“Perjalananku mencari kebenaran penuh dengan onak dan duri. Aku lahir dari sebuah keluarga sederhana. Ayahku seorang penganut Atheis (tak percaya Tuhan-red) sementara ibu beragama Kristen tapi jarang ke gereja,” ujar Bandar memulai kisahnya.
Pengakuan Bandar, neneknyalah yang telah banyak memberi warna agama dalam hidup. Ia mengaku sangat dekat dengannya. Sang nenek, menurutnya, berusaha membangun semangat Kristen sejak kecil.
“Meskipun nenek bukanlah seorang yang aktif di kegiatan gereja, namun ia adalah seorang yang sungguh-sungguh dan keyakinan agama datang dari dasar hatinya. Begitu juga caranya beribadah persis seperti penganut Kristen tradisional (orthodoks).
“Ia mendesakku dan juga adikku untuk dibaptis di gereja. Namun ayah tidak setuju dengan sarannya itu. Karena, menurutnya, kakekku dulu merupakan pegawai terhormat di kantor semasa pemerintahan komunis Cekoslowakia,” kenangnya.
Ketika berumur 12 tahun, mata pelajaran agama mulai diajarkan di kelas. “Kala itu aku mulai mendapatkan petuah-petuah Kristen hingga punya keinginan untuk dibaptis. Karena menurutku hanya dengan cara ini bisa “selamat”. Sebenarnya aku sendiri tidak begitu antusias mengikuti pelajaran agama. Tapi aku bersikeras untuk tetap ikut. Teman-teman sekelas menyindir tajam keinginanku. Aku sering berdoa dan ikut jamaah gereja, membaca Bibel, ikut acara Misa dan turut membantu setiap ada kegiatan di sana,” imbuhnya lagi.
Setelah dua tahun mengabdi di gereja ia diberitahu bahwa kedua orangtuanya dulu tidak menikah di gereja. Karenanya ia tidak bisa dibaptis. “Jujur saja saat itu aku sangat kecewa sekali. Keyakinan akan ajaran Katolik spontan luntur. Di saat itu pula ibuku melahirkan adikku. Aku disibukkan oleh kehadiran adik dan akhirnya seiring perjalanan waktu Kristen hilang dari dalam diriku,” akunya.
Ketika di sekolah menengah Bandar ikut kelas yang ada mata pelajaran Etika. “Aku berkeyakinan bahwa untuk bisa patuh pada Tuhan tidak musti dibaptis dulu. Sejak itu aku berhenti ikut jamaah gereja demikian juga tidak punya minat lagi mempelajari Bibel,” kilahnya.
“Orangtuaku dulunya nikah beda agama. Makanya aku selalu mendapat hinaan dari teman-teman di kelas, tetangga, guru dan bahkan warga kampungku baik di jalanan, bis kota, di mana-mana pokoknya. Mereka bilang, aku ini anak gipsi yang kotor. Akhirnya aku benar-benar hilang kontak dengan teman-teman semasa kecil karena mereka beranggapan sulit berteman denganku,” kenangnya sedih.
Sebagai pemuda 16 tahun, Bandar mengaku sulit mengontrol emosinya. “Aku sering bertengkar dengan orangtua dan satu ketika memutuskan minggat dari rumah. Berawal dari sinilah aku mulai mengenal dunia luar dan masuk ke kehidupan liar,” ujar Bandar. Ia tidak menceritakan seburuk apa dekadensi moralnya saat itu. Tak disangka, satu hari, ia berjumpa dengan tiga pelajar Muslim dari Sudan. Pertemuan yang di kemudian hari mengubah jalan hidupnya.
Salah seorang dari mereka mengatakan jika Bandar ingin menyelesaikan masalahnya yang menggunung itu ia harus berhenti dari kehidupan liar. “Aku benar-benar terkejut kala mendengar ucapan itu. Bukan apa-apa, karena di pihak lain, saban hari semua teman-temanku malah mendukung dan menganjurkan untuk tetap di jalur “hitam”. Kok anak Islam ini berani-beraninya mengajak sebaliknya dan bahkan mengatakan Tuhan tidak suka dengan cara hidup seperti itu,” tukas Bandar.
“Sejak saat itu, aku menghabiskan waktu dengan pelajar-pelajar Sudan itu. Aku pun mulai meninggalkan acara hura-hura, mabuk-mabukan dan kegiatan tak bermanfaat lainnya. Demikian pula dengan teman-teman lama, mereka mulai meninggalkan aku. Aku mulai masuk sekolah lagi. Aku kembali mengunjungi kedua orangtua, “ lanjutnya lagi. Bandar mengaku tidak merasa terasing dan juga tidak merasa rendah sedikitpun karena berteman dengan pelajar kulit hitam itu. “Aku justru merasa bahagia berada di tengah orang-orang yang bisa aku percaya dan saling berbagi. Bahkan aku pun bisa berhubungan dengan kelompok rasis Slowakia,” akunya.
Bandar sering terlibat diskusi dengan Ahmed, salah seorang pelajar Sudan itu. Tentang Tuhan, Islam dan banyak lainnya.
“Aku belajar banyak darinya dan bahkan jujur saja aku sangat sedikit mengetahui tentang hal itu sebelumnya.”
Satu ketika, dengan penuh haru hingga mencucurkan airmata, Ahmed menyatakan perasaan hatinya.
“Oh, seandainya kamu Islam,” katanya meniru ucapan Ahmed. Bahkan Ahmed mengaku bahwa ia secara rutin sering berdoa khusus untuknya. Bandar benar-benar terkejut dan terkesan. “Dia bukan siapa-siapa. Tapi demikian pedulinya dengan nasibku,” katanya.
“Sedikit banyak apa yang kupelajari sebelumnya tidak ada kontradiksi dengan Islam. Aku percaya dengan Tuhan yang satu dan hanya satu, tidak ada lain. Konsep Trinitas dalam Kristen justru membuatku bingung. Samar-samar dan tidak jelas maksudnya. Islam, bagiku, justru tampil lebih terus terang, terbuka dan dapat dimengerti. Bebas dari dogma-dogma yang tidak rasional. Penganutnya mengerjakan sesuatu tanpa keterpaksaan. Semua berdasarkan konsep ikhlas. Aku berjanji akan meningkatkan langkah menuju usaha yang lebih keras lagi untuk mempelajari Islam. Ahmed dan teman-temannya sangat senang mendengar itu. Mereka menyokong dengan membantuku mencarikan buku-buku Islam berbahasa Slowakia,” kisahnya panjang lebar.
Setelah setahun, Bandar musti berpisah dengan pelajar-pelajar Sudan itu. Mereka pindah ke kota lain guna melanjutkan studinya. Ia merasa sangat kehilangan. Sepeninggal mereka Bandar jadi pemurung.
“Aku seperti berada di persimpangan jalan. Seakan ada yang menarikku untuk kembali ke dunia lama. Tapi di pihak lain, aku merasa takut. Ya aku takut berdosa. Dalam suasana bingung seperti itu aku lalu mengunjungi komunitas Baptis. Aku diberitahu bahwa karena alasan “keselamatan” aku tidak perlu dibaptis. Namun mereka tidak menanggapi ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan krusial tentang ajaran Kristen,” imbuhnya.
“Di tengah keputusasaan itu, Allah datang dan menolongku. Subhanallah! Aku berjumpa lagi dengan seorang pelajar Muslim yang lain. Namanya Umar dan berasal dari Yaman. Ia sangat alim dan dengan senang hati mencarikan literatur-literatur penting untukku. Aku mulai belajar Islam lagi.”
Umar pun mengajari Bandar bagaimana cara shalat, cara bersyukur pada Allah, cara menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan banyak lainnya lagi. “Yang paling berkesan, ia mengajariku bagaimana berbakti kepada kedua orangtua. Juga ia ceritakan bagaimana persaudaraan dalam Islam. Bukan main indahnya Islam,” aku Bandar kagum.
Singkat cerita, Bandar Brano akhirnya bersyahadah di hadapan Umar. Tak lama kemudian Umar pun mengajaknya ke Masjid. “Seumur hidup itulah pertamakali aku ke Masjid. Entah mengapa ketika berada di Masjid hatiku begitu tenteram dan damai. Aku merasa yakin telah menemukan kebenaran. Namun aku sedih sebab masih banyak dari anggota keluargaku yang belum Islam. Begitupun aku bersyukur kepada Allah atas hidayah-Nya,” tutur Bandar.
“Alhamdulillah, segala pujian hanya bagi Allah. Aku menerima hidayah Islam pada saat berusia 18 tahun. Aku masih ingat dengan perasaan saat mengucapkan dua kalimah syahadah. Kala itu aku seperti menggigil dan takut. Namun selepas bersyahadah terasa sejuk, hening, damai. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Begitu girangnya Bandar. Ia menyaksikan wajah-wajah penuh persahatan. “Alhamdulillah, dalam masa sekitar tiga tahun aku mendapatkan kesempatan untuk tinggal bersama-sama Muslim lainnya guna belajar dari mereka. Tata cara hidup dalam Islam. Kehidupanku telah berubah sama sekali sejak saat itu. Semoga Allah berikan kekekalan hidayah padaku,” pintanya. Bandar sering berdoa, terutama bagi saudara-saudaranya baik di Slowakia maupun di Ceko agar satu ketika nanti juga mendapat hidayah.
“Ya Allah berikanlah ganjaran dan kasih sayang-Mu kepada mereka-mereka yang telah membantuku menemukan kebenaran. Dan, Semoga Allah senantiasa membantu menguatkan keimananku.” do’a Bandar di akhir kisahnya. [zulkarnain jalil, kontributor www.hidayatullah.com di Aceh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar