Sabtu, 26 Desember 2009

Kisah Putra Pemilik Juventus

Eduardo Agnelli namanya. Dia adalah putra tunggal Gianni Agnelli, bos besar Fiat Group, sekaligus keluarga besar pemilik klub besar Juventus. Ayahnya adalah Kristiani dan ibunya adalah seorang puteri Yahudi

Suatu hari dia menyaksikan acara debat politik di televisi Atlanta. Tema yang mereka bahas adalah tema “panas” pada saat itu: krisis di Iran pasca-Revolusi Islam. Ada empat tamu dalam acara itu. Tiga wartawan dan seorang jubir Kedubes Iran di Roma, bernama Hassan Ghadiri Abyaneh.

Abyaneh mendapat giliran bicara yang pertama. Dalam bahasa Italia, dan dengan penuh keyakinan ia berucap, “Dengan Nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan Nama Tuhan Yang Lebih Besar dari kapal-kapal induk Amerika.”

Kalimat itu membuat studio seperti tersihir, kamera seperti membeku, begitu pula Eduardo di depan televisi. Ketika debat usai, keputusan Eduardo sudah bulat: dia harus mendatangi rumah Abyaneh di Roma. Abyaneh mengenangnya dengan perkataan, “Dia datang dengan skuter butut.” Seolah-olah dia ingin dikenal sebagai orang biasa, meski bisa saja datang dengan membawa Ferrari.

Kepada satpam di mengenalkan diri dengan nama Eduardo. Dia mengatakan kenal Abyaneh di televisi, dan ingin berdiskusi sekaligus meminjam buku-buku tentang Imam Khomeini, pemimpin besar Revolusi Islam Iran.

Jawaban yang diterima awalnya negatif. Tuan rumah sedang tidak ingin diganggu karena akhir pekan adalah waktu keluarga. Sekali lagi Eduardo menitip pesan kepada tuan rumah melalui satpam; yaitu: “Pintu Tuhan tak pernah tertutup”. Segera Abyaneh keluar rumah dengan wajah bersalah. Persahabatan pun dimulai.

Abyaneh kini tahu bahwa Eduardo juga seorang Muslim. Ia mengenal Islam saat kuliah di Universitas Princeton jurusan Filsafat dan Kajian Agama. Setelah membaca terjemahan Al-Quran berbahasa Inggris ia masuk Islam, namun disembunyikan dari publik. Dalam surat-suratnya ia menggunakan nama Hisham Aziz, namun dengan teman-teman Irannya ia menggunakan nama sebagai seorang Syiah, Mahdi.

Bagi Eduardo, Abyaneh adalah pintu masuknya ke Iran, bertemu dengan ulama berserban. Dia pun terbang ke Iran dan shalat Jumat di belakang Ali Khamenei—pemimpin spiritual Iran sekarang.

Saat pers Barat mencitrakan Imam Khomeini sebagai diktator haus darah, Eduardo malah menemui beliau. Mantan presiden Iran, Hashemi Rafsanjani, mengisahkan bahwa Imam Khomeini sempat mengecup kening Eduardo dan menasehati: “Banyaklah merenung dan mengingat kehidupan setelah mati”.

Eduardo menemukan kedamaian dalam Islam yang seperti itu dari sekali membaca Al-Quran. Dia pernah bercerita, “Suatu hari di New York pada saat saya berada di perpustakaan, saya sedang mencari-cari buku yang saya perlukan. Tanpa sengaja mata saya tertuju pada sebuah copy Al-Quran, sungguh saat itu saya sangat ingin tahu dan penasaran dengan kitab tersebut dan ingin mengetahui apa yang ditawarkan oleh kitab tersebut.

Akhirnya saya mengambil kitab tersebut dan mulai membaca terjemahaannya dalam bahasa Inggris. Sungguh pada saat saya membacanya tulisan dan ungkapan-ungkapan di kitab ini mempunyai sesuatu kekuatan dan petunjuk di dalamnnya, dan semua itu tidak mungkin dapat ditulis oleh seorang manusia. Saya sangat kagum dengan ungkapan-ungkapan di dalam kitab ini dan tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam, jadi saya meminjamnya dan mempelajarinya. Makin dalam saya membaca makin saya mempercayainya dan mengerti makna semua kata-katannya.”

Hubungan dengan Abyaneh pun kian erat. Namun dengan keluarga semakin menegang. Saat Eduardo mengunjungi Mashhad dan berziarah ke makam Imam Ali Ridha ia berdoa, “Aku hanya inginkan cinta dan kasih ayahku selalu ada untukku ke depan.” Namun ayahnya, Gianni, yang tahu bahwa Eduardo berkiblat ke Teheran, menyatakan di media kalau Eduardo tak layak menjadi petinggi Fiat. Lebih buruk lagi ketika Eduardo di fitnah sebagai “gila” dan “pecandu narkotika” yang dibuat keluarganya sendiri.

Husein Abdullahi, mahasiswa Iran yang belajar di Turin mengisahkan bahwa Eduardo sering menyendiri setelahnya dengan membaca buku dan Al-Quran, bahkan kadang hanya dengan lilin.

Beberapa kali Eduardo menyatakan keinginannya untuk menetap di kota teologi Syiah, Qom (Iran), untuk mendalami filsafat dan Al-Quran. Eduardo juga meminta Abdullahi untuk menghubungi Departemen Perdagangan Iran karena ia ingin “menyumbangkan sebagian kekayaanya” tanpa diketahui orang banyak.

Namun, sesuatu terjadi sebelum itu.

Kamis pagi, 15 November 2000, di jembatan raksasa yang menghubungkan Torino-Savona, Carlo Francini, seorang petugas menemukan Fiat Crona hitam terparkir ditanjakan. Lampu masih menyala, tetapi tidak ada pemiliknya.

Polisi kemudian menemukan pemilik mobil tewas di dasar jembatan, 67 meter di bawah sana. Wajahnya rusak nyaris tak bisa dikenali. Dalam kartu pengenal terlihat foto pria berwajah bersih kelahiran New York, 9 Juni 1954. Namanya: Eduardo Agnelli.

Polisi berkesimpulan bahwa Eduardo “bunuh diri”. Namun banyak sahabat yang tidak percaya. Husein Abdullahi mengatakan bahwa Eduardo bukan tipe jiwa yang rapuh. Apalagi tiga hari sebelum kejadian Eduardo masih menyatakan niatnya belajar agama di Iran.

Tahun 2001, wartawan dokumenter Iran terbang ke Italia untuk menelusuri sebab kematian Eduardo. Menurut mereka Zionis telah membunuh Eduardo untuk mencegah Fiat dipimpin oleh seorang Muslim.

Wartawan Iran sempat mendapat izin melihat kuburan Eduardo yang terletak dalam gereja mengatakan, “Kami mungkin wartawan muslim pertama yang diberi kesempatan untuk mengambil gambar kuburan Edoardo dan juga sekaligus mungkin yang pertama membacakan Al-Fatihah di kuburannya.” Langkah para wartawan terhenti. Polisi mendeportasi mereka. (Nampaknya, inilah kehidupan penuh misteri dari keluarga mafia—AR).

Di Villar Perosa, jenazah dikuburkan tanpa kafan, tidak ada Al-Fatihah. Semua dilakukan dengan cara Kristen. La Stampa, koran terbesar Torino milik Dinasti Agnelli, menurunkan berita dengan judul: “La’addio a Edoardo Agnelli” (Selamat Jalan, Eduardo Agnelli).

Sumber:
The Secret of Your Spiritual DNA karya Musa Kazhim
Wikipedia
La Repubblica
Маша Алалыкина
Edoardo Agnelli
Islam Shia

http://ejajufri.wordpress.com/2009/03/08/kisah-putera-pemilik-juventus/

Jumat, 04 Desember 2009

Baron Omar Rolfvon Ehrenfels Menemukan Kebenaran Islam

Islam telah memberikan rasa aman dengan cara tunduk (patuh) pada hukum yang abadi (ketentuan Allah).

Sejak masa kanak-kanak, Leopold Werner von Ehrenfels telah memperlihatkan ketertarikannya terhadap dunia Timur, khususnya dunia Islam. Demikian sepenggal kisah yang disampaikan saudara perempuannya, seorang penyair berkebangsaan Austria, Imma von Bodmershof, dalam sebuah artikel majalah sastra Islam Lahore terbitan tahun 1953, tentang Leopold Werner von Ehrenfels, yang kemudian berganti nama menjadi Baron Omar Rolf von Ehrenfels.

Ketertarikan Rolf, demikian biasa ia disapa, pada dunia Timur kemudian diwujudkan dengan mengunjungi negara-negara Balkan dan Turki manakala ia menginjak usia dewasa. Di setiap negara yang dikunjunginya, Rolf kerap mengikuti shalat berjamaah di masjid-masjid yang disambangi, meski pada saat itu dia masih seorang Nasrani. Apa yang dilakukan Rolf ini mendapat sambutan baik dari kaum Muslimin Turki, Albania, Yunani, dan Yugoslavia.

Sejak saat itu, perhatiannya terhadap Islam semakin bertambah, hingga akhirnya dia menyatakan masuk Islam pada tahun 1927. Setelah resmi memeluk Islam, Guru Besar Antropologi University of Madras ini kemudian memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Baron Omar Rolf von Ehrenfels.

Pada tahun 1932, Rolf mengunjungi anak benua India dan Pakistan. Selama di sana, dia sangat tertarik mempelajari soal-soal kebudayaan dan sejarah yang berhubungan dengan kedudukan wanita dalam Islam. Sekembalinya ke Austria, Rolf mengkhususkan diri dalam mempelajari soal-soal antropologi dari Matrilineal Civilization di India. Apa-apa yang dia pelajari mengenai antropologi Matrilineal Civilization di India, kemudian dia tuangkan dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh The Oxford University Press. Buku ini merupakan buku antropologi pertama yang ditulis oleh Rolf.

Pada waktu Austria diduduki oleh pasukan Nazi Jerman tahun 1938, Rolf memutuskan untuk pergi lagi ke India dan bekerja di Hyderabad atas undangan Sir Akbar Hydari. Selama bermukim di India untuk kali kedua ini, Rolf mempelajari soal-soal antropologi di wilayah India Selatan dengan mendapat bantuan dari Wenner Gern Foundation New York di Assam.

Sejak tahun 1949, ia ditunjuk menjadi kepala bagian Antropologi pada University of Madras. Dan, pada tahun itu juga, Rolf mendapat medali emas SC Roy Golden Medal atas jasa-jasanya dalam bidang Sosial and Cultural Antropology dari Royal Asiatic Society of Bengal.

Di antara sekian banyak karangannya tentang Islam dan ilmu pengetahuan, ada dua jilid buku tentang antropologi India dan dunia, Ilm-ul-Aqwam (Anjuman Taraqqi-Delhi, 1941) dan sebuah risalah tentang suku bangsa Cochin dengan judul Kadar of Cochin (Madras, 1952).

Kebenaran Islam
Menurut Rolf, seperti dikutip dari buku Mengapa Kami Memilih Islam, Islam merupakan agama besar yang sangat berpengaruh atas jiwanya. Setidaknya, kata anak laki-laki satu-satunya dari Baron Christian Ehrenfels, pembangun teori ‘Structure Psychology Modern’ di Austria, ada delapan alasan yang telah menggugah kesadaran dalam dirinya tentang kebenaran agama Islam.

Ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan berangsur-angsur itu, ungkap Rolf, telah menunjukkan kepadanya bahwa agama-agama besar keluar dari hanya satu sumber. ”Bahwa orang-orang yang membawa kerasulan besar itu hanya membawa ajaran-ajaran Tuhan yang Satu. Dan, bahwa beriman kepada salah satu kerasulan ini berarti mencari iman dalam cinta kasih.”

Bagi Rolf, Islam telah memberikan rasa aman dengan cara tunduk kepada hukum yang abadi. Sedangkan ditinjau dari sudut sejarah, ungkapnya, Islam merupakan agama besar terakhir di atas planet bumi ini. Nabi Muhammad SAW adalah rasul Islam dan mata rantai terakhir dalam rangkaian para rasul, yang membawa risalah-risalah besar.

Islam, tambah Rolf, juga menonjol dalam hal penerimaan dan cara hidup kaum Muslimin oleh penganut agama yang terdahulu. ”Berarti dia melepaskan diri dari agamanya yang dahulu,” kata dia. Hal ini sama seperti memeluk ajaran-ajaran Buddha, yang berarti melepaskan diri dari ajaran-ajaran Hindu.

Namun, agama-agama yang berbeda-beda itu, menurut dia, sebenarnya hanya buatan manusia, sedangkan kesatuan agama itu dari dan bersifat ketuhanan. ”Ajaran-ajaran Alquran-lah yang menekankan atas prinsip kesatuan ini. Dan, percaya atas kesatuan agama berarti menerima satunya fakta kejiwaan yang umum diterima oleh semua orang, pria dan wanita,” paparnya.

Hal menonjol lainnya adalah ajaran Islam menekankan jiwa persaudaraan kemanusiaan, yang meliputi semua hamba Allah. Ini berbeda dengan konsep rasialisme atau sukuisme yang berdasarkan perbedaan bahasa, warna kulit, sejarah tradisional, dan lain-lain dogma alami.

Selain itu, menurut Rolf, Islam memberikan kedudukan yang mulia dan hak yang sebesar-besarnya kepada kaum perempuan. Dalam pengertian inilah, Rasulullah SAW bersabda dalam kata-katanya yang tidak bisa dilupakan oleh para pengikutnya, “Surga itu di bawah telapak kaki kaum ibu.”

Agama Islam, dinilai Rolf, sangat menghargai hasil karya umat dari agama lain dengan tidak menghancurkannya. Hal tersebut bisa kita lihat dari bangunan Gereja Aya Sophia di Istanbul, Turki, yang dialihfungsikan menjadi masjid manakala tentara Islam berhasil menguasai wilayah tersebut. Penguasa Islam saat itu hanya mengubah desain interior bekas bangunan gereja tersebut, agar mirip dengan Masjid Sultan Ahmad atau Muhammad al-Fatih (Masjid Biru) di Istanbul. Bukti sejarah ini, kata dia, telah menunjukkan bahwa umat Islam pada dasarnya mencintai perdamaian dan kasih sayang terhadap umat dari agama lain. dia/berbagai sumber [republika]

Biodata:
Nama : Leopold Werner von Ehrenfels
Nama Islam : Baron Omar Rolf von Ehrenfels
Masuk Islam : 1927
Tempat/Tanggal Lahir: Austria, 28 April 1901
Wafat : 1980

Rabu, 02 Desember 2009

Amira Mayorga : Yesus Bahkan Tidak Menyuruh Umatnya untuk Menyembah Dirinya

Amira Mayorga, lahir dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Kakek dan neneknya seorang pastor, sementara Amira sendiri mengajar sekolah minggu untuk anak-anak. Doktrin Trinitas begitu melekat dalam kehidupan keseharian Amira.

Tak heran kalau Amira agak sulit menerima informasi tentang ajaran Islam, ketika ia bertemu dengan teman-temannya yang Muslim dan berdiskusi tentang Islam, saat ia berkesempatan berkunjung ke Washington DC empat tahun yang lalu.

Ketika itu kata Amira, teman-teman Muslimnya selalu berkata, "Saya tidak memaksa kamu untuk menjadi seorang Muslim, saya hanya menjelaskan tentang Islam." Amira sendiri tidak terlalu menaruh perhatian pada penjelasan teman-teman Muslimnya tentang Islam, Amira bahkan berpikir bahwa teman-teman Muslimnya-lah yang salah dan ia tetap menganut agamanya, Kristen Protestan.

Suatu ketika, saat berkunjung ke Guatemala, Amira bertemu dengan seseorang asal Aljazair lewat forum chatting di internet. Keduanya kemudian menjadi sahabat baik dan banyak berdiskusi tentang Islam, terutama tentang konsep ketuhanan dalam ajaran Kristen.

Amira mengakui, ia kehabisan argumen untuk mendukung konsep ketuhanan dalam Kristen. Dan itu mendorongnya menjelajahi dunia maya guna menggali banyak informasi tentang ajaran Islam.

"Saya banyak membaca tentang keindahan Islam dan mulai menyadari bahwa Yesus tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyembah dirinya, tapi Yesus menyerukan umatnya untuk menyembah Tuhan yang Esa.

Amira makin tertarik dengan Islam dan pada Ramadhan, ia mulai ikut berpuasa meski puasanya masih belum sempurna.

Selanjutnya, Amira banyak mengikuti kelompok-kelompok diskusi Islam di internet, mulai dari kelompok milis Amr Diab (nama seorang penyanyi asal Mesir) sampai kelompok Allah Alone. Dari dunia maya, Amira banyak bertemu Muslim dari berbagai negara, yang menjadi tempatnya untuk bertanya segala hal tentang Islam.

Amira mulai memilih nama Muslim yang akan digunakannya, tapi ia belum berani untuk mengucap syahadat. Alasannya, sebagai seorang keturunan latin Amerika, ia belum bisa meninggalkan tradisi masyarakat Latin yang tidak jauh dari pesta, minuman beralkohol dan dansa-dansi.

"Saya tidak mau masuk Islam, tapi saya masih melakukan aktivitas seperti itu. Saya berkata pada diri saya sendiri, kalau saya sudah mampu meninggalkan itu semua, saya ingin menjadi seorang Muslim," ujar Amira.

Amira mulai membaca al-Quran yang dibelinya. Suatu saat ketika minum kopi bersama seorang temannya, Amira mengatakan bahwa ia merasakan kedamaian mengikuti "filosofi" yang ada dalam ajaran Islam dan mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Tapi teman baiknya malah menjawab, " You are crazy."

Mimpi Aneh

Namun Amira tetap mempelajari Islam. Hingga suatu malam ia mimpi aneh. Dalam mimpi itu, Amira dan sahabatnya tadi berada dalam sebuah gedung yang sangat luas dan ia duduk di lantai yang sangat tinggi. Di hadapannya ada seberkas sinar yang menembus kaca jendela, dan Amira mengajak sahabatnya untuk keluar dan melihat sinar apakah itu. Sahabatnya takut, namun Amira terus membujuknya.

Sahabat Amira itu akhirnya mau keluar dan mereka menyaksikan sebuah kota yang kosong, gedung-gedung di kota itu nampak tua dan kotor. Keduanya lalu melihat seorang laki-laki datang dengan membawa cemeti. Amira dan temannya ketakutan dan pada saat itu, laki-laki dalam mimpi Amira berkata,"Kamu mengatakan bahwa kamu sudah mengetahui kebenaran, mintalah pertolongan pada Tuhan-mu dari semua ini."

Sebelum sempat menjawab, Amira terbangun dari tidurnya dan merasa tubuhnya sangat lemah, ia bahkan merasa lumpuh dan tak bisa bergerak sedikitpun. Ia menceritakan mimpinya pada salah seorang sahabat Muslimnya. Sahabatnya itu menyarakan agar Amira segera masuk Islam. Teman Amira lainnya yang beragama Katolik menganggap Amira sedang bingung dan menyarankannya untuk meminta pertolongan "Tuhan" (Yesus) untuk menemukan kedamaian sejati.

Amira masih belum tergerak hatinya untuk memeluk Islam dan kembali melakukan riset di internet tentang Islam dan bertemu dengan seorang Muslimah bernama Dina Stova yang mengirimkannya email-ermail tentang Islam. Amira masih juga mencari-cari alasan ketika Dina menanyakan mengapa ia belum juga mengucap syahadat, hingga sahabatnya itu mengatakan, "Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi, cobalah setahap demi setahap."

Mendengar perkataan Dina, Amira akhirnya menyatakan ingin masuk Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. "Setelah mengucapkan kalimat syahadat, tiba-tiba saja saya merasakan kedamaian itu. Kedamaian hati yang selama ini saya cari dalam hidup saya. Rasanya sudah jelas, jawabannya adalah Islam. Sekarang dan selamanya, saya adalah seorang Muslimah," tukas Amira.

Namun Amira harus menghadapi tantangan berat dari keluarganya. Saudara laki-lakinya, sempat setahun tidak mengajaknya bicara setelah tahu ia memeluk Islam. Tapi Allah Maha Besar, pada 16 Oktober 2007 saudara laki-lakinya itu malah ikut masuk Islam dan mengucap dua kalimat syahadat.

Saat ini, Amira terus melakukan pendekatan pada keluarganya, agar seluruh keluarganya juga mau masuk Islam dan menerima pesan-pesan Islam yang disampaikannya. Sebuah perjuangan yang tidak ringan bagi seorang mualaf seperti Amira. (ln/iol)

http://muallaf-online.blogspot.com/2009/04/amira-mayorga.html

Bilal Chin: Penyanyi Rap Menemukan Islam

Usianya 19 tahun ketika memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebelumnya, pemuda yang sekarang bernama Bilal Chin ini, bahkan tidak tahu bahwa Islam itu agama. Ketika ia melihat perempuan-perempuan yang mengenakan jilbab atau melihat Muslim berpuasa, Bilal hanya berpikir bahwa mereka pasti orang Asia atau Arab dan jilbab serta puasa hanya bagian dari budaya mereka, bukan perintah agama.

Anak Band

Bilal muda sangat gemar main musik. Ia dan beberapa temannya di London Selatan membentuk group band dan mulai berkarir di musik. Bilal punya seorang teman yang kakaknya cukup terpandang dan dihormati di lingkungannya tinggal. Di London Selatan, kata Bilal, jika seseorang memiliki kekayaan dan terpandang di lingkungannya, maka orang bisa disebut "orang sukses" dan Bilal sangat menghormati kakak temannya itu.

Bilal dikenal sebagai "penyanyi rap yang sopan". Ia dan teman-temannya berlatih musik di sebuah ruangan bawah tanah di rumah sahabatnya itu. Ketika berlatih, kakak sahabat Bilal, seringkali turun ke bawah dan meminta mereka untuk menghentikan latihannya untuk beberapa menit. Beberapa lama kemudian Bilal baru tahu, mereka diminta berhenti sejenak karena kakak temannya itu hendak menunaikan salat.

Kakak sahabat Bilal tidak pernah menceramahi Bilal dan teman-temannya soal agama. Tiap kali ada kesempatang ngobrol, kakak sahabatnya itu cuma berbicara tentang tujuan hidup mereka dan kemana mereka akan pergi setelah mati. Saat itu Bilal percaya akan adanya Tuhan dan ketika manusia mati maka manusia itu akan dimintai pertanggungjawabannya selama hidup di dunia.

Bilal sangat terkesan dengan apa yang dikatakan kakak sahabatnya tadi dan mendorongnya ingin menjadi seseorang yang tahu apa tujuan hidupnya. Bilal ingin memastikan bahwa Tuhan menyayanginya dan menyukai apa yang ia lakukan dalam hidup ini.

Bilal makin menghormati kakak sahabatnya dan dari dialah Bilal tahu tentang kitab suci al-Quran. Bilal berpikir, al-Quran pastilah kitab suci yang sangat baik karena telah membuat kakak sahabatnya itu menjadi orang yang sangat baik.

Mengenal Islam

Karena tertarik untuk mengetahui isi al-Quran, Bilal dan kakak sahabatnya tadi pergi ke sebuah toko buku Islam di London Selatan. Si pemilik toko, juga menyarankan Bilal untuk membeli buku The Truth of the Life of this World karya Harun Yahya.

Dari buku itu Bilal belajar bahwa harta yang melimpah, kehormatan dan kesuksesan bahwa jika manusia bisa memiliki dunia dan seisinya, semua itu sama sekali tidak bernilai di mata Allah swt jika manusia tersebut tidak beribadah pada Allah semata. Karena Allah hanya menyuruh umatnya di dunia untuk beribadah padaNya. Bilal mulai merasa hatinya tertambat pada Islam. Apalagi ketika teman Muslimnya mengatakan,"Jika kamu datang berjalan pada Islam, maka Islam akan mendatangimu dengan berlari."

Entah kebetulan atau tidak, Bilal jadi sering menemukan orang Islam. Pada suatu hari, ia pergi ke sebuah toko dengan bersepeda. Sesampainya di toko, ia bertemu seorang Muslim yang berbaik hati mau menjaga sepedanya sementara ia berbelanja di toko. Ketika masuk toko, ia mendengar penjaga toko yang sedang berbicara di telepon mengucapkan "Assalamu'alaikum." Bilal pun merasa Islam mendatanginya dari berbagai arah.

Bilal makin tertarik mempelajari agama Islam dan mulai membaca buku-buku Islam. Dan di usinya yang ke-19 Bilal memutuskan masuk Islam dan mulai bersosialisasi dengan komunitas Muslim. Tentu saja sebagai mualaf, Bilal masih agak kaku dan bingung saat belajar salat. Siring waktu berjalan, Bilal pun terbiasa dan makin banyak teman dari kalangan Muslim.

Banyak teman-teman lama Bilal yang merasa ingin tahu mengapa Bilal masuk Islam. Sungguh tak terduga, Bilal justru mampu membuat beberapa temannya juga tertarik mempelajari Islam dan akhirnya ikut masuk Islam. Mulanya ada tiga teman, kemudian jadi sepuluh dan sampai 50 orang teman-temannya dari kalangan pemuda kulit hitam masuk Islam. Mereka kadang jalan bersama-sama ke masjid. Apalagi diantara pemuda itu ada yang dulunya sering melakukan tindakan kriminal, tapi sekarang mereka berjalan menuju masjid. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.

Sekarang, di pertengahan usia duapuluhtahunan Bilal memilih tinggal di Mesir. Ia mengatakan, lingkungan Mesir sangat baik untuknya dan membantunya menjauhkan diri dari lingkungan lamanya di London Selatan. Mesir menjadi tempat Bilal untuk memulai kehidupan barunya untuk menjadi seorang Muslim sejati. (ln/iol)

sumber : eramuslim

Perjalanan Panjang Menuju Islam, Seorang Muslim Amerika

Perjalanan menuju Islam adalah perjalanan yang cukup panjang bagi Fred, seorang Muslim Amerika. Ia pernah mempelajari berbagai keyakinan, mulai dari Yudaisme, Kristen sampai akhirnya ia menjadi seorang atheis, karena agama-agama yang ia pelajari tidak memuaskan hatinya.

Agama-agama itu tidak menjawab keinginannya sebagai agama yang ia anggap cukup masuk akal, agama yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan, agama yang mengajarkan kepekaan. Agama-agama yang ia pelajari, Yudaisme dan Kristen saling tuding bahwa agama lain di luar agama itu, salah.

Suatu hari, ketika Fred berkunjung ke perpustakaan umum di Columbus, Ohio secara tak sengaja ia melihat sebuah buku bertuliskan 'The Holy Qur'an'. "Saya tidak tahu menahu tentang Qur'an, saya bahkan cuma tahu sedikit tentang Islam-saya tahu pasti, Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan terorisme," aku Fred pada situs WhyIslam.

Tapi Fred tetap membaca-baca 'buku' itu dan ia merasa bahasa dalam 'buku' tersebut ketinggalan zaman dan sulit dipahami. "Butuh belajar untuk memahaminya. Oleh sebab itu saya membeli al-Qu'an di sebuah toko buku dan mulai mempelajari 'buku' yang aneh itu," ujar Fred.

Membaca al-Quran, membuat Fred terkjut sekaligus makin tertarik untuk untuk mempelajarinya. Terkejut, karena di dalam 'buku' tersebut terdapat 114 surat yang menurut Fred tidak ada yang baru. Surat-surat itu, ujar Fred, merupakan pernyataan kembali dan penyederhanaan dari isi Kitab Perjanjian Lama dan Kita Perjanjian Baru.

"Buku ini, al-Quran, adalah penyaringan bagian-bagian yang penting dari kedua kitab perjanjian itu," kata Fred.

Dan yang membuat Fred makin tertarik dengan al-Qur'an, antara lain ayat-ayat yang menceritakan tentang penciptaan dunia oleh Allah swt dan kasih sayangNya pada umat manusia.

Al-Qur'an membuat Fred ingin tahu lebih banyak tentang agama Islam. Ia tercengang saat mengetahui bahwa di AS ada sekitar tujuh sampai sepuluh juta Muslim. Dan ia makin tercengang bahwa Muslim di AS, laki-laki dan perempuan adalah orang-orang bisa seperti dirinya. Bukan orang-orang teroris, suka memukul perempuan dan tidak toleran terhadap cara pandang orang lain, seperti yang ia dengar selama ini.

Pekerjaan Fred membuatnya sering bepergian. Dalam setiap perjalanannya, Fred terus belajar tentang Islam. Ia berkunjung ke masjid-masjid di Columbus, Ohio, berdialog dengan tokoh-tokoh Islam di Sacramento, California, mengunjungi festival-festival Islam di Portland, Oregon atau makan bersama dengan Muslim di Tucson, Arizona.

"Saya menemukan bahwa komunitas Muslim adalah komunitas yang hangat, perhatian dan mau berbagi apapun yang mereka punya dengan saya, tanpa melontarkan pertanyaan-pertanyaan," tukas Fred.

Dua tahun kemudian, Fred merasa Islam-lah agama yang tepat untuknya. Ia pun mulai mencari informasi tentang syarat-syarat menjadi seorang Muslim. Dan syaratnya bagi Fred ternyata cukup mudah.

"Saya cuma diminta untuk mengucapkan bahwa 'Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah," cerita Fred mengenang kembali awal ia menjadi seorang Muslim.

Fred belajar salat dengan beberapa Muslim. Dari sana ia tahu, salat lima waktu sehari merupakan kesempatan bagi setiap Muslim untuk meninggalkan sejenak urusan dunia dan meluangkan waktu untuk berdialog langsung dengan Allah swt.

Fred juga belajar bahwa terorisme ada di mana saja, baik agama atau kelompok politik. Di Irlandia Utara, ada kelompok Kristen Protestan dan Katolik yang mengatasnamakan agama untuk melakukan tindak kekerasan, di AS ada kelompok-kelompok kulit putih yang melakukan tindakan sama atas nama supremasi kulit putih dan ada kelompok Kristen ultrakonservatif, di Afrika Selatan ada kelompok kulit putih yang menerapkan apartheid, dan masih banyak lagi kelompok lainnya.

Terkait perempuan, Fred mengakui bahwa al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa di mata Allah swt tidak ada perbedaan gender. Jika pun masih ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di beberapa negara Muslim, itu tidak lebih hanya pengaruh budaya dan bukan ajaran Islam.

Tentang Yesus, Fred mengatakan bahwa banyak non-Muslim yang kagum dengan al-Qur'an karena al-Qur'an berbicara tentang Yesus dan Maryam dengan sangat hormat. Tapi Islam hanya mengakui Yesus sebagai salah seorang Nabi yang diberi mukjizat oleh Allah swt, Islam tidak memandang Yesus sebagai Tuhan.

"Intinya, Islam adalah perluasan dari Yudaisme dan Kristen, Islam menghormati penganut kedua keyakinan itu. Qur'an mempertegas apa yang disinggung dalam kitab perjanjian lama dan baru serta Injil, tapi dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat. Qur'an berisi hal-hal yang konsisten," papar Fred. (ln/whyislam)

sumber : eramuslim

Steven Krauss: Dari Pencak Silat Menuju Islam

Abdul Latif Abdullah, adalah seorang Amerika pemeluk agama Kristen Protestan sebelum memeluk Islam. Namanya yang sekarang adalah nama Islam yang ia pilih setelah mengucapkan dua kalimat syahadat pada tanggal 30 Juli 1999, sebelumnya ia bernama Steven Krauss. Ketertarikan Krauss pada Islam dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di sebuah universitas di New York City pada tahun 1998. Ketika itu, ia bukanlah seorang pemeluk Kristen yang taat. Menurutnya, agama Kristen Protestan yang ia peluk sudah tidak relevan lagi dengan jaman sekarang.

"Saya sukar menemukan apapun dalam agama itu yang bisa saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kekecewaan saya terhadap ajaran Kristen membuat saya menutup diri dengan hal-hal yang diklaim sebagai agama yang terorganisir, karena menurut asumsi saya semua agama semacam itu sama saja paling tidak dalam hal tidak aplikatif dan tidak bermanfaatnya agama-agama seperti itu. Oleh sebab itu, saya lebih berminat dengan apa yang diistilahkan sebagai spiritualitas tapi bukan agama," papar Abdul Latif mengisahkan masa lalunya.

Ia mengaku sulit menerima tentang konsep ketuhanan dan konsep tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam ajaran Kristen, yang menurutnya ganjil. Dalam filosofis Kristen, ungkap Abdul Latif, hubungan antara manusia dengan Tuhan lewat perantara yaitu Yesus, padahal Yesus manusia juga cuma memiliki kelebihan sebagai utusan Tuhan.

"Filosofis hubungan manusia dengan Tuhan yang sulit dan tidak jelas itu membuat saya mencari sesuatu yang bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Mengapa dalam Kristen saya tidak bisa berdoa langsung pada Tuhan? Mengapa setiap berdoa saya harus mengawali dan mengakhirinya dengan menyebut 'atas nama bapak, dan putera dan roh kudus'? Mengapa Tuhan yang Maha harus mengambil bentuk sebagai seorang laki-laki yaitu Yesus, mengapa Tuhan merasa perlu melakukan hal seperti itu?" ujar Abdul Latif.

"Itu cuma sebagian pertanyaan yang tidak mampu saya pecahkan. Saya menginginkan pendekatan yang jelas bersifat langsung dalam sebuah ajaran agama, yang benar-benar memberikan tuntunan pada kehidupan saya dan bukan cuma dogma yang tidak jelas alasannya," sambungnya.

Ketika masih menjadi mahasiswa, Abdul Latif punya teman sekamar orang Yahudi yang mempelajari Pencak Silat, ilmu bela diri tradisional. Setiap pulang latihan pencak silat dari padepokan yang dipimpin oleh seorang asal Malaysia, ahabatnya itu selalu bercerita tentang keunikan dan kekayaan dimensi spiritual dalam pencak silat. Abdul Latif tertarik dengan cerita sahabatnya itu dan berniat untuk mengetahui pencak silat lebih dalam. Suatu pagi di hari Sabtu, tanggal 28 Februari 1998, ia pun ikut ke tempat latihan pencak silat dan bertemu dengan guru pencak silatnya bernama Sulaiman, seorang Muslim Malaysia. Saat itu, ia tak menyadari bahwa momen itulah yang akan mengantarnya mengenal agama Islam dan menjadi seorang Muslim.

Sejak itu, Abdul Latif banyak menghabiskan waktunya berlatih pencak silat dan belajar Islam dari Sulaiman, gurunya yang sering ia panggil Cikgu (panggilan untuk seorang guru). Ia dan teman sekamarnya yang orang Yahudi itu juga sering berkunjung ke rumah Sulaiman, untuk menggali lebih banyak ilmu pencak silat dan tentu saja tentang agama Islam.

"Orientasi saya terhadap Islam sangat kuat. Ketika saya mempelajarinya, saya seperti sedang menjalankannya. Karena saya belajar di rumah guru saya, hadir di tengah Muslim yang taat membuat saya selalu dikelilingi oleh suara, penglihatan dan praktek-praktek agama Islam. Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Ketika Anda berada dalam lingkungan Islam, Anda tidak bisa memisahkannya dari kehidupan sehari-hari."

"Tidak seperti ajaran Kristen yang memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan umatnya untuk mengintegrasikan ibadah pada Tuhan dengan semua perbuatan kita. Bersama guru saya, saya langsung merasakan dan mengalami kehidupan yang islami dan menyaksikan sendiri bagaimana Islam bisa membentuk cara hidup seseorang secara keseluruhan," papar Abdul Latif menceritakan pengalamannya pertama kali mengenal dan belajar Islam.

Sebagai orang yang ketika itu menjalani kehidupan yang liberal, Abdul Latif mengaku juga menemui banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Apalagi ketika itu ia antipati dengan segala hal yang bersifat dogmatis, tak peduli asalnya darimana. Seiring dengan perjalanan waktu dan pehamannya tentang Islam makin meningkat, Abdul Latif pelan-pelan melihat bahwa apa yang ia anggap sebagai dogma agama merupakan sebuah gaya hidup yang sebenarnya yang diajarkan Sang Pencipta untuk umatnya. Dan ia menemukannya dalam ajaran Islam.

Abdul Latif akhirnya memutuskan menjadi seorang Muslim dan mengucapkan dua kalimat syahadat pada 30 Juli 1998, atau lima bulan setelah ia datang ke tempat latihan pencak silat dan belajar tentang Islam dengan guru pencak silatnya. Tapi sebelum mengambil keputusan itu, Abdul Latif benar-benar mengeksplorasi dirinya sendiri apakah ia serius untuk masuk Islam. Dua hal penting yang ia tegaskan dalam dirinya adalah pertanyaan tentang gaya hidup masyarakat Amerika dimana ia dibesarkan dulu yang mengukur kebahagiaan hanya berdasarkan pada apa yang kita punya dan apa yang mampu kita beli serta pertanyaan seputar agama apa yang ia inginkan berperan dalam kehidupannya.

Ketika belajar dan akhirnya memeluk Islam, Abdul Latif menyadari betapa menyejukannya cara hidup yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan bahwa semua yang kita lakukan harus bertujuan untuk beribadah pada Allah. Islam bukan agama yang bisa dirasionalisasikan seperti agama Kristen dan Yudaisme. Islam memberikan jalan dan petunjuk yang jelas bagi penganutnya untuk diikuti berupa al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. (ln/iol)

Yahudi AS, Pindah ke Israel dan Masuk Islam

Pada tahun 1998, Joseph Cohen seorang Yahudi Ortodoks kelahiran AS hijrah ke Israel karena keyakinannya yang sangat kuat pada ajaran Yudaisme. Ia kemudian tinggal di pemukiman Yahudi Gush Qatif di Gaza (Israel mundur dari wilayah Jalur Gaza pada tahun 2005).

Cohen tak pernah mengira bahwa kepindahannya ke Israel justru membawanya pada cahaya Islam. Setelah tiga tahun menetap di Gaza, Cohen memutuskan untuk menjadi seorang Muslim setelah ia bertemu dengan seorang syaikh asal Uni Emirat Arab dan berdiskusi tentang teologi dengan syaikh tersebut lewat internet. Setelah masuk Islam, Cohen mengganti namanya dengan nama Islam Yousef al-Khattab.

Tak lama setelah ia mengucapkan syahadat, istri dan empat anak Yousef mengikuti jejaknya menjadi Muslim. Sekarang, Yousef al-Khattab aktif berdakwah di kalangan orang-orang Yahudi, meski ia sendiri tidak diakui lagi oleh keluarganya yang tidak suka melihatnya masuk Islam.

"Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan keluarga saya. Kita tidak boleh memutuskan hubungan kekeluargaan, tapi pihak keluarga saya adalah Yahudi dengan entitas ke-Yahudi-annya. Kami tidak punya pilihan lain, selain memutuskan kontak untuk saat ini. Kata-kata terakhir yang mereka lontarkan pada saya, mereka bilang saya barbar," tutur Yousef tentang hubungan dengan keluarganya sekarang.

Ia mengakui, berdakwah tentang Islam di kalangan orang-orang Yahudi bukan pekerjaan yang mudah. Menurutnya, yang pertama kali harus dilakukan dalam mengenalkan Islam adalah, bahwa hanya ada satu manhaj dalam Islam yaitu manhaj yang dibawa oleh Rasululullah saw yang kemudian diteruskan oleh para sahabat-sahabat dan penerusnya hingga sekarang.

"Cara yang paling baik untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama untuk semua umat manusia adalah dengan memberikan penjelasan berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan yang membedakan antara umat manusia adalah ketaqwaannya pada Allah semata," ujar Yousef.

"Islam bukan agama yang rasis. Kita punya bukti-bukti yang sangat kuat, firman Allah dan perkataan Rasulullah saw. Kita berjuang bukan untuk membenci kaum kafir. Kita berjuang hanya demi Allah semata, untuk melawan mereka yang ingin membunuh kita, yang menjajah tanah air kita, yang menyebarkan kemungkaran dan menyebarkan ideologi Barat di negara kita, misalnya ideologi demokrasi," sambung Yousef.

Ia mengatakan bahwa dasar ajaran agama Yahudi sangat berbeda dengan Islam. Perbedaan utamanya dalam masalah tauhid. Agama Yahudi, kata Yousef percaya pada perantara dan perantara mereka adalah para rabbi. Orang-orang Yahudi berdoa lewat perantaraan rabbi-rabbi mereka.

"Yudaisme adalah kepercayaan yang berbasiskan pada manusia. Berbeda dengan Islam, agama yang berbasis pada al-Quran dan Sunnah. Dan keyakinan pada Islam tidak akan pernah berubah, di semua masjid di seluruh dunia al-Quran yang kita dengarkan adalah al-Quran yang sama," ujar Yousef.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Yahudisme di sisi lain berpatokan pada "tradisi oral" misalnya kitab Talmud yang disusun berdasarkan informasi dari mulut ke mulut yang kemudian dibukukan. Para rabbi sendiri, kata Yousef mengakui, bisa saja banyak hal yang sudah orang lupa sehingga keabsahan kitab tersebut bisa dipertanyakan.

Yousef mengungkapkan, kitab Taurat yang diyakini kaum Yahudi sekarang memiliki sebelas versi yang berbeda dan naskah-naskah Taurat itu bukan lagi naskah asli. "Alhamdulillah, Allah memberikan rahmat pada kita semua dengan agama yang mudah, di mana banyak orang yang bisa menghapal al-Quran dari generasi ke generasi. Allah memberkati kita semua dengan al-Quran," tukas Yousef. Meski demikian, ia meyakini dialog adalah cara terbaik dalam berdakwah terutama di kalangan Yahudi.

Ditanya tentang kelompok-kelompok Yahudi yang mengklaim anti-Zionis. Yousef menjawab bahwa secara pribadi maupun dari sisi religius, ia tidak percaya dengan Yahudi-Yahudi yang mengklaim anti-Zionis. "Dari sejarahnya saja, mereka adalah orang-orang yang selalu melanggar kesepakatan. Mereka membunuh para nabi, oleh sebab itu saya tidak pernah percaya pada mereka, meski Islam selalu menunjukkan sikap yang baik pada mereka," paparnya.

Yousef menegaskan bahwa pernyataannya itu bukan untuk membela orang-orang Palestina ataupun atas nama seorang Muslim. Pernyataan itu merupakan pendapat pribadinya. "Allah Maha Tahu," tandasnya.

Sebagai orang yang pernah tinggal di pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, Yousef mengakui adanya diskriminasi yang dilakukan pemerintah Israel terhadap Muslim Palestina. Yousef sendiri pernah dipukul oleh tentara-tentara Israel meski tidak seburuk perlakuan tentara-tentara Zionis itu pada warga Palestina.

"Saya masih beruntung, penderitaan yang saya alami tidak seberat penderitaan saudara-saudara kita di Afghanistan yang berada dibawah penjajahan AS atau saudara-saudara kita yang berada di kamp penjara AS di Kuba (Guantanamo)," imbuhnya dengan rasa syukur.

Allah memberikan hidayah pada umatnya, kadang dengan cara yang tak terduga. Seperti yang dialami Cohen atau Yousef yang justru masuk Islam setelah pindah ke wilayah pendudukan Israel di Gaza. (ln/readingislam)

Balada Mu'min Mencari Tuhan


MUHAMMAD MU’MIN. Sosok tinggi besar, lagi tegap ini, merupakan momok paling menakutkan bagi para misionaris, khususnya di Jawa Barat. Sepak terjangnya dalam membabat habis gereja liar, serta mengikis banyak tempat kemunkaran mulai dari tempat miras, judi dan prostitusi, membuat banyak kalangan, termasuk jajaran kepolisian di Jabar, segan pada sosok yang satu ini.

Namun, tak banyak orang tahu jika Mu’min adalah seorang mualaf yang sempat kehausan mencari Tuhan yang hilang. Kisah itu bermula 36 tahun silam, saat usianya menginjak tahun kedelapan.

Saat itu Mu’min kecil yang diberi nama Hanibal, sebagai bentuk rasa kagum ayahnya terhadap pahlawan Muslim Cartago ini, sering mendengar bahwa yang menciptakan matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan dan manusia adalah Tuhan. Maka ia bertanya pada ayahnya, Sahal, “Pak, Tuhan itu setinggi apa?” Sang ayah yang beragama Kristen malah terpaku diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan polos dari anaknya. Sikap ayah ini membuat Hanibal kecewa.

Suatu hari, saat Hanibal berjalan di trotoar Kosambi, Bandung, tiba-tiba pandangannya tertarik pada sebuah buku yang dijual di emperan jalan. Buku tersebut mengisahkan dua orang anak yang baik dan nakal. Anak yang baik ini sering melakukan sembahyang sedangkan anak nakal banyak melawan kehendak orangtua dan tidak mau sembahyang.

Kedua anak ini kemudian tumbuh besar. Anak yang baik menikah dengan seorang wanita berjilbab kemudian membangun rumah ibadah dan banyak membantu orang kesusahan. Sedangkan anak yang nakal tumbuh dewasa dengan kriminalitas, suka mabuk, berzina dan durhaka pada orangtua.

Keduanya kemudian meninggal. Anak yang baik dimasukan ke dalam surga sebaliknya anak yang durhaka dimasukan ke dalam neraka. Di dalam surga anak yang baik mendapatkan pahala dari apa yang ia lakukan di dunia, sebaliknya anak yang durhaka disiksa akibat zina, mabuk dan melawan orangtua.

Kisah ini akhirnya masuk di dalam memori anak yang sekolah di SD Katolik Dwisakti ini. Ia berpikir “Apakah hidup saya begini setelah mati? Apakah saya masuk surga atau neraka?” Saat itu ia tidak menyadari bahwa yang dibacanya adalah buku cerita Islam. Ia hanya berangan bahwa kelak ingin seperti si anak baik yang menikah dengan wanita berjilbab, membangun tempat ibadah dan masuk surga.

Menginjak usia 11 tahun, Hanibal baru mengetahui bahwa ada beberapa agama yang terdapat di Indonesia. Ia pun baru menyadari bahwa dirinya penganut agama Kristen. Saban Minggu Hanibal rajin berangkat ke Gereja. Sabtunya, ia tidak ketinggalan mengikuti Persekutuan, kegiatan ektra sekolah yang diadakan di ruangan khusus. Sedangkan di rumah ia sangat rajin membaca kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kegelisahan Hanibal
Rasa bosan hinggap di benaknya, setiap kali mendengar ceramah pendeta. Materi yang disampaikan hanya berkutat seputar mukjizat Yesus yang bisa membangkitkan orang mati dan bisa membuat orang buta dapat melihat kembali. Ia juga mulai berpikir kenapa harus ada orang yang baik dan jahat serta kaya dan miskin. Hal ini membuat hatinya menjadi gelisah.

Satu waktu, ia bertengkar hebat dengan ibundanya, Yuliana. Pasalnya Hanibal memisahkan piring karena tidak mau makan daging babi yang dimasak sang ibu. Alasannya hal itu bertentangan dengan Perjanjian Lama yang mengharamkan babi. “Itukan Perjanjian Lama, sekarang itu Perjanjian Baru! yang tidak makan babi itu orang Islam!” Kenang Komandan BAP (Badan Anti Pendzoliman) Forum Ulama Umat Indonesia ini, mengutip jawaban ibunya.
Beranjak remaja, kegelisahan Hanibal semakin menjadi-jadi. Di saat usianya menginjak 15 tahun ia sampai pada kesimpulan semua agama adalah benar. Buku-buku agama, sastra, filsafat dan politik pernah dilahap, sekedar mencari tahu agama apakah yang paling benar.

Setahun berlalu, setelah banyak membaca buku tentang Budha dan Tao akhirnya Hanibal tertarik pada ajaran Budha. “Saya belajar wedanya, sampai saya hanya makan nasi dengan garam saja kemudian belajar meditasi secara rahasia supaya orangtua tidak tau,” ungkap Kepala Bagian kemahasiswaan Universitas Sangga Buana (USB) Bandung ini, akibat doktrin Budha yang dipelajarinya waktu itu.

Ini pun tak membuat kegelisahan hatinya terobati. “Siapa Tuhan, Tuhan Di mana, Tuhan setinggi apa? Siapa aku? kenapa aku diciptakan? kenapa harus ada yang jahat dan yang baik?" Pertanyaan ini selalu saja muncul di benaknya waktu itu. Sehingga saat ia melakukan dosa, merasa dirinya menjadi orang yang sangat kotor.

Kegelisahan Hanibal memuncak. Ia berteriak dalam doanya, “Biarkan aku masuk neraka asalkan semua manusia masuk surga! Tuhan mulai hari ini aku Atheis!” Setelah itu, ia menjadi pendiam, dan kerap mengurung diri bertemankan buku-buku filsafat.

Saat menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas di SMA 6 Pasirkaliki, Bandung, ia mulai mengenal murid-murid dari beragam agama dan strata sosial. Banyak di antara murid-murid miskin di sekolahnya yang beragama Islam. karena selama sekolah SD dan SMP mayoritas teman sekolahnya berasal dari keluarga berada. Hanibal terenyuh menyaksikan kondisi para siswa yang terus berjuang, meskipun dengan kondisi seadanya.

Seperti lazimnya sekolah umum, ketika pelajaran agama dimulai para siswa mengikuti pelajaran sesuai kepercayaannya masing-masing. Hanibal yang kadung mendeklarasikan diri sebagai Atheis, tetap mengikuti pelajaran agama Kristen. Tanpa diduga, saat ibu guru agama sekaligus pendeta itu bertanya, “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan” Hanibal hanya diam seribu bahasa. Sementara, semua murid di sekeliling dia, mengangkat tangan.

Pertanyaan itu pun diulang berkali-kali oleh pendeta sembari menjelaskan tentang kekuasaan Yesus dengan harapan Hanibal mau mengangkat tangan. Namun ia bersikukuh dengan pendiriannya. “Kenapa kamu ngga angkat tangan?” tanya pendeta keheranan. “Yesus bukan Tuhan, dia hanya manusia yang mengaku Nabi,” Jawab Hanibal tegas sambil berdiri dan langsung keluar meninggalkan kelas. “Saya tidak peduli nilai rapot saya agamanya merah,” kenang ayah dua anak ini sambil tertawa.

Kejadian ini kemudian berulang ditempat yang berbeda. Saat Hanibal mengikuti kegiatan Persekutuan, seorang pendeta laki-laki di sela-sela ceramahnya mengatakan “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan?” Semua peserta Persekutuan mengangkat tangan kecuali Hanibal. Pertanyaan yang diulang-ulang sampai setengah jam, hanya untuk menunggu kepastian Hanibal sungguh sia-sia. Ia tetap konsisten dengan sikapnya sampai pergi meninggalkan ruangan.

Tidak hanya di sekolah, ternyata sikap nyeleneh Hanibal ditunjukan sewaktu ia menghadiri ceramah umum oleh pendeta terkenal, Yusuf Roni, di GKP Pasirkaliki, Bandung. Acara yang dihadiri oleh ribuan jemaat itu menampilkan seseorang yang lumpuh. Dengan doa Pendeta Yusuf Romi, “Sembuh kamu atas nama kekuatan Yesus” orang lumpuh yang sedang duduk di kursi roda itu langsung berdiri dan berjalan, sontak ribuan pasang mata terpana.

“Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan, semuanya berdiri” ucap Pendeta mengakhiri aksinya. Serentak semua jemaat berdiri, dan lagi-lagi Hanibal hanya duduk terdiam. Sikapnya itu diketahui setelah panitia acara memeriksa setiap jemaat. Pendeta itu kemudian kembali menjelaskan tentang keagungan Yesus dengan harapan Hanibal dapat berdiri. Akhirnya Ia pun berdiri. Namun, bukan untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan, melainkan pergi meninggalkan acara.

Sampai suatu waktu kegelisahan, kemarahan dan kekecewaan bertumpuk dalam benak. Pencariannya menemukan Tuhan, ternyata masih belum mendapat titik terang. Sampai satu waktu, saat usia 21 tahun, ia bermimpi. Dalam tidurnya ia didatangi Yesus. Sosok yang dituhankan oleh umat Kristen itu mengambil tangan Hanibal, lantas membawanya ke sebuah cahaya yang terlihat agung. “Assalamualaikum,” sapa Yesus. “Wa’alikum salam,” Jawab cahaya itu. Yesus kemudian mengangkat suara “Ya Muhammad saya serahkan anak ini ke dalam Islam untuk dibina dan dikembangkan dalam Islam. Kasihan anak ini, sepanjang hidupnya dihabiskan hanya untuk mencari Tuhan.” kemudian di dalam mimpi tersebut Hanibal akhirnya dibawa ke dalam cahaya agung tersebut.

Keesokan harinya, tiba-tiba tekad Hanibal untuk memeluk Islam begitu menggebu. Ia langsung mendatangi teman SMA-nya yang beragama Islam, Evi Isviantini. Melalui Evi ia dibawa menghadap ayahnya, Ustadz Ahim, yang juga tokoh Persatuan Islam (PERSIS) di jalan Jurang Gang Namapura, Bandung. Dari Ustadz ini kemudian Hanibal mengikrarkan syahadat di Kantor Urusan Agama (KUA) Cipaganti, Bandung, Agustus tahun 1986 atau 18 Dzulhijjah 1407. Untuk memantapkan ke-Islamannya, nama Hanibal pun berganti menjadi Muhammad Mu’min, dan tak lama setelahnya ia kemudian dikhitan.

Saat orangtua mengetahui keislaman Mu’min, sang ayah terlihat marah. Namun pada akhirnya merelakan keislaman dia. Sang ibu pun hanya pasrah. “Ya dari pada gila,” ungkap ibunya saat itu, karena melihat Mu’min sering menyendiri dan terlihat depresi.

Muhammad Mu’min akhirnya menemukan Tuhan yang hilang. 24 Agustus 1986, Mu’min lantas mempersunting teman yang sangat berjasa dalam proses keislamannya, Evi Isvianti. Mereka pun sementara tinggal di kediaman ustadz Ahim, ayahanda Evi. Di rumah ini pula, pria yang diamanahi sebagai ketua AGAP (Aliansi Gerakan Anti pemurtadan) ini banyak belajar shalat, surat Al-Fatihah dan Iqra, dari ustadz Ahim, guru sekaligus bapak mertuanya. •
MUHAMMAD YASIN/ALHIKMAH

alhikmahonline.com

Koko liem Sang Pengembara


Muallaf Liem Hai Thai (Koko Liem)

Mayoritas umat Islam yang mengenyam pendidikan agama Islam tentu pernah mendengar kisah para nabi. Kisah yang biasa disampaikan waktu kecil itu masih mengenang di benak umat Islam setelah dewasa, namun tak banyak orang yang mengambil hikmah dari kisah tersebut.

Berbeda dengan Liem Hai Thai atau yang biasa disapa Koko Liem, kisah para nabi baginya memiliki peran penting dalam menemukan Islam yang realistis.

Koko Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya Liem Guan Ho, seorang suhu Budha terkenal di wilayah Dumai Riau. Beberapa klenteng di wilayah Riau telah menjadi langganan ceramahnya.
Koko Liem memulai pendidikannya di sekolah umum SDN 014 Dumai Barat Riau. Sekolah umum dipilih orangtuanya dikarenakan pemerintahan Soeharto waktu itu melarang pendirian sekolah Mandarin. Sekolah yang dihuni mayoritas umat Islam ini mau tidak mau membawa Koko liem berkenalan dengan Islam.
Rasa penasaran tumbuh dalam hatinya. Setiap pelajaran agama Islam dimulai, ia bersikukuh tidak mau keluar dari ruang sekolah. Dengan khusyuk, anak yang lahir di Dumai, 17 Januari 1979 mendengarkan satu persatu kisah nabi yang disampaikan guru agama.

Kebiasaan ini terus berlanjut hingga Koko Liem melanjutkan pendidikannya ke SMPN Syaikh Umar Dumai Barat Riau. Namun sebagai anak dari suhu Budha, setiap hari minggu Koko Liem diwajibkan oleh orangtuanya untuk berangkat ke sekolah agama Budha di Wihara Dumai Pekanbaru Riau. Diantara dua pendidikan ini ajaran Islamlah yang menurutnya sesuai dengan logika. Ibadah dalam Islam menggunakan satu bahasa berbeda dengan Budha yang menggunakan beragam bahasa sesuai dengan sukunya masing-masing.

Ketertarikan Koko Liem terhadap Islam memuncak saat Hj. Saniati guru agama Islam menceritakan kisah Nabi Ibrahim. Ibrahim dilahirkan bukan dari orangtua yang mengenal Allah. Ayahnya yang bernama Adzar seorang penyembah sekaligus pembuat patung yang dijadikan Tuhan. Akan tetapi Allah memberikan hidayah akal kepada Ibrahim. Secara logika patung yang terbuat dari batu itu tidak mungkin bisa berbicara apalagi menolong hambanya sampai akhirnya Ibrahim menemukan Islam sebagai pegangan hidupnya.

Kondisi ini sama persis dengan apa yang dialami oleh Koko Liem anak dari ayah sang penyembah patung Tao Pekong. “Disinilah akal saya berperan. Disamping Allah memberikan hidayah akal, Ia juga memberi hidayah agama” ujar peran Kyai di Sinetron Kiamat Sudah Dekat 3. Maka pada 21 Juli 1994 ia pergi diam-diam ke Duri Riau yang jaraknya 90 km dari Dumai tempat tinggalnya. Tepat di Masjid Raya Pasar Duri ia mengucapkan kalimat syahadat dihadapan H. Arwan Mahiddin dengan disaksikan oleh ribuan jamaah.

Dengan modal ilmu pengetahuan agama yang diajarkan disekolahnya ditambah dengan bimbingan dari teman-teman muslimnya, anak yang waktu itu masih menginjak kelas 2 SMP berusaha rutin melakukan ibadah salat lima waktu secara sembunyi-sembunyi di kamar atau di rumah temannya.

Suatu hari pemilik nama Islam Muhammad Utsman Anshori ini lupa mengunci pintu kamarnya, seusai Salat Isya tiba-tiba ayahnya masuk dan kaget melihat sajadah dihadapannya beserta pakaian muslim serta peci yang tidak sempat dilepas oleh Koko Liem. “Kamu masuk Islam apa tidak?” bentak ayahnya. Dengan jujur ia membenarkan keislamannya. “Nggak mungkin saya nggak jujur, Islam mengajarkan itu” kenang lulusan S2 Konsentrasi Ilmu Tafsir, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Tak pelak lagi ia langsung diusir oleh ayahnya saat itu juga. Sementara sang ibu tercinta Laihwa hanya diam tidak berkutik melihat anaknya diusir oleh suaminya.

Kurang dua minggu dari keislamannya, Koko Liem dengan pakaian yang menempel di badan dan uang seratus ribu hasil tabungannya berjalan sendiri di kegelapan malam menyusuri sepanjang jalan Dumai yang ditumbuhi banyak pepohonan besar menuju Duri sejauh 90 km. Tidak ada tempat yang dituju saat itu karena ayahnya sudah menghubungi sanak keluarga di Riau untuk tidak menerima Koko Liem anak durhaka yang telah keluar dari agama Budha.

“Saya boleh tidak punya harta, saya boleh tidak punya orangtua tapi jangan sampai saya tidak punya Allah.” ujar finalis mimbar da'i di TPI. Musala demi musala ia singgahi sebagai tempat menginap sementara, sampai akhirnya dihari kedua pengembaraanya Koko Liem singgah di musala Utama Simpang Padang Duri Riau. Di tempat ini ia berkenalan dengan imam musala Ustadz Faisal sekaligus menjadi guru pertama yang mengajarkan banyak hal tentang Islam.
Musala tempat pemeran bintang iklan bersama Dedy Mizwar ini menginap suatu hari mengadakan peringatan hari besar umat Islam yang diisi oleh ustadz Ali Mukhsin pengasuh pondok pesantren Jabal Nur di Kandis Riau. Seusai acara para jamaah memperkenalkan Liem Hai Thai kepada ustadz Ali Mukhsin. Dengan kemurahan hati beliau bersedia mengangkat Koko Liem sebagai anaknya.

Koko Liem kembali menyambung pendidikannya yang terputus sejak kelas 2 SMP ke sekolah baru di kelas 3 Tsanawiyyah YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam) Mutiara Duri Riau. Selama tiga minggu tinggal di ayah angkatnya, Koko Liem mencoba berkunjung ke rumah orangtuanya di jalan Tegalega bukit Datuk Dumai Riau.
Setiba di rumah orangtuanya Koko Liem kembali diusir oleh ayahnya. Namun tindakan ayahnya ini tidak menyurutkan nyali Koko Liem untuk terus menjalin silaturahim dengan orangtua. Tiga hari sekali Koko Liem rutin berkunjung ke rumah orangtuanya. “Kalau kamu diusir dari rumah itu masih mending, Rasul lahir di Makkah ia diusir dari negaranya, hijrah ke Madinah namun kemudian beliau jadi besar” ujar ustadz Ali Mukhsin menyemangati anak angkatnya.

Teringat dengan kisah Nabi Nuh yang disuruh oleh Allah membuat perahu. Sedangkan waktu itu di tempat nabi Nuh tidak ada pohon. Maka nabi Nuh terlebih dahulu menanam pohon. Setelah sekian lama menunggu akhirnya pohon tersebut ditebang dan dijadikan perahu. Waktu yang sangat panjang untuk memperjuangkan perintah Allah. Maka tidak heran jika usia nabi Nuh mencapai 960 tahun. Kisah ini menjadi prinsip suami dari Ima Ismawati. S.Thi ini untuk tetap memperjuangkan silaturahim dengan orangtua. Ia yakin suatu waktu usahanya akan berhasil.

Tiga bulan kemudian keinginan pengasuh Pondok Pesantren Pembinaan Muallaf Shengho Budaya Sentul Selatan Jawa Barat ini terwujud. Ayahnya menerima dengan ikhlas keislaman anaknya. Tapi masalah baru kemudian muncul Bibi dari ayahnya Ako Kotiu memanggil Koko Liem ke rumahnya dan memaksa untuk kembali menyembah Tao Pekong dengan iming-iming uang tiga juta rupiah.

“Bi, jangankan uang tiga juta! andaikan rumah bibi yang besar ini bisa bibi jadikan emas kemudian diberikan kepada saya untuk mengajak saya masuk Budha maka demi Tuhan saya tidak akan meninggalkan agama Islam” tegas penceramah yang pernah mengisi di berbagai televisi dan radio nasional ini sambil meninggalkan bibinya yang terdiam seribu bahasa dan uang yang pada waktu itu jumlahnya sangat besar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tsanawiyyah YLPI Riau tahun 1995, Koko Liem merantau ke Banten Jawa Barat untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Daar el Qolam Gintung. Di pondok ini pula Koko Liem berkenalan dengan ustadz Jefry sahabat dekatnya. Selanjutnya pada tahun 1999 Koko Liem merantau kembali. Kali ini Jawa Timur menjadi tempat pilihannya yaitu di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran Raudhatul Muchsinin. Dengan waktu hanya 1 tahun 8 bulan Koko Liem berhasil menghafal Alquran 30 juz. Bekal dari hafalan ini memberi kesempatan Koko Liem untuk menerima beasiswa S1 dan S2 di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. MUHAMMAD YASIN/ALHIKMAH

Di Balik Kesuksesan Gonzales


Christian Gonzales, pemain cemerlang bertabur bintang dengan gelar peraih top skor 4 tahun berturut-turut merupakan sosok yang tak asing lagi di dunia persepakbolaan tanah air Indonesia. Namun siapa menyangka, dibalik kesuksesan Gonzales terdapat suatu kekuatan yang menyemangati hidupnya, terlebih setelah ia menjadi Muallaf, kekuatan itu tidak lain adalah kekuatan doa.

Gonzales atau yang memiliki nama lengkap Christian Gerard Alfaro Gonzales dilahirkan di Monteveido, Uruguay pada tanggal 30 Agustus 1976 dari seorang ayah angkatan militer bernama Eduardo Alfaro dan ibu seorang suster di rumah sakit Montevideo bernama Meriam Gonzales.

Kedua pasangan ini, khususnya sang ibu adalah penganut agama Katolik yang taat. Gambar Bunda Maria selalu menempel di setiap sudut ruangan rumah dan tempat kerjanya. Bahkan saking fanatiknya, gambar Bunda Maria kerap dibawa kemana-mana oleh ibunya.

Ketaatan dari sang ibu nampaknya berpengaruh pada diri Gonzales, anak ketiga dari enam saudara ini kerap pergi ke Gereja dua sampai tiga kali dalam seminggu, oleh karena itu tidak heran jika Gonzales dikenal sebagai anak yang taat dalam beragama.

Perkenalannya dengan dunia sepak bola, dimulai ketika Gonzales berusia 6 tahun. Semula ayahnya berharap Gonzales dapat meneruskan jejaknya menjadi seorang militer, namun karena kegilaannya terhadap dunia sepak bola, harapan itu tak terpenuhi.

Menginjak usia ke 18 tahun, pria yang menyukai warna hitam ini bertemu dengan seorang wanita beragama Islam asal Indonesia, Eva Nurida Siregar di Cile, Amerika latin pada tahun 1994. Saat itu Eva menekuni salsa di sekolah Vinadelmar. Lama berkenalan akhirnya Gonzales menyimpan hati pada Eva. Dan tak lama kemudian Cintanya berbalas.

Sebagai penganut Katolik, lelaki yang dikenal pendiam ini sama sekali tidak mengenal agama Islam yang dianut pujaan hatinya, begitu pun dengan sang ibu. “Sebelum ketemu istri, saya sama sekali tidak tahu Islam” ungkap pria penggemar Rivaldo. Maka peran Eva pun menjadi berat, ia berulang kali menjelaskan tentang ajaran Islam yang dianutnya.

Usaha wanita kelahiran Pekanbaru ini akhirnya berhasil. Eva Nurida Siregar yang beragama Islam dan Christian Gerard Alfaro Gonzales yang beragama Katolik menikah dan hidup bersama di Uruguay pada tahun 1995.

Karir pria yang memiliki tinggi badan 177 Cm ini di dalam persepak bolaan terus berkembang, mulai dari Klub Penarol Uruguay (1988-1991), South Amerika (1994-1995), Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002) pernah dijajaikinya.

Perkembangan karir ini sebetulnya tidak lepas dari peran Eva. Setiap kali pemain sepak bola yang dijuluku elloco (si gila) ini mau berangkat bertanding, wanita yang biasa dipanggil Amor oleh Gonzales ini selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam berdoa terkadang Eva sengaja mengeraskan suara dengan harapan Gonzales dapat mendengarnya.

Kebiasaan inilah yang membuat Gonzales mulai tertarik dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak akan beranjak pergi sebelum kekasihnya selesai berdoa. Karena dari doa inilah Gonzales menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak didapatkan dari agama yang dianut sebelumnya. Doa ini pula yang membuat dirinya semakin bersemangat dan optimis setiap kali bertanding di lapangan hijau.

Tidak hanya itu, Gonzales terkadang memperhatikan kebiasaan Eva yang selalu mengucapkan bismilah ketika mau melakukan sesuatu atau mengucapkan istighfar ketika dihadapkan pada konflik, serta ucapan lainnya yang menjadi doa umat Islam.

Pada tahun 2002 pria yang menyukai aktor Tom Cruise ini menerima sebuah tawaran dari agen sepak bola untuk bermain di Indonesia. Ia pun tertarik dan akhirnya menerima tawaran tersebut dengan merumput di Indonesia bersama PSM Makassar pada tahun 2003.

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, selama ini Gonzales hanya mengenal Islam melalui istrinya dan ini dirasa tidak cukup. Sekarang pemain yang doyan sup ayam ini bisa langsung menemukan Islam dari para penganutnya.

“Saya tidak pernah memaksa Gonzales masuk Islam”. Ungkap Eva “Kadang-kadang setelah saya baca buku tentang ajaran Islam, saya simpan buku itu di meja dan Christian diam-diam membacanya, maka dia kemudian tau bagaimana sikap suami terhadap istrinya dalam Islam dan bagaimana sikap istri terhadap suaminya” Lanjutnya mengenang saat pertama kali tinggal di Indonesia bersama Gonzales.

Maka tepat pada tanggal 9 Oktober 2003 Christian Gonzales memutuskan untuk masuk Islam atas dasar kemauan sendiri dengan disaksikan oleh ustadz Mustafa di Mesjid Agung al Akbar Surabaya. Christian Gerard Alfaro Gonzales kemudian diberi nama Mustafa Habibi. Nama Mustafa diambil dari guru spiritualnya, ustadz Mustafa sedangkan Habibi (cintaku) diambil karena rasa cinta sang istri amat besar kepada Christian Gonzales.

Islam memiliki kesan tersendiri bagi Gonzales “Karena di dalam Islam setiap ada sesuatu ada ucapan doanya seperti ketika masuk rumah mengucapkan assalamualaikum, ketika mau melakukan sesuatu diawali dengan basmalah, dan setiap melangkah dalam Islam selalu aja ada bacaan. Dan ini menjadi hati saya merasa tenang” Ungkap Eva mengutip ucapan Gonzales.

keislaman pria penggemar Manchester United ini kemudian dilegalkan di Kediri dengan Piagam muallaf dari Urusan agama setempat sekaligus melegalkan pernikahan antara Christian Gonzales dengan Eva Siregar.

Sang ibu, Meriam Gonzales saat dikabarkan keislaman anaknya, menerima dengan ikhlas agama yang dipilih anak tercintanya, ia hanya berharap anaknya meraih kesuksesan di masa depan. Namun untuk menjalin hubungan keluarga, Gonzales dan Eva setiap hari tidak ketinggalan menghubungi ibunya, hanya sekedar menanyakan kabar dari negara nun jauh di sana.

Seakan menemukan air di gurun sahara, begitulah kondisi pemain yang mencetak 33 gol untuk PSM Makassar saat itu. Dengan bimbingan Ustadz Mustafa, Gonzales mulai mengenal Islam lebih dalam. Selain itu Hj Fatimah, ulama terkenal asal Mojosari dan Hj. Nurhasanah turut menjadi guru spiritual Gonzales. Bahkan Majlis Ulama Gresik sendiri sampai mengangkat Gonzales beserta keluarganya sebagai anak angkat mereka.

Hj. Nurhasanah biasa dipanggil Bunda, selalu menyemangati Gonzales dengan nasehat untuk selalu berdoa. “Kamu harus kuat-kuat doa” kenang Eva menirukan ucapan Hj. Nurhasanah. Begitu pun Hj Fatimah, ustadzah yang membangun mesjid dengan nama Gonzali ini baik via telephone atau tatap muka selalu menyemangati Gonzales dengan doa sambil menangis.

Selama di Kediri, ayah empat anak ini bermain membela Persik Kediri dan tinggal di perumahan Taman Persada. Rumah ini menjadi awal kehidupan baru bagi Mustafa Habibi. Islam telah banyak merubah dirinya. Setiap tengah malam ia terbiasa membangunkan istrinya untuk shalat tahajud atau sekedar berdoa.

Setiap kali pertandingan akan digelar keesokan harinya, Eva sang istri selalu mengadakan pengajian yang dihadiri oleh ibu-ibu sekitar rumahnya dan diakhiri dengan pembacaan doa. Sementara pengajian berlangsung, Gonzales selalu memperhatikan pengajian dan duduk disamping Eva atau terkadang ia duduk di belakang ibu-ibu pengajian. Maka tidak heran jika Eva lupa tidak mempersiapkan pengajian orang yang pertama kali menegurnya adalah suaminya sendiri.

Namun Gonzales bukanlah manusia yang sempurna, sama seperti pemain lainnya dalam pertandingan sepak bola, konflik kadang tidak bisa dihindari. Tercatat pada tahun 2004, Gonzales pernah memiliki masalah dengan Abu Shaleh Pengurus Pengda PSSI Banten saat PSM Makassar menjamu Persikota Tanggerang. Tahun 2006, Gonzales bermasalah dengan Emanuel de Porras striker PSIS. Setahun kemudian Gonzales berurusan dengan wasit Rahmat Hidayat saat melawan Pelita Jaya Jawabarat dan pada tahun 2008 Gonzales berurusan dengan Erwinsyah Hasibuan bek dari PSMS.

Tentunya permaslahan ini berujung pada sanski yang dikeluarkan tim disiplin PSSI, mulai dari denda sampai larangan bermain. Sanksi ini bagi Gonzales merupakan ujian berat, dan pada saat yang sama guru-guru spiritual Gonzales selalu membingbing dan menyemangati Gonzales untuk tetap bangkit dan bersabar menerima cobaan. Terbukti, nasehat ini berhasil membawa Gonzales terus bangkit dan kembali berlaga untuk menciptakan gol di lapangan hijau.

Popularitas dan harta yang melimpah ruah tidak begitu mempengaruhi Gonzales, ia bukanlah tipe orang yang suka menghambur hamburkan uang. Bahkan ia akan sangat marah jika ada orang yang mengajaknya ke klub atau tempat hiburan malam dan tak segan Gonzales akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut.

Harta yang ia raih dari perjuangannya di persepakbolaan lebih suka ia berikan kepada anak yatim, fakir miskin dan ibu-ibu pengajian sebagai zakat dan shadaqah. Hal ini dilakukan karena Gonzales mengetahui kewajiban zakat yang ia baca dari buku-buku keislaman milik istrinya.

Sempat Gonzales beserta istrinya berkeinginan untuk menunaikan haji tahun 2008, namun Allah berkehendak lain uang yang di dapatkan dari peralihan top skor sebanyak 50 juta digunakan guna membiayai operasi istrinya untuk melahirkan anak keempat, Vanesa Siregar Gonzales .

Menyangkut kebiasaanya dalam pertandingan sepak bola, pemain yang rajin bersih-bersih rumah ini setiap kali berangkat bertanding selalu membawa tasbih di dalam tasnya dan beberapa buku doa sebagai perbekalan. Selain itu tidak seperti pemain muslim lainnya yang sujud syukur ketika menciptakan gol, bagi Gonzales bentuk rasa syukur ketika berhasil mencetak gol adalah dengan mengangkat telunjuknya ke mulut seraya menengadah ke langit, hal ini merupakan isyarat rasa syukur terhadap Allah yang Maha Esa.

Bahkan pada saat membela tim Persib Bandung, pria berkalung ayat kursi ini menggunakan nomor punggung 99. Nomor ini dipilih bukan tanpa alasan, 99 merupakan isyarat asma Allah yang dikenal dengan asmaul husna.

Terkait harapannya ke depan, Gonzales sangat perhatian dengan keluarga “Saya berharap anak-anak menjadi anak yang shaleh dan sehat wal afiyat, semoga Allah melindungi, supaya ketika masalah datang ya cepat hilang” demikian keinginan Gonzales.
Muhammad Yasin

Biodata
Nama Lengkap : Christian Genard Alfaro Gonzales
Istri : Eva Siregar
Anak : Amanda Gonzales ()
Michael Gonzales ()
Fernando`Alvaro ()
Vanesa Siregar Gonzales ()
Karir Klub : 1988-1991 Penarol (Uruguay)
1994-1995 South America (Uruguay)
1995-1998 Huracan de Carientes (Argentina)
1998-2000 South America (Uruguay)
2000-2001 Sport Moldonado (Uruguay)
2001-2002 Campo Mayor (Portugal)
2003-2004 PSM Makassar
2005-2008 Persik Kediri
2009 Persib Bandung
Prestasi : Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2005
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2006
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2007
Top Scorer LSI (Persib)2009

http://muallaf-online.blogspot.com/2009/06/di-balik-kesuksesan-gonzales.html

Perjalanan Islam Malcolm X


Pejuang antidiskriminasi dan persamaan hak
Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika.

''Saya tahu, masyarakat seringkali membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka menjadi lebih baik. Jika saya mati dengan membawa cahaya kebenaran hakiki bagi mereka, hal itu akan menghancurkan kanker rasisme yang menggerogoti tubuh Amerika Serikat (AS). Semua itu terserah kepada Allah SWT. Sementara itu, kesalahan atau kekhilafan dalam upaya saya itu semata-mata adalah dari saya sendiri.'' Demikianlah pesan terakhirnya dalam buku "Malcolm X", sebuah autobiografi yang ditulis oleh Alex Harley.

Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association), yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika.

Semasa kecilnya, Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah, pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun.

Kehilangan seorang ayah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di New York.

Pada usia 20 tahun, Malcolm diajukan ke pengadilan atas kasus pencurian dan ditahan hingga berusia 27 tahun. Seperti layaknya seorang narapidana, banyak keonaran yang dilakukannya semasa di penjara. Berulang-ulang ia harus keluar masuk penjara akibat perbuatan yang dilakukannya.

Namun, dari balik tembok penjara ini, dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State.
Kemudian, terjadilah kontak dengan saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).

Memilih Islam
Berawal dari sinilah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak. Selama dalam penjara, Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.

Pada hari pembebasannya di tahun 1952, Malcolm langsung pergi ke Chicago untuk bergabung dengan kegiatan NoI. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem.

Dengan bergabungnya Malcolm, NoI berkembang menjadi organisasi yang berskala nasional. Malcolm sendiri menjadi figur yang terkenal di dunia, mulai dari wawancara di televisi, majalah, dan pembicara di berbagai universitas terkemuka dan forum lainnya. Kepopulerannya muncul atas kata-katanya yang tegas dan kritis, seputar kesulitan yang dialami kaum negro, yaitu tentang diskriminasi dan sikap kekerasan yang ditunjukkan kaum kulit putih terhadap kaumnya (kulit hitam).

Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah.

Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin. Karena hal itu, ia pun memutuskan keluar dari NoI.

Bahkan, Malcolm mengatakan, dirinya sering menerima teguran bahwa tuduhan yang dilontarkan kepada kaum kulit putih, tidak memiliki dasar dalam perspektif Islam. Di antaranya, yang memberikan teguran adalah justru dari kalangan Muslim Timur Tengah atau Muslim Afrika Utara. Meski demikian, mereka menganggap Malcolm benar-benar memeluk Islam dan mengatakan jika dia berkesempatan mengenal Islam sejati, pasti akan memahami ajarannya dan memegang teguh ajarannya.

Kembali ke Ajaran Islam yang Murni

Pada tahun 1964, setelah menunaikan ibadah haji, Malcolm X mendapatkan gambaran yang berbeda atas pandangannya selama ini. Apalagi, setelah berjumpa dengan kaum Muslimin dari seluruh dunia, dari berbagai ras, bangsa, dan warna kulit yang semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan. Malcolm berkata, ''Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.''

Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.

Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.

''Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,'' ujarnya.

Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).

Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X tewas ditembak oleh tiga orang Afro-Amerika. Sebuah kelompok yang dia perjuangkan tentang nilai-nilai dan hak-hak warga kulit hitam. Tak ada yang tahu, apa motif di balik penembakan itu.

Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali. dia/berbagai sumber

Biodata:

Nama Populer : Malcolm X
Nama Lahir : Malcolm Little
Nama Muslim : el-Hajj Malik el-Shabazz
Tempat/Tanggal Lahir: Omaha, Nebraska, AS, 19 Mei 1925
Wafat : 21 Februari 1965 di New York
Istri : Betty X
Anak : 4 orang (Attilah, Qubilah, Illyasah, dan Amiliah)

Republika online

Bersyahadat di atas Ring


Islam membawanya pada kedamaian dan kepercayaan diri yang tinggi.

Bagi penggemar tinju dunia, tentu tak asing dengan nama Muhammad Ali, mantan juara dunia kelas berat tiga kali. Di masanya, Ali terkenal sebagai seorang petinju yang sangat ditakuti oleh lawan-lawannya. Dan, ia pun dijuluki sebagai The Greatest (terbesar).

Sebab, dia mampu menaklukkan peitnju-petinju terbesar di zamannya, seperti George Foreman, Sony Liston, Joe Frazier, dan lainnya. Bahkan, pertarungannya melawan Foreman serta Joe Frazier menjadi pertarungan terbaik sepanjang abad ke-20. Dan, Ali pun juga dinobatkan sebagai seorang petinju terbesar di abad 20.

Nama sebagai 'Yang Terbesar' ini disematkan padanya sejak ia mengalahkan para petinju yang juga memiliki nama besar. Karena kemampuannya mengalahkan para petinju itu, ia pun menggunakan nama 'Yang Terbesar' (The Greatest) tersebut.

Ali juga dikenal sebagai petinju terbaik pada masanya. Ia pernah menjadi sebuah mesin pemukul yang sangat hebat hingga menimbulkan rasa takut pada lawannya. Sebelum berganti nama menjadi Muhammad Ali, ia bernama Cassius Marcellus Clay Junior. Hingga kini, namanya dianggap sebagai petinju terbaik yang pernah dimiliki publik Amerika Serikat dan orang kulit hitam.

Kesuksesannya merebut gelar juara dunia menempatkannya pada deretan atlet terbesar abad ke-20. Bahkan, gelar itu mengubah status pandangan masyarakat terhadap orang dan atlet kulit hitam. Keberhasilannya itu pun yang akhirnya mengangkat martabat para atlet kulit hitam ke tempat yang tinggi dengan penghormatan dan penerimaan yang baik dari masyarakat kulit putih dan hitam.

Ali dilahirkan pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Daerah yang dikenal dengan ayam goreng khasnya ini juga terkenal dengan perbedaan etnis yang kental. Ayahnya, Cassius Marcellus Clay Sr, adalah pelukis papan nama dan reklame. Ibunya, Odessa Grady Clay, seorang pembantu rumah tangga.

Sejak kecil, Clay sudah merasakan perbedaan perlakuan karena warna kulitnya yang cokelat. Barangkali, hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temannya yang berkulit putih. Ketika belum genap berusia 20 tahun, ia sudah memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.

Pada usia 22 tahun, ia merasa dilahirkan kembali ke dunia. Sebab, saat itulah, ia berganti nama dari Cassius Marcellus Clay Junior menjadi Muhammad Ali. Nama ini merupakan pemberian seorang tokoh Muslim dari Nation of Islam (NOI), Elijah Muhammad, tahun 1964.

Ketika itu, Elijah membuat sebuah pernyataan umum dalam suatu siaran radio dari Chicago, ''Nama Clay ini tidak menyiratkan arti ketuhanan. Saya harap dia akan menerima dipanggil dengan nama yang lebih baik. Muhammad Ali, nama yang akan saya berikan kepadanya selama dia beriman kepada Allah dan mengikuti saya.''

Selama tiga tahun sebelum pertarungannya untuk memperebutkan gelar juara dunia kelas berat dengan Sonny Liston, Clay telah menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh NOI. Kehadiran Ali diberitakan oleh koran Daily Nezus di Philadelphia pada September 1963. Pada Januari 1964, dia membuat sensasi besar dengan berbicara di sebuah rapat Muslim di New York.

Beberapa minggu kemudian, ayahnya mengatakan bahwa Clay telah bergabung dengan NOI. Kendati demikian, Clay belum memberikan pernyataan publik tentang keikutsertaannya dalam NOI. Tetapi, dia sibuk mempelajari Islam di bawah bimbingan Kapten Sam Saxon (sekarang Abdul Rahman) yang dijumpai Clay di Miami pada 1961.

Clay juga merenungkan ajaran-ajaran Elijah Muhammad dan membaca surat kabar yang diterbitkan NOI. Di samping itu, ia juga mencari bimbingan dan saran dari Malcolm X--tokoh NOI lainnya--yang dijumpainya di Detroit pada awal 1962.

Sebelum pertandingan Clay melawan Liston, Malcolm mengunjungi Clay sebagai pribadi, bukan sebagai wakil Elijah. Malcolm menganggap Clay sebagai adiknya dan menasihati dia. Nasihat Malcolm ini justru menjadi pemicu semangatnya untuk bertekad mengungguli Liston.

Walaupun merasa sangat takut menghadapi Liston, akhirnya Clay menang dalam pertandingan. Pertandingan tersebut berakhir sebelum bel ronde ketujuh berbunyi. Dengan kemenangan tersebut, dunia memiliki seorang juara baru di arena tinju.

Agama rasional
Kemenangan tersebut diyakininya merupakan 'waktu Allah'. Di antara tepuk riuh para pendukung dan kilatan-kilatan lampu kamera, Clay berdiri di depan jutaan penonton yang mengelilingi ring dan kamera TV. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan pergantian namanya menjadi Muhammad Ali Clay. ''Aku meyakini bahwa aku sedang berada di depan sebuah kebenaran yang tak mungkin berasal dari manusia,'' ujarnya.

Ali mengungkapkan, kepindahannya ke agama Islam adalah hal yang wajar dan selaras dengan fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia. Ia meyakini bahwa Islam membawa kebahagiaan untuk semua orang. Menurutnya, Islam tidak membeda-bedakan warna kulit, etnis, dan ras. ''Semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka adalah yang paling bertakwa.''

Ia membandingkan ajaran Trinitas dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Menurutnya, Islam lebih rasional. Karena, tidak mungkin tiga Tuhan mengatur satu alam dengan rapi seperti ini. Hal tersebut dinilainya sebagai suatu hal yang mustahil terjadi dan tidak akan memuaskan orang yang berakal dan mau berpikir.

Keyakinannya terhadap Islam makin bertambah manakala Ali membaca terjemahan Alquran. ''Aku bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang hak, yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Aku mencoba bergabung dengan komunitas Muslim dan aku mendapati mereka dengan perangai yang baik, toleransi, dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan selama bergaul dengan orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan bukan kepribadianku,'' paparnya.

Sejak saat itu, ia membelanjakan uangnya beberapa ratus ribu dolar untuk buku-buku dan pamflet-pamflet Islami supaya dapat memperkenalkan agama barunya. Dia percaya bahwa bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga orang Kristen dan Yahudi yang takut pada Tuhan akan masuk surga.

Ketika para dokter di AS memvonisnya dengan penyakit Sindroma Parkinson, Ali mengatakan bahwa dia telah mendapatkan hidup yang baik sebelumnya dan sekarang. Dia tidak membutuhkan simpati dan belas kasihan. Dia hanya ingin menerima kehendak Allah SWT. Penyakitnya ini, menurut dia, merupakan cara Allah SWT merendahkannya untuk mengingatkannya pada kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang lebih hebat dari Allah.

Perjuangan Ali yang utama sekarang adalah mencoba menyenangkan Allah dalam segala hal yang diperbuatnya. Menguasai dunia tidak membawanya kepada kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan sejati, katanya, hanya didapatkan dengan menyembah Allah. Kini, dia termasuk orang-orang yang giat berdakwah di Amerika dan aktif mengampanyekan solidaritas dan persamaan hak. dia/sya/berbagai sumber

Ali Penganut Sufi

Dengan sikap yang tegar, kuat, dan penuh percaya diri, ternyata Muhammad Ali merupakan seorang penganut tasawuf (sufi) yang sangat baik. Putri Muhammad Ali yang bernama Hanna Yasmeen Ali, buah perkawinannya dengan Veronica Porche Ali, dalam sebuah wawancara dengan Beliefnet, mengungkapkan kehidupan dan spiritualitas Muhammad Ali.

Hanna mengatakan, ayahnya adalah orang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agama. Bahkan, ia tak segan-segan untuk bersikap keras dan tegas terhadap anggota keluarganya yang tidak mau menjalankan perintah Allah. Sikap ini dibuktikan Ali dengan menceraikan istrinya yang pertama, Sonji Roi, pada tahun 1966. Karena, menurut Ali, istrinya tersebut tidak menunjukkan sikap sebagai seorang Muslim.

Hanna menambahkan, ayahnya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. ''Sesibuk apa pun, ayah akan senantiasa mengerjakan shalat lima waktu,'' ujar Hanna.Bahkan, Ali juga senantiasa berupaya melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid. ''Walaupun jaraknya membutuhkan waktu hingga 20 menit perjalanan, ayah akan selalu berupaya pergi ke masjid. Namun, ketika penyakit parkinson menghinggapi, ayah memang sekarang jarang ke masjid,'' jelas Hanna.

Hanna menambahkan, ayahnya juga seorang penganut sufi yang taat. Ali punya koleksi buku tasawuf karya Hazrat Inayat Khan, seorang guru sufi. ''Spiritualitas ayah saya sangat tinggi. Dari sikapnya yang sangat religius itu, ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, menyayangi sesama, melakukan kegiatan sosial, dan mendorong banyak orang untuk senantiasa rajin mendekatkan diri kepada Tuhan,'' terangnya.

Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 akibat serangan teroris terhadap dua menara kembar World Trade Center (WTC) hingga memunculkan tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris, Ali pun tampil ke publik dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan oknum dan bukan Islam. Ia menyatakan, aksi tersebut merupakan perbuatan orang-orang yang keliru dalam memahami Islam secara benar. ''Islam adalah agama yang damai dan cinta akan kedamaian,'' terangnya.

republika online

Wahyu Soeparno Putro

Awalnya, suara adzan Subuh adalah "musuh" bebuyutan Wahyu Soeparno Putro. Ia merasa, suara itu sangat terganggu tidurnya. Namun siapa nyana, suara adzan Subuh itu pula yang justru membawanya menemukan jalan menjadi seorang mualaf -- seorang pemeluk Islam.

Sepenggal kesaksian spiritual itu seperti tak pernah bisa dilupakan pada ingatan lelaki kelahiran Skotlandia, 28 Juli 1963. Termasuk ketika berbincang santai kepada Republika yang menemuinya di sela-sela kesibukannya melakoni syuting sebuah program televisi di Jakarta, Senin (4/6) lalu.

Kenangan itu ibaratnya telah menjelma menjadi semacam sebuah napak tilas spiritual tertinggi bagi pemilik nama lahir Dale Andrew Collins-Smith. Ia antusias -- walau kadang dengan berkaca-kaca -- menceritakan kisah yang dilaluinya sekitar 12 tahun silam. Tepatnya, sekitar pada 1999 atau lima tahun setelah pengelanaannya ke Yogyakarta. Dale saat itu datang ke Yogyakarta dari Australia untuk mencari nafkah dari perusahaan kerajinan yang memekerjakan sedikitnya 700 karyawan.

Di Kota Gudeg itu, dia tinggal mengontrak bersama teman. Namun seiring waktu berjalan, dia kemudian bertemu dengan Soeparno. Soeparno ini adalah ayah beranak lima yang bekerja sebagai seorang satpam. Singkat cerita Dale ini kemudian diajak menetap bersama di rumah Soeparno sekaligus juga diangkat sebagai anak dari keluarga besar Soeparno.

Rumah Soeparno ini letaknya hanya sepelemparan batu saja ke arah masjid. Karena tak jauh dari masjid, tak mengherankan kalau setiap pagi suara adzan Subuh itu seperti meraung-raung di dekat daun telinganya. Rutinitas itu akhirnya membuat Dale selalu terbangun di pagi hari.

Bahkan setelah menetap cukup lama di rumah Soeparno itu, dia selalu terbangun 5-10 menit lebih awal dari adzan Subuh. ''Ini yang membuat saya heran,'' katanya. ''Padahal sejak kecil saya tak pernah bisa bangun pagi, tapi di sana (Yogyakarta) saya mampu merubah pola hidup saya untuk bangun pagi.''

Di tengah proses menemukan 'hidayah', Dale yang telah menjadi yatim-piatu sejak usia 20 tahun itu kemudian mulai banyak bertanya-tanya tentang Islam. Hal-hal sederhana tentang Islam seperti sholat sampai puasa menjadi pertanyaan yang mengusik batinnya. Terkadang ia pun tak sungkan untuk bertanya kepada rekan-rekannya yang menganut Islam.

Pergaulan yang kian terjalin akrab dengan lingkungan Yogya itu ternyata melahirkan pula sebuah sikap toleransi beragama pada diri Dale. Ketika Ramadhan tiba dan rekan-rekannya berpuasa, dia seakan terpanggil untuk 'ikut-ikutan' berpuasa. ''Awalnya saya cuma ingin mengetahui saja seperti apa sih rasanya puasa,'' kata dia. ''Tetapi setelah tahun ke dua atau ketiga di sana, puasa saya ternyata sudah full hingga puasa tahun kemarin,'' sambungnya dengan penuh bangga.

Eksperimentasi dalam menjalani ibadah puasa maupun rutinitas bangun pagi menjelang adzan Subuh itu kemudian memberikan pula semacam perasaan tenang yang menjalar di dalam diri Dale. ''Saat itu saya merasa seperti sudah sangat dekat saja dengan orang-orang di sekitar saya,'' katanya sambil mengaku pada fase tersebut dia sudah semakin fasih berbicara Indonesia.

Tak merasa cukup terjawab tentang Islam pada rekan sepergaulan, Dale kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada ketua pengurus masjid dekat tempatnya tinggal. Tapi sekali lagi, hasratnya untuk mengetahui Islam masih belum terpuaskan. Maka pada suatu ketika, bertemulah dia dengan seorang ustad bernama Sigit. Ustad ini masih berada satu kampung dengan tempat tinggalnya di kediaman Soeparno.

''Waktu saya ceritakan tentang pengalaman saya, dia malah berkata kepada saya,''Sepertinya malaikat mulai dekat dengan kamu','' kata Dale menirukan ucapan Pak Sigit.

Mendengar ucapan itu, Dale merasakan seperti ada yang meledak-ledak di dalam dirinya. ''Semuanya seperti jatuh ke tempatnya,'' kata dia menggambarkan situasi emosional dirinya ketika itu. ''Saat itu saya juga sudah bisa menangkap secara akal sehat tentang Islam,'' ujarnya lagi. Ledakan yang ada di dalam diri itu kemudian membawa Dale terus menjalin hubungan dengan Pak Sigit. Dari sosok ustad itu, dia mengaku mendapatkan sebuah buku tentang Islam dan muallaf. Dan pada saat itu pula, niatnya untuk mempelajari sholat kian menggelora.

Di saat hasrat di dalam diri semakin 'merasa' Islam, Dale kemudian bertanya pada Soeparno. ''Saya merasa lucu karena sudah seperti merasa Muslim,'' kata dia kepada Soeparno. ''Tetapi bagaimana caranya,'' sambung dia kembali. Mendengar ucapan pria bule, Soeparno sangat terkejut. Lantas lelaki ini menyarankan agar Dale masuk Islam saja melalui bantuan Pak Sigit.

Lantas tidak membutuhkan waktu lama lagi, sekitar medio 1999, Dale Andrew Collins-Smith kemudian berpindah agama sekaligus berganti nama menjadi Wahyu Soeparno Putro. Dan, prosesi 'hijrah' itu dilakukannya di masjid yang mengumandangkan adzan Subuh dekat rumahnya. Yang dulu dianggap "mengganggu" tidurnya....

Dale Andrew Collins-Smith
Nama sekarang: Wahyu Soeparno Putro
Lahir : Skotlandia, 28 Juli 1963
Pendidikan:
Centre for the Performing Arts (Adelaide Australia)
Victorian College of the Arts (Melbourne Australia)
Profesi : Pemain Sinetron dan Presenter .
( akb/riol )
muallaf.com