Penulis : Redaksi KSC
Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Ia menjadi pedoman hidup dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tak ada keraguan di dalamnya. Susunan kata begitu indah, gaya bahasanya begitu menarik, dan kandungan yang ada di dalamnya sangat jelas dan tegas. Bahkan, dari Al-Qur'an pula, banyak orang yang sukses. Ribuan bahkan jutaan buku ditulis. Semuanya bersumber dari Al-Qur'an.
Tak heran bila banyak orang yang kagum dan takjub dengan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu. Khalifah Umar Ibn Khattab memeluk agama Islam berkat kandungan yang ada di dalamnya. Ia terkesima dengan lantunan kalam Ilahi itu. Padahal, sebelumnya, ia adalah penentang agama Islam yang sangat ditakuti.
Tak hanya Umar, seorang aktivis gereja di Indonesia pun akhirnya memilih agama Islam berkat lantunan kalam Ilahi ini. Dia adalah Rusman Unri Surbakti, seorang anak muda aktivis gereja di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Pria ini akhirnya memeluk Islam karena banyak keraguan yang ia yakini sebelumnya menjadi tak masuk akal. Akhirnya, setelah menelusuri dan mendalami berbagai aliran dan agama yang ada, ia pun bertekad bulat memeluk Islam. Subhanallah.
Islam, bagi dia, sebetulnya bukan hal yang baru. Ketika kecil, entah mengapa, anak kelima dari delapan bersaudara itu selalu tertarik jika mendengarkan suara ayat suci di stasiun TVRI yang dilantunkan menjelang acara pengajian. “Lantunan itu menarik hati saya. Tapi, karena keluarga saya penganut Kristen, siaran TV itu segera dimatikan.”
Lulus SMA, dia merantau ke Batam setelah sempat ke Pekanbaru. Di Batam, Rusman bekerja di sebuah bengkel. Di sela-sela kesibukan kerjanya, dia aktif di gereja, bahkan menjadi ketua pemuda gereja. Dalam setiap perayaan natal dan kegiatan serimonial Kristen yang lain, Rusman selalu jadi ketua panitia.
Beberapa lama kemudian, Rusman pindah kerja ke kawasan Batamindo. Di situ, dia mulai bergaul dengan teman-temannya yang aktif di kegiatan keislaman. Hal itu mengingatkan kembali memori masa kecilnya ketika mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an. Muncullah dalam hatinya ketertarikan untuk mengenal Islam lebih dekat.
Anehnya, ketika muncul ketertarikan terhadap Islam, ia justru juga semakin giat mendalami ajaran agama yang dianutnya, yakni Kristen Protestan. Namun, di balik usahanya itu, hatinya justru semakin dekat dengan Islam.
“Di Injil, saya melihat ada beberapa surat yang tak konsisten. Di satu surat, ada yang mengharamkan babi, tapi dalam surat lain boleh.” Rusman menyebutkan, masih banyak contoh lainnya yang membuatnya ragu dengan agama yang dipeluknya sejak kecil itu.
Suatu ketika, dalam kebaktian di gereja, dia memerhatikan umat yang datang. Tak sedikit perempuan yang datang dengan mengenakan pakaian yang terbuka, mengumbar aurat. Tiba-tiba, ia merasa risih. Padahal, dari dulu sudah begitu. Namun, entah mengapa, perasaannya hari itu sangat berbeda.
“Itulah puncak dari kegelisahan saya. Saat itu juga, saya keluar dari agama yang sejak kecil saya anut.”
Ia pun kemudian mempelajari agama Islam. Namun, sebelum mantap meyakini Islam, ia mencoba mempelajari agama lainnya. “Siapa tahu cocok,” demikian batinnya.
Aliran kepercayaan ia pelajari, namun tak cocok dengan hati nuraninya. Yahudi, tak kena di hati. Agama Buddha dan Hindu juga tak berkenan di hatinya. Di tengah kebimbangannya itu, ia makin khawatir kalau tiba-tiba sakaratul maut menjemputnya. “Saya gelisah, takut mati karena tak punya agama,” katanya.
Akhirnya, suatu ketika, dia membaca buku Sejarah Islam dari Segi Hukum dan Sejarah Iman. Dari buku itu, Rusman menemukan sesuatu yang selama ini dia inginkan : kedamaian dan ketenteraman. Buku itu seolah menjadi magnet yang menarik dirinya untuk memeluk agama Islam. Setelah itu, dia mulai mempelajari Islam secara lebih intens. Sampai akhirnya, Rusman membaca dua kalimat syahadat pada usianya yang 22 tahun.
Ceritanya, siang hari pada bulan Ramadhan, Rusman mendatangi Masjid Nurul Hikmah di kawasan industri Batam. Kebetulan, pengurus masjid Nurul Hikmah, Mohammad Soleh —yang pernah satu kantor dengannya— ada di masjid itu. Ia pun langsung menyapa Soleh.
“Selamat siang, Mas Soleh,” sapa Rusman.
“Eh, Bang Rusman. Ada apa ini?” jawab Soleh agak terheran dengan kedatangan Rusman. Beberapa jama'ah di masjid juga memandang curiga kehadirannya.
“Saya mau masuk Islam,” jawab Rusman tanpa basa-basi.
“Oh, ya? Wah ada apa ini? Kok, tiba-tiba.”
“Niat saya sudah bulat, Mas.”
“Mohon maaf, Bang Rusman, agama bukan barang mainan. Mohon, pelajari dulu dengan baik. Nanti, jika sudah paham, baru benar-benar masuk Islam.”
“Saya sudah pelajari, Mas. Pokoknya, saya mau masuk Islam,” tekad Rusman sudah bulat.
“Oke kalau begitu. Nanti, datang ke sini lagi sebelum Maghrib. Ada baiknya mandi besar dulu.”
“Apa itu mandi besar?”
“Pokoknya mandi yang bersih, keramas.”
Sore hari menjelang Maghrib, Rusman sampai di masjid. Sekilas, matanya sempat melihat pengumuman di dinding. “Sore ini, pengislaman saudara Rusman Surbakti.”
Pemuda kelahiran 7 November 1971 itu sempat tergetar melihat pengumuman itu. Begitu melangkah ke dalam masjid, ia disambut oleh para pengurus masjid. Rupanya, di dalam masjid sudah dipenuhi oleh jama'ah. Mereka ingin menyaksikan aktivis Kristen itu masuk Islam. Selama ini, Rusman yang mereka kenal adalah penganut fanatik agama Kristen. Setidaknya, itu dibuktikan melalui posisi Rusman semacam ketua pemuda Kristen yang aktif melakukan kegiatan seremonial agama Kristen.
Ia kemudian duduk menghadap hadirin. “Segera saya duduk bersila di depan meja yang sudah disiapkan. Di sisi kiri saya, ada saksi. Di sisi kanan, tokoh masyarakat. Di depan saya, ustadz Muhammad Machfud. Beliaulah yang mengislamkan saya,” kata Rusman.
Setelah masuk Islam dan menjadi mualaf, pada 13 Maret 1993 ia mengganti nama yang sudah diberikan orangtuanya. Dari Rusman Unri Surbakti menjadi Abdullah Hidayat Ramadhan. Hidayah dari Allah itu datang pada bulan Ramadhan karena itu nama tengah dan belakang memakai nama Hidayat Ramadhan.
Setelah beberapa saat memeluk Islam, teman-temannya segereja dulu mencibirnya. Mereka tak percaya, seorang aktivis gereja tiba-tiba pindah agama dan memeluk Islam. Mereka mengira, Rusman pindah agama karena perempuan.
Namun, setelah mengetahui kepindahannya bukan disebabkan ketertarikannya pada perempuan, namun karena keraguan Rusman terhadap agama yang dianutnya dulu, teman-temannya pun mengejeknya. Apalagi, setelah namanya berganti menjadi Abdullah, ia makin dijauhi. “Mereka mungkin tidak membenci saya, tapi tetap saja menjauh,” kata Rusman alias Abdullah.
Bagaimana sambutan keluarga? Sebulan setelah masuk Islam, Abdullah pulang ke kampung halamannya di Asahan, Sumatera Utara. Dia datang menjelang malam. Keluarga sedang makan malam bersama, sebuah tradisi keluarga besar mereka.
“Ah, si Rusman datang. Ayo, ayo, langsung makan,” begitu abangnya menyambut kedatangannya. Di kursi yang mengelilingi meja besar itu, duduk ayah dan ibunya serta saudara-saudara sekandungnya. Mereka juga mengajak makan bersama.
“Alhamdulillah, saya sudah makan di jalan,” jawabnya.
Hah? Ungkapan singkat itu membuat semua yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut. Abdullah memahami keterkejutan itu. Belum selesai keheranan mereka, Abdullah berkata lagi, “Saya memang sudah pindah agama. Sekarang, saya seorang Muslim.”
Suasana menjadi tegang. Abangnya yang sulung terlihat paling geram. “Apa-apaan ini? Kamu tidak tahu, itu lihat Iran dan Irak yang sama-sama Islam malah saling bunuh!”
Suasana makin panas, tensi meninggi. Brak! Tangan kanan abangnya menggebrak meja. “Tidak ada itu pindah agama. Kamu ini gimana, sih?”
“Saya tidak mau tahu. Saya yakin, Islam itu yang benar,” Abdullah tak kalah lantang menjawabnya.
“Benar menurut kamu, belum tentu benar menurut kami,” kata ayahnya.
“Ayah, saya sudah yakin dengan pilihan saya. Kalau ayah dan abang menyuruh saya mencabut keimanan saya, saya pilih mati!”
Suasana mendadak hening. Semua terdiam. Tensi ketegangan entah mengapa makin menyurut. Sesaat kemudian, ayahnya angkat bicara.
“Baiklah, kalau memang sudah begitu keputusanmu. Silakan jalan dengan keyakinanmu. Tapi, ada satu permintaan, jangan menjauh dengan keluarga ini,” terang ayahnya.
“Islam tak membeda-bedakan, ayah. Jadi, aku pun tidak akan meninggalkan keluarga ini meskipun kita punya keyakinan yang berbeda,” kata Abdullah.
Abdullah pun kemudian mendalami Islam secara giat. Bila dulu ia menjadi aktivis gereja, kini ia aktif di kegiatan keislaman. Di kawasan industri Batamindo, ia ditunjuk menjadi ketua majelis taklim gabungan Fastabiqul Khaerat. Lembaga ini menghimpun 14 majelis taklim di daerah itu.
Begitu masuk Islam, Abdullah Hidayat Ramadhan merasakan bahwa pemahamannya terhadap Islam masih kurang. Karena itu, atas berbagai pertimbangan, ia merasa perlu untuk merantau ke Jawa, belajar tentang Islam secara lebih mendalam, termasuk belajar Al-Qur'an secara baik dan benar. “Saya belajar ke Yayasan Maarif di Blitar.”
Setahun belajar Islam di Blitar, Abdullah kembali ke Batam. Di sana, oleh teman-teman pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua seksi pembinaan mualaf. Tak berapa lama, karena kreativitasnya dalam menjalankan roda organisasi dan pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua majelis taklim gabungan Fastakibul Khaerat. Di Batam ini pula, dia menemukan jodohnya, seorang Muslimah.
Sekitar lima tahun memeluk Islam, dia merasa ada yang tidak pas dengan atmosfer keislaman di Tanah Air. Ada banyak kelompok yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Dia trauma dengan agama sebelumnya yang memiliki banyak aliran keagamaan. “Saat itu, saya berpikir untuk mencari Islam ke sumbernya dan pilihannya tak lain adalah Arab Saudi.”
Abdullah memantapkan diri pergi ke Arab Saudi. Sebagai apa? TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Mobil pun dijual. Sebagian hasilnya untuk menambah uang saku ke Arab, sebagian lagi untuk kehidupan keluarganya. Maka, berangkatlah dia mencari ilmu agama Islam, langsung ke sumbernya di Makkah pada Juli 2000.
Sampai di Arab, dia dipekerjakan sebagai sopir di Jeddah. Tapi, baru sekitar empat bulan, dia bentrok dengan majikannya. Ia menilai, majikannya itu telah melecehkan martabatnya sebagai manusia. “Saya keluar dari pekerjaan itu. Konsekuensinya, surat-surat saya ditahan oleh majikan.”
Untuk mengambil surat-surat itu, ia harus menebus dengan uang yang jika dijumlahkan sekitar Rp. 200 juta. Uang sebesar itu bukan jumlah yang kecil. Karena itu, dia hidup menggelandang, mencari pekerjaan yang sifatnya gelap. Tujuh bulan hidup lontang-lantung di negeri orang.
Sampai-sampai pernah ‘tinggal’ di Masjidil Haram sekitar sepekan. Untuk makan, Abdullah mengandalkan sedekah dari pengunjung masjid. ''Saya kadang hidup dengan satu riyal sehari, cukup untuk beli roti Arab,'' kata Abdullah.
Ia pun berdo'a, memohon dimudahkan dalam segala urusan. Ia pergi ke depan Ka'bah, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah menjawab do'anya. Beberapa orang anggota Kerukunan Keluarga Sumatera Utara (KKSU) di Arab Saudi meminjamkan uang untuk menebus surat-surat dan paspor agar dia menjadi sah (legal).
Sejak itu, Abdullah bisa bekerja secara legal dan tidak takut untuk dideportasi, meskipun sebelumnya dia memilih dideportasi karena benar-benar tidak punya uang untuk hidup.
Singkat cerita, Abdullah bekerja di Panitia Penyelengara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi, sebuah lembaga yang mengurus ibadah haji di bawah KBRI. “Selama empat tahun saya bekerja di situ, akhirnya utang-utang kepada orang yang membantu saya untuk menebus paspor itu bisa lunas,” kata Abdullah.
Ketika menjadi petugas haji, Abdullah secara otodidak terus mengembangkan wawasan keislamannya. Berbagai buku dia baca untuk menambah pengetahuan tentang Islam. Diskusi dengan ulama Arab Saudi tak pernah dilewatkan.
Pemahaman tentang Islam terus bertambah seiring dengan waktu. Hingga suatu saat, dia mengkritik cara kerja Departemen Agama dalam penyelenggaraan haji.
Keluar dari PPIH, Abdullah bekerja di travel Malaysia sebagai pemandu jama'ah haji plus. Hanya setahun di situ, Abdullah pindah ke perusahaan travel Indonesia sebagai muthawwif. Kini, mantan aktivis Kristen itu menikmati kehidupan yang damai dan indah sebagai ustadz di Makkah.
Dari Republika Online
http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/01/rusman-unri-surbakti-terbuai-lantunan-ayat-suci
Tidak ada komentar:
Posting Komentar