Diperkirakan ada 7 juta populasi kaum Muslim di Amerika Serikat (AS). Jumlah ini, diperkirakan akan terus bertambah. Hailey Woldt mengenakan abaya hitam, mengharapkan sesuatu yang terburuk. Terakhir kali ia mengenakan busana Muslim dengan kerudung – yang menutup seluruh badannya kecuali wajah, tangan dan kaki adalah ketika ia berada di bandara internasional Miami. Ketika itu banyak orang yang menatapnya dan petugas keamanan memeriksa dirinya dengan seksama.
“Saya berharap orang akan berkata, ’sedang apa teroris ini di sini? Kami tidak ingin orang sepertimu berada di sini,’” kata Woldt, gadis katolik bermata biru berusia 22 tahun, mengingat sikap antisipasinya sebelum masuk ke sebuah kedai barbacue lokal. “Saya pikir, saya bahkan tidak akan dilayani.”
Eksperimen Woldt dalam bidang antropologi sosial itu membuka matanya. Disamping mendapatkan “tatapan awal” yang biasa diterima orang asing ketika memasuki pintu sebuah restoran di kota kecil, ia juga mendapat pengalaman yang menyenangkan.
Ketika ia menuju ke kamar kecil, cerita Woldt, “Seorang wanita terkejut [melihat dirinya], tapi ia kemudian tersenyum pada saya. Senyuman kecil itu sangat membahagiakan hati.”
Pengalaman tak terduganya itu merupakan salah satu kejadian yang ia alami dalam perjalanannya sekarang ini. Woldt adalah salah satu anggota tim yang terdiri dari pemuda Amerika berusia 20-an tahun. Tim itu dipimpin oleh seorang ilmuwan Muslim yang disegani. Mereka menjelajahi negara Amerika dalam sebuah misi antropologi. Tujuannnya: mendiskusikan identitas Amerika, identitas Muslim, dan mencari tahu seberapa baik negeri itu mengusung nilai-nilai idealnya pasca peristiwa 11 September.
Misi 6 bulan yang dimulai pada musim gugur itu dipimpin oleh Akbar Ahmed, Ketua Studi Keislaman di American University Washington. Motivasinya tidak sekedar bersifat akademis.
“Sebagai seorang ilmuwan sosial, sebagai seorang Muslim, adalah kewajiban moral untuk terlibat dalam menjelaskan, membicarakan, berdebat dan berdikusi tentang Islam,” papar Ahmed, 65. Ia mengambil cuti khusus selama 1 tahun untuk mengadakan perjalanan tersebut. “Setelah peristiwa 9/11, Islam menjadi agama yang paling sering dibicarakan, kontroversial, dibenci, dan salah dipahami di Amerika. Dan saya tidak bisa tinggal diam melihat hal tersebut,” tambahnya.
Untuk itu Ahmed merancang sebuah proyek yang ditiru dari program Journey into America. Program “voyage of discovery“, begitu ia menyebutnya, adalah bagian dari program yang telah dilakukannya pada tahun 2006. Di mana ia bersama beberapa orang (di antaranya Woldt) mengadakan perjalanan ke negara-negara Islam. Di awal perjalanan mereka mengunjungi masjid, madrasah dan rumah-rumah orang Islam. Dari Syiria hingga Indonesia. Perjalanan tersebut menjadi dasar penyusunan buku Ahmed yang berjudul Journey into Islam: The Crisis of Globalization.
Dalam perjalanannya baru-baru ini di Atlanta, Georgia, Ahmed mengatakan bahwa meskipun perjalannnya ke luar negeri bisa membantu menjawab banyak pertanyaan seputar bagaimana orang Amerika dipandang di manca negara, namun hal itu belum mampu memberikan gambaran yang utuh.
“Pertanyaan-pertanyaan orang Amerika tentang Islam tidak bisa dijawab tanpa mereka bercermin melihat dirinya sendiri dan melihat Muslim dalam konteks sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat mereka,” terang Profesor Ahmed. Kelompok yang ia pimpin perlu berdialog dengan Muslim dan mencari tahu apa yang mereka ketahui tentang kebudayaan Amerika dan masyarakatnya. Dan bagaimana sebenarnya mereka menyesuaikan diri, berasimilasi atau berintegrasi – atau tidak – dengan lingkungan masyarakat Amerika yang lebih luas.
Untuk tujuan itulah, tim Ahmed berbaur dengan rapper Muslim kulit hitam di Buffalo, New York. Bertemu dengan orang-orang Latin yang beragama Islam di Miami, Florida. Dan mereka juga bertukar cerita dengan para pengungsi serta menjelajahi negeri-negeri yang berbeda seperti Bosnia, Afganistan dan Somalia.
Mereka juga telah menjelajahi Ellis Island di New York, pesisir Plymouth Rock di Massachusette. Menyusuri jalan-jalan yang gemerlap di Las Vegas, Nevada. Serta menyusuri jalan di negara-negara bagian di wilayah selatan.
Selama dalam perjalanan, mereka bertemu dengan para akademisi, pemuka-pemuka agama, petugas penegak hukum dan para aktivis. Cerita tentang pertemuan dan kunjungannya ditulis di blog mereka.
Sejak beberapa tahun lalu perjalanan ini dirasa penting bagi seorang Frankie Martin. Ia seorang kristen Episcopalian berusia 25 tahun. Ayahnya seorang pegawai negeri. Ia dulu tinggal di Kenya ketika kedutaan-kedutaan Amerika di wilayah Afrika Timur dibom pada bulan Agustus 1998. Peristiwa itu menewaskan ratusan orang dan memunculkan isu tentang ancaman dari Al Qaidah dan Usamah Bin Ladin.
“Saya ingat, ketika kembali ke AS dan mencoba membicarakan tentang isu ini [yang berkaitan dengan Islam dan Barat], banyak orang tidak tahu apa-apa mengenai hal itu,” kata Martin. Kemudian terjadi peristiwa 11 September yang mengguncang AS. Saat itu ia mulai kuliah di American University. “Saya ingin tahu mengapa hal seperti itu bisa terjadi, dan apa yang bisa kita lakukan terkait hal tersebut…. Saya ingin belajar lebih banyak tentang dunia Muslim, memahami agama Islam dan membangun sebuah hubungan baik.”
Sebagian proses itu mengharuskan mereka untuk terjun langsung, berada di tempat yang belum pernah mereka masuki sebelumnya.
Pada parade Hari Muslim bulan Oktober di New York, Craig Considine, 23, ikut bergabung di tengah kelompok pemrotes/penentang, untuk melihat secara langsung dan merekam hujatan-hujatan yang dilontarkan. Di antara mereka ada yang menghina Rasulullah Muhammad sehingga membuat suasana semakin panas. Mereka saling menghujat satu sama lain.
Pemuda pembuat film itu tidak merasakan apa-apa hingga akhirnya ia minggir dan mematikan kameranya, kemudian berpikir.
“Kelompok yang menentang/memprotes dan kelompok yang menanggapi, keduanya adalah orang-orang Amerika. Dan mereka sama-sama gagal, tidak bisa saling memahami. Saya sangat kecewa. Seumur hidup belum pernah saya melihat kebencian seperti itu .” kata Considine.
Jonathan Hayden, 30, yang telah bekerja untuk Ahmed selama hampir lima tahun mengatakan bahwa peristiwa yang sederhana pun dapat memberikan pencerahan.
Ia menceritakan tentang sebuah pertanyaan mengharukan yang diajukan oleh seorang wanita dari wilayah Midwestern yang mengakui bahwa ia belum pernah berjumpa dengan seorang Muslim.
“Apakah mereka [orang Muslim] mencintai anak-anak mereka?” Heyden mengingat pertanyaan wanita itu. “Kami bisa menjawab pertanyaannya, ya mereka mencintai anak-anak mereka…. Namun, fakta bahwa wanita itu mengutarakan pertanyaan tersebut, memberikan gambaran yang banyak kepada kita.”
Tujuan utama kelompok itu adalah memberikan pencerahan akan perlunya memahami Islam. Sesuatu yang mereka harap bisa dipenuhi dalam buku yang akan ditulis oleh Ahmed dan sebuah film dokumenter yang akan mereka buat.
“Populasi Muslim di seluruh dunia adalah 1,4 milyar. Pada pertengahan abad ini, akan ada satu Muslim di antara empat orang. Sekarang ini ada 57 negera Muslim. “Pikirkanlah tentang jumlah dan angka tersebut,” kata Ahmed. “Amerika – sebagai negara superpower, sebagai pemimpin dunia – perlu untuk bisa berinteraksi positif dengan seperempat bagian masyarakat dunia itu.”
Ia memperkirakan ada 7 juta Muslim di AS sekarang ini, dan jumlahnya terus bertambah. Mimpi dan harapan mereka, Ahmed, dan yang lainnya adalah sudah pasti, tidak berbeda dengan mimpi dan harapan tetangga mereka yang lain.
Syeikh Salahadin Wazir, yang mengadakan jamuan makan malam bersama mereka dan mengundang kelompok itu untuk shalat Jum’at bersama, menghargai proyek tersebut.
“Sangat penting untuk mengetahui secara lengkap tentang Muslim dari perspektif orang Islam. Kami semua adalah warga negara yang terikat hukum. Kami profesional,” kata Wazir di pelataran Masjid Al Mukminin di Clarkson, Georgia. “Banyak anak-anak kami yang bersekolah, menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan masa depannya cerah.”
Bagi Madeeha Hameed, 21, menjadi bagian dalam proyek ini merupakan sesuatu yang bersifat personal. Mahasiswa pada College of William & Mary di Virginia ini mengambil cuti satu semester untuk melakukan perjalanan sebanyak mungkin, dan sekarang ia sudah kembali kuliah. Ia pindah dari Pakistan ke Virginia bagian Utara sebelum masuk sekolah menegah atas, yaitu sesaat sebelum peristiwa 11 September terjadi.
“Saat itu sangat sulit keadaannya buat saya… Anda tahu bagaimana suasana di sekolah menengah atas,” katanya. “Saya tidak ingin dikenali sebagai seorang Muslim atau orang Pakistan, karena saya ingin bisa bergaul. Saat itu saya sangat kecewa dengan identitas saya.” Setelah membaca buku tulisan Profesor Ahmed, dan berkesempatan untuk turut serta dalam perjalanan kelompoknya, “Sangat membantu untuk bisa menerima identitas saya,” katanya. Dan ia pun bisa semakin menghargai apa yang ada di sekitarnya. Ia melanjutkan, ” Ada banyak hal mengenai negeri ini dan mengenai Islam, yang tidak saya tahu dan pahami sebelumnya.”
[cnn/Dija/www.hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar