Oleh: M. Syamsi Ali, M.A.
Dua minggu menjelang Ramadhan the Islamic Forum seperti biasanya padat dengan peserta dialog. Sebagian besar memang adalah para muallaf dan non Muslim yang sudah beberapa bulan belajar Islam. Salah satu dari non Muslim itu adalah seorang gadis yang hampir saja kusangka gadis Aceh atau Bangladesh. Wajah dan postur tubuhnya nampak jauh lebih muda dari umurnya yang ke-23. Sangat pendiam dan sopan, tapi sangat kritis dalam mempertanyakan banyak hal.
Hari itu saya memang menjelaskan makna-makna spiritual dari ibadah puasa. Penjelasan saya terkonsentrasi pada kata “taqwa” yang didetailkan kemudian oleh Surat Ali Imran, “Dan bersegeralah ke magfirah Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu yang senantiasa memberi, baik dalam keadaan senang maupun susah, menahan marah dan memaafkan manusia. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat kepada Allah dan mereka memohon ampunan dariNya atas dosa-dosa mereka…”
Siang itu penjelasan saya memang banyak berkisar pada makna “takwa” dalam konteks “ihsan“. Bahwa membangun ketakwaan tidak sekedar dilakukan lewat pendekatan formal hukum, tapi yang menjadi inti sesungguhnya adalah kemampuan membangun “relasi spiritual” dengan Ilahi. Simbol keberagamaan (aspek-aspek formal agama) tidak menjamin ketinggian keberagamaan (religiusitas) seseorang. Tapi banyak ditentukan oleh, selain benar secara hukum formal, juga benar secara batin. Biasanya hukum formal ini terkait erat dengan masalah-masalah fiqhiyah, dan hukum batin ini terkait dengan kesadaran jiwa di saat melakukan penghambaan (ibadah).
Maka, puasa sebagai salah satu pilar Islam dan ibadah yang sangat mulia sarat dengan makna-makna spiritualitas. Bahkan puasa dikenal sebagai ibadah yang paling “pribadi” antara seorang hamba dan Rabb-nya, yang karenanya akan secara langsung diberikan pahalanya oleh Dia sendiri. “Kullu amali ibni Adam lahu illa as Siyaama. Fainnahu lii wa ana ajzi bihi, semua amal anak cucu Adam adalah miliknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milikKu dan Aku yang akan memberikan pahalanya sendiri.” (Hadits Qudsy).
Tanpa terasa penjelasan itu memakan waktu lebih dari satu setengah jam. Sebagaimana biasa, saya kemudian memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan komentar jika ada. Beragam pertanyaan yang diajukan oleh para peserta. “Nampaknya, Islam dan agama-agama lainnya tidak jauh berbeda,” komentar salah seorang peserta non Muslim. “I used to think that Islam is all about laws, do this, don’t do that etc.,” komentar yang lain.
Seorang gadis yang ada di ruangan itu, yang sejak awal diam dan juga jarang memperlihatkan senyum, tiba-tiba angkat suara. Suaranya pelan dan hampir tidak kedengaran. “Do you believe in the incarnation?” tanyanya lembut. “Before I respond to your question, can you explain to me, what do you know about the incarnation?” kata saya.
Dia kemudian berbicara cukup panjang mengenai konsep inkarnasi dalam pandangan agama Budha. Penjelasannya cukup menarik, dan terkadang dibumbui pula dengan argumentasi rasional. Oleh karena tidak ada yang menyangka kalau gadis itu beragama Budha, hampir semua terheran-heran di saat dia mengatakan, “In my belief Buddhism.” Saya pun memotong langsung dan bertanya, “Sister, may I ask you a personal question?” “Yes, Sir!” jawabnya. “Are you a Buddhist?” tanya saya. “Yes, Sir. My mom is a strong follower of Buddhism, but my dad doesn’t really care about religion,” jawabnya.
Dia memang nampak canggung menjawab pertanyaan itu. Tapi nampaknya pula bahwa dia adalah seseorang yang berani. “So, when we talk about religion, what do you mean by that word (religion)?” pancingku. “I really don’t know. But as far as I know, we Buddhists neither we believe in religion nor in god,” jelasnya. “So in what do you have faith?” tanyaku lagi. “Basically the center of our faith is in the nature itself. And we the people are the center of the nature,” katanya lagi.
Mendegarkan penjelasannya itu, saya teringat bahwa memang agama Budha itu tidak lebih dari sebuah filsafat sebenarnya. Memang tidak mudah menjawab argumentasi mereka, sebab mereka sama sekali terputus dari konsepsi agama samawi. Jikalau berdialog dengan orang-orang Yahudi melalui kitab-kitab suci dan para nabi, demikian juga dengan umat Kristen, terhadap mereka ini harus murni mdmakai pendekatan filosofis semata.
Saya tiba-tiba teringat dengan Kumar, seorang pemuda Bangladesh beragama Budha yang masuk Islam beberapa waktu lalu. Saya juga tiba-tiba teringat dengan Nagakawa, seorang pendeta Budha yang seringkali saya temui dalam beberapa pertemuan antar-agama (interfaith). Terbayang kegalauan mereka dalam melihat makna kehidupan ini. Mereka tidak tahu asal, dan juga tidak sadar ke mana mereka berjalan. Pencarian spiritualitas mereka hanya sebatas “pemenuhan kebutuhan spiritualitas sesaat“. Inilah yang menjadikan Dalai Lama menjadi sangat populer di AS, tentu juga karena ada kepentingan politik Amerika terhadap China.
“Let me ask you a question,” saya memulai diskusi itu lagi. Dia mengangguk. “Do you pray or supplicate?” tanya saya. “Yes, in fact my mother pray every day at home,” jelasnya. “Now, here is the point,” kata saya. “If you believe in the nature, worship the nature, and you are the most important part that nature, to whom do you address your prayers or supplications?”
Dia mulai tersenyum sambil menengok ke teman-teman lain yang ikut tersenyum ketika itu. “I don’t know. But as I heard, we pray towards the nature itself. According to Buddhism, this nature has power,” jelasnya. “But if you are an important part of this nature, and in fact you yourself the center of that nature, then basically you pray to your own self,” jelas saya. “And if so, what is the point of asking to your own self? If you have that power, then what is the need to ask?” tanya saya.
Para peserta nampak tertawa mendengarkan pertanyaan-pertanyaan saya tersebut. Sementara sang gadis itu nampak bingung dan hanya tersenyum mendengarkan semua itu. “Sister, in our religion God is the center of all issues,” lanjutku. Saya kemudian berusaha menjelaskan bahwa agama itu bukan sekedar pemenuhan kebutuhan spiritualitas sesaat, melainkan konsep kehidupan. Bahwa spiritualitas memiliki tempat penting dalam agama, namun tanpa Tuhan, konsep spiritualitas seperti itu bersifat semu.
Saya kemudian menjelaskan panjang lebar kehidupan Hollywood yang penuh dengan kegemerlapan duniawi. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada akhir kehidupan para artis itu. Kalau tidak terjebak pada kehidupan “hedonistis” tanpa ujung, atau mereka akan terjebak kepada pencarian spiritualitas yang illutif.
Pada akhir penjelasan itu, tiba-tiba gadis itu berkata, “It does make sense!” Saya menimpali, “True religion does make sense. And Islam does make sense,” jelasku.
Kelas hari itu pun bubar. Tapi tanpa terlupakan saya pinjamkan gadis itu sebuah buku perbandingan Islam dan Buddha tulisan Harun Yahya dan sebuah Al-Qur’an terjemahan.
Dua hari kemudian, hari Senin, ketika saya tiba di kantor di pagi hari, tiba-tiba gadis itu sudah berada di ruangan resepsionis Islamic Center. “Hi, how are you?” sapa saya. Tanpa memperlihatkan senyum sedikitpun gadis tersebtt menjawab, “Hi, I am fine.” Rupanya resepsionis menimpali bahwa dia sudah menunggu dari pagi. Maka segera saya ajak dia masuk ke ruang pertemuan.
“What I can do for you this morning?” tanyaku. “My mom took all my books,” katanya. “Why?” tanya saya. “She doesn’t want me to read those books, but I am really interested to know,” jawabnya. “It’s fine, that may cause you mom to study and know this religion too. I will give you some other books,” kata saya.
Tanpa panjang lebar, saya kemudian menjelaskan Islam kepadanya. Saya memulai dari hakikat kehidupan, kedudukan manusia, dan bagaimana kebutuhan manusia kepada Yang Maha Dzat, Allah swt. Selama saya menjelaskan itu, beberapa kali saya harus mengulangi karena beberapa terminologi yang sama sekali asing baginya. Tapi akhirnya tampak wajahnya puas.
“Anything else in your mind that you want to clarify or further to ask?” tanyaku. Dia hanya menggelengkan kepala. “So, what do you think about the religion?” tanyaku lagi. Dengan sangat pelan, dia menjawab, “I feel that Islam is quite rational and it does make sense to me,” katanya. “I like it!” lanjutnya.
Mendengar itu, saya segera memancing. “So, you are certain that the religion is the true one.” “I think so,” jawabnya. “If you are still thinking that it’s true, it means you are not certain yet,” kataku. Seraya tersenyum dia menjawab, “No, I am sure about it,” tegasnya.
“Does it mean that you believe in Islam? Do you believe in God?” tanya saya. “Yes, I am sure God does exist, and sure that we need Him in our life,” katanya. “Ok, if I say to you, are you willing to embrace Islam, are you ready?” tanyaku. Dengan sedikit menunduk, tampak seperti ragu, namun dengan mantap dia mengatakan, “Yes!”
Saya kemudian menjelaskan enam rukun Iman dan lima rukun Islam. Juga sedikit saya jelaskan kaitan Islam dengan kehidupan nyata manusia. “Any question before taking your shahadah?” tanyaku. Dia hanya menganggukkan kepala.
Saya kemudian menelpon resepsionis untuk memanggil dua saksi. Maka disaksikan oleh dua saksi di pagi hari itu, gadis belia ini mengucapkan, “Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah- wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” diikuti pekikan takbir kedua saksi itu.
Alhamdulillah, gadis yang kemudian memilih nama barunya “Imani” ini sudah mulai berpuasa Ramadan lalu. Sayang, dia baru tahu kalau Ramadan sudah masuk setelah 10 hari Ramadan berlalu. Maka di bulan Syawal lalu, dia berusaha mengganti puasanya yang tertinggal ditambah puasa 6 hari Syawal.
Sekitar 2 minggu lalu, Imani silaturrahmi ke rumah kami pada acara “open house” kami. Tapi setibanya siang itu di rumah kami, dia tidak makan. Rupanya dia sedang berpuasa sunnah Syawal. Maka kami ajak dia untuk tinggal sampai berbuka puasa. Setelah berbuka puasa, Imani pamitan pulang. Tapi karena sudah gelap dan akhir pekan yang biasanya subway tidak terlalu lancar, kami ajak Imani menginap di rumah kami.
Di saat silaturrahim itu, betapa gembira Imani ketika bertemu dengan keluarga Srilanka yang putranya menikah dengan wanita Indonesia. Imani merasa mendapatkan keluarga barunya. Dan pagi hari, selepas shalat subuh Imani meninggalkan rumah sambil berpesan kepada anak kami, “Tell your mom, dad, thank you so much for your hospitality and the delicious dinner.”
Hari Sabtu lalu, dengan suara pelan Imani berbisik, “I hope I can find a husband who can teach me reading Arabic (Qur’an).” “Insha Allah, Sister. May Allah make it easy for you and we will do help you in any way possible,” kataku. Baru ketika itu juga saya tahu kalau Imani sudah berumur 23 tahun dan sudah tahun ketiga di salah satu college yang berafiliasi dengan Columbia University di New York.
Semoga Imani akan selalu dilindungi dalam naungan iman hingga akhir perjalanan hidupnya menuju Rabbnya.
New York, 31 Oktober 2007.
http://www.dakwatuna.com/2007/ramadhan-pertama-imani-gadis-srilanka/
Minggu, 13 Juni 2010
Malaikat Singgah di Kamarku
Ketika shalat Ashar, aku repot menimbang buku tuntunan shalat di satu tangan, sementara tangan yang lain memperbaiki letak kerudungku yang melorot, sambil mulutku terus komat-kamit mencoba menyuarakan doa-doa dalam bahasa Arab, tiba-tiba saja kamarku yang temaram berubah menjadi terang benderang. Aku terkesima dan takjub. Segera aku telepon sahabat Muslimahku dari Irlandia, dan dengan spontan aku berteriak, “Baru saja ada malaikat-malaikat masuk ke kamarku.” Saat itulah aku mantap menjadi muslim.
Subhanallah, Allah menunjukkan betapa manisnya cahaya yang didapatnya setelah melalui usaha yang cukup keras. Tidak mudah, tapi akhirnya Allah menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap seorang hamba. Allah menghendaki sinar terang hatinya setelah sekian lama dinantikan. Betapa ini adalah anugerah kebahagiaan yang tak terlupakan. Cahaya hangat itu akhirnya merasuk hingga terasa dalam aliran darah.
Old Vic Theatre School di Bristol, Inggris, merupakan sebuah tempat yang sangat penting bagi hidup Rafiqa Basel. Pertama, tempat itu mempertemukan dirinya dengan keramahan kaum muslimin padahal bertahun-tahun pencitraan buruk tentang mereka mengendap di kepalanya. Kedua, di tempat itu pulalah dia melakukan sebuah keputusan besar, menjadi muslimah.
Ayahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Jerman saat masih kecil, sementara ibunya meninggalkan Inggris di usia 20-an. Mereka bertemu dan menikah di Afrika Selatan, tempat Rafiqa Basel lahir dan tumbuh.
Pada tahun 1987, Rafiqa Basel datang ke Old Vic Theatre School di Bristol. Sebuah kota dan kabupaten (county) di Inggris serta salah satu dari dua pusat administratif Inggris Barat Daya. Bristol adalah kota terpadat ke-8 di Inggris dan ke-11 di Britania Raya. Dulunya merupakan kota terbesar Inggris ke-2 setelah London, sampai pertumbuhan pesat Liverpool, Manchester dan Birmingham, pada 1780-an.
Rafiqa Basel mempelajari desain, sebelum kemudian bekerja di Mercury Theatre di Colchester. “Kehidupan berteater memang menggairahkan, tapi tanpa aturan-aturan moral sama sekali. Aku seakan hanyut tenggelam dan diombang-ambing kesana kemari. Aku sadari bahwa teater bukanlah lingkungan yang membuatku merasa nyaman. Kegelisahan itu kini kusadari merupakan tanda pencarianku akan sebuah sistem nilai alternatif, yang lebih terkait dengan spiritualitasku.” Tulis Rafiqa dalam surat kepada temannya Aisya.
Pada 1996 dia memutuskan untuk mengambil basic course bidang kesusastraan di London. Saat itulah dirinya mulai banyak bergaul akrab dengan sejumlah Muslim dari Aljazair dan Moroko, dan menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri mereka yang tak dimilikinya. Rafiqa betah sekali menghabiskan waktu bersama mereka, menyiapkan makanan lalu mengobrol panjang lebar.
“Pada saat ini pulalah aku merasakan ketertarikan yang sangat kuat akan Islam. Kuputuskan untuk mulai belajar dan membaca sebanyak mungkin. Aku terlalu takut untuk mencoba masuk ke dalam masjid atau mengenakan kerudung, karena itu kucari buku-buku tentang Islam. Aku juga beruntung dapat berkenalan dengan seorang Muslimah dari Irlandia yang sudah 15 tahun lamanya memeluk Islam.”
Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim. Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari.
Tak akan pernah kulupakan pembicaraan dengannya lewat telepon pada suatu hari di tahun 1998. Kami tengah membuat janji untuk bertemu. “Jangan terkejut kalau nanti kita ketemu ya, karena saya pakai jilbaab, baju panjang,” ujarnya. Aku takut sekali sebenarnya, tapi kupaksakan diriku untuk terus datang. Nyatanya, dengan ramahnya ia mengajakku masuk ke rumahnya, yang kuingat terasa penuh ketenteraman dan kedamaian. Aku ingat ketika itu pikiran yang terlintas di benakku adalah. “Ya, inilah sesuatu yang ingin kukenal lebih banyak.”
Pada Ramadhan di bulan Desember 1998 itu, aku merasa bahwa aku semakin dekat dengan suatu keputusan terpenting dalam hidupku. Tetapi aku juga sadar bahwa memeluk Islam ibaratnya one-way ticket. Aku tidak bisa main-main. Karena itulah kuputuskan untuk berpuasa sebulan penuh lamanya dan membeli sebuah buku kecil, tuntunan shalat. Beberapa kenalanku bersikap skeptis, dan memberitahuku bahwa karena aku bukan Muslim maka semua puasa dan shalatku tidak akan diterima.
Aku terus membaca, sampai dua bulan kemudian sahabatku mengajak pergi ke masjid. Sungguh saat yang sangat mendebarkan hati, namun juga ditandai keyakinan yang berbisik dalam hatiku. “Ya, aku akan baik-baik saja.” Berdesak-desak kami masuk ke ruang kerja Imam di Masjid Regent’s Park, London, untuk mendengarkan penjelasannya. Di hadapan sejumlah sisters, aku menangis. Pada hari itu, di bulan Mei 1999, aku mengucapkan syahadat. Aku kini seorang Muslimah.
Keyakinanku sudah begitu kuat hingga aku terus dengan niatku dan berpuasa sebulan penuh. Di pertengahan Ramadhan itu aku juga mencoba shalat lima waktu sehari. Kugelar sajadah dan kuteteskan air mata bahagia serta syukurku. Nafas yang begitu berat terasa ringan dengan iringan dzikir dan tasbih yang keluar dari mulutku. Aku telah menemukan hidupku yang sesungguhnya.
Namun itu pulalah yang menandai dimulainya sebuah perjalanan yang sungguh tidak mudah. Ini juga yang, belakangan kuketahui, dialami banyak sekali mualaf. Segala sesuatu terasa luar biasa saat kita berjalan menuju Islam, namun begitu kita bersyahadat, mulailah ujian-ujian berat menghadang. Keajaiban yang indah yang kutemukan sebelumnya kini terasa jauh dan tak teraba, dan aku tak tahu bagaimana harus mempertahankannya, padahal aku juga tahu bahwa keragu-raguan yang kini timbul di benakku dapat berarti dosa.
Pada saat itu aku belum mengenakan kerudung, dan meskipun aku sadar bahwa itu suatu hal yang harus kulakukan, aku mesti berhadapan dengan tekanan begitu besar agar segera mulai memakainya. Maka aku mulai berkerudung saat belajar mengaji. Nyatanya, perlahan-lahan aku mulai terbiasa. Meski pekerjaan memaksaku bertemu dengan banyak klien, atau tetap dapat berhijab karena itu adalah hakku sebagai Muslim di Inggris.
Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.
Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku merasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku.
Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang shalih jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Barat, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.
Di tempatku kuliah saat ini, di Central Saint Martins, London. Selama empat tahun ini hanya ada satu Muslimah lain yang berhijab. Tetapi orang-orang di sini memperlakukanku dengan hormat dan menghargai prinsip-prinsip yang mempengaruhi hasil karya seniku. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah, dan seni hanya diciptakan untuk menyembah Allah.
Sampai kini keluargaku masih tinggal di Afrika Selatan, namun kami secara teratur bersilaturahim. Aku juga baru mengetahui bahwa karena proses keislamanku demikian perlahan dan bertahap, keluargaku sudah lama menyadari perubahan ini. Malahan, ayah ibuku mengunjungi seorang pendeta dan menanyakan tentang “agama Islam yang terus menerus dibicarakan anak kami.” Si pendeta menjawab, “Tidak usah cemas. Itu bukan semacam agama aneh… anakmu tidak akan terkena bahaya (karena memeluk Islam).” Sekarang ini aku dapat dengan bebas mendiskusikan Islam dengan anggota-anggota keluargaku.
Aku menemukan Islam karena melihat pancaran kasih sayang pada diri sejumlah muslim yang kutemui, maka inilah pula jalan dakwah yang kupilih—mengajak orang kepada Islam dengan kasih sayang. Insya Allah. Keluarga dan teman-temanku sudah melihat sendiri bahwa aku telah menemukan kedamaian, dan kalau aku bisa menunjukkan hal ini kepada mereka, maka aku yakin mereka pun akan mencari pengetahuan dan jalan mereka menuju Islam.
http://www.dakwatuna.com/2007/malaikat-singgah-di-kamarku/
Subhanallah, Allah menunjukkan betapa manisnya cahaya yang didapatnya setelah melalui usaha yang cukup keras. Tidak mudah, tapi akhirnya Allah menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap seorang hamba. Allah menghendaki sinar terang hatinya setelah sekian lama dinantikan. Betapa ini adalah anugerah kebahagiaan yang tak terlupakan. Cahaya hangat itu akhirnya merasuk hingga terasa dalam aliran darah.
Old Vic Theatre School di Bristol, Inggris, merupakan sebuah tempat yang sangat penting bagi hidup Rafiqa Basel. Pertama, tempat itu mempertemukan dirinya dengan keramahan kaum muslimin padahal bertahun-tahun pencitraan buruk tentang mereka mengendap di kepalanya. Kedua, di tempat itu pulalah dia melakukan sebuah keputusan besar, menjadi muslimah.
Ayahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Jerman saat masih kecil, sementara ibunya meninggalkan Inggris di usia 20-an. Mereka bertemu dan menikah di Afrika Selatan, tempat Rafiqa Basel lahir dan tumbuh.
Pada tahun 1987, Rafiqa Basel datang ke Old Vic Theatre School di Bristol. Sebuah kota dan kabupaten (county) di Inggris serta salah satu dari dua pusat administratif Inggris Barat Daya. Bristol adalah kota terpadat ke-8 di Inggris dan ke-11 di Britania Raya. Dulunya merupakan kota terbesar Inggris ke-2 setelah London, sampai pertumbuhan pesat Liverpool, Manchester dan Birmingham, pada 1780-an.
Rafiqa Basel mempelajari desain, sebelum kemudian bekerja di Mercury Theatre di Colchester. “Kehidupan berteater memang menggairahkan, tapi tanpa aturan-aturan moral sama sekali. Aku seakan hanyut tenggelam dan diombang-ambing kesana kemari. Aku sadari bahwa teater bukanlah lingkungan yang membuatku merasa nyaman. Kegelisahan itu kini kusadari merupakan tanda pencarianku akan sebuah sistem nilai alternatif, yang lebih terkait dengan spiritualitasku.” Tulis Rafiqa dalam surat kepada temannya Aisya.
Pada 1996 dia memutuskan untuk mengambil basic course bidang kesusastraan di London. Saat itulah dirinya mulai banyak bergaul akrab dengan sejumlah Muslim dari Aljazair dan Moroko, dan menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri mereka yang tak dimilikinya. Rafiqa betah sekali menghabiskan waktu bersama mereka, menyiapkan makanan lalu mengobrol panjang lebar.
“Pada saat ini pulalah aku merasakan ketertarikan yang sangat kuat akan Islam. Kuputuskan untuk mulai belajar dan membaca sebanyak mungkin. Aku terlalu takut untuk mencoba masuk ke dalam masjid atau mengenakan kerudung, karena itu kucari buku-buku tentang Islam. Aku juga beruntung dapat berkenalan dengan seorang Muslimah dari Irlandia yang sudah 15 tahun lamanya memeluk Islam.”
Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim. Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari.
Tak akan pernah kulupakan pembicaraan dengannya lewat telepon pada suatu hari di tahun 1998. Kami tengah membuat janji untuk bertemu. “Jangan terkejut kalau nanti kita ketemu ya, karena saya pakai jilbaab, baju panjang,” ujarnya. Aku takut sekali sebenarnya, tapi kupaksakan diriku untuk terus datang. Nyatanya, dengan ramahnya ia mengajakku masuk ke rumahnya, yang kuingat terasa penuh ketenteraman dan kedamaian. Aku ingat ketika itu pikiran yang terlintas di benakku adalah. “Ya, inilah sesuatu yang ingin kukenal lebih banyak.”
Pada Ramadhan di bulan Desember 1998 itu, aku merasa bahwa aku semakin dekat dengan suatu keputusan terpenting dalam hidupku. Tetapi aku juga sadar bahwa memeluk Islam ibaratnya one-way ticket. Aku tidak bisa main-main. Karena itulah kuputuskan untuk berpuasa sebulan penuh lamanya dan membeli sebuah buku kecil, tuntunan shalat. Beberapa kenalanku bersikap skeptis, dan memberitahuku bahwa karena aku bukan Muslim maka semua puasa dan shalatku tidak akan diterima.
Aku terus membaca, sampai dua bulan kemudian sahabatku mengajak pergi ke masjid. Sungguh saat yang sangat mendebarkan hati, namun juga ditandai keyakinan yang berbisik dalam hatiku. “Ya, aku akan baik-baik saja.” Berdesak-desak kami masuk ke ruang kerja Imam di Masjid Regent’s Park, London, untuk mendengarkan penjelasannya. Di hadapan sejumlah sisters, aku menangis. Pada hari itu, di bulan Mei 1999, aku mengucapkan syahadat. Aku kini seorang Muslimah.
Keyakinanku sudah begitu kuat hingga aku terus dengan niatku dan berpuasa sebulan penuh. Di pertengahan Ramadhan itu aku juga mencoba shalat lima waktu sehari. Kugelar sajadah dan kuteteskan air mata bahagia serta syukurku. Nafas yang begitu berat terasa ringan dengan iringan dzikir dan tasbih yang keluar dari mulutku. Aku telah menemukan hidupku yang sesungguhnya.
Namun itu pulalah yang menandai dimulainya sebuah perjalanan yang sungguh tidak mudah. Ini juga yang, belakangan kuketahui, dialami banyak sekali mualaf. Segala sesuatu terasa luar biasa saat kita berjalan menuju Islam, namun begitu kita bersyahadat, mulailah ujian-ujian berat menghadang. Keajaiban yang indah yang kutemukan sebelumnya kini terasa jauh dan tak teraba, dan aku tak tahu bagaimana harus mempertahankannya, padahal aku juga tahu bahwa keragu-raguan yang kini timbul di benakku dapat berarti dosa.
Pada saat itu aku belum mengenakan kerudung, dan meskipun aku sadar bahwa itu suatu hal yang harus kulakukan, aku mesti berhadapan dengan tekanan begitu besar agar segera mulai memakainya. Maka aku mulai berkerudung saat belajar mengaji. Nyatanya, perlahan-lahan aku mulai terbiasa. Meski pekerjaan memaksaku bertemu dengan banyak klien, atau tetap dapat berhijab karena itu adalah hakku sebagai Muslim di Inggris.
Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.
Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku merasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku.
Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang shalih jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Barat, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.
Di tempatku kuliah saat ini, di Central Saint Martins, London. Selama empat tahun ini hanya ada satu Muslimah lain yang berhijab. Tetapi orang-orang di sini memperlakukanku dengan hormat dan menghargai prinsip-prinsip yang mempengaruhi hasil karya seniku. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah, dan seni hanya diciptakan untuk menyembah Allah.
Sampai kini keluargaku masih tinggal di Afrika Selatan, namun kami secara teratur bersilaturahim. Aku juga baru mengetahui bahwa karena proses keislamanku demikian perlahan dan bertahap, keluargaku sudah lama menyadari perubahan ini. Malahan, ayah ibuku mengunjungi seorang pendeta dan menanyakan tentang “agama Islam yang terus menerus dibicarakan anak kami.” Si pendeta menjawab, “Tidak usah cemas. Itu bukan semacam agama aneh… anakmu tidak akan terkena bahaya (karena memeluk Islam).” Sekarang ini aku dapat dengan bebas mendiskusikan Islam dengan anggota-anggota keluargaku.
Aku menemukan Islam karena melihat pancaran kasih sayang pada diri sejumlah muslim yang kutemui, maka inilah pula jalan dakwah yang kupilih—mengajak orang kepada Islam dengan kasih sayang. Insya Allah. Keluarga dan teman-temanku sudah melihat sendiri bahwa aku telah menemukan kedamaian, dan kalau aku bisa menunjukkan hal ini kepada mereka, maka aku yakin mereka pun akan mencari pengetahuan dan jalan mereka menuju Islam.
http://www.dakwatuna.com/2007/malaikat-singgah-di-kamarku/
Bahagia Dengan Poligami
”Penyebab timbulnya image negatif terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah kaum Muslimin yang tidak komitmen dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di seperempat bagian masyarakat Muslim lebih disebabkan karena kaum laki-laki Muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dan patriarkinya.”
Inilah kritikan seorang Muslimah dari keluarga Yahudi Amerika yang dengan ridha menjalani praktek poligami, menjadi istri kedua dari seorang muslim yang shalih dan taat kepada tanggung jawab agamanya.
“Islam menjawab dan menjelaskan segala-galanya. Dalam Islam kutemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bukan saja membawa dan memandu seseorang menjalani kehidupan di dunia ini tetapi juga kehidupan selepas kematian nanti.” tegas Maryam dalam pernyataannya di The Islamic Bulletin, San Francisco, California, Amerika Serikat.
Menurut Maryam, persepsi pertamanya ketika membaca Al-Qur’an, Islam adalah satu-satunya agama kebenaran, kejujuran, keikhlasan dan tidak membenarkan kompromi murahan atau hipokrasi.
Setelah Maryam Jameelah memeluk Islam, secara otomatis mengalami suatu transformasi total yang dia istilahkan dengan transformation from a kafir mind into a muslim mind (transformasi dari pikiran kafir ke pikiran muslim). Maryam melihat bahwa perubahan pola pikir yang mempengaruhi perilaku, tutur kata seseorang dalam kehidupan sehari-hari mesti terjadi apabila seseorang memasuki ruang keislaman. Ada perbedaan yang mendasar antara pemikiran yang keluar dari kepala seorang muslim dan yang keluar dari kepala seorang kafir.
Keyakinan yang paling esensial dalam Islam, menurut Maryam adalah konsep man as the slave of God (manusia sebagai hamba Tuhan). Konsep ini sejalan dengan makna terminologi Islam itu sendiri, yakni submission to the will of Allah (penyerahan diri kepada kehendak Allah) dan siapa saja yang memilih melakukan itu bisa dikatakan muslim. Menerima ini, bagi Maryam, konsekuensinya sangat luas dan mendalam. Manusia dengan demikian tidak memiliki hak untuk membuat aturan hukum sendiri, mempolarisasikan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Segala sesuatu harus tunduk kepada kehendak Tuhan yang telah diartikulasikan dalam wahyu lewat para nabi dan rasul.
Maryam Jameelah, seorang intelektual, penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks Al-Qur’an dengan keimanan yang dalam. Pemikiran Barat pun mendapat pukulan balik darinya.
Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional, New York City.
“Seandainya ada pertanyaan kepadaku bagaimana mengetahui perihal Islam? Aku hanya mampu menjawab, pengalaman pribadikulah yang mengantarkan pada keyakinanku. Keteguhanku akan aqidah Islam datang secara perlahan dan tenang namun penuh keyakinan.”
Lewat bacaannya terhadap literatur sejarah bangsa Arab, dia menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab, tapi justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Pemikiran Maryam dipengaruhi oleh Abul A’la Al-Maududi. Beliau telah membimbing Maryam memahami Islam lewat korespondensi sejak Desember 1960 sebelum dia masuk Islam hingga Mei 1962 dan akhirnya hijrah ke Pakistan.
Maryam Jameelah tidak pernah kendur menghadapi para penghujat Islam. Sikap kritisnya terhadap paham sekularisme dan materialisme dari dulu hingga kini demikian gigihnya. Itu ditunjukkan dengan usaha yang tidak mengenal penat dan lelah terhadap cita-cita luhur dan agung ini. Tokoh mujahidah ini mengangkat Islam sebagai satu jawaban paling tepat dan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat memberi petunjuk, tujuan serta nilai pada persoalan hidup dan mati.
Sampai hari ini tudingan miring itu masih nyaring terdengar, ungkapan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang hampir semuanya memiliki lebih dari satu istri dianggap kriminal dalam perundang-undangan modern. Hukum Islam yang membenarkan menerima perceraian juga dikecam dengan keras, seperti halnya poligami. Izin yang diberikan syariat kepada laki-laki untuk menceraikan istrinya secara diam-diam ditetapkan sebagai bukti inferioritas status perempuan dalam hukum Islam.
Hijab atau pemisahan yang ketat antara dua jenis kelamin mendapatkan hantaman yang tidak kurang beratnya dari para modernis kita yang terdidik yang menuntut penghapusan hijab. Dalam peradaban modern, seorang perempuan hanya dihargai sebatas kemampuan mereka berhasil menjalankan fungsi laki-laki, dan pada saat yang sama memperlihatkan kecantikan dan keanggunannya secara maksimal kepada publik. Walhasil, peran kedua jenis dalam masyarakat modern sangat membingungkan. Ajaran Islam tidak bisa mentolerir nilai budaya yang menyeleweng seperti itu. Dalam Islam, peran wanita bukan sebagai ballot-box, melainkan pemelihara rumah dan keluarga. Hal ini dipaparkan Maryam Jameelah dalam bukunya, Islam and the Muslim Woman Today.
Mirisnya lagi desain penghujatan Islam ini berimbas juga di kalangan para muslimah. Padahal jauh sebelum Maryam Jameelah memeluk Islam, dia sudah membahas dan melakukan pembelaan akan kebenaran Islam dan syariatnya. Hal ini diungkapkan Maryam dalam korespondensinya kepada Abul A’la Al-Maududi.
”Ambillah contoh masalah poligami. Orang-orang Islam seperti Dr. Hoballah, pemimpin Islamic Centre di Washington, mengatakan kepada saya bahwa Islam hanya memperkenankan poligami dalam sedikit peristiwa-peristiwa pengecualian tertentu. Golongan modernis malahan telah lebih jauh menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap lebih dari satu istri, betapapun kamu menginginkannya”, sebagai larangan mutlak terhadap poligami. Berikut ini, pandangan apologetik serupa dikutip dari tafsir Muhammad Ali Lahori dalam terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris (hal. 187-188).
“Surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami hanya dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, akan jelaslah bahwa izin untuk mempunyai istri lebih dari satu itu diberikan untuk keadaan khas umat Islam yang ada pada saat itu. Dapat ditambahkan di sini bahwa poligami dalam Islam, teori maupun praktek, adalah suatu perkecualian, bukan aturan.”
”Dalih yang paling kuat untuk menentang cara berpikir yang sesat seperti itu adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun ulama tafsir Al-Qur’an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat tersebut seperti demikian, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Aku tidak bisa menemukan pernyataan dalam kepustakaan Al-Qur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan, tidak pula suatu masalah pernah timbul mengenai perlunya untuk membatasinya hanya bagi keadaan-keadaan pengecualian tertentu. Persisnya bunyi ayat yang menjadi pembicaraan adalah ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa:129)”
”Dengan kata lain, karena tidak ada dua manusia yang sama, maka tentunya seorang suami tidak mungkin dapat memperlakukan istri-istrinya dengan rasa cinta-kasih yang sama. Tetapi ayat ini tidaklah melarang untuk melakukan poligami hanya karena ia tidak dapat mencintai mereka dengan kadar yang sama. Tidak! Al-Qur’an hanyalah memerintahkan untuk berlaku baik serta mempergauli mereka dengan seadil-adilnya…” demikian pembelaannya tentang poligami.
Prinsip-prinsip yang mendasari semua pemikiran Maryam dalam melihat teks-teks agama adalah prinsip penyerahan diri, sehingga dalam semua karyanya dia tidak pernah mengkritisi teks agama yang kelihatan bertentangan dengan mainstream peradaban sekarang yang jelas-jelas didominasi nilai-nilai Barat, seperti kepemimpinan laki-laki, praktek poligami dan pergaulan terbuka antara kedua jenis kelamin.
Dia justru mengkritisi ide-ide Barat atau Muslim modernis dengan argumentasi teks-teks agama. Tidak jarang dia mengkritisi kekerdilan mental seorang muslim untuk komitmen kepada ajaran agamanya. Dia tidak menerima kalau idealisme Islam tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial, baik secara mikro maupun makro harus diotak-atik hanya karena orang-orang Barat mengatakan lain atau hanya karena masyarakat muslim tidak mampu menjalankannya. Dalam keadaan seperti itu, justru komitmen kepada pembentukan masyarakat muslim yang kaffah harus dikembangkan.
“Apa yang Anda tulis tentang poligami mutlak benar. Hanya ingin saya tambahkan bahwa surat An-Nisa ayat 3 diwahyukan tidak untuk mengesahkan poligami. Poligami tidak pernah diharamkan oleh Allah. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Sebagian besar para nabi beristri lebih dari satu. Sebelum ayat ini diturunkan kepada Nabi saw., beliau telah beristri tiga (Saudah, Aisyah dan Ummu Salamah ra). Sebagian besar sahabat juga berpoligami. Jadi tidak diperlukan lagi pengesahan atas suatu praktek yang halal dan telah dikenal. Ayat tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, orang Islam diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut.”
“Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga. Kalaupun petunjuk Tuhan ini menyiratkan suatu pembentukan hukum baru, hal itu bukanlah pemberian izin berpoligami, melainkan merupakan pembatasan jumlah istri sampai empat dan penetapan syarat lebih jauh, yakni bila suami tidak bisa bertindak adil terhadap seluruh istrinya, maka ia harus mempergauli mereka dengan baik atau beristri satu saja. Dua buah perintah di atas tidak pernah diketahui dan dikenal oleh orang Arab penyembah berhala, dan Bible yang sekarang pun tidak menyebutkannya.” Abul A’la Al-Maududi membenarkan semua deskripsi Maryam tentang ayat Allah yang satu ini.
“Cara berpikir dan berbuat seseorang, tidak bisa dipisahkan dari kesadaran ‘cognitisi’nya. Masalah yang paling serius dalam semua ajaran agama adalah bagaimana mendekatkan antara teori dan praktek, bagaimana menyelaraskan antara ajaran dan pelaksanaan. Di samping itu, ada masalah yang tidak kalah peliknya, bagaimana memahami kerangka teori yang ada, sehingga memudahkan praktek, tanpa meninggalkan esensi ajaran.” Maryam Jameelah memaparkan dalam bukunya, Islam in Theory and Practice
Maryam berpandangan bahwa ciri utama ideologi-ideologi modern adalah anggapan bahwa prinsip ‘perubahan untuk perubahan’ merupakan nilai yang tertinggi. Segala komitmen pada suatu nilai dasar yang absolut adalah sikap zaman pertengahan yang harus ditinggalkan. Manusia harus menemukan nilai-nilai yang cocok untuk situasi mereka yang berubah setiap saat. Ini, menurut Maryam, yang mengantarkan dunia modern kepada kekacauan.
Maryam mengkritisi interpretasi apologetik para modernis yang tidak memiliki dasar apapun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Sunnah, tapi semuanya hanya merupakan hasil perbudakan mental terhadap nilai-nilai peradaban Barat. Individualisme ekstrim Barat yang mendominasi masyarakat modern telah sampai pada tingkat menganggap poligami jauh lebih buruk daripada perzinahan.
Ini sejalan dengan tokoh Barat yang mengatakan bahwa subyek modern bercirikan kemampuan menerima dan ‘merayakan’ kealpaan keamanan dan karakteristik keteraturan eksistensi sosial kontemporer sekarang. Barat menempatkan feminisme dalam kerangka mordenisme seperti ini. Barat mengajak kaum perempuan menolak tradisi dalam bentuk peranan ibu rumah tangga yang mengikat mereka kepada dunia domestik.
Maryam tidak pernah mempertanyakan isu keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tapi ini tidak berarti bahwa dia tidak menjunjung tinggi keadilan. Hanya saja, keadilan yang diinginkannya adalah keadilan dalam definisi yang digariskan Allah dalam wahyu-Nya. Ini sangat berbeda dari orang lain yang berbicara tentang gender dalam Islam.
Hampir semuanya berangkat dari tuntutan keadilan untuk memenuhi tuntutan keadilan yang didasarkan pada ide-ide Barat sebab mereka menyangsikan keadilan yang ada dalam formulasi Islam terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Keadilan bagi mereka adalah persamaan, bukan kerjasama atau dalam redaksi lain, mereka tidak melihat kemungkinan adanya kerjasama kecuali dalam persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Maryam menuliskan bahwa:
Dari sudut pandang Islam, mempertanyakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah seperti mendiskusikan kesetaraan antara bunga mawar dan yasmin. Masing-masing memiliki aroma, warna, bentuk dan keindahan. Laki-laki dan wanita tidak sama. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Laki-laki memiliki keistimewaan seperti kewenangan sosial dan gerak sebab dia harus menjalankan banyak tugas berat.
Pertama, dia memikul tanggung jawab ekonomi. Kedua, wanita tidak harus mencari suami sendiri. Di rumah, perempuan berkuasa seperti ratu dan laki-laki Muslim layaknya seperti tamu di rumah sang istri. Ketiga, perempuan Muslim dibebaskan dari tanggung jawab politik dan militer. Dengan demikian, syariat menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Maryam Jameelah tidak pernah mempermasalahkan konsep-konsep gender dalam Al-Qur`an maupun hadits. Tampaknya, bagi dia, masalahnya terletak pada ada atau tidaknya komitmen Muslim terhadap konsep-konsep tersebut. Gugatan kaum modernis Muslim terhadap konsep-konsep gender Al-Qur`an hanya merupakan sikap mendua (ambivalence) atau anti terhadap ajaran Islam. Sehingga dia lebih banyak mengkritisi dan membandingkan konsekuensi praktis antara pandangan Islam dan liberal Barat terhadap stabilitas sosial.
Maryam Jameelah meninggalkan New York dan hijrah ke Pakistan, tinggal sebagai salah satu anggota keluarga Abul A’la Al-Maududi di Lahore. Maryam Jameelah menikah dengan Mohammad Yusuf Khan, seorang yang tafarrugh (full timer) untuk Jamaat Islami yang kemudian menjadi penerbit utama semua buku-buku karangan istrinya. Maryam Jameelah kemudian menjadi ibu dari empat orang anak, hidup bersama madunya serta anak-anaknya di sebuah rumah besar bersama ipar-iparnya. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang wanita yang berlatar belakang Barat. Maryam Jameelah terus menulis melanjutkan minat intelektualnya. Sebuah fakta yang menakjubkan, karya-karyanya yang terpenting telah ditulis saat tengah mengandung anak-anaknya.
http://www.dakwatuna.com/2007/bahagia-dengan-poligami/
Inilah kritikan seorang Muslimah dari keluarga Yahudi Amerika yang dengan ridha menjalani praktek poligami, menjadi istri kedua dari seorang muslim yang shalih dan taat kepada tanggung jawab agamanya.
“Islam menjawab dan menjelaskan segala-galanya. Dalam Islam kutemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bukan saja membawa dan memandu seseorang menjalani kehidupan di dunia ini tetapi juga kehidupan selepas kematian nanti.” tegas Maryam dalam pernyataannya di The Islamic Bulletin, San Francisco, California, Amerika Serikat.
Menurut Maryam, persepsi pertamanya ketika membaca Al-Qur’an, Islam adalah satu-satunya agama kebenaran, kejujuran, keikhlasan dan tidak membenarkan kompromi murahan atau hipokrasi.
Setelah Maryam Jameelah memeluk Islam, secara otomatis mengalami suatu transformasi total yang dia istilahkan dengan transformation from a kafir mind into a muslim mind (transformasi dari pikiran kafir ke pikiran muslim). Maryam melihat bahwa perubahan pola pikir yang mempengaruhi perilaku, tutur kata seseorang dalam kehidupan sehari-hari mesti terjadi apabila seseorang memasuki ruang keislaman. Ada perbedaan yang mendasar antara pemikiran yang keluar dari kepala seorang muslim dan yang keluar dari kepala seorang kafir.
Keyakinan yang paling esensial dalam Islam, menurut Maryam adalah konsep man as the slave of God (manusia sebagai hamba Tuhan). Konsep ini sejalan dengan makna terminologi Islam itu sendiri, yakni submission to the will of Allah (penyerahan diri kepada kehendak Allah) dan siapa saja yang memilih melakukan itu bisa dikatakan muslim. Menerima ini, bagi Maryam, konsekuensinya sangat luas dan mendalam. Manusia dengan demikian tidak memiliki hak untuk membuat aturan hukum sendiri, mempolarisasikan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Segala sesuatu harus tunduk kepada kehendak Tuhan yang telah diartikulasikan dalam wahyu lewat para nabi dan rasul.
Maryam Jameelah, seorang intelektual, penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks Al-Qur’an dengan keimanan yang dalam. Pemikiran Barat pun mendapat pukulan balik darinya.
Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional, New York City.
“Seandainya ada pertanyaan kepadaku bagaimana mengetahui perihal Islam? Aku hanya mampu menjawab, pengalaman pribadikulah yang mengantarkan pada keyakinanku. Keteguhanku akan aqidah Islam datang secara perlahan dan tenang namun penuh keyakinan.”
Lewat bacaannya terhadap literatur sejarah bangsa Arab, dia menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab, tapi justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Pemikiran Maryam dipengaruhi oleh Abul A’la Al-Maududi. Beliau telah membimbing Maryam memahami Islam lewat korespondensi sejak Desember 1960 sebelum dia masuk Islam hingga Mei 1962 dan akhirnya hijrah ke Pakistan.
Maryam Jameelah tidak pernah kendur menghadapi para penghujat Islam. Sikap kritisnya terhadap paham sekularisme dan materialisme dari dulu hingga kini demikian gigihnya. Itu ditunjukkan dengan usaha yang tidak mengenal penat dan lelah terhadap cita-cita luhur dan agung ini. Tokoh mujahidah ini mengangkat Islam sebagai satu jawaban paling tepat dan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat memberi petunjuk, tujuan serta nilai pada persoalan hidup dan mati.
Sampai hari ini tudingan miring itu masih nyaring terdengar, ungkapan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang hampir semuanya memiliki lebih dari satu istri dianggap kriminal dalam perundang-undangan modern. Hukum Islam yang membenarkan menerima perceraian juga dikecam dengan keras, seperti halnya poligami. Izin yang diberikan syariat kepada laki-laki untuk menceraikan istrinya secara diam-diam ditetapkan sebagai bukti inferioritas status perempuan dalam hukum Islam.
Hijab atau pemisahan yang ketat antara dua jenis kelamin mendapatkan hantaman yang tidak kurang beratnya dari para modernis kita yang terdidik yang menuntut penghapusan hijab. Dalam peradaban modern, seorang perempuan hanya dihargai sebatas kemampuan mereka berhasil menjalankan fungsi laki-laki, dan pada saat yang sama memperlihatkan kecantikan dan keanggunannya secara maksimal kepada publik. Walhasil, peran kedua jenis dalam masyarakat modern sangat membingungkan. Ajaran Islam tidak bisa mentolerir nilai budaya yang menyeleweng seperti itu. Dalam Islam, peran wanita bukan sebagai ballot-box, melainkan pemelihara rumah dan keluarga. Hal ini dipaparkan Maryam Jameelah dalam bukunya, Islam and the Muslim Woman Today.
Mirisnya lagi desain penghujatan Islam ini berimbas juga di kalangan para muslimah. Padahal jauh sebelum Maryam Jameelah memeluk Islam, dia sudah membahas dan melakukan pembelaan akan kebenaran Islam dan syariatnya. Hal ini diungkapkan Maryam dalam korespondensinya kepada Abul A’la Al-Maududi.
”Ambillah contoh masalah poligami. Orang-orang Islam seperti Dr. Hoballah, pemimpin Islamic Centre di Washington, mengatakan kepada saya bahwa Islam hanya memperkenankan poligami dalam sedikit peristiwa-peristiwa pengecualian tertentu. Golongan modernis malahan telah lebih jauh menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap lebih dari satu istri, betapapun kamu menginginkannya”, sebagai larangan mutlak terhadap poligami. Berikut ini, pandangan apologetik serupa dikutip dari tafsir Muhammad Ali Lahori dalam terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris (hal. 187-188).
“Surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami hanya dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, akan jelaslah bahwa izin untuk mempunyai istri lebih dari satu itu diberikan untuk keadaan khas umat Islam yang ada pada saat itu. Dapat ditambahkan di sini bahwa poligami dalam Islam, teori maupun praktek, adalah suatu perkecualian, bukan aturan.”
”Dalih yang paling kuat untuk menentang cara berpikir yang sesat seperti itu adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun ulama tafsir Al-Qur’an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat tersebut seperti demikian, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Aku tidak bisa menemukan pernyataan dalam kepustakaan Al-Qur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan, tidak pula suatu masalah pernah timbul mengenai perlunya untuk membatasinya hanya bagi keadaan-keadaan pengecualian tertentu. Persisnya bunyi ayat yang menjadi pembicaraan adalah ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa:129)”
”Dengan kata lain, karena tidak ada dua manusia yang sama, maka tentunya seorang suami tidak mungkin dapat memperlakukan istri-istrinya dengan rasa cinta-kasih yang sama. Tetapi ayat ini tidaklah melarang untuk melakukan poligami hanya karena ia tidak dapat mencintai mereka dengan kadar yang sama. Tidak! Al-Qur’an hanyalah memerintahkan untuk berlaku baik serta mempergauli mereka dengan seadil-adilnya…” demikian pembelaannya tentang poligami.
Prinsip-prinsip yang mendasari semua pemikiran Maryam dalam melihat teks-teks agama adalah prinsip penyerahan diri, sehingga dalam semua karyanya dia tidak pernah mengkritisi teks agama yang kelihatan bertentangan dengan mainstream peradaban sekarang yang jelas-jelas didominasi nilai-nilai Barat, seperti kepemimpinan laki-laki, praktek poligami dan pergaulan terbuka antara kedua jenis kelamin.
Dia justru mengkritisi ide-ide Barat atau Muslim modernis dengan argumentasi teks-teks agama. Tidak jarang dia mengkritisi kekerdilan mental seorang muslim untuk komitmen kepada ajaran agamanya. Dia tidak menerima kalau idealisme Islam tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial, baik secara mikro maupun makro harus diotak-atik hanya karena orang-orang Barat mengatakan lain atau hanya karena masyarakat muslim tidak mampu menjalankannya. Dalam keadaan seperti itu, justru komitmen kepada pembentukan masyarakat muslim yang kaffah harus dikembangkan.
“Apa yang Anda tulis tentang poligami mutlak benar. Hanya ingin saya tambahkan bahwa surat An-Nisa ayat 3 diwahyukan tidak untuk mengesahkan poligami. Poligami tidak pernah diharamkan oleh Allah. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Sebagian besar para nabi beristri lebih dari satu. Sebelum ayat ini diturunkan kepada Nabi saw., beliau telah beristri tiga (Saudah, Aisyah dan Ummu Salamah ra). Sebagian besar sahabat juga berpoligami. Jadi tidak diperlukan lagi pengesahan atas suatu praktek yang halal dan telah dikenal. Ayat tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, orang Islam diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut.”
“Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga. Kalaupun petunjuk Tuhan ini menyiratkan suatu pembentukan hukum baru, hal itu bukanlah pemberian izin berpoligami, melainkan merupakan pembatasan jumlah istri sampai empat dan penetapan syarat lebih jauh, yakni bila suami tidak bisa bertindak adil terhadap seluruh istrinya, maka ia harus mempergauli mereka dengan baik atau beristri satu saja. Dua buah perintah di atas tidak pernah diketahui dan dikenal oleh orang Arab penyembah berhala, dan Bible yang sekarang pun tidak menyebutkannya.” Abul A’la Al-Maududi membenarkan semua deskripsi Maryam tentang ayat Allah yang satu ini.
“Cara berpikir dan berbuat seseorang, tidak bisa dipisahkan dari kesadaran ‘cognitisi’nya. Masalah yang paling serius dalam semua ajaran agama adalah bagaimana mendekatkan antara teori dan praktek, bagaimana menyelaraskan antara ajaran dan pelaksanaan. Di samping itu, ada masalah yang tidak kalah peliknya, bagaimana memahami kerangka teori yang ada, sehingga memudahkan praktek, tanpa meninggalkan esensi ajaran.” Maryam Jameelah memaparkan dalam bukunya, Islam in Theory and Practice
Maryam berpandangan bahwa ciri utama ideologi-ideologi modern adalah anggapan bahwa prinsip ‘perubahan untuk perubahan’ merupakan nilai yang tertinggi. Segala komitmen pada suatu nilai dasar yang absolut adalah sikap zaman pertengahan yang harus ditinggalkan. Manusia harus menemukan nilai-nilai yang cocok untuk situasi mereka yang berubah setiap saat. Ini, menurut Maryam, yang mengantarkan dunia modern kepada kekacauan.
Maryam mengkritisi interpretasi apologetik para modernis yang tidak memiliki dasar apapun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Sunnah, tapi semuanya hanya merupakan hasil perbudakan mental terhadap nilai-nilai peradaban Barat. Individualisme ekstrim Barat yang mendominasi masyarakat modern telah sampai pada tingkat menganggap poligami jauh lebih buruk daripada perzinahan.
Ini sejalan dengan tokoh Barat yang mengatakan bahwa subyek modern bercirikan kemampuan menerima dan ‘merayakan’ kealpaan keamanan dan karakteristik keteraturan eksistensi sosial kontemporer sekarang. Barat menempatkan feminisme dalam kerangka mordenisme seperti ini. Barat mengajak kaum perempuan menolak tradisi dalam bentuk peranan ibu rumah tangga yang mengikat mereka kepada dunia domestik.
Maryam tidak pernah mempertanyakan isu keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tapi ini tidak berarti bahwa dia tidak menjunjung tinggi keadilan. Hanya saja, keadilan yang diinginkannya adalah keadilan dalam definisi yang digariskan Allah dalam wahyu-Nya. Ini sangat berbeda dari orang lain yang berbicara tentang gender dalam Islam.
Hampir semuanya berangkat dari tuntutan keadilan untuk memenuhi tuntutan keadilan yang didasarkan pada ide-ide Barat sebab mereka menyangsikan keadilan yang ada dalam formulasi Islam terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Keadilan bagi mereka adalah persamaan, bukan kerjasama atau dalam redaksi lain, mereka tidak melihat kemungkinan adanya kerjasama kecuali dalam persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Maryam menuliskan bahwa:
Dari sudut pandang Islam, mempertanyakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah seperti mendiskusikan kesetaraan antara bunga mawar dan yasmin. Masing-masing memiliki aroma, warna, bentuk dan keindahan. Laki-laki dan wanita tidak sama. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Laki-laki memiliki keistimewaan seperti kewenangan sosial dan gerak sebab dia harus menjalankan banyak tugas berat.
Pertama, dia memikul tanggung jawab ekonomi. Kedua, wanita tidak harus mencari suami sendiri. Di rumah, perempuan berkuasa seperti ratu dan laki-laki Muslim layaknya seperti tamu di rumah sang istri. Ketiga, perempuan Muslim dibebaskan dari tanggung jawab politik dan militer. Dengan demikian, syariat menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Maryam Jameelah tidak pernah mempermasalahkan konsep-konsep gender dalam Al-Qur`an maupun hadits. Tampaknya, bagi dia, masalahnya terletak pada ada atau tidaknya komitmen Muslim terhadap konsep-konsep tersebut. Gugatan kaum modernis Muslim terhadap konsep-konsep gender Al-Qur`an hanya merupakan sikap mendua (ambivalence) atau anti terhadap ajaran Islam. Sehingga dia lebih banyak mengkritisi dan membandingkan konsekuensi praktis antara pandangan Islam dan liberal Barat terhadap stabilitas sosial.
Maryam Jameelah meninggalkan New York dan hijrah ke Pakistan, tinggal sebagai salah satu anggota keluarga Abul A’la Al-Maududi di Lahore. Maryam Jameelah menikah dengan Mohammad Yusuf Khan, seorang yang tafarrugh (full timer) untuk Jamaat Islami yang kemudian menjadi penerbit utama semua buku-buku karangan istrinya. Maryam Jameelah kemudian menjadi ibu dari empat orang anak, hidup bersama madunya serta anak-anaknya di sebuah rumah besar bersama ipar-iparnya. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang wanita yang berlatar belakang Barat. Maryam Jameelah terus menulis melanjutkan minat intelektualnya. Sebuah fakta yang menakjubkan, karya-karyanya yang terpenting telah ditulis saat tengah mengandung anak-anaknya.
http://www.dakwatuna.com/2007/bahagia-dengan-poligami/
Aku dan Identitas Jilbabku
Setiap pagi sebelum meninggalkan rumah untuk bekerja, aku mengikat rambut dan menutup seluruh bagian rambut hingga leher dengan sehelai kain. Selembar kain itu sudah menjadi bagian dari perlengkapan pakaianku. Shaista ‘Aziz, wartawati muslimah berkebangsaan Inggris, sejak beberapa tahun lalu memutuskan untuk mulai mengenakan hijab. Seperti beribu-ribu muslimah yang ada di seluruh dunia, hijab telah merupakan bagian dari dirinya, yang dipakainya dengan perasaan bangga dan percaya diri.
Dia memutuskan memakai jilbab setelah mengalami perjalanan batin yang panjang untuk mempelajari lebih dalam tentang Islam sebagai agamanya. Perjalanan batin ini dimulai setahun sebelum terjadi serangan terhadap gedung World Trade Center di New York. Keinginannya mempelajari Islam semakin kuat setelah kejadian 11 September di New York yang menggegerkan dunia itu.
Ketika itu penduduk muslim yang ada di seluruh dunia, termasuk Inggris berada di bawah ancaman dan tekanan para politisi dan media Barat di Inggris. Saat itulah muncul keinginannya untuk tampil sebagai seorang muslimah yang eksis.
Shaista ‘Aziz adalah muslimah terdidik dari dunia barat, walaupun tidak banyak tahu tentang bagaimana keadaan muslimah di negara lain seperti Irak, Bosnia, Somalia dan Palestina. Namun dia tetap yakin dan mantap menyatakan identitasnya melalui Islam dan jilbab.
Sejak kejadian 11 September di New York itu, telah terjadi lonjakan fantastis ‘jilbaber’ di kalangan Muslimah, khususnya wanita muda Inggris. Dari komentar mereka diketahui bahwa hampir semua melakukannya sebagai sebuah pilihan.
Sekarang ini, bila berjalan-jalan hampir semua jalan raya di Inggris, setiap Sabtu pagi, maka kita akan bertemu dengan para muslimah muda yang mengenakan jilbab. Umumnya dalam warna sangat serasi dengan pakaian mereka. Kemudian dalam perjalanan menuju tempat kerja setiap pagi, maka kita akan lebih sering bertemu saudara-saudara muslimah yang aktif, mengenakan jilbab dengan gaya yang berbeda-beda, dibandingkan para wanita lain yang mengenakan pakaian beraneka ragam.
“Dengan mengenakan hijab aku merasakan suatu kekuatan besar mengalir dalam diriku. Sekarang setiap hari adalah hari yang indah bagi rambutku, sepanjang yang aku ingat dan rasakan. Ketika aku berjumpa dengan muslimah lain di jalan, kami selalu tersenyum, kadang-kadang saling menganggukkan kepala dan saling menyapa, assalamulaiakum, wa ‘alaikum salam.” Ujar Shaista bangga.
“Ironisnya, aku menghadapi reaksi yang paling keras tentang hijabku ini, ketika berada di luar Inggris. Baru-baru ini saat pergi ke Kairo, Mesir, dan bertemu dengan teman yang bekerja di sebuah coffee shop. Aku menelponnya dari mobil dan kami berjanji untuk bertemu di lobi hotel, tempatku menginap. Ketika aku datang dan menyapanya, temanku itu ternganga heran. Mungkin saking kagetnya melihatku berjilbab.”
“Aku menyadari bahwa ada masalah yang sangat besar dalam Dunia Islam berkaitan dengan hijab. Kemudian ketika kami sudah nyaman di dalam kafe, dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya mengapa aku berhijab? Aku pikir itu pertanyaan yang sangat lucu.”
Seorang muslimah Mesir yang tinggal di dunia Arab malah bertanya kepada seorang wanita Muslimah kelahiran Barat yang tinggal di Inggris. Mengapa ia mengenakan jilbab. Sebuah ironi bukan? Namun saat dijelaskan alasannya, dia terlihat santai saja sambil mengeluarkan rokok dari dalam tasnya, kemudian mulai bercerita pada Shaista ‘Aziz tentang jilbab. Seolah dia yang paling tahu banyak hal tentang jilbab. Jilbab dianggap sebagai sesuatu yang tidak praktis, menyusahkan bahkan sesuatu yang mencekik bagi presenter di TV. Ia tidak ingin memakai hijab. Tidak mungkin. Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.
“Aku malah berpikir bahwa di dunia barat ada keasyikan tersendiri memakai jilbab, cadar dan burqo. Aku menyadari dan tidak menyangkal bahwa ada masalah yang sangat besar dalam Dunia Islam terkait dengan kesejajaran hukum bagi para wanita. Tetapi memang para muslimah menghadapi masalah yang berkaitan dengan jender di seluruh dunia.” Shaizta ‘Aziz meyakinkan dirinya.
Perlu disadari bahwa para muslimah berhijab berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Gaya dan model mengenakan jilbab pun mungkin juga berbeda-beda. Ini menunjukkan Islam berada di atas segala kumpulan negara-negara, kebudayaan, bahasa dan kepercayaan.
Shaizta ‘Aziz patut bersyukur dapat mengekspresikan kesalihannya dalam berbusana muslimah, karena hal ini tidak dia temukan di tempat lain. Walau pada kebanyakan negara yang berpenduduk muslim sekalipun masih banyak ditemukan wanita tanpa busana muslimah.
Kondisi warga muslim di negara-negara Barat adalah sebuah fenomena yang menarik perhatian dunia Islam dan berbagai forum di Barat. Pasalnya, dalam beberapa dekade terakhir, umat Islam telah menjelma menjadi minoritas agama terbesar di Eropa dan Amerika. Hal inilah yang lantas mendorong mereka untuk menuntut hak-hak yang mestinya mereka peroleh sebagai bagian dari masyarakat di Barat. Akan tetapi, tuntutan itu bukan hanya tidak direspon oleh rezim-rezim di Barat, bahkan media massa di Eropa dan Amerika getol melontarkan tuduhan miring untuk merusak citra umat Islam di dunia.
Di Inggris, umat Islam adalah warga minoritas terbesar dengan jumlah sekitar dua juta jiwa atau tiga persen dari populasi Inggris. Warga muslim Inggris umumnya adalah imigran dari anak benua India, meski tak dipungkiri bahwa banyak pula warga asli Inggris yang memeluk agama Islam.
Di Inggris, warga muslim menghadapi perlakuan pemerintah Inggris yang relatif lunak terhadap warga muslim dibanding negara-negara lainnya di Eropa. Di negara ini terdapat sekitar 600 masjid di berbagai penjuru negeri ini yang merupakan pusat kegiatan warga muslim Inggris. Dari masjid inilah, muncul berbagai organisasi dan partai Islam yang melakukan aktivitas penyebaran agama Islam dan melakukan koordinasi terhadap warga muslim sebagai sebuah komunitas keagamaan.
Berdasarkan undang-undang Inggris, setiap warga bebas melaksanakan kewajiban agamanya. Undang-undang ini tentu saja sangat menguntungkan kelompok minoritas agama di Inggris tak terkecuali umat Islam. Tahun 1988, dengan disahkannya undang-undang persamaan hak belajar, warga muslim Inggris mendapatkan peluang yang lebih besar untuk belajar, termasuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman.
Saat ini, sekitar 110 sekolah agama Islam menjalankan aktivitasnya secara independen di Inggris, dan tentunya jumlah sekecil ini masih jauh dari cukup bagi komunitas muslim Inggris, apalagi jika kita membandingkannya dengan fasilitas yang didapatkan oleh kelompok minoritas lain. Meski demikian, para pelajar muslim di Inggris tetap terlibat aktifitas pendidikan dengan giat. Bahkan tahun lalu, salah sebuah sekolah menengah atas putri muslim ditetapkan sebagai sekolah menengah tingkat atas terbaik di Inggris.
Di tengah sinar dakwah yang begitu benderang di negeri Pangeran Charles ini, bukan berarti tidak ada tantangan. Namun dalam menghadapi tekanan dan propaganda buruk ini, Islam di Inggris telah memposisikan diri sebagai agama yang hidup dan menarik perhatian. Karenanya, sebagian warga Inggris memiliki pandangan yang baru terhadap ajaran agama ini. Kita berharap, masyarakat muslim Inggris sebagai kelompok minoritas terbesar di Inggris dapat memperoleh hak-hak mereka yang semestinya.
“Melalui Islam aku merasa memiliki kekuatan untuk tetap dapat bergerak dinamis karena keindahan dan kesederhanaan pamakaian jilbab dan petunjuk-Nya dalam kehidupanku.” Shaista ‘Aziz membenarkan.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-dan-identitas-jilbabku/
Dia memutuskan memakai jilbab setelah mengalami perjalanan batin yang panjang untuk mempelajari lebih dalam tentang Islam sebagai agamanya. Perjalanan batin ini dimulai setahun sebelum terjadi serangan terhadap gedung World Trade Center di New York. Keinginannya mempelajari Islam semakin kuat setelah kejadian 11 September di New York yang menggegerkan dunia itu.
Ketika itu penduduk muslim yang ada di seluruh dunia, termasuk Inggris berada di bawah ancaman dan tekanan para politisi dan media Barat di Inggris. Saat itulah muncul keinginannya untuk tampil sebagai seorang muslimah yang eksis.
Shaista ‘Aziz adalah muslimah terdidik dari dunia barat, walaupun tidak banyak tahu tentang bagaimana keadaan muslimah di negara lain seperti Irak, Bosnia, Somalia dan Palestina. Namun dia tetap yakin dan mantap menyatakan identitasnya melalui Islam dan jilbab.
Sejak kejadian 11 September di New York itu, telah terjadi lonjakan fantastis ‘jilbaber’ di kalangan Muslimah, khususnya wanita muda Inggris. Dari komentar mereka diketahui bahwa hampir semua melakukannya sebagai sebuah pilihan.
Sekarang ini, bila berjalan-jalan hampir semua jalan raya di Inggris, setiap Sabtu pagi, maka kita akan bertemu dengan para muslimah muda yang mengenakan jilbab. Umumnya dalam warna sangat serasi dengan pakaian mereka. Kemudian dalam perjalanan menuju tempat kerja setiap pagi, maka kita akan lebih sering bertemu saudara-saudara muslimah yang aktif, mengenakan jilbab dengan gaya yang berbeda-beda, dibandingkan para wanita lain yang mengenakan pakaian beraneka ragam.
“Dengan mengenakan hijab aku merasakan suatu kekuatan besar mengalir dalam diriku. Sekarang setiap hari adalah hari yang indah bagi rambutku, sepanjang yang aku ingat dan rasakan. Ketika aku berjumpa dengan muslimah lain di jalan, kami selalu tersenyum, kadang-kadang saling menganggukkan kepala dan saling menyapa, assalamulaiakum, wa ‘alaikum salam.” Ujar Shaista bangga.
“Ironisnya, aku menghadapi reaksi yang paling keras tentang hijabku ini, ketika berada di luar Inggris. Baru-baru ini saat pergi ke Kairo, Mesir, dan bertemu dengan teman yang bekerja di sebuah coffee shop. Aku menelponnya dari mobil dan kami berjanji untuk bertemu di lobi hotel, tempatku menginap. Ketika aku datang dan menyapanya, temanku itu ternganga heran. Mungkin saking kagetnya melihatku berjilbab.”
“Aku menyadari bahwa ada masalah yang sangat besar dalam Dunia Islam berkaitan dengan hijab. Kemudian ketika kami sudah nyaman di dalam kafe, dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya mengapa aku berhijab? Aku pikir itu pertanyaan yang sangat lucu.”
Seorang muslimah Mesir yang tinggal di dunia Arab malah bertanya kepada seorang wanita Muslimah kelahiran Barat yang tinggal di Inggris. Mengapa ia mengenakan jilbab. Sebuah ironi bukan? Namun saat dijelaskan alasannya, dia terlihat santai saja sambil mengeluarkan rokok dari dalam tasnya, kemudian mulai bercerita pada Shaista ‘Aziz tentang jilbab. Seolah dia yang paling tahu banyak hal tentang jilbab. Jilbab dianggap sebagai sesuatu yang tidak praktis, menyusahkan bahkan sesuatu yang mencekik bagi presenter di TV. Ia tidak ingin memakai hijab. Tidak mungkin. Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.
“Aku malah berpikir bahwa di dunia barat ada keasyikan tersendiri memakai jilbab, cadar dan burqo. Aku menyadari dan tidak menyangkal bahwa ada masalah yang sangat besar dalam Dunia Islam terkait dengan kesejajaran hukum bagi para wanita. Tetapi memang para muslimah menghadapi masalah yang berkaitan dengan jender di seluruh dunia.” Shaizta ‘Aziz meyakinkan dirinya.
Perlu disadari bahwa para muslimah berhijab berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Gaya dan model mengenakan jilbab pun mungkin juga berbeda-beda. Ini menunjukkan Islam berada di atas segala kumpulan negara-negara, kebudayaan, bahasa dan kepercayaan.
Shaizta ‘Aziz patut bersyukur dapat mengekspresikan kesalihannya dalam berbusana muslimah, karena hal ini tidak dia temukan di tempat lain. Walau pada kebanyakan negara yang berpenduduk muslim sekalipun masih banyak ditemukan wanita tanpa busana muslimah.
Kondisi warga muslim di negara-negara Barat adalah sebuah fenomena yang menarik perhatian dunia Islam dan berbagai forum di Barat. Pasalnya, dalam beberapa dekade terakhir, umat Islam telah menjelma menjadi minoritas agama terbesar di Eropa dan Amerika. Hal inilah yang lantas mendorong mereka untuk menuntut hak-hak yang mestinya mereka peroleh sebagai bagian dari masyarakat di Barat. Akan tetapi, tuntutan itu bukan hanya tidak direspon oleh rezim-rezim di Barat, bahkan media massa di Eropa dan Amerika getol melontarkan tuduhan miring untuk merusak citra umat Islam di dunia.
Di Inggris, umat Islam adalah warga minoritas terbesar dengan jumlah sekitar dua juta jiwa atau tiga persen dari populasi Inggris. Warga muslim Inggris umumnya adalah imigran dari anak benua India, meski tak dipungkiri bahwa banyak pula warga asli Inggris yang memeluk agama Islam.
Di Inggris, warga muslim menghadapi perlakuan pemerintah Inggris yang relatif lunak terhadap warga muslim dibanding negara-negara lainnya di Eropa. Di negara ini terdapat sekitar 600 masjid di berbagai penjuru negeri ini yang merupakan pusat kegiatan warga muslim Inggris. Dari masjid inilah, muncul berbagai organisasi dan partai Islam yang melakukan aktivitas penyebaran agama Islam dan melakukan koordinasi terhadap warga muslim sebagai sebuah komunitas keagamaan.
Berdasarkan undang-undang Inggris, setiap warga bebas melaksanakan kewajiban agamanya. Undang-undang ini tentu saja sangat menguntungkan kelompok minoritas agama di Inggris tak terkecuali umat Islam. Tahun 1988, dengan disahkannya undang-undang persamaan hak belajar, warga muslim Inggris mendapatkan peluang yang lebih besar untuk belajar, termasuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman.
Saat ini, sekitar 110 sekolah agama Islam menjalankan aktivitasnya secara independen di Inggris, dan tentunya jumlah sekecil ini masih jauh dari cukup bagi komunitas muslim Inggris, apalagi jika kita membandingkannya dengan fasilitas yang didapatkan oleh kelompok minoritas lain. Meski demikian, para pelajar muslim di Inggris tetap terlibat aktifitas pendidikan dengan giat. Bahkan tahun lalu, salah sebuah sekolah menengah atas putri muslim ditetapkan sebagai sekolah menengah tingkat atas terbaik di Inggris.
Di tengah sinar dakwah yang begitu benderang di negeri Pangeran Charles ini, bukan berarti tidak ada tantangan. Namun dalam menghadapi tekanan dan propaganda buruk ini, Islam di Inggris telah memposisikan diri sebagai agama yang hidup dan menarik perhatian. Karenanya, sebagian warga Inggris memiliki pandangan yang baru terhadap ajaran agama ini. Kita berharap, masyarakat muslim Inggris sebagai kelompok minoritas terbesar di Inggris dapat memperoleh hak-hak mereka yang semestinya.
“Melalui Islam aku merasa memiliki kekuatan untuk tetap dapat bergerak dinamis karena keindahan dan kesederhanaan pamakaian jilbab dan petunjuk-Nya dalam kehidupanku.” Shaista ‘Aziz membenarkan.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-dan-identitas-jilbabku/
Akhirnya Aku Bersyahadat
“Aku sangat terkejut dan sedih. Kasihan mereka. Pikiran mereka sudah dicekoki peradaban batu. Seperti kebanyakan orang Barat yang lain, aku beranggapan bahwa Islam menindas kaum wanita dan kerudung adalah bukti simbol penindasan itu.”
“Coba bayangkan, empat tahun kemudian, sungguh mengejutkan! Ketika aku berdiri terpaku di depan cermin, melihat bayanganku sendiri berpakaian seperti wanita yang tertindas itu!”
Begitulah Dr. Katherine Bullock, menulis dalam sebuah artikel ‘Bagaimana aku memeluk Islam’. Peristiwa itu dia alami pada 1991, ketika berada di depan TV menonton berita mengenai wanita Turki yang dikatakan kembali ke zaman dulu karena mengenakan kerudung.
Dia kemudian menemui orang-orang Islam di Queen’s University, Kingston, Ontario, Kanada. Perlu diketahui, populasi kaum Muslimin di Kanada mencapai 32.8 juta orang. Dan Islam telah menjadi agama kedua tercepat setelah Kristen. Penelitian terbaru menunjukkan, umat Islam begitu bangga menjadi warga Kanada. Dan mereka lebih terdidik di banding masyarakat umumnya.
Katherine Bullock, perempuan 24 tahun, berpikiran terbuka, liberal dan toleran. Dia merasakan keganjilan saat melihat sekelompok wanita muslimah berjalan di sekitar international centre dan merasa kasihan karena dia pikir mereka wanita yang tertekan. Dan dia semakin merasa kasihan ketika tahu mereka harus menutup rambut dan berlengan panjang di musim panas. Apakah mereka diperlakukan tak adil di negara-negara Islam?
“Kami berjilbab karena ini perintah Tuhan,” begitu jawaban mereka. Kasihan. Bagaimana perlakuan orang kepada mereka di negara-negara muslim. “Sudah budayanya begitu”, Jawab mereka. Aku mengira mereka ditipu, sejak kecil sudah dikondisikan seperti itu. Tapi herannya, mereka hidup bahagia dan ramah.
Aku lalu melihat pria-pria muslim berjalan di sekitar international centre di kampus itu. Bahkan ada yang berasal dari Libia. Aku gemetar, khawatir kalau-kalau mereka akan bertindak buruk kepadaku karena itu “perintah Tuhan.” Aku kecele. Ternyata para pria ini demikian bersahabat, dan tampah teduh dalam suasana benuh persahabatan.
Aneh juga keyakinan mereka. Itu membingungkanku. Lalu kubaca Quran dan tidak kutemukan sesuatu yang istimewa. Kemudian pecah Perang Teluk.Tuhan mana yang menyuruh kaum pria berperang, membunuh rakyat tak bersalah dari negara lain, memperkosa wanita dan apapun perilaku mereka untuk menentang Amerika? Kubaca lagi sebuah buku yang dapat dipercaya. Aku tidak kuat meneruskan membaca karena sangat, sangat tidak suka dengan buku yang menggambarkan adanya Tuhan yang menghancurkan seluruh kota dalam sekejap saja.
Tidak heran bila kaum perempuan agama ini demikian tertekan, dan para pemeluk fanatik kepercayaan ini membakar bendera-bendera Amerika. Tapi kaum Muslim yang kutemui sama sekali tidak seperti yang kukhawatirkan, dan menurut mereka al Quran tidak mengajarkan hal yang seperti itu. Mungkinkah aku salah memahaminya?
Setelah menerawang jauh, akhirnya aku seperti terlontar kembali ke masa kini. Saat imam masih memimpin shalat. Imam pun akhirnya berdiri. Aku ikut berdiri, dan hampir terjatuh karena menginjak rok panjangku. Aku mencoba tak menangis dan memusatkan perhatian untuk berdoa.
“Tuhan Yang Maha Penyayang. Aku berada di masjid ini kaerna aku percaya kepada Tuhan dan karena terbukti Islam merupakan agama yang paling bisa diterima oleh akal manusia dibandingkan dengan agama lain,” kataku. Saat bersujud aku memohon agar Tuhan YME membimbingku mejadi muslim yang baik.
Bayangkan, bagaimana mungkin Kathy, wanita Barat berkulit putih dan berpendidikan beralih keyakinan agama yang katanya menjadikan wanita warga kelas dua saja? Tapi nyatanya muslim di Kingston justru menjadi teman-temanku. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan bersikap ramah, tanpa banyak bertanya. Aku jadi lupa bahwa sebenarnya aku pernah menganggap mereka kelompok manusia yang tertindas dan teroris.
Sebaliknya, mereka seperti bintang yang menyinari perjalanan hidupku. Heran. Apa yang sedang kulakukan? Aku tengah sujud shalat. Lutut dan tanganku pegal. Aku tidak mengerti apa yang diucapkan si imam tapi jamaah lain tampaknya memahami apa yang mereka ucapkan. Maka aku berdoa dengan bahasaku sendiri, meminta Tuhan Yang Maha Esa untuk berbaik hati kepadaku, yang baru dua belas jam lalu menjadi seorang muslim.
Baiklah, God. Aku menjadi Muslim karena aku percaya kepada-Mu. Dan karena Islam adalah agama yang masuk akal bagiku. Wah, omong apa aku barusan? Air mataku mengalir. Bayangkan, apa yang akan dikatakan oleh teman-teman kalau nanti melihat aku bersujud ini? Mereka akan mentertawaiku.
Apa kamu sudah gila? Pasti begitu mereka akan berkomentar. Mereka akan heran betapa aku tiba-tiba saja percaya terhadap agama. Sebelumnya aku atheis. Jadi apa yang kemudian menyebabkan aku berubah lalu percaya akan adanya Tuhan, lalu memeluk Islam?
Aku teringat ketika masih seorang atheis. Benarkah atheis? Suatu malam aku merenung sambil memandang langit bertabur binatang. Aku merasa dikelilingi oleh sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Tiba-tiba aku merasa tenang dan nyaman. Akhirnya aku menyadari bahwa tidaklah mungkin aku melepaskan diri dari perasaan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang lebih besar dari diriku.
Pernahkah meragukan adanya Tuhan? Pertanyaan ini aku lontarkan kepada teman-teman yang beragama Islam maupun Kristen. Tidak, begitu jawab mereka. Hal ini membingungkan aku. Apakah keberadaan Tuhan begitu nyatanya? Kenapa aku tidak melihatnya? Coba, saudara-saudara, jawab pertanyaanku; Bagaimana mungkin Tuhan YME mendengarkan jutaan orang yang sedang berdoa dan memenuhi doa setiap orang? Rasanya tidak mungkin.
Ketika beranjak dewasa, aku rajin ke gereja. Rasanya memalukan karena setahuku masyarakat yang taat beribadah umumnya orang yang membosankan dan berpikiran kolot. Namun langit dan bumi ini tampak tidak masuk akal tanpa penciptanya. Sepulang dari gereja, perasaanku biasanya ringan dan bahagia. Mungkin karena aku telah berkomunikasi dengan Tuhan. Namun perasaan seperti itu telah hilang. Mungkinkah karena aku tidak dekat dengan Tuhan lagi? Tampaknya inilah awal dari perjalananku yang akhirnya membuatku menjadi seorang muallaf.
Semula aku berusaha berdoa lagi sebagai umat Kristiani. Sulit sekali. Aku berusaha belajar mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemudian aku bertemu feminis Kristen dan wanita Muslim. Aku mulai berdoa dan menamakan diriku sebagai “feminis pasca kristen”. Perasaanku ringan lagi dan yakin mungkin Tuhan memang ada. Akupun mulai instrospeksi dan menyadari bahwa segala kejadian yang kualami merupakan berkah dari Tuhan, dan aku tidak cukup berterima kasih kepada Tuhan. Aku merasakagum Tuhan begitu sayang dan baik kepada aku yang tidak setia kepada-Nya.
Dari Al Quran aku belajar bahwa Al Quran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan seringkali merupakan pembuktian dari ayat-ayat dalam Al Quran. Aku mulai kembali rajin ke gereja. tapi apa yang terjadi? Keyakinan Kristen semakin sulit aku pahami bahkan cenderung terasa tidak masuk akal. Terutama ajaran bahwa Yesus adalah anak Allah, dan ajaran menjunjung tinggi bunda Maria dan Yesus ketimbang percaya bahwa Allah Maha Esa. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan untuk menggunakan intelegensiku untuk merenung tentang Allah. Inilah yang mendorongku untuk menambah wawasan pengetahuan.
Keyakinan bahwa wanita muslimah mengalami tekanan rupanya salah. Itu bukan berdasarkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bukankah wanita Muslimah mengenakan jilbab karena mereka percaya janji Allah. Tapi sanggupkah aku menghadapi cemoohan orang? Tuhan tolonglah aku…Tuhan!.
Sampai akhirnya suatu hari di tahun 1994, aku berjalan-jalan bersama suamiku melewati sebuah masjid. Saat itu ada perasaan yang begitu kuat yang mendorong aku untuk segera memeluk Islam.
Dr. Katherine Bullock merupakan salah seorang intelektual Barat yang dengan kesadarannya memutuskan untuk bersyahadat. Keislamannya tidak lepas dari peran kaum muslimin Kanada yang memainkan peran dakwahnya dengan begitu simpatik. Sepanjang tahun 90-an sampai sekarang pertambahan mualaf terus meningkat.
Bahkan pasca 9/11 muncul sebuah tayangan di stasiun televisi nasional Canada, CBC, setiap hari selasa. Serial komedi situasi yang menampilkan karakter dan cerita tentang warga muslim yang mencoba membaur di sebuah kota kecil di Kanada. Serial yang dinamai ini “Little Mosque on the Prairie” atau Masjid Kecil di Padang Rumput.
Episode pertama Little Mosque on the Prairie memuat sejumlah contoh humor pasca 9/11, termasuk adegan polisi di bandara menggelandang sang imam baru untuk diinterogasi setelah percakapan teleponnya mengundang salah tafsir. Kelakar tentang racial profiling dan terorisme.
Kesuksesan sitcom yang menampilkan karakter-karakter muslim ini bergantung pada pandangan kritikus dan khalayak penonton di Kanada. Meski demikian, kabar mengenai acara itu sudah mengundang perhatian dan keingintahuan, terutama dari negara tetangga di selatan, Amerika Serikat. Sejumlah lembaga media berita Amerika sangat tertarik dengan isi acara televisi Kanada ini dan mengirim kru ke negara tetangga yang biasanya tidak begitu mereka perhatikan.
Bukan itu saja bahkan saat ini tengah berlangsung perbincangan sengit di Kanada mengenai batas-batas diperkenankannya warga Muslim menyelesaikan sengketa keluarga, seperti perceraian dan hak pengasuhan anak, menurut syariah, atau hukum Islam. Perbincangan sengit ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1991, saat pemerintah Ontario mulai menerapkan ketentuan yang memberi pemimpin keagamaan, baik Yahudi, Kristen, dan juga Islam, kewenangan untuk menengahi sengketa perdata.
Langkah itu dimaksudkan untuk menggalakkan paham keanekaragaman dan mengurangi beban peradilan. Para pemimpin muslim mengatakan mereka kini menghendaki panel penengahan muslim yang selama ini bersifat tak resmi agar dijadikan pengadilan resmi.
Warga muslim Kanada meyakini bahwa Hukum Islam, seperti penengahan dan arbitrasi berdasar agama, memiliki kelebihan, sebab memberikan cara kerja yang cepat dan murah, untuk menyelesaikan sengketa, dan juga memasukkan faktor penyembuhan ke dalam penahapan. Hal ini tidak bisa diberikan oleh pengadilan biasa. Tidak juga tentang penerapan upaya penengahan dan arbitrasi seperti yang dilakukan di Mesir, atau Pakistan. Tetapi pembahasannya dalam wacana tata hukum Kanada. Dan dapat dirasakan bahwa penengahan dan arbitrasi yang diakui dan diatur lebih baik daripada yang ditemukan selama ini tanpa pengaturan dan pengakuan.
http://www.dakwatuna.com/2007/akhirnya-aku-bersyahadat/
“Coba bayangkan, empat tahun kemudian, sungguh mengejutkan! Ketika aku berdiri terpaku di depan cermin, melihat bayanganku sendiri berpakaian seperti wanita yang tertindas itu!”
Begitulah Dr. Katherine Bullock, menulis dalam sebuah artikel ‘Bagaimana aku memeluk Islam’. Peristiwa itu dia alami pada 1991, ketika berada di depan TV menonton berita mengenai wanita Turki yang dikatakan kembali ke zaman dulu karena mengenakan kerudung.
Dia kemudian menemui orang-orang Islam di Queen’s University, Kingston, Ontario, Kanada. Perlu diketahui, populasi kaum Muslimin di Kanada mencapai 32.8 juta orang. Dan Islam telah menjadi agama kedua tercepat setelah Kristen. Penelitian terbaru menunjukkan, umat Islam begitu bangga menjadi warga Kanada. Dan mereka lebih terdidik di banding masyarakat umumnya.
Katherine Bullock, perempuan 24 tahun, berpikiran terbuka, liberal dan toleran. Dia merasakan keganjilan saat melihat sekelompok wanita muslimah berjalan di sekitar international centre dan merasa kasihan karena dia pikir mereka wanita yang tertekan. Dan dia semakin merasa kasihan ketika tahu mereka harus menutup rambut dan berlengan panjang di musim panas. Apakah mereka diperlakukan tak adil di negara-negara Islam?
“Kami berjilbab karena ini perintah Tuhan,” begitu jawaban mereka. Kasihan. Bagaimana perlakuan orang kepada mereka di negara-negara muslim. “Sudah budayanya begitu”, Jawab mereka. Aku mengira mereka ditipu, sejak kecil sudah dikondisikan seperti itu. Tapi herannya, mereka hidup bahagia dan ramah.
Aku lalu melihat pria-pria muslim berjalan di sekitar international centre di kampus itu. Bahkan ada yang berasal dari Libia. Aku gemetar, khawatir kalau-kalau mereka akan bertindak buruk kepadaku karena itu “perintah Tuhan.” Aku kecele. Ternyata para pria ini demikian bersahabat, dan tampah teduh dalam suasana benuh persahabatan.
Aneh juga keyakinan mereka. Itu membingungkanku. Lalu kubaca Quran dan tidak kutemukan sesuatu yang istimewa. Kemudian pecah Perang Teluk.Tuhan mana yang menyuruh kaum pria berperang, membunuh rakyat tak bersalah dari negara lain, memperkosa wanita dan apapun perilaku mereka untuk menentang Amerika? Kubaca lagi sebuah buku yang dapat dipercaya. Aku tidak kuat meneruskan membaca karena sangat, sangat tidak suka dengan buku yang menggambarkan adanya Tuhan yang menghancurkan seluruh kota dalam sekejap saja.
Tidak heran bila kaum perempuan agama ini demikian tertekan, dan para pemeluk fanatik kepercayaan ini membakar bendera-bendera Amerika. Tapi kaum Muslim yang kutemui sama sekali tidak seperti yang kukhawatirkan, dan menurut mereka al Quran tidak mengajarkan hal yang seperti itu. Mungkinkah aku salah memahaminya?
Setelah menerawang jauh, akhirnya aku seperti terlontar kembali ke masa kini. Saat imam masih memimpin shalat. Imam pun akhirnya berdiri. Aku ikut berdiri, dan hampir terjatuh karena menginjak rok panjangku. Aku mencoba tak menangis dan memusatkan perhatian untuk berdoa.
“Tuhan Yang Maha Penyayang. Aku berada di masjid ini kaerna aku percaya kepada Tuhan dan karena terbukti Islam merupakan agama yang paling bisa diterima oleh akal manusia dibandingkan dengan agama lain,” kataku. Saat bersujud aku memohon agar Tuhan YME membimbingku mejadi muslim yang baik.
Bayangkan, bagaimana mungkin Kathy, wanita Barat berkulit putih dan berpendidikan beralih keyakinan agama yang katanya menjadikan wanita warga kelas dua saja? Tapi nyatanya muslim di Kingston justru menjadi teman-temanku. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan bersikap ramah, tanpa banyak bertanya. Aku jadi lupa bahwa sebenarnya aku pernah menganggap mereka kelompok manusia yang tertindas dan teroris.
Sebaliknya, mereka seperti bintang yang menyinari perjalanan hidupku. Heran. Apa yang sedang kulakukan? Aku tengah sujud shalat. Lutut dan tanganku pegal. Aku tidak mengerti apa yang diucapkan si imam tapi jamaah lain tampaknya memahami apa yang mereka ucapkan. Maka aku berdoa dengan bahasaku sendiri, meminta Tuhan Yang Maha Esa untuk berbaik hati kepadaku, yang baru dua belas jam lalu menjadi seorang muslim.
Baiklah, God. Aku menjadi Muslim karena aku percaya kepada-Mu. Dan karena Islam adalah agama yang masuk akal bagiku. Wah, omong apa aku barusan? Air mataku mengalir. Bayangkan, apa yang akan dikatakan oleh teman-teman kalau nanti melihat aku bersujud ini? Mereka akan mentertawaiku.
Apa kamu sudah gila? Pasti begitu mereka akan berkomentar. Mereka akan heran betapa aku tiba-tiba saja percaya terhadap agama. Sebelumnya aku atheis. Jadi apa yang kemudian menyebabkan aku berubah lalu percaya akan adanya Tuhan, lalu memeluk Islam?
Aku teringat ketika masih seorang atheis. Benarkah atheis? Suatu malam aku merenung sambil memandang langit bertabur binatang. Aku merasa dikelilingi oleh sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Tiba-tiba aku merasa tenang dan nyaman. Akhirnya aku menyadari bahwa tidaklah mungkin aku melepaskan diri dari perasaan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang lebih besar dari diriku.
Pernahkah meragukan adanya Tuhan? Pertanyaan ini aku lontarkan kepada teman-teman yang beragama Islam maupun Kristen. Tidak, begitu jawab mereka. Hal ini membingungkan aku. Apakah keberadaan Tuhan begitu nyatanya? Kenapa aku tidak melihatnya? Coba, saudara-saudara, jawab pertanyaanku; Bagaimana mungkin Tuhan YME mendengarkan jutaan orang yang sedang berdoa dan memenuhi doa setiap orang? Rasanya tidak mungkin.
Ketika beranjak dewasa, aku rajin ke gereja. Rasanya memalukan karena setahuku masyarakat yang taat beribadah umumnya orang yang membosankan dan berpikiran kolot. Namun langit dan bumi ini tampak tidak masuk akal tanpa penciptanya. Sepulang dari gereja, perasaanku biasanya ringan dan bahagia. Mungkin karena aku telah berkomunikasi dengan Tuhan. Namun perasaan seperti itu telah hilang. Mungkinkah karena aku tidak dekat dengan Tuhan lagi? Tampaknya inilah awal dari perjalananku yang akhirnya membuatku menjadi seorang muallaf.
Semula aku berusaha berdoa lagi sebagai umat Kristiani. Sulit sekali. Aku berusaha belajar mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemudian aku bertemu feminis Kristen dan wanita Muslim. Aku mulai berdoa dan menamakan diriku sebagai “feminis pasca kristen”. Perasaanku ringan lagi dan yakin mungkin Tuhan memang ada. Akupun mulai instrospeksi dan menyadari bahwa segala kejadian yang kualami merupakan berkah dari Tuhan, dan aku tidak cukup berterima kasih kepada Tuhan. Aku merasakagum Tuhan begitu sayang dan baik kepada aku yang tidak setia kepada-Nya.
Dari Al Quran aku belajar bahwa Al Quran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan seringkali merupakan pembuktian dari ayat-ayat dalam Al Quran. Aku mulai kembali rajin ke gereja. tapi apa yang terjadi? Keyakinan Kristen semakin sulit aku pahami bahkan cenderung terasa tidak masuk akal. Terutama ajaran bahwa Yesus adalah anak Allah, dan ajaran menjunjung tinggi bunda Maria dan Yesus ketimbang percaya bahwa Allah Maha Esa. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan untuk menggunakan intelegensiku untuk merenung tentang Allah. Inilah yang mendorongku untuk menambah wawasan pengetahuan.
Keyakinan bahwa wanita muslimah mengalami tekanan rupanya salah. Itu bukan berdasarkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bukankah wanita Muslimah mengenakan jilbab karena mereka percaya janji Allah. Tapi sanggupkah aku menghadapi cemoohan orang? Tuhan tolonglah aku…Tuhan!.
Sampai akhirnya suatu hari di tahun 1994, aku berjalan-jalan bersama suamiku melewati sebuah masjid. Saat itu ada perasaan yang begitu kuat yang mendorong aku untuk segera memeluk Islam.
Dr. Katherine Bullock merupakan salah seorang intelektual Barat yang dengan kesadarannya memutuskan untuk bersyahadat. Keislamannya tidak lepas dari peran kaum muslimin Kanada yang memainkan peran dakwahnya dengan begitu simpatik. Sepanjang tahun 90-an sampai sekarang pertambahan mualaf terus meningkat.
Bahkan pasca 9/11 muncul sebuah tayangan di stasiun televisi nasional Canada, CBC, setiap hari selasa. Serial komedi situasi yang menampilkan karakter dan cerita tentang warga muslim yang mencoba membaur di sebuah kota kecil di Kanada. Serial yang dinamai ini “Little Mosque on the Prairie” atau Masjid Kecil di Padang Rumput.
Episode pertama Little Mosque on the Prairie memuat sejumlah contoh humor pasca 9/11, termasuk adegan polisi di bandara menggelandang sang imam baru untuk diinterogasi setelah percakapan teleponnya mengundang salah tafsir. Kelakar tentang racial profiling dan terorisme.
Kesuksesan sitcom yang menampilkan karakter-karakter muslim ini bergantung pada pandangan kritikus dan khalayak penonton di Kanada. Meski demikian, kabar mengenai acara itu sudah mengundang perhatian dan keingintahuan, terutama dari negara tetangga di selatan, Amerika Serikat. Sejumlah lembaga media berita Amerika sangat tertarik dengan isi acara televisi Kanada ini dan mengirim kru ke negara tetangga yang biasanya tidak begitu mereka perhatikan.
Bukan itu saja bahkan saat ini tengah berlangsung perbincangan sengit di Kanada mengenai batas-batas diperkenankannya warga Muslim menyelesaikan sengketa keluarga, seperti perceraian dan hak pengasuhan anak, menurut syariah, atau hukum Islam. Perbincangan sengit ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1991, saat pemerintah Ontario mulai menerapkan ketentuan yang memberi pemimpin keagamaan, baik Yahudi, Kristen, dan juga Islam, kewenangan untuk menengahi sengketa perdata.
Langkah itu dimaksudkan untuk menggalakkan paham keanekaragaman dan mengurangi beban peradilan. Para pemimpin muslim mengatakan mereka kini menghendaki panel penengahan muslim yang selama ini bersifat tak resmi agar dijadikan pengadilan resmi.
Warga muslim Kanada meyakini bahwa Hukum Islam, seperti penengahan dan arbitrasi berdasar agama, memiliki kelebihan, sebab memberikan cara kerja yang cepat dan murah, untuk menyelesaikan sengketa, dan juga memasukkan faktor penyembuhan ke dalam penahapan. Hal ini tidak bisa diberikan oleh pengadilan biasa. Tidak juga tentang penerapan upaya penengahan dan arbitrasi seperti yang dilakukan di Mesir, atau Pakistan. Tetapi pembahasannya dalam wacana tata hukum Kanada. Dan dapat dirasakan bahwa penengahan dan arbitrasi yang diakui dan diatur lebih baik daripada yang ditemukan selama ini tanpa pengaturan dan pengakuan.
http://www.dakwatuna.com/2007/akhirnya-aku-bersyahadat/
Aku Bahagia dalam Islam
Keputusan paling besar yang pernah kulakukan dalam hidupku ternyata juga merupakan suatu hal yang luar biasa sederhana. Mengucapkan dua kalimat syahadat ini, kulakukan setahun lalu di depan dua orang saksi. “Aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.”Ucapku, dan mulai saat itu, aku menjadi seorang Muslim.
Antara yakin dan sedikit tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya, Hilary Saunders berusaha untuk menjajaki kembali keputusannya. Mualaf asal Inggris dan wartawati Al Jazeera itu berada dalam kegamangan. Negeri Yordanlah yang akan menjadi saksi keteguhan iman yang telah menjadi pilihannya.
Hingga detik saat mengucapkan syahadat itu, ia masih belum sepenuhnya yakin bahwa itulah yang ingin ia lakukan. “Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar?”
Tetapi nyatanya dia merasakan betapa telah berubah hidupnya. Dia tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, tetapi saat dia mengucapkan kata-kata itu, dia merasakan kebahagiaan dan rasa cinta memenuhi seluruh relung hatinya dan baru empat hari kemudian dia berhenti merasa seakan-akan tengah melayang-layang.
“Aku hampir saja menggambarkan pengalaman batinku itu sebagai coming out, keluar, karena untuk pertama kali suatu bagian penting namun sangat rahasia dari diriku, kini muncul dan diketahui orang lain.”
Prosesi keislamannya barangkali tidak lebih dari sekadar beberapa menit, tetapi itu adalah puncak dari sebuah pencarian yang telah dijalani sepanjang hidupnya. Kedua orangtuanya agnostik—mereka tidak percaya akan adanya Tuhan, dan membesarkannya dan kedua saudara perempuannya tanpa agama supaya mereka bisa memutuskan sendiri bila dewasa nanti.
Sejak kecil dirinya sudah menyadari bahwa dia tengah mencari sesuatu, entah apa. Pada saat-saat tertentu dia bahkan merasa seakan-akan seperti sebuah kapal tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana harus berlabuh. Saat mulai kuliah, Hilary muda mulai meneliti berbagai kepercayaan yang ada. Misalnya, sebuah sistem falsafah yang dikenal sebagai The Work, yang ternyata banyak menyontek Islam, meskipun dia belum tahu ketika itu. Hilary juga meneliti berbagai filosofi new-age, mencoba meditasi Budha, dan membaca berbagai buku pengembangan diri.
Di masa lalu pun hubungan dengan lawan jenis seringkali bermasalah. Suatu kali, sesudah putus dari seorang pacar, dia baca buku karya Robin Norwood yang berjudul Wobel Who Love Too Much. Sebenarnya Hilary sudah pernah membacanya dan dia berpikir buku itu hanya cocok untuk perempuan-perempuan yang terlalu tergantung kepada pacar atau suami yang justru senang memukuli mereka. Tapi kali ini Hilary berpikir. Jangan-jangan, dia pun sama dengan semua perempuan yang diceritakan oleh Robin Norwood itu, maka dia pun mengerjakan semua hal yang disarankan penulisnya.
Buku itu mendorong perempuan untuk mengembangkan spiritualitasnya, mencoba lebih menghargai diri sendiri, dan barangkali juga mengikuti konseling. “Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku karena aku, saat itu, juga sedang mempelajari konsep reliji yang mengajari orang tentang kasih sayang. Benakku penuh dengan pergulatan konsep ketuhanan. Aku terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah secara spiritual.”
Seiring berjalannya waktu, kemudian Hilary mendapatkan pacar seorang pria Muslim. “Sebenarnya sama sekali tidak ada niatku berpacaran dengan seorang Muslim.” Kenang Hilary. Ironisnya, kebetulan saja hal ini terjadi sesudah mereka mabuk-mabukan (bisa dibilang, pria itu adalah seorang muslim yang saat itu tengah khilaf dan melakukan kesalahan).
“Pada saat itu, pengetahuanku nol tentang Islam. Aku tidak pernah punya teman muslim di masa kecil dan remaja, dan hampir semua citra yang kumiliki tentang agama ini negatif. Pada pandanganku, Islam itu kuno, peninggalan jaman kegelapan, sangat menindas dan otoriter terhadap perempuan. Persepsiku bahwa Islam itu sangat anti perempuan menjadi salah satu sumber perdebatan kami. Aku menantang pacarku ketika itu untuk menjelaskan mengapa Islam demikian anti feminis? Aku keluarkan semua argumentasi yang biasa dikemukakan orang di Barat tentang Islam, seperti: “Islam itu mengajari laki-laki untuk merendahkan perempuan. Kalau tidak, kenapa Islam mengizinkan pria memiliki empat orang istri?” Serentetan hujatan nyaris tak bisa dipatahkan pacarnya.
“Jujur saja, semua perdebatan soal Islam inilah yang membuat kami bertahan pacaran selama empat tahun. Dia selalu berusaha mencoba menjawab semua pertanyaanku, dan memberiku rujukan dari Al-Quran dan hadits. Aku mulai membacanya sendiri, dan perlahan-lahan semua pertanyaanku mulai terjawab, sampai aku tersadar bahwa banyak sekali pandanganku yang keliru tentang Islam. Karena sedikitnya pengetahuanku—misalnya tentang bahwa laki-laki boleh beristri empat—aku keliru menyimpulkan.” Hilary mencoba meyakinkan diri.
“Salah satu hal yang juga kalau kusadari adalah bahwa dalam Islam, poligami bukannya didorong dan dipromosikan melainkan ditolerasi. Kadang-kadang memang poligami menjadi kebutuhan. Tetapi selalu ada rambu-rambu penjaganya. Kalau seorang pria menikah namun istrinya tak bisa memberinya anak, maka ia boleh mengambil istri kedua dengan kesepakatan dari istri pertama. (di lain pihak, bila seorang pria tidak bisa memberi anak, maka si istri dapat meminta cerai). Bagiku, ini cara yang lebih baik daripada yang terjadi di barat, yang memungkinkan si suami menceraikan istri tanpa tunjangan apa pun.” Terang Hilary makin mantap.
“Doktrin tentang poligami ini sebenarnya adalah untuk melindungi wanita. Bukan untuk mendorong kaum pria mengumpulkan sekian istri untuk berbangga-bangga. Inilah jenis pertanyaan yang aku lontarkan sendiri, lalu aku perdebatkan sampai kehabisan jawaban sendiri. Misalnya, mengapa perempuan membutuhkan perlindungan pria? Mengapa perempuan tak boleh memiliki lebih dari satu suami? Aku tersadar bahwa seorang perempuan tidak mungkin memiliki empat suami karena tentu akan sulit menentukan siapa ayah anak-anaknya, dan para ayah itu bisa saja lalu berkelahi soal siapa yang harus menunjang kehidupan anak-anak tersebut.” Hilary lalu tersadar, betapa sangat masuk akalnya Islam.
Beberapa waktu kemudian, Hilary dan pacarnya pisahan. Hilary lalu pergi berlibur ke Yordania. Di sanalah dia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Entah bagaimana caranya dia sampai pada keyakinan itu, yang jelas tiba-tiba saja dia yakin sepenuhnya. Di tempat yang sungguh indah itulah Hilary menyaksikan bagaimana cara sesama muslim berinteraksi, seperti apa rasanya mendengar adzan—sungguh -sungguh dia tersentuh karenanya.
Sekembalinya ke Inggris, dia mendaftar ke sebuah kursus mengenal Islam selama tiga hari di Masjid Agung di Regent’s Park, di utara London. Di penghujung hari yang ketiga itulah Hilary memutuskan bahwa sudah tiba waktunya dia bersyahadat.
Pada saat mengikuti kursus itu Hilary mendapat sejumlah teman baik. Tentu saja, sebagian besar sahabat muslimnya ada juga yang mualaf. Tentu, banyak sekali orang masuk Islam di Inggris—sekitar 10.000 dari 1.8 juga Muslim di Inggris adalah mualaf berkulit putih atau Afrika Karibia.
Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah, karena mereka tidak tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim, sulit bagi mereka untuk membangun hubungan antar manusia. Islam tidak mengizinkan pacaran. Islam memerintahkan masyarakat untuk membantu menikahkan orang-orang yang belum menikah.
“Aku sendiri merasa akan ada kendala teknis dari pendekatan ini secara pribadi. Tetapi aku sendiri sangat, sangat ingin menikah dan aku yakin pada akhirnya aku akan mendapatkan seorang suami yang baik, insya Allah.” Ungkap Hilary penuh harap.
Sejak memeluk Islam, Hilary memutuskan untuk berpakaian Islami dan mengenakan Jilbab. Di balik jilbab ada konsep mengenai perlindungan diri dengan berpakaian secara sopan, tidak untuk memamerkan diri atau menarik perhatian lawan jenis, serta mencegah iri hati. Islam menasihati kedua pihak, bukan hanya perempuan, untuk berpakaian sopan.
“Saat pertama kali hendak mengenakan jilbab, aku sempat merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati apa kiranya reaksi orang melihatku.” Itulah bayangan yang selalu muncul di hadapannya. Namun Keyakinan Hilary telah mengikis semua bayangan kelam itu.
“Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku sudah mengambil sebuah komitmen, dan jilbab adalah tanda lahiriah komitmen tersebut. Sesudah mengenakannya, aku merasa sangat aman dan terlindungi. Aku merasa lebih menghargai diriku sendiri. Aku merasa telah menemukan tempatku yang sesungguhnya di dunia.” Allahu Akbar.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-bahagia-dalam-islam/
Antara yakin dan sedikit tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya, Hilary Saunders berusaha untuk menjajaki kembali keputusannya. Mualaf asal Inggris dan wartawati Al Jazeera itu berada dalam kegamangan. Negeri Yordanlah yang akan menjadi saksi keteguhan iman yang telah menjadi pilihannya.
Hingga detik saat mengucapkan syahadat itu, ia masih belum sepenuhnya yakin bahwa itulah yang ingin ia lakukan. “Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar?”
Tetapi nyatanya dia merasakan betapa telah berubah hidupnya. Dia tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, tetapi saat dia mengucapkan kata-kata itu, dia merasakan kebahagiaan dan rasa cinta memenuhi seluruh relung hatinya dan baru empat hari kemudian dia berhenti merasa seakan-akan tengah melayang-layang.
“Aku hampir saja menggambarkan pengalaman batinku itu sebagai coming out, keluar, karena untuk pertama kali suatu bagian penting namun sangat rahasia dari diriku, kini muncul dan diketahui orang lain.”
Prosesi keislamannya barangkali tidak lebih dari sekadar beberapa menit, tetapi itu adalah puncak dari sebuah pencarian yang telah dijalani sepanjang hidupnya. Kedua orangtuanya agnostik—mereka tidak percaya akan adanya Tuhan, dan membesarkannya dan kedua saudara perempuannya tanpa agama supaya mereka bisa memutuskan sendiri bila dewasa nanti.
Sejak kecil dirinya sudah menyadari bahwa dia tengah mencari sesuatu, entah apa. Pada saat-saat tertentu dia bahkan merasa seakan-akan seperti sebuah kapal tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana harus berlabuh. Saat mulai kuliah, Hilary muda mulai meneliti berbagai kepercayaan yang ada. Misalnya, sebuah sistem falsafah yang dikenal sebagai The Work, yang ternyata banyak menyontek Islam, meskipun dia belum tahu ketika itu. Hilary juga meneliti berbagai filosofi new-age, mencoba meditasi Budha, dan membaca berbagai buku pengembangan diri.
Di masa lalu pun hubungan dengan lawan jenis seringkali bermasalah. Suatu kali, sesudah putus dari seorang pacar, dia baca buku karya Robin Norwood yang berjudul Wobel Who Love Too Much. Sebenarnya Hilary sudah pernah membacanya dan dia berpikir buku itu hanya cocok untuk perempuan-perempuan yang terlalu tergantung kepada pacar atau suami yang justru senang memukuli mereka. Tapi kali ini Hilary berpikir. Jangan-jangan, dia pun sama dengan semua perempuan yang diceritakan oleh Robin Norwood itu, maka dia pun mengerjakan semua hal yang disarankan penulisnya.
Buku itu mendorong perempuan untuk mengembangkan spiritualitasnya, mencoba lebih menghargai diri sendiri, dan barangkali juga mengikuti konseling. “Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku karena aku, saat itu, juga sedang mempelajari konsep reliji yang mengajari orang tentang kasih sayang. Benakku penuh dengan pergulatan konsep ketuhanan. Aku terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah secara spiritual.”
Seiring berjalannya waktu, kemudian Hilary mendapatkan pacar seorang pria Muslim. “Sebenarnya sama sekali tidak ada niatku berpacaran dengan seorang Muslim.” Kenang Hilary. Ironisnya, kebetulan saja hal ini terjadi sesudah mereka mabuk-mabukan (bisa dibilang, pria itu adalah seorang muslim yang saat itu tengah khilaf dan melakukan kesalahan).
“Pada saat itu, pengetahuanku nol tentang Islam. Aku tidak pernah punya teman muslim di masa kecil dan remaja, dan hampir semua citra yang kumiliki tentang agama ini negatif. Pada pandanganku, Islam itu kuno, peninggalan jaman kegelapan, sangat menindas dan otoriter terhadap perempuan. Persepsiku bahwa Islam itu sangat anti perempuan menjadi salah satu sumber perdebatan kami. Aku menantang pacarku ketika itu untuk menjelaskan mengapa Islam demikian anti feminis? Aku keluarkan semua argumentasi yang biasa dikemukakan orang di Barat tentang Islam, seperti: “Islam itu mengajari laki-laki untuk merendahkan perempuan. Kalau tidak, kenapa Islam mengizinkan pria memiliki empat orang istri?” Serentetan hujatan nyaris tak bisa dipatahkan pacarnya.
“Jujur saja, semua perdebatan soal Islam inilah yang membuat kami bertahan pacaran selama empat tahun. Dia selalu berusaha mencoba menjawab semua pertanyaanku, dan memberiku rujukan dari Al-Quran dan hadits. Aku mulai membacanya sendiri, dan perlahan-lahan semua pertanyaanku mulai terjawab, sampai aku tersadar bahwa banyak sekali pandanganku yang keliru tentang Islam. Karena sedikitnya pengetahuanku—misalnya tentang bahwa laki-laki boleh beristri empat—aku keliru menyimpulkan.” Hilary mencoba meyakinkan diri.
“Salah satu hal yang juga kalau kusadari adalah bahwa dalam Islam, poligami bukannya didorong dan dipromosikan melainkan ditolerasi. Kadang-kadang memang poligami menjadi kebutuhan. Tetapi selalu ada rambu-rambu penjaganya. Kalau seorang pria menikah namun istrinya tak bisa memberinya anak, maka ia boleh mengambil istri kedua dengan kesepakatan dari istri pertama. (di lain pihak, bila seorang pria tidak bisa memberi anak, maka si istri dapat meminta cerai). Bagiku, ini cara yang lebih baik daripada yang terjadi di barat, yang memungkinkan si suami menceraikan istri tanpa tunjangan apa pun.” Terang Hilary makin mantap.
“Doktrin tentang poligami ini sebenarnya adalah untuk melindungi wanita. Bukan untuk mendorong kaum pria mengumpulkan sekian istri untuk berbangga-bangga. Inilah jenis pertanyaan yang aku lontarkan sendiri, lalu aku perdebatkan sampai kehabisan jawaban sendiri. Misalnya, mengapa perempuan membutuhkan perlindungan pria? Mengapa perempuan tak boleh memiliki lebih dari satu suami? Aku tersadar bahwa seorang perempuan tidak mungkin memiliki empat suami karena tentu akan sulit menentukan siapa ayah anak-anaknya, dan para ayah itu bisa saja lalu berkelahi soal siapa yang harus menunjang kehidupan anak-anak tersebut.” Hilary lalu tersadar, betapa sangat masuk akalnya Islam.
Beberapa waktu kemudian, Hilary dan pacarnya pisahan. Hilary lalu pergi berlibur ke Yordania. Di sanalah dia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Entah bagaimana caranya dia sampai pada keyakinan itu, yang jelas tiba-tiba saja dia yakin sepenuhnya. Di tempat yang sungguh indah itulah Hilary menyaksikan bagaimana cara sesama muslim berinteraksi, seperti apa rasanya mendengar adzan—sungguh -sungguh dia tersentuh karenanya.
Sekembalinya ke Inggris, dia mendaftar ke sebuah kursus mengenal Islam selama tiga hari di Masjid Agung di Regent’s Park, di utara London. Di penghujung hari yang ketiga itulah Hilary memutuskan bahwa sudah tiba waktunya dia bersyahadat.
Pada saat mengikuti kursus itu Hilary mendapat sejumlah teman baik. Tentu saja, sebagian besar sahabat muslimnya ada juga yang mualaf. Tentu, banyak sekali orang masuk Islam di Inggris—sekitar 10.000 dari 1.8 juga Muslim di Inggris adalah mualaf berkulit putih atau Afrika Karibia.
Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah, karena mereka tidak tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim, sulit bagi mereka untuk membangun hubungan antar manusia. Islam tidak mengizinkan pacaran. Islam memerintahkan masyarakat untuk membantu menikahkan orang-orang yang belum menikah.
“Aku sendiri merasa akan ada kendala teknis dari pendekatan ini secara pribadi. Tetapi aku sendiri sangat, sangat ingin menikah dan aku yakin pada akhirnya aku akan mendapatkan seorang suami yang baik, insya Allah.” Ungkap Hilary penuh harap.
Sejak memeluk Islam, Hilary memutuskan untuk berpakaian Islami dan mengenakan Jilbab. Di balik jilbab ada konsep mengenai perlindungan diri dengan berpakaian secara sopan, tidak untuk memamerkan diri atau menarik perhatian lawan jenis, serta mencegah iri hati. Islam menasihati kedua pihak, bukan hanya perempuan, untuk berpakaian sopan.
“Saat pertama kali hendak mengenakan jilbab, aku sempat merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati apa kiranya reaksi orang melihatku.” Itulah bayangan yang selalu muncul di hadapannya. Namun Keyakinan Hilary telah mengikis semua bayangan kelam itu.
“Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku sudah mengambil sebuah komitmen, dan jilbab adalah tanda lahiriah komitmen tersebut. Sesudah mengenakannya, aku merasa sangat aman dan terlindungi. Aku merasa lebih menghargai diriku sendiri. Aku merasa telah menemukan tempatku yang sesungguhnya di dunia.” Allahu Akbar.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-bahagia-dalam-islam/
“Aku prajurit Amerika, seorang warga negara, dan seorang patriot. Tapi dalam tatapan kecurigaan, aku minoritas sesat yang tidak memiliki hubungan inklusif dengan pemerintahan nasional Amerika. Aku hanya seorang muslim.” Demikian Yee menulis di bagian akhir kesaksiannya atas kebrutalan tentara Amerika atas dirinya dan tawanan muslim yang lain.
James Yee adalah seorang mualaf lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di AS. Mulanya, ia adalah pemeluk Kristen Lutheran. Ia memilih untuk memeluk Islam ketika ke Suriah. Setelah lulus dari West Point ia bertemu dengan seorang wanita bernama Huda yang kemudian menjadi istrinya. James Yee lulus dari West Point pada tahun 1990, mengabdi di Angkatan Darat AS selama empat belas tahun, termasuk tugas di Arab Saudi pasca-Perang Teluk I. Setelah memeluk Islam pada tahun 1991, ia belajar Islam dan bahasa Arab di Damaskus- Suriah selama empat tahun. Ia telah dua kali menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Pada awal 2001, dia kembali ke dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osama bin Laden dan mantan Pasukan Taliban.
Ketika tiba di Guantanamo, Yee menemukan banyak sekali kebrutalan yang dilakukan terhadap orang-orang Muslim yang menjadi tahanan di sana. Namun karena awalnya ia menganggap kebrutalan ini dilandasi oleh ketidaktahuan, Yee justru memandang kondisi ini sebagai tantangan baginya. Yee tidak hanya ingin memberikan pelayanan spiritual kepada para tahanan, namun ia juga ingin mendidik para personel militer AS tentang Islam.
Sayangnya, hal inilah yang menyeretnya ke dalam kubangan masalah. Karena memperlakukan para tahanan dengan hormat dan bermartabat, bicara yang baik-baik tentang Islam, serta memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan, Yee malah dipandang sebagai teroris, dipandang sebagai musuh.
Karena James Yee seorang Muslim, ia dicurigai dan diperlakukan semena-mena olah para prajurit lain. Para prajurit itu mengabaikan perintah-perintahnya sebagai Kapten Angkatan Darat AS. Ini merupakan tindakan indisipliner, namun tak ada tindak lanjutnya. Ini membuktikan bahwa seorang Muslim tidak bisa menjadi tentara sungguhan di AS, apalagi menjadi perwira.
Sebagian besar kebrutalan yang dilakukan terhadap James Yee dan para tahanan lain di Guantanamo merupakan tanggung jawab Jenderal Geoffrey Miller, orang yang berkuasa di Guantanamo. Jenderal Miller sepertinya punya dendam dan kebencian pribadi terhadap Yee dan kaum Muslimin. Entah apa motifnya.
Keyakinan Kristen Miller sendiri yang radikal dipercaya ikut andil dalam segala tindak-tanduknya di Guantanamo. Namun, sayangnya, James Yee-lah yang menghadapi dakwaan kriminal, buka Miller. Yee-lah yang terpaksa mengundurkan diri, bukannya Miller. Padahal Miller-lah—beserta sejumlah perwira senior lainnya—yang seharusnya dipecat dengan tidak hormat dari dinas militer.
Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Alquran dilempar, ditendang, diinjak dan dirobek. Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang shalat berjamaah. Di Kamp X-ray dan Delta tahanan dipaksa berlutut berjam-jam di bawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.
Amerika rupanya enggan menerapkan Konvensi Jenewa kepada tahanan muslim di kamp militer Guantanamo.
Penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap tahanan muslim di Penjara Guantanamo bukanlah isapan jempol. Ratusan orang yang terkurung di kamp militer Amerika Serikat itu mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi.
James Yee membeberkan kekejaman tentara Amerika di Penjara Guantanamo berdasarkan kesaksiannya saat bertugas di sana. Pelecehan dan pembunuhan karakter dialaminya. Hanya karena Yee beragama Islam dan berusaha berbuat lebih beradab. Juga karena ia seorang imam muslim—dai (pendakwah)– di lingkungan militer Amerika yang berupaya meluruskan kekeliruan pemahaman tentang Islam kepada temannya sesama prajurit. Kisah tragis yang dialami Yee, tentara Amerika keturunan Cina berpangkat kapten ini, berawal dari masa dinasnya di Guantanamo.
Dalam kurun 10 bulan bertugas di Kamp Delta—sebutan untuk delapan blok penjara itu—ia menjadi saksi kekejaman yang dialami para tahanan. “Bahkan mereka tidak mendapatkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Konvensi Jenewa,” papar Yee memberi kesaksian.
Pemerintahan Presiden George W. Bush dan kalangan militer enggan menerapkan konvensi itu kepada tahanan muslim yang disebutnya sebagai teroris. Para “pejuang” muslim, musuh Amerika dari berbagai negara, tidak memperoleh haknya sebagai tahanan perang.
Dapat dipastikan, penganiayaan terhadap tahanan dan pelecehan kitab suci Al-Qur’an kerap terjadi saat tahanan menjalani pemeriksaan. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Aku sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai. Hampir setiap hari terjadi pertikaian keras antara penjaga dan tahanan yang berujung penyiksaan. Terkadang prajurit Amerika yang bukan muslim sengaja membuat keributan selagi tahanan tengah beribadah.
Tak jarang pula tahanan dipaksa meninggalkan shalat untuk menjalani pemeriksaan. “Lambat laun aku sadar bahwa usahaku untuk memberikan pengajaran tentang toleransi membuat kecurigaan mereka semakin dalam,” tulis Yee. Dan siapa pun yang bertugas di kamp itu harus tetap menjaga kerahasiaan tentang apa pun yang dilihat dan dialami.
Diam-diam, gerak-gerik prajurit yang bertugas pun selalu diawasi oleh agen rahasia pemerintah, baik dari FBI maupun badan intelijen militer. Yee yang sejak masuk Islam menambahkan Yusuf dalam namanya, tak luput dari pengawasan. Hingga akhirnya, Yee diciduk pada 10 September 2003 di Bandara Jacksonville, Florida.
Selama 10 hari dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat.
”Mereka tidak peduli pangkatku kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agamaku melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadapku. Mereka tidak peduli istri dan anak-anakku tidak mengetahui keberadaanku. Mereka pun jelas tidak peduli kalau aku adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah”.
Sejak saat itu, beragam tuduhan dilontarkan untuk menjeratnya. Pengkhianatan, persekongkolan dengan teroris, hingga isu perselingkuhan ditebar. Sejumlah koran Amerika sendiri sempat terjebak pada kekeliruan informasi yang disebar intel.
Mereka menyebut Yusuf Yee sebagai antek Taliban. Isu perselingkuhan yang sengaja ditebar ke koran nyaris menghancurkan rumah tangganya. Teror dan fitnah juga dilancarkan agar istrinya juga turut membencinya.
Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari di dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.
Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya…
Yang lebih mencengangkan, ada anak di bawah umur dijebloskan ke penjara ini dengan tuduhan sebagai anggota jaringan teroris. Seorang di antaranya adalah Omar Khadir, bocah muslim asal Kanada yang baru berusia 15 tahun.
Kesaksian James Yee ini kian menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di penjara-penjara khusus Amerika. Yee menyebutkan, perang melawan terorisme yang dicanangkan Presiden Bush melahirkan kegilaan di kalangan militer Amerika. Yee menjadi korban kegilaan itu.
Pengalaman kelam selama lebih dari satu tahun dalam tahanan militer memberinya pelajaran berharga. Kondisi militer Amerika jauh dari gambaran ideal Yee. Perbedaan dan kehormatan serta kemerdekaan menjalankan agama tidak dijamin.
Agama dan keyakinan ternyata masih menjadi masalah utama di dunia militer negeri yang mengaku demokratis itu. “Mereka tidak mempertimbangkan bahwa aku adalah seorang prajurit yang setia,” tulis James Yee.
Kesaksian Yee ini layaknya film drama produksi Hollywood. Seorang perwira militer Amerika Serikat dijebloskan ke penjara berdasarkan sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan menjadi pengkhianat militer dan negara.
Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya perwira itu dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee, perwira itu, mendapatkan perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.
Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong. Sementara kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan New York Times edisi 24 Maret 2006 menurunkan tajuk rencana berjudul “Ketidakadilan Militer”.
Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee “terpaksa” mundur dari militer pada 7 Januari 2005. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur. Bahkan hingga kini statusnya masih ‘dalam pengawasan’.
AS benar-benar paranoid. Siapa pun yang dianggap musuh, apa pun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia, keadilan konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya sendiri.
Kasus Yee dan Penjara Guantanamo makin merontokkan citra AS di mata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya, Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk dalam penjara itu.
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar. Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, Dll. yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both sie. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.
Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel, tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan, bahkan sebagian media massa minta maaf pada Yee.
Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena dia sebagai Muslim taat menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.
Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya. Kita seakan muak dengan kebijakan-kebijakan AS di bawah Bush dengan segala tindak-tanduk primitifnya yang mengacak-acak peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan.
Apakah ‘perang melawan terorisme’ yang digagas Amerika Serikat (AS) benar-benar perang yang ditujukan untuk melawan ekstremisme demi tegaknya demokrasi? Ataukah label itu hanya bungkus bagi perang melawan Islam? Para pejabat AS di lingkaran Bush bersikeras bahwa agenda mereka bersifat politis, bukan religius. Namun faktanya, retorika dan tindak-tanduk AS di lapangan mengubah perang melawan terorisme menjadi perang melawan Islam.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-muslim-aku-prajurit-setia/
James Yee adalah seorang mualaf lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di AS. Mulanya, ia adalah pemeluk Kristen Lutheran. Ia memilih untuk memeluk Islam ketika ke Suriah. Setelah lulus dari West Point ia bertemu dengan seorang wanita bernama Huda yang kemudian menjadi istrinya. James Yee lulus dari West Point pada tahun 1990, mengabdi di Angkatan Darat AS selama empat belas tahun, termasuk tugas di Arab Saudi pasca-Perang Teluk I. Setelah memeluk Islam pada tahun 1991, ia belajar Islam dan bahasa Arab di Damaskus- Suriah selama empat tahun. Ia telah dua kali menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Pada awal 2001, dia kembali ke dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osama bin Laden dan mantan Pasukan Taliban.
Ketika tiba di Guantanamo, Yee menemukan banyak sekali kebrutalan yang dilakukan terhadap orang-orang Muslim yang menjadi tahanan di sana. Namun karena awalnya ia menganggap kebrutalan ini dilandasi oleh ketidaktahuan, Yee justru memandang kondisi ini sebagai tantangan baginya. Yee tidak hanya ingin memberikan pelayanan spiritual kepada para tahanan, namun ia juga ingin mendidik para personel militer AS tentang Islam.
Sayangnya, hal inilah yang menyeretnya ke dalam kubangan masalah. Karena memperlakukan para tahanan dengan hormat dan bermartabat, bicara yang baik-baik tentang Islam, serta memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan, Yee malah dipandang sebagai teroris, dipandang sebagai musuh.
Karena James Yee seorang Muslim, ia dicurigai dan diperlakukan semena-mena olah para prajurit lain. Para prajurit itu mengabaikan perintah-perintahnya sebagai Kapten Angkatan Darat AS. Ini merupakan tindakan indisipliner, namun tak ada tindak lanjutnya. Ini membuktikan bahwa seorang Muslim tidak bisa menjadi tentara sungguhan di AS, apalagi menjadi perwira.
Sebagian besar kebrutalan yang dilakukan terhadap James Yee dan para tahanan lain di Guantanamo merupakan tanggung jawab Jenderal Geoffrey Miller, orang yang berkuasa di Guantanamo. Jenderal Miller sepertinya punya dendam dan kebencian pribadi terhadap Yee dan kaum Muslimin. Entah apa motifnya.
Keyakinan Kristen Miller sendiri yang radikal dipercaya ikut andil dalam segala tindak-tanduknya di Guantanamo. Namun, sayangnya, James Yee-lah yang menghadapi dakwaan kriminal, buka Miller. Yee-lah yang terpaksa mengundurkan diri, bukannya Miller. Padahal Miller-lah—beserta sejumlah perwira senior lainnya—yang seharusnya dipecat dengan tidak hormat dari dinas militer.
Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Alquran dilempar, ditendang, diinjak dan dirobek. Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang shalat berjamaah. Di Kamp X-ray dan Delta tahanan dipaksa berlutut berjam-jam di bawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.
Amerika rupanya enggan menerapkan Konvensi Jenewa kepada tahanan muslim di kamp militer Guantanamo.
Penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap tahanan muslim di Penjara Guantanamo bukanlah isapan jempol. Ratusan orang yang terkurung di kamp militer Amerika Serikat itu mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi.
James Yee membeberkan kekejaman tentara Amerika di Penjara Guantanamo berdasarkan kesaksiannya saat bertugas di sana. Pelecehan dan pembunuhan karakter dialaminya. Hanya karena Yee beragama Islam dan berusaha berbuat lebih beradab. Juga karena ia seorang imam muslim—dai (pendakwah)– di lingkungan militer Amerika yang berupaya meluruskan kekeliruan pemahaman tentang Islam kepada temannya sesama prajurit. Kisah tragis yang dialami Yee, tentara Amerika keturunan Cina berpangkat kapten ini, berawal dari masa dinasnya di Guantanamo.
Dalam kurun 10 bulan bertugas di Kamp Delta—sebutan untuk delapan blok penjara itu—ia menjadi saksi kekejaman yang dialami para tahanan. “Bahkan mereka tidak mendapatkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Konvensi Jenewa,” papar Yee memberi kesaksian.
Pemerintahan Presiden George W. Bush dan kalangan militer enggan menerapkan konvensi itu kepada tahanan muslim yang disebutnya sebagai teroris. Para “pejuang” muslim, musuh Amerika dari berbagai negara, tidak memperoleh haknya sebagai tahanan perang.
Dapat dipastikan, penganiayaan terhadap tahanan dan pelecehan kitab suci Al-Qur’an kerap terjadi saat tahanan menjalani pemeriksaan. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Aku sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai. Hampir setiap hari terjadi pertikaian keras antara penjaga dan tahanan yang berujung penyiksaan. Terkadang prajurit Amerika yang bukan muslim sengaja membuat keributan selagi tahanan tengah beribadah.
Tak jarang pula tahanan dipaksa meninggalkan shalat untuk menjalani pemeriksaan. “Lambat laun aku sadar bahwa usahaku untuk memberikan pengajaran tentang toleransi membuat kecurigaan mereka semakin dalam,” tulis Yee. Dan siapa pun yang bertugas di kamp itu harus tetap menjaga kerahasiaan tentang apa pun yang dilihat dan dialami.
Diam-diam, gerak-gerik prajurit yang bertugas pun selalu diawasi oleh agen rahasia pemerintah, baik dari FBI maupun badan intelijen militer. Yee yang sejak masuk Islam menambahkan Yusuf dalam namanya, tak luput dari pengawasan. Hingga akhirnya, Yee diciduk pada 10 September 2003 di Bandara Jacksonville, Florida.
Selama 10 hari dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat.
”Mereka tidak peduli pangkatku kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agamaku melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadapku. Mereka tidak peduli istri dan anak-anakku tidak mengetahui keberadaanku. Mereka pun jelas tidak peduli kalau aku adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah”.
Sejak saat itu, beragam tuduhan dilontarkan untuk menjeratnya. Pengkhianatan, persekongkolan dengan teroris, hingga isu perselingkuhan ditebar. Sejumlah koran Amerika sendiri sempat terjebak pada kekeliruan informasi yang disebar intel.
Mereka menyebut Yusuf Yee sebagai antek Taliban. Isu perselingkuhan yang sengaja ditebar ke koran nyaris menghancurkan rumah tangganya. Teror dan fitnah juga dilancarkan agar istrinya juga turut membencinya.
Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari di dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.
Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya…
Yang lebih mencengangkan, ada anak di bawah umur dijebloskan ke penjara ini dengan tuduhan sebagai anggota jaringan teroris. Seorang di antaranya adalah Omar Khadir, bocah muslim asal Kanada yang baru berusia 15 tahun.
Kesaksian James Yee ini kian menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di penjara-penjara khusus Amerika. Yee menyebutkan, perang melawan terorisme yang dicanangkan Presiden Bush melahirkan kegilaan di kalangan militer Amerika. Yee menjadi korban kegilaan itu.
Pengalaman kelam selama lebih dari satu tahun dalam tahanan militer memberinya pelajaran berharga. Kondisi militer Amerika jauh dari gambaran ideal Yee. Perbedaan dan kehormatan serta kemerdekaan menjalankan agama tidak dijamin.
Agama dan keyakinan ternyata masih menjadi masalah utama di dunia militer negeri yang mengaku demokratis itu. “Mereka tidak mempertimbangkan bahwa aku adalah seorang prajurit yang setia,” tulis James Yee.
Kesaksian Yee ini layaknya film drama produksi Hollywood. Seorang perwira militer Amerika Serikat dijebloskan ke penjara berdasarkan sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan menjadi pengkhianat militer dan negara.
Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya perwira itu dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee, perwira itu, mendapatkan perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.
Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong. Sementara kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan New York Times edisi 24 Maret 2006 menurunkan tajuk rencana berjudul “Ketidakadilan Militer”.
Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee “terpaksa” mundur dari militer pada 7 Januari 2005. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur. Bahkan hingga kini statusnya masih ‘dalam pengawasan’.
AS benar-benar paranoid. Siapa pun yang dianggap musuh, apa pun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia, keadilan konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya sendiri.
Kasus Yee dan Penjara Guantanamo makin merontokkan citra AS di mata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya, Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk dalam penjara itu.
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar. Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, Dll. yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both sie. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.
Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel, tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan, bahkan sebagian media massa minta maaf pada Yee.
Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena dia sebagai Muslim taat menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.
Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya. Kita seakan muak dengan kebijakan-kebijakan AS di bawah Bush dengan segala tindak-tanduk primitifnya yang mengacak-acak peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan.
Apakah ‘perang melawan terorisme’ yang digagas Amerika Serikat (AS) benar-benar perang yang ditujukan untuk melawan ekstremisme demi tegaknya demokrasi? Ataukah label itu hanya bungkus bagi perang melawan Islam? Para pejabat AS di lingkaran Bush bersikeras bahwa agenda mereka bersifat politis, bukan religius. Namun faktanya, retorika dan tindak-tanduk AS di lapangan mengubah perang melawan terorisme menjadi perang melawan Islam.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-muslim-aku-prajurit-setia/
Aku Ingin Mati Berkain Kafan
“Anda mungkin berhasil membungkam satu orang, tapi gelombang protes dari seluruh dunia akan bergema, di telinga Anda sepanjang sisa hidup Anda, hai Mr Putin. Semoga Tuhan memaafkan apa yang telah Anda lakukan, tak hanya kepada saya, tapi kepada negeri Rusia tercinta dan rakyatnya,” kata Alexander Litvinenko bekas mata-mata Rusia FSB itu dalam pernyataannya, yang dibacakan temannya di luar rumah sakit, tempat ia meninggal.
Alexander Litvinenko bukan lagi seorang mata-mata Rusia. Namun, hidupnya berakhir bagai dalam sebuah kisah mata-mata.
“Aku seorang mantan letnan kolonel di FSB—badan intelijen Rusia yang merupakan kelanjutan KGB Soviet. Aku ayah tiga anak berusia 43 tahun. Tahun 1998 aku secara terbuka menuduh para atasanku memberi komando untuk membunuh jutawan Boris Berezovsky. Sejak 1999 selama sembilan bulan dia dipenjara atas tuduhan menyalahgunakan jabatan. Dia kemudian dibebaskan dan tahun 2000 meminta suaka di Inggris, di mana Berezovsky kini juga tinggal dalam pengasingan”.
“Tahun 2003 aku menulis buku yang menuduh FSB melakukan pengeboman di Rusia tahun 1999—dan sejak tanggal 1 oktober 2006 baru lalu aku resmi menjadi warga negara Inggris.”
“Pada tanggal 1 November 2006 aku mengadakan dua pertemuan sekaligus. Yang pertama dengan seorang Rusia dan seorang lagi Andrey Logovoy, seorang mantan rekan di FSB yang kini menjadi pengusaha. Kemudian aku makan malam dengan seorang ahli keamanan Italia, Mario Scaramella, untuk membicarakan kasus terbunuhnya Politkovskaya seorang wartawati Rusia. Pada pertemuan pertama itulah aku mencurigai ada hubungan dengan peracunan terhadap diriku.”
“Aku yakin telah diracun pada tanggal 1 November saat sedang melakukan investigasi atas pembunuhan wartawati Anna Politkovskaya, seorang pengkritik orang nomor satu di Rusia Vladimir Putin”.
“Beberapa jam aku kehilangan kesadaran, aku telah dibungkam oleh Kremlin karena aku telah mengancam untuk mengungkap fakta-fakta yang memalukan. Para bajingan itu telah menemukanku, tetapi mereka tidak akan mendapatkan semua orang,”
“Berhari-hari aku dirawat intensif dan menjalani berbagai tes medis. Rambutku rontok, tenggorokanku bengkak, sistem kekebalan dan sarafku rusak berat. Dokter mengatakan aku menderita gagal jantung.”
“Satu-satunya logika adalah pembalasan dendam, mereka menganggap aku seorang musuh…aku dituduh sebagai seorang pengkritik rejim Putin yang tak kenal lelah,”.
“Saya tidak bisa menggunakan kata lain: mereka menghabisi satu persatu dari kami. Ini adalah sebuah pembunuhan yang sangat profesional dan sangat sadis,” kata Nekrasov teman Litvinenko.
Alexander Litvinenko mengaku bahwa ia pernah dianiaya oleh orang dari agen rahasia Rusia dalam interogasi terakhir jauh–jauh hari sebelum akhirnya dirinya diracun dengan bahan radioaktif.
“Ketika intelijen ingin menempatkan orangnya di kekuasaan, mereka terbiasa dan terlatih menggunakan metode teroris,” kata Litvinenko dalam suatu rekaman yang diperoleh ITV News.
“Realitas dalam politik yang kita dapatkan, metode utama yang mereka gunakan adalah terorisme — seperti pemboman apartemen di Moskow atau meracuni seorang kandidat presiden di Ukraina,” katanya kepada seorang penyelidik Italia Februari tahun 2006.
“Pertama, agen rahasia Rusia ingin memenjarakanku. Kemudian aku diancam dengan akan dibunuhnya anak laki-lakiku yang berusia enam tahun. Temanku dan istrinya ditembak hingga tewas di jalan menuju rumahnya. Sejak itu penyiksaan terhadapku makin intensif — sebuah bom dilempar melalui jendela rumahku,” katanya. “Saya telah dianiaya.”
Litvinenko ingin rekaman ini tetap dirahasiakan karena mengkhawatirkan nyawanya, dan karena rekan-rekannya, termasuk Anatoly Trofimov, telah dibunuh.
Trofimov, wakil direktur FSB dan ketua agen rahasia untuk kawasan Moskow hingga dipecat oleh mantan presiden Rusia Boris Yeltsin tahun 1996, dan istrinya dibunuh setelah dua pria menembak mereka dari sebuah mobil di jalanan utara kota Moskow April 2005.
Litvinenko juga mengatakan dalam rekaman itu bahwa Perdana Menteri Italia Romano Prodi punya kaitan dengan agen-agen rahasia Rusia, yang mana ia mengacu pada KGB, yang pasca bubarnya Soviet menjadi FSB.
“Trofinmov tidak secara tegas mengatakan bahwa Prodi adalah agen KGB, karena KGB menghindari penggunaan istilah tersebut,” katanya kepada penyelidik.
“Ia mengatakan bahwa Prodia adalah orang KGB. Bahwa KGB bersama Prodi, melakukan beberapa operasi rahasia dan kotor di Italia. Pemahaman saya adalah bahwa Prodi bekerja untuk KGB,” kata Litvinenko.
Kasus kematian mantan agen spionase Rusia, Alexander Litvinenko, menimbulkan heboh besar, lebih-lebih karena Kremlin dispekulasikan terlibat. Heboh bertambah besar karena kematian Litvinenko hanya berselang sekitar satu bulan setelah kasus pembunuhan wartawan Rusia, Anna Politkovskaya, yang dikenal sebagai pengkritik keras kebijakan Presiden Vladimir Putin yang represif atas pemberontakan di Chechnya.
Racun tampaknya menjadi alat mematikan yang paling disukai pihak intelijen. Masih ingat kasus racun arsenik yang membunuh tokoh hak asasi manusia, Munir, di atas pesawat menuju Belanda pada 2004? Kasusnya belum terungkap sampai sekarang. Kini giliran mantan agen rahasia Rusia, Alexander Litvinenko, yang mati juga karena racun.
Para pakar yakin kasus pembunuhan Litvinenko ini melibatkan pengetahuan ilmiah yang lumayan tinggi. Soalnya, racun yang ditemukan dalam dosis tinggi di tubuh Litvinenko adalah bahan radioaktif polonium-210 dosis tinggi yang sukar diperoleh.
Jejak radiasi ditemukan di lima lokasi di seputar London setelah kasus itu terjadi, termasuk sebuah restoran sushi dan hotel yang dikunjungi bekas agen rahasia yang tinggal di Inggris itu. Yang menjadi misteri adalah unsur radioaktif itu amat sulit diperoleh dan sulit dideteksi.
Memang polonium-210 bisa diperoleh secara alami di sekitar kita, bahkan dalam tubuh. Cuma, dalam jumlah teramat kecil dan tidak mematikan. Untuk memperoleh racun temuan Marie Curie–yang namanya diambil dari negaranya, Polandia–itu dalam dosis yang mematikan, diperlukan keahlian dan koneksi level tinggi.
Profesor Nick Priest, satu dari sedikit ilmuwan Inggris yang pernah menangani unsur beracun itu, menyatakan cukup satu miligram polonium-210 untuk membunuh bekas mata-mata itu. Masalahnya, untuk memproduksi polonium-210 sejumlah itu, dibutuhkan sebuah reaktor nuklir.
Sebenarnya ada tiga cara untuk membuat polonium-210. Langsung diekstrak dari batuan yang mengandung uranium radioaktif, dibuat dalam reaktor nuklir, atau dipisahkan secara kimiawi dari radium-226. Namun, polonium-210 yang dihasilkan dari metode ekstraksi uranium tidak cukup untuk membunuh Litvinenko. “Agar menghasilkan jumlah yang diperlukan, Anda butuh reaktor nuklir,” katanya.
Para ilmuwan memperkirakan jumlah fasilitas reaktor yang sanggup menghasilkan polonium-210 di seluruh dunia tidak banyak. Hanya ada beberapa laboratorium yang bisa membuat racun itu, termasuk sejumlah fasilitas nuklir di berbagai negara bekas Uni Soviet dan negara lain, seperti Australia dan Jerman. “Hanya ada satu reaktor di Inggris yang sanggup memproduksinya, tapi saya yakin mereka tidak membuatnya,” kata Priest.
Alternatif lain, polonium-210 itu dibeli dari penyalur komersial. Chris Lloyd, seorang konsultan perlindungan radiasi, mengatakan radioaktif ini biasanya dipakai dalam peralatan kendali listrik statis, tapi tidak dalam bentuk yang bisa dipakai sebagai racun.
Polonium, bersama unsur beryllium, pernah dipakai sebagai pemicu neutron dalam bom atom yang diproduksi Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Radioaktif ini juga pernah dipakai sebagai sumber panas wahana antariksa Soviet, Lunokhod Moon, pada 1970-an.
Dugaan keterlibatan pihak intelijen Rusia semakin kuat karena unsur ini sulit terdeteksi, bahkan sempat disangka racun thallium, yang lebih umum. “Jika dimasukkan dalam gelas atau cangkir kaleng, Anda tak akan bisa mendeteksinya dari luar,” kata Frank Barnaby, konsultan nuklir di Oxford Research Group. “Hal ini yang membuat polonium-210 cukup ideal menjadi racun.”
Walaupun sudah mengetahui penyebab matinya Litvinenko, pihak berwajib masih bertanya-tanya kapan dan bagaimana bekas intel Rusia itu diracun, karena penanganan radioaktif ini cukup rumit. Sekali wadah penyimpannya terbuka, partikel polonium-210 cenderung menguap dan mengkontaminasi lingkungan sekitarnya.
Para detektif Inggris yakin zat radioaktif yang membunuh mantan mata-mata yang baru memeluk Islam, membutuhkan biaya lebih dari 10 juta dollar AS (sekitar Rp91 milyar).
Harian The Times edisi Senin pagi (18/12) menyebutkan bahwa kesimpulan awal hasil otopsi mayat Litvinenko menunjukkan kadar polonium-210 sebanyak 10 kali lipat dari dosis mematikan, sebagian besar ditemukan di cairan urine.
Sebagaimana diketahui, Litvinenko dikabarkan jatuh sakit pada 1 November dan meninggal 23 November. Beberapa temannya menyebut Kremlin berada di balik pembunuhan itu, namun Russia berulang kali menolak telah terlibat dalam kasus kematian mantan mata-matanya itu.
“Anda tidak dapat membeli dalam jumlah sebanyak ini dari internet maupun mencuri dari laboratorium tanpa menyebabkan kehebohan, jadi hanya dua kemungkinan yaitu dari reaktor nuklir atau punya hubungan sangat erat dengan penyelundup di pasar gelap,” kata seorang sumber keamanan Inggris kepada harian tersebut.
United Nuclear Scientific Supplies yang bermarkas di New Mexico dan merupakan satu dari sedikit perusahaan yang boleh menjual polonium-210 di internet, mengatakan butuh 15 ribu unit isotop itu untuk membunuh satu orang.
Setiap unit harganya 69 dolar, berarti dibutuhkan biaya lebih dari satu juta dolar untuk membuat satu dosis yang mematikan dan lebih dari 10 juta dolar untuk dosis yang telah membunuh Litvinenko, tulis harian itu.
Alexander Litvinenko memang telah menemui Sang Khalik. Walaupun racun polonium-210 telah memutus hidupnya. Namun perjalanannya menuju alam akhirat telah dimulai dengan sesuatu yang revolusioner. Dia bersyahadat untuk menyatakan keislamannya. Penderitaan yang teramat sangat telah ditebus dengan kematian yang husnul khatimah. Islam telah menghantarkannya ke negeri akhirat dengan damai.
Upacara pemakamannya dilakukan secara rahasia yang dihadiri sedikitnya 30 kerabat dekat Litvinenko. Upacara pemakaman dilangsungkan di kawasan utara London. Upacara terpisah untuk menghormatinya yang terakhir kali juga diselenggarakan di Masjid Taman Regent, London. Sesuai keinginannya agar prosesi pemakamannya diselenggarakan sesuai dengan syariat Islam.
Ayah Litvinenko, Walter, dilaporkan menghadiri upacara di masjid tersebut bersama pentolan pejuang Chechnya, Akhmed Zakayev. Kerabat Litvinenko mengatakan, ayah tiga anak itu sudah menjadi Muslim sebelum meninggal. Hal yang sama diungkapkan Walter kepada Radio Free Europe, beberapa waktu lalu. “Litvinenko masuk Islam dua hari sebelum ajal menjemput,” kata Walter.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-ingin-mati-berkain-kafan-5/
Alexander Litvinenko bukan lagi seorang mata-mata Rusia. Namun, hidupnya berakhir bagai dalam sebuah kisah mata-mata.
“Aku seorang mantan letnan kolonel di FSB—badan intelijen Rusia yang merupakan kelanjutan KGB Soviet. Aku ayah tiga anak berusia 43 tahun. Tahun 1998 aku secara terbuka menuduh para atasanku memberi komando untuk membunuh jutawan Boris Berezovsky. Sejak 1999 selama sembilan bulan dia dipenjara atas tuduhan menyalahgunakan jabatan. Dia kemudian dibebaskan dan tahun 2000 meminta suaka di Inggris, di mana Berezovsky kini juga tinggal dalam pengasingan”.
“Tahun 2003 aku menulis buku yang menuduh FSB melakukan pengeboman di Rusia tahun 1999—dan sejak tanggal 1 oktober 2006 baru lalu aku resmi menjadi warga negara Inggris.”
“Pada tanggal 1 November 2006 aku mengadakan dua pertemuan sekaligus. Yang pertama dengan seorang Rusia dan seorang lagi Andrey Logovoy, seorang mantan rekan di FSB yang kini menjadi pengusaha. Kemudian aku makan malam dengan seorang ahli keamanan Italia, Mario Scaramella, untuk membicarakan kasus terbunuhnya Politkovskaya seorang wartawati Rusia. Pada pertemuan pertama itulah aku mencurigai ada hubungan dengan peracunan terhadap diriku.”
“Aku yakin telah diracun pada tanggal 1 November saat sedang melakukan investigasi atas pembunuhan wartawati Anna Politkovskaya, seorang pengkritik orang nomor satu di Rusia Vladimir Putin”.
“Beberapa jam aku kehilangan kesadaran, aku telah dibungkam oleh Kremlin karena aku telah mengancam untuk mengungkap fakta-fakta yang memalukan. Para bajingan itu telah menemukanku, tetapi mereka tidak akan mendapatkan semua orang,”
“Berhari-hari aku dirawat intensif dan menjalani berbagai tes medis. Rambutku rontok, tenggorokanku bengkak, sistem kekebalan dan sarafku rusak berat. Dokter mengatakan aku menderita gagal jantung.”
“Satu-satunya logika adalah pembalasan dendam, mereka menganggap aku seorang musuh…aku dituduh sebagai seorang pengkritik rejim Putin yang tak kenal lelah,”.
“Saya tidak bisa menggunakan kata lain: mereka menghabisi satu persatu dari kami. Ini adalah sebuah pembunuhan yang sangat profesional dan sangat sadis,” kata Nekrasov teman Litvinenko.
Alexander Litvinenko mengaku bahwa ia pernah dianiaya oleh orang dari agen rahasia Rusia dalam interogasi terakhir jauh–jauh hari sebelum akhirnya dirinya diracun dengan bahan radioaktif.
“Ketika intelijen ingin menempatkan orangnya di kekuasaan, mereka terbiasa dan terlatih menggunakan metode teroris,” kata Litvinenko dalam suatu rekaman yang diperoleh ITV News.
“Realitas dalam politik yang kita dapatkan, metode utama yang mereka gunakan adalah terorisme — seperti pemboman apartemen di Moskow atau meracuni seorang kandidat presiden di Ukraina,” katanya kepada seorang penyelidik Italia Februari tahun 2006.
“Pertama, agen rahasia Rusia ingin memenjarakanku. Kemudian aku diancam dengan akan dibunuhnya anak laki-lakiku yang berusia enam tahun. Temanku dan istrinya ditembak hingga tewas di jalan menuju rumahnya. Sejak itu penyiksaan terhadapku makin intensif — sebuah bom dilempar melalui jendela rumahku,” katanya. “Saya telah dianiaya.”
Litvinenko ingin rekaman ini tetap dirahasiakan karena mengkhawatirkan nyawanya, dan karena rekan-rekannya, termasuk Anatoly Trofimov, telah dibunuh.
Trofimov, wakil direktur FSB dan ketua agen rahasia untuk kawasan Moskow hingga dipecat oleh mantan presiden Rusia Boris Yeltsin tahun 1996, dan istrinya dibunuh setelah dua pria menembak mereka dari sebuah mobil di jalanan utara kota Moskow April 2005.
Litvinenko juga mengatakan dalam rekaman itu bahwa Perdana Menteri Italia Romano Prodi punya kaitan dengan agen-agen rahasia Rusia, yang mana ia mengacu pada KGB, yang pasca bubarnya Soviet menjadi FSB.
“Trofinmov tidak secara tegas mengatakan bahwa Prodi adalah agen KGB, karena KGB menghindari penggunaan istilah tersebut,” katanya kepada penyelidik.
“Ia mengatakan bahwa Prodia adalah orang KGB. Bahwa KGB bersama Prodi, melakukan beberapa operasi rahasia dan kotor di Italia. Pemahaman saya adalah bahwa Prodi bekerja untuk KGB,” kata Litvinenko.
Kasus kematian mantan agen spionase Rusia, Alexander Litvinenko, menimbulkan heboh besar, lebih-lebih karena Kremlin dispekulasikan terlibat. Heboh bertambah besar karena kematian Litvinenko hanya berselang sekitar satu bulan setelah kasus pembunuhan wartawan Rusia, Anna Politkovskaya, yang dikenal sebagai pengkritik keras kebijakan Presiden Vladimir Putin yang represif atas pemberontakan di Chechnya.
Racun tampaknya menjadi alat mematikan yang paling disukai pihak intelijen. Masih ingat kasus racun arsenik yang membunuh tokoh hak asasi manusia, Munir, di atas pesawat menuju Belanda pada 2004? Kasusnya belum terungkap sampai sekarang. Kini giliran mantan agen rahasia Rusia, Alexander Litvinenko, yang mati juga karena racun.
Para pakar yakin kasus pembunuhan Litvinenko ini melibatkan pengetahuan ilmiah yang lumayan tinggi. Soalnya, racun yang ditemukan dalam dosis tinggi di tubuh Litvinenko adalah bahan radioaktif polonium-210 dosis tinggi yang sukar diperoleh.
Jejak radiasi ditemukan di lima lokasi di seputar London setelah kasus itu terjadi, termasuk sebuah restoran sushi dan hotel yang dikunjungi bekas agen rahasia yang tinggal di Inggris itu. Yang menjadi misteri adalah unsur radioaktif itu amat sulit diperoleh dan sulit dideteksi.
Memang polonium-210 bisa diperoleh secara alami di sekitar kita, bahkan dalam tubuh. Cuma, dalam jumlah teramat kecil dan tidak mematikan. Untuk memperoleh racun temuan Marie Curie–yang namanya diambil dari negaranya, Polandia–itu dalam dosis yang mematikan, diperlukan keahlian dan koneksi level tinggi.
Profesor Nick Priest, satu dari sedikit ilmuwan Inggris yang pernah menangani unsur beracun itu, menyatakan cukup satu miligram polonium-210 untuk membunuh bekas mata-mata itu. Masalahnya, untuk memproduksi polonium-210 sejumlah itu, dibutuhkan sebuah reaktor nuklir.
Sebenarnya ada tiga cara untuk membuat polonium-210. Langsung diekstrak dari batuan yang mengandung uranium radioaktif, dibuat dalam reaktor nuklir, atau dipisahkan secara kimiawi dari radium-226. Namun, polonium-210 yang dihasilkan dari metode ekstraksi uranium tidak cukup untuk membunuh Litvinenko. “Agar menghasilkan jumlah yang diperlukan, Anda butuh reaktor nuklir,” katanya.
Para ilmuwan memperkirakan jumlah fasilitas reaktor yang sanggup menghasilkan polonium-210 di seluruh dunia tidak banyak. Hanya ada beberapa laboratorium yang bisa membuat racun itu, termasuk sejumlah fasilitas nuklir di berbagai negara bekas Uni Soviet dan negara lain, seperti Australia dan Jerman. “Hanya ada satu reaktor di Inggris yang sanggup memproduksinya, tapi saya yakin mereka tidak membuatnya,” kata Priest.
Alternatif lain, polonium-210 itu dibeli dari penyalur komersial. Chris Lloyd, seorang konsultan perlindungan radiasi, mengatakan radioaktif ini biasanya dipakai dalam peralatan kendali listrik statis, tapi tidak dalam bentuk yang bisa dipakai sebagai racun.
Polonium, bersama unsur beryllium, pernah dipakai sebagai pemicu neutron dalam bom atom yang diproduksi Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Radioaktif ini juga pernah dipakai sebagai sumber panas wahana antariksa Soviet, Lunokhod Moon, pada 1970-an.
Dugaan keterlibatan pihak intelijen Rusia semakin kuat karena unsur ini sulit terdeteksi, bahkan sempat disangka racun thallium, yang lebih umum. “Jika dimasukkan dalam gelas atau cangkir kaleng, Anda tak akan bisa mendeteksinya dari luar,” kata Frank Barnaby, konsultan nuklir di Oxford Research Group. “Hal ini yang membuat polonium-210 cukup ideal menjadi racun.”
Walaupun sudah mengetahui penyebab matinya Litvinenko, pihak berwajib masih bertanya-tanya kapan dan bagaimana bekas intel Rusia itu diracun, karena penanganan radioaktif ini cukup rumit. Sekali wadah penyimpannya terbuka, partikel polonium-210 cenderung menguap dan mengkontaminasi lingkungan sekitarnya.
Para detektif Inggris yakin zat radioaktif yang membunuh mantan mata-mata yang baru memeluk Islam, membutuhkan biaya lebih dari 10 juta dollar AS (sekitar Rp91 milyar).
Harian The Times edisi Senin pagi (18/12) menyebutkan bahwa kesimpulan awal hasil otopsi mayat Litvinenko menunjukkan kadar polonium-210 sebanyak 10 kali lipat dari dosis mematikan, sebagian besar ditemukan di cairan urine.
Sebagaimana diketahui, Litvinenko dikabarkan jatuh sakit pada 1 November dan meninggal 23 November. Beberapa temannya menyebut Kremlin berada di balik pembunuhan itu, namun Russia berulang kali menolak telah terlibat dalam kasus kematian mantan mata-matanya itu.
“Anda tidak dapat membeli dalam jumlah sebanyak ini dari internet maupun mencuri dari laboratorium tanpa menyebabkan kehebohan, jadi hanya dua kemungkinan yaitu dari reaktor nuklir atau punya hubungan sangat erat dengan penyelundup di pasar gelap,” kata seorang sumber keamanan Inggris kepada harian tersebut.
United Nuclear Scientific Supplies yang bermarkas di New Mexico dan merupakan satu dari sedikit perusahaan yang boleh menjual polonium-210 di internet, mengatakan butuh 15 ribu unit isotop itu untuk membunuh satu orang.
Setiap unit harganya 69 dolar, berarti dibutuhkan biaya lebih dari satu juta dolar untuk membuat satu dosis yang mematikan dan lebih dari 10 juta dolar untuk dosis yang telah membunuh Litvinenko, tulis harian itu.
Alexander Litvinenko memang telah menemui Sang Khalik. Walaupun racun polonium-210 telah memutus hidupnya. Namun perjalanannya menuju alam akhirat telah dimulai dengan sesuatu yang revolusioner. Dia bersyahadat untuk menyatakan keislamannya. Penderitaan yang teramat sangat telah ditebus dengan kematian yang husnul khatimah. Islam telah menghantarkannya ke negeri akhirat dengan damai.
Upacara pemakamannya dilakukan secara rahasia yang dihadiri sedikitnya 30 kerabat dekat Litvinenko. Upacara pemakaman dilangsungkan di kawasan utara London. Upacara terpisah untuk menghormatinya yang terakhir kali juga diselenggarakan di Masjid Taman Regent, London. Sesuai keinginannya agar prosesi pemakamannya diselenggarakan sesuai dengan syariat Islam.
Ayah Litvinenko, Walter, dilaporkan menghadiri upacara di masjid tersebut bersama pentolan pejuang Chechnya, Akhmed Zakayev. Kerabat Litvinenko mengatakan, ayah tiga anak itu sudah menjadi Muslim sebelum meninggal. Hal yang sama diungkapkan Walter kepada Radio Free Europe, beberapa waktu lalu. “Litvinenko masuk Islam dua hari sebelum ajal menjemput,” kata Walter.
http://www.dakwatuna.com/2007/aku-ingin-mati-berkain-kafan-5/
Senin, 07 Juni 2010
Anak Afrika 1,5 Tahun Hafal dan Mengerti Al-Qur’an
Pada umur satu tahun dia dapat membaca Al-Quran dan melanjutkan untuk dapat berkhotbah dalam bahasa Arab, bahasa Swahili dan Perancis tanpa belajar apapun.
Kata-kata pertama anak itu: “Anda orang bertobat dan Anda akan diterima oleh Allah” adalah dalam bahasa Arab.
Dia juga dilaporkan Hafal Al Quran (hafal seluruh Al-Quran ) pada usia satu setengah tahun dan juga shalat 5 kali sehari pada usia itu.
Anak ini dilahirkan dalam sebuah keluarga kristen dan mereka kemudian menjadi muslim.
Banyak sekali ditemui di Nigeria sebagai seorang anak muda pada usia 5 tahun bisa berbicara fasih bahasa Arab. Namun pada umur 5 tahun dengan dengan tanpa pengajaran ini adalah ajaib. Dia (anak ini) dapat membaca Quran juga dan memberikan pesan cramah tentang Islam.
Ini adalah keajaiban Islam, Sheikh Sharifuddin lahir dalam keluarga Kristen tetapi quran-hafiz yang (tahu penuh Qur’an) pada usia 1,5 tahun dan mendirikan shalat 5 kali sehari. keajaiban Sheikh Sharifuddin berbicara dalam banyak bahasa, dan dengan pidatonya telah membawa banyak orang untuk menerima Islam. HARUS MENONTON VIDEO INI – KEAJAIBAN ISLAM LAIN- Subhanallah…..
Kunjungi, “Child Imam Miracle” Nak, video keajaiban lain saya. Video yang diambil dari azgarkhan. Lebih Tag dan Info.
Ia dilahirkan dalam keluarga non-Muslim, mulai membaca Namaaz (Muslim Doa) oleh sendiri. Miracle dalam keluarga non-Muslim. Anak ini tiba-tiba beralih ke Islam tanpa bantuan orang lain. Dia tahu banyak tanpa belajar , benar-benar ajaib!.
Catatan: Islam tidak perlu mukjizat untuk membuktikan diri sendiri, melainkan untuk ANDA, untuk melihat tanda-tanda dan merasakan kebenaran. Mukjizat terbesar adalah Al Qur’an itu sendiri.
English Version:
The five-years-old speaks in five languages – English, French, Italian, Swahili and Arabic – even though he is completely uneducated.
At one year old he was able to recite the Quran and went on to be able to preach in Arabic, Swahili and French without any learning.
The boy’s first words – “You people repent and you will be accepted by God” were in Arabic.
He was also reported to be Hafiz Al Quran (memorized whole Quran) at the age of one and a half years and was also praying 5 times a day at that age.
This boy was born into a christian family and they later became muslim…
A very large crowd gather in Nigeria as a young child at the age of 5 can speak FLUENT Arabic. At only the age of 5 with no teaching this is a miracle. He can read the Quran also and delivers a message about Islam.
This is a true miracle of Islam , Sheikh Sharifuddin was born in a Christian family but was a quran-hafiz (knew the full Qur’an) at the age of 1 1/2 years of age and was praying 5 times a day. Amazingly Sheikh sharifuddin speak in many languages, and with his speech has brought many many people to accept Islam MUST WATCH THIS VIDEO – ANOTHER MIRACLE OF ISLAM SUBHAN-ALLAH
Visit, “Child Imam Miracle Child”, my other miracle video. Video taken from azgarkhan. More Tags and Info.
He was born in a Non-Muslim family, started to read Namaaz(Muslim Prayer) by his own. Miracle in a Non-Muslim family. The Kid suddenly turned to Islam without anyone’s aid. He knew a lot without learning True Miracle.
Note: Islam doesn’t need miracles to prove itself; it is for YOU to see the signs and feel the truth. The biggest miracle is the holy Qur’an itself.
http://yesuscross.wordpress.com/2010/05/21/anak-5-tahun-dari-keluarga-non-muslim-hafal-alquran-dan-fasih-5-bahasa-islamkan-ribuan-orang/
Kata-kata pertama anak itu: “Anda orang bertobat dan Anda akan diterima oleh Allah” adalah dalam bahasa Arab.
Dia juga dilaporkan Hafal Al Quran (hafal seluruh Al-Quran ) pada usia satu setengah tahun dan juga shalat 5 kali sehari pada usia itu.
Anak ini dilahirkan dalam sebuah keluarga kristen dan mereka kemudian menjadi muslim.
Banyak sekali ditemui di Nigeria sebagai seorang anak muda pada usia 5 tahun bisa berbicara fasih bahasa Arab. Namun pada umur 5 tahun dengan dengan tanpa pengajaran ini adalah ajaib. Dia (anak ini) dapat membaca Quran juga dan memberikan pesan cramah tentang Islam.
Ini adalah keajaiban Islam, Sheikh Sharifuddin lahir dalam keluarga Kristen tetapi quran-hafiz yang (tahu penuh Qur’an) pada usia 1,5 tahun dan mendirikan shalat 5 kali sehari. keajaiban Sheikh Sharifuddin berbicara dalam banyak bahasa, dan dengan pidatonya telah membawa banyak orang untuk menerima Islam. HARUS MENONTON VIDEO INI – KEAJAIBAN ISLAM LAIN- Subhanallah…..
Kunjungi, “Child Imam Miracle” Nak, video keajaiban lain saya. Video yang diambil dari azgarkhan. Lebih Tag dan Info.
Ia dilahirkan dalam keluarga non-Muslim, mulai membaca Namaaz (Muslim Doa) oleh sendiri. Miracle dalam keluarga non-Muslim. Anak ini tiba-tiba beralih ke Islam tanpa bantuan orang lain. Dia tahu banyak tanpa belajar , benar-benar ajaib!.
Catatan: Islam tidak perlu mukjizat untuk membuktikan diri sendiri, melainkan untuk ANDA, untuk melihat tanda-tanda dan merasakan kebenaran. Mukjizat terbesar adalah Al Qur’an itu sendiri.
English Version:
The five-years-old speaks in five languages – English, French, Italian, Swahili and Arabic – even though he is completely uneducated.
At one year old he was able to recite the Quran and went on to be able to preach in Arabic, Swahili and French without any learning.
The boy’s first words – “You people repent and you will be accepted by God” were in Arabic.
He was also reported to be Hafiz Al Quran (memorized whole Quran) at the age of one and a half years and was also praying 5 times a day at that age.
This boy was born into a christian family and they later became muslim…
A very large crowd gather in Nigeria as a young child at the age of 5 can speak FLUENT Arabic. At only the age of 5 with no teaching this is a miracle. He can read the Quran also and delivers a message about Islam.
This is a true miracle of Islam , Sheikh Sharifuddin was born in a Christian family but was a quran-hafiz (knew the full Qur’an) at the age of 1 1/2 years of age and was praying 5 times a day. Amazingly Sheikh sharifuddin speak in many languages, and with his speech has brought many many people to accept Islam MUST WATCH THIS VIDEO – ANOTHER MIRACLE OF ISLAM SUBHAN-ALLAH
Visit, “Child Imam Miracle Child”, my other miracle video. Video taken from azgarkhan. More Tags and Info.
He was born in a Non-Muslim family, started to read Namaaz(Muslim Prayer) by his own. Miracle in a Non-Muslim family. The Kid suddenly turned to Islam without anyone’s aid. He knew a lot without learning True Miracle.
Note: Islam doesn’t need miracles to prove itself; it is for YOU to see the signs and feel the truth. The biggest miracle is the holy Qur’an itself.
http://yesuscross.wordpress.com/2010/05/21/anak-5-tahun-dari-keluarga-non-muslim-hafal-alquran-dan-fasih-5-bahasa-islamkan-ribuan-orang/
Selasa, 01 Juni 2010
Muhammad Syafii Antonio: Sekilas tentang saya
Saya lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12 mei 1965. Nama asli saya Nio Cwan Chung. Saya adalah WNI keturunan Tionghoa. Sejak kecil saya mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayah saya seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, saya juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah. Saya sering memperhatikan cara-cara ibadah orang-orang muslim. Kerena terlalu sering memperhatikan tanpa sadar saya diam-diam suka melakukan shalat. Kegiatan ibadah orang lain ini saya lakukan walaupun saya belum mengikrarkan diri menjadi seorang muslim.
Kehidupan keluarga saya sangat memberikan kebebasan dalam memilih agama. Sehingga saya memilih agama Kristen Protestan menjadi agama saya. Setelah itu saya berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan saya ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayah saya marah. Ayah akan sangat kecewa jika saya sekeluarga memilih Islam sebagai agama.
Sikap ayah saya ini berangkat dari image gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayah saya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus. Apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan hadits. Tapi, ayah saya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya.
Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayah saya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan,keterbelakangan,dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh prilaku umatnya yang kurang baik.
Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayah, tak membuat saya kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama islam. Untuk mengetahui agama Islam, saya mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini saya menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja saya tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, saya melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, saya sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya.
Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah. Dibanding agama lain, ibadah dalam islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan siar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu,disbanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam.Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati saya untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
Masuk Islam
Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat saya berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, saya putuskan untuk memeluk agama Islam. Oleh K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali saya dibimbing untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat pada tahun 1984. Nama saya kemudian diganti menjadi Syafii Antonio.
Keputusan yang saya ambil untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Saya dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika saya pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung saya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap diri saya tak saya hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang saya ambil.
Alhamdulillah,perlakuan dan sikap saya terhadap mereka membuahkan hasil. Tak lama kemudian mama menyusul jejak saya menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Setelah mengikrarkan diri, saya terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Kemudian saya mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar.
Lulus SMA saya melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian saya melanjutkan sekolah ke University of yourdan (Yordania). Selesai studi S1 saya melanjutkan program S2 di international Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.
Selesai studi, saya bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas saya sengaja saya arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim Tionghoa, Saya aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam. (Hamzah, mualaf.com)
Redaksi : Saat ini M Syafii Antonio aktif diberbagai Lembaga Keuangan Islam/Syariah baik Bank maupun Non Bank, dan membina berbagai pendidikan syariah
Dr. Muhammad Syafii Antonio, MSc
Doktor Banking & Micro Finance, University of Melbourne, 2004
Master of Economic, International Islamic University, Malayasia, 1992
Sarjana Syariah, University of Jordan, 1990
Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah pada Bank Indonesia
Dewan Komisaris Bank Syariah Mega Indonesia
Dewan Syariah BSM
Dewan Syariah Takaful
Dewan Syariah PNM
Dewan Syariah Nasional, MUI
Perbankan dan Syariah serta Pesantren
Muhammad Syafii Antonio adalah seorang alumni pesantren yang tercebur ke dunia perbankan. Masuk pesantren dengan alasan ingin mendalami Islam sebagai agama yang baru dianutnya, Syafii menapak sukses hingga menjadi pakar ekonomi syariah nasional saat ini.
Ia memulai pendidikan pesantrennya pada 1985, ketika lulus dari SMU. Ia masuk pesantren tradisional An-Nizham, Sukabumi. Alasannya ketika itu ingin mendalami ilmu keislaman secara utuh. "Jika ingin menjadi muslim yang komprehensif, pesantren adalah tempat yang ideal."
Tiga tahun di pesantren, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia mendaftar ke ITB, IKIP, dan IAIN. Meski diterima, karena ia ingin lebih besar untuk mempelajari Islam, Syafii memilih belajar ke luar negeri. Lewat Muhammadiyah, ia mendapat kesempatan belajar di Yordania untuk studi Islam bidang syariah.
Di saat yang sama ia juga mengambil kuliah ekonomi. Lalu ia melanjutkan ke Al-Azhar untuk memperdalam studi Islam. Perjalanan hidupnya berbelok ketika ia batal melanjutkan ke Manchester University karena Perang Teluk. Akhirnya, ia mendaftar ke International Islamic University Malaysia. Ia mengambil studi Banking and Finance dan selesai pada 1992.
Syafii berkecimpung di perbankan syariah mulai tahun itu juga saat ia bertemu delegasi Indonesia yang akan mendirikan bank syariah setelah melihat contoh bank syariah di Malaysia.
Kembali ke Indonesia, ia bergabung dengan Bank Muamalat, bank dengan sistem syariah pertama di Indonesia. Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi Takaful, lalu berturut-turut reksa dana syariah. Empat tahun membesarkan Bank Muamalat, ia mundur dan mendirikan Tazkia Group yang memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis dan ekonomi syariah.
Sebagai alumni pesantren, Syafii mengungkapkan ketidakyakinannya bahwa kurikulum pesantren bisa menghasilkan seseorang dengan mental teroris. "Apalagi pesantren tradisional atau salafi," katanya. Pada pesantren ini, tuntutan untuk tasawufnya cukup tinggi sehingga mereka menekankan pada akhlak dan etika. "Bahkan saya melihat beberapa pesantren bisa terjerumus pada zuhud yang negatif dan sangat berseberangan dengan apa yang saya dorong sekarang," katanya.
Begitu pula di beberapa pesantren modern dan progresif seperti Gontor, Darunnajah, dan lain-lain, pendekatan metode belajarnya sudah diperbarui. "Santrinya sudah menggunakan dua bahasa asing dan tidak terlalu terikat pada mazhab tertentu dari sisi fiqih dan akidah."
Kemudian ada jenis pesantren lainnya, yaitu yang mencoba tidak hanya berkutat pada aspek teologi dan teori, tapi mungkin mereka mencoba untuk merespons tantangan modernisasi dan westernisasi sebagai realisasi amar ma'ruf nahi munkar. "Kalau yang terakhir ini yang dikembangkan beberapa pesantren di Indonesia, tanpa saya berhak menyebut nama, mungkin itu bisa jadi yang paling dekat pada pergerakan-pergerakan yang lebih progresif," katanya. Toh, kalau pun ada tersangka teroris, itu tak bisa disebut mewakili pesantren dan ajaran Islam.
Sebagai alumni pesantren, Syafii juga memiliki kritik terhadap pendidikan pesantren saat ini. "Saya lihat kurikulumnya harus ditinjau ulang," katanya. Ia mencontohkan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren. "Konteks dan contohnya sudah sangat klasik dan belum tentu selesai dipelajari dalam dua-tiga tahun," katanya. Ia mengimbau agar kurikulum pesantren memadatkan apa saja yang harus dipelajari santri. "Ada target yang harus dirancang untuk santri," katanya.
Selain itu, gaya belajar pesantren juga masih terpusat pada satu-dua kiai. "Tak ada regenerasi dan tentu sangat berat bagi para kiai itu untuk mengajar sekian banyak santri," katanya. Karenanya, tak heran jika terdapat jarak yang jauh dalam penguasaan ilmu antara kiai dan asistennya.
Syafii melihat para kiai ilmunya sangat banyak dan ikhlas, tapi kurang responsnya terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dalam media apa pun, tulisan kiai sangat jarang sekali. Ketika muncul pemikiran frontal, mereka cenderung reaktif, bukan proaktif. "Seharusnya jika ada ide-ide jernih langsung dituliskan dan disampaikan ke masyarakat," katanya. (dari berbagai sumber)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=52229213132&id=63054526321
Kehidupan keluarga saya sangat memberikan kebebasan dalam memilih agama. Sehingga saya memilih agama Kristen Protestan menjadi agama saya. Setelah itu saya berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan saya ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayah saya marah. Ayah akan sangat kecewa jika saya sekeluarga memilih Islam sebagai agama.
Sikap ayah saya ini berangkat dari image gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayah saya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus. Apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan hadits. Tapi, ayah saya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya.
Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayah saya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan,keterbelakangan,dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh prilaku umatnya yang kurang baik.
Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayah, tak membuat saya kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama islam. Untuk mengetahui agama Islam, saya mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini saya menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja saya tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, saya melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, saya sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya.
Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah. Dibanding agama lain, ibadah dalam islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan siar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu,disbanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam.Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati saya untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
Masuk Islam
Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat saya berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, saya putuskan untuk memeluk agama Islam. Oleh K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali saya dibimbing untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat pada tahun 1984. Nama saya kemudian diganti menjadi Syafii Antonio.
Keputusan yang saya ambil untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Saya dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika saya pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung saya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap diri saya tak saya hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang saya ambil.
Alhamdulillah,perlakuan dan sikap saya terhadap mereka membuahkan hasil. Tak lama kemudian mama menyusul jejak saya menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Setelah mengikrarkan diri, saya terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Kemudian saya mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar.
Lulus SMA saya melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian saya melanjutkan sekolah ke University of yourdan (Yordania). Selesai studi S1 saya melanjutkan program S2 di international Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.
Selesai studi, saya bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas saya sengaja saya arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim Tionghoa, Saya aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam. (Hamzah, mualaf.com)
Redaksi : Saat ini M Syafii Antonio aktif diberbagai Lembaga Keuangan Islam/Syariah baik Bank maupun Non Bank, dan membina berbagai pendidikan syariah
Dr. Muhammad Syafii Antonio, MSc
Doktor Banking & Micro Finance, University of Melbourne, 2004
Master of Economic, International Islamic University, Malayasia, 1992
Sarjana Syariah, University of Jordan, 1990
Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah pada Bank Indonesia
Dewan Komisaris Bank Syariah Mega Indonesia
Dewan Syariah BSM
Dewan Syariah Takaful
Dewan Syariah PNM
Dewan Syariah Nasional, MUI
Perbankan dan Syariah serta Pesantren
Muhammad Syafii Antonio adalah seorang alumni pesantren yang tercebur ke dunia perbankan. Masuk pesantren dengan alasan ingin mendalami Islam sebagai agama yang baru dianutnya, Syafii menapak sukses hingga menjadi pakar ekonomi syariah nasional saat ini.
Ia memulai pendidikan pesantrennya pada 1985, ketika lulus dari SMU. Ia masuk pesantren tradisional An-Nizham, Sukabumi. Alasannya ketika itu ingin mendalami ilmu keislaman secara utuh. "Jika ingin menjadi muslim yang komprehensif, pesantren adalah tempat yang ideal."
Tiga tahun di pesantren, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia mendaftar ke ITB, IKIP, dan IAIN. Meski diterima, karena ia ingin lebih besar untuk mempelajari Islam, Syafii memilih belajar ke luar negeri. Lewat Muhammadiyah, ia mendapat kesempatan belajar di Yordania untuk studi Islam bidang syariah.
Di saat yang sama ia juga mengambil kuliah ekonomi. Lalu ia melanjutkan ke Al-Azhar untuk memperdalam studi Islam. Perjalanan hidupnya berbelok ketika ia batal melanjutkan ke Manchester University karena Perang Teluk. Akhirnya, ia mendaftar ke International Islamic University Malaysia. Ia mengambil studi Banking and Finance dan selesai pada 1992.
Syafii berkecimpung di perbankan syariah mulai tahun itu juga saat ia bertemu delegasi Indonesia yang akan mendirikan bank syariah setelah melihat contoh bank syariah di Malaysia.
Kembali ke Indonesia, ia bergabung dengan Bank Muamalat, bank dengan sistem syariah pertama di Indonesia. Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi Takaful, lalu berturut-turut reksa dana syariah. Empat tahun membesarkan Bank Muamalat, ia mundur dan mendirikan Tazkia Group yang memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis dan ekonomi syariah.
Sebagai alumni pesantren, Syafii mengungkapkan ketidakyakinannya bahwa kurikulum pesantren bisa menghasilkan seseorang dengan mental teroris. "Apalagi pesantren tradisional atau salafi," katanya. Pada pesantren ini, tuntutan untuk tasawufnya cukup tinggi sehingga mereka menekankan pada akhlak dan etika. "Bahkan saya melihat beberapa pesantren bisa terjerumus pada zuhud yang negatif dan sangat berseberangan dengan apa yang saya dorong sekarang," katanya.
Begitu pula di beberapa pesantren modern dan progresif seperti Gontor, Darunnajah, dan lain-lain, pendekatan metode belajarnya sudah diperbarui. "Santrinya sudah menggunakan dua bahasa asing dan tidak terlalu terikat pada mazhab tertentu dari sisi fiqih dan akidah."
Kemudian ada jenis pesantren lainnya, yaitu yang mencoba tidak hanya berkutat pada aspek teologi dan teori, tapi mungkin mereka mencoba untuk merespons tantangan modernisasi dan westernisasi sebagai realisasi amar ma'ruf nahi munkar. "Kalau yang terakhir ini yang dikembangkan beberapa pesantren di Indonesia, tanpa saya berhak menyebut nama, mungkin itu bisa jadi yang paling dekat pada pergerakan-pergerakan yang lebih progresif," katanya. Toh, kalau pun ada tersangka teroris, itu tak bisa disebut mewakili pesantren dan ajaran Islam.
Sebagai alumni pesantren, Syafii juga memiliki kritik terhadap pendidikan pesantren saat ini. "Saya lihat kurikulumnya harus ditinjau ulang," katanya. Ia mencontohkan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren. "Konteks dan contohnya sudah sangat klasik dan belum tentu selesai dipelajari dalam dua-tiga tahun," katanya. Ia mengimbau agar kurikulum pesantren memadatkan apa saja yang harus dipelajari santri. "Ada target yang harus dirancang untuk santri," katanya.
Selain itu, gaya belajar pesantren juga masih terpusat pada satu-dua kiai. "Tak ada regenerasi dan tentu sangat berat bagi para kiai itu untuk mengajar sekian banyak santri," katanya. Karenanya, tak heran jika terdapat jarak yang jauh dalam penguasaan ilmu antara kiai dan asistennya.
Syafii melihat para kiai ilmunya sangat banyak dan ikhlas, tapi kurang responsnya terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dalam media apa pun, tulisan kiai sangat jarang sekali. Ketika muncul pemikiran frontal, mereka cenderung reaktif, bukan proaktif. "Seharusnya jika ada ide-ide jernih langsung dituliskan dan disampaikan ke masyarakat," katanya. (dari berbagai sumber)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=52229213132&id=63054526321
Langganan:
Postingan (Atom)