Selasa, 01 Maret 2011

Eca

Tak disangka, ibunyalah justru yang mengantarkannya menjadi seorang muslim. Dan delapan tahun kemudian, ibunya pula yang mengutuk keras pilihannya menjadi seorang muslimah. Hingga detik ini pun, sang ibu belum rela melihat anak semata wayangnya, Cintya Ressa Kusuma L Yos hidup damai di bawah naungan Islam.

Cerita itu berawal dari pernikahan wanita yang akrab disapa Eca ini dengan seorang lelaki pujaan hati, di tanah lahirnya, Bandung. Ketika itu usianya baru 17 tahun. Tapi apa boleh dikata, diri sudah merasa siap dipersunting seorang lelaki yang dicintai. Maka, menikahlah wanita kelahiran tahun 1976 ini di usia sweet seventeen.

Calon suami yang seorang muslim sampai rela menjadi murtadin, demi menikahi putri tunggal keluarga Kusuma L. Yos ini. Pernikahan terjadi tanpa aral melintang. Kehidupan bahagia ala putri cinderella pun dijalani kedua pasangan muda ini.

Di awal pernikahan, suasana terasa begitu indah. Namun kemudian, bahtera pernikahan mereka mulai oleng diterpa badai kehidupan. Sang suami berubah ringan tangan. Perbedaan kecil mulai tidak bisa ditolelir. Rasa tidak suka mulai dijawab dengan tangan kasar.

Hingga di usia pernikahan yang ke delapan, di tahun 1997, Eca sudah tak lagi tahan dengan kehidupan rumah tangga bak neraka itu. Ia menggugat cerai sang suami. Namun jawaban sang suami adalah dua tusukan pisau di leher dan pangkal tangannya, yang mengakibatkan tangan kanan Eca cacat. Alhasil, hingga sekarang Eca belum bisa makan menggunakan tangan kanannya.

Sumbu pertengkaran itu sebetulnya lantaran desakan Eca kepada sang suami untuk bisa menjadi Katolik seutuhnya. Maklum, Eca sendiri adalah keturunan Katolik yang sangat kuat. Sejak kecil ia rajin ke gereja saban pagi. Bahkan, saat menempuh pendidikan menengah (SMP dan SMA) di negeri Paman Sam, ia aktif di Persatuan Keluarga Katolik Indonesia.

Puncak pertengkaran, sang suami minggat. Eca sendiri ditinggalkan dalam kondisi kritis dengan tiga buah hati yang masih mungil-mungil.

Frustasi dengan keadaan, Eca mencari pelampiasan. Ia kabur ke Jakarta meninggalkan ibunya yang sudah menjanda, bahkan ketiga buah hatinya.Hingga 4 tahun lamanya, Eca banting tulang di Jakarta mencari nafkah untuk buah hatinya. Tak pernah sekalipun ia sempatkan waktu untuk pulang, menengok sang bunda dan ketiga anaknya.

Bertemu Ustadz

Ibunya, kalang kabut. Habis idenya mencari jejak Eca, yang pergi tak tahu rimbanya. Di ujung harapan, sang ibu akhirnya terdampar di hadapan salah seorang ustadz di kota Bandung. Hal yang aneh, mengingat ibunda Eca adalah pengiman ajaran Katolik. Tapi itulah jalan kehidupan. Tak ada satu makhluk pun yang berkuasa mengotak-atik cerita hidup satu insan.

Ia datang kepada sang ustadz, meminta bantuan doa agar anaknya bisa pulang. Di depan sang ustadz, ia berjanji akan berkurban kerbau andai anaknya pulang, kelak. Meski agak aneh, sang ustadz bersedia membantu mendoakan bagi kepulangan anaknya itu..

Selang berapa waktu, Eca tiba-tiba kembali ke kota Bandung. Padahal sang ustadz belum melakukan apa-apa. Ibunya kaget, seketika meluap kebahagiaan yang membuncah. Namun sayang, azam untuk berkurban kerbau yang sempat ia lontarkan, terhalang lantaran sang ustad tengah berangkat ke Mekkah.

Tahun 2001, saat sang Ustadz kembali ke tanah air, Eca dan ibunda menyengaja berkunjung ke rumahnya di daerah Pajagalan, Bandung, sekedar mengucap terima kasih. Tiba-tiba bisikan keimanan menerpa hati Eca. Semilir angin menerpa sisi spiritual terdalam Eca. Seberkas asa muncul di lubuk hatinya. Eca ingin masuk Islam. Padahal ketika itu rosario, simbol keimanannya, masih terselip di tasnya.

Ketika Eca mengungkapkan keingiannya untuk masuk Islam, sang Ibu, tak bisa berkutik di hadapan sang ustadz. Ia mengantar sang anak mengucap dua kalimat syahadat. Hanya mengantar! Hatinya miris, jauh dari ikhlas. Ia sama sekali tak mau menyaksikan ikrar syahadat buah hatinya. Amarah membuncah di dadanya menghadapi kenyataan sang putri kesayangan berpindah dari keyakinan leluhurnya.

Pilihan Bukan tanpa Halangan

Tentu, bagi Eca berpindah agama menjadi seorang muslim itu bukan tanpa halangan. Banyak ujian datang menerpa. Apalagi jika lingkungan tidak mendukung. Di rumah, ia menjadi satu-satunya muslim yang hidup di tengah-tengah penganut Khatolik. Dirinya seolah terbuang dari komunitas keluarga.

Maklumat untuk tidak mendukung peribadatannya pun didengungkan. Segala undangan perhelatan keluarga, tak pernah sampai ke telinga Eca. Bahkan, ia pun sama sekali tidak bisa belajar shalat dan ngaji.

Tak hilang akal, Eca mencuri-curi ilmu dari pedagang kaki lima yang acap lewat di depan rumahnya. Dari situlah ia belajar tata cara ibadah menurut keyakinannya yang baru.

Ujian terberat yang ia rasakan terutama dari segi ekonomi. “Saat itu, sekedar untuk beli bensin saja, saya sudah tak ada.”

Beruntung ada seorang kenalan yang berkenan meminjamkan kendaraannya kepada Eca. Kendaraan itu ia gunakan untuk mengantarkan sebuah proposal bisnis rancangannya ke sebuah instansi, untuk diikutsertakan dalam tender.

Dan, ujian itu pun berganti kelapangan. Proposalnya gol, ia berhak mengadakan sebuah event besar. Dari sanalah ia memulai kehidupan bisnisnya. Banyak order yang ia terima, seketika ia menjadi pengusaha yang sukses. Hingga Eca pun berkesempatan naik haji di tahun ketiganya menjadi seorang muslimah.

“Tahun 2004 saya bisa naik haii, itu adalah hadiah yang luar biasa. Saya yang tahun itu tengah dalam kondisi terpuruk, bisa pergi haji besar. Nikmat Allah begitu luar biasa,” ungkapnya.

Kini, selain kesibukannya di dunia usaha, Eca aktif di sebuah yayasan yang bergerak di bidang pembinaan para Mualaf semisal dia, yayasan Bina Insan Mualaf. Berkat keuletannya sebagai ketua, yayasan ini mulai berkembang tidak hanya di Bandung, melainkan juga di Yogyakarta, dan Jakarta. Lewat yayasan ini, Eca ingin membuka diri untuk para mualaf yang kerap merasa terbuang dari lingkungannya.

Setiap ahad sore, di rumahnya yang cukup luas, ia berbagi dengan para mualaf lain. Tak jarang Eca menjadi tempat berkeluh kesah sesamanya.

Mudah-mudahan yayasan ini pun menjadi kado terindah Eca untuk para mualaf lain. Selayaknya kado terindah dari Allah untuk Eca atas karunia seorang pangeran yang mengimaminya dalam berumah tangga. Lebaran tahun 2010 ini Eca mendapatkan anugerah pendamping hidup, seorang anggota Dewan yang mengabdi di Kabupaten Bandung Barat.

http://www.bmuallaf.com/2011/01/kisah-eca.html

1 komentar:

  1. kamu lebih bahagia dari saya....sampai sekarang saya belum bisa ketanah suci...padahal kamu baru tiga tahun....mungkin iman kamu lebih besar..dari saya....doakan saya....saya juga kepengen sekali naik haji....dan juga seperti kamu.

    BalasHapus