Senin, 04 Mei 2009

Agama Islam menjadi Pegangan Hidup Karena Disadarkan Tingkah Anak Tiga Bulannya

Nama saya Geradus Mayela Sudarta, biasa disingkat G.M. Sudarta. Saya lahir pada hari Rabu Kliwon di Desa Kauman, Klaten, Jawa Tengah tepatnya pada 20 February 1948. Saya putra bungsu dari pasangan Hardjowidjoyo dan Sumirah.

Keluarga besar saya, separo Katolik dan separo Islam. Ayah saya Islam Kejawen atau kebatinan, sedangkan ibu saya muslimah. Sejak kecil sebenarnya saya sudah bersyahadat, tapi dalam bahasa Jawa. Meski kemudian ketika menjelang remaja saya dipermandikan (dibaptis). Ini mungkin karena pengaruh adik-adik ayah (paman) yang beragama Katolik. Saya sering ikut ke Gereja bersama mereka. Karena seringnya ke Gereja, saya pernah berujar, "Mendengarkan lagu Gregorian itu sama indahnya seperi mendengar Adzan.".

Walaupun saya sudah dibaptis dan sering diajak ke Gereja, namun saya seperti tidak beragama Kristen Katolik saja, saya juga merasa sudah begitu akrab dengan agama Islam. Ibu dan saudara-saudara ibu, juga berasal dari keluarga muslim, jadi dapat saya katakan saya sudah begitu akrab dengan Islam.

Ketika saya di SMP saya bahkan pernah menjadi Ketua Rating PII (Pelajar Islam Indonesia) di sekolah. Ketika SMA, saya terlibat dalam pendirian Teater Akbar bersama Deddy Soetomo. Kebetulan, anggotanya kebanyakan dari PII. Teater yang saya dirikan sering menjuarai Festival HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam).

Teater kami sering membawakan naskah-naskah karya ARifin C. Noer, salah satunya adalah naskah yang berjudul Amniah. Naskah ini sering kami pentaskan. Bahkan dalam Kongres PII, Teater Akbar menjadi juara pada festival seninya.

Akibat kemenangan ini, sebuah surat kabar terbitan Semarang menulis, tidak semua anggota Teater Akbar orang muslim. Posisi saya dalam teater ini menjadi serba salah. Padahal saya hanya penata panggung dan kadang-kadang figuran. Pernyataan surat kabar ini pastilah ditujukan kepada saya.

Bagi saya, ini bukan masalah, dalam hal ini saya beruntung dibela oleh sastrawan O'Galelano. Menurutnya yang penting adalah estetikanya. Muslim atau bukan, yang penting bagus.

Selain aktif di dunia teater, saya juga bergaul dengan teman-teman muslim. Dari sanalah saya mulai membaca buku tentang keagamaan. Selain itu, saya juga membaca buku-buku Tan Malaka dan sejenisnya, serta buku yang lebih bersifat eksistensialis. Saya selalu bertanya, sehingga saya makin berfikir untuk mencari sebab dan akibat kehidupan.

Saya hidup untuk apa? apalagi anggota Pelukis Rakyat banyak mempengaruhi saya, sehingga saya bersimpati pada perjuangan mereka, karena ada sebagian anggota yang ikut menjawab pertanyaan saya. Tapi, itu tidak begitu lama. Akhirnya saya terus berfikir untuk mencari tahu. Saya pernah berfikir, Tuhan ada atau tidak ada, tidak menjadi soal.

Sering Ziarah

Untuk menjawab itu, saya sering pergi kebeberapa makan Sunan (Wali). Saya sering tidur di makam Syekh Maulana Yusuf di Banten, makam Sunan Kudus, bahkan sampai ke Gresik. Namun, pertanyaan itu makin gencar dalam hati saya, walaupun saya sadar tidak akan terjawab. Saya banyak mencari-cari terutama hal-hal yang musykil.

Perjalanan ziarah itu bukanlah untuk mencari apa-apa. Bahkan saya tidak tahu untuk apa. Pertanyaan itulah yang menuntun saya mengunjungi atau menziarahi makam para sunan, bahkan sampai tidur disana. Yang jelas saya mencari pertanyaan yang tidak pernah terjawab tentang Tuhan.

Dari perjalanan mengunjungi makam para wali itu, saya pernah mengalami kejadian aneh. Di saat saya mengunjungi makan Syekh Maulana Yusuf di Banten, saya di datangi seorang Arab berbaju putih dan bersorban, dengan logat yang kaku ia berbicara tentang nabi Isa AS. Orangnya pintar sekali.

Selanjutnya orang itu menjabat tangan saya, anehnya bau wanginya selama satu minggu tidak hilang, walaupun sering saya cuci. Dari situ saya mencari orang itu sampai ke Kudus dan tempat lain. Saya mencari orang itu tapi tidak ketemu.

Walaupun saya bukan seorang muslim, namun mengunjungi makam para wali sangat berarti bagi saya. Selain mencari jawaban atas hakikat hidup, sekaligus juga untuk mencari inspirasi dalam usaha kerja saya sebagai seorang kartunis (Aktif dalam Harian Kompas http://www.kompas.co.id, Red).

Dari perjalan ziarah inilah, saya menemukan kedamaian dan ketenangan. Banyak hal yang saya temukan. Yang jelas saya kini mendapatkan ketenangan. Walaupun saya masih dalam tahap mempelajari Islam, namun saya sudah mendapatkan karunia itu. Oleh Tuhan saya dititipi sepasang anak kembar.

Dari semua itu semakin menyadarkan saya, bahwa pegangan yang sederhana tetapi mempunyai kekuatan yang luar biasa adalah agama. dan doa kita itu pasti diterima dan dikabulkan Tuhan.

Agama, inilah jawaban yang saya terima dari perjalanan saya mengunjungi makam para wali untuk mencari hakikat hidup. Saya benar-benar disadarkan akan pentingnya sebuah pegangan hidup; Agama - yang menjadi pegangan mengarungi lautan kehidupan.

Masuk Islam

Dari apa yang telah dititipkan Tuhan pada saya -- sepasang anak kembar -- saya kembali disadarkan oleh rasa keberagamaan saya. Aryo Damar, anak saya yang laki-laki, sejak berusia tiga bulan sampai sekarang, bila ada adzan Magrib di televisi, ia tidak mau melepaskan diri dari depan kaca televisi. Kalaupun sedang menangis, ia berhenti dahulu untuk mendengarkan adzan. Kejadian ini saya rekam dan saya abadikan dalam kaset video. Kelakuan anak saya ini semakin memperingatkan dan membuat saya yakin bahwa pegangan paling sederhana dan mempunyai kekuatan adalah Agama.

Akhirnya, saya putuskan untuk menerima apa yang terjadi pada diri saya. Saya mengikrarkan diri menjadi seorang muslim, dengan kata lain menerima Islam. Perpindahan saya menjadi seorang muslim ini disambut baik oleh teman-teman saya dan mereka memberi beberapa buku agama, tafsir Al-Qur'an dan buku Fiqih Sunnah karya Sayid Sabiq lengka 12 jilid. Bahkan yang aneh ada teman saya yang memberikan AL-Qur'an jauh sebelum saya mengucapkan dua kalimah syahadat. Mungkin ia sudah mendapat firasat.

Selain itu, banyak pula teman-teman saya yang menyatakan penyesalannya atas keputusan saya itu. Mereka menyesali perubahan yang terjadi pada diri saya. Namun itu tidak membuat saya mundur. Saya tetap berkeyakinan untuk menjadi seorang muslim.

Islam bagi saya adalah agama yang memiliki toleransi paling tinggi. Dengan Islam saya menjadi lebih mantap memastikan pegangan hidup. Kini saya banyak belajar dari istri untuk mendalami agama terutama belajar Al-Qur'an. Selain kepada teman-teman saya juga sering mendiskusikan dengan para tokoh agama . Hal ini saya maksudkan untuk memantapkan keimanan saya. (Hamzah, mualaf.com)


http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/99-gm-sudarta--kembali-kepada-keagungan-islam

Berkat Berkhutbah di Gereja Dengan Menggunakan Referensi Dari Seorang Kiai

Barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perjalanan hidupnya merupakan suatu kasus yang langka dan unik. Betapa tidak, Abraham David Mandey yang selama 12 tahun mengabdi di gereja sebagai "Pelayan Firman Tuhan ", istilah lain untuk sebutan pendeta, telah memilih Islam sebagai "jalan hidup" akhir dengan segala risiko dan konsekuensinya. Di samping itu, ia yang juga pernah menjadi perwira TNI-AD dengan pangkat mayor, harus mengikhlaskan diri melepas jabatan, dan memulai karir dari bawah lagi sebagai kepala keamanan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Cerita Beliau ini, - mohon maaf - tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan Institusi tertentu karena apa yang telah terjadi Beliau terima dengan ikhlas dan tawakal, Beliau hanya ingin menceritakan proses bagaimana Beliau mendapat hidayah dan tantangannya sebagai mualaf - red.

Saya terlahir dengan nama Abraham David di Manado, 12 Februari 1942. Sedangkan, Mandey adalah nama fam (keluarga) kami sebagai orang Minahasa, Sulawesi Utara. Saya anak bungsu dan tiga bersaudara yang seluruhnya laki-laki. Keluarga kami termasuk keluarga terpandang, baik di lingkungan masyarakat maupun gereja. Maklum, ayah saya yang biasa kami panggil papi, adalah seorang pejabat Direktorat Agraria yang merangkap sebagai Bupati Sulawesi pada awal revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedudukan di Makasar. Sedangkan, ibu yang biasa kami panggil mami, adalah seorang guru SMA di lingkungan sekolah milik gereja Minahasa.

Sejak kecil saya kagum dengan pahlawan-pahlawan Perang Salib seperti Richard Lion Heart yang legendaris. Saya juga kagum kepada Jenderal Napoleon Bonaparte yang gagah perwira. Semua cerita tentang kepahlawanan, begitu membekas dalam batin saya sehingga saya sering berkhayal menjadi seorang tentara yang bertempur dengan gagah berani di medan laga.

Singkatnya, saya berangkat ke Jakarta dan mendaftar ke Mabes ABRI. Tanpa menemui banyak kesulitan, saya dinyatakan lulus tes. Setelah itu, saya resmi mengikuti pendidikan dan tinggal di asrama. Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dari pendidikan militer yang saya ikuti selama 2 tahun itu, kecuali bahwa disiplin ABRI dengan doktrin "Sapta Marga"-nya telah menempa jiwa saya sebagai perwira remaja yang tangguh, berdisiplin, dan siap melaksanakan tugas negara yang dibebankan kepada saya.

Meskipun dipersiapkan sebagai perwira pada bagian pembinaan mental, tetapi dalam beberapa operasi tempur saya selalu dilibatkan. Pada saat-saat operasi pembersihan G-30S/PKI di Jakarta, saya ikut bergabung dalam komando yang dipimpin Kol. Sarwo Edhie Wibowo (almarhum).

Setelah situasi negara pulih yang ditandai dengan lahirnya Orde Baru tahun 1966, oleh kesatuan saya ditugaskan belajar ke STT (Sekolah Tinggi Teologi) milik gereja Katolik yang terletak di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Di STI ini, selama 5 tahun (1966-1972) saya belajar, mendalami, mengkaji, dan diskusi tentang berbagai hal yang diperlukan sebagai seorang pendeta. Di samping belajar sejarah dan filsafat agama Kristen. STT juga memberikan kajian tentang sejarah dan filsafat agama-agama di dumia, termasuk studi tentang Islam.


Menjadi Pendeta.

Sambil tetap aktif d TNI-AD, oleh Gereja Protestan Indonesia saya ditugaskan menjadi Pendeta II di Gereja P***** (edited) di Jakarta Pusat, bertetangga dengan Masjid Sunda Kelapa. Di gereja inilah, selama kurang lebih 12 tahun (1972-1984) saya memimpin sekitar 8000 jemaat yang hampir 80 persen adalah kaum intelektual atau masyarakat elit.

Di Gereja P***** (edited) ini, saya tumpahkan seluruh pengabdian untuk pelayanan firman Tuhan. Tugas saya sebagai Pendeta II, selama memberikan khutbah, menyantuni jemaat yang perlu bantuan atau mendapat musibah, juga menikahkan pasangan muda-mudi yang akan berumah tangga.

Kendati sebagai pendeta, saya juga anggota ABRI yang harus selalu siap ditugaskan di mana saja di wilayah Nusantara. Sebagai perwira ABRI saya sering bertugas ke seluruh pelosok tanah air Bahkan, ke luar negeri dalam rangka tugas belajar dari markas, seperti mengikuti kursus staf Royal Netherland Armed Forces di Negeri Belanda. Kemudian, pada tahun 1969 saya ditugaskan untuk mengikuti Orientasi Pendidikan Negara-negara Berkembang yang disponsoni oleh UNESCO di Paris, Prancis.


Dilema Rumah Tangga

Kesibukkan saya sebagai anggota ABRI ditambah tugas tugas gereja, membuat saya sibuk luar biasa. Sebagaipendeta, saya lebih banyak memberikan perhatian kepada jemaat. Sementara,kepentingan pribadi dan keluarga nyaris tergeser. Istri saya, yang putri mantan Duta Besar RI di salah satu negara Eropa, sering mengeluh dan menuntut agar saya memberikan perhatian yang lebih banyak buat rumah tangga.

Tetapi yang namanya wanita, umumnya lebih banyak berbicara atas dasar perasaan. Karena melihat kesibukan saya yang tidak juga berkurang, ia bahkan meminta agar saya mengundurkan diri dan tugas-tugas gereja, dengan alasan supaya lebih banyak waktu untuk keluarga. Tenth saja saya tidak dapat menerima usulannya itu. Sebagai seorang "Pelayan Firman Tuhan" saya telah bersumpah bahwa kepentingan umat di atas segalanya.

Problem keluarga yang terjadi sekitar tahun 1980 ini kian memanas, sehingga bak api dalam sekam. Kehidupan rumah tangga saya, tidak lagi harmonis. Masalah-masalah yang kecil dan sepele dapat memicu pertengkaran. Tidak ada lagi kedamaian di rumah. Saya sangat mengkhawatirkan Angelique, putri saya satu-satunya. Saya khawatir perkembangan jiwanya akan terganggu dengan masalah yang ditimbulkan kedua orang tuanya. Oleh karenanya, saya bertekad harus merangkul anak saya itu agar ia mau mengerti dengan posisi ayahnya sebagai pendeta yang bertugas melayani umat. Syukur, ia mau mengerti. Hanya Angeliquelah satu-satunya orang di rumah yang menyambut hangat setiap kepulangan saya.

Dalam kesunyian malam saat bebas dan tugas-tugas gereja, saya sering merenungkan kehidupan ramah tangga saya sendiri. Saya sering berpikir, buat apa saya menjadi pendeta kalau tidak mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan buat rumah tangganya sendiri. Saya sering memberikan khutbah pada setiap kebaktian dan menekankan hendaknya setiap umat Kristen mampu memberikan kasih kepada sesama umat manusia. Lalu, bagaimana dengan saya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin membuat batin saya resah. Saya mencoba untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Istri saya bahkan terang terangan tidak mendukung tugas-tugas saya sebagai pendeta. Saya benar-benar dilecehkan. Saya sudah sampal pada kesimpulan bahwa antara kami berdua sudah tidak sejalan lagi.

Lalu, untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak saling sejalan? Ketika niat saya untuk "melepas" istri, saya sampaikan kepada sahabat-sahabat dekat saya sesama pendeta, mereka umumnya menyarankan agar saya bertindak lebih bijak. Mereka mengingatkan saya, bagaimana mungkin seorang pendeta yang sering menikahkan seseorang, tetapi ia sendiri justru menceraikan istrinya? Bagaimana dengan citra pendeta di mata umat? Begitu mereka mengingatkan.

Apa yang mereka katakan semuanya benar. Tetapi, saya sudah tidak mampu lagi mempertahankan bahtera rumah tangga. Bagi saya yang terpenting saat itu bukan lagi persoalan menjaga citra pendeta. Tetapi, bagaimana agar batin saya dapat damai. Singkatnya, dengan berat hati saya terpaksa menceraikan istri saya. Dan, Angelique, putri saya satu-satunya memilih ikut bersama saya.


Mencari Kedamaian

Setelah kejadian itu, saya menjadi lebih banyak melakukan introspeksi. Saya menjadi lebih banyak membaca literatur tentang filsafat dan agama. Termasuk kajian tentang filsafat Islam, menjadi bahan yang paling saya sukai. Juga mengkaji pemikiran beberapa tokoh Islam yang banyak dilansir media massa.

Salah satunya tentang komentar K.H. E.Z. Muttaqin (almarhum) terhadap krisis perang saudara di Timur Tengah, seperti di Yerusalem dan Libanon. Waktu itu (tahun 1983), K.H.E.Z. Muttaqin mempertanyakan dalam khutbah Idul Fitrinya, mengapa Timur Tengah selalu menjadi ajang mesiu dan amarah, padahal di tempat itu diturunkan para nabi yang membawa agama wahyu dengan pesan kedamaian?

Saya begitu tersentuh dengan ungkapan puitis kiai dan Jawa Barat itu. Sehingga, dalam salah satu khutbah saya di gereja, khutbah Idul Fitni K.H. E.Z. Muttaqin itu saya sampaikan kepada para jemaat kebaktian. Saya merasakan ada kekagetan di mata para jemaat. Saya maklum mereka terkejut karena baru pertama kali mereka mendengar khutbah dari seorang pendeta dengan menggunakan referensi seorang kiai Tetapi, bagi saya itu penting, karena pesan perdamaian yang disampaikan beliau amat manusiawi dan universal.

Sejak khutbah yang kontroversial itu, saya banyak mendapat sorotan. Secara selentingan saya pemah mendengar "Pendeta Mandey telah miring." Maksudnya, saya dinilai telah memihak kepada salah satu pihak. Tetapi, saya tidak peduli karena yang saya sampaikan adalah nilai-nilai kebenaran.

Kekaguman saya pada konsep perdamaian Islam yank diangkat oleh KH. E.Z. Muttaqin, semakin menarik saya lebih kuat untuk mendalami konsepsi-konsepsi Islam lainnya. Saya ibarat membuka pintu, lalu masuk ke dalamnya, dan setelah masuk, saya ingin masuk lagi ke pintu yang lebih dalam. Begitulah perumpamaannya. Saya semakin "terseret" untuk mendalami, konsepsi Islam tentang ketuhanan dan peribadahan

Saya begitu tertarik dengan konsepsi ketuhanan Islam yang disebut "tauhid". Konsep itu begitu sederhana, lugas, dan tuntas dalam menjelaskan eksistensi Tuhan yang oleh orang Islam disebut Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga, orang yang paling awam sekalipun akan mampu mencemanya. Berbeda dengan konsepsi ketuhanan Kristen yang disebut Trinitas. Konsepsi ini begitu rumit, sehingga diperlukan argumentasi ilmiah untuk memahaminya.

Akan halnya konsepsi peribadatan Islam yang disebut syariat, saya melihatnya begitu teratur dan sistematis. Saya berpikir seandainya sistemper ibadatan yang seperti ini benar benar diterapkan, maka dunia yang sedang kacau ini akan mampu di selamatkan.

Pada tahun 1982 itulah saya benar-benar mencoba mendekati Islam. Selama satu setengah tahun saya melakukar konsultasi dengan K.H. Kosim Nurzeha yang juga aktif di Bintal (Pembinaan Mental) TNI-AD. Saya memang tidak ingin gegabah dan tergesa-gesa, karena di samping saya seorang pendeta, saya juga seorang perwira Bintal Kristen dilingkungan TNI-AD. Saya sudah dapat menduga apa yang akan terjadi seandainya saya masuk Islam.

Tetapi, suara batin saya yang sedang mencari kebenaran dan kedamaian tidak dapat diajak berlama-lama dalam kebimbangan. Batin saya mendesak kuat agar saya segera meraih kebenaran yang sudah saya temukan itu.

Oh, ya, di samping Pak Kosim Nurzeha, saya juga sering berkonsultasi dengan kolega saya di TNI-AD. Yaitu, Dra. Nasikhah M., seorang perwira Kowad (Korps.Wanita Angkatan Darat) yang bertugas pada BAIS (Badan Intelijen dan Strategi) ABRI.

Ia seorang muslimah lulusan UGM (Universilas Gajah Mada) Yogyakarta, jurusan filsafat. Kepadanya saya sering berkonsultasi tentang masalah-masalah pribadi dan keluarga. Ia sering memberi saya buku-buku bacaan tentang pembinaan pribadi dan keluarga dalam Islam. Saya seperti menemukan pegangan dalam kegundahan sebagai duda yang gagal dalam membina rumah tangganya.

Akhirnya, saya semakin yakin akan hikmah dibalik drama rumah tangga saya. Saya yakin bahwa dengari jalan itu, Tuhan ingin membimbing saya ke jalan yang lurus dan benar. Saya bertekad, apa pun yang terjadi saya tidak akan melepas kebenaran yang telah saya raih ini.

Akhimya, dengan kepasrahan yang total kepada Tuhan, pada tanggal 4 Mei 1984 saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dengan bimbingan Bapak K.H. Kosim Nurzeha dan saksi Drs. Farouq Nasution di Masjid Istiqial. Allahu Akbar. Hari itu adalah hari yang amat bersejarah dalam hidup saya. Han saat saya menemukan diri saya yang sejati.


Menghadapi Teror

Berita tentang keislaman saya ternyata amat mengejutkan kalangan gereja, termasuk di tempat kerja saya di TNI-AD. Wajar, karena saya adalah Kepala Bintal (Pembinaan Mental)Kristen TNI-AD dan di gereja, saya adalah pentolan.

Sejak itu saya mulai memasuki pengalaman baru, yaitu menghadapi tenor dan berbagai pihak. Telepon yang bernada ancaman terus berdening. Bahkan, ada sekelompok pemuda gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawa saya, karena dianggapnya telah murtad dan mempermalukan gereja.

Akan halnya saya, di samping menghadapi teror, juga menghadapi persoalan yang menyangkut tugas saya di TNI AD. DGI (Dewan Gereja Indonesia), bahkan menginim surat ke Bintal TNT-AD, meminta agar saya dipecat dan kedinasan dijajaran ABRl dan agar saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu di hadapan majelis gereja.

Saya tidak penlu menjelaskan secara detail bagaimana proses selanjutnya, karena itu menyangkut rahasia Mabes ABRI. Yang jelas setelah itu, saya menerima surat ucapan tenima kasih atas tugas-tugas saya kepada negara, sekaligus pembebastugasan dan jabatan saya di jajaran TNT-AD dengan pangkat akhir Mayor.

Tidak ada yang dapat saya ucapkan, kecuali tawakal dan ménerima dengan ikhlas semua yang tenjadi pada diri saya. Saya yakin ini ujian iman.

Saya yang terlahir dengan nama Abraham David Mandey, setelah muslim menjadi Ahmad Dzulkiffi Mandey, mengalami ujian hidup yang cukup berat. Alhamdulillah, berkat kegigihan saya, akhirnya saya diterima bekerja di sebuab perusahaan swasta. Sedikit demi sedikit kanin saya terus menanjak. Setelah itu, beberapa kali saya pindah kerja dan menempati posisi yang cukup penting. Saya pennah menjadi Manajer Divisi Utama FT Putera Dharma. Pernah menjadi Personel/General Affairs Manager Hotel Horison, tahun 1986-1989, Dan, sejak tahun 1990 sampai sekarang saya bekerja di sebuah bank terama di Jakarta sebagai Safety & Security Coordinator.

Kini, keadaan saya sudah relatif baik, dan saya sudah meraih semua kebahagiaan yang selama sekian tahun saya rindukan. Saya sudah tidak lagi sendiri, sebab Dra. Nasikhah M, perwira Kowad itu, kini menjadi pendamping saya yang setia, insya Allah selama hayat masih di kandung badan. Saya menikahinya tahun 1986. Dan, dan perikahan itu telah lahir seorarig gadis kedil yang manis dan lucu, namariya Achnasya. Sementara, Angelique, putri saya dari istri pertama, sampai hari ini tetap ikut bersama saya, meskipun ia masih tetap sebagai penganut Protestan yang taat.

Kebahagiaan saya semakin bertambah lengkap, tatkala saya mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri tercinta pada tahun 1989.

http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/111

Menjadi Muslim karena Ketidakkonsistensian Ajaran-ajaran Dalam Injil

Saya, ketika itu, begitu bangga menjadi umat kristiani. Bahkan, saya sering mengejek umat Islam dengan kata-kata kotor. Bagi saya waktu itu, Islam tak lebih sebagai agamanya orang-orang miskin yang kotor dan menjijikkan. Tapi, setelah saya mengenal Islam lebih jauh dan mulai bersahabat dengan orang Islam, baru saya mengerti bahwa Islam adalah agama yang suci.

ISLAM adalah agama hakiki yang dapat dikaji dan didiskusikan. Islam juga tak berseberangan dengan alam rasional sehingga kebenaran dapat ditemukan dalam Islam. Nama saya sekarang H. Abdul Razak Hutagaol (43), tapi sebelum Islam saya dikenal dengan nama Situa Oak Hutagaol. Saya seorang aktivis Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saya menjadi muslim pada tanggal 16 September 1997 di Masjid Syuhada, Yogyakarta. Alhamdulillah, sebulan kemudian saya menunaikan ibadah umrah. Bahkan, setahun kemudian saya menunaikan ibadah haji. (Amien, Red.)

Keluarga kami sangat taat beragama. Papi saya adalah seorang aktivis gereja sehingga saya dan seluruh keluarga selalu mempelajari agama. Teringat ketika masih kecil, papi sering menyuruh saya untuk datang ke gereja. Bahkan kalau tak mau, ia sering memarahi saya.

Proses awal saya masuk Islam, melalui pengkajian pendalaman terhadap Alkitab (Bibel) yang saya bandingkan dengan kitab suci Al-Qur'an. Ternyata Al-Qur'an lebih konsisten, baik dalam redaksi maupun ajarannya.

Saya, ketika itu, begitu bangga menjadi umat kristiani. Bahkan, saya sering mengejek umat Islam dengan kata-kata kotor. Bagi saya waktu itu, Islam tak lebih sebagai agamanya orang-orang miskin yang kotor dan menjijikkan. Tapi, setelah saya mengenal Islam lebih jauh dan mulai bersahabat dengan orang Islam, baru saya mengerti bahwa Islam adalah agama yang suci.

Di antara perintah (ayat) Injil yang tidak dipatuhi umat Kristen adalah soal keharusan memakai kerudung bagi kaum wanitanya, termasuk perintah tak boleh memakan daging babi, seperti tertuang dalam Injil Matius 5:17 dan Imamat 11: 7. Umat Kristen tak mempedulikan larangan ini. Lain halnya dengan Islam yang selalu menaati perintah tersebut.

Lalu masalah teologi, yakni konsep ketuhanan yang sangat membingungkan dan tak masuk akal, yaitu mengenai masalah trinitas (Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Jadi, menurut saya, falsafah Kristen itu sudah tak dapat dipercaya.

Saya juga memperhatikan munculnya aliran (sekte) yang ada di dalam agama Kristen Misalnya, ada pendeta di Guyana, Amerika Latin, yang memerintahkan jemaatnya untuk melakukan bunuh diri massal, dengan tujuan ingin bertemu Tuhan Ini menurut saya tak masuk akal. Tapi dalam Islam, seperti di pesantren-pesantren atau di majelis-majelis taklim, tak pernah ada hal semacam itu.

Sebab itu, saya bertekad untuk mendalami Islam lebih jauh. Dan, ternyata Islam memberikan cakrawala berpikir lebih rasional. Sehingga Islam itu bisa dikaji dan didiskusikan seperti mengenai masalah haram, makruh, halal, dan lainnya. Islam itu juga tak mengenal dogma-dogma.

Saya juga teringat pada awal masuk Islam, ada kejadian aneh yang saya alami -- mungkin tidak ada orang yang percaya. Ceritanya terjadi ketika saya sedang mengalami kesulitan ekonomi. Ada suara aneh dan sangat kasar menyuruh saya untuk membaca Al-Qur'an dan melakukan shalat. Perintah ini jelas sekali terdengar sampai tiga kali berturut-turut.

Saya waktu itu dalam keadaan sadar. Saya tak mengerti, apakah suara itu suara jin atau apa. Tapi, saya berpikir keras. Setelah proses mengkaji itu, mungkin ini perintah Allah kepada saya. Kejadian ini seringkali muncul ketika saya sedang dalam keadaan susah.

Saya mengibaratkan kejadian yang selalu mendadak ini sebagai ilham kepada saya. Apa yang selama ini saya anggap gaib, ternyata dapat saya rasakan. Hingga akhirnya saya memilih Islam sebagai pegangan hidup.

Sebulan kemudian, saya menjalankan ibadah umrah yang dibiayai oleh Haji Darmanto. Selesai umrah, saya banyak belajar mendalami Islam dengan bimbingan Ustadz Drs. H. Syamsul Arifin Nababan, pimpinan Yayasan Pendidikan Muallaf. Saya juga terus mendalami Islam di yayasan pendidikan Islam serta pesantren-pesantren lainnya.

Cobaan Iman

Setelah masuk Islam, banyak pula cobaan yang menimpa saya. Di antaranya waktu kembali dari ibadah umrah, saya ditangkap polisi atas tuduhan perbuatan yang tidak menyenangkan atas pengaduan orang tua saya. Dan ternyata, penangkapan itu dipimpin oleh ipar saya sendiri. Tapi akhirnya persoalan selesai dan semuanya telah saya maafkan.

Sedangkan orang tua saya sekarang ini masih belum bisa memaafkan saya. la belum juga mau menjumpai saya, walaupun saya sudah melakukan kompromi dengan berbagai pihak untuk mengadakan pertemuan itu. Tapi, sampai saat ini belum berhasil. Mudah-mudahan Allah bisa memberikan hidayah kepadanya.

Saya juga mengalami cobaan dalam hal ekonomi. Dulu, saya seorang kontraktor yang sukses dan hidup sangat kecukupan. Tapi, sekarang ini saya diuji Allah, dengan dihilangkan sebagian dari harta yang saya miliki. Sekarang saya hidup sederhana.

Saya cukup pusing dengan sikap anak-anak saya yang tidak mau menerima kenyataan ini. Mereka selalu bertanya, "Mengapa dulu sebelum ayah masuk Islam hidup kita berkecukupan, bisa punya mobil mewah, bisa beli apa yang diinginkan. Tapi sekarang, setelah ayah masuk Islam hidup kita menjadi susah?"

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat saya sedih. Bagaimana saya harus menerangkan kepada anak-anak saya itu? Saya hanya bisa meneteskan air mata. Hanya bisa memohon kepada Allah dan selalu berzikir dan terus berusaha. Karena anak-anak saya belum bisa menerima Islam, sedangkan istri saya sudah dapat menerima dan sudah saya islamkan.

Saya terus berusaha membuktikan kepada anak-anak kami bahwa sebenarnya Islam itu tidak membuat orang jadi melarat. Allah juga membuktikannya kepada saya melalui rezeki yang tak diduga-duga. Ini saya yakini sebagai anugerah Allah kepada saya. (dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/).

http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/128

Masuk Islam Karena Babi Diharamkan Menurut Injil

Sudah sekitar tiga tahun terakhir, Stefanus R Sumangkir, bergerak membangun kelompok yang menjadi ajang berkumpulnya para mualaf (orang yang baru masuk Islam), di Tegal, Jawa Tengah. Kelompok ini disebut sebagai Paguyuban Mualaf Kallama. Kini anggotanya sudah mencapai 19 orang. Kelompok itu berusaha untuk mandiri dengan berupaya semampunya. Dana untuk organisasi didapat dari iuran anggota dan sumbangan dermawan. ''Paguyuban ini untuk ajang komunikasi dan juga wahana mendalami Islam,'' ujar Sumangkir.

Jalan yang ditempuh Sumangkir untuk bisa membangun komunitas mualaf ini cukup berliku. Mulanya, Sumangkir yang kini berusia 56 tahun itu adalah seorang penginjil. Ajaran Kristen memang telah melekat pada keluarga Sumangkir sejak dia masih kecil. Pada 1986-1987, Sumangkir dikirim untuk menuntut ilmu di sekolah teologi di Malang, Jawa Timur. Ilmu-ilmu yang diperlukan untuk jadi penginjil pun diserapnya. Hingga 1988, Sumangkir dipercaya Gereja Maranatha Slawi untuk membimbing jemaat.

Dia sempat dikirim ke Desa Karanggedang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, untuk misi pengkristenan. Di desa yang mayoritas penduduknya eks-tapol Pulau Buru itu, Sumangkir rajin mendekati warga agar masuk Kristen. Dengan semangat tinggi, Sumangkir bisa meluluhkan sebagian hati warga sehingga ada yang memeluk Kristen. Di Karanggedang ini, Sumangkir mengaku pertama kali mendapat hidayah dari Tuhan. ''Saat saya menemui seorang yang akan kami Kristenkan, orang itu bertanya kepada saya tentang Tuhan yang katanya satu tetapi mencipta dua hukum. Contohnya tentang babi, di mana Kristen menghalalkan dan Islam mengharamkan. Atas pertanyaan itu saya kebingungan,'' ujarnya mengenang.

Sejak itu dia mencoba membuka-buka Injil yang menjadi pedoman bagi agama Kristen. Ternyata Surat Imamat 11 ayat 7 menyebutkan babi haram karena memiliki dua kuku yang terbelah. Namun para pendeta Kristen, saat mengajar di gereja-gereja tak menyatakan babi haram bagi umat Kristen. Beberapa tahun berlalu. Sumangkir mendapat tugas mengajar di Gereja Maranata dan GPPS Budimulya di Slawi, Kabupaten Tegal. Di situ Sumangkir berceramah di hadapan jemaat tentang babi yang diharamkan. Ternyata ceramah itu menjadi tidak berkenan bagi majelis gereja yang langsung menskorsnya. Nama Stepanus Sumangkir dihapus dari daftar penceramah tanpa alasan.

Saat itu Sumangkir tidak langsung berganti agama, namun tetap saja pada pendirian sebagai penginjil. Secara mandiri dia aktif mencari sasaran di tengah masyarakat yang miskin. Kehidupan sebagai penginjil cukup menopang ekonominya pada waktu itu. Dua anaknya, Euneke Alfa Lidia (16 tahun) dan Critoper Pitagoras (13 tahun) bisa sekolah dan hidup layak. Di tengah kegalauan jiwanya tentang keyakinan dalam beragama, Sumangkir mendapat hidayah yang kedua. Kali ini lewat tayangan televisi Indosiar yang memutar film Ramadhan berjudul Jamaludin Al Afghani. Film tentang tokoh Islam itu mengetuk hati keluarga Sumangkir untuk memeluk Islam. Dari sinilah ghirah Islamnya terus tumbuh, sampai akhirnya dia membangun Paguyuban Mualaf Kallama.

Mulanya, kelompok ini menggelar pengajian rutin setiap malam Senin, bertempat di rumah Sumangkir di Jalan Murbei No 16, Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Mereka biasanya memanggil ustadz untuk menambah ilmunya. Anggota paguyuban mualaf yang dipimpin Sumangkir terkadang harus lapang dada diperlakukan tidak adil. Perlakuan seperti ini, misalnya, pernah dialami Gunawan yang bekerja di sebuah toko emas di Kota Tegal. Sejak lama Gunawan menjadi penganut Katolik yang taat, namun akhirnya dia memilih masuk Islam. Saat masih memeluk Katolik, lingkungan tempatnya bekerja terbilang kondusif. Namun, begitu Gunawan ketahuan setiap Jumat pamit ke masjid untuk shalat Jumat, pemilik toko menjadi kurang berkenan. Akhirnya Gunawan dipecat.

Karena kebutuhan ekonomi, akhirnya para mualaf yang semula aktif mengikuti kegiatan pengajian menjadi berkurang. ''Ya saya maklum, mereka harus bisa menghidupi keluarga. Sehingga, mereka memilih keluar kota mencari pekerjaan,'' tutur Sumangkir. Sumangkir sendiri menggantungkan hidupnya sebagai penceramah dibantu istrinya, Siti Fatimah, juga mualaf, yang tiap hari berjualan nasi gudeg. Karena faktor kesibukan itu, aktivitas Paguyuban Mualaf Kallama tak lagi rutin. Namun, Sumangkir tetap ingin menjalankannya. Kini sedang dirintis agar paguyuban itu bisa menjadi ajang usaha bersama.
Beberapa anggota yang memiliki keahlian akan dirangkulnya. Sumangkir yang piawai dalam membuat papan reklame dan sablon, akan merintis usaha dalam bidang tersebut. Cuma, katanya, kini belum punya modal. Untuk membangun usaha reklame memang diperlukan peralatan seperti kompresor, dan peralatan sablon yang harganya cukup mahal. Bersama anggotanya, dia akan terus berupaya agar ada penghasilan yang bisa menghidupi keluarganya dan Paguyuban Mualaf Kallama. Sumber : Harian Republika, http://www.republika.co.id

http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/140

Masuk Islam karena Kritis terhadap Isi Injil

SAYA lahir dari keluarga Katolik yang taat, 45 tahun yang lalu di Surabaya, Jawa Timur. Nama asli saya Han Hoo Lie, tapi biasa dipanggil Ireni. Sejak kecil saya sudah mendalami agama. Ketika SD saya ikut privat agama di biara, dan itu berlangsung hingga saya SMP kelas dua. Mungkin, lantaran sering bergaul dengan para suster di biara itu, dalam diri saya timbul keinginan untuk menjadi seorang suster (biarawati).

Dalam pandangan saya, alangkah mulia dan sucinya seorang biarawati itu, karena dia telah mengabdikan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dengan kesederhanaan hati dan penuh kasih sayang mereka membimbing orang -orang ke arah iman Yesus Kristus. Sungguh, saya ingin sekali seperti mereka. Keluarga saya mendukung sepenuhnya cita-cita saya itu.

Maka, untuk mewujudkan cita-cita itu, sejak kecil saya sudah aktif dalam kegiatan gereja. Karena aktivitas saya itulah, sejak kelas satu SMA saya sudah terpilih sebagai Ketua Presidium Yunior Ligio Maria. Organisasi ini bergerak dalam bidang karya, kerasulan, dan doa. Begitu tamat SMA, saya langsung masuk ke sekolah susteran (biarawati) di Bandung.

Selama menempuh pendidikan di sekolah biarawati itu, selain mengikuti kuliah di biara seperti umumnya para calon suster maupun suster muda, saya bersama salah seorang teman diberi tugas khusus untuk kuliah di Institut Filsafat dan Teologia Bandung. Saya tidak tahu mengapa saya yang diberi tugas itu. Memang saya akui, bahwa di antara teman-teman di biara itu sayalah yang paling kritis. Kalau ada sesuatu yang nnenurut logika saya tidak nalar, selalu saya tanyakan. Itulah sifat saya sejak kecil.

Salah satu yang pernah saya tanyakan adalah konsep trinitas (Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Juga status Yesus sebagai Tuhan-kalau memang Yesus itu Tuhan-mengapa tatkala disalib ia memanggil-manggil, "Eloy... Eloy..., lama sabakhtani?" (Allah... Allah..., mengapa Engkau tinggalkan aku? (Markus 15 ayat 33)).

Dari jawaban jawaban yang diberikan, semuanya tidak memuaskan hati saya. Jika saya ingin bertanya lagi, mereka selalu memotong, "Jangan dipertanyakan lagi, yang penting kamu imam dan yakini dalam hati. Itu sudah cukup." Akhirnya saya diam, meskipun belum puas. Karena Institut Filsafat dan Teologia ada mata kuliah studi-perbandingan agama, maka saya pun mempelajari agama-agama yang ada, termasuk Islam. Sejak saat itulah saya mulai membanding-bandingkan, misalnya antara Islam dan agama saya.

Tidak terhitung jumlahnya buku-buku Islam yang saya baca. Cuma, semua buku itu karangan orang-orang di luar Islam. Entah mengapa, ada larangan buku-buku Islam yang ditulis orang Islam masuk ke perpustakaan kami. Untungnya, sejak berangkat dari Surabaya dulu saya sudah membawa AlQur'an dan terjemahannya dari rumah. Saya juga heran, kok dulu sempat membawa AI-Qur'an. Mungkin sudah takdir Allah.


Mempelajari Al Qur'an

Terjemahan Al-Qur'an itulah yang kemudian saya pelajari secara sembunyi-sembunyi di biara. Entah mengapa, saya begitu tertarik dengan Al-Qur'an itu. Mungkin karena besarnya keinginan saya untuk membandingkannya dengan Injil. Belum banyak yang saya pelajari, tiba-tiba saya menemukan surat al-Ikhlas. "Katakanlah (hai Muhammad) Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak, dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia "

Secara tidak sadar, setelah membaca surat al-Ikhlas itu hati saya mengakui, inilah konsep ketuhanan yang sempurna: sederhana tapi gamblang.

Meskipun demikian, bukan berarti kemudian saya bergegas masuk Islam. Pengakuan akan kesempurnaan konsep ketuhanan Islam itu hanya mengendap dalam pikiran. Saya pun terus mempelajari Al-Qur'an hingga ketemu surat Al-Hujurat ayat 13. "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang-orang yang bertakwa."

Apa yang tertangkap dalam pikiran saya pada waktu itu? Ah, Al-Qur'an ini mengada-ada. Mana mungkin orang seluruh dunia disuruh saling berkenalan? Tetapi anehnya, pikirani saya justru terangsang dengan ayat tersebut. Saya ingin tahu apa maksud Al-Qur'an mengatakan seperti itu. Sava berdialog dengan diri sendiri untuk mencari jawabannya. Saya renung-renungkan, bukankah avat itu menunjukan bahwa Islam itu universal. berlaku untuk semua bangsa dan suku?

Ialu berbagai pertanyaan timbul dalam benak saya, siapakah pengarang Al-Qur'an itu, dan sudah berapa kali mengalami penyempurnaan? Pertanyaan itu timbul karena kitab-kitab suci yang lain sudah mengalami penyempurnaan demi penyempurnaan dari masa ke masa. Lalu, mengapa kitab suci ini diberi nama Al-Qur'an?

Betapa terkejutnya saga setelah tahu dari membaca buku bahwa Al-Qur'an itu tidak pernah mengalami penyempurnaan. Demikian pula namanya bukan hasil pemberian seseorang sebagaimana Injil yang nama-namanya diambil dari penulisnya. Al-Qur'an temyata wahyu langsung dari Allah, dan Allah pula yang memberi nama kitab itu Al-Qur'an.

Saya mulai yakin akan kebenaran Islam. bagi saya Islam bukan agama buatan manusia yang bernama Muhammad sebagai mana ditanamkan kepada saya sejak kecil. Islam adalah agama ciptaan Allah.


Masuk Islam

Namun sampai sejauh itu, saya masih belum mau berikrar untuk menjadi seorang muslim. Masih ada perasaan gengsi dalam diri saya. Sebab, image yang tumbuh di lingkungan saya adalah bahwa umat Islam itu bodoh, miskin, kumuh, dan suka amuk. Anggapan seperti itu tergurat kuat dalam benak saya.

Namun, agaknya Tuhan punya ketentuan lain. Dalam suatu perjalanan ke Bandung saya mengalami musibah kecelakaan. Karena kecelakaan itu, mau tidak mau saya mengambil cuti dari biara, pulang ke Surabaya. Setelah sembuh saya sempat kuliah di Jakarta mengambil jurusan sosial kemasvarakatan. Mungkin karena banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa Islam, penilaian saya terhadap Islam menjadi lebih objektif. Dan, sejak itulah saya sudah tidak berniat lagi untuk kembali ke biara. Saya merasa biara bukan tempat yang cocok buat saya. Maka, pada saat pulang ke Surabaya saya segera memutuskan tidak akan kembali ke biara.

Secara kebetulan, saat itu saya bermimpi yang sama beberapa kali. Dalam mimpi saya itu, seolah-olah teman-teman di biara berbaris ke suatu arah, sedangkan saya sendiri berbaris ke arah yang berlawanan. Mimpi seperti itu berlangsung sampai beberapa hari. Ditambah lagi, di dalam mimpi itu ada suara yang seakan-akan membisikan bahwa umur saya tinggal 40 hari lagi.

Pada malam berikutnya suara itu membisikan umur saya tinggal 39 hari. Setiap hari selalu berkurang satu hari. Begitu seterusnya. Saya bertanya-tanya, apakah ini suatu kebetulan atau firasat tertentu? Orang tua saya bingung ketika saya ceritakan mimpi saya itu. Berbagai jalan mereka tempuh untuk mengusir mimpi "aneh" itu. sampai-sampai orang tua saya menyelenggarakan slametan bubur sengkolo. Maksudnya untuk menolak bala.

Akan tetapi, walaupun sudah dislametin, toh malamnya tetap saja datang hal yang sama seperti kemarin. Demikian pula hari-hari berikutnya, sampai waktu 40 hari itu habis. Akhirnya saya berpikir praktis saja, "Apalah artinya sebuah mimpi. Toh, saya masih hidup meski 'umur' saya telah berakhir menurut mimpi itu."

Namun, satu hal yang tidak bisa saya ingkari adalah suara hati saya sendiri. Suara hati itu selalu membisikkan, "Kalau memang kamu mengakui kebenaran Islam, mengapa kamu tidak berani dan tidak mampu memeluk agama Islam? Apakah selamanya kamu akan mendustai nuranimu sendiri? Apakah kamu akan terus berada di persimpangan jalan?" Itulah bisikan-bisikan suara hati saya.

Lama-lama saya tak kuat lagi membohongi nurani saya sendiri. Akhirnya, sehari menjelang puasa Ramadhan, tepatnya 11 tahun yang lalu saya pun berikrar menjadi seorang muslim di Masjid al-Falah, Surabaya. Kini, sampai mati pun saya ingin tetap sebagai muslim, meski rintangan menghadang jalan hidup saya. (Bambang S / Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/)

http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/160

Mendapat Hidayah karena Membandingkan Ajaran Kristen dengan Ajaran Islam

Meski dilahirkan sebagai keturunan Tionghoa yang secara turun-temurun menganut agama Budha, tetapi saya tidak mendalami ajaran agama nenek moyang kami itu. Saya justru lebih paham ajaran gereja. Hal ini bisa dimaklumi, karena masyarakat keturunan Tionghoa sekarang lebih banyak yang meninggalkan agama nenek moyangnya, dan lebih memilih agama Kristen sebagai pegangan hidupnya. Alasannya, karena agama Kristen dianggap lebih ringan pelaksanaan ibadahnya. Faktor itu pula yang menyebabkan saya lebih banyak bergaul dengan kawan-kawan yang beragama Kristen, baik yang Katolik Roma, Protestan, Pantekosta, Advent, dan sebagainya. Selain itu, faktor pendidikan formal juga sangat mempengaruhi keimanan saya. Saya semakin jauh dari wihara dan klenteng (rumah ibadah orang Tionghoa).

Pendidikan formal saya, sejak TK sampai SMA, saya lalui di lembaga pendidikan Katolik. Sampai usia remaja, meski saya tak pernah dibaptis, tetapi saya sudah merasa sebagai umat Kristen (Katolik) daripada sebagai jemaat wihara (umat Budha).

Saya dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1969 di Semarang, Jawa Tengah. Keluarga saya keturunan Tionghoa yang sukses sebagai pengusaha foto dan percetakan. Seperti umumnya masyarakat keturunan Tionghoa, kedua orang tua saya memeluk agama nenek moyang yang telah dianut turun temurun, yakni agama Budha.

Tidak berbeda dengan keluarga Tionghoa yang lain, dalam hal pendidikan agama, keluarga saya juga tidak pernah menanamkan keimanan (agama Budha) yang mendalam. lni barangkali sekadar tradisi saja bahwa nenek moyang kami mewariskan kebudayaannya itu kepada keturunannya. Dalam ajaran agama Budha sepertinya tidak ada norma-norma khusus yang mengatur pelaksanaan ibadah. Ya, seperti aliran kepercayaan saja. Sehingga, tidak sedikit orang Tionghoa yang notabene pemeluk agama Budha, tetapi masih meyakini ajaran lain sebagai agamanya, umumnya agama Kristen.

Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, kedua orang tua kami mengharapkan agar saya berhasil dalam hidup dan menjadi teladan bagi kedua adik saya. Sebab itulah, ketika mengijak usia 5 tahun saya dimasukkan ke Taman Kanak Kanak favorit di kota Semarang, yakni TK Kanisius Kebondalem, selama dua tahun. SD dan SMP pun saya tempuh di lembaga yang sama.

Aktivis Gereja

Setamat SMP saya pun melanjutkan studi di SMA Katolik Kebondalem. Lembaga pendidikan ini termasuk paling dibanjiri peminat. Jadi, merupakan gengsi tersendiri bila diterima di sekolah itu. Saat belajar di SMA itulah saya benar-benar menjadi umat Katolik. Bukan lagi sebagai pemeluk Budha.

Kegiatan-kegiatan gereja, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat selalu saya ikuti dengan tekun. Saya tidak peduli, walaupun tidak pernah dibaptis. Bahkan, di sekolah sava termasuk siswa yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan, baik di OSIS (seperti peringatan hari besar agama Kristen) dan juga kegiatan misa di gereja atau kapel sekolah yang rutin diadakan seminggu sekali.

Rupanya, Tuhan berkenan menolong saya dari jalan yang sesat. Beberapa tahun yang lalu setelah saya tamat SMA, saya sering merenung tentang ajaran trinitas yang menjadi landasan pokok iman kristiani. Saya merasa sulit memahami ajaran itu. Teryata banyak sekali kejanggalan yang saya temukan.

Mempelajari Islam

Tuhan Yang Maha Agung membuka pintu hati saya. Di saat saya meragukan kebenaran ajaran trinitas itu, saya seperti ditunjukkan untuk mempelajari Islam sebagai perbandingan. Dan ternyata, masya Allah, luar biasa. Dalam Al-Qur'an dan hadits telah diatur hukum bagi sekalian alam yang benar adanya.

Tidak lama setelah mendalami kandungan Al-Qur'an, saya secara rutin belajar agama (Islam) pada seorang guru ngaji. Masih berstatus sebagai mahasiswa STIE-PPMTT (Pusat Pendidikan Manajemen dan Teknik Terapan), saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahdat beserta seluruh keluarga.

Alhamdulillah, salah satu adik saya, Jip Christianto Jana P, telah tamat dari Pondok Pesantren Modem Gontor, jawa Timur, dan kini kuliah di Akademi Perindustrian Yogyakarta Jurusan Teknik Mesin. Sedangkan adik saya yang bungsu, Jip Rudi Jana P., kini masih belajar di Pondok Pesantren as-Salam Surakarta.

Sedangkan, saya sendiri setelah menamatkan pendidikan manajemen dan meraih gelar Master of Bussines Administration (M.B.A.), kini berwiraswasta di bidang percetakan. Harapan saya, semoga keluarga kami senantiasa diterangi petunjuk-Nya. Amin. (Kaswanto/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/)


http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/180-jip-hengky-jana-p-mba--sulit-memahami-doktrin-trinitas

Coba Tunjukkan Pada Saya Kebenaran Ajaran Kristen melalui Injil?

Nama saya Bisara Mahmud Sianturi, kelahiran Tapanuli Utara. Keluarga saya pemeluk Kristen yang taat. Ayah saya, Mangantar Sianturi, bekerja sebagai mandor di perkebunan kelapa sawit, Jambi. lbu saya, Delima Boruhombing, seorang ibu rumah tangga biasa. Saya sulung dari lima bersaudara, satu laki-laki dan tiga perempuan.
Masa kecil saya sangat kental dipengaruhi ajaran Kristen. Orang tua kami sangat keras dalam hal agama. Mereka selalu menyuruh saya agar rajin ke gereja. Ayah juga seorang pengurus gereja. Kakek saya sendiri, pendiri Gereja HKI (Huria Kristen Indonesia) pertama di Indonesia sebelum pecah menjadi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).

Sebagaimana anak-anak lain di kampung mayoritas Kristen, saya tak luput memperoleh pelajaran agama. Salah satu penanaman doktrin ajaran Kristen yang membekas hingga kini adalah, "Tak ada umat manusia yang layak sampai ke Tuhan di surga tanpa melalui Yesus." Atau dengan kata lain, semua umat manusia adalah musuh Tuhan jika mereka tidak mengikuti ajaran Yesus. Saat itu, saya yakin benar dengan ajaran tersebut.

Perubahan mulai terjadi kira-kira tahun 1967, ketika ayah pensiun dan kemudian pindah ke Lubuk Pakam, Sumatra Utara. Di sini pula saya mulai mengenal Islam lewat teman-teman sekelas.


Menghadap Walikota Medan

Suatu hari, saya merasa sedih melihat anak-anak seusia saya yang tidak sekolah. Mereka sedikit sekali yang tamat SMP, sebagian benar hanya tamat SD. Mereka terpaksa putus sekolah karena membantu mencari nafkah orang tuanya. Banyak dari mereka yang bekerja di Pabrik Karet PT Asahan. Bahkan, salah satu tetangga saya sempat bercerita bahwa pekerjaannya sangat berat, namun upah yang diterimanya minim sekali. Katanya, banyak yang tidak kuat. Tetapi mereka tdak berdaya, karena didesak oleh kebutuhan hidup.

Tanpa pikir panjang, saya segera berangkat ke Medan untuk menghadap wali kota. Tetapi, niat saya itu tidak segera terwujud, karena ditolak ajudan dengan alasan wali kota berada di luar kota. Saya tidak putus asa. Pada hari lain, saya datang lagi dengan maksud yang sama. Tetapi, tetap tidak berhasil. Saya datang lagi, hingga lima kali berkunjung, dan keenam. kalinya saya diterima langsung oleh wali kota.

Di hadapan wali kota, saya ceritakan semuanya. Rupanya, wali kota sudah mengetahui itu. Dia berjanji akan segera membantu. Karena waktu itu, negara kita masih kacau setelah dilanda G30S/PKI, maka belum bisa dilaksanakan. Saya pun mengerti. Namun, setelah itu, wali kota menawarkan saya tinggal di rumahnya. Saya setuju, karena dengan mudah bisa bertemu dengannya.

Berdebat dan Masuk Islam

Sore itu, secara tak sengaja saya memperkenalkan ajaran Kristen pada anak wali kota. Tak lupa, saya ajarkan pula lagu-lagu gereja. Tetapi, misi saya itu diketahui oleh H. Nurdin (mertua wali kota). "Saya tertarik cucu saya kamu ajarkan lagu-lagu gereja dengan baik" kata H. Nurdin ketika itu.

Saya kaget, karena tak mengira ia mendengarkan. "Coba tunjukkan pada saya kebenaran ajaran Kristen melalui injil," lanjutnya. "Kalau memang ada kebenaran, saya tak keberatan cucu saya kamu bawa ke gereja," tantangnya.

H. Nurdin kemudian menunjuk segelas teh di atas meja, "Coba jawab, duluan mana air atau Tuhan?" katanya memancing. Saya menjawab enteng, "Jelas duluan Tuhan."

"Kalau menurut ajaran kamu begitu, berarti kamu pembohong! Karena Tuhan kamu baru lahir belum ada dua ribu tahun lalu. Sedangkan air ini adanya sudah lama sekali. jadi, ajaran agama kamu itu bohong," tegasnya.

Saya masih bisa mengelak dengan mengatakan bahwa yang dimaksud baru lahir belum ada dua ribu tahun adalah Tuhan Yesus. Tetapi, H. Nurdin menyangkal lagi, "Kalau Tuhan Anak belakangan dan Tuhan Bapak duluan, maka itu tidak mungkin, karena tuhan kamu adalah tiga yang tidak terpisah, seperti air, teh, dan gulanya, menjadi satu. Jadi, kalau tumpah, katakanlah setetes, maka semuanya ikut tumpah, baik airnya, tehnya, maupun gulanya. Tidak mungkin hanya tehnya saja, atau gulanya saja yang tumpah, sementara airya tetap di gelas," jelasnya.

Mendengar uraian itu, hati kecil saya tak menolak. Selanjutnya dia menjelaskan lagi bahwa dalam Injil, Nabi Isa menyebutkan adanya seorang pengganti di masa datang sebagai pengganti Yesus. Saya akui itu. Tetapi, sepengetahuan saya, yang dimaksud pengganti di masa mendatang adalah Yesus. Sementara, di sekte lain, penggantinya adalah Elias. Lalu, sekte lain seperti Pantekosta menyatakan Roh Kudus.

Namun H. Nurdin mengatakan adalah Nabi Muhammad saw, Saya tak bisa pungkiri, setelah kutemukan dalam Injil Yohanes ayat 23 yang berbunyi, "Berbahagialah kalian kalau Aku kembali kepada Bapa di surga, karena kalau Aku tidak kembali, maka pengganti-Ku tidak akan datang. Apabila Aku kembali, Aku akan menyuruh dia datang kepadamu untuk menegakkan hukum dan kebenaran. Ikutilah Dia, karena memang Dia berkata menurut perintah Bapa di surga."

Kebenaran Kristen juga dipertanyakan H. Nurdin. Mengapa ajaran yang dibawa oleh satu orang utusan, tetapi tidak ada tata cara yang pasti dalam menyembah Tuhan. Artinya, yang membawa ajaran Kristen tidak memberi contoh yang pasti dan baku tentang bagaimana cara menyembah Tuhan yang sebenarnya. "Lihat cara ibadah khusus Katolik, mengapa lain dengan Protestan, Pantekosta, juga Advent? Padahal yang membawa ajaran satu orang," tuturnya.

Lalu, ia membandingkan bahwa caranya shalat umat Islam di seluruh dunia itu lama. Ucapan-ucapan dalam shalat juga sama. Mendengar penjelasan itu, saya mulai ragu terhadap ajaran Kristen. Apalagi ketika H. Nurdin menjelaskan banyak ayat-ayat Injil yang tidak pernah diikuti oleh orang Kristen sendiri, seperti perintah sunat (khitan), haramnya memakan daging babi, dan kewajiban memakai kerudung bagi kaurn wanita, dan lain-lain.

Perintah yang dilanggar itu setelah datang Paulus yang menyuruh tidak bersunat. Katanya, Paulus sudah mendapatkan wahyu. Padahal, Paulus itu tak ada hubungannya dengan Yesus, terpaut kurang lebih 500 tahun.

Setelah mendapatkan keterangan yang begitu mendalam, akhirnya, kebekuan hati saya mulai mencair Saya menerima kebenaran Islam. Alhamdulillah, sejak itu aku mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, dan resmi menganut agama Islam. (Agus Salam/dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com

http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/190-bisara-mahmud-sianturi-masuk-islam-melalui-perbandingan-agama

Terlalu Banyak Pertentangan dalam Injil Sekarang

AYAH saya seorang pastor atau pendeta dalam agama Kristen Katolik. Beliau mengajarkan Alkitab (Injil) pada saya sejak saya masih kecil dengan harapan agar saya menjadi penerus cita-citanya di kemudian hari. Saya belajar Alkitab pasal demi pasal dan ayat demi ayat dengan seksama. Berkat bimbingannya, saya betul-betul memahami kandungan dan tafsiran Alkitab. Sejak saya berumur empat belas tahun, saya diberi kepercayaan berceramah di gereja pada setiap hari Minggu dan hari-hari keagamaan Kristen lainnya.

Setelah saya banyak membaca Alkitab, banyak saya dapatkan kejanggalan-kejanggalan di dalamnya. Dalam Alkitab, antara pasal satu dan pasal lainnya banyak terjadi pertentangan, dan banyak ajaran gereja yang bertentangan dengan isi Alkitab.

Misalnya, Yohanes pasal 10 ayat 30, menerangkan bahwa Allah dan Yesus (Isa) bersatu, yaitu, "Aku dan Bapa adalah satu." Sedangkan, pada Matius pasal 27 ayat 46 menjelaskan bahwa Yesus dan Allah berpisah, yaitu, "Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring, 'Eli, Eli, lama sabakhtani?"' Artinya, "Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan aku?"

Dalam ajaran gereja, seorang bayi yang lahir akan membawa dosa warisan dari Nabi Adam dan 1bu Hawa. Juga, bayi yang mati sebelum dibaptis tidak akan masuk surga. Ajaran ini bertentangan dengan Alkitab Yehezkiel pasal 18 ayat 20 dan Matius pasal 19 ayat 14 menerangkan bahwa manusia hanya menanggung dosanya sendiri, tidak menanggung dosa orang lain. Bayi yang meninggal sebelum dibaptis akan masuk surga, karena anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang yang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan orang yang fasik akan menanggung akibat kefasikannya.

Dosa Warisan? Sementara, pada Matius 19 ayat 14 Yesus berkata, "Biarlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang padaku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang mempunyai Kerajaan Surga."

Dengan semua itu saya merasa bimbang. Injil mana yang harus saya ikuti, sedangkan semuanya kitab suci? Dan apakah ajaran gereja yang harus saya ikuti, sedangkan ajarannya bertentangan dengan Alkitab ?

Saya ragu dengan keautentikan Alkitab, karena kalau Injil yang ada sekarang ini asli, tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan. Saya juga ragu dengan kebenaran ajaran gereja karena kalau ajaran gereja itu benar, tidak mungkin bertentangan dengan kitab sucinya.

Karena mendapatkan kejanggalan dalam Alkitab dan pertentangan ajaran gereja dengan kitab sucinya, saya menjadi enggan membaca Injil dan buku buku agama (Kristen), karena saya yakin tidak akan mendapat kebenaran dalam Kristen.

Mendengar Bacaan Al-Qur'an

Pada suatu hari saya berjalan di dekat masjid. Tiba-tiba saya gemetar dan tidak bisa berjalan disebabkan mendengar suara dari dalam masjid. Setelah saya pulang ke rumah, saya bertanya pada teman-teman tentang suara yang saya dengar itu. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu tentang suara itu.

Setelah keesokan harinya saya bertanya pada teman sekolah yang beragama Islam, dia menjelaskan bahwa "suara" yang saya dengar di dalam masjid adalah suara orang membaca A1-Qur'an. Kemudian saya bertanya, "Apa sih, Al-Qur'an itu?" Dia menjawab, "Al-Quran itu kitab suci umat Islam." Kemudian saya meminta Al-Qur'an padanya. Tetapi dia tidak memberikan dengan alasan saya tidak punya wudhu.

Setelah saya pulang dari sekolah, saya langsung mencari orang yang beragama Islam untuk meminjam A1-Qur'an. Akhirnya saya berjumpa dengan orang Islam yang bernama Abdullah. Ia keturunan Arab. Lalu saya pinjam Al-Qur'an padanya dan saya jelaskan padanya bahwa saya beragama Katolik dan ingin mempelajari Al-Qur'an. Dengan senang hati ia meminjamkan saya terjemahan Al-Qur'an dan riwayat hidup Nabi Muhammad saw..

Saya baca Al-Qur'an ayat demi ayat dan surat demi surat. Saya pahami kalimat demi kalimat dengan seksama. Akhirnya saya berkesimpulan, hanya Al-Qur'anlah satu-satunya kitab suci yang asli dan hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Al-Qur'an membahas persoalan ketuhanan dengan tuntas, bahasanya mudah dipaharni, dan argumentasinya rasional. Di samping itu, Al-Qur'an juga membahas tentang Nabi Isa (Yesus) sejak sebelum dikandung, dalamn kandungan, waktu dilahirkan, masa kanak-kanak dan remaja, mukjizatnya, dan kedudukannya sebagai Rasul Allah, bukan anak Allah.

Sejak mendapatkan kebenaran Islam, saya mempunyai keinginan yang kuat untuk memeluk agama Islam. Singkat cerita, kemudian saya datang menjumpai Abdullah dan saya jelaskan keinginan saya padanya.

la menyambut hasrat saya itu dengan hati ikhlas, dan ia membimbing saya membaca dua kalimat syahadat. Setelah menjadi seorang muslim, nama saya diganti menjadi Dzulfikri. Kemudian saya belajar pada Abdullah tentang hal-hal yang diwajibkan dan yang dilarang dalam Islam.

Setelah itu saya mondok di sebuah pesantren. Di situ saya belajar agama selama satu tahun. Kemudian saya pindah ke kota Malang, Jawa Timur. Di kota ini saya terus menuntut ilmu agama sambil kuliah


http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/237-gold-fret--mendengar-bacaan-al-quran

Kembali Ke Agama Islam, Bukan Masuk Ke Agama Islam

Pengantar : Menjadi seorang pendeta adalah harapan kedua orang tuanya. Namun, kehendak Allah SWT mengantarkan Bernard Nababan pada kebenaran Islam. Bahkan, ia akhirnya menjadi juru dakwah dalam agama Islam.

Saya lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 10 November 1966. Saya anak ke-3 dari tujuh bersaudara. Kedua orang tua memberi saya nama Bernard Nababan. Ayah saya adalah seorang pendeta Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatra Utara. Sedangkan, ibu seorang pemandu lagu-lagu rohani di gereja. Sejak kecil kami mendapat bimbingan dan ajaran-ajaran kristiani. Orang tua saya sangat berharap salah seorang dari kami harus menjadi seorang pendeta. Sayalah salah satu dari harapan mereka.
Kemudian, saya disekolahkan di lingkungan yang khusus mendidik para calon pendeta, seperti Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Kristen. Lalu berlanjut pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Nomensen, yaitu sekolah untuk calon pendeta di Medan. Di kampus STT ini saya mendapat pendidikan penuh. Saya wajib mengikuti kegiatan seminari. Kemudian, saya diangkat menjadi Evangelist atau penginjil selama tiga tahun enam bulan pada Gereja HKBP Sebagai calon pendeta dan penginjil pada Sekolah Tinggi Teologi, saya bersama beberapa teman wajib mengadakan kegiatan di luar sekolah, seperti KKN (Kulah Kerja Nyata).

Tahun 1989 saya diutus bersama beberapa teman untuk berkunjung ke suatu wilayah. Tujuan kegiatan ini, selain untuk memberi bantuan sosial kepada masyarakat, khususnya masyarakat muslim, juga untuk menyebarkan ajaran Injil. Dua prioritas inilah yang menjadi tujuan kami berkunjung ke perkampungan muslim. Memang, sebagai penginjil kami diwajiban untuk itu. Sebab, agama kami (Kristen) sangat menaruh perhatian dan mengajarkan rasa kasih terhadap sesamanya.

Berdialog

Dalam kegiatan ini saya sangat optimis. Namun, sebelum misi berjalan, saya bersama teman-teman harus berhadapan dulu dengan para pemuka kampung. Mereka menanyakan maksud kedatangan kami. Kami menjawab dengan terus terang. Keterusterangan kami ini oleh mereka (tokoh masyarakat) dijawab dengan ajakan berdialog. Kami diajak ke rumah tokoh masyarakat itu. Di sana kami mulai berdialog seputar kegiatan tersebut. Tokoh masyarakat itu mengakui, tujuan kegiatan kami tersebut sangat baik. Namun, ia mengingatkan agar jangan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama. Mereka pada prinsipnya siap dibantu, tapi tidak untuk pindah agama.

Agama Kristen, masih menurut tokoh masyarakat itu, hanya diutus untuk Bani Israel (orang Israel) bukan untuk warga di sini, Kami hanya diam. Akhirnya, tokoh masyarakat itu mulai membuka beberapa kitab suci agama yang kami miliki, dari berbagai versi. Satu per satu kelemahan Alkitab ia uraikan. la juga membahas buku Dialog Islam-Kristen antara K.H. Baharudin Mudhari di Madura dengan seorang pendeta.

Dialog antara kami dan tokoh masyarakat tersebut kemudian terhenti setelah terdengar azan magrib. Kemudian, kami kembali ke asrama sebelum kegiatan itu berlangsung sukses. Dialog dengan tokoh masyarakat tersebut terus membekas dalam pikiran saya. Lalu, saya pun membaca buku Dialog Islam Kristen tersebut sampai 12 kali ulang. Lama-kelamaan buku itu menpengaruhi pikiran saya. Saya mulai jarang praktek mengajar selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya, saya ditegur oleh pendeta. Pendeta itu rupanya tahu saya berdialog dengan seseorang yang mengerti Alkitab. "Masa' kamu kalah sama orang yang hanya tahu kelemahan Alkitab. Padahal kamu telah belajar selama 3,5 tahun. Dan kamu juga pernah mengikuti kuliah seminari," katanya dengan nada menantang dan sinis.

Kabur dari Asrama

Sejak peristiwa itu, saya jadi lebih banyak merenungkan kelemahan-kelemahan Alkitab. Benar juga apa yang dikatakan tokoh masyarakat itu tentang kelemahan kitab suci umat Kristen ini. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti menjadi calon pendeta. Saya harus meninggalkan asrama. Dan pada tengah malam, dengan tekad yang bulat saya lari meninggalkan asrama. Saya tak tahu harus ke mana. Jika pulang ke rumah, pasti saya disuruh balik ke asrama, dan tentu akan diinterogasi panjang lebar.

Kemudian saya pergi naik kendaraan, entah ke mana. Dalam pelarian itu saya berkenalan dengan seorang muslim yang berasal dari Pulau Jawa. Saya terangkan kepergian saya dan posisi saya yang dalam bahaya. Oleh orang itu, saya dibawa ke kota Jember, Jawa Timur. Di sana saya tinggal selama satu tahun. Saya dianggap seperti saudaranya sendiri. Saya bekerja membantu mereka. Kerja apa saja. Dalam pelarian itu, saya sudah tidak lagi menjalankan ajaran agama yang saya anut. Rasanya, saya kehilangan pegangan hidup.

Selama tinggal di rumah orang muslim tersebut, saya merasa tenteram. Saya sangat kagum padanya. Ia tidak pemah mengajak, apalagi membujuk saya untuk memeluk agamanya. la sangat menghargai kebebasan beragama. Dari sinilah saya mulai tertarik pada ajaran Islam. Saya mulai bertanya tentang Islam kepadanya. Olehnya saya diajak untuk bertanya lebih jauh kepada para ulama. Saya diajak ke rumah seorang pimpinan Pondok Pesantren Rhoudhotul 'Ulum, yaitu K.H. Khotib Umar.

Kepada beliau saya utarakan keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang ajaran Islam. Dan, saya jelaskan perihal agama dan kegiatan saya. Tak lupa pula saya jelaskan tentang keraguan saya pada isi Alkitab yang selama ini saya imam sebagai kitab suci, karena terdapat kontradiksi pada ayat-ayatnya. Setelah saya jelaskan kelemahan Alkitab secara panjang lebar, K.H. Khotib Umar tampak sangat terharu. Secara spontan beliau merangkul saya sambil berkata, "Anda adalah orang yang beruntung, karena Allah telah memberi pengetahuan pada Anda, sehingga Anda tahu bahwa Alkitab itu banyak kelemahannya."

Setelah itu beliau mengatakan, jika ingin mempelajari agama Islam secara utuh, itu memakan waktu lama. Sebab, ajaran Islam itu sangat luas cakupannya. Tapi yang terpenting, menurut beliau adalah dasar-dasar keimanan agama Islam, yang terangkum dalam rukun iman.

Masuk Islam

Dari uraian K.H. Khotib Umar tersebut saya melihat ada perbedaan yang sangat jauh antara agama Islam dan Kristen yang saya anut. Dalam agama Kristen, saya mengenal ada tiga Tuhan (dogma trinitas), yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Agama Kristen tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW, Bahkan, mereka menuduhnya tukang kawin. Mereka juga hanya percaya kepada tiga kitab suci, Taurat, Zabur, dan Injil.

Ajaran Kristen tidak mempercayai adanya siksa kubur, karena mereka berkeyakinan setiap orang Kristen pasti masuk surga. Yang terpenting bagi mereka adalah tentang penyaliban Yesus, yang pada hakekatnya Yesus disalib untuk menebus dosa manusia di dunia.

Penjelasan K.H. Khotib Umar ini sangat menyentuh hati saya. Penjelasan itu terus saya renungkan. Batin saya berkata, penjelasaan itu sangat cocok dengan hati nurani saya. Lalu, kembali saya bandingkan dengan agama Kristen. Ternyata agama Islam jauh lebih rasional (masuk di akal) daripada agama Kristen yang selama ini saya anut. Oleh karena itu saya berminat untuk memeluk agama Islam.

Keesokan harinya, saya pergi lagi ke rumah KH. Khotib Umar untuk menyatakan niat masuk Islam. Beliau terkejut dengan pernyataan saya yang sangat cepat. Beliau bertanya, "Apakah sudah dipikirkan masak-masak?" "Sudah," suara saya meyakinkan dan menyatakan diribahwa hati saya sudab mantap.

Lalu beliau membimbing saya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebelum ikrar saya ucapkan, beliau memberikan penjelasan dan nasehat. Di antaranya, "Sebenarnya saat ini Anda bukan masuk agama Islam, melainkan kembali kepada Islam. Karena dahulu pun Anda dilahirkan dalam keadaan Islam. Lingkunganmulah yang menyesatkan kamu. Jadi, pada hakikatnya Islam adalah fitrah bagi setiap individu manusia. Artinya, keislaman manusia itu adalah sunnatullah, ketentuan Allah. Dan, menjauhi Islam itu merupakan tindakan irrasional. Kembali kepada Islam berarti kembali kepada fitrahnya," ujar beliau panjang lebar. Saya amat terharu. Tanpa terasa air mata meleleh dari kedua mata saya.

Sehari setelah berikrar, saya pun dikhitan. Nama saya diganti menjadi Syamsul Arifin Nababan. Saya kemudian mendalami ajaran Islam kepada K.H. Khotib Umar dan menjadi santrinya. Setelah belajar beberapa tahun di pondok pesantren, saya amat rindu pada keluarga. Saya diizinkan pulang. Bahkan, beliau membekali uang Rp 10.000 untuk pulang ke Sumatra Utara.

Dengan bekal itu saya akhirnya berhasil sampai ke rumah orang tua. Dalam perjalanan, banyak kisah yang menarik yang menunjukkan kekuasaan Allah. Sampai di rumah, ibu, kakak, dan semua adik saya tidak lagi mengenali saya, karena saya mengenakan baju gamis dan bersorban. Lalu, saya terangkan bahwa saya adalah Bernard Nababan yang dulu kabur dari rumah. Saya jelaskan pula agama yang kini saya anut. Ibu saya amat kaget dan shock. Kakak-kakak saya amat marah. Akhirnya saya diusir dari rumah.

Usiran merekalah yang membuat saya tegar. Saya kemudian pergi ke beberapa kota untuk berdakwah. Alhamdulillah, dakwah-dakwah saya mendapat sambutan dari saudar-saudara kaum muslimin. Akhirnya saya terdampar di kota Jakarta. Aktivitas dakwah saya makin berkembang. Untuk mendalami ajaran-ajaran agama, saya pun aktif belajar di Ma'had al-Ulum al-Islamiyah wal abiyah atau UPIA Jakarta.


http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/256-bernard-nababan--ragu-pada-isi-alkitab