Namaku Risma, aku dilahirkan lima puluh dua tahun lalu dari keluarga yang mengaku beragama. Sayangnya, sampai aku berumur dua puluh empat tahun tak pernah sekalipun aku mendapati papa, mama, serta kedua kakakku melakukan ajaran agama yang kami peluk.
Jujur saja, sebenarnya aku tak begitu menghiraukan dengan semua itu, toh masih banyak orang bahkan keluarga yang melakukan hal serupa dengan keluargaku. Aku yakin itu, karena kebanyakan keluarga dari teman-temanku juga begitu. Jadi, wajar kan kalau aku merasa biasa saja dengan fenomena yang ada pada keluargaku.
Sayangnya, kata biasa itu kemudian menjebakku dalam rasa pencarian siapa yang bisa menolongku saat dalam kondisi terpuruk. Saat itu, usiaku tiga puluh satu tahun. Di tengah kesibukan merawat anak, aku merasakan kegalauan yang luar biasa. Beragam cara kulakukan seperti mencurahkan hati pada sahabat, suami, bahkan psikiater, namun usaha mengusir kegalauanku tak kunjung berhasil.
Kubiarkan aku dalam kondisi demikian selama hampir dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam kurun waktu tersebut aku seperti kehilangan arah, tak tentu tujuan. Hingga akhirnya aku menemukan pengalaman yang mampu mengubah hidupku hingga kini.
Berawal dari ketidaksengajaan saat aku membeli bakso pedagang keliling yang ada di dekat rumah. Saat itu, dengan membawa mangkok, aku berniat untuk membeli bakso untuk kunikmati sendiri. Anakku sedang sekolah, suamiku sedang bekerja, jadilah aku sendirian di rumah bersama PRT.
Dengan tidak sabar sambil ngomel-ngomel, aku mencaci penjual bakso yang tak kunjung tampak batang hidungnya, meninggalkan gerobak bakso yang ada di depan musholla. Ada sekitar sepuluh menit aku menunggunya. Meski kurasa lama, tapi karena aku sedang ingin makan bakso, kusabar-sabarkan hatiku.
Saat penjual baksonya tampak, dia keluar dari arah musholla dengan langkah tergopoh-gopoh. Sembari memakai topi usangnya, aku ngomel-ngomel padanya karena telah membuatku menunggu. Bukannya ikut tersulut, penjual bakso yang kira-kira berumur lima puluhan itu malah menjawab dengan perkataan yang membuatku seketika tak nafsu makan.
"Maaf, Bu. Saya hanya tidak mau melupakan yang memberikan saya hidup dan memberikan rezeki pada keluarga saya. Apa yang saya lakukan barusan juga belum tentu diterima oleh-Nya. Saya hanya ingin menjadi hamba yang taat."
Saat itu, seketika lututku bergetar hebat. Aku merasakan gebrakan yang begitu kuat dalam hati. Entah mengapa saat itu juga aku berjanji untuk mengenal Tuhan yang telah memberikanku hidup, rezeki, keluarga yang harmonis, dan banyak hal. Pikiran yang selama ini bergaung di telingaku bahwa Tuhan tidak ada segera sirnah saat itu juga berganti dengan pikiran bahwa Tuhan itu ada. Dia yang menciptakan segala kehidupan di muka bumi ini.
Kini, hingga usiaku mencapai lima puluh dua tahun, aku masih dan semoga tetap mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Seluruh turunanku juga kudidik agar mengerti agama secara mendalam. Tahun 2010 lalu, aku menunaikan haji yang kedua bersama dengan keluarga besarku. Berkali-kali kuucap istighfar di sepanjang hidupku, semoga Tuhan menerima taubatku selama tiga puluh empat tahun lalu itu. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar