“Aku sangat terkejut dan sedih. Kasihan mereka. Pikiran mereka sudah dicekoki peradaban batu. Seperti kebanyakan orang Barat yang lain, aku beranggapan bahwa Islam menindas kaum wanita dan kerudung adalah bukti simbol penindasan itu.”
“Coba bayangkan, empat tahun kemudian, sungguh mengejutkan! Ketika aku berdiri terpaku di depan cermin, melihat bayanganku sendiri berpakaian seperti wanita yang tertindas itu!”
Begitulah Dr. Katherine Bullock, menulis dalam sebuah artikel ‘Bagaimana aku memeluk Islam’. Peristiwa itu dia alami pada 1991, ketika berada di depan TV menonton berita mengenai wanita Turki yang dikatakan kembali ke zaman dulu karena mengenakan kerudung.
Dia kemudian menemui orang-orang Islam di Queen’s University, Kingston, Ontario, Kanada. Perlu diketahui, populasi kaum Muslimin di Kanada mencapai 32.8 juta orang. Dan Islam telah menjadi agama kedua tercepat setelah Kristen. Penelitian terbaru menunjukkan, umat Islam begitu bangga menjadi warga Kanada. Dan mereka lebih terdidik di banding masyarakat umumnya.
Katherine Bullock, perempuan 24 tahun, berpikiran terbuka, liberal dan toleran. Dia merasakan keganjilan saat melihat sekelompok wanita muslimah berjalan di sekitar international centre dan merasa kasihan karena dia pikir mereka wanita yang tertekan. Dan dia semakin merasa kasihan ketika tahu mereka harus menutup rambut dan berlengan panjang di musim panas. Apakah mereka diperlakukan tak adil di negara-negara Islam?
“Kami berjilbab karena ini perintah Tuhan,” begitu jawaban mereka. Kasihan. Bagaimana perlakuan orang kepada mereka di negara-negara muslim. “Sudah budayanya begitu”, Jawab mereka. Aku mengira mereka ditipu, sejak kecil sudah dikondisikan seperti itu. Tapi herannya, mereka hidup bahagia dan ramah.
Aku lalu melihat pria-pria muslim berjalan di sekitar international centre di kampus itu. Bahkan ada yang berasal dari Libia. Aku gemetar, khawatir kalau-kalau mereka akan bertindak buruk kepadaku karena itu “perintah Tuhan.” Aku kecele. Ternyata para pria ini demikian bersahabat, dan tampah teduh dalam suasana benuh persahabatan.
Aneh juga keyakinan mereka. Itu membingungkanku. Lalu kubaca Quran dan tidak kutemukan sesuatu yang istimewa. Kemudian pecah Perang Teluk.Tuhan mana yang menyuruh kaum pria berperang, membunuh rakyat tak bersalah dari negara lain, memperkosa wanita dan apapun perilaku mereka untuk menentang Amerika? Kubaca lagi sebuah buku yang dapat dipercaya. Aku tidak kuat meneruskan membaca karena sangat, sangat tidak suka dengan buku yang menggambarkan adanya Tuhan yang menghancurkan seluruh kota dalam sekejap saja.
Tidak heran bila kaum perempuan agama ini demikian tertekan, dan para pemeluk fanatik kepercayaan ini membakar bendera-bendera Amerika. Tapi kaum Muslim yang kutemui sama sekali tidak seperti yang kukhawatirkan, dan menurut mereka al Quran tidak mengajarkan hal yang seperti itu. Mungkinkah aku salah memahaminya?
Setelah menerawang jauh, akhirnya aku seperti terlontar kembali ke masa kini. Saat imam masih memimpin shalat. Imam pun akhirnya berdiri. Aku ikut berdiri, dan hampir terjatuh karena menginjak rok panjangku. Aku mencoba tak menangis dan memusatkan perhatian untuk berdoa.
“Tuhan Yang Maha Penyayang. Aku berada di masjid ini kaerna aku percaya kepada Tuhan dan karena terbukti Islam merupakan agama yang paling bisa diterima oleh akal manusia dibandingkan dengan agama lain,” kataku. Saat bersujud aku memohon agar Tuhan YME membimbingku mejadi muslim yang baik.
Bayangkan, bagaimana mungkin Kathy, wanita Barat berkulit putih dan berpendidikan beralih keyakinan agama yang katanya menjadikan wanita warga kelas dua saja? Tapi nyatanya muslim di Kingston justru menjadi teman-temanku. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan bersikap ramah, tanpa banyak bertanya. Aku jadi lupa bahwa sebenarnya aku pernah menganggap mereka kelompok manusia yang tertindas dan teroris.
Sebaliknya, mereka seperti bintang yang menyinari perjalanan hidupku. Heran. Apa yang sedang kulakukan? Aku tengah sujud shalat. Lutut dan tanganku pegal. Aku tidak mengerti apa yang diucapkan si imam tapi jamaah lain tampaknya memahami apa yang mereka ucapkan. Maka aku berdoa dengan bahasaku sendiri, meminta Tuhan Yang Maha Esa untuk berbaik hati kepadaku, yang baru dua belas jam lalu menjadi seorang muslim.
Baiklah, God. Aku menjadi Muslim karena aku percaya kepada-Mu. Dan karena Islam adalah agama yang masuk akal bagiku. Wah, omong apa aku barusan? Air mataku mengalir. Bayangkan, apa yang akan dikatakan oleh teman-teman kalau nanti melihat aku bersujud ini? Mereka akan mentertawaiku.
Apa kamu sudah gila? Pasti begitu mereka akan berkomentar. Mereka akan heran betapa aku tiba-tiba saja percaya terhadap agama. Sebelumnya aku atheis. Jadi apa yang kemudian menyebabkan aku berubah lalu percaya akan adanya Tuhan, lalu memeluk Islam?
Aku teringat ketika masih seorang atheis. Benarkah atheis? Suatu malam aku merenung sambil memandang langit bertabur binatang. Aku merasa dikelilingi oleh sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Tiba-tiba aku merasa tenang dan nyaman. Akhirnya aku menyadari bahwa tidaklah mungkin aku melepaskan diri dari perasaan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang lebih besar dari diriku.
Pernahkah meragukan adanya Tuhan? Pertanyaan ini aku lontarkan kepada teman-teman yang beragama Islam maupun Kristen. Tidak, begitu jawab mereka. Hal ini membingungkan aku. Apakah keberadaan Tuhan begitu nyatanya? Kenapa aku tidak melihatnya? Coba, saudara-saudara, jawab pertanyaanku; Bagaimana mungkin Tuhan YME mendengarkan jutaan orang yang sedang berdoa dan memenuhi doa setiap orang? Rasanya tidak mungkin.
Ketika beranjak dewasa, aku rajin ke gereja. Rasanya memalukan karena setahuku masyarakat yang taat beribadah umumnya orang yang membosankan dan berpikiran kolot. Namun langit dan bumi ini tampak tidak masuk akal tanpa penciptanya. Sepulang dari gereja, perasaanku biasanya ringan dan bahagia. Mungkin karena aku telah berkomunikasi dengan Tuhan. Namun perasaan seperti itu telah hilang. Mungkinkah karena aku tidak dekat dengan Tuhan lagi? Tampaknya inilah awal dari perjalananku yang akhirnya membuatku menjadi seorang muallaf.
Semula aku berusaha berdoa lagi sebagai umat Kristiani. Sulit sekali. Aku berusaha belajar mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemudian aku bertemu feminis Kristen dan wanita Muslim. Aku mulai berdoa dan menamakan diriku sebagai “feminis pasca kristen”. Perasaanku ringan lagi dan yakin mungkin Tuhan memang ada. Akupun mulai instrospeksi dan menyadari bahwa segala kejadian yang kualami merupakan berkah dari Tuhan, dan aku tidak cukup berterima kasih kepada Tuhan. Aku merasakagum Tuhan begitu sayang dan baik kepada aku yang tidak setia kepada-Nya.
Dari Al Quran aku belajar bahwa Al Quran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan seringkali merupakan pembuktian dari ayat-ayat dalam Al Quran. Aku mulai kembali rajin ke gereja. tapi apa yang terjadi? Keyakinan Kristen semakin sulit aku pahami bahkan cenderung terasa tidak masuk akal. Terutama ajaran bahwa Yesus adalah anak Allah, dan ajaran menjunjung tinggi bunda Maria dan Yesus ketimbang percaya bahwa Allah Maha Esa. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan untuk menggunakan intelegensiku untuk merenung tentang Allah. Inilah yang mendorongku untuk menambah wawasan pengetahuan.
Keyakinan bahwa wanita muslimah mengalami tekanan rupanya salah. Itu bukan berdasarkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bukankah wanita Muslimah mengenakan jilbab karena mereka percaya janji Allah. Tapi sanggupkah aku menghadapi cemoohan orang? Tuhan tolonglah aku…Tuhan!.
Sampai akhirnya suatu hari di tahun 1994, aku berjalan-jalan bersama suamiku melewati sebuah masjid. Saat itu ada perasaan yang begitu kuat yang mendorong aku untuk segera memeluk Islam.
Dr. Katherine Bullock merupakan salah seorang intelektual Barat yang dengan kesadarannya memutuskan untuk bersyahadat. Keislamannya tidak lepas dari peran kaum muslimin Kanada yang memainkan peran dakwahnya dengan begitu simpatik. Sepanjang tahun 90-an sampai sekarang pertambahan mualaf terus meningkat.
Bahkan pasca 9/11 muncul sebuah tayangan di stasiun televisi nasional Canada, CBC, setiap hari selasa. Serial komedi situasi yang menampilkan karakter dan cerita tentang warga muslim yang mencoba membaur di sebuah kota kecil di Kanada. Serial yang dinamai ini “Little Mosque on the Prairie” atau Masjid Kecil di Padang Rumput.
Episode pertama Little Mosque on the Prairie memuat sejumlah contoh humor pasca 9/11, termasuk adegan polisi di bandara menggelandang sang imam baru untuk diinterogasi setelah percakapan teleponnya mengundang salah tafsir. Kelakar tentang racial profiling dan terorisme.
Kesuksesan sitcom yang menampilkan karakter-karakter muslim ini bergantung pada pandangan kritikus dan khalayak penonton di Kanada. Meski demikian, kabar mengenai acara itu sudah mengundang perhatian dan keingintahuan, terutama dari negara tetangga di selatan, Amerika Serikat. Sejumlah lembaga media berita Amerika sangat tertarik dengan isi acara televisi Kanada ini dan mengirim kru ke negara tetangga yang biasanya tidak begitu mereka perhatikan.
Bukan itu saja bahkan saat ini tengah berlangsung perbincangan sengit di Kanada mengenai batas-batas diperkenankannya warga Muslim menyelesaikan sengketa keluarga, seperti perceraian dan hak pengasuhan anak, menurut syariah, atau hukum Islam. Perbincangan sengit ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1991, saat pemerintah Ontario mulai menerapkan ketentuan yang memberi pemimpin keagamaan, baik Yahudi, Kristen, dan juga Islam, kewenangan untuk menengahi sengketa perdata.
Langkah itu dimaksudkan untuk menggalakkan paham keanekaragaman dan mengurangi beban peradilan. Para pemimpin muslim mengatakan mereka kini menghendaki panel penengahan muslim yang selama ini bersifat tak resmi agar dijadikan pengadilan resmi.
Warga muslim Kanada meyakini bahwa Hukum Islam, seperti penengahan dan arbitrasi berdasar agama, memiliki kelebihan, sebab memberikan cara kerja yang cepat dan murah, untuk menyelesaikan sengketa, dan juga memasukkan faktor penyembuhan ke dalam penahapan. Hal ini tidak bisa diberikan oleh pengadilan biasa. Tidak juga tentang penerapan upaya penengahan dan arbitrasi seperti yang dilakukan di Mesir, atau Pakistan. Tetapi pembahasannya dalam wacana tata hukum Kanada. Dan dapat dirasakan bahwa penengahan dan arbitrasi yang diakui dan diatur lebih baik daripada yang ditemukan selama ini tanpa pengaturan dan pengakuan.
http://www.dakwatuna.com/2007/akhirnya-aku-bersyahadat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar