Minggu, 25 Juli 2010

Chan Hok Bie : Nekat karena Tak Punya Ketetapan Agama

Penulis : Indra Widjaja

Nama saya Chan Hok Bie. Menilik nama saya, tampak jelas bahwa saya WNI keturunan. Papa saya bernama Chan Po Liem, sedangkan mama bernama Lim Bing Mio. Saya lahir di Royal Tanjung Wangi, Jakarta Utara, pada tahun 1958. Sebelum mama menikah dengan papa, mama pernah menikah dan mempunyai tiga orang anak dari suami terdahulu. Kemudian mama menikah dengan papa dan mempunyai dua orang anak, yaitu saya sebagai anak tertua dan adik saya, juga laki-laki.

Kami hidup di lingkungan masyarakat yang majemuk, baik budaya maupun agamanya. Orangtua saya pemeluk agama Budha fanatik. Saya sendiri, meskipun menyatakan sebagai pemeluk agama Budha, namun tak pemah tahu seluk beluk ajaran Budha. Kitab suci Budha pun tak pernah saya sentuh.

Selain itu, kalau melihat cara mereka (umat Budha) melakukan ibadah, memang membutuhkan banyak biaya. Keadaan yang demikian membuat nalar saya berjalan. "Bagaimana bila saya beribadah seperti papa, sedang cara itu setengah dipaksakan?" kata saya membatin. Terbayang dalam benak saya segala sesuatu yang harus dibeli bila saya mengikuti ajaran yang dilakukan mama dan papa. Sedangkan, papa saya hanya bekerja sebagai buruh.

Menginjak kelas satu SMP, mama saya meninggal dunia. Sejak itu kehidupan saya terkatung-katung tak menentu. Saya juga mulai berpikir, agama apa yang harus saya pegang? Sekolah saya pun kandas di tengah jalan. Untuk menopang kehidupan sehari-hari, terpaksa saya ikut papa bekerja di toko mebel kepunyaan orang lain. Tekad saya waktu itu, jangan sampai sekolah adik saya pun ikut terputus di tengah jalan (drop-out). Tetapi, kendala tetap saja menghadang.

Dengan situasi dan kondisi yang tak menentu itu, saya masih tetap menekuni pekerjaan. Dan untuk mengubah nasib, saya pun membuat SIM (Surat Izin Mengemudi). Setelah itu saya melamar kerja pada sebuah perusahaan swasta dan diterima hingga sekarang. Sebetulnya saya ingin mandiri dan berwiraswasta, tapi apa daya, karena faktor modal, mau tak mau saya jalani saja pekerjaan yang sekarang ini.

Hari berganti begitu cepat. Tak terasa sepuluh tahun sudah saya bekerja. Sebagai laki-laki normal, saya berniat berumah tangga. Pada tahun 1980 saya berkenalan dengan seorang wanita muslimah. Seketika hati kecil saya berkata, "Barangkali inilah jodoh saya."

Hubungan kami pun semakin akrab. Kurang lebih setahun bergaul dengannya, saya pun diperkenalkan kepada keluarganya. Ternyata hambatan menghadang niat saya. Keluarga pacar saya itu menginginkan calon suami yang seiman. Akhirnya keinginan tersebut saya turuti. Kebetulan saya memang sudah mantap berniat masuk Islam.

Sebelum pernikahan berlangsung, saya sampaikan niat saya masuk Islam pada papa. Alhamdulillaah, papa menyetujui niat saya itu asalkan saya tetap konsisten (istiqamah) pada agama yang baru (Islam).

Menjelang akad nikah, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat serta memenuhi persyaratan sebagai seorang muslim. Saya diislamkan oleh seorang labai di Desa Kalijati, Subang, Jawa Barat. Saya sudah lupa nama orang yang mengislamkan saya itu. Apakah ia masih ada (hidup) atau tidak, sampai sekarang pun saya tak tahu.

Sejak sebelum masuk Islam pun saya memang tak gampang terpengaruh atau terbujuk oleh bujuk rayu teman atau pun lingkungan. Saya punya prinsip, termasuk dalam menentukan soal agama. Saya pun berusaha menghindari hal-hal yang bersifat negatif. Banyak manfaat yang saya dapatkan setelah saya resmi masuk Islam.

Pertama, saya banyak mendapatkan saudara seiman sebagai ganti kaum kerabat saya yang kini berpencar. Kedua, Islam itu agama yang mudah dipahami dan dipelajari. Alhamdulillaah, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hubungan saya dengan istri jarang cekcok. Kami dikaruniai tiga orang anak. Saya berharap salah satu dari mereka nanti ada yang belajar di pesantren.

Insya Allah, keinginan saya juga tidak muluk-muluk, asal anak-anak dapat pendidikan yang layak menurut kesanggupan saya. Saya sandarkan semua persoalan kepada Allah SWT. Saya ingat akan sebuah firman Allah dalam Al-Qur'an yang pada intinya menegaskan bahwa Allah akan melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, dan Dia (pula) yang menyempitkan.

Kini, adik saya telah mengikuti jejak saya masuk Islam. Tinggal papa yang telah memasuki masa uzur, belum memeluk Islam. Saya senantiasa berdo'a, semoga kebenaran Islam menerangi hatinya. Saya tidak bisa memaksa meski papa adalah orangtua saya sendiri. Saya bersyukur, sebab bisa merasakan nikmatnya iman dan Islam yang tak dapat ditukar dengan apapun.

Dari mualaf.com

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/08/chan-hok-bie-nekat-karena-tak-punya-ketetapan-agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar