Republika.co.id
- Beberapa hari setelah serangan terhadap menara kembar World Trade
Center (WTC) di New York, seorang agen Biro Penyelidik Federal (FBI)
Amerika Serikat menelepon rumah Syekh Hamza Yusuf (Mark Hanson) dengan
alasan yang hingga kini belum jelas. "Dia tidak di rumah," kata sang
istri. "Saat ini, dia sedang bersama Presiden George W Bush." Tapi, agen
FBI tadi tidak begitu saja percaya. Maka, dia segera menghubungi Gedung
Putih untuk mengonfirmasi. "Benar. Beliau berada di sini (Gedung
Putih)," jawab petugas keamanan kepresidenan di ujung telepon sana.
Setelah itu, sang agen tidak pernah lagi menelepon kediaman Syekh Hamza.
Ya,
Syekh Hamza Yusuf memang bersama presiden Bush saat itu. Dia datang ke
Gedung Putih sebagai perwakilan dari masyakarat Muslim AS bersama
sejumlah tokoh lintas agama untuk memberikan masukan serta pemikiran
kepada presiden terkait penyikapan terhadap insiden yang terjadi.Seperti dilaporkan situs The Guardian, Syekh Hamza sempat mengingatkan Presiden Bush bahwa respons Pemerintah AS dengan menggelar pengamanan bertajuk Operation Infinite Justice --yang berterminologi militer-- sangat menyakiti hati umat Muslim. Presiden Bush mendengarkan masukan ini.
Menurut Syekh Hamza, dirinya sangat menyayangkan bahwa Pentagon, sebagai pihak yang memilih tajuk operasi pengamanan itu, kurang memahami masalah ini karena tidak memiliki staf yang memahami isu-isu keagamaan. Atas keberatan tersebut, Pemerintah AS pun mengganti sebutan tadi.
Syekh Hamza Yusuf, yang juga dikenal dengan Imam Hamza Yusuf, bukanlah orang sembarangan. Di AS, dia merupakan salah seorang cendekiawan, ulama, dan tokoh Muslim AS yang sangat disegani. Kiprahnya tidak hanya pada bidang agama, namun juga pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Inilah yang membuat Pemerintah AS memilihnya untuk mewakili umat Muslim dan bertemu dengan presiden George W Bush.
Ketika gencar sorotan terhadap umat Islam usai kejadian 11 September 2001, Syekh Hamza berdiri di baris depan sebagai tokoh yang gencar menentang cara-cara kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Maka itu, pemikirannya kerap berseberangan dengan sebagian kalangan yang beraliran radikal.
Dalam berbagai kesempatan, Syekh Hamza senantiasa memperingatkan umat Muslim agar memahami Islam dengan baik, kembali kepada akidah yang murni, serta menjauhi jalan kekerasan, intoleransi, dan kebencian. "Ini harus menjadi perhatian umat Islam dan harus menjadi bagian hidupnya kendati dia tinggal di negara non-Muslim dan kerap mengalami diskriminasi. Tunjukkan bahwa Islam itu ramah dan toleran," tegasnya.
Pemikirannya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keislamannya. Di sini, mungkin orang akan kaget ketika mengetahui bahwa sejatinya Syekh Hamza adalah mualaf. Pria kelahiran Wala-wala, negara bagian Washington, tahun 1960 itu bernama asli Mark Hanson.
Orang tuanya merupakan dua akademisi ternama di AS. Ayahnya adalah profesor bidang filosofi, sementara ibundanya adalah pakar bidang lingkungan. Tak heran bila jiwa kecendekiawanan sudah mengalir dalam darahnya.
Masa kecil Mark Hanson pun dilingkupi semangat pendidikan serta ilmu pengetahuan. Saat beranjak dewasa, dia dimasukkan ke sekolah Kristen. Hingga pada suatu hari, tahun 1977, usianya sekitar 17 tahun, Mark mengalami kecelakaan hebat. Kepalanya terbentur keras yang hampir saja merenggut nyawanya.
Mark tak pernah melupakan peristiwa itu. Dia merenung, yang pada akhirnya membawa dirinya tertambat pada satu pertanyaan krusial tentang kematian. "Saya merasa mengalami konfrontasi dengan kematian. Inilah yang membuat saya melakukan refleksi diri, introspeksi, dan menyelami lebih dalam tentang kematian. Apa dan bagaimana sesudah mati," kata Syekh Hamza dalam laman pribadinya.
Pergulatan itu yang terjadi pada diri Syekh Hamza. Introspeksinya lantas bersinggungan dengan unsur agama, yang dari pengakuannya, hal itu tidak bisa terhindarkan manakala dia pernah mendalami agama di sekolah seminari. Dari situlah, ayah lima anak ini memulai pencariannya akan makna kematian.
Mark Hanson menggali berbagai hal mengenai kematian dan kehidupan setelah mati dari Injil dan literaturliteratur Nasrani lainnya. Cukup lama waktu yang dihabiskannya, namun belum juga merasa tercerahkan dan menemukan jawaban dari keingintahuannya. Dia pun memutuskan mempelajari dari sumber agama lain, termasuk Islam, sebagai perbandingan.
Dan, Islam-lah yang membuatnya takjub. Syekh Hamza menguraikan, "Tidak ada penjelasan lebih detail dan mendalam menyangkut hal-hal yang terjadi setelah kematian seperti tercantum dalam literatur Islam. Ini sungguh menakjubkan.
"Islam sangat jelas menguraikan berbagai hal mengenai kematian dan setelahnya. Misalnya, di alam kubur manusia harus menghadapi pertanyaan dari malaikat, adanya hukuman atau pahala bagi tiap-tiap manusia sesuai amal perbuatan, hingga penghitungan di Padang Mahsyar. Sulit menemukan yang terperinci ini dalam agama lain. Islam telah memberikan jawaban yang sangat mencerahkan," papar Syekh Hamza.
Apa yang dia tangkap dari ajaran Islam tentang kematian adalah kehidupan di dunia hanya sementara. Adapun manusia akan mengalami momen yang lebih kekal di akhirat kelak. Jadi, dari perspektifnya, apa yang dilakukan semasa di dunia haruslah berorientasi pada pembekalan diri untuk bersiap memasuki alam akhirat.
Ketertarikannya terhadap Islam semakin besar. Namun, semakin dia belajar tentang Islam, semakin dia mengetahui ada aspek tertentu dari agama ini yang membuatnya harus merenung. Saat itu, pada akhir tahun 70-an, sedang timbul ketegangan di Iran usai tumbangnya rezim Shah hingga menyeret Islam pada stereotipe negatif di kalangan Barat.
Mark Hanson gundah gulana. Untuk satu waktu, dia mengaku tidak ingin menjadi Muslim. Akan tetapi, dia tidak bisa menelikung batinnya untuk terus mendalami agama Islam. "Alhamdulillah, saya telah berulang kali menemukan kebenaran dalam hidup dan kini saya harus memilih, meninggalkan atau menjadi seorang Muslim. Atas rahmat Allah, saya memilih Islam," ujar dia.
Usianya ketika itu belum genap 18 tahun. Namun, Mark sudah berketetapan hati. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmilah menjadi seorang Muslim. Apa yang dilakukannya setelah itu? Mark langsung mengambil Alquran terjemahan dan membacanya terus-menerus. "Sebelumnya, saya tidak pernah membaca Alquran. Begitu membaca beberapa ayat, saya semakin mantap dengan keyakinan saya," tegas Syekh Hamza.
Rasa hausnya akan ilmu agama semakin membuncah. Meski demikian, Mark merasa tidak akan banyak hal yang bisa diperoleh jika terus tinggal di Amerika. Oleh karena itu, dia memilih meneruskan studinya di Inggris.
Menimba ilmu Di negara Eropa tersebut, Mark bergabung dengan komunitas Muslim setempat dan menimba pengetahuan tentang ilmu dan tradisi Islam. Tapi, dia ingin memperoleh lebih, kali ini keinginannya adalah belajar bahasa Arab dan itu harus dicapainya di sumbernya langsung, yaitu dunia Arab.
Kesempatan langka didapat saat bertemu Syekh Abdullah Ali Mahmoud, seorang faqih dan alim sekaligus tokoh spiritual dari Uni Emirat Arab. Melihat semangat Mark yang meletup-letup untuk belajar bahasa Arab dan agama, Syekh Abdullah bersedia memfasilitasinya untuk belajar di UEA.
Sejumlah madrasah terkenal tercatat pernah menjadi tempatnya menekuni agama dan bahasa, seperti Ma'had al Islami, Islamic Institute di al-Ain, dan lainnya. Di samping itu, sederet ulama berpengaruh pun pernah menjadi gurunya, misalnya Syekh Ahmad Badawi untuk ilmu hadis, Syekh Hamid untuk bahasa Arab, Syekh Abdullah Ould Siddiq untuk bidang ilmu fikih, serta masih banyak lagi. (Red: irf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar