Minggu, 13 Juni 2010

Aku Ingin Mati Berkain Kafan

“Anda mungkin berhasil membungkam satu orang, tapi gelombang protes dari seluruh dunia akan bergema, di telinga Anda sepanjang sisa hidup Anda, hai Mr Putin. Semoga Tuhan memaafkan apa yang telah Anda lakukan, tak hanya kepada saya, tapi kepada negeri Rusia tercinta dan rakyatnya,” kata Alexander Litvinenko bekas mata-mata Rusia FSB itu dalam pernyataannya, yang dibacakan temannya di luar rumah sakit, tempat ia meninggal.

Alexander Litvinenko bukan lagi seorang mata-mata Rusia. Namun, hidupnya berakhir bagai dalam sebuah kisah mata-mata.

“Aku seorang mantan letnan kolonel di FSB—badan intelijen Rusia yang merupakan kelanjutan KGB Soviet. Aku ayah tiga anak berusia 43 tahun. Tahun 1998 aku secara terbuka menuduh para atasanku memberi komando untuk membunuh jutawan Boris Berezovsky. Sejak 1999 selama sembilan bulan dia dipenjara atas tuduhan menyalahgunakan jabatan. Dia kemudian dibebaskan dan tahun 2000 meminta suaka di Inggris, di mana Berezovsky kini juga tinggal dalam pengasingan”.

“Tahun 2003 aku menulis buku yang menuduh FSB melakukan pengeboman di Rusia tahun 1999—dan sejak tanggal 1 oktober 2006 baru lalu aku resmi menjadi warga negara Inggris.”

“Pada tanggal 1 November 2006 aku mengadakan dua pertemuan sekaligus. Yang pertama dengan seorang Rusia dan seorang lagi Andrey Logovoy, seorang mantan rekan di FSB yang kini menjadi pengusaha. Kemudian aku makan malam dengan seorang ahli keamanan Italia, Mario Scaramella, untuk membicarakan kasus terbunuhnya Politkovskaya seorang wartawati Rusia. Pada pertemuan pertama itulah aku mencurigai ada hubungan dengan peracunan terhadap diriku.”

“Aku yakin telah diracun pada tanggal 1 November saat sedang melakukan investigasi atas pembunuhan wartawati Anna Politkovskaya, seorang pengkritik orang nomor satu di Rusia Vladimir Putin”.

“Beberapa jam aku kehilangan kesadaran, aku telah dibungkam oleh Kremlin karena aku telah mengancam untuk mengungkap fakta-fakta yang memalukan. Para bajingan itu telah menemukanku, tetapi mereka tidak akan mendapatkan semua orang,”

“Berhari-hari aku dirawat intensif dan menjalani berbagai tes medis. Rambutku rontok, tenggorokanku bengkak, sistem kekebalan dan sarafku rusak berat. Dokter mengatakan aku menderita gagal jantung.”

“Satu-satunya logika adalah pembalasan dendam, mereka menganggap aku seorang musuh…aku dituduh sebagai seorang pengkritik rejim Putin yang tak kenal lelah,”.

“Saya tidak bisa menggunakan kata lain: mereka menghabisi satu persatu dari kami. Ini adalah sebuah pembunuhan yang sangat profesional dan sangat sadis,” kata Nekrasov teman Litvinenko.

Alexander Litvinenko mengaku bahwa ia pernah dianiaya oleh orang dari agen rahasia Rusia dalam interogasi terakhir jauh–jauh hari sebelum akhirnya dirinya diracun dengan bahan radioaktif.

“Ketika intelijen ingin menempatkan orangnya di kekuasaan, mereka terbiasa dan terlatih menggunakan metode teroris,” kata Litvinenko dalam suatu rekaman yang diperoleh ITV News.

“Realitas dalam politik yang kita dapatkan, metode utama yang mereka gunakan adalah terorisme — seperti pemboman apartemen di Moskow atau meracuni seorang kandidat presiden di Ukraina,” katanya kepada seorang penyelidik Italia Februari tahun 2006.

“Pertama, agen rahasia Rusia ingin memenjarakanku. Kemudian aku diancam dengan akan dibunuhnya anak laki-lakiku yang berusia enam tahun. Temanku dan istrinya ditembak hingga tewas di jalan menuju rumahnya. Sejak itu penyiksaan terhadapku makin intensif — sebuah bom dilempar melalui jendela rumahku,” katanya. “Saya telah dianiaya.”

Litvinenko ingin rekaman ini tetap dirahasiakan karena mengkhawatirkan nyawanya, dan karena rekan-rekannya, termasuk Anatoly Trofimov, telah dibunuh.

Trofimov, wakil direktur FSB dan ketua agen rahasia untuk kawasan Moskow hingga dipecat oleh mantan presiden Rusia Boris Yeltsin tahun 1996, dan istrinya dibunuh setelah dua pria menembak mereka dari sebuah mobil di jalanan utara kota Moskow April 2005.

Litvinenko juga mengatakan dalam rekaman itu bahwa Perdana Menteri Italia Romano Prodi punya kaitan dengan agen-agen rahasia Rusia, yang mana ia mengacu pada KGB, yang pasca bubarnya Soviet menjadi FSB.

“Trofinmov tidak secara tegas mengatakan bahwa Prodi adalah agen KGB, karena KGB menghindari penggunaan istilah tersebut,” katanya kepada penyelidik.

“Ia mengatakan bahwa Prodia adalah orang KGB. Bahwa KGB bersama Prodi, melakukan beberapa operasi rahasia dan kotor di Italia. Pemahaman saya adalah bahwa Prodi bekerja untuk KGB,” kata Litvinenko.

Kasus kematian mantan agen spionase Rusia, Alexander Litvinenko, menimbulkan heboh besar, lebih-lebih karena Kremlin dispekulasikan terlibat. Heboh bertambah besar karena kematian Litvinenko hanya berselang sekitar satu bulan setelah kasus pembunuhan wartawan Rusia, Anna Politkovskaya, yang dikenal sebagai pengkritik keras kebijakan Presiden Vladimir Putin yang represif atas pemberontakan di Chechnya.

Racun tampaknya menjadi alat mematikan yang paling disukai pihak intelijen. Masih ingat kasus racun arsenik yang membunuh tokoh hak asasi manusia, Munir, di atas pesawat menuju Belanda pada 2004? Kasusnya belum terungkap sampai sekarang. Kini giliran mantan agen rahasia Rusia, Alexander Litvinenko, yang mati juga karena racun.

Para pakar yakin kasus pembunuhan Litvinenko ini melibatkan pengetahuan ilmiah yang lumayan tinggi. Soalnya, racun yang ditemukan dalam dosis tinggi di tubuh Litvinenko adalah bahan radioaktif polonium-210 dosis tinggi yang sukar diperoleh.

Jejak radiasi ditemukan di lima lokasi di seputar London setelah kasus itu terjadi, termasuk sebuah restoran sushi dan hotel yang dikunjungi bekas agen rahasia yang tinggal di Inggris itu. Yang menjadi misteri adalah unsur radioaktif itu amat sulit diperoleh dan sulit dideteksi.

Memang polonium-210 bisa diperoleh secara alami di sekitar kita, bahkan dalam tubuh. Cuma, dalam jumlah teramat kecil dan tidak mematikan. Untuk memperoleh racun temuan Marie Curie–yang namanya diambil dari negaranya, Polandia–itu dalam dosis yang mematikan, diperlukan keahlian dan koneksi level tinggi.

Profesor Nick Priest, satu dari sedikit ilmuwan Inggris yang pernah menangani unsur beracun itu, menyatakan cukup satu miligram polonium-210 untuk membunuh bekas mata-mata itu. Masalahnya, untuk memproduksi polonium-210 sejumlah itu, dibutuhkan sebuah reaktor nuklir.

Sebenarnya ada tiga cara untuk membuat polonium-210. Langsung diekstrak dari batuan yang mengandung uranium radioaktif, dibuat dalam reaktor nuklir, atau dipisahkan secara kimiawi dari radium-226. Namun, polonium-210 yang dihasilkan dari metode ekstraksi uranium tidak cukup untuk membunuh Litvinenko. “Agar menghasilkan jumlah yang diperlukan, Anda butuh reaktor nuklir,” katanya.

Para ilmuwan memperkirakan jumlah fasilitas reaktor yang sanggup menghasilkan polonium-210 di seluruh dunia tidak banyak. Hanya ada beberapa laboratorium yang bisa membuat racun itu, termasuk sejumlah fasilitas nuklir di berbagai negara bekas Uni Soviet dan negara lain, seperti Australia dan Jerman. “Hanya ada satu reaktor di Inggris yang sanggup memproduksinya, tapi saya yakin mereka tidak membuatnya,” kata Priest.

Alternatif lain, polonium-210 itu dibeli dari penyalur komersial. Chris Lloyd, seorang konsultan perlindungan radiasi, mengatakan radioaktif ini biasanya dipakai dalam peralatan kendali listrik statis, tapi tidak dalam bentuk yang bisa dipakai sebagai racun.

Polonium, bersama unsur beryllium, pernah dipakai sebagai pemicu neutron dalam bom atom yang diproduksi Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Radioaktif ini juga pernah dipakai sebagai sumber panas wahana antariksa Soviet, Lunokhod Moon, pada 1970-an.

Dugaan keterlibatan pihak intelijen Rusia semakin kuat karena unsur ini sulit terdeteksi, bahkan sempat disangka racun thallium, yang lebih umum. “Jika dimasukkan dalam gelas atau cangkir kaleng, Anda tak akan bisa mendeteksinya dari luar,” kata Frank Barnaby, konsultan nuklir di Oxford Research Group. “Hal ini yang membuat polonium-210 cukup ideal menjadi racun.”

Walaupun sudah mengetahui penyebab matinya Litvinenko, pihak berwajib masih bertanya-tanya kapan dan bagaimana bekas intel Rusia itu diracun, karena penanganan radioaktif ini cukup rumit. Sekali wadah penyimpannya terbuka, partikel polonium-210 cenderung menguap dan mengkontaminasi lingkungan sekitarnya.

Para detektif Inggris yakin zat radioaktif yang membunuh mantan mata-mata yang baru memeluk Islam, membutuhkan biaya lebih dari 10 juta dollar AS (sekitar Rp91 milyar).

Harian The Times edisi Senin pagi (18/12) menyebutkan bahwa kesimpulan awal hasil otopsi mayat Litvinenko menunjukkan kadar polonium-210 sebanyak 10 kali lipat dari dosis mematikan, sebagian besar ditemukan di cairan urine.

Sebagaimana diketahui, Litvinenko dikabarkan jatuh sakit pada 1 November dan meninggal 23 November. Beberapa temannya menyebut Kremlin berada di balik pembunuhan itu, namun Russia berulang kali menolak telah terlibat dalam kasus kematian mantan mata-matanya itu.

“Anda tidak dapat membeli dalam jumlah sebanyak ini dari internet maupun mencuri dari laboratorium tanpa menyebabkan kehebohan, jadi hanya dua kemungkinan yaitu dari reaktor nuklir atau punya hubungan sangat erat dengan penyelundup di pasar gelap,” kata seorang sumber keamanan Inggris kepada harian tersebut.

United Nuclear Scientific Supplies yang bermarkas di New Mexico dan merupakan satu dari sedikit perusahaan yang boleh menjual polonium-210 di internet, mengatakan butuh 15 ribu unit isotop itu untuk membunuh satu orang.

Setiap unit harganya 69 dolar, berarti dibutuhkan biaya lebih dari satu juta dolar untuk membuat satu dosis yang mematikan dan lebih dari 10 juta dolar untuk dosis yang telah membunuh Litvinenko, tulis harian itu.

Alexander Litvinenko memang telah menemui Sang Khalik. Walaupun racun polonium-210 telah memutus hidupnya. Namun perjalanannya menuju alam akhirat telah dimulai dengan sesuatu yang revolusioner. Dia bersyahadat untuk menyatakan keislamannya. Penderitaan yang teramat sangat telah ditebus dengan kematian yang husnul khatimah. Islam telah menghantarkannya ke negeri akhirat dengan damai.

Upacara pemakamannya dilakukan secara rahasia yang dihadiri sedikitnya 30 kerabat dekat Litvinenko. Upacara pemakaman dilangsungkan di kawasan utara London. Upacara terpisah untuk menghormatinya yang terakhir kali juga diselenggarakan di Masjid Taman Regent, London. Sesuai keinginannya agar prosesi pemakamannya diselenggarakan sesuai dengan syariat Islam.

Ayah Litvinenko, Walter, dilaporkan menghadiri upacara di masjid tersebut bersama pentolan pejuang Chechnya, Akhmed Zakayev. Kerabat Litvinenko mengatakan, ayah tiga anak itu sudah menjadi Muslim sebelum meninggal. Hal yang sama diungkapkan Walter kepada Radio Free Europe, beberapa waktu lalu. “Litvinenko masuk Islam dua hari sebelum ajal menjemput,” kata Walter.

http://www.dakwatuna.com/2007/aku-ingin-mati-berkain-kafan-5/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar