Selasa, 03 Agustus 2010

Dua Kalimat Syahadat Membisik di Telingaku

Sebagai seorang mantan pendeta Pantekosta, aku dulu sangat membenci Islam, hingga aku senantiasa berusaha merusak akidah umat nabi Muhammad SAW, melalui pekabaran Injil kepada umat yang beragama Islam khususnya. Sering aku mengatakan bahwa agama Islam adalah agama penyesat, dan sungguh tidak bisa dijadikan pedoman atau dasar iman bagi kehidupan manusia.

Pada suatu hari, aku harus membaptis satu keluarga muslim. Sebelumnya, aku sudah banyak memberikan bantuan materi untuk hidup mereka sehari-hari. Tentu saja bantuan itu tidak kuberikan secara cuma-cuma, tetapi dengan imbalan, keluarga ini harus masuk kristen.

Ketika aku bertanya kepada keluarga ini, apakah mereka sungguh menerima yesus sebagai Tuhan dan juruselamat? Mereka akhirnya mengangguk setuju, hingga seminggu kemudian, aku membaptis seluruh keluarga ini, dan menyuruh mereka membakar semua atribut yang berbau Islam. Saat itu mataku tiba-tiba tertuju pada satu tulisan kaligrafi AlQuran yang ditempel didinding. Aku bertanya pada si pemilik rumah yang hendak kubaptis, tulisan apa itu ?.

Ia menjawab kalau itu adalah tulisan dua kalimat syahadat, yang artinya "Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah".

Tiba-tiba dadaku terasa bergemuruh saat mendengar makna dari tulisan Arab itu. Niatku yang ingin merobek kertas itu mendadak lenyap. Dalam perjalanan kembali ke rumah, ada satu peristiwa yang sungguh di luar jangkauan manusia, karena saat itu kurasakan di telingaku berbisik sebutan dalam bahasa Indonesia "Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad utusan Allah".

Lama aku termenung memikirkan bisikan itu. Pikiranku tertuju pada kalimat "Tiada Tuhan Selain Allah". Kalimat itu dimulai dengan kata tidak, suatu makna yang menandakan penolakan terhadap Tuhan-tuhan lain selain Allah.

Sejak itulah, aku mulai tertarik pada Islam. Dan otomatis, ketertarikanku pada Islam sangat mempengaruhi aktivitasku sebagai pendeta.

Istriku yang juga penginjil, ternyata tanggap dengan perubahan yang terjadi dalam diriku, dan mempertanyakannya padaku. Kupikir, alangkah baiknya kalau kuceritakan saja mengenai kegelisahanku ini, dan mengajaknya berdoa bersama sebagai seorang pendeta. Namun anehnya, saat berdoa bersama itu konsentrasiku hilang, saat kalimat itu kembali terngiang ditelingaku.

Akhirnya, aku sadar kalau batinku menuntut untuk mencari kebenaran yang ada pada Islam, salah satunya dengan membeli buku-buku bacaan tentang Islam, yang berhasil kutemukan di daerah Senen, Jakarta.

Dari beberapa buku yang kupilih, ada satu buku yang menarik minatku, yaitu buku berjudul "Hidup Sesudah Mati" karangan almarhum Bey Arifin. Setiap buku yang kubaca, pasti didukung oleh referensi ayat-ayat AlQuran, yang sungguh kukagumi karena semuanya tidak bertentangan dengan fitrah manusia.

Sementara asyik dengan buku-buku mengenai Islam, kegiatanku berkhotbah di gereja tetap kujalani, meski otomatis jadi sedikit ngawur. Materi ceramahku tidak lagi bicara mengenai Yesus, melainkan lebih kepada hubungan antar manusia.

Selain itu, rapat-rapat kependetaan pun perlahan-lahan mulai kutinggalkan. Melihat semua ini, rekan-rekanku yang lain tentu saja mulai curiga, dan memanggilku dalam pertemuan khusus para pendeta. Singkat cerita, aku dipecat dari kedudukan sebagai seorang pendeta, dan resikonyaadalah meninggalkan kemewahan.

Di daerah Depok I, Jawa barat, tempatku menginap saat usia senja ini terdapat masjid yang letaknya persis di depan rumah.

Ketika kulihat masjid hanya penuh pada saat sholat Jumat, aku sempat jadi bimbang, apa bedanya dengan agama Kristen yang gerejanya penuh jamaat hanya pada hari Minggu. Namun setelah kukaji Al Quran, ternyata perintah sholat telah jelas diwajibkan, hanya saja manusianya saja yang senantiasa melalaikan kewajiban itu. Akupun tenang kembali.

Semula istriku tidak setuju dengan keinginanku menjadi seorang muslim. Bahkan ketika malam hari sebelum aku mengucapkan dua kalimat syahadat, kukatakan keinginanku padanya, ia malah menghardikku sebagai pengkhianat. Aku tak peduli. Bahkan aku cuma bisa berharap istri dankedua anak-anakku ikut jejakku masuk Islam.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1994, di Beji, Depok, aku resmi menjadi muslim. Dan namaku pun berganti menjadi Rudi Mulyadi Foorste, yang semula bernama Rudy Rudolf Otto Foorste. (beliau keturunan Belanda, orang tuanya berasal dari Galela, Halmahera Utara - red).

imageSelang tiga bulan kemudian, istri dan kedua anakku pun mengikuti jejakku, masuk Islam. Ternyata Allah SWT kembali memberikan taufik dan hidayah kepadaku dengan berkumpulnya kami sekeluarga, dalam naungan Islam. Dan yang paling aku syukuri adalah kerelaan istri dan anak-anakku untuk hidup sederhana, jauh dari kemewahan seperti yang dulu pernah kami alami.

Islam telah memberiku jalan, kebenaran dan kehidupan yang sesungguhnya. Dan kebahagiaan seperti ini, tidak kuperoleh dari Yesus Kristus.

Karena hanya melalui agama Islam, aku dapat memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat nanti. Kepada mereka yang pernah kubaptis, aku mohon dibukakan pintu maaf sedalam-dalamnya. Dan mari kembali pada Islam.

email: ibokdenis@hotmail.com

sumber :www.swaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar