Rabu, 02 Desember 2009
Balada Mu'min Mencari Tuhan
MUHAMMAD MU’MIN. Sosok tinggi besar, lagi tegap ini, merupakan momok paling menakutkan bagi para misionaris, khususnya di Jawa Barat. Sepak terjangnya dalam membabat habis gereja liar, serta mengikis banyak tempat kemunkaran mulai dari tempat miras, judi dan prostitusi, membuat banyak kalangan, termasuk jajaran kepolisian di Jabar, segan pada sosok yang satu ini.
Namun, tak banyak orang tahu jika Mu’min adalah seorang mualaf yang sempat kehausan mencari Tuhan yang hilang. Kisah itu bermula 36 tahun silam, saat usianya menginjak tahun kedelapan.
Saat itu Mu’min kecil yang diberi nama Hanibal, sebagai bentuk rasa kagum ayahnya terhadap pahlawan Muslim Cartago ini, sering mendengar bahwa yang menciptakan matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan dan manusia adalah Tuhan. Maka ia bertanya pada ayahnya, Sahal, “Pak, Tuhan itu setinggi apa?” Sang ayah yang beragama Kristen malah terpaku diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan polos dari anaknya. Sikap ayah ini membuat Hanibal kecewa.
Suatu hari, saat Hanibal berjalan di trotoar Kosambi, Bandung, tiba-tiba pandangannya tertarik pada sebuah buku yang dijual di emperan jalan. Buku tersebut mengisahkan dua orang anak yang baik dan nakal. Anak yang baik ini sering melakukan sembahyang sedangkan anak nakal banyak melawan kehendak orangtua dan tidak mau sembahyang.
Kedua anak ini kemudian tumbuh besar. Anak yang baik menikah dengan seorang wanita berjilbab kemudian membangun rumah ibadah dan banyak membantu orang kesusahan. Sedangkan anak yang nakal tumbuh dewasa dengan kriminalitas, suka mabuk, berzina dan durhaka pada orangtua.
Keduanya kemudian meninggal. Anak yang baik dimasukan ke dalam surga sebaliknya anak yang durhaka dimasukan ke dalam neraka. Di dalam surga anak yang baik mendapatkan pahala dari apa yang ia lakukan di dunia, sebaliknya anak yang durhaka disiksa akibat zina, mabuk dan melawan orangtua.
Kisah ini akhirnya masuk di dalam memori anak yang sekolah di SD Katolik Dwisakti ini. Ia berpikir “Apakah hidup saya begini setelah mati? Apakah saya masuk surga atau neraka?” Saat itu ia tidak menyadari bahwa yang dibacanya adalah buku cerita Islam. Ia hanya berangan bahwa kelak ingin seperti si anak baik yang menikah dengan wanita berjilbab, membangun tempat ibadah dan masuk surga.
Menginjak usia 11 tahun, Hanibal baru mengetahui bahwa ada beberapa agama yang terdapat di Indonesia. Ia pun baru menyadari bahwa dirinya penganut agama Kristen. Saban Minggu Hanibal rajin berangkat ke Gereja. Sabtunya, ia tidak ketinggalan mengikuti Persekutuan, kegiatan ektra sekolah yang diadakan di ruangan khusus. Sedangkan di rumah ia sangat rajin membaca kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Kegelisahan Hanibal
Rasa bosan hinggap di benaknya, setiap kali mendengar ceramah pendeta. Materi yang disampaikan hanya berkutat seputar mukjizat Yesus yang bisa membangkitkan orang mati dan bisa membuat orang buta dapat melihat kembali. Ia juga mulai berpikir kenapa harus ada orang yang baik dan jahat serta kaya dan miskin. Hal ini membuat hatinya menjadi gelisah.
Satu waktu, ia bertengkar hebat dengan ibundanya, Yuliana. Pasalnya Hanibal memisahkan piring karena tidak mau makan daging babi yang dimasak sang ibu. Alasannya hal itu bertentangan dengan Perjanjian Lama yang mengharamkan babi. “Itukan Perjanjian Lama, sekarang itu Perjanjian Baru! yang tidak makan babi itu orang Islam!” Kenang Komandan BAP (Badan Anti Pendzoliman) Forum Ulama Umat Indonesia ini, mengutip jawaban ibunya.
Beranjak remaja, kegelisahan Hanibal semakin menjadi-jadi. Di saat usianya menginjak 15 tahun ia sampai pada kesimpulan semua agama adalah benar. Buku-buku agama, sastra, filsafat dan politik pernah dilahap, sekedar mencari tahu agama apakah yang paling benar.
Setahun berlalu, setelah banyak membaca buku tentang Budha dan Tao akhirnya Hanibal tertarik pada ajaran Budha. “Saya belajar wedanya, sampai saya hanya makan nasi dengan garam saja kemudian belajar meditasi secara rahasia supaya orangtua tidak tau,” ungkap Kepala Bagian kemahasiswaan Universitas Sangga Buana (USB) Bandung ini, akibat doktrin Budha yang dipelajarinya waktu itu.
Ini pun tak membuat kegelisahan hatinya terobati. “Siapa Tuhan, Tuhan Di mana, Tuhan setinggi apa? Siapa aku? kenapa aku diciptakan? kenapa harus ada yang jahat dan yang baik?" Pertanyaan ini selalu saja muncul di benaknya waktu itu. Sehingga saat ia melakukan dosa, merasa dirinya menjadi orang yang sangat kotor.
Kegelisahan Hanibal memuncak. Ia berteriak dalam doanya, “Biarkan aku masuk neraka asalkan semua manusia masuk surga! Tuhan mulai hari ini aku Atheis!” Setelah itu, ia menjadi pendiam, dan kerap mengurung diri bertemankan buku-buku filsafat.
Saat menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas di SMA 6 Pasirkaliki, Bandung, ia mulai mengenal murid-murid dari beragam agama dan strata sosial. Banyak di antara murid-murid miskin di sekolahnya yang beragama Islam. karena selama sekolah SD dan SMP mayoritas teman sekolahnya berasal dari keluarga berada. Hanibal terenyuh menyaksikan kondisi para siswa yang terus berjuang, meskipun dengan kondisi seadanya.
Seperti lazimnya sekolah umum, ketika pelajaran agama dimulai para siswa mengikuti pelajaran sesuai kepercayaannya masing-masing. Hanibal yang kadung mendeklarasikan diri sebagai Atheis, tetap mengikuti pelajaran agama Kristen. Tanpa diduga, saat ibu guru agama sekaligus pendeta itu bertanya, “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan” Hanibal hanya diam seribu bahasa. Sementara, semua murid di sekeliling dia, mengangkat tangan.
Pertanyaan itu pun diulang berkali-kali oleh pendeta sembari menjelaskan tentang kekuasaan Yesus dengan harapan Hanibal mau mengangkat tangan. Namun ia bersikukuh dengan pendiriannya. “Kenapa kamu ngga angkat tangan?” tanya pendeta keheranan. “Yesus bukan Tuhan, dia hanya manusia yang mengaku Nabi,” Jawab Hanibal tegas sambil berdiri dan langsung keluar meninggalkan kelas. “Saya tidak peduli nilai rapot saya agamanya merah,” kenang ayah dua anak ini sambil tertawa.
Kejadian ini kemudian berulang ditempat yang berbeda. Saat Hanibal mengikuti kegiatan Persekutuan, seorang pendeta laki-laki di sela-sela ceramahnya mengatakan “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan?” Semua peserta Persekutuan mengangkat tangan kecuali Hanibal. Pertanyaan yang diulang-ulang sampai setengah jam, hanya untuk menunggu kepastian Hanibal sungguh sia-sia. Ia tetap konsisten dengan sikapnya sampai pergi meninggalkan ruangan.
Tidak hanya di sekolah, ternyata sikap nyeleneh Hanibal ditunjukan sewaktu ia menghadiri ceramah umum oleh pendeta terkenal, Yusuf Roni, di GKP Pasirkaliki, Bandung. Acara yang dihadiri oleh ribuan jemaat itu menampilkan seseorang yang lumpuh. Dengan doa Pendeta Yusuf Romi, “Sembuh kamu atas nama kekuatan Yesus” orang lumpuh yang sedang duduk di kursi roda itu langsung berdiri dan berjalan, sontak ribuan pasang mata terpana.
“Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan, semuanya berdiri” ucap Pendeta mengakhiri aksinya. Serentak semua jemaat berdiri, dan lagi-lagi Hanibal hanya duduk terdiam. Sikapnya itu diketahui setelah panitia acara memeriksa setiap jemaat. Pendeta itu kemudian kembali menjelaskan tentang keagungan Yesus dengan harapan Hanibal dapat berdiri. Akhirnya Ia pun berdiri. Namun, bukan untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan, melainkan pergi meninggalkan acara.
Sampai suatu waktu kegelisahan, kemarahan dan kekecewaan bertumpuk dalam benak. Pencariannya menemukan Tuhan, ternyata masih belum mendapat titik terang. Sampai satu waktu, saat usia 21 tahun, ia bermimpi. Dalam tidurnya ia didatangi Yesus. Sosok yang dituhankan oleh umat Kristen itu mengambil tangan Hanibal, lantas membawanya ke sebuah cahaya yang terlihat agung. “Assalamualaikum,” sapa Yesus. “Wa’alikum salam,” Jawab cahaya itu. Yesus kemudian mengangkat suara “Ya Muhammad saya serahkan anak ini ke dalam Islam untuk dibina dan dikembangkan dalam Islam. Kasihan anak ini, sepanjang hidupnya dihabiskan hanya untuk mencari Tuhan.” kemudian di dalam mimpi tersebut Hanibal akhirnya dibawa ke dalam cahaya agung tersebut.
Keesokan harinya, tiba-tiba tekad Hanibal untuk memeluk Islam begitu menggebu. Ia langsung mendatangi teman SMA-nya yang beragama Islam, Evi Isviantini. Melalui Evi ia dibawa menghadap ayahnya, Ustadz Ahim, yang juga tokoh Persatuan Islam (PERSIS) di jalan Jurang Gang Namapura, Bandung. Dari Ustadz ini kemudian Hanibal mengikrarkan syahadat di Kantor Urusan Agama (KUA) Cipaganti, Bandung, Agustus tahun 1986 atau 18 Dzulhijjah 1407. Untuk memantapkan ke-Islamannya, nama Hanibal pun berganti menjadi Muhammad Mu’min, dan tak lama setelahnya ia kemudian dikhitan.
Saat orangtua mengetahui keislaman Mu’min, sang ayah terlihat marah. Namun pada akhirnya merelakan keislaman dia. Sang ibu pun hanya pasrah. “Ya dari pada gila,” ungkap ibunya saat itu, karena melihat Mu’min sering menyendiri dan terlihat depresi.
Muhammad Mu’min akhirnya menemukan Tuhan yang hilang. 24 Agustus 1986, Mu’min lantas mempersunting teman yang sangat berjasa dalam proses keislamannya, Evi Isvianti. Mereka pun sementara tinggal di kediaman ustadz Ahim, ayahanda Evi. Di rumah ini pula, pria yang diamanahi sebagai ketua AGAP (Aliansi Gerakan Anti pemurtadan) ini banyak belajar shalat, surat Al-Fatihah dan Iqra, dari ustadz Ahim, guru sekaligus bapak mertuanya. •
MUHAMMAD YASIN/ALHIKMAH
alhikmahonline.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar