Minggu, 25 Juli 2010

Hauw Tin : Sempat Terusir dari Rumah

Penulis : Indra Widjaja

Nama asli saya Hauw Tin, usia lebih dari 50 tahun. Saya anak kedua dan empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama Konghucu, karena agama itu adalah agama leluhur kami. Tetapi, ketika SMP, saya disekolahkan di SMP Bhiku Yudha Putra, yaitu sekolah yang mengajarkan agama Budha. Sekolah untuk agama Konghucu memang tidak ada.

Walaupun di rumah saya beragama Konghucu, tetapi, karena di sekolah diajarkan agama Budha, otomatis saya belajar agama Budha. Di sini saya mendapatkan pengajaran seperti latihan ketaatan pada orangtua, budi pekerti, dan tentang pemahaman ajaran kebaikan. Ajaran Budha tidak pernah mengajarkan tentang dosa.

Selepas SMP, saya melanjutkan sekolah ke SMA Sari Putra yang terletak di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, juga SMA yang mengajarkan pelajaran agama Budha.

Ketika duduk di kelas dua SMA, saya pindah ke SMA Kristen dan mengambil kajian agama Katolik. Di sinilah awal saya berpindah agama dari Konghucu ke agama Katolik (1964). Saya dibaptis di Gereja Santo Paulus, Jakarta Pusat, dan mendapat nama baptis Johanes To Hauw Tun.

Saya ikut misa (kebaktian) di Gereja Kathedral, yang letaknya berhadapan dengan Masjid Istiqlal. Namun, di sekolah SMA Kristen tersebut saya selalu berdebat dengan guru maupun pastor, sehingga saya terpaksa diskors selama 3 hari.

Perdebatan tersebut menyangkut masalah teologi (ketuhanan) yang di agama Katolik disebut trinitas. Saya juga berdebat tentang pengakuan dosa. Apabila kita merasa bersalah dan berdosa besar satu minggu, maka pada sabtu sore harus datang ke gereja dan mengakui semua dosa kepada pastor. Besoknya, baru boleh datang untuk melakukan misa. Di dalam pengakuan dosa ini, biasanya anggota jemaat diminta untuk membaca doa dengan rosario (sejenis tasbih) sampai beberapa kali. Pada waktu itu pastomya adalah Ten Ber Ger.

Ketertarikan saya masuk Islam waktu itu diawali ketika kebetulan saya mampir ke rumah teman saya yang bernama Nirman Effendi, la seorang wartawan foto. Waktu itu tanggal 1 November 1967. Saat di rumah Nirwan itu, saya melihat ada kitab suci Al-Qur'an (terjemahan). Saya tertarik untuk membacanya. Meskipun hanya sebentar, saya ingin membacanya lebih lama lagi dan akhirnya saya meminjam padanya selama satu minggu.

Selama di rumah, Al-Qur'an tersebut saya baca. Lega sekali rasanya, dan, ini hanya sekali saja saya rasakan seumur hidup. Saya ingin sekali mengulanginya, tetapi tidak bisa. Rasanya dosa saya seperti dicabut semua. Badan saya seperti ada yang menarik ke atas dan rambut saya seperti ikut tertarik ke atas. Tetapi siapa yang menarik, saya tidak tahu. Mungkinkah itu malaikat?

Setelah kejadian itu, rasanya saya menemukan sesuatu yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Saat itu keinginan saya hanya memeluk agama Islam, dan keinginan ini saya utarakan pada salah satu tetangga saya yang bernama Usman. Usia Usman saat itu 35 tahun dan saya baru 21 tahun.

Kemudian, esok harinya saya dibawanya ke tempat Ketua RW. Ketua RW saat itu adalah keturunan Jepang bernama Mark dan istrinya orang Belanda bernama Hany. Pak RW pun membawa saya ke Kantor Urusan Agama (KUA) DKI Jakarta pada tanggal 8 November 1967. Di kantor KUA itu, saya diminta mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.

Sebagai orang yang baru masuk Islam, saya dianjurkan untuk berkhitan (sunat). Karena mau disunat itu, keluarga saya yang tadinya tidak tahu, jadi tahu semua. Sebab, masyarakat di sekitar rumah saya membicarakan perihal saya mau disunat. Mendengar saya mau disunat, orangtua saya jadi marah. Akhirnya, saya dijaga dengan ketat dan tidak boleh ke luar rumah. Padahal, saya sudah janji dengan Usman untuk pergi ke Tasikmalaya Jawa Barat dalam rangka sunat.

Akhirnya, selepas maghrib saya bisa melarikan diri ke Terminal Bus Lapangan Banteng. Saat itu Lapangan Banteng dijadikan terminal bus dalam kota. Saya berbekal uang Rp. 5.000,- yang saat itu nilainya besar sekaii. Saya berangkat sendiri, karena tak sabar menunggu kedatangan Usman. Alhamdulillah, bus yang saya tumpangi mogok, sehingga saya bisa bertemu Usman. Alhasil, kami pun tiba di Tasikmalaya dengan selamat. Dan, saya pun akhirnya dikhitan di sana.

Orangtua saya ternyata mencari saya dengan cara menanyakan pada tetangga dan akhirnya ketemu juga di Tasikmalaya. Saya dipaksa pulang ke Jakarta. Tapi, saya tidak mau. Akhirnya saya masuk Pondok Pesantren Cipasung yang diasuh K.H. Rukhiyat, ayah K.H. IIyas Rukhiyat, Rois Aam Suriah PBNU. Di sini saya belajar selama tiga tahun. Segala kebutuhan makan dan belajar dijamin pesantren karena saya seorang mualaf.

Kembali dari pesantren, saya pulang ke rumah. Tetapi, orangtua tidak mengakui saya sebagai anak. Saya sempat tidur di emper rumah dan makan diberi oleh tetangga yang bersimpati dengan keislaman saya.

Pada tahun 1987, saya menikah dengan orang Yogyakarta, tapi cuma bertahan tujuh bulan. Kini, saya berwiraswata dan memiliki 10 buah bajaj. Pada 1990, saya menikah lagi dengan wanita keturunan Cina Palembang dan dikaruniai empat anak. Selain itu, saya juga aktif di dunia politik, menjabat sebagai Ketua DPC salah Partai Islam di Jakarta Barat.

Dari mualaf.com

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/22/hauw-tin-sempat-terusir-dari-rumah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar