Gadis asal Czeckolovakia yang sebelumnya Katolik ini begitu kaget dan mengaku betapa nikmatnya bisa merasakan Islam. Lets’s taste being Muslim…”, undangnya
Hidayatullah.com--Pengajian mingguan yang aku hadiri tidak seramai biasanya. Agak sunyi. Beberapa hari terakhir memang London tengah diguyur hujan hingga menyebabkan semua kegiatan rutin agak tersendat-sendat. Beberapa peserta banyak yang terkena sakit flue atau alasan lainnya.
Meski banyak yang absen, tapi hari itu ada keistimewaan tersendiri. Tiga diantara peserta yang hadir adalah dua brothers dan satu sister muallaf. Mereka adalah brother Gaffar (Jaffar) alias Gavin yang baru sembilan bulan menjadi Muslim, Jamal alias James dan sister Aisyah, gadis cantik asal Czeckolovakia.
Sebelum mengakhiri pengajian, kami memberi kesempatan kepada sahabat kami, seorang muallaf yang hadir hari itu untuk menyampaikan pendapat serta pengalaman spiritual mereka selama menjadi Muslim.
Mereka masing masing menyampaikan perasaan dan pengalaman mereka selama menjadi Muslim. Tentu pendapatnya masing-masing berbeda. Namun satu yang pasti bahwa mereka tambah yakin akan kebenaran Islam, merasakan satu ketenangan dalam jiwa mereka. Tidak itu saja, Gaffar mengatakan bahwa sejak ia kembali dari umrah Ramadhan lalu, kini ia lebih terbuka dan berterus terang dengan para pegawai, baik tetang dirinya yang sudah Muslim. Kebetulan ia seorang direktur di perusahaannya.
Konon setiap hari, ujarnya, ada saja orang bertanya tentang Islam. Tak hentinya mereka bertanya, kebetulan yang bertanya adalah orang-orang ilmuwan. “I love talking Islam in science percepective,” ujarnya. Begitu juga Jamal dan Aisyah. Maha Besar Allah. Pesan dan kesan mereka membuat kami yang lahir Muslim jadi terpacu dan terpicu untuk meningkatkan keimanan kami. Pengajian ditutup lalu disambung dengan shalat maghrib dan diakhiri dengan makan.
Enam bulan....
Saya mengenal cukup lama dengan Aisyah. Namun baru kali ini berjumpa lagi dengannya, bertepatan saat pengajian. Selama ini, sister Aisyah, begitu saya sering memanggilnya, begitu sibuk dengan kursus Arab-nya (mengaji Al-Quran) selain bekerja tentunya. Kali ini ada ada kesempatan untuk berbincang. Kita memang sudah berjanji untuk bisa berbincang soal perjalanan dan pengalaman spiritualnya menuju Islam. Akhirnya, dengan senang hati ia membolehkan saya untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk tulisan.
“ I let you to write my story, my journey to Islam sis, I hope it will be useful for other”, ujarnya.
Ia nampak lebih anggun hari itu. Percaya dirinya kian bertambah dengan busana Muslimnya yang kaffah serta jilbabnya yang sarat dan memenuhi syariat –padahal subhanllah ia adalah seorang muallaf alias “A new Muslim atau convert” dibanding kita yang lahir Muslim atau 'born a Muslim'.
Kepadaku, ia menceritakan kisahnya. Sebelum jadi Aisyah nama asli nya adalah Yana. Ia datang ke London 3 ahun lalu. Gadis asal Czecklo ini datang di negeri Ratu Elizabeth untuk mengadu peruntungan dan mencari pekerjaan. Baru pertama kali itulah dalam hidupnya ia melihat Muslim. Menurutnya bahwa agama Islam itu agama yang eksotik, maksudnya eksklusif hanya cocok dan melulu untuk orang Arab saja, bukan untuk orang orang Eropa, baik Eropa barat atau timur , seperti dirinya, yang berasal dari Czecklovakia. Ia tahu betul bawa agama resmi dinegeriya adalah agama Kristen.
Sampai suaru hari ia berjumpa dengan seorang lelaki asal Pakistan. “Kami berteman,” ujarnya. Suatu petang mereka bercakap-cakap disuatu warung kopi atau café sambil makan sore. Kami terlibat dengan percakapan soal agama sampai percakapan tentang agama Islam dan Muslim. Diakhir percakapan itu Aisyah mengajukan pertanyaan yang membuatnya terkejut:
“He asked me if I would to convert to Islam. I answered",
“Never! I can’t do something like this. It’s a really crazy idea!".
"Nggak bakalan deh saya melakukan yang begituan. "Wah itu bener bener gila kalau saya masuk Islam, lalu ia bertanya lagi".
“Why?“
“I answered,”Because I like to wear top, T-Shirt and jeans and I like to do sunbathing and swimming and so on and so on....” (Karena saya suka pakai baju blus biasa, T-shirt dan celana jeans, juga saya suka berenang dan berjemur di matahari).
“Saya heran kenapa temanku ini kok aneh banget? Ngajakin saya masuk Islam. Ganti agama?. Ah, yang bener aja, emang gampang?" itulah kira-kira yang ada dibenak Aisyah kala itu.
“Ketika kami berpisah, entah bagaimana si lelaki ini telah meninggalkan suatu kesan di hati saya. Sangat membekas. Cukup dalam. Tak hentinya saya memikirkan percakapan petang itu, baik tentang Islam, Muslim dan permintaan atau pertanyaan dia kalau saya mau masuk Islam. Saya tak paham, lalu saya berkata. "Ah, gila dia," kenang Aisyah.
“Tapi… kenapa lantas saya tak hentinya memikirkan ini. Terus terang hal ini berputar-putar di benak saya. Tak ubahnya seperti korsel. Hati saya dibolak balik seperti juga saya membolak balikan tubuh saya ditempat tidur dimalam itu. Saya tak bisa tidur. Ya, Semalaman!”.
“Uh, rasanya saya tak sabar menanti hari esok, ingin rasanya matahari cepat datang dan terbit. Hmm saya dibuat penasaran oleh dia, si lelaki Pakistan itu. Ia telah membuat saya begitu interest sama agama ini hingga saya berbicara pada diri saya: “Ok it will be interesting to read something about this religion,” saya tertantang jadinya.
“Esoknya saya bergegas ke warnet lalu saya cari situs tentang Islam dalam bahasa Czech tentunya agar mudah saya pahami. Setelah saya baca secepatnya saya memilih artikel: “Posisi Wanita Dalam Islam”…dan betul betul membuat saya terperangah dan bahkan membuatku terpaku. Saya mikir."
“Betapa tingginya peran dan posisi wanita dan berapa banyak haknya Wanita dalam Islam’. Itu kesan pertama saya,” ujarnya.
“Kemudian saya lanjutkan dengan membaca beberapa artikel lainnya. Ia bagai sebuah magis. Kekuatan magnitnya begitu menerpa jantung saya. Kuat sekali. Saya tertarik.”
“Dari yang saya baca saya menyimpulkan betapa agama ini begitu toleran terhadap agama lainnya, tidak memandang suku, ras dan warna dan mengumpamakan bahwa kita ini bersaudara, bagai satu tubuh, mengundang persatuan”.
“Saya kopi-paste artikel ini ke dalam USB, lalu saya print sehingga saya bisa membaca di rumah. Sejak itu saya terus membaca Islam. Ibaratnya saya seperti orang kehausan. Tambah banyak saya membaca Islam, betambah banyak saya ingin tahu. Sampai kepada satu kesimpulan bahwa secara filosofi Islam ini begitu penuh dengan kedamaian dan apapun yang ditawarkan oleh Islam sepertinya serba masuk akal dan sangat fitrah. “Islam is peaceful and every thing makes sense in Islam”, demikian kata Aisyah.
***
Suatu hari, Aisyah mengaku rindu akan keluarganya dan ingin memiliki Al-Quran dengan terjemahan dalam bahasa Czeck yang tidak ia dapatkan di London. Akhirnya ia pulang ke Czeck untuk mengobat rindu kepada keluarga sambil liburan. Di sana ia membeli kitab Al-Quran dalam dengan terjemahan bahasa Czeck. Ia baca kitab suci ini ini berulang-ulang, sungguh ia terpana dibuatnya. Salah satu ayat yang membuatnya terpana adalah ayat di bawah ini:
“The good deed and evil deed cannot be equal. Repel (the evil) with one which is better (i.e. Allah orders the faithful believers to be patient at the time of anger, and excuse those who treat them badly) them verily he, between whom and you there was enmity, (will become) as though he was a close friend.”
(Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. 41:34))
“Ayat ini telah betul-betul merasuk ke hati saya, sangat dalam”, ujarnya ketika ia membaca ayat 34 surat Fushilat.
Waktu terus berjalan. Kira-kira enam bulan. “Perasaan ini kian menguat bahwa saya ingin sekali mengikuti agama ini," ujar Aisyah.
“Saya kembali ke Czeckoslovakia untuk liburan lagi sambil ingin mengatakan kepada kedua orangtua saya tentang agama Islam yang sedang saya pelajari dan saya cinta. Alhamdulillah, mereka berdua tidak keberatan sama sekali".
"Kok bisa sis, mereka tidak kecewa, marah atau bersedih,” tanyaku. “Well, kami di Czecko, terutama di keluarga sama sekali hampir tidak pernah berbicara soal agama. Ke gerejapun, saya hampir tidak pernah melihat mereka pergi, walaupun mengaku beragama Katolik (Roman Catholic). Kami di Czecko memang di sana rata-rata Katolik," ia menambahkan.
“Atas restu kedua orangtua saya akhirnya saya balik ke London dan mengikrarkan syahadat pada bulan Maret 2006. Ah ternyata tidak susah ya menjadi Muslim, hanya mengucapkan, “ ujarnya.
"ASHHADU ANLA ILAHA ILLA-ALLAH WA ASHHADU ANNA MUHAMMADAN RASULAHH". I witness that is not got except Allah and I witness that Muhammad is messenger of Allah.” (Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah)
Sejak bersyahadat Aisyah merasa berbahagia dan mendapatkan ketenangan, dan ia lebih intens belajar Islam serta belajar bahasa Arab. Di akhir pekan ia belajar bahasa Arab (maksudnya belajar mengaji). Meski ngaji nya masih rada alot kedengarannya. Namun ia berupaya keras menghafal surat-surat pendek untuk shalat.
“Islam menurutku, sangat mudah praktis,” ujarnya. “Bahwa Islam itu tidak cuma shalat lima waktu, pake jilbab.. tapi Islam adalah cara hidup atau ‘A way of life..ad-Dien, menurut saya bahwa Islam adalah apa yang kita kerjakan dari pagi hingga petang.”
Niqab Aisyah
Bulan September, enam bulan usadi bersyahadat, Aisyah menggunakan abaya atau baju Muslimah. Sebelumnya, untuk beradaptasi saat pulang ke Czeck dia cuma pake baju biasa. Rok panjang, blous tanpak jilbab. Itupun sudah membuat teman-temam di kampusnya terkejut melihat perubahan itu. Dia potong kukunya pendek dan tidak lagi mengenakan kutek. Saudara sepupunya yang seusia, bahkan sempat marah dan tidak suka saat ia tahu Yana masuk Islam. Bahkan beberapa saat mereka tidak saling menyapa dan bicara.
Lebaran 2006 lalu, saya terkejut. Sebab saya temukan ia memakai niqab (cadar). Lebih terkejut lagi setalah tahu bahwa ia telah melepas cadarnya. “Kenapa dilepas, “ bagitu tanyaku kala itu. Menurut Aisyah, dia tahu itu tidak diwajibkan dan banyak pendapat beberapa imam (scholar) yang berbeda.
Semenjak beralih memeluk Islam, Aisyah sangat rajin belajar agama dan mengaji. Kini, ia memiliki seorang guru asal Pakistan.
“Guru saya seorang Syeikh (baca ustadz), asal Pakistan, mengatakan bahwa Islam itu bukan sebuah agama kekerasan, opresi (opressed) menekan atau pemaksaan, tapi Islam adalah agama pertengahan dan mencari keseimbangan dalam segala aspek di dalam kehidupan kita sehari-hari. Islam bukan agama hanya ibadah ritual saja, bukan pula agama ke-rahiban, atau sebaliknya mencari dunia saja dan melupakan Tuhan atau kematian. Dalam Islam ada waktu untuk menyembah Allah, waktu untuk keluarga, bermain dengan anak-anak, berinteraksi dengan manusia, berbuat kebaikan, bekerja atau studi dan bahkan kita diperintahkan untuk santai. Semua itu adalah ibadah.” Demikian ujarnya.
“Saya tengah meniti menjadi Muslim yang betul-betul akan berada pada tingkatan bahwa saya akan bisa merasakan melihat Allah, walau bukan dengan kasat mata. Artinya apapun yang saya lakukan saya tahu Allah menyaksikan perbuatan saya, saya mengutip ini dari apa yang Rasulullah sampaikan disalah satu hadits.
“Sis, jika ada orang bertanya, seperti apa rasanya menjadi seorang Muslim. Apa yang akan Anda jawab?”, begitu tanya saya pada Aisyah.
“Saya akan menganalogikan seperti makan buah apel deh. Saya akan katakan kepada mereka untuk merasakan buah apel, Anda harus mencicipi dan memakannya sendiri. Di situ Anda akan tahu seperti apa indah dan lezatnya buah apel. Rasa buah apel ini hanya bisa dirasakan dinikmati kalau Anda mau memakannya sendiri."
Sebelum menutup pembicaraan, Aisyah mengundang bagi mereka yang belum tahu rasanya bagaimana menjadi seorang Muslim agar bisa merasakan bagaimana nikmatnya berislam.
"Let’s taste the feeling to be a Muslim", undangnya. [London, 6 Januari 2006 by Al-Shahida, email: al_shahida@yahoo.com /www.hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar