Minggu, 13 Juni 2010

Ramadhan Pertama Imani, Gadis Srilanka

Oleh: M. Syamsi Ali, M.A.

Dua minggu menjelang Ramadhan the Islamic Forum seperti biasanya padat dengan peserta dialog. Sebagian besar memang adalah para muallaf dan non Muslim yang sudah beberapa bulan belajar Islam. Salah satu dari non Muslim itu adalah seorang gadis yang hampir saja kusangka gadis Aceh atau Bangladesh. Wajah dan postur tubuhnya nampak jauh lebih muda dari umurnya yang ke-23. Sangat pendiam dan sopan, tapi sangat kritis dalam mempertanyakan banyak hal.

Hari itu saya memang menjelaskan makna-makna spiritual dari ibadah puasa. Penjelasan saya terkonsentrasi pada kata “taqwa” yang didetailkan kemudian oleh Surat Ali Imran, “Dan bersegeralah ke magfirah Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu yang senantiasa memberi, baik dalam keadaan senang maupun susah, menahan marah dan memaafkan manusia. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat kepada Allah dan mereka memohon ampunan dariNya atas dosa-dosa mereka…”

Siang itu penjelasan saya memang banyak berkisar pada makna “takwa” dalam konteks “ihsan“. Bahwa membangun ketakwaan tidak sekedar dilakukan lewat pendekatan formal hukum, tapi yang menjadi inti sesungguhnya adalah kemampuan membangun “relasi spiritual” dengan Ilahi. Simbol keberagamaan (aspek-aspek formal agama) tidak menjamin ketinggian keberagamaan (religiusitas) seseorang. Tapi banyak ditentukan oleh, selain benar secara hukum formal, juga benar secara batin. Biasanya hukum formal ini terkait erat dengan masalah-masalah fiqhiyah, dan hukum batin ini terkait dengan kesadaran jiwa di saat melakukan penghambaan (ibadah).

Maka, puasa sebagai salah satu pilar Islam dan ibadah yang sangat mulia sarat dengan makna-makna spiritualitas. Bahkan puasa dikenal sebagai ibadah yang paling “pribadi” antara seorang hamba dan Rabb-nya, yang karenanya akan secara langsung diberikan pahalanya oleh Dia sendiri. “Kullu amali ibni Adam lahu illa as Siyaama. Fainnahu lii wa ana ajzi bihi, semua amal anak cucu Adam adalah miliknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milikKu dan Aku yang akan memberikan pahalanya sendiri.” (Hadits Qudsy).

Tanpa terasa penjelasan itu memakan waktu lebih dari satu setengah jam. Sebagaimana biasa, saya kemudian memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan komentar jika ada. Beragam pertanyaan yang diajukan oleh para peserta. “Nampaknya, Islam dan agama-agama lainnya tidak jauh berbeda,” komentar salah seorang peserta non Muslim. “I used to think that Islam is all about laws, do this, don’t do that etc.,” komentar yang lain.

Seorang gadis yang ada di ruangan itu, yang sejak awal diam dan juga jarang memperlihatkan senyum, tiba-tiba angkat suara. Suaranya pelan dan hampir tidak kedengaran. “Do you believe in the incarnation?” tanyanya lembut. “Before I respond to your question, can you explain to me, what do you know about the incarnation?” kata saya.

Dia kemudian berbicara cukup panjang mengenai konsep inkarnasi dalam pandangan agama Budha. Penjelasannya cukup menarik, dan terkadang dibumbui pula dengan argumentasi rasional. Oleh karena tidak ada yang menyangka kalau gadis itu beragama Budha, hampir semua terheran-heran di saat dia mengatakan, “In my belief Buddhism.” Saya pun memotong langsung dan bertanya, “Sister, may I ask you a personal question?” “Yes, Sir!” jawabnya. “Are you a Buddhist?” tanya saya. “Yes, Sir. My mom is a strong follower of Buddhism, but my dad doesn’t really care about religion,” jawabnya.

Dia memang nampak canggung menjawab pertanyaan itu. Tapi nampaknya pula bahwa dia adalah seseorang yang berani. “So, when we talk about religion, what do you mean by that word (religion)?” pancingku. “I really don’t know. But as far as I know, we Buddhists neither we believe in religion nor in god,” jelasnya. “So in what do you have faith?” tanyaku lagi. “Basically the center of our faith is in the nature itself. And we the people are the center of the nature,” katanya lagi.

Mendegarkan penjelasannya itu, saya teringat bahwa memang agama Budha itu tidak lebih dari sebuah filsafat sebenarnya. Memang tidak mudah menjawab argumentasi mereka, sebab mereka sama sekali terputus dari konsepsi agama samawi. Jikalau berdialog dengan orang-orang Yahudi melalui kitab-kitab suci dan para nabi, demikian juga dengan umat Kristen, terhadap mereka ini harus murni mdmakai pendekatan filosofis semata.

Saya tiba-tiba teringat dengan Kumar, seorang pemuda Bangladesh beragama Budha yang masuk Islam beberapa waktu lalu. Saya juga tiba-tiba teringat dengan Nagakawa, seorang pendeta Budha yang seringkali saya temui dalam beberapa pertemuan antar-agama (interfaith). Terbayang kegalauan mereka dalam melihat makna kehidupan ini. Mereka tidak tahu asal, dan juga tidak sadar ke mana mereka berjalan. Pencarian spiritualitas mereka hanya sebatas “pemenuhan kebutuhan spiritualitas sesaat“. Inilah yang menjadikan Dalai Lama menjadi sangat populer di AS, tentu juga karena ada kepentingan politik Amerika terhadap China.

“Let me ask you a question,” saya memulai diskusi itu lagi. Dia mengangguk. “Do you pray or supplicate?” tanya saya. “Yes, in fact my mother pray every day at home,” jelasnya. “Now, here is the point,” kata saya. “If you believe in the nature, worship the nature, and you are the most important part that nature, to whom do you address your prayers or supplications?”

Dia mulai tersenyum sambil menengok ke teman-teman lain yang ikut tersenyum ketika itu. “I don’t know. But as I heard, we pray towards the nature itself. According to Buddhism, this nature has power,” jelasnya. “But if you are an important part of this nature, and in fact you yourself the center of that nature, then basically you pray to your own self,” jelas saya. “And if so, what is the point of asking to your own self? If you have that power, then what is the need to ask?” tanya saya.

Para peserta nampak tertawa mendengarkan pertanyaan-pertanyaan saya tersebut. Sementara sang gadis itu nampak bingung dan hanya tersenyum mendengarkan semua itu. “Sister, in our religion God is the center of all issues,” lanjutku. Saya kemudian berusaha menjelaskan bahwa agama itu bukan sekedar pemenuhan kebutuhan spiritualitas sesaat, melainkan konsep kehidupan. Bahwa spiritualitas memiliki tempat penting dalam agama, namun tanpa Tuhan, konsep spiritualitas seperti itu bersifat semu.

Saya kemudian menjelaskan panjang lebar kehidupan Hollywood yang penuh dengan kegemerlapan duniawi. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada akhir kehidupan para artis itu. Kalau tidak terjebak pada kehidupan “hedonistis” tanpa ujung, atau mereka akan terjebak kepada pencarian spiritualitas yang illutif.

Pada akhir penjelasan itu, tiba-tiba gadis itu berkata, “It does make sense!” Saya menimpali, “True religion does make sense. And Islam does make sense,” jelasku.

Kelas hari itu pun bubar. Tapi tanpa terlupakan saya pinjamkan gadis itu sebuah buku perbandingan Islam dan Buddha tulisan Harun Yahya dan sebuah Al-Qur’an terjemahan.

Dua hari kemudian, hari Senin, ketika saya tiba di kantor di pagi hari, tiba-tiba gadis itu sudah berada di ruangan resepsionis Islamic Center. “Hi, how are you?” sapa saya. Tanpa memperlihatkan senyum sedikitpun gadis tersebtt menjawab, “Hi, I am fine.” Rupanya resepsionis menimpali bahwa dia sudah menunggu dari pagi. Maka segera saya ajak dia masuk ke ruang pertemuan.

“What I can do for you this morning?” tanyaku. “My mom took all my books,” katanya. “Why?” tanya saya. “She doesn’t want me to read those books, but I am really interested to know,” jawabnya. “It’s fine, that may cause you mom to study and know this religion too. I will give you some other books,” kata saya.

Tanpa panjang lebar, saya kemudian menjelaskan Islam kepadanya. Saya memulai dari hakikat kehidupan, kedudukan manusia, dan bagaimana kebutuhan manusia kepada Yang Maha Dzat, Allah swt. Selama saya menjelaskan itu, beberapa kali saya harus mengulangi karena beberapa terminologi yang sama sekali asing baginya. Tapi akhirnya tampak wajahnya puas.

“Anything else in your mind that you want to clarify or further to ask?” tanyaku. Dia hanya menggelengkan kepala. “So, what do you think about the religion?” tanyaku lagi. Dengan sangat pelan, dia menjawab, “I feel that Islam is quite rational and it does make sense to me,” katanya. “I like it!” lanjutnya.

Mendengar itu, saya segera memancing. “So, you are certain that the religion is the true one.” “I think so,” jawabnya. “If you are still thinking that it’s true, it means you are not certain yet,” kataku. Seraya tersenyum dia menjawab, “No, I am sure about it,” tegasnya.

“Does it mean that you believe in Islam? Do you believe in God?” tanya saya. “Yes, I am sure God does exist, and sure that we need Him in our life,” katanya. “Ok, if I say to you, are you willing to embrace Islam, are you ready?” tanyaku. Dengan sedikit menunduk, tampak seperti ragu, namun dengan mantap dia mengatakan, “Yes!”

Saya kemudian menjelaskan enam rukun Iman dan lima rukun Islam. Juga sedikit saya jelaskan kaitan Islam dengan kehidupan nyata manusia. “Any question before taking your shahadah?” tanyaku. Dia hanya menganggukkan kepala.

Saya kemudian menelpon resepsionis untuk memanggil dua saksi. Maka disaksikan oleh dua saksi di pagi hari itu, gadis belia ini mengucapkan, “Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah- wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” diikuti pekikan takbir kedua saksi itu.

Alhamdulillah, gadis yang kemudian memilih nama barunya “Imani” ini sudah mulai berpuasa Ramadan lalu. Sayang, dia baru tahu kalau Ramadan sudah masuk setelah 10 hari Ramadan berlalu. Maka di bulan Syawal lalu, dia berusaha mengganti puasanya yang tertinggal ditambah puasa 6 hari Syawal.

Sekitar 2 minggu lalu, Imani silaturrahmi ke rumah kami pada acara “open house” kami. Tapi setibanya siang itu di rumah kami, dia tidak makan. Rupanya dia sedang berpuasa sunnah Syawal. Maka kami ajak dia untuk tinggal sampai berbuka puasa. Setelah berbuka puasa, Imani pamitan pulang. Tapi karena sudah gelap dan akhir pekan yang biasanya subway tidak terlalu lancar, kami ajak Imani menginap di rumah kami.

Di saat silaturrahim itu, betapa gembira Imani ketika bertemu dengan keluarga Srilanka yang putranya menikah dengan wanita Indonesia. Imani merasa mendapatkan keluarga barunya. Dan pagi hari, selepas shalat subuh Imani meninggalkan rumah sambil berpesan kepada anak kami, “Tell your mom, dad, thank you so much for your hospitality and the delicious dinner.”

Hari Sabtu lalu, dengan suara pelan Imani berbisik, “I hope I can find a husband who can teach me reading Arabic (Qur’an).” “Insha Allah, Sister. May Allah make it easy for you and we will do help you in any way possible,” kataku. Baru ketika itu juga saya tahu kalau Imani sudah berumur 23 tahun dan sudah tahun ketiga di salah satu college yang berafiliasi dengan Columbia University di New York.

Semoga Imani akan selalu dilindungi dalam naungan iman hingga akhir perjalanan hidupnya menuju Rabbnya.

New York, 31 Oktober 2007.

http://www.dakwatuna.com/2007/ramadhan-pertama-imani-gadis-srilanka/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar