Minggu, 13 Juni 2010

Aku Bahagia dalam Islam

Keputusan paling besar yang pernah kulakukan dalam hidupku ternyata juga merupakan suatu hal yang luar biasa sederhana. Mengucapkan dua kalimat syahadat ini, kulakukan setahun lalu di depan dua orang saksi. “Aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.”Ucapku, dan mulai saat itu, aku menjadi seorang Muslim.

Antara yakin dan sedikit tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya, Hilary Saunders berusaha untuk menjajaki kembali keputusannya. Mualaf asal Inggris dan wartawati Al Jazeera itu berada dalam kegamangan. Negeri Yordanlah yang akan menjadi saksi keteguhan iman yang telah menjadi pilihannya.

Hingga detik saat mengucapkan syahadat itu, ia masih belum sepenuhnya yakin bahwa itulah yang ingin ia lakukan. “Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar?”

Tetapi nyatanya dia merasakan betapa telah berubah hidupnya. Dia tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, tetapi saat dia mengucapkan kata-kata itu, dia merasakan kebahagiaan dan rasa cinta memenuhi seluruh relung hatinya dan baru empat hari kemudian dia berhenti merasa seakan-akan tengah melayang-layang.

“Aku hampir saja menggambarkan pengalaman batinku itu sebagai coming out, keluar, karena untuk pertama kali suatu bagian penting namun sangat rahasia dari diriku, kini muncul dan diketahui orang lain.”

Prosesi keislamannya barangkali tidak lebih dari sekadar beberapa menit, tetapi itu adalah puncak dari sebuah pencarian yang telah dijalani sepanjang hidupnya. Kedua orangtuanya agnostik—mereka tidak percaya akan adanya Tuhan, dan membesarkannya dan kedua saudara perempuannya tanpa agama supaya mereka bisa memutuskan sendiri bila dewasa nanti.

Sejak kecil dirinya sudah menyadari bahwa dia tengah mencari sesuatu, entah apa. Pada saat-saat tertentu dia bahkan merasa seakan-akan seperti sebuah kapal tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana harus berlabuh. Saat mulai kuliah, Hilary muda mulai meneliti berbagai kepercayaan yang ada. Misalnya, sebuah sistem falsafah yang dikenal sebagai The Work, yang ternyata banyak menyontek Islam, meskipun dia belum tahu ketika itu. Hilary juga meneliti berbagai filosofi new-age, mencoba meditasi Budha, dan membaca berbagai buku pengembangan diri.

Di masa lalu pun hubungan dengan lawan jenis seringkali bermasalah. Suatu kali, sesudah putus dari seorang pacar, dia baca buku karya Robin Norwood yang berjudul Wobel Who Love Too Much. Sebenarnya Hilary sudah pernah membacanya dan dia berpikir buku itu hanya cocok untuk perempuan-perempuan yang terlalu tergantung kepada pacar atau suami yang justru senang memukuli mereka. Tapi kali ini Hilary berpikir. Jangan-jangan, dia pun sama dengan semua perempuan yang diceritakan oleh Robin Norwood itu, maka dia pun mengerjakan semua hal yang disarankan penulisnya.

Buku itu mendorong perempuan untuk mengembangkan spiritualitasnya, mencoba lebih menghargai diri sendiri, dan barangkali juga mengikuti konseling. “Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku karena aku, saat itu, juga sedang mempelajari konsep reliji yang mengajari orang tentang kasih sayang. Benakku penuh dengan pergulatan konsep ketuhanan. Aku terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah secara spiritual.”

Seiring berjalannya waktu, kemudian Hilary mendapatkan pacar seorang pria Muslim. “Sebenarnya sama sekali tidak ada niatku berpacaran dengan seorang Muslim.” Kenang Hilary. Ironisnya, kebetulan saja hal ini terjadi sesudah mereka mabuk-mabukan (bisa dibilang, pria itu adalah seorang muslim yang saat itu tengah khilaf dan melakukan kesalahan).

“Pada saat itu, pengetahuanku nol tentang Islam. Aku tidak pernah punya teman muslim di masa kecil dan remaja, dan hampir semua citra yang kumiliki tentang agama ini negatif. Pada pandanganku, Islam itu kuno, peninggalan jaman kegelapan, sangat menindas dan otoriter terhadap perempuan. Persepsiku bahwa Islam itu sangat anti perempuan menjadi salah satu sumber perdebatan kami. Aku menantang pacarku ketika itu untuk menjelaskan mengapa Islam demikian anti feminis? Aku keluarkan semua argumentasi yang biasa dikemukakan orang di Barat tentang Islam, seperti: “Islam itu mengajari laki-laki untuk merendahkan perempuan. Kalau tidak, kenapa Islam mengizinkan pria memiliki empat orang istri?” Serentetan hujatan nyaris tak bisa dipatahkan pacarnya.

“Jujur saja, semua perdebatan soal Islam inilah yang membuat kami bertahan pacaran selama empat tahun. Dia selalu berusaha mencoba menjawab semua pertanyaanku, dan memberiku rujukan dari Al-Quran dan hadits. Aku mulai membacanya sendiri, dan perlahan-lahan semua pertanyaanku mulai terjawab, sampai aku tersadar bahwa banyak sekali pandanganku yang keliru tentang Islam. Karena sedikitnya pengetahuanku—misalnya tentang bahwa laki-laki boleh beristri empat—aku keliru menyimpulkan.” Hilary mencoba meyakinkan diri.

“Salah satu hal yang juga kalau kusadari adalah bahwa dalam Islam, poligami bukannya didorong dan dipromosikan melainkan ditolerasi. Kadang-kadang memang poligami menjadi kebutuhan. Tetapi selalu ada rambu-rambu penjaganya. Kalau seorang pria menikah namun istrinya tak bisa memberinya anak, maka ia boleh mengambil istri kedua dengan kesepakatan dari istri pertama. (di lain pihak, bila seorang pria tidak bisa memberi anak, maka si istri dapat meminta cerai). Bagiku, ini cara yang lebih baik daripada yang terjadi di barat, yang memungkinkan si suami menceraikan istri tanpa tunjangan apa pun.” Terang Hilary makin mantap.

“Doktrin tentang poligami ini sebenarnya adalah untuk melindungi wanita. Bukan untuk mendorong kaum pria mengumpulkan sekian istri untuk berbangga-bangga. Inilah jenis pertanyaan yang aku lontarkan sendiri, lalu aku perdebatkan sampai kehabisan jawaban sendiri. Misalnya, mengapa perempuan membutuhkan perlindungan pria? Mengapa perempuan tak boleh memiliki lebih dari satu suami? Aku tersadar bahwa seorang perempuan tidak mungkin memiliki empat suami karena tentu akan sulit menentukan siapa ayah anak-anaknya, dan para ayah itu bisa saja lalu berkelahi soal siapa yang harus menunjang kehidupan anak-anak tersebut.” Hilary lalu tersadar, betapa sangat masuk akalnya Islam.

Beberapa waktu kemudian, Hilary dan pacarnya pisahan. Hilary lalu pergi berlibur ke Yordania. Di sanalah dia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Entah bagaimana caranya dia sampai pada keyakinan itu, yang jelas tiba-tiba saja dia yakin sepenuhnya. Di tempat yang sungguh indah itulah Hilary menyaksikan bagaimana cara sesama muslim berinteraksi, seperti apa rasanya mendengar adzan—sungguh -sungguh dia tersentuh karenanya.

Sekembalinya ke Inggris, dia mendaftar ke sebuah kursus mengenal Islam selama tiga hari di Masjid Agung di Regent’s Park, di utara London. Di penghujung hari yang ketiga itulah Hilary memutuskan bahwa sudah tiba waktunya dia bersyahadat.

Pada saat mengikuti kursus itu Hilary mendapat sejumlah teman baik. Tentu saja, sebagian besar sahabat muslimnya ada juga yang mualaf. Tentu, banyak sekali orang masuk Islam di Inggris—sekitar 10.000 dari 1.8 juga Muslim di Inggris adalah mualaf berkulit putih atau Afrika Karibia.

Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah, karena mereka tidak tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim, sulit bagi mereka untuk membangun hubungan antar manusia. Islam tidak mengizinkan pacaran. Islam memerintahkan masyarakat untuk membantu menikahkan orang-orang yang belum menikah.

“Aku sendiri merasa akan ada kendala teknis dari pendekatan ini secara pribadi. Tetapi aku sendiri sangat, sangat ingin menikah dan aku yakin pada akhirnya aku akan mendapatkan seorang suami yang baik, insya Allah.” Ungkap Hilary penuh harap.

Sejak memeluk Islam, Hilary memutuskan untuk berpakaian Islami dan mengenakan Jilbab. Di balik jilbab ada konsep mengenai perlindungan diri dengan berpakaian secara sopan, tidak untuk memamerkan diri atau menarik perhatian lawan jenis, serta mencegah iri hati. Islam menasihati kedua pihak, bukan hanya perempuan, untuk berpakaian sopan.

“Saat pertama kali hendak mengenakan jilbab, aku sempat merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati apa kiranya reaksi orang melihatku.” Itulah bayangan yang selalu muncul di hadapannya. Namun Keyakinan Hilary telah mengikis semua bayangan kelam itu.

“Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku sudah mengambil sebuah komitmen, dan jilbab adalah tanda lahiriah komitmen tersebut. Sesudah mengenakannya, aku merasa sangat aman dan terlindungi. Aku merasa lebih menghargai diriku sendiri. Aku merasa telah menemukan tempatku yang sesungguhnya di dunia.” Allahu Akbar.

http://www.dakwatuna.com/2007/aku-bahagia-dalam-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar