Mudahnya bagi Allah membolak-balik hati. Sebuah lukisan kaligrafi menjadi pintu datangnya hidayah bagi 'bule Amerika' Josue Vega alias Abdul Rashid untuk masuk ke dalam pelukan Islam.
PADA awalnya, Islam bukanlah hal yang spesial bagi saya. Sama saja seperti halnya agama lainnya. Meski di waktu senggang, teman saya Hasan sering memperlihatkan film-film dokumenter tentang keislaman kepada saya. Kala itu saya masih berusia 16 tahun dan bersekolah di Worcester Vocational High School. Hasan adalah teman sekaligus sahabat setia yang selalu menemani saya pergi ke mana-mana. Sehingga saya menganggap, suatu hal yang wajar saja ketika ia menunjukkan film-film itu kepada saya.
Lambat laun, saya mulai memikirkan hal itu. Timbul keinginan mengenal Islam lebih jauh. Hingga akhirnya saya mencoba membaca buku-buku Islam karya Syaikh Maududi, seorang penulis asal Mesir. Sejak membaca bukunya, saya mulai berani pergi mengunjungi masjid-masjid yang ada di daerah tempat tinggal saya. Di antaranya adalah Islamic Center of Worcester. Di tempat inilah saya bertemu dengan Syaikh Hamid, warga Amerika keturunan Pakistan yang juga mengajari saya tentang keislaman. Saya diceritakan tentang sejarah Islam terutama masa keemasan Islam di Spanyol.
Pertama-tama saya merasa bahwa ajaran Islam itu aneh dan merasa bahwa sampai kapanpun saya tidak bisa menjadi seorang Muslim yang baik. Bahkan saya yakin, tidak akan diterima oleh warga Muslim lainnya kalau pun masuk Islam. Perasaan itu saya simpan dulu. Hingga akhirnya saya mulai membaca buku-buku fiqih, akidah Islam dan semua buku Islam yang datang dari Arab.
Namun di suatu titik, saya melihat sebuah tulisan Arab yang sangat indah sekali. Kaligrafi namanya. Entah mengapa, sepertinya ada sesuatu yang menarik dan mendamaikan hati. Saya langsung jatuh hati. Saat itu juga saya mencari dan membeli perangkatnya untuk mencoba mempelajarinya. Saya heran, dalam waktu yang tidak begitu lama, saya sudah bisa menulis kaligrafi seperti pada buku-buku yang saya beli. Saat itu juga saya berpikir, inilah tempat untuk saya.
Kala itu juga saya mulai belajar Islam secara menyeluruh. Dan saya menyadari bahwa ternyata Islam itu indah dan mudah untuk dipelajari. Saya sadar betul dan salut kepada orang-orang yang dengan sangat sabar dan penuh perdamaian dalam menyebarkan agama Islam. Maka dari itu saya tidak percaya bahwa Islam itu teroris. Di mana kekejamannya ? Sedikit pun saya tidak melihat hal itu. Saya hanya melihat bahwa Islam itu penuh toleransi, kedamaian, mengena, dan masuk akal.
Saya ingin menjadi seseorang yang betul-betul saya inginkan. Dan Islam betul-betul membantu. Saya ingin menjadi orang yang lembut dan yang lebih baik lagi. Sejak itu pula saya menyatakan diri sebagai seorang Muslim di sebuah masjid di Islamic Center of Worcester, Amerika Serikat.
Dahulu, sebelum menjadi seorang Muslim saya selalu berkata keras dan kasar pada orang tua. Bahkan seringberkelahi. Tapi Alhamdulillah kini saya tak pernah lagi berkata keras dan kasar dan tak pernah membantah. Yang membuat saya yakin untuk keluar dari agama sebelumnya adalah karena di Amerika, agama Kristen sendiri sudah terbagi beberapa sekte dan aliran. Dalam keluarga saja ada Kristen Katolik, Protestan, dan Pantekosta. Saya mencoba mendatangi gereja-geraj yang sesuai dengan aliran itu. Dan ternyata malah sempat membuat saya frustasi. Sebab, ajaran yang disampaikan itu sangat beragam dan berbeda sekali. Belakangan ini, Kristen di Amerika bukanlah agama yang diminati lagi karena ajarannya. Bahkan Kristen sudah menjadi hal yang negatif. Itulah yang membuat saya bersikukuh untuk lebih memilih Islam. Saya tidak melihat yang lain kecuali Islam. Karena Islam tetap yang terbaik hingga akhir zaman.
Tamu di Rumah Sendiri
Reaksi keluarga, sangat beragam dan tidak karu-karuan. Mereka berang dan marah begitu tahu saya kini seorang Muslim. Begitu banyak makian datang dari orang tua, kakak, dan adik. Untunglah kebanyakan dari mereka tidak sampai melakukan tindakan fisik. Hanya kakak sayalah yang selalu memancing dan cenderung untuk mengadu fisik. Tapi semua itu tidak saya turuti, lebih baik mengalah saja.
Saya diperlakukan seperti tamu di rumah sendiri. Setiap ada kepentingan atau urusan keluarga, saya tidak lagi diberi tahu, apalagi dilibatkan. Mereka menganaktirikan saya. Untuk menjalankan shalat lima waktu saja, saya harus sembinyi-sembunyi dan mengunci pintu kamar. Bahkan apabila tidak memungkinkan untuk mengerjakan shalat di rumah, saya terpaksa harus mencari tempat lain di luar rumah.
Mereka sempat mendengar kabar dan berita-berita yang mengatakan Islam itu sadis dan sangat tidak baik. Sedih rasanya jika mengingat hal itu. Saya memiliki keluarga tetapi keluarga tidak mengakuinya. Tapi biarlah, ini adalah sebuah pilihan. Saya hanya takut jika Allah yang marah pada saya.
Hidayah untuk Adik dan Kakak
Memang dibutuhkan waktu yang lama untuk menenangkan dan meyakinkan mereka tentang hidayah Islam yang sesungguhnya dalam keluarga saya. Bertahun-tahun akhirnyasaya bisa menemukan sebuah kenyamanan. Keluarga saya sudah tidak lagi mempermasalahkan status keislaman saya. Alhamdulillah mereka akhirnya mengerti dan membebaskan apa yang telah menjadi pilihan saya.
Alhamdulillah akhirnya hidayah itu pun datang juga kepada kakak. Yamil Galib Vega, dan adik saya, Nadia Vega. Tanpa bujukan dan paksaan, mereka mengakui bahwa Islam yang terbaik. Dan akhirnya mereka pun mengikuti jejak saya untuk menjadi seorang Muslim dan Muslimah. Subhanallah.
Tanpa sepengetahuan saya, mereka telah mencari sendiri informasi tentang Islam di luar rumah. Di rumah, mereka memperhatikan segala gerak-gerik saya. Alhamdulillah adik saya Nadia, menjadikan saya sebagai panutan. Saya tidak menyangka kalau curahan hati setiap masalah yang diceritakan pada saya itu menjadi penilaian dia. Memang setiap Nadia menceritakan masalahnya, saya selalau kaitkan dengan cara Islam mengatasi sebuah masalah. Saya selalu menceritakan tentang sikap Rasulullah ketika ia mengatasi segala persoalan hidupnya. Sejak dirinya tidak lagi mengalami masalah, ia mengatakan ingin menjadi seorang Muslimah.
Lain halnya dengan Yamil Galib Vega, kakak saya,. Baginya, meminjam mobil milik saya bukan hal yang asing lagi. Suatu malam ia meminjam mobil tanpa sepengetahuan saya dan terjadi sebuah kecelakaan yang hebat. Kala itu cuaca buruk sekali. Kakak luka parah, mobil rusak parah. Di rumah sakit, ia marah pada dirinya sendiri karena sudah merusak mobil saya. Dengan kesadarannya sendiri ia minta maaf atas hal yang telah terjadi itu.
Saya katakan padanya bahwa, "Mobil bukan masalah, harta bukan segala-galanya, dan itu hanya titipan Allah untuk dunia fana saja, yang penting adalah dirimu bisa selamat. Karena kamu adalah kakak saya. Segalak apapun dan seburuk apapun kamu tetap kakak saya." Tampaknya kalimat itu cukup meluluihkan hatinya. Beberapa waktu kemudian, dia mengatakan ingin memeluk agama Islam, Subhanallah.
Sungguh, ini bukan hal yang mudah untuk saya. Mungkin mereka takjub dengan keindahan Islam itu sendiri. Sejak saya menjadi Muslim, mereka tidak pernah lagi mendengar kerasnya suara dan teriakan saya jika berbicara dengan mereka atau kepada orangtua. Alhamdulillah perubahan saya ini bisa mendatangkan kebaikan bagi adik dan kakak saya itu. Mereka kini tak lagi melontarkan kata-kata yang seharusnya tidak mereka katakan.
Bahkan ibu saya, Zenaida Izanet Vega dan ayah, Jose Angel Vega, tidak lagi mencemooh Islam. Mereka begitu menaruh hormat pada setiap Muslim yang mereka temui di Amerika. Yang membuat saya semakin bahagia, ibu saya pernah beberapa kali mengunjungi Islamic Center of Worcester. Mudah-mudahan mereka kelak mendapatkan hidayah Allah jua.
Menjadi Ahli Kaligrafi
Di masa depan, saya ingin menjadi seorang yang ahli dalam penulisan kaligrafi. Tapi saya ingin membuat kaligrafi yang orisinil dan sangat tradisional. Bukan kaligrafi modern yang menggunakan huruf timbul seperti yang ada di toko-toko lukisan. Tapi saya ingin menulisnya dengan tinta seperti tulisan dalam Al-Qur'an, masih asli. Mulai dari bentuk alat tulis, kertasnya, hingga tinta yang akan saya gunakan untuk melukis kaligrafi. Insya Allah semua itu akan saya buat dari tangan saya sendiri. Saya ingin berdakwah dengan kemurnian dan keaslian dari sebuah karya kaligrafi yang akan saya buat. Mudah-mudahan ini menjadi nilai ibadah buat saya.
Cita-cita ini mungkin akan sulit diwujudkan tanpa dukungan istri. Saya bersyukur mendapatkan seorang istri yang baik dan mau mendukung apa yang akan saya cita-citakan. Keluguan dan sikap malu-malunya itu begitu menarik perhatian saya sehingga saya sangat menyayanginya sejak pertama kali bertemu di bandara. Sejak pertemuan itu saya langsung jatuh hati padanya. Sebelumnya, kami hanya melakukan perbincangan melalui surat elektronik di website www.naseeb.com. Itu sebabnya, begitu bertemu dan merasa cocok kami langsung menentukan tanggal pernikahan yang hanya berkisar satu bulan saja.
Jika tidak ada aral melintang, saya akan ajak istri saya tinggal di Pittsburgh, di Amerika. Sebab saya harus menyelesaikan kuliah saya di jurusan Desain Industri, di Arts Institute of Pittsburgh, Amerika.
Kalau ada kesempatan untuk bermukim di Indonesia, saya ingin memilih sebuah kawasan perkampungan di Bali. Saya ingin mencoba melebarkan dakwah di Pulau Dewata itu, Insya Allah.
(Herry Wibowo, Majalah Alia No. 09 Tahun IV/Maret 2007
Sumber: http://amanah-land.blogspot.com/2007/03/abdul-rashid-vega.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar