kedua orang tuanya Atheis. Disekolah James berteman dengan anak-anak Asia seperti India, Pakistan dan Bangladesh. Dengan sendirinya James terbiasa mendengar istilah dan term-term Islam.Dia memilih mata pelajaran Religion pada saat James menjalani ujian terakhir SMU, A level.

James banyak membaca dan belajar berbagai agama yang multi itu sampai ia sempat belajar filosofi yang cukup berat dan serius.Suatu hari James tersentak benaknya memikirkan kematian. Hal ini betul betul membuat James berfikir dan merenung tentang kematian. Kalau ia bertanya pada Daddy dan Mummynya tentu mereka akan mentertawakan. Sebaliknya James juga berfikir tentang kehidupan. Apa tujuan hidup ini sesungguhnya, lalu kenapa kita mati, setelah mati nanti ada apa.

Hal ini terus merasuk dalam hati dan benak James, saat itu James baru menjelang usia 19 tahun.Dari rasa ingin tahunya, James mencari buku berbagai macam agama, termasuk Islam lalu ia pelajari dengan seksama. James ingat dia memiliki teman Muslim lalu ia bertanya dan bahkan terjadi diskusi dengan teman teman ini.Dengan mudahnya teman-teman Muslimnya menerangkan "Apa itu tujuan hidup dan kematian menurut Islam", yang membuatnya terpana.Tak berkutik.

Apalagi mengingkarinya. Seakan ada semburat cahaya menyentuh galbunya.
"You are so confident mates to give me that explanation, they are all answered " responnya pada temannya yang menerangkan dengan penuh semangat dan mudah diterima oleh nuraninya. James memang tipe pemikir, serius dan cerdas."Well...dari kecil kita terbiasa membicarakan kematian, kemudian juga Al-Quran selalu membicarakan dan mengingatkan kita akan kematian, jadi kita tahu jawabnya" dengan pedenya si teman meyakinkkan James.
"Lalu...orang semacam aku ini mau diapakan, taruh dimana? Menurut Tuhan kalian tidak ada tempat buatku kecuali kalau aku percaya pada Tuhan kalian khan ? ".

Bagaimana kalian bisa meyakinkan Tuhamu itu ? James lemparkan pertanyaan ini pada mereka sambil berfikir seribu kali." Its up to you, mate. Our duty is to give you infomation as you needed it - if you are not satisfy..yeah.. read the book about Islam and Alquran is the best reference', saran sang teman yang bicara dengn aksen cogney, maklum Londoner.Pesan sang teman membuatnya mempelajari Islam lebih dalam. Dia pergi ketoko buku Islam, terus dia gali sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan science..banyak disebutkan didalam Al-Quran tentang ini. Artinya Islam tidak bertentangan bahkan sejalan dan saling mendukung. James berfikir. Dia perlu waktu dan perlu memperdalam Islama hingga betul-betul yakin, sesuai dengan apa yang ia cari dan butuhkan.


"Tak lama James menyatakan dirinya masuk Islam, mengikrarkan dua kalimat syahadat. Ia ke mesjid dihari Sabtu untuk belajar Islam, disanalah ia bertemu dengan Hilal dan rekan lainnya, kini James merasa banyak saudara." Islam is so comprehensive and straightforward " ujar James menyimpulkan pendapatnya.IsmaelPria berasal Polandia ini mengaku baru 8 bulan masuk Islam.Sebelumnya ia memeluk agama Katholik. Di London dia baru 2 bulan. Sengaja migrasi ke Inggris karena di Polandia dia betul betul merasa sendirian. Dia akan dikucilkan oleh teman dan keluarganya kalau mereka tahu bahwa ia memeluk agama baru, agama Islam.

"Disana hampir tidak ada Muslim ..mungkin cuma beberapa gelintir saja, bisa dihitung jari dan itupun sembunyi", paparnya dengan aksen Polishnya."Untuk orang Polandia sendiri Islam dianggap sesuatu yang asing, agamanya orang Arab. Sukar saya mencari orang Polandia beragama Islam..entahlah" ujarnya tak yakin.Ismael merasa betah dan senang bisa berada di UK karena kegiatan Da'wah di London begitu banyaknya, aktif, dinamis sekali dan mudah mencari teman disini. Disamping Inggris adalah negara yang paling toleran di Eropa, menurutnya.Aku temui Ismael di gedung WAMY, disuatu hari Jum'at bersama sister Aaishah, sahabatku asal Afghanistan. Ismael tampak hanief..baik dan sangat santun."Ok brother Ismael kini giliranmu cerita tentang kenapa dan apa yang membuatmu tertarik dengan Islam.." aku mulai menggelitik dia. Is senyum. Nampak keningnya berkerut yang berusaha keras mengingat sesuatu.

"Karena saya katholik.. kita kan percaya dengan yang Trinitas itu..." ia memulai." Naah trinitas itu membuat saya bingung, membuat saya gerah dan galau..bayangkan saya dilarang bertanya apalagi berdebat. Seolah kalau kita diskusi menjadi dosa besar. Sedang trinitas tidak bisa menjawab pertanyaanku, kebingunganku" lanjutnya."Ada pengalaman yang menarik dan berkesan pada saat kamu mencari islam.. ?", aku begitu penasaran."Ohh ada sis..saya sering main main ke perpustakaan, library, pergi ke bagian agama dan saya temukan kitab Al-Quran. Entahlah..saya begitu penasaran. Dengan hati hati saya sentuh sang kitab, sepertinya saya menyentuh kristal yang harus saya handle with care, dengan hati-hati sekali. Saya buka lembar demi lembar. Semula saya bingung, karena harus kita baca dari sebelah kanan..tiba tiba saya tergerak untuk membacanya. Surat pertama yang saya baca adalah surat An-Nahl, ayat 68 - 69 , tentang madu.

Saya baca dan saya tekuni setiap kata dan makna yang sarat. Sangat fenomenal. Mengagumkan. Belum lagi yang lainnya, entah saya merasakan sesuatu usai membaca ayat ini..seakan saya jatuh cinta pada Al-Quran" Is bercerita dengan begitu terharu." Surat Al-Ikhlas sudah pasti menjawab tentang the Oneness of God, Ke-Esaan Tuhan ya sis..artinya trinitas yang membuat saya tidak bahagia terjawablah dengan surat ini" tegasnya. Ismael nampak merasa lega telah menyampaikan pengalaman spiritualnya. Pangalaman luar biasa dalam kehidpuan seseorang yang menemukan Tuhannya." Hemm". Aku meng-iyakan dan setuju banget dengan pendapatnya.Kita semua tak bisa mengelak. Begitu paparan dari Ismael, James dan Terry yang memiliki latar belakang dan cerita berbeda dalam mencari kebenaran hingga ia temukan Islam yang menjadi pilihan mereka. Maha Besar Allah.Baik Terry dan James belum memberitahu orang tua mereka tentang Islam dan agama baru yang mereka anut. Pikirnya pada saatnya mereka akan memberi tahu pada orang tua mereka. Kapan? Pada saat mereka cukup matang tentang Islam itu sendiri dan sampai mereka cukup confident, percaya diri untuk mendeklarasikan agama baru mereka, agam Islam. Usai sejenak sambil mereguk minuman kami." Kamu ada rencana merubah nama atau memiliki nama Muslim" aku iseng bertanya pada Terry.

" Hmm..terfikir siih..I think Terry will match with Tariq isn it kayanya suaranya senada dengan...Tariq ya sis" oh ternyata dia mulai berfikir tentang nama Muslimnya, diiringi senyum. "Wow Tariq.. keren ya nanti sama dengan nama Professor Tarik Ramadan"! tambahnya. Tapi aku menyarankan untuk membiarkan surnamenya, nama keluarga, kalau tidak akan merepotkan. Masalahnya nama-nama yang berbau Islam tengah menjadi sorotan dan menjadi kendala pula. Maklum Islamphobic tengah mewabah paska sebelas September. Setiap kita sepakat. Keep you original name !Bisa kutarik kesimpulan bahwa kendati media tetap gencar menjelekkan Islam ternyata hal ini tidak membuat mereka put off, mundur bahkan sebaliknya.***Lewat persahabatan, dibarengi contoh dan sikap yang menyejukkan, penuh persaudaraan..ternyata cahaya itu telah mampu menerobos, menerpa dinding qalbu para pemiliknya. Aku sangat memahami edan mensupport penuh akan gerak langkah dan kerja sdr Hilaal yang masya Allah sangat bijak untuk memupuk terus para pemeluk baru yang butuh dukungan sepenuhnya. Dengan mudahnya, mereka yang ghirrohnya (semangat berIslam) sedang menggelora, akan dengan mudahnya terperangkap oleh mereka yang mengklaim paling taqwa, paling benar yang menurutku kadang berlebihan.Sedang Allah melarang kita untuk berlaku dan bertindak berlebihan dalam mengaplikasikan agama dan dalam hal lainnya. Islam tidak memberatkan."We do our best sis.." tambahnya.

Hingga Ahad kemarin grup ini sudah mencapai anggota sekitar 50 orang dengan latar belakang yang berbeda tentunya baik warna, ras dan kebangsaan. Untuk menghilangkan penyakit assobiyah group kita sepakat untuk tidak diberi nama apapun. Mereka duduk bersimpuh, menyatu karena 'La illah ha illallah. Muhamamad dan Rasulullah". Cahaya itu telah mampu menerpa celah relung hati-hati mereka, menerobos tembus ke dinding qalbu mereka, cahaya yang tak kenal warna, bangsa, warna dan masa."Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tapi Allah memberi pertunjuk kepada orang yang dikehendakiNya dan Allah lebih mengetahui orang orang-orang yang mau menerima petunjuk" ( Al Qashash ayat 56). Allahu alam bisawab
London, 4 Mei 2006 al_shahida@yahoo.com

*) Penulis adalah penulis rubrik "Kabar Dari London" di http://www.swaramuslim.net/

Pengacara Yahudi Peluk Islam setelah 9/11

Seorang pengacara Yahudi, Siebert-Llera yang memeluk Islam setelah serangan 9/11 mengatakan ia sudah menemukan ?sebuah rumah di mana ia dapat menempatkan semua moralnya?.

?Saya merasa seperti akhirnya menemukan sebuah rumah di mana aku dapat menempatkan semua moralku, hal-hal ideal menurutku,? kata Siebert-Llera, pria yang sejak dulu tidak menyukai klub malam dan menghindari alkohol, yang dilarang Islam, bahkan saat harus bekerja sebagai resepsionis pada sebuah klub biru ketika masih berkuliah di San Francisco State University.

Setelah 11 September 2001, Siebert-Llera, yang cukup dapat membedakan antara ekstrimis-ekstrimis Islam yang membajak pesawat dengan mayoritas Muslim yang mempraktikan Islam, memutuskan untuk mengenal Islam lebih banyak.

Ia membeli sebuah al-Quran dan membaca cepat halaman-halamannya. Namun, ia tidak menemukan ayat-ayat yang sebagian orang katakan telah mendukung terorisme.

Dua tahun kemudian di Chicago, ia berjumpa dengan seorang perempuan muda Meksiko-Amerika di Loyola, tempat ia melanjutkan studi pascasarjananya. Suatu hari, sang perempuan itu tiba-tiba memasuki kelas dengan mengenakan hijab. Dia telah beralih kepada Islam.

?Saya sungguh melihat sebuah perubahan di dalam dirinya, seperti kenyamanan dan suatu level umum dari kebahagiaan. Dia seperti berada dalam kemudahan dengan kehidupannya,? kata Siebert-Llera.

Beberapa minggu kemudian, Siebert-Llera menyertai temannya ke ?the Mosque Foundation? di Bridgeview, tempat ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai Islam dan begitu terkesan dengan apa yang ia pelajari.

Ia pun menyadari bahwa Islam bukan sekedar melayani. Islam adalah suatu primer yang mencakup semua hal mengenai jenis kehidupan yang terkontrol, yang sejak lama dirindukan Siebert-Llera.

Ia pun menghubungi orang tuanya dan kakak perempuannya, Andrea, pada 6 Oktober 2004. Keesokan harinya, ia resmi menjadi Muslim.

Setahun menjalani hidup sebagai muallaf, ia berjumpa dengan Huda, sesama mahasiswa hukum, perempuan Amerika keturunan Syiria dan juga Muslimah yang taat. Mereka pun menikah pada 2005. (icc-jakarta.com)

Islam Bukan Teroris

Sebetulnya, hidayah Islam itu sudah dapat saya rasakan sejak kecil dulu, pada saat saya berusia 5 tahun. Saya lahir dari orangtua yang tidak taat beragama. Maklum, ayah-ibu saya Kristen KTP karena tidak pernah ke gereja sama sekali. Walau saya punya orangtua, saya lebih dekat dengan nenek saya, Hulda Gaunitz. Ia adalah seorang petani. Hingga sekarang, saya masih ingat, nenek pernah bilang, "Kamu itu manusia spesial, orang baik, titipan Tuhan."

Saya juga ingat pesan nenek, "Kalau kamu minta sesuatu, mintalah sama Tuhan. Sebelum makan, kamu juga harus berterima kasih sama Tuhan." Seperti itulah nenek yang Kristiani mendidik saya. Ketika saya beranjak dewasa, saya pergi ke kota. Di ujung jalan, nenek sempat mengantarkan kepergian saya dengan lambaian perpisahan. Sejak itulah saya terakhir kali bertemu nenek (1982). Hingga saat ini, saya selalu diingatkan wajah nenek yang telah wafat. Saya tak bisa melupakan kasih sayangnya begitu besar.

Sejak remaja, banyak pertanyaan dalam diri saya tentang dogma agama. Saya merasakan gejolak batin tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Misalnya saja, kenapa untuk ampunan dosa, harus lewat Yesus. Terus terang saya bingung. Karena itulah saya jadi malas ke gereja, dan malas untuk rnembaca Injil. Orang mengatakan Jesus anak Tuhan. Tetapi di Injil saja, saya tidak pernah membaca Isa mengatakan bahwa dia anak Tuhan. Memang, dari dulu saya haus untuk mencari tahu siapa Tuhan, siapa malaikat, dan siapa Muhammad. Soal agama, bagi saya adalah urusan serius. Itulah sebabnya saya tetap yakin bahwa Tuhan Yang Mahabesar itu ada. Tapi bukan untuk meyakini Isa anak Tuhan.

Seiring perjalanan waktu, ketika turnbuh dewasa, saya terbang ke Honolulu, Hawaii, untuk melanjutkan studi di Universitas Hawaii. Lulus kuliah saya sempat masuk angkatan udara selama empat tahun. Di angkatan udara itu, saya rnasuk divisi teknisi pesawat. Dari situ saya mendapat sertifikat internasional sebagai ahli bidang perbaikan pesawat.

Pada tahun 1981-1982, ketika AS sedang mengalami resesi, saya dipecat dan tak lagi bekerja di HL Airline (servis pesawat). Dari tinggal di apartemen, kini tidak punya tempat tinggal lagi. Akhirnya saya terpaksa tidur di belakang mobil saya. Mau makan pun, saya harus ambil rumput laut lalu dijual ke pasar. Tapi, lama-lama tak ada bensin untuk mengangkut rumput laut ke pasar. Sampai di suatu dermaga, saya betul-betul tak bisa kemana-mana. Setelah itu, kondisinya betul-betul parah. Untuk makan sehari-hari saja, saya harus memancing ikan di dermaga. Saat itu, saya sangat bergantung dengan kail. Kalau hari ini saya tak beruntung mendapat ikan, itu berarti saya tidak makan. Sampai tiga hari penuh, saya betul-betul menahan lapar, karena tidak makan sama sekali. Sedih.

Akibatnya, saya dibawa ke rumah sakit (ruang darurat). Dokter bilang, saya terkena radang usus besar. Karena tidak ada uang untuk membayar obat, malam itu juga, saya keluar dari rumah sakit. Sekembali ke mobil, tempat saya berteduh, saya menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil. Ketika itu saya sudah mau mati, apalagi keluarga sudah tidak mau membantu saya lagi. Dengan terisak, saya berdoa, "Ya Tuhanku, saya minta tolong, saya tidak mau Tuhan marah lagi pada saya." Saat itu, saya merasa Tuhan marah pada saya. "Ya Tuhan, saya mohon dikasih jalan yang baik atau saya mati saja," saya berdo'a lagi, penuh harap.

imageKeesokan harinya, di Dermaga (Honolulu Hawaii), saya dihampiri lelaki bule bertubuh besar, tiga kali lebih besar dari saya. Selama berada di dermaga, orang itu rupanya diam-diam memperhatikan saya. Saya masih ingat lelaki besar itu bernama 'Big John' (nama aslinya John Leverette).

Sebelum Big John datang, pernah saya mengejar sisa roti dari seorang laki-laki dan anaknya yang masih kecil. Sisa roti itu dijadikan umpan untuk memancing ikan. Ada tiga roti sisa yang dibuang ke tempat sampah. Sambil menahan lapar, saya berbisik, "Roti itu makanan saya, bukan makanan ikan." Setelah orang itu meninggalkan dermaga, saya langsung lari dan mencari di mana sisa roti itu dibuang untuk saya makan. Waktu itu badan saya kurus kering, hanya kulit dan tulang. Hampir enam minggu, saya menjadi gembel.

Saat bertemu Big John, dia bilang sama saya, "Hei... Jerry, kamu harus ke rumah saya untuk makan." Tapi dasar saya keras kepala, saya sempat menolak ajakan itu. Dulu waktu saya ingin minta tolong, tidak ada orang yang mau membantu saya. Sekarang giliran ada orang yang mau membantu saya, malah saya tolak. Ketika saya menolak, Big John berang dan memegang baju saya dengan kepalan tangannya yang besar. Katanya, "Kamu mau makan sama saya atau kena pukul tangan saya?" Akhirnya, saya mau juga ke rumahnya untuk makan. Di rumah Big John, saya makan enam roti isi hot dog dan satu liter coca cola. Setelah makan, saya istirahat dan bantu-bantu anaknya sebagai babysitter.

Meski Big John tidak percaya adanya Tuhan, ia baik hati dan tulus menolong saya untuk mencarikan pekerjaan. Berkat bantuannya, saya berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk melatih orang Saudi sebagai guru teknisi pesawat. Awalnya, saya membayangkan stigmatisasi Islam teroris yang ditebarkan AS, tapi ternyata tak terbukti ketika saya sampai di sana. Menurut saya, orang Islam itu bukan teroris, tapi orang yang cinta Tuhan. Mereka shalat lima kali sehari on time. Orang Saudi pun baik sama saya.

Sejak itulah saya mulai mempunyai interest tentang apa itu Islam. Yang pasti, banyak hal yang sebetulnya ingin saya tanyakan, tapi saya malu untuk bertanya di depan rekan senegara saya, Amerika. Suatu ketika, saya bertemu dengan orang Yaman, namanya Ahmad. Dialah tempat saya bertanya tentang Islam dan siapa itu Muhammad. Esoknya, saya langsung dibawakan Al-Qur'an, terjemahan bahasa Inggris. Ketika saya membaca terjemahan itu, saya sudah mau nangis. Sayangnya, saya lupa, surat apa sebenarnya yang saya baca. Saya ingat Ahmad bilang, "Ini agama kita. Tak beda dengan agama kamu." Setelah saya meresapi maknanya, saya terhenti, karena tak kuasa menahan air mata. Spontan saja saya berkata dalam hati, semua kitab ini benar.

Selang beberapa hari, saya bertemu orang Indonesia, namanya Rahmat. Ia memberi tahu saya untuk masuk sekolah Islam di Jeddah. Ketika pertama masuk sekolah, saya bilang kepada guru saya, "Saya sekolah di sini bukan untuk mau masuk Islam. Saya datang ke sini untuk mencari informasi tentang Islam." Karena guru saya ramah dan pintar bicara, hanya waktu semalam saja, saya sudah mau masuk Islam. Dan sampai di rumah, saya membaca syahadat di kamar tidur saya dengan bahasa Inggris. Tiga hari kemudian, saya resmi masuk Islam. Itu pada tahun1984.

Banyak tantangan saat saya masuk Islam. Untuk mendapat surat identitas Muslim saja butuh waktu satu tahun, prosesnya sangat berbelit-belit. Pernah, saya diikuti intel, untuk mencari tahu, apakah saya seorang spionase CIA atau bukan. Sampai-sampai, saya dipertemukan dengan hakim nomor dua di Jeddah. Belum lagi ujian ketika kawan senegara saya mulai menjauhi saya. Sampai-sampai saya dipanggil headbanger (ketok kepala). Bahkan, sejak peristiwa 'eleven-nine' (11 September, red), ibu saya mengaku malu punya anak Muslim.

Pernah, di Jeddah, saat saya berhenti di sebuah pompa bensin untuk mengisi bahan bakar, waktu itu tak seorang pun dan satu pun mobil yang parkir di situ. Tiba-tiba, datang orangtua berjenggot, berpakaian ala Arab, matanya putih, seraya meminta uang. Anehnya, saya merasa iba dan memberikan 50 real kepada lelaki tua renta itu. Jujur, seumur hidup belum pernah saya kasih uang sama orang. Tapi begitu saya kembalikan dompet ke celana saya, orang itu sudah menghilang. Merinding badan saya, terasa seperti full AC.

Setelah tiga bulan, saya diajak Rahmat melaksanakan ibadah haji. Saat hendak masuk ke Masjidil Haram, security menghentikan saya, dan saya ditanya, "Kamu mau ke mana?" Rahmat menjawab, "Orang ini mualaf, baru beberapa hari masuk Islam, Ia harus k esini." Seketika itu juga, security jadi terharu dan memeluk saya.

Setelah bekerja selama 2 tahun di Jeddah (1982-1984) dan lama berkenalan dengan banyak orang Indonesia, ia diajak ke Indonesia untuk bisnis diving. Ia sempat bekerja menjadi cameraman di Metro TV. Kini, ia telah menulis dua buah buku : 11-9 The Real Truth dan American Shadow Government (Penerbit Gema Insani). Di dalam buku itu, ia mengungkapkan kebohongan pemerintah AS tentang peristiwa 11/9. "Sebelumnya, 30 penerbit di AS dan Indonesia menolak untuk menerbitkan buku saya. Padahal, saya anggap usaha ini sebagai jihad. Dan saya siap untuk mati. Kalau saya mati, insya Allah syahid dan Allah memberi jalan terbaik dunia dan akhirat bagi saya dan keluarga," katanya.

Apakah tidak takut dituduh teroris? "Mungkin, istri saya lebih takut. Ia takut anaknya kehilangan ayah," ujar Jerry yang kini sudah 19 tahun tinggal di Indonesia. "Sebagai Muslim, saya malu jadi orang Amerika. Apalagi setelah negara saya menangkap 2000 orang Muslim pasca 11/9. Mereka hilang misterius. Karena itu, orang Islam harus disadarkan," katanya.

Itulah pengalaman rohani Jerry "Abdurrahman" Gray, lelaki kelahiran Weisbaden, Germany 24 September 1960. [Amanah-56/XVIII]

Beliau Sekarang Sering mengikuti Berbagai Kajian Islam bersama Hj.Irena Handono


Jerry D Gray : Peristiwa 11 September Sungguh Janggal
Jerry D Gray ingat betul kejadian yang dialaminya tanggal 11 September 2001. Saat itu, mantan kameraman freelance CNBC Asia ini tengah asyik berselancar di internet. Tiba-tiba telepon di sampingnya berdering. "Hidupkan televisimu sekarang!" demikian bunyi suara di ujung sana.

Telepon itu berasal dari ibunda Jerry yang ketika itu berada di Wisconsin, Amerika Serikat. Jerry sendiri menetap di Jakarta -- dia sudah lama tinggal di kota ini sejak tahun 80-an. Mendengar suara gugup ibundanya, tanpa pikir lama-lama, dia pun segera menyalakan televisi.

Terlihatlah suasana menegangkan usai meledaknya menara kembar World Trade Center (WTC) New York, akibat hantaman dua buah pesawat berbadan lebar. Kejadian tersebut disiarkan langsung oleh sebuah stasun televisi asing dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Serta merta, hati Jerry berkecamuk, sedih sekaligus marah melihat banyak orang tak berdosa menjadi korban. Terbayang warga di negara tempat kelahirannya itu panik bukan kepalang.

Itulah awal dari peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi 11 September 2001. Sebuah kejadian yang hingga kini masih menyisakan kisah sedih. Tak hanya bagi keluarga korban yang ditinggalkan, namun juga komunitas umat Muslim di seluruh dunia. Beberapa saat setelah pihak yang berwenang di AS mengadakan penyelidikan, maka ditengarai kelompok teroris asal Timur Tengah berada di balik kejadian tersebut. Karena wilayah Timur Tengah identik dengan agama Islam, serta merta perhatian dunia pun tertuju pada Islam serta para penganutnya.

Media massa Barat dengan segala reportasenya menjadikan momentum itu sebagai sarana untuk mengupas tuntas tentang Islam. Begitu gencarnya pemberitaan tentang peristiwa 11 September dan Islam sendiri, hingga tak jarang -- seperti dikhawatirkan sebagian kalangan Muslim -- media Barat kerap menyudutkan umat Islam.

Hal itu pula yang kemudian membuat Jerry gundah. Berdasarkan pengamatan serta observasi terhadap gambar-gambar berita maupun informasi aktual, lelaki asal AS ini merasa bahwa banyak kejanggalan dan fakta yang disembunyikan oleh kalangan pemerintah serta media massa AS berkaitan peristiwa 11 September tadi. Apalagi kemudian, umat Islam didudukkan sebagai "terdakwa" dalam kejadian ini.

Tetapi, kenapa Jerry merasa resah dengan berita menyudutkan dari media massa Barat terhadap Islam? Jangan lihat dia dari namanya. Jerry, atau tepatnya Haji Jerry, telah menjadi Muslim sejak 1984. Sepulang menunaikan ibadah haji, ia mengantongi nama baru, H Abdurrahman.

Sebagai Muslim, lelaki kelahiran Wiesbaden Jerman, 24 September 1960, ini merasa teriris hatinya dengan tudingan tanpa dasar mengenai keterlibatan Muslim dalam tragedi WTC. Hari-hari selanjutnya, waktunya seperti habis untuk mengikuti pemberitaan 11 September melalui media cetak, televisi, maupun internet. Tapi lama kelamaan, berdasarkan pengalaman sebagai jurnalis televisi, dirinya melihat ada banyak keanehan dan kejanggalan atas kejadian tersebut.

Awal kecurigaannya adalah, bagaimana CNN dapat begitu cepat menyiapkan siaran langsung 11 September ke seluruh dunia? Dari pengalamannya ketika membantu persiapan siaran sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta, paling tidak butuh waktu 20 menit untuk mengeset peralatan bagi keperluan siaran langsung di lapangan.

Dikatakan, rentang waktu antara insiden penabrakan pertama dan insiden penabrakan kedua tak lebih dari 18 menit. "Akan tetapi, CNN sudah mampu menayangkan langsung kejadian tabrakan kedua hanya dalam waktu kurang dari 18 menit dari tabrakan pertama," kata dia dalam bahasa Indonesia yang fasih. Jerry berasumsi, situasi ini yang tidak mungkin terlaksana dalam kondisi normal. "Kecuali jika CNN memang telah mengetahui rencana peristiwa tersebut hingga dapat terlebih dahulu menyiapkan segala peralatannya," imbuhnya.

Sejak itulah batin dan sanubarinya terus didera gejolak. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan, bahwa sebagai manusia dia tidak bisa tinggal diam serta tidak melakukan apa-apa menyangkut kejanggalan ini. The needs of the many outways the needs of the few, begitu prinsipnya. Maka, Jerry pun mulai mengadakan penelitian terhadap semua gambar, pemberitaan, foto, dan video terkait peristiwa mengenaskan itu.

Dari situ makin banyaklah kejanggalan serta keanehan berhasil dia temukan mengenai fakta-fakta kejadian 11 September. Semuanya itu lantas dituangkan dalam sebuah buku berjudul The Hard Evidence Exposed! The Real Truth 9-11. Salah satu kesimpulan pada buku setebal 116 halaman ini adalah: sesungguhnya ada sesuatu lebih besar di balik kejadian 11 September 2001.

Perkenalan Jerry dengan Islam terjadi di Arab Saudi tahun 80-an. Saat itu dia bertugas sebagai mekanik pesawat AU AS serta menjadi instruktur di New Saudi Mechanics. Awalnya, dia mengaku enggan masuk ke Arab Saudi karena merasa takut dengan orang Arab dan Islam. Tapi apapun alasannya, tugas tetap tidak bisa ditolak. Akan tetapi, setelah sekian lama, kekhawatirannya tidak terbukti. Sebaliknya, dilihatnya orang-orang Islam jauh dari kesan teroris. "Mereka sangat cinta Tuhan, selalu shalat lima waktu, mengerjakan puasa dan banyak lagi," kenangnya.

Rasa ingin tahunya terhadap agama Islam pun kian bertambah. Jerry lantas mulai berani bertanya tentang Islam kepada rekan-rekannya yang beragama Islam. Hingga kemudian, seorang rekannya yang berasal dari Yaman membawakannya terjemahan kitab suci Alquran berbahasa Inggris. "Saya pun membaca terjemahan itu, dan seketika usai membaca satu ayat -- saya lupa nama ayatnya -- tak sadar saya menangis," ungkap Jerry.

Usai membaca tiga empat ayat berikutnya, Jerry merasa tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa apa yang tertulis di dalam Alquran adalah benar adanya. Namun hingga saat itu, dia mengaku belum berniat masuk Islam, hanya sekedar ingin tahu saja. Beberapa bulan berikutnya, seorang rekannya dari Indonesia mengajak dia kepada seorang guru agama. "Saya katakan kepada guru itu, saya tidak mau masuk Islam, tapi guru tersebut memintanya ikut mendengarkan ceramah dan pembacaan Alquran di tempatnya."

Pulang dari situ, Jerry banyak termenung. Hatinya berkecamuk. Sampai di rumah dia langsung masuk kamar dan membaca kembali Alquran terjemahan pemberian rekannya terdahulu. Sejak saat itu, hidayah datang kepadanya yang menetapkan niatnya untuk masuk Islam. Setelah masa tugasnya di Arab Saudi berakhir, ia tidak kembali ke AS, tapi memutuskan pindah ke Indonesia. Di Jakarta, mantan mekanik US Air Force tersebut kemudian menggeluti dunia jurnalistik televisi.

Kini setelah sukses dengan bukunya, Jerry lebih giat untuk memantau berita-berita dan informasi tentang Islam. Bukan cuma itu, kegiatannya pun kian bertambah dengan aktivitas dakwahnya di masjid-masjid dan majlis taklim seputar Jabotabek. Kepada saudara-saudara Muslimnya, ia banyak berkisah tentang mulianya Islam dan temuan-temuannya.

Ia juga kerap menyampaikan pesan-pesan singkat, tapi mengena. "Pendek kata, umat Islam harus menunjukkan wajahnya yang ramah dan cinta damai. Jangan reaksi berlebihan karena itulah yang tengah ditunggu-tunggu oleh kalangan media Barat untuk menyudutkan kita," kata dia.

Jerry D.Gray
Kelahiran : Wiesbaden, 24 September 1960
Karier : - mekanik pesawat AU AS
- instruktur selam
- kameraman freelance CNBC Asia
Nama istri : Ratna Komala
Nama anak : Adam

(yus/RioL)

Beranjak dari Titik Nol

Cerita ini kisah dari salah seorang teman mualaf saya. Tulisan lama dan tadinya ditulis untuk sebuah majalah wanita milik teman eks Tsukuba. Sarat dengan hikmah... ada baiknya menjadi sarana pembelajaran buat kita semua. Selamat menyimak... (tarik nafas... jangan lupa sedia minuman & snack, karena yg dibaca bakal puanjaang..!!

Saat itu bulan November 2004, muslimin dan muslimah dari berbagai negara berdatangan untuk menjalankan sholat Ied. Melihat seorang ibu yang tengah sibuk membenahi perlengkapan dua orang anaknya yang menggunakan jilbab kecil ala Indonesia, saya bersama beberapa teman memberanikan diri untuk bertanya dalam bahasa Indonesia kepadanya. ?Yasmin??, begitu muslimah ini memperkenalkan dirinya pada saat pertama kali kami bertemu di satu-satunya musholla di Tsukuba, Ibaraki, Jepang. Ternyata Yasmin ini bersuamikan orang Indonesia dan tinggal tidak jauh dari Tsukuba.

Nama ?Yasmin?, ia dapatkan dari orang tua suaminya yang merasa kesulitan untuk mengucapkan nama jepangnya, Yasuyo. Sudah 6 bulan saya mengenal Yasmin. Kesan saya, dia orang yang mandiri, dan tegas. Kelugasannya dalam berbicara, membuat saya menilai dia mempunyai sifat dasar yang berbeda dengan orang Jepang pada umumnya, yang selama ini saya kenal.


Pertanyaan Yang Mengusik Masa Kecil

Dilahirkan pada tahun 1973 di Tokyo, Satou Yasuyo, merupakan anak pertama dari dua bersaudara di keluarga Satou. Sejak berumur 4 tahun, Yasuyo kecil pindah ke Chiba, sebuah propinsi yang bersebelahan dengan Tokyo. Seperti anak-anak Jepang pada umumnya, Yasuyo tidak mengenal adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.

Ayah dan ibu, sekolah maupun lingkungannya tidak memberi ruang untuk hal-hal yang tidak terlihat oleh mata. Walaupun demikian, di dalam pikiran Yasuyo kecil yang gemar dengan permainan puzzle dan menggambar ini, kerap muncul sebersit pertanyaan, ? Mengapa saya bisa hidup? Mengapa saya menjadi perempuan?......? Seiring dengan waktu, pertanyaan demi pertanyaan begitu saja berlalu, tanpa jawaban.

Memasuki dunia sekolah menengah, semakin banyak pertanyaan yang lebih kompleks, berdesakan di dalam pikiran Yasuyo. ? Apabila di dunia ini ada orang yang berbuat baik dan ada yang jahat, lalu apakah berarti dalam kehidupan ini tidak ada keadilan? ?.

Pertanyaan ini dipicu oleh gencarnya kasus ijime (dalam bahasa Inggris ?bullying?) di tingkat sekolah dasar hingga menengah di Jepang pada saat itu. Dia melihat bagaimana seorang yang di-ijime ini menjadi tersiksa, tidak mempunyai teman, tidak berani melaporkan kejahilan temannya kepada orang tua apalagi guru di sekolah, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena tidak kuat memikul beban sendiri.

Namun, kembali tidak ada jawaban atas pertanyaan yang muncul di pikiran Yasuyo.


Kejenuhan

Lepas dari sekolah menengah atas, Yasuyo memutuskan untuk mendalami bidang fashion. Masuklah ia di sebuah sekolah mode di Tokyo, selama 4 tahun. Lepas dari sekolah tersebut, dia langsung bekerja pada sebuah perusahaan garmen.

Kesibukan pekerjaan, membuat dia harus tinggal menetap di Tokyo, mengikuti perputaran roda kota besar yang penuh sesak dengan kesibukan pekerjaan. Tiada hari tanpa memikirkan pekerjaan.

Setiap langkah selalu berorientasi usaha untuk meningkatkan hasil penjualan pakaian di perusahaan tempatnya bekerja. Suatu hal yang tidak menghasilkan uang, menjadi sia-sia di mata kebanyakan masyarakat bisnis di Jepang.

Di tengah kejenuhan dengan rutinitas tersebut, hati Yasuyo kembali berteriak, ? Bodoh sekali kehidupan seperti ini? Orang-orang hanya memikirkan uang dan uang..?.

Ketidakadilan kehidupan yang menjadi pertanyaannya semasa duduk di bangku smp, kembali mengganggu pikirannya. ? Apabila anak yang dilahirkan dari keluarga yang kaya bisa menikmati hidup dengan mudah, apakah berarti tidak ada keadilan buat anak-anak yang dilahirkan dari keluarga yang miskin ??.

Apabila pada masa kecilnya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya ini tidak pernah diungkapkan kepada orang lain, tetapi kali ini dia mendiskusikannya dengan beberapa teman dekat.

Walaupun kebanyakan teman diskusinya meng-iya-kan pendapat Yasuyo, tetapi diskusi hanya sebatas diskusi. Mereka serasa berada di jurang yang dalam. Mereka tahu kalau keadaan yang mereka jalani tidak baik, tapi mereka tidak kuasa untuk mendaki tebing jurang tersebut. Dan akhirnya, mereka tetap berputar-putar di dalamnya. Apabila kejenuhan datang, pelampiasan sekejap seperti menegak bir dan ke diskotik; itu yang mereka lakukan.


Beranjak dari Titik Nol

Tiga tahun lamanya Yasuyo bertahan dengan pekerjaannya sebagai desainer. Hingga akhirnya dia menyerah kelelahan, dan keluar dari pekerjaannya. Yasuyo menikmati masa-masa yang senggang, bekerja paruh waktu di sebuah department store, hanya sekedar mendapat uang untuk biaya hidup sehari-hari.

Namun, kembali Yasuyo dihadapkan pada kenyataan bahwa waktu yang senggang dan uang yang cukup tidak dapat memberikan ?arti? buat kehidupannya. Dia merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencapai sebuah ?arti? kehidupannya. Perasaan jengah, jenuh, keinginan untuk keluar dari kehidupan yang tengah dijalaninya menjadi semakin kuat.

Yasuyo serasa berada di titik ?nol?. ?Saya sendiri merasa jenuh dengan keadaan waktu itu, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan? Tidak ada jalan keluar.?, begitu yang diungkapkan Yasmin (Yasuyo) mengenai perasaannya saat itu.

Pada saat itu yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia merasa harus membuka lembaran baru, memulai segala sesuatu dari awal. Tetapi bagaimana ?

Ketika Yasuyo dan ibunya berlibur ke Bali, ia dipertemukan dengan calon suaminya saat itu. Belum ada perasaan untuk menikah dengan pemuda yang baru saja dikenalnya itu.

Barulah beberapa bulan kemudian, pada kunjungan ke Bali berikutnya, Yasuyo diminta untuk menjadi istri pemuda tersebut. ?Saya sedikit terkejut. Tetapi, saya melihat bahwa Helmi (red: nama suami Yasuyo) adalah pemuda yang baik. Dan saat itulah, saya melihat jalan keluar yang selama ini saya mimpikan? .?, dan Yasuyo pun diperkenalkan dengan orang tua Helmi.

Tidak ada sesuatu yang memberatkan. Bahkan, Yasuyo serasa mendapat apa yang selama ini dia nantikan, untuk memulai kehidupan baru. Begitu yang ia rasakan, ketika orang tua calon suaminya mensyaratkan Yasuyo untuk ber-Islam, sebelum menikah.

Yang menarik adalah, beberapa aturan dalam Islam yang sempat disampaikan oleh orang tua calon suaminya tersebut, seperti sholat 5 waktu, puasa dan menutup aurat; sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan Yasuyo.

Ia bahkan beranggapan, seorang yang beragama, memang sudah seharusnya mentaati aturan dalam agamanya, dan berkomunikasi dengan Tuhan-nya.

Pada bulan April 2000, Yasuyo mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai langkah awalnya ber-Islam, kemudian pada akhir April di tahun yang sama ia resmi menikah dengan Helmi Masadi, suaminya saat ini. Dan Yasuyo pun, di dalam keluarga barunya di Indonesia, lebih akrab disapa dengan nama Yasmin.

Menjadi seorang mualaf baginya bukan hal yang memberatkan, karena ia saat itu masih menetap di rumah orang tua suaminya di Bali. Beribadah, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mereka jalankan bersama-sama, sehingga Yasmin merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang rutin dan biasa dilakukan.

Ditunjang dengan tekadnya sejak awal untuk memulai kehidupan yang baru, sehingga betapa banyak yang harus ia pelajari, seperti bahasa Indonesia, berbagai aturan dalam Islam, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya; bukan hal yang menyurutkan langkahnya.


Menjalankan Kehidupan Sebagai Muslimah

Setelah anak pertamanya, Aisya berusia 1 tahun, pada tahun 2001, keluarga Yasmin Mashadi meninggalkan Bali, kembali ke Jepang. Kemudian, tiga tahun kemudian lahirlah anak kedua, Sakina, yang saat ini berusia 1 tahun 3 bulan. Kehadiran dua orang anak dalam kehidupannya benar-benar ia syukuri.

Kedua putinya ini juga yang membuatnya semakin terpacu untuk menjalankan Islam dengan bersungguh-sunguh. Walaupun Yasmin merasa tidak mempunyai bekal yang cukup untuk mendidik buah hatinya secara islami, tetapi dengan bantuan suami dan sesama mualaf yang dikenalnya, ia mulai mendalami Islam setahap demi setahap.

Amat sulit mendapatkan buku berbahasa Jepang yang mengupas Islam, sedangkan membaca tafsir Al Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang pun, masih sulit buat Yasmin.

Sehingga, tidak jarang di sela-sela waktu luangnya bersama suami, Yasmin banyak bertanya tentang hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan semakin ia mendapat jawaban dari pertanyaannya itu, semakin ia bersyukur atas hidayah Allah s.w.t. kepada dirinya. Ia merasa sangat beruntung dan sedang menapaki jalan kehidupan yang benar.

Saat ini pun Yasmin masih ingin lebih banyak mengetahui pengalaman hidup sesama mualaf di Jepang, terutama bila menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan sanak saudara dan teman-teman yang non Islam, tetapi jarak dan waktu menjadi kendala untuk lebih sering berkomunikasi dengan mereka.

Dari ungkapan Yasmin, tersirat dan tersurat bahwa beberapa kendala tersebut tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasratnya untuk semakin mendalami Islam.

Pengalaman masa lalunya, menjadi cermin bagi Yasmin untuk memberi yang terbaik untuk kedua buah hatinya. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan (sekolah) di Jepang tidak banyak memberi sentuhan moral dan agama bagi anak-anak.

Mereka pesat dalam mempelajari ilmu pengetahuan tetapi tidak ada pengisi jiwa/hati, sehingga apabila sesuatu terjadi di luar kemampuan mereka, anak-anak itu tidak mempunyai pegangan dan terlempar ke keterpurukan jiwa; seperti apa yang dialami Yasmin dahulu.

Oleh karena itulah, ia berpendapat, sedini mungkin ingin mengenalkan anak-anaknya kepada Allah. Ia ingin anaknya tumbuh di lingkungan orang-orang yang melakukan ibadah dan bermasyarakat yang baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak itu merasa beribadah kepada Allah adalah hal yang biasa, yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Begitu besar keinginannya ini, hingga Yasmin dan suaminya sepakat untuk membesarkan anak-anak mereka di Indonesia.

?Biarlah anak-anak yang masih kecil ini belajar mengenal penciptanya secara natural, dengan tinggal di lingkungan masyarakat yang beragama dan menjalankan perintah agamanya dengan baik.

Saya sendiri belum bisa memberi contoh nilai-nilai keislaman yang banyak pada mereka. Bahkan, bisa jadi saya akan belajar bersama anak-anak saya? membaca Al Quran, misalnya. Dan apabila kelak mereka sudah menjadi dewasa, saya berharap mereka sudah mempunyai bekal iman yang kuat, untuk kemudian memperluas ilmu pengetahuan maupun pergaulan mereka. Mereka boleh belajar tentang apa saja, di mana pun.? .

Mata Yasmin menerawang jauh ke depan saat mengucapkan kalimat tersebut, seakan sebuah titik terang sudah terlihat di depan matanya, dan ia siap melangkah setapak demi setapak menuju titik itu. Di akhir perbincangan dengan penulis, Yasmin juga mengungkapkan keinginannya untuk menekuni kembali bidang keahliannya dulu, sebagai desainer. Ia bercita-cita untuk membuka sekolah mode busana muslim di Indonesia nantinya. Insya Allah. (mualaf.com)

Gambatte (berusahalah dengan sungguh-sungguh), Yasmin san ! (oleh Serindit Indraswari)

http://www.tsumra.org/ ; http://muslim-mualaf.blogspot.com/2008/11/beranjak-dari-titik-nol.html

Berawal dari Benci, Berakhir dengan Cinta

Meski awalnya ?membenci? Islam, gadis IOWA yang tinggal di Connecticut ini pun akhirnya 'jatuh cinta' pada Islam. Ia, akhirnya melafazkan syahadat.

Sekitar awal September 2006 lalu, kelas Islamic Forum for non Muslims kedatangan seorang gadis bule bermata biru. Duduk di salah satu sudut ruang dengan mata yang tajam, hampir tidak kerkedip dan bahkan memperlihatkan pandangan yang tajam. Beberapa kali lelucon yang saya sampaikan dalam kelas itu, tidak juga menjadikannya tersenyum. Ketika sesi tanya jawab dimulai, sang gadis itu mengangkat tangan, dan tanpa tersenyum menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang menjadikan sebagian peserta ternganga, dan bahkan sebagian menyangka kalau saya akan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

?If Muhammad is a true prophet, then why he robbed and killed??, tanyanya dengan suara yang lembut tapi tegas. ?Why he forced the Jews to leave their homes, while they have been settled in Madinah a long time before Muhammad was born??, lanjutnya.

Sambil tersenyum saya balik bertanya, ?Where did you get this information? I mean, which book did you read?. Dia kemudian memperlihatkan beberapa buku yang dibawanya, termasuk beberapa tulisan/artikel yang diambil dari berbagai sumber di internet. Saya meminta sebagian buku dan artikel tersebut, tapi justru saya tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaannya.

Saya balik bertanya, ?Where are you from and where do you live??. Ternyata dia adalah gadis IOWA yang sekarang ini tinggal di Connecticut.

Sambil memperkenalkan diri lebih jauh saya memperhatikan ?kejujuran? dan ?inteligensia? gadis tersebut. Walaupun masih belum bisa memperlihatkan wajah persahabatan, tapi nampaknya dia adalah gadis apa adanya.

Dia seorang ?saintis? yang bekerja di salah satu lembaga penelitian di New York. Tapi menurutnya lagi, dan sinilah baru nampak sedikit senyum, ?I am an IOWAN girl?. Ketika saya tanya apa maksudnya, dia menjawab: ?a very country girl?.

Oleh karena memang situasi tidak memungkin bagi saya untuk langsung berdebat dengannya perihal pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan, saya mengusulkan agar pertanyaan-pertanyaannya dikirimkan ke saya melalui email, untuk selanjuntnya bisa berdiskusi lewat email dan juga pada pertemuan berikutnya. Kelas sore itupun bubar, tapi pertanyaan-pertanyaan gadis IOWA ini terus menggelitik benak saya.

Di malam hari, saya buka email sebelum tidur sebagaimana biasa. Gadis IOWA ini pun memenuhi permintaan saya. Ia memperkenalkan diri sebagai Amanda. Ia mengirimkan email dengan lampiran 4 halaman penuh dengan pertanyaan-pertanyaan ?khususunya-- mengenai Rasulullah SAW. Saya sekali lagi tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi mengajak untuk datang ke kelas Islamic Forum pada Sabtu berikutnya.

Ternyata, mungkin dia sadari sendiri bahwa beberapa peserta Forum pada Sabtu tadi kurang sreg dengan pertanyaan-pertanyaannya yang dianggap terlalu ?polos dan tajam?. Maka dia mengusulkan kalau saya bisa menyediakan waktu khusus baginya untuk diskusi. Sayapun menerima usulan itu untuk berdiskusi dengannya setiap Kamis sore setelah jam kerja di Islamic Center.

Kita pun sepakat bertemu setiap jam 5:30 hingga 7:00 pm. Satu setengah jam menurut saya cukup untuk berdiskusi dengannnya.

Tanpa diduga, ternyata bulan Ramadhan juga telah tiba. Maka kedatangannya yang pertama untuk berdialog dengan saya terjadi pada Kamis ketiga bulan September 2006, di saat kita sedang bersiap-siap untuk berbuka puasa.

Dia datang, seperti biasa dengan berkerudung seadanya, tapi kali ini dengan sangat sopan, walau tetap dengan pandangan yang sepertinya curiga.

Kita memulai diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikirimkan lewat email itu. Ternyata, baru satu masalah yang didiskusikan, sesekali diselingi sedikit perdebatan yang emosional. Adzan buka puasa telah dikumandangkan. Maka dengan sopan saya minta izin Amanda untuk berbuka puasa, tapi tidak lupa menawarkan jika ingin bergabung dengan saya. Ternyata, Amanda senang untuk ikut makan sore (ikut buka) dan nampak menikmati hidangan itu.

Setelah berbuka puasa, karena harus mengisi ceramah, saya sampaikan ke Amanda bahwa diskusi kita akan dilanjutkan Kamis selanjutnya. Tapi jika masih berkenan hadir, saya mempesilahkan datang ke Forum hari Sabtu. Dia berjanji untuk datang.

Sabtu berikutnya, dia datang dengan wajah yang lebih ramah. Duduk nampak lebih tenang, tapi seolah masih berat untuk tersenyum. Padahal, diskusi saya itu terkadang penuh dengan candaan. Maklumlah, selain memang dimaksudkan untuk tidak menampilkan Islam dengan penuh ?kaku? saya ingin menyampaikan ke mereka bahwa Muslim itu juga sama dengan manusia lain, bisa bercanda (yang baik), tersenyum, dan seterusnya.

Amanda nampak serius memperhatikan semua poin-poin yang saya jelaskan hari itu. Kebetulan kita membahas mengenai penciptaan Hawa dalam konteks Al-Qur?an. Intinya menjelaskan bagaimana proses penciptaan Hawa dalam prospektif sejarah, dan juga bagaimana Al-Qur?an mendudukkan Hawa dalam konteks ?gender? yang ramai diperdebatkan saat ini. Keseriusan Amanda ini hampir menjadikan saya curiga bahwa dia sedang mencari-cari celah untuk menyampaikan pertanyaan yang menyerang.

Ternyata sangkaan saya itu salah. Kini Amanda sebelum menyampaikan pertanyaan justeru bertanya dulu, ?Is it ok to ask this question??. Biasanya dengan tegas saya sampaikan, ?Nothing is to be hesitant to ask on any thing or any issue in Islam. You may ask any issue range from theological issues up to social ones?.

Amanda pun menanyakan beberapa pertanyaan mengenai wanita, tapi kali ini dengan sopan. Hijab, poligami, konsep ?kekuasaan? (yang dia maksudkan adalah qawwamah), dll. Saya hampir tidak percaya, bagaimana Amanda paham semua itu. Dan terkadang dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan itu disertai bukti-bukti yang didapatkan dari buku-buku --yang justeru-- ditulis oleh para ulama terdahulu.

Saya berusaha menjawab semua itu dengan argumentasi-argumentasi ?aqliyah?, karena memang saya melihat Amanda adalah seseorang yang sangat rasional. Alhamdulillah, saya tidak tahu, apakah dia memang puas atau tidak, tapi yang pasti nampak Amanda mengangguk-anggukkan kepala.

Demikian beberapa kali pertemuan. Hingga tibalah hari Idul Fitri. Amanda ketika itu saya ajak untuk mengikuti ?Open House? di rumah beberapa pejabat RI di kota New York.

Karena dia masih kerja, dia hanya sempat datang ke kediaman Wakil Dubes RI untuk PBB. Di sanalah, sambil menikmati makanan Indonesia, Amanda kembali menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tajam. ?If Islam respects religious freedom, why Ahmadiyah in Indonesia is banned? Why Lia Aminuddin is arrested??.

Saya justeru terkejut dengan informasi yang Amanda sampaikan. Saya pribadi tidak banyak membaca hal ini, dan tidak terlalu mempedulikan. Maka saya jelaskan, dalam semua Negara tentu ada peraturan-peraturan yang perlu dipatuhi. Ahmadiyah dan Lia Aminuddian, jelas saya, bukan mendirikan agama baru tapi mendistorsi agama Islam. Oleh karena mereka merusak agama yang diyakini oleh masyarakat Muslim banyak, pemerintah perlu menertibkan ini. Kelihatannya penjelasan saya kurang memuaskan, tapi diskusi kekudian berubah haluan kepada makanan dan tradisi halal bihalal.

Singat cerita, beberapa Minggu kemudian Amanda mengirimkan email dengan bunyi sebagai berikut, ?I think I start having my faith in Islam?. Saya hanya mengatakan, ?All is in God?s hands and yours. I am here to assist you to find the truth that you are looking for?. Cuma, Amanda mengatakan bahwa perjalanannya untuk belajar Islam ini akan mengambil masa yang panjang.

?When I do some thing, I do it with a commitment. And I truly want to know Islam?. Saya hanya menjawabnya, ?Take you time, Amanda?.

Alhamdulillah, setelah mempelajari Islam hampir tujuh bulan, dan setelah membaca berbagai referensi, termasuk tafsir Fii Zilalil Qur?an (Inggris version) dan Tafhimul Qur?an (English), dan beberapa buku hadits, Amanda mulai serius mempelajari Islam.

Minggu lalu, ia mengirimkan email ke saya. Isinya begini, ?I have decided a very big decision..and I think you know what I mean. I am very scared now. Do you have some words of wisdoms??.

Saya menjawab, ?Amanda, you have searched it, and now you found it. Why you have to be scared?. You believe in God, and God is there to take your hands. Be confident in what you believe in?.

Tiga hari lalu, Amanda mengirimkan kembali emailnya dan mengatakan bahwa dia berniat untuk secara formal mengucapkan ?syahahat? pada hari Senin mendatang (tanggal 5 Maret 2007 kemarin). Saya bertanya, kenapa bukan hari Sabtu atau Ahad agar banyak teman-teman yang bisa mengikuti? Dia menjawab bahwa beberapa teman dekatnya hanya punya waktu hari Senin.

Alhamdulillah, disaksikan sekitar 10 teman-teman dekat Amanda (termasuk non Muslim), persis setelah adzan Magrib saya tuntun ia melafazkan ?Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah-wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah?, diiringi pekik takbir dan tetesan airmata beberapa temannya yang ikut hadir. Amandapun melakukan shalat pertama sebagai Muslim sore itu diikuti dengan doa bersama semoga Allah menguatkan jalannya menuju ridho Ilahi.

Amanda, selamat dan semoga Allah SWT selalu menjagamu dan menjadikanmu ?pejuang? kebenaran! [ hidayatullah]

New York, 6 Maret 2007

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Eca

Tak disangka, ibunyalah justru yang mengantarkannya menjadi seorang muslim. Dan delapan tahun kemudian, ibunya pula yang mengutuk keras pilihannya menjadi seorang muslimah. Hingga detik ini pun, sang ibu belum rela melihat anak semata wayangnya, Cintya Ressa Kusuma L Yos hidup damai di bawah naungan Islam.

Cerita itu berawal dari pernikahan wanita yang akrab disapa Eca ini dengan seorang lelaki pujaan hati, di tanah lahirnya, Bandung. Ketika itu usianya baru 17 tahun. Tapi apa boleh dikata, diri sudah merasa siap dipersunting seorang lelaki yang dicintai. Maka, menikahlah wanita kelahiran tahun 1976 ini di usia sweet seventeen.

Calon suami yang seorang muslim sampai rela menjadi murtadin, demi menikahi putri tunggal keluarga Kusuma L. Yos ini. Pernikahan terjadi tanpa aral melintang. Kehidupan bahagia ala putri cinderella pun dijalani kedua pasangan muda ini.

Di awal pernikahan, suasana terasa begitu indah. Namun kemudian, bahtera pernikahan mereka mulai oleng diterpa badai kehidupan. Sang suami berubah ringan tangan. Perbedaan kecil mulai tidak bisa ditolelir. Rasa tidak suka mulai dijawab dengan tangan kasar.

Hingga di usia pernikahan yang ke delapan, di tahun 1997, Eca sudah tak lagi tahan dengan kehidupan rumah tangga bak neraka itu. Ia menggugat cerai sang suami. Namun jawaban sang suami adalah dua tusukan pisau di leher dan pangkal tangannya, yang mengakibatkan tangan kanan Eca cacat. Alhasil, hingga sekarang Eca belum bisa makan menggunakan tangan kanannya.

Sumbu pertengkaran itu sebetulnya lantaran desakan Eca kepada sang suami untuk bisa menjadi Katolik seutuhnya. Maklum, Eca sendiri adalah keturunan Katolik yang sangat kuat. Sejak kecil ia rajin ke gereja saban pagi. Bahkan, saat menempuh pendidikan menengah (SMP dan SMA) di negeri Paman Sam, ia aktif di Persatuan Keluarga Katolik Indonesia.

Puncak pertengkaran, sang suami minggat. Eca sendiri ditinggalkan dalam kondisi kritis dengan tiga buah hati yang masih mungil-mungil.

Frustasi dengan keadaan, Eca mencari pelampiasan. Ia kabur ke Jakarta meninggalkan ibunya yang sudah menjanda, bahkan ketiga buah hatinya.Hingga 4 tahun lamanya, Eca banting tulang di Jakarta mencari nafkah untuk buah hatinya. Tak pernah sekalipun ia sempatkan waktu untuk pulang, menengok sang bunda dan ketiga anaknya.

Bertemu Ustadz

Ibunya, kalang kabut. Habis idenya mencari jejak Eca, yang pergi tak tahu rimbanya. Di ujung harapan, sang ibu akhirnya terdampar di hadapan salah seorang ustadz di kota Bandung. Hal yang aneh, mengingat ibunda Eca adalah pengiman ajaran Katolik. Tapi itulah jalan kehidupan. Tak ada satu makhluk pun yang berkuasa mengotak-atik cerita hidup satu insan.

Ia datang kepada sang ustadz, meminta bantuan doa agar anaknya bisa pulang. Di depan sang ustadz, ia berjanji akan berkurban kerbau andai anaknya pulang, kelak. Meski agak aneh, sang ustadz bersedia membantu mendoakan bagi kepulangan anaknya itu..

Selang berapa waktu, Eca tiba-tiba kembali ke kota Bandung. Padahal sang ustadz belum melakukan apa-apa. Ibunya kaget, seketika meluap kebahagiaan yang membuncah. Namun sayang, azam untuk berkurban kerbau yang sempat ia lontarkan, terhalang lantaran sang ustad tengah berangkat ke Mekkah.

Tahun 2001, saat sang Ustadz kembali ke tanah air, Eca dan ibunda menyengaja berkunjung ke rumahnya di daerah Pajagalan, Bandung, sekedar mengucap terima kasih. Tiba-tiba bisikan keimanan menerpa hati Eca. Semilir angin menerpa sisi spiritual terdalam Eca. Seberkas asa muncul di lubuk hatinya. Eca ingin masuk Islam. Padahal ketika itu rosario, simbol keimanannya, masih terselip di tasnya.

Ketika Eca mengungkapkan keingiannya untuk masuk Islam, sang Ibu, tak bisa berkutik di hadapan sang ustadz. Ia mengantar sang anak mengucap dua kalimat syahadat. Hanya mengantar! Hatinya miris, jauh dari ikhlas. Ia sama sekali tak mau menyaksikan ikrar syahadat buah hatinya. Amarah membuncah di dadanya menghadapi kenyataan sang putri kesayangan berpindah dari keyakinan leluhurnya.

Pilihan Bukan tanpa Halangan

Tentu, bagi Eca berpindah agama menjadi seorang muslim itu bukan tanpa halangan. Banyak ujian datang menerpa. Apalagi jika lingkungan tidak mendukung. Di rumah, ia menjadi satu-satunya muslim yang hidup di tengah-tengah penganut Khatolik. Dirinya seolah terbuang dari komunitas keluarga.

Maklumat untuk tidak mendukung peribadatannya pun didengungkan. Segala undangan perhelatan keluarga, tak pernah sampai ke telinga Eca. Bahkan, ia pun sama sekali tidak bisa belajar shalat dan ngaji.

Tak hilang akal, Eca mencuri-curi ilmu dari pedagang kaki lima yang acap lewat di depan rumahnya. Dari situlah ia belajar tata cara ibadah menurut keyakinannya yang baru.

Ujian terberat yang ia rasakan terutama dari segi ekonomi. “Saat itu, sekedar untuk beli bensin saja, saya sudah tak ada.”

Beruntung ada seorang kenalan yang berkenan meminjamkan kendaraannya kepada Eca. Kendaraan itu ia gunakan untuk mengantarkan sebuah proposal bisnis rancangannya ke sebuah instansi, untuk diikutsertakan dalam tender.

Dan, ujian itu pun berganti kelapangan. Proposalnya gol, ia berhak mengadakan sebuah event besar. Dari sanalah ia memulai kehidupan bisnisnya. Banyak order yang ia terima, seketika ia menjadi pengusaha yang sukses. Hingga Eca pun berkesempatan naik haji di tahun ketiganya menjadi seorang muslimah.

“Tahun 2004 saya bisa naik haii, itu adalah hadiah yang luar biasa. Saya yang tahun itu tengah dalam kondisi terpuruk, bisa pergi haji besar. Nikmat Allah begitu luar biasa,” ungkapnya.

Kini, selain kesibukannya di dunia usaha, Eca aktif di sebuah yayasan yang bergerak di bidang pembinaan para Mualaf semisal dia, yayasan Bina Insan Mualaf. Berkat keuletannya sebagai ketua, yayasan ini mulai berkembang tidak hanya di Bandung, melainkan juga di Yogyakarta, dan Jakarta. Lewat yayasan ini, Eca ingin membuka diri untuk para mualaf yang kerap merasa terbuang dari lingkungannya.

Setiap ahad sore, di rumahnya yang cukup luas, ia berbagi dengan para mualaf lain. Tak jarang Eca menjadi tempat berkeluh kesah sesamanya.

Mudah-mudahan yayasan ini pun menjadi kado terindah Eca untuk para mualaf lain. Selayaknya kado terindah dari Allah untuk Eca atas karunia seorang pangeran yang mengimaminya dalam berumah tangga. Lebaran tahun 2010 ini Eca mendapatkan anugerah pendamping hidup, seorang anggota Dewan yang mengabdi di Kabupaten Bandung Barat.

http://www.bmuallaf.com/2011/01/kisah-eca.html

Kisah Kronologis Caca

Saya adalah seorang anak dari keluarga Palembang Yogyakarta dengan peraturan yang sangat keras. Dan kehidupan pun didik dengan kekerasan dan perkataan yang kurang menyenangkan. Disinilah kepribadian ku didik menjadi kepribadian yang keras. Awalnya saya terlahir dengan agama Kristen Protestan , semua terlihat bak baik saja. Saya pun sempat menjadi pengurus gereja dan menjadi guru sekolah minggu. Saya menemukan banyak sekali pelajaran dari agama tersebut, dan saya mencoba mengaplikasikan, tp entah mengapa saya tidak bias dengan keluarga saya. Semua sudah terekam dalam pikiran saya, tetang masa kecil saya, yang akrab dengan gagang sapu ijuk yang patah untuk memukul saya. Saya sedih menangis kecewa dan marah, tp awalnya saya tidak berani untuk berontak.

Keluarga besar saya terdiri dari berbagai agama, Islam, Kristen protestan, dan katolik semua bersama- sama dan tidak ada permasalahan.

Saya tidak betah dirumah, dan gelisah setiap saya pulang karena saya berfikir apalagi yah yang akan terjadi setelah saya sampai rumah, saya sering mengkroscek kesalahan apa yang terjadi pada diri saya. Terkadang saat perjalanan saya kerumah saya suka berfikir tapi entah apa yang saya pikirkan, saya senang saat saya berada dijalan bebas seperti tidak ada beban. Saat saya pulang sekolah berkali- kali saya saat melewati masjid saya suka melihatnya seperti damai tapi entah saya tidak memikirkan apapun. Hingga saat saya pulang dengan jalanan yang sangat macet dan berpuluh puluh kali telepon berderingdari mama dan papa, saya sudah menejelaskan jalanan macet, mereka tidak mau tau dan langsung menutup teleponya. Sesampai saya dirumah saya diomelin abis abisan, dan saya menangis mana kasih saying yang diajarkan orang Kristen dan disekolah sayapun saying rasis yaitu Chiness dengan pribumi. Saya termasuk golongan pribumi, tp beruntung saya sperti cina hingga saya mempunyai teman disekolah. Hingga suatu saat saya dikecewakan oleh teman saya. Lengkap sudah saya hanya mempunya saya dan Tuhan Yesus saat itu, tp entah kenapa saat saya kegereja saya tidak merasakan apa apa lagi. Hingga saya berumur 17 tahun, semua berubah saat saya merasa kembali tersakiti oleh perlakuan mama dan papa yang tega menampar dan menonjok muka saya karena hal yang sepele, mereka melakukan itu sambil memaki saya dengan kata- kata yang tidak sepantasnya. Perlakuan mereka pun memang sangat tidak wajar terhadap saya, bila saya pulang kuliah terlambat saya pasti akan kena marah, padahal traffic kota Jakarta sangat tidak dapat diketahui. Dan saya menangis dan mengadu kepada uwa saya yang terdekat dari rumah untuk menjemput saya, dan kakak sepupu perempuan ku dating dan menjeput saya untuk menginap dirumahnya. Uwa saya adalah keluarga muslim yang taat, mereka sangat penuh kasih sayang, apalagi ibu (bude) yang terlihat sanagat menyayangi anak anaknya. Terkadang aku iri bila ibu mengelus rambut anak- anaknya, karena aku tidak pernah rasakan, mungkin dulu waktu aku bayi. Hingga aku dating ke rumah uwa saya menaruh kepalaku dipundak ibu (bude) dan dia membelai saya, merinding tubuh saya dan menangis. Beliau menanyakan apa yang etradi dirumah hingga saya terkena pukulan, saya menjelaskan sambil menangis, dan setelah itu aku disuruh untuk tidur bersama kakak sepupu saya itu. Saat subuh, saya mendengar suara kakak perempuan saya mengaji, dan saya seperti tersentak, walau saya tidak tau apa artinya, tapi seakan saya mengetahuinya. Saya amati mukena yang dia gunakan dan sayapun merasa ingin menggunakannya, tp perasaan ini sangat kuat hingga saya pun bergulat dengan hati. Sempat saya berbicara dengan hati saya “Ya, Tuhan Yesus perasaan apakah ini? Mengapa saya jadi seperti jauh sekali denganMu, dan saya jadi tidak merasakan kau ya Tuhan? Berikan saya petunjuk Tuhan bila memanga saya mempunyai jalan hidup yang berbeda. Amin “.

Keesokan harinya saya bertanya kepada kakak saya, “ Kak mukena itu untuk apa fungsinya?” Dia pun menjelaksan secara gamblang, dan entah mengapa saya tertarik dan saya pakai dan hati ini seperti meloncat dan saya merasakan hal yang wah sekali. Malam haripun berlalu dan saya bermimpi saa duduk sebelah kakak saya dengan menggunakan mukena, dan saya tersentak bangun dengan kata kata yang tidak pernah saya gunakan sepanjang hidup saya sampai umuur 17 tahun yaitu ASTAGFRIRUWLLAH. Saya merasa senang tapi kaget. Hingga keesokan harinya entah mengapa saya yakin saya ingin bilang saya mau jd mualaf ke kakak saya. Kakak sayapun kaget dan dy tidak memperbolehkan itu, dia suruh saya untuk belajar lebih dalam tentang muslim dan jangan jadikan agama itu mainan, tapi kamu harus cintai dulu. 1 tahunpun berlalu dan saya merasa makin didekatkan dengan berabagai ilmu Islam . Dan saya memutuskan untuk mentekadkan bahwa saya mau menjadi mualaf, krn saya jatuh hati dengan agama ini. Saya pun mencari informasi sendiri dari internet, dan saya menemukan masjid- masjid yang bias memualafkan, dan sya memilih masjid Sunda Kelapa yang dekat dengan daerah saya dan saya tau Masjid itu. Saya pun mejalani pelajaran untuk melafalkan Syahadat, dan saya diantara para mualaf saya paling tercepat mengahafalkannya, dan saya bias dengan baik melakukannya. Dan saat itupun tiba dan saya menelefon kakak saya perempuan bahwa saya ada diMasjid Sunda Kelapa dan akan dimualafkan . Kakak saya kaget dan diapun menelefon UWa dan Ibu juga kakak sepupu saya yang muslim. Dan sayapun di Mualafkan. Hingga 2 tahun lamanya saya menjadi Mualaf, saya Shalat selalu diluar dan saya suka sedih bila saya harus melewatkan shalat saya. Saya juga mencari berbagai ilmu- ilmu dari Internet seperti cara shalat,wudhu, dzikir, dan lainnya. Tapi entah mengapa saya ingin tau dasar- dasar agamanya, sayapun akhirnya mengambil pelajaran agama di kampus dengan yaitu ISLAM. Hal itu pun dipertanyakan dan beruntungnya saya dilayani oleh akademik yang muslim jadi saya bias berkata jujur, karena saya terdaftar di agama Kristen Protestan.

Sayapun mengikuti pelajaran agama itu, dan yah saya bingung dan tidak tau harus apa, karena menggunakan bahasa Arab yang terkadang Indonesia tapi sedikit. Saat ujian pun tiba, dan ada soal dimana itu harus menulis satu surat pendek menggunakan bahasa Arab, dan saya hanya menuliskan surat ke pada dosen saya “ ass, bapak maafkan saya. Saya tidak bisa menjawab soal ini karena saya tidak tau apa yang harus saya tulis, saya mualaf pak, saya mohon bapak mau mengerti, saya sudah belajar tapi saya lupa bagaimana bentuk tulisannya. Bila saya filed dalam ujian ini ga papa pak saya ikhlas, memang saya tidak bsia. Terimakasih bapak. Wass..”
Dan saat pembagian nilai tercantum B dimatakuliah agama saya ALhamdullilah rasanya saya ingin menangis, dan saya menemui dosen saya untuk berterimakasih, day beliau memberikan saya buku tentang Islam.

Ini adalah tahun ketiga dan disinilah saya merasa Allah makin dekat dengan saya, dengan banyak teman- teman saya yang muslim yang mengajak saya shalat duha yang awalnya saya tidak tau apa, dan sayapun mengetahuinya. Dan saya melakukan itu dengan sebatas doa yang saya tau, yaitu Alfateha dan al ikhlas. Dua surat itu yang selalu saya bacakan.

Dan Tahun ketiga ini saya memutuskan untuk memberitahu mama dan papa tentang keadaan saya, karena saya merasa semakin dewasa saya dan saya ingin makin bertumbuh didalam iman saya yang terkadang saya merasa tidak bebas menjalankan agama saya dirumah. Ditambahlagi dengan saya menemukan lelaki yang bisa melindungi saya. Reno adalah lelaki itu dan di duda beranak satu dengan. Dan saya tau masalah perceraian mereka karena Istrinya yang tidak benar, yaitu istrinay memfitnah dia, dan saya mencari kebenarannya, dan yah memang terbukti istirnya tidak benar. Dan sayapun yakin dialah yang bisa membimbing saya, karena dia saya mengerti iqro dan sebagainya, dy selalu mengingatkan saya shalat, puasa dan lainnya. Dewasa dan kebapakaan, yah karena saya merindukan kasih sayang papa, yang tidak saya dapat dari papa. Dan diapun mengajak saya nikah, saya menaggapi dengan bahagia dan saya menerima tawarannya tersebut.

Sayapun datang ke uwa saya untuk berkonsultasi saya ingin jujur kepada orangtua saya bahwa saya muslim. Dan uwa saya menyetujuinya, karena yanh cepat atau lambat pasti akan diketahui.

Hari yang saya tunggupun tiba, saat uwa saya membicarakan hal ini kepada papa saya, Dia seperti mengerti dan ya sudahlah. Tapi saat uwa tidak ada, saya dikatain say dibilang anjimg bangsat lebih setan dari setan dan dajal, dan lainnya. Hati saya seperti dicabik dan takterbentuk lagi< tapi entah mengapa seperti ada kekuatan dalam diri saya dan memeluk saya kuat, sehingga saat saya menangis, saya menangis bahagia, walau ada sedih tapi tak berasa, malah saya semakin dketa dengan ALLAh dan nikmat nya luarbiasa. Hingga saya dipanggilkan pskiater yang pendeta dari gereja mama, Pendeta dengan gaya yakin dan terus berkata dengan menggebu- gebu berusaha meyakinkan saya tap entah saya seperti makin tidak respect dengan agama saya yang dulu saya semakin yakin ALLAh dan Islam. Hingga pendeta itu menyuruh saya membawa Ustad dan diadu dengan dia soal agama dan bila Ustad menang boleh iris telinga dia, wah hati saya seperti ingin tertawa melihat ulah pendeta itu. Dan sayapun didoakan dan disuruh minum tubuh dan darah yesus, tapi sama sekali tidak tertelan. Subahannallah itu benar benar kekuatan Allah yang menguatkan tekad saya. Hingga suatu hari saya diancam mau dibabptis, rasa bingungpun dating dan akhirnya saya mencari akal dan entah menggapa setelah saya shalat hati saya seperti inginmencari sesuatu diinternet, dan saya ketiklah kata Mualaf, dan keluarlah mualaf centre dengan alamat email, dan saya mengirim email ke alamat semua. Dan alhamdullilah tak berapa lama email saya direspon dan saya mendapat jawaban. Dan saya terus berkontak dengan kak Eca dari pengurus bina Mualaf tersebut. Dan sayapun ketemu dengan Kak Eca, dan dia memberikan buku tuntunan Shalat dengan bentuk yang kecil untuk memudahka saya menaroh ditempat yg tidak memungkinkan dijangkau oleh orangtua saya. Dan tekananpun mulai datang bertubi tubi, sehingga rasa berontakan pun tiba, hingga aku menghubungi kak eca untuk kabur, dan kak eca pun merujukan aku untuk tinggal di PBHI tapi ak masih memikirkan aku harus apa, dan aku jd mengurungkan niat ku untuk kabur. Tapi disisi lain aku ingin kabur dan menjalankan kewajibanku untuk shalat dan lainnya. Saya sangat sedih rasanya kepalaku mau pecah, hati juga serasa kacaw sekali. Haripun berlalu dan saat saya mandi pagi dan saya keluar kamar mandi, tiba- tiba buku panduan shalat itu sudah berantakan dikamar saya dengan terobek robek. Hati saya pilu melihatnya dan saya bertanya kenapa buku itu dirobek dan mama papa memarahi saya dan memaki saya, dan mengancam saya akan mengikat saya dirumah. Saya pun tidak boleh keluar rumah dan saya juga tidak boleh berinteraksi lagi dengan luar rumah dan keluarga uwa ku juga keluargaku yang lainnya yang muslim. Lalu mama bilang saya boleh keluar jika saya mau dibabtis, dan saya bilang tidak saya tidak mau. Lalu mama bilang oke kamu tidak boleh keluar, dan saya pun terpaksa bilang iya, dan saya kabur dari rumah dan saya mengontak bina Mualaf . com . Dan saya ditempatkan dirumah koko steven dan kak dina, karena disalah tempat yang aman untuk saya, tapi saya menghubungi kakak sepupu perepuan saya, dan akhirnya uwa kupun ingin berbicara dengan ku. Hari mulai malam rasa sedih sangat ada karena baru inilah saya jauh dr kedua orangtuaku, tapi entah mengapa aku menjadi kuat dan tegar, setiap shalat air mataku terurai dan aku berpasrah apapun yang terjadi. Dan malamnya akhirnya om ku yang muslim menjengukku dirumah om steven, dan dia menyuruhku bagaimana kalau tinggal dirumah dy krn disana aku ada temannya yaitu istri om ku dan anak anaknya. Akhirnya malam itu juga aku diboyong ke sana, dan ak bertemu dengan pacar saya, dan saya sangat sedih melihat dy yang menjadi tertuduh padahal awal dy betremu dengan saya, saya sudah muslim. Dy menegarkan saya dengan bilang “ALLAh sayang sama km” dan itu menjadi obat atas kegundahan saya. Sampailah saya dirumah om saya, keesokan harinya saya harus kuliah, rasa takut cemas krn takut mama menyuruh orang untuk mengambil saya dr kampus dan memaksa saya untuk pulang. Tapi ternyata tidak, aku pulang dengan nyaman, tapi ada hal aneh dari ke 2 sahabatku, tidak biasanya mereka mengintil saya hingga saya mau dijemput. Saya berprasangak klo mereka disuruh oleh kedua orang tua saya untuk memata- matai saya. Akhirnya saya naik ojek hingga ambassador dan saya bertemu om saya disana. Malamnya saya sms mama saya agar mereka tidak terlalu cemas, karena saya sangat khawatir dan jujur rasa takut mereka akan kenapa- kenapa. Akhirnya saya sms “ mama Aku ada ditempat yang aman jangan cemas yah ma, ak sayang mama”. Setelah ak mengirim sms tersebut tlp langsung berdering saya tidak mau angkat karen saya benar- benar belum siap mendengar suara mereka. Saya pun belajar iqro diajarkan oleh bibi yang bekerja dirumah om saya, dan saya menikmati sekali, hingga iqro 2. Keesokan harinya rasa ragu untuk kekampus pun terasa sekali, dan aku tidak tau mengapa tapi saya ingin tetap kuliah akhirnya saya berangkat dengan Bismillah semoga tidak ada yang terjadi. Tapi saat tengah pelajaran Student consulor kampuspun memanggil saya, dans aya menatap kedua teman saya, dan yah benar saja mereka yang melapor ke orang tua saya, tapi tidak apa- apa saya harus mengahdapi ini kapanpun itu. Akhirnya saya keluar dengan rasa letih, dan saya disembunyikan di kantor student consulor, awalnays aya tidak jadi diketemukan, tp ak berfikir menimbang nimbang saya kasihan terhadapt ayah saya juga. Disini saya percaya akan kekuatan doa dan kekuatan ALLAh, ak berkata ALLAH tolonglah aku, kuatkan aku, dan kirimlah malaikatMU “. Dan sayapun dioper ke kampus A di wisma darmala, dan didalam taksi perbincangan saya dan kedua dosen saya yaitu pak Sandro yang orang Vietnam dan ibu Alma ornag Menado. Pak sandro “Jujur yah Cynthia saya adalah Muallaf, dan saya sempat mempunyai kisah seperti kamu, emngapa saya sampai ada dijakarta, krn saya dicampakkan, saya dulu adalah katolik”. Dalam hati saya, Ya Allah apakah ini malaikatMU? Ak sanagat bersyukur sekali. Dan ternyata Bu Alma “ Saya juga muslim apa sih salahnya menjadi Muslim?” dan Alhamdullilah ya Allah kau menunjukkan rasa kasih sayangMU kepadaku. Akhirnya akupun bertemu dengan ayah saya, dengan melotot matanya, akupun berusaha tidak melihat dia. Perbicanganpun panas terjadi dan saya bersyukur dosenku melindungku, aku tidak bisa berbicara karena saya masih trauma dengan perkataan saya. Jadi saya bicara ke dosen saya dan dosen saya yang menjelaskan ke ayah saya. Dan disana dosenkupun dapat menyimpulkan ayahku seperti apa, dengan pembicaraan yang diputar balikan, dan pembicaraan yang diputar putar terus, dan ayaku tidak mau mengerti setiap pembicaraan dari dosen ku. Akhirnya diputuskalah ak tidak boleh pulang dan aku diwalikan ke om ku. Sesampai ak dirumah omku, ayahku menelepon ku untuk membujuk aku pulang dengan mengacamku. Ak akhirnya bilang ak akan pulang jika aku boleh shalat dan sebagainya dan aku tidak dipaksa paksa untuk melakukan hal yang tidak aku suka seperti ke gereja dan lainnya. Akhirnya iya memegang janjinya dan hari senin aku pulang. Dan mereka memegang omongan mereka walau terkadanng masih suka terjadi ancaman tapi tidak terlalu keras, dan terkadang aku suka seperti tidak dianggap> dan saya bisa melakukan shalat dengan baik , terpenting untukku ALLAH selalu bersama saya. AMin…

http://www.bmuallaf.com/2010/08/kisah-kronologis-caca.html

Kisah Nanang

Saya tidak tahu harus memulai darimana tentang kisah saya untuk mengenal dunia “Islam”. Mungkin agar lebih jelas bagaimana asal muasal saya masuk agama yang penuh dengan barokah yaitu agama “Islam”. Saya sendiri dibesarkan dikeluarga militer. Dari keluarga ini menjadikan saya sebagai seorang pemberontak. Hanya kekerasan watak dan ingin melakukan sendiri itulah yang jadi dasar watak saya. Mungkin ini gak pantas untuk menjadi cerita yang harus diungkapkan. Tapi ini merupakan bagian besar kehidupan saya. Papa saya seorang purnawirawan militer dari kesatuan

KKO (kalau sekarang dinamakan MARINIR), yaitu kesatuan elite dari TNI AL. Beliau berasal dari suku Sunda tepatnya dilahirkan di kota Bandung. Sedangkan Mama saya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Di usia muda kadang mempunyai kesibukan menjahit. Mama menerima jahitan untuk membuat baju yang para langganannya adalah teman-teman kantor di yayasan para istri tentara (Jalasenastri) ataupun para tetangga komplek. Mama mengerjakan sendiri jahitannya dengan sangat rapi, walaupun cukup memakan waktu yang agak lama. Tapi para langganannya sangat puas atas hasil jahitannya. Kadang Mama juga menerima untuk membuatkan kue atau masakan dari sapapun. Karena ketekunan beliau, dari mulut ke mulut berita itu tersebar kemana-mana, sehingga Mama gak pernah kehabisan orderan. Mama dilahirkan di Semarang dari keluarga besar beragama Katholik. Papa dahulunya beragama Islam, karena pernikahan itu maka pindahlah keyakinan beliau untuk memasuki agama Katholik.

Saya dibesarkan dengan ajaran dan keyakinan agama Katholik. Mulai dari kecil saya mempelajari agama turun temurun. Agama ini berasal dari Kakek buyut saya yang dulunya adalah keturunan dari Belanda. Sehingga ini merupakan sebagai paradox kalau ini telah dicap sebagai agama keturunan. Bukan lagi dari sebagian besar tetapi semua telah mengikuti ajaran Katholik.

Dari keluarga ini saya dididik untuk memahami ajaran Katholik. Mulai dari sekolah dasar saya sudah diajarkan mengenai agama tersebut. Pernah suatu ketika saya melihat teman-teman sepermainan saya beramai-ramai ke masjid jam 3 sore. Mereka yang cowok ada yang mengenakan celana panjang, ada yang mengenakan sarung sambil memakai tutup kepala (kalau di Jawa disebut koplok / kopyah), sedang yang cewek memakai kerudung atau jilbab. Itu saya liat tiap hari dari waktu ke waktu. Dari situ saya entah kenapa terketuk untuk pengen ikut mereka. Begitu aneh yang saya rasakan, kenapa ada keinginan seperti itu. Apa sih yang saya tau, sedang saya masih sangat kecil untuk memahami perbedaan itu. Suatu saat entah mungkin itu keberanian atau apa, saya memberanikan diri minta ijin dari Mama untuk ikut teman-teman ke masjid. Tapi apa? Bukan hanya larangan, tapi kemarahan dan pukulan yang saya terima. Mama bilang “Kamu udah gila atau gimana? Agama kamu itu apa? Ngapain kamu ikut-ikutan mereka? Pengen jadi orang gak bener kamu?”. Itulah yang masih terngiang-ngiang dikepalaku sampe saat detik ini. Akhirnya keyakinanku akan ajaran Katholik berlanjut sampe saya menginjak usia remaja.

Saat saya memasuki usia remaja, awal saya menginjak kelas 1 SMA, saya mempunyai seorang sahabat cewek yang berbeda sekolah. Dia bernama “Nurmaya”. Kami kenalan diatas angkot yang kebetulan searah dengan sekolah kami. Karena saya orangnya adalah penutup dan pemalu, maka dia duluan yang mengajak saya untuk berkenalan. Dia adalah putri seorang pegawai negri sipil dibagian Catatan Akte kelahiran. Kedua orang tuanya adalah PNS yang kebetulan satu kantor. Mereka berasal dari kota Blitar. Untuk saat itu mereka dipindah tugas untuk menduduki kantor di Surabaya. Dimana kebetulan diakhir tugas Papa saya untuk menjadi pelatih sekolah khusus Marinir juga bertempat di Surabaya. Sehingga kami tinggal di Surabaya. Di awal pertemuan diangkot itu akhirnya kami menjalin persahabatan yang sangat hebat menurutku. Kebetulan disini dia berkeyakinan yang sangat berbeda denganku. Meskipun kami berbeda keyakinan tapi kami saling memahami dalam arti tidak mempermasalahkan perbedaan itu. Dia bagiku sangat baik sekali. Tak pernah saya diberikan perhatian yang lebih melebihi kasih sayang kedua orang tuaku. Terkadang dia pernah juga mengenalkan saya tentang apa sis itu Islam. Susah senang kami lalui bersama. Mungkin ini hadiah Tuhan yang diberikan padaku. Persahabatan ini berlangsung hingga kami lulus SMA. Diakhir kelulusan sekolah dia pernah bercerita padaku kalau dia akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan putra dari teman sekantornya. Dari situ awal perpisahan kami, karena dia harus melanjutkan sekolah di Bogor. Ada pesan yang masih saya ingat saat ini adalah “Jagalah dirimu baik-baik. Temukan jati dirimu sesungguhnya. Aku yakin kamu akan menemukan cahaya itu”. Itulah pesan terakhir perpisahan kami.

Akhirnya saya memutuskan untuk tetap bekerja, karena selama masih sekolah SMA saya bekerja paruh waktu tanpa sepengetahuan orang tua. Saat itu paginya saya bekerja di perusahaan tepung terbesar di Indonesia. Saya mendapatkan kerjaan dari Gurbernur Jawa Timur yang juga seorang seniman. Mungkin anda pernah dengar seorang Gurbernur yang juga seorang penyanyi. Beliaulah Gurbernur Jawa Timur Bapak Basofi Sudirman. Bukannya saya mau menyombongkan diri. Ini semua saya raih karena prestasi saya didunia pendidikan. Saya selain mendapatkan beasiswa dari pemerintah, saya juga diberi kesempatan untuk mengembangkan diri di dunia kerja. Di perusahaan tersebut saya menduduki dibagian produksi. Dibayangan saya saat itu adalah bekerja mendapatkan uang. Saya pikir dunia kerja itu enak, tapi apa yang saya lakukan berbeda dengan yang saya bayangkan. Cukup berat kerjaan yang saya lakukan. Saya disitu menghitung karung yang satu ikatnya dihitung 100 lembar karung lalu dimasukkan dalam mesin produksi untuk wadah tepung. Per paruh waktunya saya bisa melakukan sampe 100 ikat. 1 ikat bias mencapai kira-kira 25kg. Disitu waktu itu saya mendapat gaji Rp 5rb/hari. Cukup lumayan lah untuk bisa membeli buku atau untuk uang saku.

Karena didikan tersebut saya menjadi mandiri dan tak pernah satu sen pun untuk meminta orang tua. Sampe akhir kelulusan sekolah saya melanjutkan untuk memutuskan sekolah lagi di kota Gresik. Saya mengambil jurusan Manajemen Pariwisata, karena dipikiran saya mungkin kalau saya kerja di hotel dapat uang banyak. Sekolah ini saya tempuh sekitar 1½ tahun. Setelah itu saya diterima disuatu hotel bintang 3. Benar dipikiranku, ternyata dihotel itu cukup banyak pemasukan yang tak terduga. Banyak uang yang saya terima secara tak terduga. Uang itu berasal dari tips tamu yang berdatangan di hotel itu. Kebetulan di hotel itu saya berkedudukan sebagai staff dari bagian Restoran. Uang yang saya dapat sedikit demi sedikit saya kumpulkan sampe suatu saat saya berpikir untuk ingin melanjutkan sekolah kembali atas dari biaya sendiri. Saya memutuskan untuk mengambil jurusan Akuntansi disuatu Universitas swasta yang cukup ternama di Surabaya. Kuliah ini saya tempuh selama 4 tahun. Di pertengahan ajaran di awal penerimaan mahasiswa baru yang saat itu saya sudah menginjak semester 5 saya bertemu kembali dengan sahabat saya waktu sekolah. Ada rasa senang, rindu, marah dan benci berbaur menjadi satu. Senang karena saya bertemu kembali dengan sahabat lamaku, rindu karena memang kami sudah cukup lama berpisah, sedang marah dan benci karena dia dengan tega meninggalkanku sendirian. Akhirnya persahabatan kami berlanjut. Asal mulanya kenapa dia kembali ke Surabaya karena dia telah memutuskan tunangannya karena tunangannya tersangkut kasus narkoba. Dan akhirnya pertunangan mereka putus ditengah jalan.

Dikampus kami mengalami perbedaan. Saya aktif di organisasi kemahasiswaan kerohanian Katholik (yang dinamakan UKM BKK), sedang dia adalah aktivis dari organisasi kemahasiswaan kerohanian Islam (yang suka disebut UKM BKI). Walaupun kami berbeda keyakinan, tapi persahabatan kami sangat hebat. Kami dapat menyatukan perbedaan itu.

Karena saya telah menjalani kuliah lebih awal daripada dia. Akhirnya saya diwisuda terlebih dahulu. Intensitas persahabatan kami akhirnya ada kerenggangan. Mungkin saya masih terlena oleh impian-impian duniawi. Saya sangat ambisius untuk bekerja. Di saat kelulusan saya menempuh dunia kuliah saya diterima di perusahaan BUMN yang sangat menjanjikan di Indonesia. Saya diterima bekerja di Pertamina sebagai staff administrasi di kantor distrik Surabaya. Karena ketekunan saya, akhirnya saya dipromosikan sebagai kepala administrasi keuangan. Dan itupun hanya berlangsung 3 tahun sejak saya masuk di perusahaan yang saya banggakan ini. Tapi ini tak berlangsung cukup lama. Setelah saya menduduki sebagai kepala keuangan saya diberikan kesempatan untuk mempelajari marketing. Akhirnya saya banting setir yang tadinya dasar saya sebagai accounting berbelok arah menjadi sales. Karena hasil yang didapatkan seorang sales sangat besar dibanding seorang kepala bagian sekalipun, dari situ awal saya sudah lupa dengan kehadiran Tuhan. Tuhan yang tadinya saya yakini ternyata berubah keduniawian yang saya agungkan. Ada jadwal dimana senang-senang adalah kewajiban dari kehidupan saya. Mungkin anda pernah dengar tentang Surabaya. Surabaya itu merupakan Las Vegas nya Indonesia. Merupakan surganya para Mavioso (sebutan kalau di Itali). Hal yang ilegal bisa menjadi legal, karena memang dapat ijin dari pemerintah setempat. Yang namanya diskotik adalah hiburan saya 3x dalam 1 minggu harus dilakukan. Selain itu juga hampir tiap hari minuman keras dan narkoba tak pernah terlewatkan. Jangankan hanya itu, “zina” pun saya lakukan dengan berganti2 cewek. Itu semua berbalik dari dulu dimana saya adalah seorang pendiam dan pemalu berubah drastis menjadi seorang pemberani dalam hakekat yang salah. Di Surabaya hampir semua saya kenal, gak hanya seorang bandar narkoba, calo cewek atau mafia sekalipun, tetapi petinggi polisi di Surabaya juga saya kenal. Dengan uang saya bisa melakukan apapun yang saya mau.

Ngomong-ngomong berbicara tentang persahabatan kami yang pernah saya jalin dengan Maya. Persahabatan kami menjadi renggang. Karena dia terlalu cerewet saat itu. Menurutku saat itu dia selalu menasehati saya sehingga telinga ini sangat kebal rasanya untuk nerima segala ocehannya.

Diawal tahun 2009 Maya sakit sehingga dirawat sampe berbulan-bulan di RS. Dari situ saya terketuk kasian untuk melihatnya. Hampir setiap hari saya menemaninya dan menyuapinya di RS. Sampe terkadang saya suka nginap di RS. Sehingga lambat laun saya udah lupa dengan dunia gemerlapan yang sering saya jalani. Saya lebih memperhatikaan dia. Dibenak saya, saya gak ingin kehilangan dia. Mungkin benar kata orang Jawa bilang kalau “Tresno jalaran soko kulino”. Mungkin karena dasar itu, lagi-lagi dia yang memulai pertama saat pertama awal kami berkenalan. Dia menyatakan dulu cintanya padaku. Akhirnya karena perasaan kasian saya menerima cintanya. Tepat pada tanggal 14 Maret 2009 saya menikah dengannya tanpa didampingi orang tua. Karena orang tua tidak member restu pernikahan kami, alasannya adalah berbeda keyakinan dan saya telah melakukan kesalahan besar yaitu mengkhianati agama saya untuk beralih ke agama Islam yang pernah menjadi selintas angan tapi bukan impian cita-cita. Saya di syahadatkan sebelum pernikahan berlangsung. Pernikahan ini pun terjadi bukan dirumah atau digedung yang mewah yang diimpikan setiap orang. Tetapi pernikahan ini berlangsung sangat sederhana di RS. Cukup disaksikan orang tuanya, saudaranya, dokter dan perawat. Itu saja yang menghadiri pernikahan kami. Kalau ingin saya sampaikan, dia ternyata udah cukup lama mengidap penyakit kanker otak akut. Selesai pernikahan kami, menjelang 2 hari kemudian, istri saya akahirnya diperbolehkaan pulang. Itu mungkin karena semangat ingin hidupnya sangat tinggi yang ingin bahagia menciptakan keluarga denganku. Tapi sayang takdir berkata lain. Pernikahan kami hanya ditakdirkan hanya cukup sampe 3 bulan saja. Tanggal 19 Juni 2009 istri saya telah berpulang ke rahmatullah. Saya sangat sedih ditinggal olehnya. Apa yang diimpikan oleh kami berdua sirna begitu saja. Karena takdir itu, akhirnya saya kembali lagi kedunia gemerlap yang pernah saya tinggal semenjak saya nikah. Saya tak pernah lepas dengan minuman keras, narkoba, ataupun cewek liar sekalipun. Saat itu saya hanya merasa ingin melepaskan kebelengguan saya.

Suatu saat ketika 1 minggu sebelum Ramadhan saya ditangkap pihak berwajib di saat masih didiskotik ketika itu waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Untunglah pihak perusahaan telah menjamin saya seharga 1,5 milyar karena memang itu salah satu kebijakan perusahaan yang telah saya jalankan dengan memasarkan barang mereka secara illegal. Itupun saya ketika di kantor pihak berwajib tidak diruang penjara, tetapi dikantor khusus dengan pelayanan khusus pula seperti tamu besar. Jam 7 malam tak sampe sehari saya dibebaskan. Pada malam harinya saya bermimpi bertemu istri saya. Alur ceritanya seperti ini : “Ketika itu saya dijemput istri waktu saya turun dari pesawat saat pesawat sudah landing. Saya disitu jalan-jalan dengan istri keliling kota. Sangat bahagia rasanya. Ntah kenapa ketika kami menyusuri jalan tiba-tiba ada air dari jarak jauh mendekat. Saya kira hanya banjir biasa. Tapi gak taunya air itu cukup deras menerpa kami. Mungkin itu yang dinamakan Tsunami kali. Kami tenggelam diterjang oleh air yang sangat deras tersebut. Jangankan mau menolong istri, mau menyelamatkan diri saja gak mampu. Dengan sekuat tenaga saya berenang tiba-tiba ada yang menarik tangan saya. Seketika itu saya tersadarkan diri kalau tubuh saya udah didaratan tinggi yang sangat aman dari bencana itu. Tak taunya yang menarik tangan saya itu adalah istri saya sendiri. Dalam mimpi itu istri saya sangat cantik sekali, dia memakai pakaian yang sangat putih sampe bercahaya. Dia hanya berkata “Tinggalkan kegelapan itu, temukan cahaya itu”. Saya sungguh tak mengerti apa maksud dari semua itu. Keesokan harinya saya akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan tempat saya bekerja. Walaupun atasan dengan berat hati dan atas kekukuhan hati saya, akhirnya saya diijinkan untuk mengundurkan diri secara terhormat.

Satu hari kemudian saya bertanya pada teman saya tentang apa arti mimpi itu. Bukan jawaban yang saya dapatkan malah ajakan. Saya diajak ke sebuah pertemuan majelis ta’lim. Mereka mengadakan pengajian rutin setiap minggunya. Diskusi pengajian itu membahas tentang kehidupan abadi setelah meninggal. Gak tau karena kerasukan / kesurupan apa saya menangis menjadi-jadinya dipengajian itu. Seperti malu udah tak punya lagi. Saya benar-benar nangis. Dalam benak saya ya Allah…, kebodohan apa yang telah saya lakukan ditempat yang kau ciptakan ini. Saya gak pantas berpijak diatas ciptaanmu ini. Hukumlah segala kebodohanku ini. Saat itupun saya mulai untuk mendalami dunia Islam. Sungguh hebat dan maha agung atas ajaran yang suci ini. Disini saya mendapatkan cahaya. Apakah ini yang telah dikatakan istriku. Tiap saat tak henti-hentinya saya panjatkan doa untuk istri yang telah kusia-siakan. Saya telah melakukan banyak kebodohan dengan mengabaikan segala nasehat istriku.

Akhirnya Alhamdulillah saya telah melalui puasa Ramadhan saya yang pertama. Dan sangat senang saya menjalankannya. Sampe berjalan seiringnya dengan waktu saya mencoba untuk mempelajari Islam itu sendiri tanpa ada bimbingan khusus. Saya membeli buku dan CD untuk saya baca dan saya dengar. Alhamdulillah hidayah apa yang Allah berikan padaku, Insya Allah saya sudah bisa membaca Al Qur’an dan hafal beberapa surat dan doa. Saya udah biasa melakukan sholat wajib maupun sunnah. Sampe detik ini pun HP saya udah saya set untuk agar alarm bunyi saat tengah malam. Agar saya bisa melaksanakan sholat tahajud memanjatkan doa untuk istriku.

Pada awal bulan April 2010 saya menginjak kota Jakarta dan menginap di rumah kakak saya di daerah Jakarta Selatan. Disitu saya menemukan teman baru. Saya senang bias menjalin teman didunia baru. Disuatu masjid Insya Allah saya rutin mengikuti pengajian yang diadakan. Sampe akahirnya saya menemukan komunitas baru, yaitu teman-teman yang senasib. Mereka adalah para “Mualaf”. Kita cukup senang karena bisa belajar bersama. Jadi semangat belajar sangat tinggi. Inilah sepenggal kisah saya masuk menjadi seorang “Moeslem sejati”. Jika teman-teman ada yang ingin berkenalan dengan saya silahkan saja melalui Facebook saya atau Yahoo Messanger saya yaitu di naka_muallaf@yahoo.co.id

Tegakkan agama Allah yang suci dan penuh barokah ini. Allahu Akbar!!!

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

http://www.bmuallaf.com/2010/08/kisah-nanang.html

Siapa yang dapat Mencegahmu Mendapatkan Hidayah?

Kita sering tidak tahu, di belahan bumi yang mana hidayah ALLAH akan menyapa.
Kita tak akan mampu menebak dengan cara apa cahaya petunjuk itu datang.
Namun, yang pasti tugas hamba adalah terus berusaha meretas jalan menuju ROBB.
Tiada lelah memperjuangkan selembar iman dengan segala daya.
Sebab, hidayah mahal harganya dan sangat indah rasanya.

>DISAPA DENGAN INDAH< Siang yang terik, anak muda itu hendak pergi les agama Budha. Tempatnya belajar privat harus melalui perkampungan India. Ketika lewat disebuah mesjid, langkahnya tertegun. Tiba-tiba terdengar suara yang teramat merdu mengalun, mendayu dan menyentuh jiwa. Ia sejenak menghentikan langkah, duduk menyimak sampai selesai. Tidak lama berselang, nampak banyak orang berbondong-bondong menuju mesjid. "Hebat sekali seruan indah itu, bisa membuat orang berkumpul," pikirnya takjub. Keesokan harinya, ia sengaja datang lagi. Kali ini masih berseragam baju putih dan celana abu-abu. Sambil menikmati makanan dan minuman ringan, ia menyimak lantunan suara indah. Begitu sampai hari-hari berikutnya. Dia semakin sering bolos les demi mendengar adzan. Tiga bulan menjelang tamat SMA, ia menginap dirumah teman yang berdampingan dengan masjid Ganting. Pada masjid tertua dikota Padang itu tengah berlangsung pengajian agama. "Menarik sekali," anak muda itu membatin. Penceramah menguraikan tentang akhlak mulia selaku muslim. Penjelasan mengenai kesucian diri, wudhu, sholat serta larangan bergunjing. Malam itu, acara bertamu berubah menjadi kegiatan mendengarkan wirid agama. Nama aslinya Chia Ho Gie, lahir pada 25 Desember 1960 di Padang. Keturunan Cina yang lama menetap di Ranah Minang ini besar ditengah keluarga penganut agama Budha yang taat. Orang tuanya tergolong berkecukupan yang sehari-hari membuka toko untuk menjual kebutuhan harian. Pengalaman rohani yang menyejukkan telah membuka mata batinnya lebar-lebar. Suara adzan merupakan panggilan suci ILAHI menuju hidayahNYA. Dihadapan keluarga, setamat SMA niat tulus memeluk Islam lahir batin diutarakannya terus terang. Keluarga langsung berang. Terutama kakak-kakaknya yang mulai benci dan gencar mengintimidasi. Ketegangan muncul dalam situasi yang kian memanas. Bahkan kakeknya berkata sinis, "Ngapain lu masuk Islam, mau sholat? Orang Islam saja tak mengerjakannya?" Tapi bapaknya punya sikap yang lebih terbuka. "Pikir lagi masak-masak! Kewajiban sholat lima kali sehari itu berat sekali. Percuma Islam kalau tidak sholat." Namun hati Chia Ho Gie kadung terpesonah dengan rislah tauhid. Dia siap menjalani kehidupan baru sebagai muslim yang baik. Demi mencegah munculnya hal yang tak diinginkan dalam keluarga, bapaknya memberi solusi. "Pindah agama itu hak lu, tapi jangan di Padang, pergilah ke Jawa! Tapi, kalau jadi memeluk Islam, tolong jangan hina agama lain!" Perpisahan itu memang harus terjadi. Keyakinan yang membuatnya tegar menempuh jalan baru; jalan cinta menuju cahaya. >SELAMAT DATANG DI GERBANG HIDAYAH< Tamat SMA tahun 1981, dia langsung merantau ke Jakarta. Bapaknya memberi modal awal sebesar Rp 300 ribu. Dana itu habis untuk biaya hidup sehari-hari, tapi niat hendak memeluk Islam belum juga kesampaian. Rencana semula hendak menghadap Buya Hamka untuk bersyahadat. Sayang ulama terkenal itu sedang sakitkeras. Masuk Islamnya menjadi tertunda-tunda hingga Hamka meninggal dunia. Untuk sementara waktu dia menjadi pengelana di ibukota. Pergaulan bebas dan berat menggempur jiwa mudanya. Hanya tekad bulat yang membuat dirinya kuat menahan godaan maksiat. Seperti ganja yang merajalela ditolaknya dengan baik, juga perbuatan yang merusak lainnya. Demi menyambung selembar kehidupan, lebih dipilihnya sebagai pengamen. Sebelumnya, Chia Ho Gie sudah mencoba agama-agama lain. Tapi dia tidak suka, karena tidak masuk akal dan tidak menyentuh jiwa. Setahun luntang-lantung di Jakarta tekadnya tidak pernah pudar untuk menemukan hidayah sejatinya. Hingga perjalanan nasib mengantar sang pencari hidayah ini ke Tanjung Priok. Pergaulan semakin intens bersama komunitas Islam pun terjadi. Akhirnya, atas Kuasa ALLAH, dia mengikrarkan syahadat di masjid Jami' al Fudulah, tahun 1982. Sejak itu, Chia Ho Gie resmi memakai nama baru: "Ade Sulaiman" Belum lama menikmati masa bahagia, pilihan keyakinannya tersandung ujian. Malam itu terddngar rentetan tembakan, kerusuhan Tanjung Priok berdarah meledak. Ade lari menyelamatkan diri, tapi tersangkut di kawat berduri. Tubuhnya robek dan harus di jahit. Tiga bulan sesudahnya, Ade tidak berani keluar rumah. Dia takut bertemu aparat, ngeri melihat banyaknya korban berjatuhan. Kegamangan mulai melanda jiwanya. Dia pun menjadi heran, kenapa umat Islam diperlakukan demikian? Syukurlah Ade belajar Islam dengan Habib bin Ali al-Jufri. Ulama itu membesarkan hatinya, menumbuhkan ghirah yang kuat dan memberi motivasi dalam hidupnya. Kegamangan yang sempat membesit dipupus habis. Bukankah kebenaran tidak akan sepi dari cobaan?! Setelah resmi memeluk Islam, dia paling suka menjadi muadzin. Kemanapun melanglang buana, ia selalu bermukim di rumah ALLAH. Jamaah masjid akan senang hati mempersilahkannya melantunkan panggilan sholat. "Sebaik-baiknya jadi ustadz, lebih mulia jadi muadzin yang memanggil orang sholat. Suara kamu bagus!" kata Habib. Lama bermukim di Jakarta memberinya kesempatan menikmati banyak siraman rohani. Kemana saja Zainuddin MZ ceramah, dia selalu ikut mendengarkan, juga ustadz-ustadz kondang lainnya. >BAHAGIA TAK HARUS DI ISTANA< Negeri rantau pula yang mengantar Ade pada sekuntum cinta. Adalah seorang sahabat memperkenalkan adiknya. Gadis belia yang sedang mabuk asmara dengan pacar baru. Sungguh kakaknya khawatir dengan pola hubungan tidak sehat tersebut. Dan, temanya itu memperkenalkan Ade yang diketahui akhlaknya lebih baik dan bertanggung jawab. Namanya orang mabuk asmara, mana sudi menerima yang lain. Mardianis, si gadis jelita, bersama sang pacar melecehkan Ade, bahkan meludahinya. Betapa kagetnya Ade melihat perangai buruk itu. Cinta buta telah membuat seorang gadis baik-baik berubah jahat. "Aku ikhlas dipermalukan di depan umum. Anehnya, hatiku menjadi yakin dialah istriku dan batinnya terus berdo'a. Aku tidak dendam atau benci. Umurnya sangat belia, baru sembilan belas tahun, wajar bila emosional. Lagi pula itu juga dipengaruhi pergaulan," tuturnya. Ade terus mendekati dan menasehati, "Menikahlah dengan Abang! Sebab Abang yakin mampu mendidik Adik baik kembali." Selalu penolakan demi penolakan diterimanya dengan lapang dada. "Pikirkanlah lagi baik-baik! Pernikahan adalah ibadah yang mengantarkan kita ke surga ALLAH." "Abang jangan coba-coba pakai dukun?" ancamnya. "Tidak, ALLAH yang akan pertemukan kita." Sekeras-keras karang akan hancur kena deburan ombak, sekeras-keras hati wanita luluh juga dengan kelembutan dan kesabaran. Mata batin Mardianis perlahan-lahan terbuka, permainan cinta yang tak sehat bersama pacar musnah ditengah jalan. Dia melihat keikhlasan dari pria yang sungguh-sungguh. Mereka akhirnya melangkah ke pelaminan dengan mengusung motto `menikah sebagai ladang pahala yang mengantar ke surga`. "Setelah menikah, ternyata dia menjadi istri yang baik. Bahkan pengertian dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Nampaknya pernikahan mampu membina kepribadian seseorang," ungkap Ade bahagia. Mardianis memberikan dua anak yang manis; Irma Irmiati dan Latifah Hamdan Jamil. Berhubung kondisi ekonomi masih morat-marit, buat sementara, anak istrinya dititipkan bersama mertua di kampung. Sementara Ade mencari penghidupan di kota. Hidup dalam kesederhanaan tetap membuka peluang pahala. Mereka juga memelihara anak yatim piatu, Wirman Abdullah. Bocah cilik yang didapatnya sedang bersih-bersih WC umum. Tapi dia rajin sholat dan berprilaku baik. Ade jatuh hati kepada anak yang sebatang kara itu. Kemudian Wirman lantas diasuh dan disekolahkan dan sekarang sudah kelas 2 MTsN. Kehidupan bersahaja dijalaninya sehari-hari. Usai shubuh, Ade berangkat ke pasar menjadi kuli angkat sayur mayur. Hasilnya cukup untuk mendapatkan sarapan pagi. Siang hari, ia berkeliling menjajakan dagangan minuman dan obat dari pintu ke pintu sambil menebar senyuman dan kasih sayang Islam. Kemanapun berkelana, Ade tetap sholat berjamaah sekaligus bermukim di Rumah ALLAH. >IKHLAS TIADA BERTEPI<

Dalam rangka usaha memperbaiki ekonomi, Ade sempat bekerja di Kajang, Malaysia.
Di negeri sebrang itu dia berjualan sayur dan lumayan laris dengan hasil memuaskan.
Sayang, karena sulit melakukan sholat, kecuali Shubuh dan Isya, ia memilih berhenti saja.

Saudaranya yang pebisnis di Singapura menjanjikan modal besar.
Syaratnya sederhana, asal tanggalkan peci, ganti agama.
Jelas saja Ade menolak keras.
Lebih baik hidup sederhana penuh syukur dan damai, daripada bergelimang kemewahan tapi gelisah.

Ade pernah diusir oleh kakak-kakaknya.
Dia memang pergi tapi untuk kembali.
Ade tidak benci dilecehkan.
Mereka menolak hanya karena belum mendapatkan hidayah.
Prinsipnya tebarkanlah kasih sayang sesuai dengan ajaran Islam.
Sebenarnya Ade punya saudara kembar.
Biasanya anak kembar punya kejiwaan yang erat, tapi dia juga tak kunjung mendapatkan hidayah ILAHI.
Ade masih ingin membawa suluh terang kepada saudara-saudaranya itu.

Maka pulanglah ia ke Padang, memboyong keyakinan yang makin kokoh ditempa perjuangan.
Sampai di Ranah Minang, Ade memperbaharui surat bukti diri sebagai mualaf.
Ia segera mendatangi pengurus masjid besar.
Eh. . . malah dimintai uang.

Ade langsung nelangsa.
Jangankan uang pembayar surat tanda mualaf, makan saja dia jungkir balik.
Ade tidak punya pilihan kecuali balik kanan.
Kemudian dia pergi ke Departemen Agama, dan mendapatkan surat keterangan secara cuma-cuma.
Alhamdulillah.

Belakangan dia bertemu lagi dengan petugas yang meminta uang pembayaran.
Bapak pengurus itu minta maaf atas prilaku teledaornya.
"Saya sudah memaafkan sejak awal,"
ujar Ade lapang.

Hingga sekarang, Ade masih mengembara menjelajahi bumi ALLAH.
Tidak pernah khawatir akan kelaparan, tidak takut terlantar atau terlunta-lunta.
Baginya, semua umat Islam adalah saudara tempat berbagi dan saling tolong.
Kemanapun pergi, dia menetap di rumah ALLAH; begitu damai dan menyejukkan.

Tiada yang merisaukan hatinya untuk mengarungi hidup didunia.
Kalau pun ada masalah, tinggal mengadu hingga menangis di hadirat ALLAH.
Karena itulah, Ade paling senang sholat Tahajud dan Dhuha.
"Sesusah apa pun kehidupan, lari saja ke mesjid, pasti beres!"
ujarnya yakin.
Dan kakinya terus melangkah.

http://peperonity.com/go/sites/mview/muallaf/23217985