Selik Baba memimpin latihan peribadatan Sufi di Masjid Al-Farah Manhattan pada suatu malam. Tetapi sebelumnya dia memberikan ceramah pada dua puluh empat orang Sufi yang hadir. Suasananya seperti orang mendongeng. Mereka duduk sambil menghirup teh, makan anggur, biskuit dan keju, dan kadang-kadang terdengar suara tangis bayi. Semuanya tampak bahagia.
Selik berjenggot, tampak kumal, dan merokok tanpa henti. Dia duduk di sebuah sofa di samping seorang hafiz, seorang qari' yang menghafal 6666 ayat-ayat Al-Quran yang berbahasa Arab. Selik memulai dengan menceritakan sebuah kisah tentang seorang darwis di Turki yang berada di bawah tekanan para pemimpin keagamaan untuk menarik kaum Muslimin ke masjidnya, dan membiarkan masjid-masjid yang lain kosong. Para pimpinan itu memanggil darwis tersebut dan menanyakan pada mereka tentang makna zikr.
Menurut cerita Selik, darwis itu menanyakan pada hadirin apakah mereka menginginkan dia menjelaskan makna zikr sebagaimana pemahaman mereka atau sebagaimana pemahaman dia sendiri. Petugas itu menjawab, Saya ingin mengetahui apa yang Anda ketahui. Lalu darwis itu meminta bantuan salah seorang muridnya. Mereka duduk di lantai, membaca doa, dan darwis itu melafazkan "Laa ilaHA!"-tiba-tiba muridnya itu lenyap.
Darwis itu menyelesaikan ucapannya, "ill ALLAH!" --lalu muridnya itu muncul kembali. Darwis itu mengulang kalimat itu lagi. Semua orang di ruangan itu hilang kemudian muncul kembali.
Pendengar Selik mendengarkan dengan penuh perhatian tetapi, karena sudah terbiasa mendengar kisah-kisah ajaib seperti itu, mereka tidak bereaksi.
Selik kemudian menceritakan kisah bagaimana dia memeluk Islam.
Ketika saya bertemu dengan istri saya, dia bukan seorang Muslim, dan saya tak pernah sekalipun berkata padanya, "Engkau harus masuk Islam." Saya tak pernah mengajarkan apa pun tentang Islam kepadanya, kecuali jika dia bertanya. Ketika dia bertemu Effendi2 kami, dia langsung memeluk Islam pada malam itu juga. Lalu dia mulai melakukan shalat sesekali. Pada suatu hari dia shalat dan hari lain tidak. Saya memberitahunya waktu-waktu shalat. Saya memberitahukan nama-namanya. Apapun yang dia tanyakan. Jika engkau ingin shalat, shalatlah. Itu antara engkau dan Allah. Tetapi secara perlahan-lahan, setiap pagi dia bangun dan melakukan shalat.
Tiba-tiba dia semakin sering shalat. Anda lihat, Allah membimbingnya kepada shalatnya dengan segera. Saya selalu bahagia bila menyaksikan dia shalat, tetapi saya tidak akan terlalu memujinya dan membuat dia merasa rikuh. [Mengetuk-ketukkan jari di atas meja]. Saya terbiasa mengetuk-ketuk di atas kayu sebab itu merupakan tradisi orang Yahudi. Mungkin sama dengan tradisi orang Islam menyebut alhamdulillah.3
Ayah saya, semoga Tuhan meridainya dengan umur yang panjang, berusia delapan puluh empat tahun dan dalam keadaan sehat untuk ukuran usia itu. Dia menerima segala sesuatu yang saya kerjakan. Ayah dan ibu mencintai saya karena saya adalah anak mereka dan apa pun yang saya lakukan selalu mereka setuju. Dan karena mereka begitu baik dan sayang pada saya, saya mencintai mereka dan menurut pada mereka. Ketika saya memeluk agama Islam, saya tidak pernah berkata pada mereka, "Saya memeluk Islam."
Mereka tahu saya sering membuat program-program untuk acara radio. Mereka tahu saya telah pergi ke seluruh Timur Tengah, dan bahwa saya mengucapkan "La ilaha ill Allah".
Pada suatu hari ayah saya berkata, "Engkau seorang Sufi. Apakah Sufi itu ada hubungannya dengan Islam?"
Saya berkata, "Ya."
Dia bertanya, "Artinya?"
Saya menjawab, "Artinya itu berhubungan dengan Islam." Sikap saya sama seperti yang saya lakukan terhadap istri saya yang cantik.
Dia berkata lagi, "Baiklah, apakah itu, Muslim atau apa?"
Seperti yang saya lakukan terhadap istri saya yang cantik, saya menjawab, "Apakah ayah benar-benar ingin mengetahuinya?"
"Ya," jawabnya.
Saya pun berkata, "Baik, itu artinya saya telah memeluk agama Islam. Saya seorang Muslim."
Dan dia berkata [dengan ragu-ragu], "Tidak."
Dan saya pun berkata, "Ya, itulah yang telah saya lakukan."
Dia bertanya, "Apakah itu berarti engkau bukan seorang Yahudi lagi?"
Saya jawab, "Saya tidak bilang begitu. Saya tidak mengatakan apa pun tentang Yudaisme. Saya seorang Muslim. Saya berdoa sebagai seorang Muslim. Saya tidak pernah mengatakannya kepada ayah karena saya tidak ingin melukai ayah. Engkau ayah saya, tetapi saya harus menjalani kehidupan sebagaimana yang saya yakini. Tetapi saya tidak berusaha menampakkan keislaman saya di hadapan ayah."
Waktu berjalan terus. Dia bertanya tentang Islam kepada saya. Jika dia bertanya, saya akan menjawab. Suatu hari, ketika sedang duduk-duduk di rumahnya --dia tinggal sekitar tiga puluh lima mil dari rumah saya-- dia berkata pada saya, "Saya ingin membaca Al-Quran. Tahukah kamu cara mendapatkan Al-Quran?"
Saya duduk menemaninya selama lima menit, minum teh. Kemudian saya cium dia. "Saya harus pergi sebentar." Saya segera pulang ke rumah. Saya kembali dan membawakan Al-Quran untuknya. Saya berkata, "Ini, Inilah Al-Quran."
***
Di New Jersey, ada sebuah tempat yang terpisah di pekuburan umum untuk pemakaman kaum Muslimin, sebab seorang Muslim dikuburkan dengan menghadap Ka'bah. Tidak semua pekuburan menyediakan tempat seperti itu. Tetapi kami mengusahakannya. Kami membeli area pekuburan, dan saya mendatangi ayah dan memohon izin agar dimakamkan sebagai seorang Muslim dengan saudara saya Jerrahis, bukan dengan keluarga saya di pekuburan itu.
Ayah saya, alhamdulillah, memberikan izinnya. Tapi jika dia berkata, "Engkau harus dikuburkan di samping saya," saya bersedia dikuburkan di sampingnya --karena dia ayah saya. Tetapi dia memberikan izinnya agar saya dapat dikuburkan dengan saudara-saudara saya sesama Muslim.
Sekarang, alhamdulillah, bila waktu saya telah tiba, maukah Anda membacakan Al-Fatihah untuk orang papa ini. Saya hanya ingin tahu siapa yang akan memandikan saya, hanya itulah yang ingin saya ketahui.
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.135.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Tidak ada komentar:
Posting Komentar