Aku luluh dengan apa yang kubaca. Tak ada satupun yang berubah dari isi kitab ini, tak satu titikpun, sejak 1400 tahun yang lalu. Aku bergabung dengan apa yang ku anggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik yang ada di dunia ini. Kalau kami bersatu, kami betul-betul tak tertahankan.”
Yvonne Ridley, bekerja sebagai wartawan Sunday Express, koran terbitan Inggris, Ridley pada September 2001 yang lalu diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afghanistan
untuk melakukan tugas jurnalistik. Ia menututurkan pengalamannya di Afghanistan saat ditangkap Taliban yang justru membuatnya masuk Islam bahkan menyebutnya sebagai keluarga terbesar dan terbaik didunia.
Alkisah, mantan guru sekolah Minggu yang juga mantan peminum itu masuk Islam setelah membaca Al-Qur’an usai dilepas oleh Taliban. Ia pernah ditahan, diinterogasi oleh pasukan pemerintah Taliban di Afghanistan. Sosok yang selalu digambarkan ‘kejam’ oleh media AS. Ia ditangkap pada 28 September 2001 dan dibebaskan pada 8 Oktober 2001.
Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itulah yang selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di seluruh penjuru otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu.
Aku sudah kenyang meliput berbagai kawasan konflik, aku diutus Sunday Express ke perbatasan Pakistan-Afganistan, beberapa hari usai tragedi 11 September, segera setelah Amerika menudingkan telunjuknya kepada Usamah bin Ladin dan rezim Taliban sebagai penanggungjawab serangan.
Aku ingin segera melihat lebih dekat bagaimana brutalnya pemerintahan Taliban – yang disebut Presiden Bush sebagai rezim syetan. Dan dorongan utamaku adalah untuk membuktikan image yang kerap mangkal di benakku sendiri, bahwa pria Taliban sangat membelenggu dan meminggirkan wanita. Aku tak punya agenda politik, aku hanyalah reporter. Aku hanya ingin menjadi orang pertama menyaksikan invasi terhadap negeri ini. Talentaku inilah yang mendorongku untuk bisa masuk ke wilayah Afganistan..
Dipandu penerjemah, Hamid, dan pengawal keamanan, Munir Abdullah, aku memasuki Afganistan secara ilegal, tanpa paspor dan visa. Untuk menyamarkan identitas, aku mengenakan burqa layaknya wanita Afgan. Inilah petualangan yang paling mendebarkan sepanjang aku menjalani profesiku sebagai jurnalis.
Sebuah papan besar yang menunjukkan bahwa kami akan memasuki daerah terlarang, tribal area merupakan peringatan bahwa perjalanan melintas daerah ini bukan perjalanan main-main atau piknik akhir pekan. Memasuki daerah ini, semua orang asing harus mendapatkan izin dari Political Agency dan dikawal tentara bersenjata. Daerah ini adalah daerah tanpa hukum, di mana kekuasaan hukum Pakistan tak lagi mampu menunjukkan taring kekuasaannya di sini. Hukum Pakistan hanya berlaku sepanjang jalan raya dan daerah 16 m di sebelah kanan dan kiri dan jalan. Tidak lebih dari itu. Bila seorang asing tewas tertembak di sini, tak seorangpun dapat dituntut tanggung jawabnya. Karena di daerah liar ini, hanya hukum suku yang berlaku. Suku-suku “liar” yang mendiami tribal area.
Di gerbang masuk itu, yang mirip gerbang perbatasan pemisah dua Negara. Di wilayah tribal area ini, di kanan-kiri jalan sesekali nampak rambu-rambu berwarna kuning yang bergambar tentara lengkap dengan senapan laras panjang di bahunya. Rambu-rambu yang tidak kumengerti apa maknanya ini, namun sudah cukup untuk memperingatkan bagi para pendatang, bahwa daerah ini adalah daerah sensitif yang berbahaya. Pemeriksaan dokumen-dokumen mulai diperiksa dengan teliti. Lembar demi lembar halaman paspor pun diamati dengan seksama oleh para petugas. Mulailah keteganganku mengalami peningkatan yang drastis luar biasa.
Perjalananku memang terbilang nekad, tak berpaspor dan tak punya visa. Walaupun ditemani dua orang guide professional, namun tidak bisa dipungkiri bahwa aku tengah mengalami ketegangan hebat. Tiba-tiba tustel mini milikku terjatuh. Maka penyamaranku ketahuan juga. Di desa Kama yang sepi, tentara Taliban mengarahkan moncong senjata, dan memaksaku turun dari punggung keledai. Entah darimana asalnya, tiba-tiba kerumunan lelaki berjenggot tebal mengitariku. Dan akupun diangkut mobil pick up tua. Aku ditahan di desa Kama dekat Jalalabad di sebuah tempat yang seperti bekas tempat peristirahatan musim dingin Raja Shah. Ruangan itu berpendingin udara dan aku diberi sebuah kunci untuk mengunci diri di malam hari.
Aku sadar bahwa aku tak pernah diculik oleh Taliban. Aku ditangkap karena masuk ke negeri itu secara ilegal tanpa paspor dan visa. Aku tahu persis apa kesalahanku. Tentara Taliban menuduhku sebagai mata-mata Amerika.Aku langsung berpikir, tak mungkin lagi bisa melihat matahari. Aku mengira akan mati dan walaupun para penahanku bersikap baik, pengalaman itu sangat menakutkan.
Aku mempercayai propaganda bahwa orang-orang ini adalah bagian dari rezim paling kejam di dunia. Segala hal buruk yang pernah terjadi di penjara Abu Ghraib, Bagdad, kutakuti akan terjadi padaku. Aku terus menunggu kapan saatnya orang jahat yang membawa alat penyetrum muncul, tapi itu tak pernah terjadi. Salah satu pengalaman paling sulit bagiku adalah terisolasi secara total dari dunia luar. Walaupun aku hanya ditahan selama sepuluh hari, aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi di luar sana dan mengira bahwa aku akan segera dilupakan.
Kecurigaanku kepada Taliban membuatku berkali-kali yakin bakal dicambuk atau dieksekusi. Itulah yang membuatku kehilangan kendali, marah, memaki-maki – sesuatu yang tak mungkin dilakukan para sandera pengidap Stockholm syndrome. Eh, bukannya siksaan atau hukuman mati. Kaum Taliban malah tersenyum mendengar makianku. Mereka bilang, aku adalah tamu dan saudari mereka.
Aku terkejut. Dan selama menjalani hari-hari penawananku, kejutan demi kejutan kembali berulang, yang kian menggerogoti habis dugaan burukku selama ini terhadap kaum Taliban. Masih terngiang dalam ingatan, hari itu penerjemahku, Hamid, sambil menyerahkan baju kurung pengantin, bilang bahwa aku adalah tamu penting dan terhormat Taliban. Hatiku tersanjung, sambil kukenakan baju pemberian Taliban
Aku melakukan mogok makan selama 10 hari itu di Jalalabad. Para penahanku membentangkan sehelai kain di atas lantai dan menyajikan makanan untukku tiga hari sekali. Setiap kali tiba waktu makan, mereka datang ke ruanganku dan mencuci tanganku dengan sekendi air. Mereka selalu mengatakan kepadaku bahwa aku adalah tamu mereka. Mereka sungguh-sungguh gusar karena aku tidak mau makan dan mencoba membujukku agar mau makan, termasuk dengan menawariku Anggur !
Setiap hari selama enam hari aku diinterogasi oleh sekelompok lelaki bertampang seram. Terkadang ada orang yang berbeda dan mereka melibatkan seorang penerjemah muda bernama Hamid. Ada saat-saat ketika ia tampak lebih ketakutan daripadaku karena ia harus menerjemahkan kata-kataku, padahal terkadang jawaban-jawabanku sangat menjengkelkan. Pertanyaan-pertanyaan itu monoton dan biasanya interogasi baru berakhir setelah berjam-jam.
Pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah mengapa aku masuk ke negara mereka secara ilegal. Mereka pada mulanya tak mau percaya bahwa aku adalah seorang wartawan dan mereka tak bisa memahami konsep berita eksklusif. Karena frustasi, pada suatu hari, aku mengangkat tangan dan berkata aku akan menceritakan alasan yang sebenarnya mengapa aku masuk secara ilegal. Mereka semua mencondongkan tubuh ke depan saat Hamid menerjemahkan kata-kata itu.
Lalu aku berkata, “Aku datang ke Afganistan untuk bergabung dengan Taliban!” Mereka tertawa terbahak-bahak dan menunjukkan rasa humor yang membuatku merasa lega. Mereka tak pernah mengancamku secara fisik. Walaupun mereka melakukan semacam mind game terhadapku dan seseorang mengancamku bahwa aku akan dikurung selama 20 tahun jika aku tidak mau berkata jujur pada mereka.
Tak lama masuklah seorang lelaki bergamis dan bersorban serba putih ke ruang tahananku. Dari caranya bersikap, aku tahu dia seorang pemuka agama. Dia menanyakan status keagamaanku – Protestan, pandanganku terhadap Islam, dan menawarkan dengan santun kemungkinanku memeluk Islam.
Sungguh menakutkan. Selama lima hari aku telah menghindar bicara soal agama di negara yang kata Presiden George W. Bush dipimpin para ekstrimis. Jika aku memberi jawaban salah – lagi-lagi kata sahabat-sahabat Baratku, aku akan dilempari batu hingga mati. Setelah berpikir panjang, aku berterima kasih atas tawaran itu, namun kubilang sulit bagiku untuk mengambil sebuah keputusan penting dalam hidup sedangkan aku di penjara. Tapi aku berjanji, jika dilepas dan kembali ke London, aku akan belajar Islam. Karena jawaban itulah, aku dipindahkan ke sebuah penjara kumuh di Kabul, disatukan bersama enam tahanan wanita lain beragama Protestan yang juga pernah ditawari masuk Islam.
Waktu kecil, aku dididik ajaran Yesus, bergabung dalam paduan suara gereja, dan belajar di sekolah Kristen. Belakangan, citra ekstrimitas Kristen yang kurasakan sama seperti bayanganku tentang ekstrimitas kaum Taliban. Masih jelas teringat ketika suatu malam aku duduk di lapangan penjara, tiba-tiba telinga kiriku menangkap suara hymne gereja, sementara telinga kananku mendengar suara azan. Aku terperangkap di antara dua jepitan ajaran kaum fundamentalis. Ketika malam kian larut dan bintang-gemintang bersinar terang, aku seperti terjebak dalam cengkraman alam semesta, yang menghendakiku segera menentukan sikap.
Beberapa hari kemudian aku dibebaskan tanpa syarat, atas perintah langsung Mullah Muhammad Umar, pemimpin spiritual Taliban yang bermata satu. Selama dalam penjara, kaum Taliban memperlakukanku dengan ramah dan rasa hormat, meskipun aku kerap memaki mereka. Jika rasa lapar menerjangku, kala waktu makan tiba, mereka selalu mengambilkan air kobokan untuk membasuh tanganku. Mereka juga rajin shalat lima waktu, tak peduli apapun yang terjadi. Sebagai imbalan rasa salutku pada mereka, kupenuhi janjiku untuk mendalami agama mereka.
Itulah niatku pada awalnya, dan caraku mempelajari Islam sama seperti cara akademisi non muslim mendalami agama Muhammad. Tapi baru beberapa halaman kubaca, aku sungguh terpikat, dan makin tergoda untuk mendalami kalimat demi kalimat. Kudatangi sejumlah tokoh cendekiawan muslim, seperti Dr. Zaki Badawi dan Syekh Abu Hamzah Al-Masri yang sebelumnya pernah kutemui dalam sebuah debat keagamaan di Universitas Oxford.
Aku juga mengaji kepada Dr. Muhammad Al-Massari, dan mendapat pencerahan setelah berdiskusi dengan tiga wanita anggota Hizbuttahrir. Referensi terpenting tentu kutemukan dari internet, khususnya ketika chatting dengan para netter muslim di situs New Muslim Project, yang juga memberiku akses untuk berdiskusi bersama kawan-kawan senasib yang tengah berjalan menuju Islam. Mereka sangat mendukung dan bersahabat, namun yang mengejutkan, tak seorang pun menekanku memeluk Islam.
Tapi sejumlah media Barat kemudian menuduhku membuka madrasah untuk rekrutmen anggota Al-Qaidah di apartemenku di Soho. Namaku juga tiba-tiba masuk dalam website “Watch on Terror” di Amerika, yang membuatku digolongkan dalam daftar pelaku subversif oleh sejumlah agen intelijen Amerika.
Peristiwa yang kian memuakkanku adalah ketika tentara Israel mengepung dan menembaki gereja tempat kelahiran Yesus, Church of Nativity. Tak satu pun pemimpin gereja – kecuali Paus, yang mengecam tindakan Israel. Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang taat beragama dan bangga jika keluarganya diidentikkan dengan kesalehan, diam saja. Aku sangat shock, sedih dan merasa sendirian. Lalu kupikir, kenapa aku harus memikirkannya sedangkan para pemimpin spiritual dan pemerintahan pun tak peduli. Sedangkan dengan Islam, aku bisa bicara lantang, dan langsung tanpa perlu perantara pemimpin spritual. Kepada Tuhanpun aku bisa berhubungan langsung kapanpun kumau.
Berbeda dengan saudara sesama muslim, tekanan justru datang dari kerabat dan kawan-kawan jurnalis yang sinis dan melontarkan kritik atas niatku memeluk Islam. Kata mereka, agama apapun akan menyusahkanku, sedangkan dengan Islam, akan lebih buruk lagi kondisiku. Mereka mengiraku masuk ajaran syetan, ahli sihir, atau semacam sekte Ku Klux Klan. Yang lain lagi menganggapku menjalani pencucian otak, yang membuatku tak lama lagi mengenakan burqa — kain penutup ala perempuan Afganistan, dan membisu selamanya seperti wanita muslim lain.
Namun semua itu omong kosong. Tak pernah kutemui kelompok wanita yang sangat terpelajar, cerdas, berbicara lantang dan sangat melek politik melebihi kelompok wanita Muslim Inggris. Memang benar, masih banyak wanita muslim yang terbelakang, akibat “pembajakan” kultural atau kesalahan interpretasi terhadap ajaran Al-Qur’an. Padahal Kitab Suci Islam ini, setahuku, mensejajarkan kedudukan pria dan wanita dalam keberagamaan, pendidikan, kesempatan kerja dan tanggungjawab sosial. Kalau aku diberi kesempatan lagi mengunjungi Afganistan, tema kesejajaran inilah yang akan kukumandangkan pada kaum pria di sana.
Sebagai jurnalis dan aktivis perempuan yang tergabung dalam kelompok feminis, Yvone berharap akan menemukan perintah-perintah Tuhan yang memperlakukan wanita sebagai warga kelas dua, yang boleh saja disakiti, sehingga niqap atau jilbab dapat menutupi luka memar bekas kekerasan dalam rumah tangga.
Justru Yvonne merasa terkejut bahwa tidak ada satu pun ayat yang menyatakan tentang hal tersebut. Malah sebaliknya ia menemukan ajaran luhur bahwa sesungguhnya wanita diletakkan dalam derajat tertinggi di rumah tangga, ujar Yvonne yang senyuman selalu tersungging di bibirnya.
“Ternyata Islam memanjakan perempuan. Perempuan tak perlu dipaksa bekerja agar dapat mendidik anak-anaknya, agar terhindar dari minum-minuman keras, pornografi, dan hal-hal lain yang dapat menghambat pertumbuhan remaja seperti yang tengah dikhawatirkan pemerintah Inggris. Bahkan ditegaskan di dalam Islam, perempuan merupakan tiang negara dan sesungguhnya surga berada di bawah telapak kaki ibu,”
“Ada perempuan-perempuan tertindas di negara-negara Muslim, tapi perempuan-perempuan tertindas juga ada di tepi jalan di Tyneside, Inggris. Penindasan itu berasal dari kultur, bukan dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa perempuan itu setara dengan kaum laki-laki.”
“Melalui tulisan tentang isu-isu kultural seperti pernikahan di bawah umur, praktik sunat terhadap perempuan, pembunuhan atas nama kehormatan keluarga, dan kawin paksa, mereka salah menilai ajaran Islam dengan aspek kultural para pemeluk agama Islam. Lebih buruk lagi, Arab Saudi mereka jadikan contoh sebuah negeri Muslim dimana kaum perempuan dipinggirkan karena di sana perempuan dilarang menyetir. Isu-isu di atas tak ada hubungannya dengan Islam, tapi kebanyakan orang Barat masih menulis dan membicarakan tentang hal-hal semacam itu dengan nada angkuh dan sok kuasa seraya menyalah-nyalahkan Islam. Padahal, ada beda mendasar antara tingkah laku kultural dan ajaran Islam.”
Mengenai tuduhan bahwa Islam mengizinkan laki-laki memukul istri mereka, Yvonne mengatakan bahwa itu tidak benar. Orang-orang yang senang mengkritik Islam tentu mendasari anggapan itu dengan mengutip Al-Quran dan Hadist secara acak, tapi biasanya dikutip di luar konteksnya. Dalam Islam, jika seorang laki-laki menyentuh istrinya, ia tak diizinkan meninggalkan bekas apa pun di tubuhnya. Ini sebenarnya cara lain al-Quran mengatakan, Jangan kau pukul istrimu, tolol!
Menurut Yvonne, berdasarkan data statistik dari National Domestic Violence Hotline, empat juta perempuan di Amerika Serikat mengalami serangan serius oleh pasangan mereka dalam rentang waktu 12 bulan dan lebih dari tiga orang perempuan dibunuh oleh para suami atau pacar mereka setiap hari. Sebagian orang mungkin berkata ini adalah tuduhan mengejutkan terhadap sebuah masyarakat yang beradab, tapi perlu dikatakan bahwa kekerasan terhadap sebuah masyarakat beradab kaum perempuan adalah sebuah isu global. Lelaki yang kejam tidak datang dari agama atau kultur tertentu. Faktanya, satu di antara tiga perempuan di seluruh dunia pernah dipukul, dipaksa secara seksual, atau dikasari selama hidupnya. Kekerasan terhadap perempuan melintasi batas-batas agama, tingkat ekonomi, kelas sosial, warna kulit, dan budaya. Kenyataanya, di Barat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan hanyalah ilusi. Dalam istilah Yvonne yang lugas dan tandas, “Barat adalah sebuah masyarakat di mana kekuatan atau pengaruh seorang perempuan biasanya hanya ditentukan oleh ukuran payudaranya.”
Yvonne Ridley dan MSA Vanderbilt University's (MSA - Vanderbilt University\'s)Yvonne pun berbicara lantang membela cara berpakaian perempuan Muslim yang kerap menjadi sasaran kritik media massa Barat dan dianggap membelenggu kaum perempuan. “Memakai hijab berarti aku menyatakan diri bahwa aku adalah seorang Muslim dan oleh karena itu aku berharap diperlakukan dengan penuh hormat.” Tulis Yvonne.
Yvonne menolak keras segala tuduhan sejumlah politisi di Inggris, termasuk mantan Mentri Luar Negeri, Jack Straw, Mentri Gordon Browen, dan John Reid yang menyatakan bahwa nikab atau cadar adalah sebagai penghambat komunikasi. Menurut Yvonne, jika itu yang jadi persoalan, mengapa pula ponsel, e-mail, sms, radio, dan mesin faksimile tidak dianggap sebagai penghambat komunikasi hanya karena tidak memerlihatkan wajah lawan komunikator?
Yvonne melontarkan kritik pedas bahwa mungkin saja Islamofobia telah menjadi perlindungan terakhir orang-orang rasis.
“Dahulu aku adalah seorang feminis sekuler selama bertahun-tahun dan kini, sebagai seorang Muslim, aku masih mempromosikan hak-hak kaum perempuan. Perbedaannya adalah kami lebih radikal daripada rekan-rekan sekuler. Kami semua membenci pemilihan ratu kecantikan dan nyaris tak bisa menghentikan gelak tawa kami ketika pemunculan putri Afghanistan dalam balutan bikini disambut sebagai lompatan raksasa untuk pembebasan perempuan di Afghanistan.”
Para muslimah seharusnya melihat hijab dan feminis sebagai prasyarat keagamaan dan cara untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka menolak dampak-dampak buruk gaya hidup Barat seperti minuman keras, seks bebas, dan penggunaan narkoba yang terbukti amat merusak.
Kepada BBC, Yvonne berkata dalam sebuah wawancara, “Jika aku menganggap ada sesuatu dalam agama ini yang tidak adil terhadap kaum perempuan, aku pasti tak akan mau masuk Islam.”
Yvonne kembali menohok dengan pernyataanya yang lugas, “Kini katakan kepadaku mana yang lebih membebaskan, dinilai karena panjang pendek rokmu dan ukuran buah dada palsumu, atau dinilai karena kepribadian, otak, dan kecerdasanmu? Majalah-majalah mendikte kita bahwa untuk dicintai kita harus bertubuh tinggi, langsing, dan cantik. Bahkan, tekanan kepada para pembaca remaja untuk memiliki pacar sudah nyaris mengarah ke cabul.”
Yvonne juga menyatakan bahwa Islam menjamin sepenuhnya hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan merupakan tugas semua perempuan untuk mencari pengetahuan, apakah dia lajang atau menikah. Tak ada dalam pandangan Islam yang menyatakan bahwa tugas kaum perempuan di dunia diharuskan secara mutlak mencuci, membersihkan rumah, atau memasak untuk kaum lelaki.
Pendek kata, dalam istilah Yvonne, “Segala yang diperjuangkan oleh kaum feminis pada dasawarsa 1970-an ternyata sudah didapat oleh para perempuan Muslim 1400 tahun silam. Bahkan ditegaskan di dalam Islam, wanita merupakan tiang negara dan sesungguhnya syurga berada di bawah telapak kaki ibu,” ujar Yvonne yang kini aktif berdakwah.
http://www.dakwatuna.com/2008/aku-bergabung-dengan-keluarga-terbaik-di-dunia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar