Kita sering tidak tahu, di belahan bumi yang mana hidayah ALLAH akan menyapa.
Kita tak akan mampu menebak dengan cara apa cahaya petunjuk itu datang.
Namun, yang pasti tugas hamba adalah terus berusaha meretas jalan menuju ROBB.
Tiada lelah memperjuangkan selembar iman dengan segala daya.
Sebab, hidayah mahal harganya dan sangat indah rasanya.
>DISAPA DENGAN INDAH<
Siang yang terik, anak muda itu hendak pergi les agama Budha.
Tempatnya belajar privat harus melalui perkampungan India.
Ketika lewat disebuah mesjid, langkahnya tertegun.
Tiba-tiba terdengar suara yang teramat merdu mengalun, mendayu dan menyentuh jiwa.
Ia sejenak menghentikan langkah, duduk menyimak sampai selesai.
Tidak lama berselang, nampak banyak orang berbondong-bondong menuju mesjid.
"Hebat sekali seruan indah itu, bisa membuat orang berkumpul," pikirnya takjub.
Keesokan harinya, ia sengaja datang lagi.
Kali ini masih berseragam baju putih dan celana abu-abu.
Sambil menikmati makanan dan minuman ringan, ia menyimak lantunan suara indah.
Begitu sampai hari-hari berikutnya.
Dia semakin sering bolos les demi mendengar adzan.
Tiga bulan menjelang tamat SMA, ia menginap dirumah teman yang berdampingan dengan masjid Ganting.
Pada masjid tertua dikota Padang itu tengah berlangsung pengajian agama.
"Menarik sekali," anak muda itu membatin.
Penceramah menguraikan tentang akhlak mulia selaku muslim.
Penjelasan mengenai kesucian diri, wudhu, sholat serta larangan bergunjing.
Malam itu, acara bertamu berubah menjadi kegiatan mendengarkan wirid agama.
Nama aslinya Chia Ho Gie, lahir pada 25 Desember 1960 di Padang.
Keturunan Cina yang lama menetap di Ranah Minang ini besar ditengah keluarga penganut agama Budha yang taat.
Orang tuanya tergolong berkecukupan yang sehari-hari membuka toko untuk menjual kebutuhan harian.
Pengalaman rohani yang menyejukkan telah membuka mata batinnya lebar-lebar.
Suara adzan merupakan panggilan suci ILAHI menuju hidayahNYA.
Dihadapan keluarga, setamat SMA niat tulus memeluk Islam lahir batin diutarakannya terus terang.
Keluarga langsung berang.
Terutama kakak-kakaknya yang mulai benci dan gencar mengintimidasi.
Ketegangan muncul dalam situasi yang kian memanas.
Bahkan kakeknya berkata sinis,
"Ngapain lu masuk Islam, mau sholat?
Orang Islam saja tak mengerjakannya?"
Tapi bapaknya punya sikap yang lebih terbuka.
"Pikir lagi masak-masak!
Kewajiban sholat lima kali sehari itu berat sekali.
Percuma Islam kalau tidak sholat."
Namun hati Chia Ho Gie kadung terpesonah dengan rislah tauhid.
Dia siap menjalani kehidupan baru sebagai muslim yang baik.
Demi mencegah munculnya hal yang tak diinginkan dalam keluarga, bapaknya memberi solusi.
"Pindah agama itu hak lu, tapi jangan di Padang, pergilah ke Jawa!
Tapi, kalau jadi memeluk Islam, tolong jangan hina agama lain!"
Perpisahan itu memang harus terjadi.
Keyakinan yang membuatnya tegar menempuh jalan baru;
jalan cinta menuju cahaya.
>SELAMAT DATANG DI GERBANG HIDAYAH<
Tamat SMA tahun 1981, dia langsung merantau ke Jakarta.
Bapaknya memberi modal awal sebesar Rp 300 ribu.
Dana itu habis untuk biaya hidup sehari-hari, tapi niat hendak memeluk Islam belum juga kesampaian.
Rencana semula hendak menghadap Buya Hamka untuk bersyahadat.
Sayang ulama terkenal itu sedang sakitkeras.
Masuk Islamnya menjadi tertunda-tunda hingga Hamka meninggal dunia.
Untuk sementara waktu dia menjadi pengelana di ibukota.
Pergaulan bebas dan berat menggempur jiwa mudanya.
Hanya tekad bulat yang membuat dirinya kuat menahan godaan maksiat.
Seperti ganja yang merajalela ditolaknya dengan baik, juga perbuatan yang merusak lainnya.
Demi menyambung selembar kehidupan, lebih dipilihnya sebagai pengamen.
Sebelumnya, Chia Ho Gie sudah mencoba agama-agama lain.
Tapi dia tidak suka, karena tidak masuk akal dan tidak menyentuh jiwa.
Setahun luntang-lantung di Jakarta tekadnya tidak pernah pudar untuk menemukan hidayah sejatinya.
Hingga perjalanan nasib mengantar sang pencari hidayah ini ke Tanjung Priok.
Pergaulan semakin intens bersama komunitas Islam pun terjadi.
Akhirnya, atas Kuasa ALLAH, dia mengikrarkan syahadat di masjid Jami' al Fudulah, tahun 1982.
Sejak itu, Chia Ho Gie resmi memakai nama baru:
"Ade Sulaiman"
Belum lama menikmati masa bahagia, pilihan keyakinannya tersandung ujian.
Malam itu terddngar rentetan tembakan, kerusuhan Tanjung Priok berdarah meledak.
Ade lari menyelamatkan diri, tapi tersangkut di kawat berduri.
Tubuhnya robek dan harus di jahit.
Tiga bulan sesudahnya, Ade tidak berani keluar rumah.
Dia takut bertemu aparat, ngeri melihat banyaknya korban berjatuhan.
Kegamangan mulai melanda jiwanya.
Dia pun menjadi heran, kenapa umat Islam diperlakukan demikian?
Syukurlah Ade belajar Islam dengan Habib bin Ali al-Jufri.
Ulama itu membesarkan hatinya, menumbuhkan ghirah yang kuat dan memberi motivasi dalam hidupnya.
Kegamangan yang sempat membesit dipupus habis.
Bukankah kebenaran tidak akan sepi dari cobaan?!
Setelah resmi memeluk Islam, dia paling suka menjadi muadzin.
Kemanapun melanglang buana, ia selalu bermukim di rumah ALLAH.
Jamaah masjid akan senang hati mempersilahkannya melantunkan panggilan sholat.
"Sebaik-baiknya jadi ustadz, lebih mulia jadi muadzin yang memanggil orang sholat.
Suara kamu bagus!"
kata Habib.
Lama bermukim di Jakarta memberinya kesempatan menikmati banyak siraman rohani.
Kemana saja Zainuddin MZ ceramah, dia selalu ikut mendengarkan, juga ustadz-ustadz kondang lainnya.
>BAHAGIA TAK HARUS DI ISTANA<
Negeri rantau pula yang mengantar Ade pada sekuntum cinta.
Adalah seorang sahabat memperkenalkan adiknya.
Gadis belia yang sedang mabuk asmara dengan pacar baru.
Sungguh kakaknya khawatir dengan pola hubungan tidak sehat tersebut.
Dan, temanya itu memperkenalkan Ade yang diketahui akhlaknya lebih baik dan bertanggung jawab.
Namanya orang mabuk asmara, mana sudi menerima yang lain.
Mardianis, si gadis jelita, bersama sang pacar melecehkan Ade, bahkan meludahinya.
Betapa kagetnya Ade melihat perangai buruk itu.
Cinta buta telah membuat seorang gadis baik-baik berubah jahat.
"Aku ikhlas dipermalukan di depan umum.
Anehnya, hatiku menjadi yakin dialah istriku dan batinnya terus berdo'a.
Aku tidak dendam atau benci.
Umurnya sangat belia, baru sembilan belas tahun, wajar bila emosional.
Lagi pula itu juga dipengaruhi pergaulan," tuturnya.
Ade terus mendekati dan menasehati,
"Menikahlah dengan Abang!
Sebab Abang yakin mampu mendidik Adik baik kembali."
Selalu penolakan demi penolakan diterimanya dengan lapang dada.
"Pikirkanlah lagi baik-baik!
Pernikahan adalah ibadah yang mengantarkan kita ke surga ALLAH."
"Abang jangan coba-coba pakai dukun?" ancamnya.
"Tidak, ALLAH yang akan pertemukan kita."
Sekeras-keras karang akan hancur kena deburan ombak, sekeras-keras hati wanita luluh juga dengan kelembutan dan kesabaran.
Mata batin Mardianis perlahan-lahan terbuka, permainan cinta yang tak sehat bersama pacar musnah ditengah jalan.
Dia melihat keikhlasan dari pria yang sungguh-sungguh.
Mereka akhirnya melangkah ke pelaminan dengan mengusung motto `menikah sebagai ladang pahala yang mengantar ke surga`.
"Setelah menikah, ternyata dia menjadi istri yang baik.
Bahkan pengertian dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Nampaknya pernikahan mampu membina kepribadian seseorang,"
ungkap Ade bahagia.
Mardianis memberikan dua anak yang manis;
Irma Irmiati dan Latifah Hamdan Jamil.
Berhubung kondisi ekonomi masih morat-marit, buat sementara, anak istrinya dititipkan bersama mertua di kampung.
Sementara Ade mencari penghidupan di kota.
Hidup dalam kesederhanaan tetap membuka peluang pahala.
Mereka juga memelihara anak yatim piatu, Wirman Abdullah.
Bocah cilik yang didapatnya sedang bersih-bersih WC umum.
Tapi dia rajin sholat dan berprilaku baik.
Ade jatuh hati kepada anak yang sebatang kara itu.
Kemudian Wirman lantas diasuh dan disekolahkan dan sekarang sudah kelas 2 MTsN.
Kehidupan bersahaja dijalaninya sehari-hari.
Usai shubuh, Ade berangkat ke pasar menjadi kuli angkat sayur mayur.
Hasilnya cukup untuk mendapatkan sarapan pagi.
Siang hari, ia berkeliling menjajakan dagangan minuman dan obat dari pintu ke pintu sambil menebar senyuman dan kasih sayang Islam.
Kemanapun berkelana, Ade tetap sholat berjamaah sekaligus bermukim di Rumah ALLAH.
>IKHLAS TIADA BERTEPI<
Dalam rangka usaha memperbaiki ekonomi, Ade sempat bekerja di Kajang, Malaysia.
Di negeri sebrang itu dia berjualan sayur dan lumayan laris dengan hasil memuaskan.
Sayang, karena sulit melakukan sholat, kecuali Shubuh dan Isya, ia memilih berhenti saja.
Saudaranya yang pebisnis di Singapura menjanjikan modal besar.
Syaratnya sederhana, asal tanggalkan peci, ganti agama.
Jelas saja Ade menolak keras.
Lebih baik hidup sederhana penuh syukur dan damai, daripada bergelimang kemewahan tapi gelisah.
Ade pernah diusir oleh kakak-kakaknya.
Dia memang pergi tapi untuk kembali.
Ade tidak benci dilecehkan.
Mereka menolak hanya karena belum mendapatkan hidayah.
Prinsipnya tebarkanlah kasih sayang sesuai dengan ajaran Islam.
Sebenarnya Ade punya saudara kembar.
Biasanya anak kembar punya kejiwaan yang erat, tapi dia juga tak kunjung mendapatkan hidayah ILAHI.
Ade masih ingin membawa suluh terang kepada saudara-saudaranya itu.
Maka pulanglah ia ke Padang, memboyong keyakinan yang makin kokoh ditempa perjuangan.
Sampai di Ranah Minang, Ade memperbaharui surat bukti diri sebagai mualaf.
Ia segera mendatangi pengurus masjid besar.
Eh. . . malah dimintai uang.
Ade langsung nelangsa.
Jangankan uang pembayar surat tanda mualaf, makan saja dia jungkir balik.
Ade tidak punya pilihan kecuali balik kanan.
Kemudian dia pergi ke Departemen Agama, dan mendapatkan surat keterangan secara cuma-cuma.
Alhamdulillah.
Belakangan dia bertemu lagi dengan petugas yang meminta uang pembayaran.
Bapak pengurus itu minta maaf atas prilaku teledaornya.
"Saya sudah memaafkan sejak awal,"
ujar Ade lapang.
Hingga sekarang, Ade masih mengembara menjelajahi bumi ALLAH.
Tidak pernah khawatir akan kelaparan, tidak takut terlantar atau terlunta-lunta.
Baginya, semua umat Islam adalah saudara tempat berbagi dan saling tolong.
Kemanapun pergi, dia menetap di rumah ALLAH; begitu damai dan menyejukkan.
Tiada yang merisaukan hatinya untuk mengarungi hidup didunia.
Kalau pun ada masalah, tinggal mengadu hingga menangis di hadirat ALLAH.
Karena itulah, Ade paling senang sholat Tahajud dan Dhuha.
"Sesusah apa pun kehidupan, lari saja ke mesjid, pasti beres!"
ujarnya yakin.
Dan kakinya terus melangkah.
http://peperonity.com/go/sites/mview/muallaf/23217985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar