Christiana Adriana adalah nama pemberian orang tua. Sesuai nama saya yang berawalan Christiana, orang sudah mafhum dengan agama saya. Saya memang pengarut agama Kristen Katolik. Sejak kecil, kedua orang tua kami selalu menanamkan ajaran Kristen dalam mendidik kami, anak-anaknya. Bersama kedua orang tua, saya pun aktif dalam setiap kegiatan gereja. Bahkan, ibu saya adalah seorang aktivis gereja yang bertugas memberi makan para pendeta.
Sebagai penganut agama Kristen Katolik yang taat, saya sangat rajin membaca Alkitab. Selain itu, saya juga banyak membaca kisah-kisah Nabi Isa. Saya juga sangat kagum dengan gambar Bunda Maria yang saya tempel di banyak sudut rumah.
Bersamaan dengan rasa kagum kepada agama yang saya anut itu, sebagai anggota masyarakat, saya juga perlu bergaul dengan sesama. Kebetulan, saya tinggal di wilayah Yogyakarta yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di lingkungan yang berbeda agama inilah saya menyempatkan diri untuk bergaul. Ini saya lakukan sejak kanak-kanak hingga dewasa. Saya sangat senang bergaul dengan mereka, sebab mereka tidak pernah mempersoalkan perbedaan agama.
Pergaulan saya yang luas dengan kalangan Islam ini membuat kedua orang tua saya waswas. Mereka kemudian melarang saya bergaul dengan orang-orang Islam. Karena sudah terlalu dekat dengan teman-teman itu, maka saya secara sembunyi-sembunyi menjumpai mereka. Lama-kelamaan tingkah laku saya itu diketahui juga oleh ayah Saya didamprat habis-habisan. Bukan itu raja, Saya juga mendapat hukuman.
Tahun 1971, selepas dari Sekolah Guru Agama (SGA), saya secara resmi menyandang gelar biarawati. Sebagai biarawati, saya diharuskan tinggal di dalam asrama. Tugas saya yang pertama adalah mengajar di taman kanak-kanak. Setelah itu, tugas saya adalah sebagai misionaris yang meliputi wilayah garapan Jakarta dan sekitarnya.
Sebagai seorang misionaris, saya berusaha mengajak pemeluk agarna Islam untuk menjadi penganut agama Kristen. Dan itu berhasil. Ternyata banyak orang Islam yang pindah ke agama Kristen. Umumnya mereka berasal dari kalangan orang yang kesusahan. Mereka berani menggadaikan imannya karena merasa berutang budi kepada misionaris.
Setelah tiga tahun menjadi misionaris, saya mulai risih dengan ajaran-ajaran agarna saya sendiri. Saya sering membandingkan ajaran Kristen dengan ajaran Islam. Karena sering membandingkan, akhirnya saya berkesimpulan bahwa agama Islamlah yang mempunyai ajaran dan hukum yang sangat jelas, seperti halal, haram, mubah, dan makruh. Bukan itu saja, Saya terkadang bertanya tentang ketuhanan Yesus. Mengapa Yesus sebagai Tuhan bisa disalib dan tidak berdaya?
Selain itu, saya juga bertanya mengenai sikap umat Kristen yang seharusnya taat pada perintah Alkitab, tapi malah percaya kepada dogma dogma Paulus. Misalnya, pada Imamat: 11 yang mengharamkan babi, tapi umat Kristen malah memakannya. Selain itu, umat Kristen juga melalaikan perintah sunat atau berkhitan.
Dari pertanyaan yang ditunjukkan umat Kristen ini, membuat saya ragu akan kebenaran agama yang saya anut sejak kecil itu. Pertanyaan dan sikap penganutnya ini yang menjadi awal keraguan saya terhadap agama Kristen.
Hal-hal Aneh
Dan keraguan iniiah, saya mengalami hal-hal aneh yang belum pernah terjadi dalam hidup saya selama ini. Pertama, saya berdoa kepada Tuhannya orang Islam. Dalam doa itu, saya minta agar ditunjukkan kekuasaan-Nya sehingga dengan itu akan menambah keyakinan saya.
Kedua, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, saya melihat orang orang yang suci bersih berbaris dengan rapi. Tiba-tiba muncul gumpalan-gumpalan awan yang memayungi orang-orang suci itu.
Ketiga, di saat subuh, ketika saya bersiap untuk melakukan doa, tiba-tiba ada yang memegangi tangan saya dari belakang. Mulut saya juga dibekap hingga tak bisa bicara. Pikir saya saat itu, saya sedang dirampok. Karena kondisi demikian, saya berusaha untuk berteriak. Namun, saya malah berteriak Allahu Akbar dan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah berteriak seperti itu, pegangan tangan itu pun mengendur dan lenyap. Kemudian, saya tak sadarkan diri. Dalam keadaan seperti itu, saya mengalami halusinasi. Saya merasa dibawa entah oleh siapa ke sebuah padang yang sangat luas. Di hadapan saya terdapat gumpalan bara sebesar gunung. Semua rumput bersujud. Kemudian secara sayup-sayup saya mendengar kumandang suara azan. Lantunan suara suci itu begitu menyayat hati. Saya merasa begitu bersalah selama ini.
Keempat, setiap kali saya mendapat kesulitan, muncul seseorang memakai sorban yang berdiri tegar di hadapan saya. Orang itu kemudian mengatakan, "Apa yang engkau inginkan? Apa belum cukup kebesaran yang Aku tunjukkan?"
Masuk Islam
Setelah mengalami kejadian aneh itu, saya berkeinginan secara ikhlas untuk memeluk agama Islam. Niatan itu saya sampaikan kepada kepala suster. Bukan sambutan hangat yang saya terima, malah kemarahan yang saya dapatkan. Kepala suster marah dan melarang saya.
Namun, tekad saya sudah bulat untuk pindah agama. Untuk mewujudkan itu, saya hengkang dari asrama. Keinginan itu juga didengar oleh orang tua saya. Saya dimarahi dan diobati oleh paranormal. Mereka mengancam untuk tidak mengakui saya sebagai anak. Namun yang keluar dari mulut saya hanya kalimat tauhid. Karena tidak mempan, akhirnya orang tua saya membawa saya ke rumah sakit jiwa dengan alasan kena sihir.
Akhirnya, saya dapat mewujudkan keinginan itu. Berkat usaha seorang teman, saya berhasil dibimbing untuk memeluk Islam di sebuah pondok pesantren di Jakarta Timur. Nama saya segera saya ganti menjadi Supriantini.
Setelah pindah agama, saya lebih memfokuskan belajar mendalami Islam. Saya juga tidak bosan-bosan mendoakan kedua orang tua saya agar mereka segera diberi taufik dan hidayah oleh Allah SWT. (Maulana/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com
Kamis, 05 April 2012
Yohanes Paulus (Bambang Sukamto) : Ibu Mengancam Bunuh Diri
NAMA saya Yohanes Paulus. Saya lahir di Yogyakarta. Tepatnya pada 26 September 1944. Saya berasal dari keluarga yang beragama Kristen Katolik. Keluarga saya sangat dikenal sebagai penganut Kristen yang taat dan fanatik. Ayah saya, Laksamana Pertama (Purn.) R.M.B. Suparto dan ibu saya, Maria Agustine Kamtinah. (Red : Dr. H. Bambang Sukamto, saat ini aktif di kegiatan sosial Harian Republika / Dompet Dhuafa Republika dan Ketua Yayasan Masjid Namira (Al Manthiq) Jl Tebet Barat Dalam V Jakarta Selatan, yang secara khusus melakukan pembinaan kepada para mualaf)
Latar belakang pendidikan saya adalah pendidikan yang berbasis agama Kristen Katolik, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan di lingkungan keluarga. Sejak kecil saya sudah dididik menjadi penganut agama yang fanatik. Oleh orang tua, saya disekolahkan di sekolah Kristen. Mereka memasukkan saya ke Taman Kanak-kanak Santa Maria Yogya. Kemudian dilanjutkan pada Sekolah Dasar Kanisius Yogya. Lalu dimasukkan ke sekolah menengah pertama hingga menengah atas di sekolah Kanisius Jakarta.
Untuk lebih memantapkan agama dalam diri saya, pada umur 12 tahun saya dipermandikan atau dibaptis. Oleh gereja, saya diberi nama Yohanes. Pada umur 17 tahun, saya pun mendapat nama tambahan lagi yakni Paulus. Nama itu d iberikan setelah saya mengikuti upacara sakramen penguatan yang dilakukan oleh pihak gereja. Jadi, sekarang nama Kristen saya adalah Yohanes Paulus. Nama ini menggantikan nama pemberian orang tua saya, yaitu Bambang Sukamto.
Anti Islam
Karena latar belakang pendidikan dan pergaulan selalu dalam lingkaran agama Kristen Katolik, maka sejak kecil saya selalu diberi pandangan bahwa agama Islam itu agama yang sesat. Orang-orang Islam itu adalah domba-domba yang perlu diselamatkan. Setiap kali mendengar suara mereka mengaji, selalu saya anggap mereka sedang memanggil setan.
Begitu pun setiap saya melihat mereka shalat, saya beranggapan mereka sedang menyembah iblis. Perasaan anti Islam terasa begitu kuatdalam diri saya, sehingga saya berniat untuk menyerang teman-teman yang beragama Islam. Kepada mereka, saya selalu mempromosikan bahwa agama sayalah yang paling benar.
Setelah lulus sekolah lanjutan atas, saya melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Di lingkungan kampus ini saya kembali bergabung dalam kelompok aktivis gereja. Dalam kelompok ini saya juga bergabung dalam sebuah kelompok yang sangat militan. Dalam kelompok militan ini saya berjuang sebagai prajurit Perang Salib yang bertujuan menghadapi syiar agama Islam di Indonesia.
Setelah bergabung dalam kelompok ini, saya semakin yakin bahwa umat Islam yang mayoritas ini merupakan domba-domba yang harus diselamatkan. Saya akan menyelamatkan dan mengajak mereka untuk ikut dalam ajaran Yesus Kristus, khususnya masuk dalam agama Kristen Katolik.
Dalam studi kedokteran ini, saya juga bergabung dalam sebuah kelompok studi. Kelompok ini beranggotakan empat orang mahasiswa. Tiga orang teman saya beragama Islam, sedangkan yang Kristen cuma saya. Kami selalu belajar bersama di rumah saya. Bila tiba waktu shalat, mereka pamit sebentar untuk shalat berjamaah. Usai shalat, mereka saya ajak untuk berdiskusi mengenai masalah agama.
Dalam diskusi itu, saya mulai menyerang mereka. Saya selalu mendiskreditkan agama mereka. Misalnya, mengapa shalat itu harus menghadap kiblat dan harus berbahasa Arab dalam membacanya. Saya katakan pada mereka, kalau begitu Tuhan kalian tidak sempurna, karena hanya ada di Arab.
Setelah itu, saya membandingkan dengan Tuhan agama saya yang ada di mana-mana. Mendapat serangan itu, teman-teman saya tenang saja. Mereka menjawab bahwa di mana pun berada, orang Islam dapat shalat berjamaah dan selalu sama bahasanya dalam beribadah. Ini menunjukkan bahwa agama Islam itu agama yang benar dan universal (untuk semua manusia). Mereka malah balik bertanya, mengapa orang Kristen itu kalau bangun gereja tidak satu arah? Malah terkesan berantakan ke segala arah? Itu, kata mereka, menunjukkan bahwa Tuhan saya akan bingung ke mana harus berpaling.
Mereka juga mengatakan, bahasa agama saya itu tidak sama, bergantung wilayah. Jadi, kesimpulannya, mereka mengatakan bahwa agama saya itu hanya agama lokal. Saya kaget dan tersentak mendengar jawaban itu. Ternyata mereka pandai-pandai, tidak seperti dugaan saya selama ini.
Masuk Islam
Saat duduk di tingkat IV FKUI, saya menjalin hubungan dengan gadis muslimah. Gadis itu ingin serius kalau saya sudah beragama Islam. Tawaran ini tidak saya penuhi, karena sikap anti-Islam saya kala itu sangat kuat. Akhirnya kami putus. Sikap keras gadis ini membuat saya penasaran. Mengapa gadis itu tidak goyah keyakinannya? Rasa penasaran ini mendorong saya untuk banyak membaca dan mempelajari Islam.
Saya coba melahap buku-buku Islam, seperti Akidah dan Tauhid Islam, Api Islam, Soal Jawab tentang Islam, dan Islam Jalan Lurus. Untuk hal yang tidak jelas, saya sering bertanya kepada teman teman. Saya juga sering menghadiri kuliah dan diskusi agama Islam.
Dari sinilah, tanpa saya sadari, muncul ketertarikan terhadap Islam. Saya begitu kagum dan hormat kepada pribadi Nabi Muhammad saw yang telah membawa dan memperjuangkan agama agung dan mulia ini. Dari sini pula, saya dapat memperoleh jawaban dari berbagai persoalan yang selama ini menjadi ganjalan dalam agama saya. Saya mulai percaya, Islam adalah agama yang rasional, mengajarkan disiplin, bersifat sosial, dan menjunjung tinggi kesusilaan.
Pengalaman seperti ini membuat keimanan saya goyah. Saya sering lupa pergi ke gereja. Saya sering terbangun jika mendengar azan subuh. Saya sering mendengar suara yang memanggil untuk beriman secara benar. Dalam hati, saya ingin meniatkan untuk masuk agama Islam. Tapi, saya belum beraru mengutarakannya kepada keluarga dan teman-teman seagama.
Tahun 1971, keinginan untuk masuk Islam semakin kuat. Teman-teman kuliah dulu mendukung keinginan itu. Akhirnya pada bulan Ramadhan tahun itu juga, saya berikrar menjadi seorang muslim. Di bawah bimbingan cendekiawan muslim Doktor Nurcholish Madjid, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di rumah Bapak Syaaf di Kramat Kwitang.
Rasa haru dan gembira pada saat itu tidak terlupakan. Teman-teman menyambut baik keislaman saya itu. Saya merasakan betapa sejuk dan nikmatnya persaudaraan Islam ini. Nama baptis dan sakremen, Yohanes Paulus, segera saya ganti dengan nama pemberian orang tua saya semula, yakni Bambang Sukamto.
Keislaman saya ini mendapat tantangan dari keluarga dan teman-teman gereja. Mereka menyindir, mencela, dan bahkan menuduh saya sesat. Mereka juga berusaha untuk menarik saya kembali ke agama lama. Yang paling berat adalah tantangan dari ibu kandung saya. Saya dimarahi dan dicaci maki habis-habisan, karena dianggap telah berkhianat. Ibu juga mengancam akan bunuh diri jika saya tidak kembali ke agama Kristen. Tantangan ini saya hadapi dengan sabar dan tabah.
Lama-kelamaan tantangan ibu saya itu reda juga. Akhirnya, saya dapat menjalankan ibadah ini dengan baik dan tenang. Saya banyak belajar tentang Islam. Alhamdulillah, pada tahun 1991, saya bersama istri dapat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dan untuk membantu para mualaf dalam mempelajari Islam, saya bersama teman-teman mendirikan sebuah pengajian/majelis taklim Al-Mantiq. (Maulana/Albaz) (dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ ).
Latar belakang pendidikan saya adalah pendidikan yang berbasis agama Kristen Katolik, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan di lingkungan keluarga. Sejak kecil saya sudah dididik menjadi penganut agama yang fanatik. Oleh orang tua, saya disekolahkan di sekolah Kristen. Mereka memasukkan saya ke Taman Kanak-kanak Santa Maria Yogya. Kemudian dilanjutkan pada Sekolah Dasar Kanisius Yogya. Lalu dimasukkan ke sekolah menengah pertama hingga menengah atas di sekolah Kanisius Jakarta.
Untuk lebih memantapkan agama dalam diri saya, pada umur 12 tahun saya dipermandikan atau dibaptis. Oleh gereja, saya diberi nama Yohanes. Pada umur 17 tahun, saya pun mendapat nama tambahan lagi yakni Paulus. Nama itu d iberikan setelah saya mengikuti upacara sakramen penguatan yang dilakukan oleh pihak gereja. Jadi, sekarang nama Kristen saya adalah Yohanes Paulus. Nama ini menggantikan nama pemberian orang tua saya, yaitu Bambang Sukamto.
Anti Islam
Karena latar belakang pendidikan dan pergaulan selalu dalam lingkaran agama Kristen Katolik, maka sejak kecil saya selalu diberi pandangan bahwa agama Islam itu agama yang sesat. Orang-orang Islam itu adalah domba-domba yang perlu diselamatkan. Setiap kali mendengar suara mereka mengaji, selalu saya anggap mereka sedang memanggil setan.
Begitu pun setiap saya melihat mereka shalat, saya beranggapan mereka sedang menyembah iblis. Perasaan anti Islam terasa begitu kuatdalam diri saya, sehingga saya berniat untuk menyerang teman-teman yang beragama Islam. Kepada mereka, saya selalu mempromosikan bahwa agama sayalah yang paling benar.
Setelah lulus sekolah lanjutan atas, saya melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Di lingkungan kampus ini saya kembali bergabung dalam kelompok aktivis gereja. Dalam kelompok ini saya juga bergabung dalam sebuah kelompok yang sangat militan. Dalam kelompok militan ini saya berjuang sebagai prajurit Perang Salib yang bertujuan menghadapi syiar agama Islam di Indonesia.
Setelah bergabung dalam kelompok ini, saya semakin yakin bahwa umat Islam yang mayoritas ini merupakan domba-domba yang harus diselamatkan. Saya akan menyelamatkan dan mengajak mereka untuk ikut dalam ajaran Yesus Kristus, khususnya masuk dalam agama Kristen Katolik.
Dalam studi kedokteran ini, saya juga bergabung dalam sebuah kelompok studi. Kelompok ini beranggotakan empat orang mahasiswa. Tiga orang teman saya beragama Islam, sedangkan yang Kristen cuma saya. Kami selalu belajar bersama di rumah saya. Bila tiba waktu shalat, mereka pamit sebentar untuk shalat berjamaah. Usai shalat, mereka saya ajak untuk berdiskusi mengenai masalah agama.
Dalam diskusi itu, saya mulai menyerang mereka. Saya selalu mendiskreditkan agama mereka. Misalnya, mengapa shalat itu harus menghadap kiblat dan harus berbahasa Arab dalam membacanya. Saya katakan pada mereka, kalau begitu Tuhan kalian tidak sempurna, karena hanya ada di Arab.
Setelah itu, saya membandingkan dengan Tuhan agama saya yang ada di mana-mana. Mendapat serangan itu, teman-teman saya tenang saja. Mereka menjawab bahwa di mana pun berada, orang Islam dapat shalat berjamaah dan selalu sama bahasanya dalam beribadah. Ini menunjukkan bahwa agama Islam itu agama yang benar dan universal (untuk semua manusia). Mereka malah balik bertanya, mengapa orang Kristen itu kalau bangun gereja tidak satu arah? Malah terkesan berantakan ke segala arah? Itu, kata mereka, menunjukkan bahwa Tuhan saya akan bingung ke mana harus berpaling.
Mereka juga mengatakan, bahasa agama saya itu tidak sama, bergantung wilayah. Jadi, kesimpulannya, mereka mengatakan bahwa agama saya itu hanya agama lokal. Saya kaget dan tersentak mendengar jawaban itu. Ternyata mereka pandai-pandai, tidak seperti dugaan saya selama ini.
Masuk Islam
Saat duduk di tingkat IV FKUI, saya menjalin hubungan dengan gadis muslimah. Gadis itu ingin serius kalau saya sudah beragama Islam. Tawaran ini tidak saya penuhi, karena sikap anti-Islam saya kala itu sangat kuat. Akhirnya kami putus. Sikap keras gadis ini membuat saya penasaran. Mengapa gadis itu tidak goyah keyakinannya? Rasa penasaran ini mendorong saya untuk banyak membaca dan mempelajari Islam.
Saya coba melahap buku-buku Islam, seperti Akidah dan Tauhid Islam, Api Islam, Soal Jawab tentang Islam, dan Islam Jalan Lurus. Untuk hal yang tidak jelas, saya sering bertanya kepada teman teman. Saya juga sering menghadiri kuliah dan diskusi agama Islam.
Dari sinilah, tanpa saya sadari, muncul ketertarikan terhadap Islam. Saya begitu kagum dan hormat kepada pribadi Nabi Muhammad saw yang telah membawa dan memperjuangkan agama agung dan mulia ini. Dari sini pula, saya dapat memperoleh jawaban dari berbagai persoalan yang selama ini menjadi ganjalan dalam agama saya. Saya mulai percaya, Islam adalah agama yang rasional, mengajarkan disiplin, bersifat sosial, dan menjunjung tinggi kesusilaan.
Pengalaman seperti ini membuat keimanan saya goyah. Saya sering lupa pergi ke gereja. Saya sering terbangun jika mendengar azan subuh. Saya sering mendengar suara yang memanggil untuk beriman secara benar. Dalam hati, saya ingin meniatkan untuk masuk agama Islam. Tapi, saya belum beraru mengutarakannya kepada keluarga dan teman-teman seagama.
Tahun 1971, keinginan untuk masuk Islam semakin kuat. Teman-teman kuliah dulu mendukung keinginan itu. Akhirnya pada bulan Ramadhan tahun itu juga, saya berikrar menjadi seorang muslim. Di bawah bimbingan cendekiawan muslim Doktor Nurcholish Madjid, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di rumah Bapak Syaaf di Kramat Kwitang.
Rasa haru dan gembira pada saat itu tidak terlupakan. Teman-teman menyambut baik keislaman saya itu. Saya merasakan betapa sejuk dan nikmatnya persaudaraan Islam ini. Nama baptis dan sakremen, Yohanes Paulus, segera saya ganti dengan nama pemberian orang tua saya semula, yakni Bambang Sukamto.
Keislaman saya ini mendapat tantangan dari keluarga dan teman-teman gereja. Mereka menyindir, mencela, dan bahkan menuduh saya sesat. Mereka juga berusaha untuk menarik saya kembali ke agama lama. Yang paling berat adalah tantangan dari ibu kandung saya. Saya dimarahi dan dicaci maki habis-habisan, karena dianggap telah berkhianat. Ibu juga mengancam akan bunuh diri jika saya tidak kembali ke agama Kristen. Tantangan ini saya hadapi dengan sabar dan tabah.
Lama-kelamaan tantangan ibu saya itu reda juga. Akhirnya, saya dapat menjalankan ibadah ini dengan baik dan tenang. Saya banyak belajar tentang Islam. Alhamdulillah, pada tahun 1991, saya bersama istri dapat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dan untuk membantu para mualaf dalam mempelajari Islam, saya bersama teman-teman mendirikan sebuah pengajian/majelis taklim Al-Mantiq. (Maulana/Albaz) (dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ ).
Karima Kristie Burns: Cintaku kepada Islam tertambat di Istana Al-Hambra
Karima Kristie Burns, MH, ND nama lengkapnya. Karima (39) dikenal sebagai perempuan dengan banyak bakat. Ya sebagai editor, penulis, guru, dan juga pakar herbalis. Di dunia herbalis dia sangat dikenal lewat konsultasi online di website Herb'n Muslim yang dikelolanya sejak 1994. Sejak masuk Islam, dia membuka usaha Herb'n Muslim yang dikenal dengan teknik penyembuhan alami dan islami. Dia juga telah menulis lebih dari 120 artikel kesehatan yang bisa didownload via websitenya itu. Karima menghabiskan separuh hidupnya di Midwest, Iowa (AS), tempat dia dibesarkan. Dan separuhnya lagi di kawasan Timur Tengah (Mesir dan Arab Saudi).
Karima mulai tertarik dengan metode penyembuhan alami justru ketika berupaya menyembuhkan dirinya sendiri yang mengidap penyakit asma, alergi, mudah panik, depresi, dan beberapa penyakit bagian dalam lainnya. Kala itu dia mencoba dengan terapi alami dan bantuan tumbuh-tumbuhan. Dia berkeliling hingga ke Mesir guna mencari berbagai informasi berkenaan penyembuhan tradisional.
Dari kegigihannya itu, dia bahkan berhasil memperoleh gelar formal master of herbalist dan doktor bidang naturopathic tahun 1996 dari Trinity College di Dublin, Irlandia. Naturopathic adalah teknik pengobatan alamiah yang meresepkan herbal untuk para pasiennya.
Namun tak banyak yang tahu, ketertarikan Karima kepada Islam justru ketika berkunjung ke Spanyol. Dia mengaku terkagum-kagum dengan tulisan Arab di Istana Al-Hambra di kota Granada. Istana itu sendiri dulunya bekas mesjid hingga bekas kaligrafinya masih ada. Berikut penuturan Karima yang disadur dari beberapa sumber.
Kenal Islam di Spanyol
Istana Al-Hambra bekas Mesjid peninggalan kejayaan Islam di Granada Spanyol
Karima Burns awalnya adalah seorang mahasiswi program sarjana studi kawasan Arab di Universitas Iowa, AS. Karima mengaku Islam hadir di hatinya berawal dari membaca rangkaian tulisan ayat suci Al-Quran dalam rangka penyelesaian tugas kuliahnya. Dan dia tak kuasa menghindar dari bisikan hati itu.
Ceritanya, satu ketika dia dan teman-temannya mengadakan studi tur ke Granada, Spanyol. Granada merupakan salah satu bekas kawasan yang pernah dikuasai Islam selama hampir tujuh abad. Kala itu dia sedang duduk-duduk di Istana Al-Hambra. Istana itu dulunya adalah mesjid. Karima takjub melihat jejeran tulisan di dinding gedung tua itu. Baginya itulah tulisan terindah yang pernah dia lihat.
“Bahasa apa itu?” tanyanya pada salah seorang turis Spanyol. ”Bahasa Arab,” sahut turis lokal itu. Hari berikutnya, tatkala pemandu wisata menanyakan buku panduan dalam bahasa apa yang dia inginkan, Karima menjawab spontan bahasa Arab.
"Apa, bahasa Arab? Anda bisa bahasa Arab?" tanya si pemandu terkejut.
"Tidak, tapi tolong berikan juga yang dalam bahasa Inggris," sahut Karima.
Di akhir tour tas Karima penuh dengan buku-buku petunjuk wisata dari tiap-tiap kota yang dia singgahi di seluruh Spanyol. Dan semuanya dalam bahasa Arab!
“Tas travel saya sudah terlalu penuh hingga saya bermaksud membuang beberapa potong pakaian dan beberapa barang lainnya agar tasnya bisa muat. Namun, untuk buku-buku bahasa Arab rasanya berat untuk ditinggalkan. Buku-buku itu ibarat emas bagi saya. Saya sering membolak-balik halamannya tiap malam. Kata per kata-nya saya amati dengan seksama. Huruf-hurufnya juga unik, beda dengan huruf latin biasa. Saya membayangkan andainya saja bisa menulis dengan huruf yang demikian indah itu. Waktu itu saya punya pikiran pasti akan sangat berharga jika bisa mengetahui bahasa Arab ini. Saya pun berniat dalam hati untuk belajar bahasa ini. Ya satu saat nanti kala kembali ke kampus di musim gugur,” tukas Karima.
Mencari jawaban
“Ketika itu ada sekitar dua bulan saya meninggalkan keluarga di Iowa untuk mengikuti tour sepanjang kawasan Eropa ini. Sendirian pula. Kala itu usia saya baru 16. Makanya saya kepingin jalan-jalan dulu sembari “melihat dunia”. Itu alasan yang saya katakan pada keluarga dan kawan-kawan. Tapi sebenarnya saya sedang mencari jawaban atas konsep Kristen yang sudah lama saya pendam. Saya meninggalkan gereja (baca: Kristen -red) persis beberapa bulan sebelum berangkat ke Eropa dan belum bisa menentukan pilihan (agama) lain. Saya merasa belum mendapatkan apapun dengan apa yang telah saya pelajari selama ini. Sampai kini pun belum mendapatkan alternatif-alternatif lain,” ungkapnya.
“Tempat dimana saya dibesarkan, yakni Midwest, sebenarnya sangat cocok buat saya. Misalnya hal keyakian, tidak ada yang perlu dipusingkan disana. Mau jadi bagian dari gereja silahkan. Tidak, ya juga ndak masalah. Tapi karena itu pula saya tidak punya gambaran agama lain yang bisa dijadikan alternatif. Makanya ketika ada waktu keliling Eropa saya berharap bisa berjumpa dengan “sesuatu” yang lain itu,” imbuhnya.
“Di gereja tempat kami tinggal, kami hanya boleh melakukan ibadah untuk Yesus dan menyandarkan segala sesuatu padanya agar bisa menyampaikan pesan kepada Tuhan. Secara intuitif saya merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan dogma itu,” kata dia.
“Saya kala itu dengan patuh pergi ke gereja tiap hari minggu dan sangat serius dengan apa yang saya pelajari tentang kejujuran, murah hati dan saling berkasih sayang. Tapi ada yang bikin saya bingung tatkala melihat jamaag gereja. Sikap mereka tampak begitu beda selama satu hari itu. Apakah Cuma sehari dalam sepekan bersikap jujur, murah hati dan kasih sayang? Apakah mereka cuma bahagia di hari minggu saja? Aku mencari-cari di beberapa buku panduan, namun tak menemukan apa-apa. Ada hal tentang 10 perintah Tuhan yang meliputi hal-hal yang sudah nyata sekali seperti larangan membunuh, mencuri dan berbohong. Uniknya, orang-orang ke gereja seperti tak ada etiket. Misalnya, sejauh yang saya tahu, banyak yang pakai rok mini ke gereja. Ironisnya lagi, ada juga dari mereka pergi ke sekolah minggu hanya karena ada cowok ganteng disana,” tukas Karima.
Kitab Bibel aneka versi
Satu hari Karima berkunjung ke rumah salah seorang dosennya. Disana dia melihat beberapa kitab Bibel tersusun rapi di rak lemari si dosen. “Saya tanya apa itu. Dosennya menjawab bahwa itu kitab Bibel dalam berbagai versi. Saya sebenarnya tak mau mengganggunya dengan pertanyaan seputar Bibel dalam aneka versi itu. Tapi makin dipendam makin sangat mengganggu pikiran. Saya beranikan diri mengamati beberapa dari Bibel itu. Saya terkejut. Memang ada yang benar-benar beda satu versi dengan versi lainnya. Bahkan ada beberapa bab yang tidak sama dengan Bibel kepunyaan saya. Kala itu saya benar-benar bingung. Bahkan mulai timbul perasaan bimbang,” katanya.
Ikut kelas bahasa Arab
Selepas tur Eropa Karima kembali ke kampus dengan perasaan kecewa sebab tak menemukan jawaban yang diharapkannya. Akan tetapi dengan keinginan yang begitu besar akan sebuah bahasa, Karima mengaku tertarik untuk mempelajari bahasa Arab. “Ironis ya, mendapat secercah jawaban yang saya cari-cari justru di dinding istana Al Hambra. Setelah pulang dari Spanyol, butuh dua tahun bagi saya untuk merealisasikan semua itu (masuk Islam-red),” ujarnya.
“Hal pertama sekali yang saya lakukan kala aktif kembali di kampus adalah mendaftar kelas bahasa Arab. Saya amati tampaknya kelas itu tidak begitu diminati. Entah kenapa. Buktinya peserta yang mendaftar cuma tiga. Saya dan dua mahasiswa lainnya. Tapi saya tak ambil pusing,” kata dia. Karima pun langsung tenggelam dengan pelajaran bahasa Arab. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, hingga sang dosen takjub melihatnya.
“Saya kerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan pulpen khusus untuk menulis huruf kaligrafi. Bahkan seringkali saya pinjam buku-buku dalam bahasa Arab dari dosen hanya untuk melihat huruf-huruf Arab yang ada dalam buku itu. Memasuki tahun kedua di universitas, saya putuskan untuk memilih bidang Studi Timur Tengah. Jadi dengan begitu bisa fokus pada satu kawasan saja. Nah di salah satu mata kuliahnya adalah belajar Al-Quran. Saya gembira bukan main,” aku Karima mengenang.
Kagum dengan Al-Quran
“Satu malam saya buka Al-Quran untuk mengerjakan PR. Heran campur takjub. Makin saya baca makin terasa nikmat. Sulit untuk berhenti membacanya. Persis seperti seseorang baru mendapatkan sebuah novel baru. Ketika itu saya bergumam dalam hati; wow menarik sekali. Inilah yang selama ini saya cari-cari. Semuanya ada dalam Al-Quran. Semua penjelasan betul-betul menarik. Saya sungguh kagum, kitab suci ini menguraikan semua yang juga saya percayai dan saya cari-cari jawabannya selama bertahun-tahun. Sangat jelas disebutkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, yakni Allah. Tidak seperti di Kristen, satu dalam tiga,” imbuhnya.
Hari berikutnya Karima kembali ke ruang kelas untuk menanyakan siapa gerangan pengarang kitab itu. Karima melihat ada sebuah nama tertulis di halaman depan Al-Quran itu. “Awalnya saya menyangka itu nama pengarangnya. Misalnya seperti kitab Gospel yang dikarang oleh St. Luke atau kitab-kitab dalam agama lain yang pernah saya pelajari sebelumnya,” kata dia.
Salah seorang dosen Karima yang beragama Kristen memberitahu bahwa itu bukan nama pengarangnya. “Ternyata itu adalah nama penerjemahnya. Masih menurut dosen itu, dia mengutip pernyataan penganut Islam, bahwa tak ada seorang pun yang mampu menulis kitab suci itu. Quran, kata orang Islam, merupakan perkataan Allah dan tidak berubah dari pertama diturunkan hingga saat ini. Al-Quran dibaca dan dihafal banyak orang. Wow…tak perlu saya katakana bagaimana gembiranya hati saya. Makin terpesona dan takjub. Setelah penjelasan itu saya tambah tertarik, bukan hanya mempelajari bahasa Arab, tapi juga mempelajari Islam. Hingga timbul keinginan pergi ke Timur Tengah,” katanya sumringah.
Masuk Islam
Karima menghabiskan separuh hidupnya kawasan Timur Tengah (Mesir dan Arab Saudi) yang dituangkan dalam koleksi photo
Di tahun terakhir kuliah akhirnya Karima mendapat kesempatan mengunjungi Mesir. Salah satu tempat favorit yang ingin dia lihat di sana adalah mesjid. “Saya merasakan seolah-olah sudah jadi bagian dari mereka. Berada di dalam mesjid, keagungan Allah semakin nyata. Dan, seperti biasanya, saya sangat menikmati rangkaian tulisan kaligrafi yang ada di dinding mesjid itu,” kata dia.
Satu hari seorang teman menanyakan kenapa tidak masuk Islam saja kalau memang sudah sangat tertarik. “Tapi saya sudah jadi seorang muslim,” kata Karima. Si teman terkejut mendengar jawaban itu. Tak cuma dia, bahkan Karima sendiri terkejut dengan jawaban spontan yang keluar dari bibirnya. “Tapi kemudian saya sadari hal itu logis dan normal. Islam telah merasuk dalam jiwa saya dan selalu memberikan perasaan lain. Begtupun pernyataan teman saya itu ada benarnya. Kenapa saya tidak masuk Islam saja?” tanya Karima pada dirinya sendiri. Temannya menyarankan agar lebih resmi (masuk Islam) sebaiknya pergi ke mesjid saja dan menyatakan keislaman di hadapan jamaah di sana sebagai saksinya.
“Tanpa menunggu lama saya ikuti sarannya. Ringkas saja, Alhamdulillah, akhirnya saya pun bersyahadat. Pihak mesjid lalu memberikan selembar sertifikat resmi selepas bersyahadat. Tapi sertifikat itu tak penting dan hanya saya simpan dilemari. Sama seperti dokumen-dokumen lain seperti asuransi, ijazah dan lainnya. Tak ada niat menggantung kertas itu di dinding rumah sebagai bukti telah ber-Islam. Bagi saya yang penting sudah jadi seorang muslim,” akunya.
“Kini saya habiskan waktu hanya untuk mempelajari Al-Quran. Ketika membuka Al-Quran perasaan yang hadir persis seperti orang yang baru saja menemukan kembali anggota keluarganya yang telah lama hilang,” ungkap Karima.
Di rumahnya Karima tak lupa menggantung foto Istana Al Hambra, tempat dimana dia pertama kali melihat tulisan Arab yang membuat dirinya takjub dan jatuh cinta dengan Al-Quran. Kini, disamping mengelola praktek penyembuhan alaminya dia juga aktif menulis. Ada lebih dari 120 artikel yang telah dia tulis. Umumnya bertema kesehatan. Tulisannya yang terkenal antara lain The “Yoga” of Islamic Prayer, Vetegarian Muslim, dan banyak lainnya lagi. Begitulah. [Zulkarnain Jalil/dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=5523_0_4_0_M
Karima mulai tertarik dengan metode penyembuhan alami justru ketika berupaya menyembuhkan dirinya sendiri yang mengidap penyakit asma, alergi, mudah panik, depresi, dan beberapa penyakit bagian dalam lainnya. Kala itu dia mencoba dengan terapi alami dan bantuan tumbuh-tumbuhan. Dia berkeliling hingga ke Mesir guna mencari berbagai informasi berkenaan penyembuhan tradisional.
Dari kegigihannya itu, dia bahkan berhasil memperoleh gelar formal master of herbalist dan doktor bidang naturopathic tahun 1996 dari Trinity College di Dublin, Irlandia. Naturopathic adalah teknik pengobatan alamiah yang meresepkan herbal untuk para pasiennya.
Namun tak banyak yang tahu, ketertarikan Karima kepada Islam justru ketika berkunjung ke Spanyol. Dia mengaku terkagum-kagum dengan tulisan Arab di Istana Al-Hambra di kota Granada. Istana itu sendiri dulunya bekas mesjid hingga bekas kaligrafinya masih ada. Berikut penuturan Karima yang disadur dari beberapa sumber.
Kenal Islam di Spanyol
Istana Al-Hambra bekas Mesjid peninggalan kejayaan Islam di Granada Spanyol
Karima Burns awalnya adalah seorang mahasiswi program sarjana studi kawasan Arab di Universitas Iowa, AS. Karima mengaku Islam hadir di hatinya berawal dari membaca rangkaian tulisan ayat suci Al-Quran dalam rangka penyelesaian tugas kuliahnya. Dan dia tak kuasa menghindar dari bisikan hati itu.
Ceritanya, satu ketika dia dan teman-temannya mengadakan studi tur ke Granada, Spanyol. Granada merupakan salah satu bekas kawasan yang pernah dikuasai Islam selama hampir tujuh abad. Kala itu dia sedang duduk-duduk di Istana Al-Hambra. Istana itu dulunya adalah mesjid. Karima takjub melihat jejeran tulisan di dinding gedung tua itu. Baginya itulah tulisan terindah yang pernah dia lihat.
“Bahasa apa itu?” tanyanya pada salah seorang turis Spanyol. ”Bahasa Arab,” sahut turis lokal itu. Hari berikutnya, tatkala pemandu wisata menanyakan buku panduan dalam bahasa apa yang dia inginkan, Karima menjawab spontan bahasa Arab.
"Apa, bahasa Arab? Anda bisa bahasa Arab?" tanya si pemandu terkejut.
"Tidak, tapi tolong berikan juga yang dalam bahasa Inggris," sahut Karima.
Di akhir tour tas Karima penuh dengan buku-buku petunjuk wisata dari tiap-tiap kota yang dia singgahi di seluruh Spanyol. Dan semuanya dalam bahasa Arab!
“Tas travel saya sudah terlalu penuh hingga saya bermaksud membuang beberapa potong pakaian dan beberapa barang lainnya agar tasnya bisa muat. Namun, untuk buku-buku bahasa Arab rasanya berat untuk ditinggalkan. Buku-buku itu ibarat emas bagi saya. Saya sering membolak-balik halamannya tiap malam. Kata per kata-nya saya amati dengan seksama. Huruf-hurufnya juga unik, beda dengan huruf latin biasa. Saya membayangkan andainya saja bisa menulis dengan huruf yang demikian indah itu. Waktu itu saya punya pikiran pasti akan sangat berharga jika bisa mengetahui bahasa Arab ini. Saya pun berniat dalam hati untuk belajar bahasa ini. Ya satu saat nanti kala kembali ke kampus di musim gugur,” tukas Karima.
Mencari jawaban
“Ketika itu ada sekitar dua bulan saya meninggalkan keluarga di Iowa untuk mengikuti tour sepanjang kawasan Eropa ini. Sendirian pula. Kala itu usia saya baru 16. Makanya saya kepingin jalan-jalan dulu sembari “melihat dunia”. Itu alasan yang saya katakan pada keluarga dan kawan-kawan. Tapi sebenarnya saya sedang mencari jawaban atas konsep Kristen yang sudah lama saya pendam. Saya meninggalkan gereja (baca: Kristen -red) persis beberapa bulan sebelum berangkat ke Eropa dan belum bisa menentukan pilihan (agama) lain. Saya merasa belum mendapatkan apapun dengan apa yang telah saya pelajari selama ini. Sampai kini pun belum mendapatkan alternatif-alternatif lain,” ungkapnya.
“Tempat dimana saya dibesarkan, yakni Midwest, sebenarnya sangat cocok buat saya. Misalnya hal keyakian, tidak ada yang perlu dipusingkan disana. Mau jadi bagian dari gereja silahkan. Tidak, ya juga ndak masalah. Tapi karena itu pula saya tidak punya gambaran agama lain yang bisa dijadikan alternatif. Makanya ketika ada waktu keliling Eropa saya berharap bisa berjumpa dengan “sesuatu” yang lain itu,” imbuhnya.
“Di gereja tempat kami tinggal, kami hanya boleh melakukan ibadah untuk Yesus dan menyandarkan segala sesuatu padanya agar bisa menyampaikan pesan kepada Tuhan. Secara intuitif saya merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan dogma itu,” kata dia.
“Saya kala itu dengan patuh pergi ke gereja tiap hari minggu dan sangat serius dengan apa yang saya pelajari tentang kejujuran, murah hati dan saling berkasih sayang. Tapi ada yang bikin saya bingung tatkala melihat jamaag gereja. Sikap mereka tampak begitu beda selama satu hari itu. Apakah Cuma sehari dalam sepekan bersikap jujur, murah hati dan kasih sayang? Apakah mereka cuma bahagia di hari minggu saja? Aku mencari-cari di beberapa buku panduan, namun tak menemukan apa-apa. Ada hal tentang 10 perintah Tuhan yang meliputi hal-hal yang sudah nyata sekali seperti larangan membunuh, mencuri dan berbohong. Uniknya, orang-orang ke gereja seperti tak ada etiket. Misalnya, sejauh yang saya tahu, banyak yang pakai rok mini ke gereja. Ironisnya lagi, ada juga dari mereka pergi ke sekolah minggu hanya karena ada cowok ganteng disana,” tukas Karima.
Kitab Bibel aneka versi
Satu hari Karima berkunjung ke rumah salah seorang dosennya. Disana dia melihat beberapa kitab Bibel tersusun rapi di rak lemari si dosen. “Saya tanya apa itu. Dosennya menjawab bahwa itu kitab Bibel dalam berbagai versi. Saya sebenarnya tak mau mengganggunya dengan pertanyaan seputar Bibel dalam aneka versi itu. Tapi makin dipendam makin sangat mengganggu pikiran. Saya beranikan diri mengamati beberapa dari Bibel itu. Saya terkejut. Memang ada yang benar-benar beda satu versi dengan versi lainnya. Bahkan ada beberapa bab yang tidak sama dengan Bibel kepunyaan saya. Kala itu saya benar-benar bingung. Bahkan mulai timbul perasaan bimbang,” katanya.
Ikut kelas bahasa Arab
Selepas tur Eropa Karima kembali ke kampus dengan perasaan kecewa sebab tak menemukan jawaban yang diharapkannya. Akan tetapi dengan keinginan yang begitu besar akan sebuah bahasa, Karima mengaku tertarik untuk mempelajari bahasa Arab. “Ironis ya, mendapat secercah jawaban yang saya cari-cari justru di dinding istana Al Hambra. Setelah pulang dari Spanyol, butuh dua tahun bagi saya untuk merealisasikan semua itu (masuk Islam-red),” ujarnya.
“Hal pertama sekali yang saya lakukan kala aktif kembali di kampus adalah mendaftar kelas bahasa Arab. Saya amati tampaknya kelas itu tidak begitu diminati. Entah kenapa. Buktinya peserta yang mendaftar cuma tiga. Saya dan dua mahasiswa lainnya. Tapi saya tak ambil pusing,” kata dia. Karima pun langsung tenggelam dengan pelajaran bahasa Arab. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, hingga sang dosen takjub melihatnya.
“Saya kerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan pulpen khusus untuk menulis huruf kaligrafi. Bahkan seringkali saya pinjam buku-buku dalam bahasa Arab dari dosen hanya untuk melihat huruf-huruf Arab yang ada dalam buku itu. Memasuki tahun kedua di universitas, saya putuskan untuk memilih bidang Studi Timur Tengah. Jadi dengan begitu bisa fokus pada satu kawasan saja. Nah di salah satu mata kuliahnya adalah belajar Al-Quran. Saya gembira bukan main,” aku Karima mengenang.
Kagum dengan Al-Quran
“Satu malam saya buka Al-Quran untuk mengerjakan PR. Heran campur takjub. Makin saya baca makin terasa nikmat. Sulit untuk berhenti membacanya. Persis seperti seseorang baru mendapatkan sebuah novel baru. Ketika itu saya bergumam dalam hati; wow menarik sekali. Inilah yang selama ini saya cari-cari. Semuanya ada dalam Al-Quran. Semua penjelasan betul-betul menarik. Saya sungguh kagum, kitab suci ini menguraikan semua yang juga saya percayai dan saya cari-cari jawabannya selama bertahun-tahun. Sangat jelas disebutkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, yakni Allah. Tidak seperti di Kristen, satu dalam tiga,” imbuhnya.
Hari berikutnya Karima kembali ke ruang kelas untuk menanyakan siapa gerangan pengarang kitab itu. Karima melihat ada sebuah nama tertulis di halaman depan Al-Quran itu. “Awalnya saya menyangka itu nama pengarangnya. Misalnya seperti kitab Gospel yang dikarang oleh St. Luke atau kitab-kitab dalam agama lain yang pernah saya pelajari sebelumnya,” kata dia.
Salah seorang dosen Karima yang beragama Kristen memberitahu bahwa itu bukan nama pengarangnya. “Ternyata itu adalah nama penerjemahnya. Masih menurut dosen itu, dia mengutip pernyataan penganut Islam, bahwa tak ada seorang pun yang mampu menulis kitab suci itu. Quran, kata orang Islam, merupakan perkataan Allah dan tidak berubah dari pertama diturunkan hingga saat ini. Al-Quran dibaca dan dihafal banyak orang. Wow…tak perlu saya katakana bagaimana gembiranya hati saya. Makin terpesona dan takjub. Setelah penjelasan itu saya tambah tertarik, bukan hanya mempelajari bahasa Arab, tapi juga mempelajari Islam. Hingga timbul keinginan pergi ke Timur Tengah,” katanya sumringah.
Masuk Islam
Karima menghabiskan separuh hidupnya kawasan Timur Tengah (Mesir dan Arab Saudi) yang dituangkan dalam koleksi photo
Di tahun terakhir kuliah akhirnya Karima mendapat kesempatan mengunjungi Mesir. Salah satu tempat favorit yang ingin dia lihat di sana adalah mesjid. “Saya merasakan seolah-olah sudah jadi bagian dari mereka. Berada di dalam mesjid, keagungan Allah semakin nyata. Dan, seperti biasanya, saya sangat menikmati rangkaian tulisan kaligrafi yang ada di dinding mesjid itu,” kata dia.
Satu hari seorang teman menanyakan kenapa tidak masuk Islam saja kalau memang sudah sangat tertarik. “Tapi saya sudah jadi seorang muslim,” kata Karima. Si teman terkejut mendengar jawaban itu. Tak cuma dia, bahkan Karima sendiri terkejut dengan jawaban spontan yang keluar dari bibirnya. “Tapi kemudian saya sadari hal itu logis dan normal. Islam telah merasuk dalam jiwa saya dan selalu memberikan perasaan lain. Begtupun pernyataan teman saya itu ada benarnya. Kenapa saya tidak masuk Islam saja?” tanya Karima pada dirinya sendiri. Temannya menyarankan agar lebih resmi (masuk Islam) sebaiknya pergi ke mesjid saja dan menyatakan keislaman di hadapan jamaah di sana sebagai saksinya.
“Tanpa menunggu lama saya ikuti sarannya. Ringkas saja, Alhamdulillah, akhirnya saya pun bersyahadat. Pihak mesjid lalu memberikan selembar sertifikat resmi selepas bersyahadat. Tapi sertifikat itu tak penting dan hanya saya simpan dilemari. Sama seperti dokumen-dokumen lain seperti asuransi, ijazah dan lainnya. Tak ada niat menggantung kertas itu di dinding rumah sebagai bukti telah ber-Islam. Bagi saya yang penting sudah jadi seorang muslim,” akunya.
“Kini saya habiskan waktu hanya untuk mempelajari Al-Quran. Ketika membuka Al-Quran perasaan yang hadir persis seperti orang yang baru saja menemukan kembali anggota keluarganya yang telah lama hilang,” ungkap Karima.
Di rumahnya Karima tak lupa menggantung foto Istana Al Hambra, tempat dimana dia pertama kali melihat tulisan Arab yang membuat dirinya takjub dan jatuh cinta dengan Al-Quran. Kini, disamping mengelola praktek penyembuhan alaminya dia juga aktif menulis. Ada lebih dari 120 artikel yang telah dia tulis. Umumnya bertema kesehatan. Tulisannya yang terkenal antara lain The “Yoga” of Islamic Prayer, Vetegarian Muslim, dan banyak lainnya lagi. Begitulah. [Zulkarnain Jalil/dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=5523_0_4_0_M
Kisah si Bandar
“Perjalananku mencari kebenaran penuh dengan onak dan duri. Aku lahir dari sebuah keluarga sederhana. Ayahku seorang penganut Atheis (tak percaya Tuhan-red) sementara ibu beragama Kristen tapi jarang ke gereja,” ujar Bandar memulai kisahnya.
Pengakuan Bandar, neneknyalah yang telah banyak memberi warna agama dalam hidup. Ia mengaku sangat dekat dengannya. Sang nenek, menurutnya, berusaha membangun semangat Kristen sejak kecil.
“Meskipun nenek bukanlah seorang yang aktif di kegiatan gereja, namun ia adalah seorang yang sungguh-sungguh dan keyakinan agama datang dari dasar hatinya. Begitu juga caranya beribadah persis seperti penganut Kristen tradisional (orthodoks).
“Ia mendesakku dan juga adikku untuk dibaptis di gereja. Namun ayah tidak setuju dengan sarannya itu. Karena, menurutnya, kakekku dulu merupakan pegawai terhormat di kantor semasa pemerintahan komunis Cekoslowakia,” kenangnya.
Ketika berumur 12 tahun, mata pelajaran agama mulai diajarkan di kelas. “Kala itu aku mulai mendapatkan petuah-petuah Kristen hingga punya keinginan untuk dibaptis. Karena menurutku hanya dengan cara ini bisa “selamat”. Sebenarnya aku sendiri tidak begitu antusias mengikuti pelajaran agama. Tapi aku bersikeras untuk tetap ikut. Teman-teman sekelas menyindir tajam keinginanku. Aku sering berdoa dan ikut jamaah gereja, membaca Bibel, ikut acara Misa dan turut membantu setiap ada kegiatan di sana,” imbuhnya lagi.
Setelah dua tahun mengabdi di gereja ia diberitahu bahwa kedua orangtuanya dulu tidak menikah di gereja. Karenanya ia tidak bisa dibaptis. “Jujur saja saat itu aku sangat kecewa sekali. Keyakinan akan ajaran Katolik spontan luntur. Di saat itu pula ibuku melahirkan adikku. Aku disibukkan oleh kehadiran adik dan akhirnya seiring perjalanan waktu Kristen hilang dari dalam diriku,” akunya.
Ketika di sekolah menengah Bandar ikut kelas yang ada mata pelajaran Etika. “Aku berkeyakinan bahwa untuk bisa patuh pada Tuhan tidak musti dibaptis dulu. Sejak itu aku berhenti ikut jamaah gereja demikian juga tidak punya minat lagi mempelajari Bibel,” kilahnya.
“Orangtuaku dulunya nikah beda agama. Makanya aku selalu mendapat hinaan dari teman-teman di kelas, tetangga, guru dan bahkan warga kampungku baik di jalanan, bis kota, di mana-mana pokoknya. Mereka bilang, aku ini anak gipsi yang kotor. Akhirnya aku benar-benar hilang kontak dengan teman-teman semasa kecil karena mereka beranggapan sulit berteman denganku,” kenangnya sedih.
Sebagai pemuda 16 tahun, Bandar mengaku sulit mengontrol emosinya. “Aku sering bertengkar dengan orangtua dan satu ketika memutuskan minggat dari rumah. Berawal dari sinilah aku mulai mengenal dunia luar dan masuk ke kehidupan liar,” ujar Bandar. Ia tidak menceritakan seburuk apa dekadensi moralnya saat itu. Tak disangka, satu hari, ia berjumpa dengan tiga pelajar Muslim dari Sudan. Pertemuan yang di kemudian hari mengubah jalan hidupnya.
Salah seorang dari mereka mengatakan jika Bandar ingin menyelesaikan masalahnya yang menggunung itu ia harus berhenti dari kehidupan liar. “Aku benar-benar terkejut kala mendengar ucapan itu. Bukan apa-apa, karena di pihak lain, saban hari semua teman-temanku malah mendukung dan menganjurkan untuk tetap di jalur “hitam”. Kok anak Islam ini berani-beraninya mengajak sebaliknya dan bahkan mengatakan Tuhan tidak suka dengan cara hidup seperti itu,” tukas Bandar.
“Sejak saat itu, aku menghabiskan waktu dengan pelajar-pelajar Sudan itu. Aku pun mulai meninggalkan acara hura-hura, mabuk-mabukan dan kegiatan tak bermanfaat lainnya. Demikian pula dengan teman-teman lama, mereka mulai meninggalkan aku. Aku mulai masuk sekolah lagi. Aku kembali mengunjungi kedua orangtua, “ lanjutnya lagi. Bandar mengaku tidak merasa terasing dan juga tidak merasa rendah sedikitpun karena berteman dengan pelajar kulit hitam itu. “Aku justru merasa bahagia berada di tengah orang-orang yang bisa aku percaya dan saling berbagi. Bahkan aku pun bisa berhubungan dengan kelompok rasis Slowakia,” akunya.
Bandar sering terlibat diskusi dengan Ahmed, salah seorang pelajar Sudan itu. Tentang Tuhan, Islam dan banyak lainnya.
“Aku belajar banyak darinya dan bahkan jujur saja aku sangat sedikit mengetahui tentang hal itu sebelumnya.”
Satu ketika, dengan penuh haru hingga mencucurkan airmata, Ahmed menyatakan perasaan hatinya.
“Oh, seandainya kamu Islam,” katanya meniru ucapan Ahmed. Bahkan Ahmed mengaku bahwa ia secara rutin sering berdoa khusus untuknya. Bandar benar-benar terkejut dan terkesan. “Dia bukan siapa-siapa. Tapi demikian pedulinya dengan nasibku,” katanya.
“Sedikit banyak apa yang kupelajari sebelumnya tidak ada kontradiksi dengan Islam. Aku percaya dengan Tuhan yang satu dan hanya satu, tidak ada lain. Konsep Trinitas dalam Kristen justru membuatku bingung. Samar-samar dan tidak jelas maksudnya. Islam, bagiku, justru tampil lebih terus terang, terbuka dan dapat dimengerti. Bebas dari dogma-dogma yang tidak rasional. Penganutnya mengerjakan sesuatu tanpa keterpaksaan. Semua berdasarkan konsep ikhlas. Aku berjanji akan meningkatkan langkah menuju usaha yang lebih keras lagi untuk mempelajari Islam. Ahmed dan teman-temannya sangat senang mendengar itu. Mereka menyokong dengan membantuku mencarikan buku-buku Islam berbahasa Slowakia,” kisahnya panjang lebar.
Setelah setahun, Bandar musti berpisah dengan pelajar-pelajar Sudan itu. Mereka pindah ke kota lain guna melanjutkan studinya. Ia merasa sangat kehilangan. Sepeninggal mereka Bandar jadi pemurung.
“Aku seperti berada di persimpangan jalan. Seakan ada yang menarikku untuk kembali ke dunia lama. Tapi di pihak lain, aku merasa takut. Ya aku takut berdosa. Dalam suasana bingung seperti itu aku lalu mengunjungi komunitas Baptis. Aku diberitahu bahwa karena alasan “keselamatan” aku tidak perlu dibaptis. Namun mereka tidak menanggapi ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan krusial tentang ajaran Kristen,” imbuhnya.
“Di tengah keputusasaan itu, Allah datang dan menolongku. Subhanallah! Aku berjumpa lagi dengan seorang pelajar Muslim yang lain. Namanya Umar dan berasal dari Yaman. Ia sangat alim dan dengan senang hati mencarikan literatur-literatur penting untukku. Aku mulai belajar Islam lagi.”
Umar pun mengajari Bandar bagaimana cara shalat, cara bersyukur pada Allah, cara menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan banyak lainnya lagi. “Yang paling berkesan, ia mengajariku bagaimana berbakti kepada kedua orangtua. Juga ia ceritakan bagaimana persaudaraan dalam Islam. Bukan main indahnya Islam,” aku Bandar kagum.
Singkat cerita, Bandar Brano akhirnya bersyahadah di hadapan Umar. Tak lama kemudian Umar pun mengajaknya ke Masjid. “Seumur hidup itulah pertamakali aku ke Masjid. Entah mengapa ketika berada di Masjid hatiku begitu tenteram dan damai. Aku merasa yakin telah menemukan kebenaran. Namun aku sedih sebab masih banyak dari anggota keluargaku yang belum Islam. Begitupun aku bersyukur kepada Allah atas hidayah-Nya,” tutur Bandar.
“Alhamdulillah, segala pujian hanya bagi Allah. Aku menerima hidayah Islam pada saat berusia 18 tahun. Aku masih ingat dengan perasaan saat mengucapkan dua kalimah syahadah. Kala itu aku seperti menggigil dan takut. Namun selepas bersyahadah terasa sejuk, hening, damai. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Begitu girangnya Bandar. Ia menyaksikan wajah-wajah penuh persahatan. “Alhamdulillah, dalam masa sekitar tiga tahun aku mendapatkan kesempatan untuk tinggal bersama-sama Muslim lainnya guna belajar dari mereka. Tata cara hidup dalam Islam. Kehidupanku telah berubah sama sekali sejak saat itu. Semoga Allah berikan kekekalan hidayah padaku,” pintanya. Bandar sering berdoa, terutama bagi saudara-saudaranya baik di Slowakia maupun di Ceko agar satu ketika nanti juga mendapat hidayah.
“Ya Allah berikanlah ganjaran dan kasih sayang-Mu kepada mereka-mereka yang telah membantuku menemukan kebenaran. Dan, Semoga Allah senantiasa membantu menguatkan keimananku.” do’a Bandar di akhir kisahnya. [zulkarnain jalil, kontributor www.hidayatullah.com di Aceh]
Pengakuan Bandar, neneknyalah yang telah banyak memberi warna agama dalam hidup. Ia mengaku sangat dekat dengannya. Sang nenek, menurutnya, berusaha membangun semangat Kristen sejak kecil.
“Meskipun nenek bukanlah seorang yang aktif di kegiatan gereja, namun ia adalah seorang yang sungguh-sungguh dan keyakinan agama datang dari dasar hatinya. Begitu juga caranya beribadah persis seperti penganut Kristen tradisional (orthodoks).
“Ia mendesakku dan juga adikku untuk dibaptis di gereja. Namun ayah tidak setuju dengan sarannya itu. Karena, menurutnya, kakekku dulu merupakan pegawai terhormat di kantor semasa pemerintahan komunis Cekoslowakia,” kenangnya.
Ketika berumur 12 tahun, mata pelajaran agama mulai diajarkan di kelas. “Kala itu aku mulai mendapatkan petuah-petuah Kristen hingga punya keinginan untuk dibaptis. Karena menurutku hanya dengan cara ini bisa “selamat”. Sebenarnya aku sendiri tidak begitu antusias mengikuti pelajaran agama. Tapi aku bersikeras untuk tetap ikut. Teman-teman sekelas menyindir tajam keinginanku. Aku sering berdoa dan ikut jamaah gereja, membaca Bibel, ikut acara Misa dan turut membantu setiap ada kegiatan di sana,” imbuhnya lagi.
Setelah dua tahun mengabdi di gereja ia diberitahu bahwa kedua orangtuanya dulu tidak menikah di gereja. Karenanya ia tidak bisa dibaptis. “Jujur saja saat itu aku sangat kecewa sekali. Keyakinan akan ajaran Katolik spontan luntur. Di saat itu pula ibuku melahirkan adikku. Aku disibukkan oleh kehadiran adik dan akhirnya seiring perjalanan waktu Kristen hilang dari dalam diriku,” akunya.
Ketika di sekolah menengah Bandar ikut kelas yang ada mata pelajaran Etika. “Aku berkeyakinan bahwa untuk bisa patuh pada Tuhan tidak musti dibaptis dulu. Sejak itu aku berhenti ikut jamaah gereja demikian juga tidak punya minat lagi mempelajari Bibel,” kilahnya.
“Orangtuaku dulunya nikah beda agama. Makanya aku selalu mendapat hinaan dari teman-teman di kelas, tetangga, guru dan bahkan warga kampungku baik di jalanan, bis kota, di mana-mana pokoknya. Mereka bilang, aku ini anak gipsi yang kotor. Akhirnya aku benar-benar hilang kontak dengan teman-teman semasa kecil karena mereka beranggapan sulit berteman denganku,” kenangnya sedih.
Sebagai pemuda 16 tahun, Bandar mengaku sulit mengontrol emosinya. “Aku sering bertengkar dengan orangtua dan satu ketika memutuskan minggat dari rumah. Berawal dari sinilah aku mulai mengenal dunia luar dan masuk ke kehidupan liar,” ujar Bandar. Ia tidak menceritakan seburuk apa dekadensi moralnya saat itu. Tak disangka, satu hari, ia berjumpa dengan tiga pelajar Muslim dari Sudan. Pertemuan yang di kemudian hari mengubah jalan hidupnya.
Salah seorang dari mereka mengatakan jika Bandar ingin menyelesaikan masalahnya yang menggunung itu ia harus berhenti dari kehidupan liar. “Aku benar-benar terkejut kala mendengar ucapan itu. Bukan apa-apa, karena di pihak lain, saban hari semua teman-temanku malah mendukung dan menganjurkan untuk tetap di jalur “hitam”. Kok anak Islam ini berani-beraninya mengajak sebaliknya dan bahkan mengatakan Tuhan tidak suka dengan cara hidup seperti itu,” tukas Bandar.
“Sejak saat itu, aku menghabiskan waktu dengan pelajar-pelajar Sudan itu. Aku pun mulai meninggalkan acara hura-hura, mabuk-mabukan dan kegiatan tak bermanfaat lainnya. Demikian pula dengan teman-teman lama, mereka mulai meninggalkan aku. Aku mulai masuk sekolah lagi. Aku kembali mengunjungi kedua orangtua, “ lanjutnya lagi. Bandar mengaku tidak merasa terasing dan juga tidak merasa rendah sedikitpun karena berteman dengan pelajar kulit hitam itu. “Aku justru merasa bahagia berada di tengah orang-orang yang bisa aku percaya dan saling berbagi. Bahkan aku pun bisa berhubungan dengan kelompok rasis Slowakia,” akunya.
Bandar sering terlibat diskusi dengan Ahmed, salah seorang pelajar Sudan itu. Tentang Tuhan, Islam dan banyak lainnya.
“Aku belajar banyak darinya dan bahkan jujur saja aku sangat sedikit mengetahui tentang hal itu sebelumnya.”
Satu ketika, dengan penuh haru hingga mencucurkan airmata, Ahmed menyatakan perasaan hatinya.
“Oh, seandainya kamu Islam,” katanya meniru ucapan Ahmed. Bahkan Ahmed mengaku bahwa ia secara rutin sering berdoa khusus untuknya. Bandar benar-benar terkejut dan terkesan. “Dia bukan siapa-siapa. Tapi demikian pedulinya dengan nasibku,” katanya.
“Sedikit banyak apa yang kupelajari sebelumnya tidak ada kontradiksi dengan Islam. Aku percaya dengan Tuhan yang satu dan hanya satu, tidak ada lain. Konsep Trinitas dalam Kristen justru membuatku bingung. Samar-samar dan tidak jelas maksudnya. Islam, bagiku, justru tampil lebih terus terang, terbuka dan dapat dimengerti. Bebas dari dogma-dogma yang tidak rasional. Penganutnya mengerjakan sesuatu tanpa keterpaksaan. Semua berdasarkan konsep ikhlas. Aku berjanji akan meningkatkan langkah menuju usaha yang lebih keras lagi untuk mempelajari Islam. Ahmed dan teman-temannya sangat senang mendengar itu. Mereka menyokong dengan membantuku mencarikan buku-buku Islam berbahasa Slowakia,” kisahnya panjang lebar.
Setelah setahun, Bandar musti berpisah dengan pelajar-pelajar Sudan itu. Mereka pindah ke kota lain guna melanjutkan studinya. Ia merasa sangat kehilangan. Sepeninggal mereka Bandar jadi pemurung.
“Aku seperti berada di persimpangan jalan. Seakan ada yang menarikku untuk kembali ke dunia lama. Tapi di pihak lain, aku merasa takut. Ya aku takut berdosa. Dalam suasana bingung seperti itu aku lalu mengunjungi komunitas Baptis. Aku diberitahu bahwa karena alasan “keselamatan” aku tidak perlu dibaptis. Namun mereka tidak menanggapi ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan krusial tentang ajaran Kristen,” imbuhnya.
“Di tengah keputusasaan itu, Allah datang dan menolongku. Subhanallah! Aku berjumpa lagi dengan seorang pelajar Muslim yang lain. Namanya Umar dan berasal dari Yaman. Ia sangat alim dan dengan senang hati mencarikan literatur-literatur penting untukku. Aku mulai belajar Islam lagi.”
Umar pun mengajari Bandar bagaimana cara shalat, cara bersyukur pada Allah, cara menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan banyak lainnya lagi. “Yang paling berkesan, ia mengajariku bagaimana berbakti kepada kedua orangtua. Juga ia ceritakan bagaimana persaudaraan dalam Islam. Bukan main indahnya Islam,” aku Bandar kagum.
Singkat cerita, Bandar Brano akhirnya bersyahadah di hadapan Umar. Tak lama kemudian Umar pun mengajaknya ke Masjid. “Seumur hidup itulah pertamakali aku ke Masjid. Entah mengapa ketika berada di Masjid hatiku begitu tenteram dan damai. Aku merasa yakin telah menemukan kebenaran. Namun aku sedih sebab masih banyak dari anggota keluargaku yang belum Islam. Begitupun aku bersyukur kepada Allah atas hidayah-Nya,” tutur Bandar.
“Alhamdulillah, segala pujian hanya bagi Allah. Aku menerima hidayah Islam pada saat berusia 18 tahun. Aku masih ingat dengan perasaan saat mengucapkan dua kalimah syahadah. Kala itu aku seperti menggigil dan takut. Namun selepas bersyahadah terasa sejuk, hening, damai. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Begitu girangnya Bandar. Ia menyaksikan wajah-wajah penuh persahatan. “Alhamdulillah, dalam masa sekitar tiga tahun aku mendapatkan kesempatan untuk tinggal bersama-sama Muslim lainnya guna belajar dari mereka. Tata cara hidup dalam Islam. Kehidupanku telah berubah sama sekali sejak saat itu. Semoga Allah berikan kekekalan hidayah padaku,” pintanya. Bandar sering berdoa, terutama bagi saudara-saudaranya baik di Slowakia maupun di Ceko agar satu ketika nanti juga mendapat hidayah.
“Ya Allah berikanlah ganjaran dan kasih sayang-Mu kepada mereka-mereka yang telah membantuku menemukan kebenaran. Dan, Semoga Allah senantiasa membantu menguatkan keimananku.” do’a Bandar di akhir kisahnya. [zulkarnain jalil, kontributor www.hidayatullah.com di Aceh]
Islam adalah Kerinduanku
Hidayah tidak selalu datang pada hati yang telah “siap”. Tidak jarang seorang yang telah tertarik dengan Islam, akan berusaha menjalankan segala yang diperintahkan oleh agama Islam. Namun, aku merupakan kasus lain, aku benar-benar ikhlas menerima Islam sebagai tuntunan hidup setelah kira-kira tujuh tahun.
Setelah bermimpi berada di masjid dan mengenakan mukena serta didoakan oleh seorang ustadz, saat i’tikaf untuk pertama kali dalam hidupku, aku semakin mantap untuk membaca dua kalimat syahadat, sebagai wujud keseriusan aku memilih Islam sebagai tuntunan hidup dan secara ikhlas bersumpah berusaha kuat menjalankan segala perintah-Nya. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama adari tiga bersaudara. Dari pihak ibu, Eyang putri dan Eyang kakung berasal dari Solo dan Sedayu. Sedangkan dari pihak Ayah, nenek adalah asli orang Makassar tepatnya Tanah Toraja. Eyang buyut dari pihak nenek, adalah salah satu pemangku adat dan pendeta di daerahnya.
Dulu aku adalah penganut Katholik yang taat. Aku menempuh pendidikan formal mulai TK-SMU di sekolah swasta yang notabene milik yayasan Katholik. Saya mengenyam pendidikan formal di TK Santo Yoseph, SMP Katholik Puteri (sekarang ganti nama menjadi SMP Katholik Santa Maria, dan SMUK Santo Augustinus).
Awal ketertarikanku dengan Islam hanya kerena dua kata - mesti inti dari semua ketertarikanku pada Islam adalah karena aku sendiri tidak memahami adanya “Doktrin Trinitas” dalam keyakinan lama yang aku anut - yaitu Iri dan Logis.
Di sini aku tegaskan, aku memaparkan penjelasan ini untuk mendiskreditkan ajaran-agama lain. Dalam hal ini aku berbicara karena kapasitasku hanyalah muallaf yang benar-benar tertarik pada Islam karena akhirnya saya benar-benar memilih Islam sebagai tuntunan hidupku.
Aku Iri dengan Islam
Pertama, dalam agamaku yang dulu dikenal dengan adanya dosa turunan. Dalam keyakinanku yang lama, setiap bayi yang dilahirkan ke bumi telah membawa dosa , hal tersebut dikarenakan dulu manusia petama, Nabi Adam, telah berbuat dosa yang mengakibatkannya diusir dari surga oleh Tuhan dan dosa itu ikut ditanggung oleh anak keturunannya sampai sekarang. Dulu timbul pertanyaan dalam diriku “Tidak adil sekali, orang nggak ikut berbuat dosa masa menanggung akibatnya? Bukankah Tuhan itu Maha Adil??.
Kedua, ada semacam statement “Jika masuk Islam maka akan mendapat pahala”. Waktu itu aku berpikir, “Wah asyik sekali, begitu masuk Islam aku mendapat pahala, mau sekali!”.
Ketika, ketika saya melihat acara ‘Ied di televisi, aku merasakan suatu yang -dalam bahasaku menakjubkan- berbeda. Waktu aku menganut keyakinan Katholik, aku belum pernah merasakan ketika bersembahyang aku menitikkan air mata. Pertanyaanku, mengapa mereka bisa meneteskan air mata seperti itu? Apa karena dosa-dosa mereka? Atau karena rindu bertemu Tuhannya? Atau hal lain? Untuk yang pertama, aku yakin semua manusia tidak pernah luput dari dosa. Tapi dulu aku merasa telah melaksanakan ajaran agama Katholik yang disebut dengan 10 Perintah Allah. Aku rajin ke Gereja, selalu patuh pada orang tua dan saudara-sudaraku yang lebih tua, rajin datang ke sekolah minggu, rajin ikut kegiatan sosial, rajin pergi ke Panti Wreda (Panji Jompo milik Yayasan Katholik, milik Yayasan Santo Yoseph, tempat dimana aku mengenyam pendidikan TK-SD). Jadi, waktu itu tidak ada alasan yang membuatku untuk menangis hanya karena dosa, karena aku merasa tidak pernah melakukan apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Jika karena alasan yang kedua, rindu apada Tuhannya. Bagaimana aku bisa menangis, aku saja belum tahu pasti siapa Tuhanku. Apakah Tuhanku itu Allah Bapa? atau Yesus? atau Roh Kudus? Aku memang benar-benar belum tahu pasti siapa Tuhanku.
Islam adalah Logis
Pertama, menurut pendapatku, Islam adalah satu-satunya agama yang secara jelas memberikan konsep ketuhanan. Setelah mengenal Islam, aku semakin tahu siapa tuhanku. Kedua, aku dulu memang belum pernah melihat seperti apa kitab suci teman saya yang beragama Hindu dan Budha tapi saya membandingkan kitab suci keyakinan saya dulu dengan kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.
“Mengapa kitab suci umat Islam dimanapun berada, dari dulu sampai sekarang tetap menggunakan Bahsa Arab, beda sekali dengan punyaku, jangankan lain negara, untuk satu kota saja sudah berbeda bahasa, bukankah hal tersebut justru rawan untuk diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab?”.
Saat berproses dalam bangku kuliah, saya menemukan teman-teman yang menyenangkan. Di hadapan mereka, aku mengaku beragama Islam (padahal dalam kenyataan saya memang belum bisa memutuskan apakah aku tetap menganut keyakinanku yang lama atau pindah ke Islam). Saat mengikuti kajian tentang keislaman atau mengaji bersama aku terpaksa memakai jilbab hanya karena merasa sungkan, malu, karena mereka semua memakai jilbab.
Saat mulai kuliah, aku memutuskan untuk tidak pernah kembali pada keyakinan saya yang lama, dan akan mengikuti tata cara peribadatan yang dilakukan oleh umat Islam. Semua ini aku lakukan hanya karena aku tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beragama. Aku shalat bukan karena Allah ta’ala, tapi karena manusia, Aku melaksanakan shalat hanya sekadar aktifitas yang memang diwajibkan, kalau mood shalat kalau tidak mood ya tidak.
Setelah menyelesaikan kuliah, aku mengikuti kursus Bahasa Inggris di salah satu daerah di kotaku. Setiap kursusan yang ada mewajibkan setiap muslimah untuk memakai jilbab, dan inilah yang membuatku berat, “Waduh.. pakai jilbab nih, mana mungkin!!”, inilah yang terlintas dalam benakku. Akhirnya aku terpaksa memakai jilbab daripada nggak boleh ikut kursus. Aku memakai jilbab hanya waktu kursus, ketika beraktifitas di luar kursus aku lepas jilbabku.
Hidayah Allah Ta’ala mulai menyentuh diriku setelah aku selesai mengikuti kursus Bahsa Inggris di kotaku. Saat itu tanggal 13 September 2006, pukul 12.15 WIB aku dihubungi seseorang yang mengatakan bahwa aku diterima sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu English Course, senang sekali aku saat itu. Malam harinya aku berdoa dan tidak lupa bersyukur atas karunia-Nya. Saat tidur aku bermimpi aku brada dalam masjid, mengenakan mukena, dan dihadapanku ada (mungkin) imam masjid engan pakaian putih yang sedang mendoakan saya. Ketika bangun di pagi harinya aku terkejut, jujur seumur hidup aku baru bermimpi masjid dan mengenakan mukena. Aku baru teringat bahwa dua bulan yang lalu pernah membaca buku masalah i’tikaf. Aku mencoba menganalisa mimpiku,
“Oh mungkin mimpi saya waktu itu artinya aku sedang beri’tikaf, tapi kok ada seorang imam masjid yang mendo’akanku?”
Akhirnya, aku putuskan untuk menolak lamaran sebagai guru Bahasa Inggris tersebut - saat itu aku berpikir, jika aku terima tawarkan tersebut, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ku pasti tidak bisa pergi ke Surabaya untuk i’tikaf bersama saudaraku. Memang, saat itu hatiku sudah mantap untuk i’tikaf, kerinduanku untuk segera berada dalam masjid seolah-olah begitu membuncah.
Akhirnya, hari yang aku tunggu datang juga. Aku bersama Saudara i’tikaf di Masjid daerah Gayungsari. Saya merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku merasa dekat dengan Rabbku. Tepat di malam ke 27 aku bermimpi lagi seperti mimpi saya pada tanggal 13 September kemaren.
Setelah kejadian tersebut hati aku merasa mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat dengan penuh keikhlasan, aku bersumpah akan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan berjalannya waktu, aku mencoba menghubungi teman, dan mengutarakan niatku. Aku sangat senang ternyata temanku mau membantuku dan mencarikan kau seorang ustadz. Tetap tanggal 17 Desember 2006 pukul 07.15 bertempat di Masjid Baiturrahman, Kediri, seorang imam masjid, ustadz, dan hakim Pengadilan Agama di kotaku, Ustadz Abdurrahman membimbingku untuk membaca dua kalimat Syahadat dan mendoakan saya yang diamini oleh puluhan jama’ah yang berada dalam masjid tersebut.
Aku tidak bisa menahan air mataku yang terus meleleh , aku tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Aku merasa sangat bersyukur atas karunia-Nya, ternyata aku bisa menahan hatiku untuk kembali pada keyakinanku dan mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat di hadapan ustadz dan puluhan jama’ah sebagai wujud keseriusanku menerima Islam sebagai tuntunan hidupku. Sampai tulisan ini aku buat, ibu dan adikku masih menganut Katholik, namun aku tidak berhenti berdoa agar mereka mendapatkan hidayah sepertiku. (ESI).
Ditulis ulang dari majalah Elfata, edisi 11 Volume 07 tahun 2007, Kolom: Kisah Kamu.
sumber : http://jilbab.or.id/archives/480-islam-adalah-kerinduanku/#more-480
Setelah bermimpi berada di masjid dan mengenakan mukena serta didoakan oleh seorang ustadz, saat i’tikaf untuk pertama kali dalam hidupku, aku semakin mantap untuk membaca dua kalimat syahadat, sebagai wujud keseriusan aku memilih Islam sebagai tuntunan hidup dan secara ikhlas bersumpah berusaha kuat menjalankan segala perintah-Nya. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama adari tiga bersaudara. Dari pihak ibu, Eyang putri dan Eyang kakung berasal dari Solo dan Sedayu. Sedangkan dari pihak Ayah, nenek adalah asli orang Makassar tepatnya Tanah Toraja. Eyang buyut dari pihak nenek, adalah salah satu pemangku adat dan pendeta di daerahnya.
Dulu aku adalah penganut Katholik yang taat. Aku menempuh pendidikan formal mulai TK-SMU di sekolah swasta yang notabene milik yayasan Katholik. Saya mengenyam pendidikan formal di TK Santo Yoseph, SMP Katholik Puteri (sekarang ganti nama menjadi SMP Katholik Santa Maria, dan SMUK Santo Augustinus).
Awal ketertarikanku dengan Islam hanya kerena dua kata - mesti inti dari semua ketertarikanku pada Islam adalah karena aku sendiri tidak memahami adanya “Doktrin Trinitas” dalam keyakinan lama yang aku anut - yaitu Iri dan Logis.
Di sini aku tegaskan, aku memaparkan penjelasan ini untuk mendiskreditkan ajaran-agama lain. Dalam hal ini aku berbicara karena kapasitasku hanyalah muallaf yang benar-benar tertarik pada Islam karena akhirnya saya benar-benar memilih Islam sebagai tuntunan hidupku.
Aku Iri dengan Islam
Pertama, dalam agamaku yang dulu dikenal dengan adanya dosa turunan. Dalam keyakinanku yang lama, setiap bayi yang dilahirkan ke bumi telah membawa dosa , hal tersebut dikarenakan dulu manusia petama, Nabi Adam, telah berbuat dosa yang mengakibatkannya diusir dari surga oleh Tuhan dan dosa itu ikut ditanggung oleh anak keturunannya sampai sekarang. Dulu timbul pertanyaan dalam diriku “Tidak adil sekali, orang nggak ikut berbuat dosa masa menanggung akibatnya? Bukankah Tuhan itu Maha Adil??.
Kedua, ada semacam statement “Jika masuk Islam maka akan mendapat pahala”. Waktu itu aku berpikir, “Wah asyik sekali, begitu masuk Islam aku mendapat pahala, mau sekali!”.
Ketika, ketika saya melihat acara ‘Ied di televisi, aku merasakan suatu yang -dalam bahasaku menakjubkan- berbeda. Waktu aku menganut keyakinan Katholik, aku belum pernah merasakan ketika bersembahyang aku menitikkan air mata. Pertanyaanku, mengapa mereka bisa meneteskan air mata seperti itu? Apa karena dosa-dosa mereka? Atau karena rindu bertemu Tuhannya? Atau hal lain? Untuk yang pertama, aku yakin semua manusia tidak pernah luput dari dosa. Tapi dulu aku merasa telah melaksanakan ajaran agama Katholik yang disebut dengan 10 Perintah Allah. Aku rajin ke Gereja, selalu patuh pada orang tua dan saudara-sudaraku yang lebih tua, rajin datang ke sekolah minggu, rajin ikut kegiatan sosial, rajin pergi ke Panti Wreda (Panji Jompo milik Yayasan Katholik, milik Yayasan Santo Yoseph, tempat dimana aku mengenyam pendidikan TK-SD). Jadi, waktu itu tidak ada alasan yang membuatku untuk menangis hanya karena dosa, karena aku merasa tidak pernah melakukan apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Jika karena alasan yang kedua, rindu apada Tuhannya. Bagaimana aku bisa menangis, aku saja belum tahu pasti siapa Tuhanku. Apakah Tuhanku itu Allah Bapa? atau Yesus? atau Roh Kudus? Aku memang benar-benar belum tahu pasti siapa Tuhanku.
Islam adalah Logis
Pertama, menurut pendapatku, Islam adalah satu-satunya agama yang secara jelas memberikan konsep ketuhanan. Setelah mengenal Islam, aku semakin tahu siapa tuhanku. Kedua, aku dulu memang belum pernah melihat seperti apa kitab suci teman saya yang beragama Hindu dan Budha tapi saya membandingkan kitab suci keyakinan saya dulu dengan kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.
“Mengapa kitab suci umat Islam dimanapun berada, dari dulu sampai sekarang tetap menggunakan Bahsa Arab, beda sekali dengan punyaku, jangankan lain negara, untuk satu kota saja sudah berbeda bahasa, bukankah hal tersebut justru rawan untuk diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab?”.
Saat berproses dalam bangku kuliah, saya menemukan teman-teman yang menyenangkan. Di hadapan mereka, aku mengaku beragama Islam (padahal dalam kenyataan saya memang belum bisa memutuskan apakah aku tetap menganut keyakinanku yang lama atau pindah ke Islam). Saat mengikuti kajian tentang keislaman atau mengaji bersama aku terpaksa memakai jilbab hanya karena merasa sungkan, malu, karena mereka semua memakai jilbab.
Saat mulai kuliah, aku memutuskan untuk tidak pernah kembali pada keyakinan saya yang lama, dan akan mengikuti tata cara peribadatan yang dilakukan oleh umat Islam. Semua ini aku lakukan hanya karena aku tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beragama. Aku shalat bukan karena Allah ta’ala, tapi karena manusia, Aku melaksanakan shalat hanya sekadar aktifitas yang memang diwajibkan, kalau mood shalat kalau tidak mood ya tidak.
Setelah menyelesaikan kuliah, aku mengikuti kursus Bahasa Inggris di salah satu daerah di kotaku. Setiap kursusan yang ada mewajibkan setiap muslimah untuk memakai jilbab, dan inilah yang membuatku berat, “Waduh.. pakai jilbab nih, mana mungkin!!”, inilah yang terlintas dalam benakku. Akhirnya aku terpaksa memakai jilbab daripada nggak boleh ikut kursus. Aku memakai jilbab hanya waktu kursus, ketika beraktifitas di luar kursus aku lepas jilbabku.
Hidayah Allah Ta’ala mulai menyentuh diriku setelah aku selesai mengikuti kursus Bahsa Inggris di kotaku. Saat itu tanggal 13 September 2006, pukul 12.15 WIB aku dihubungi seseorang yang mengatakan bahwa aku diterima sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu English Course, senang sekali aku saat itu. Malam harinya aku berdoa dan tidak lupa bersyukur atas karunia-Nya. Saat tidur aku bermimpi aku brada dalam masjid, mengenakan mukena, dan dihadapanku ada (mungkin) imam masjid engan pakaian putih yang sedang mendoakan saya. Ketika bangun di pagi harinya aku terkejut, jujur seumur hidup aku baru bermimpi masjid dan mengenakan mukena. Aku baru teringat bahwa dua bulan yang lalu pernah membaca buku masalah i’tikaf. Aku mencoba menganalisa mimpiku,
“Oh mungkin mimpi saya waktu itu artinya aku sedang beri’tikaf, tapi kok ada seorang imam masjid yang mendo’akanku?”
Akhirnya, aku putuskan untuk menolak lamaran sebagai guru Bahasa Inggris tersebut - saat itu aku berpikir, jika aku terima tawarkan tersebut, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ku pasti tidak bisa pergi ke Surabaya untuk i’tikaf bersama saudaraku. Memang, saat itu hatiku sudah mantap untuk i’tikaf, kerinduanku untuk segera berada dalam masjid seolah-olah begitu membuncah.
Akhirnya, hari yang aku tunggu datang juga. Aku bersama Saudara i’tikaf di Masjid daerah Gayungsari. Saya merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku merasa dekat dengan Rabbku. Tepat di malam ke 27 aku bermimpi lagi seperti mimpi saya pada tanggal 13 September kemaren.
Setelah kejadian tersebut hati aku merasa mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat dengan penuh keikhlasan, aku bersumpah akan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan berjalannya waktu, aku mencoba menghubungi teman, dan mengutarakan niatku. Aku sangat senang ternyata temanku mau membantuku dan mencarikan kau seorang ustadz. Tetap tanggal 17 Desember 2006 pukul 07.15 bertempat di Masjid Baiturrahman, Kediri, seorang imam masjid, ustadz, dan hakim Pengadilan Agama di kotaku, Ustadz Abdurrahman membimbingku untuk membaca dua kalimat Syahadat dan mendoakan saya yang diamini oleh puluhan jama’ah yang berada dalam masjid tersebut.
Aku tidak bisa menahan air mataku yang terus meleleh , aku tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Aku merasa sangat bersyukur atas karunia-Nya, ternyata aku bisa menahan hatiku untuk kembali pada keyakinanku dan mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat di hadapan ustadz dan puluhan jama’ah sebagai wujud keseriusanku menerima Islam sebagai tuntunan hidupku. Sampai tulisan ini aku buat, ibu dan adikku masih menganut Katholik, namun aku tidak berhenti berdoa agar mereka mendapatkan hidayah sepertiku. (ESI).
Ditulis ulang dari majalah Elfata, edisi 11 Volume 07 tahun 2007, Kolom: Kisah Kamu.
sumber : http://jilbab.or.id/archives/480-islam-adalah-kerinduanku/#more-480
Let’s Taste Being Muslim
Gadis asal Czeckolovakia yang sebelumnya Katolik ini begitu kaget dan mengaku betapa nikmatnya bisa merasakan Islam. Lets’s taste being Muslim…”, undangnya
Hidayatullah.com--Pengajian mingguan yang aku hadiri tidak seramai biasanya. Agak sunyi. Beberapa hari terakhir memang London tengah diguyur hujan hingga menyebabkan semua kegiatan rutin agak tersendat-sendat. Beberapa peserta banyak yang terkena sakit flue atau alasan lainnya.
Meski banyak yang absen, tapi hari itu ada keistimewaan tersendiri. Tiga diantara peserta yang hadir adalah dua brothers dan satu sister muallaf. Mereka adalah brother Gaffar (Jaffar) alias Gavin yang baru sembilan bulan menjadi Muslim, Jamal alias James dan sister Aisyah, gadis cantik asal Czeckolovakia.
Sebelum mengakhiri pengajian, kami memberi kesempatan kepada sahabat kami, seorang muallaf yang hadir hari itu untuk menyampaikan pendapat serta pengalaman spiritual mereka selama menjadi Muslim.
Mereka masing masing menyampaikan perasaan dan pengalaman mereka selama menjadi Muslim. Tentu pendapatnya masing-masing berbeda. Namun satu yang pasti bahwa mereka tambah yakin akan kebenaran Islam, merasakan satu ketenangan dalam jiwa mereka. Tidak itu saja, Gaffar mengatakan bahwa sejak ia kembali dari umrah Ramadhan lalu, kini ia lebih terbuka dan berterus terang dengan para pegawai, baik tetang dirinya yang sudah Muslim. Kebetulan ia seorang direktur di perusahaannya.
Konon setiap hari, ujarnya, ada saja orang bertanya tentang Islam. Tak hentinya mereka bertanya, kebetulan yang bertanya adalah orang-orang ilmuwan. “I love talking Islam in science percepective,” ujarnya. Begitu juga Jamal dan Aisyah. Maha Besar Allah. Pesan dan kesan mereka membuat kami yang lahir Muslim jadi terpacu dan terpicu untuk meningkatkan keimanan kami. Pengajian ditutup lalu disambung dengan shalat maghrib dan diakhiri dengan makan.
Enam bulan....
Saya mengenal cukup lama dengan Aisyah. Namun baru kali ini berjumpa lagi dengannya, bertepatan saat pengajian. Selama ini, sister Aisyah, begitu saya sering memanggilnya, begitu sibuk dengan kursus Arab-nya (mengaji Al-Quran) selain bekerja tentunya. Kali ini ada ada kesempatan untuk berbincang. Kita memang sudah berjanji untuk bisa berbincang soal perjalanan dan pengalaman spiritualnya menuju Islam. Akhirnya, dengan senang hati ia membolehkan saya untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk tulisan.
“ I let you to write my story, my journey to Islam sis, I hope it will be useful for other”, ujarnya.
Ia nampak lebih anggun hari itu. Percaya dirinya kian bertambah dengan busana Muslimnya yang kaffah serta jilbabnya yang sarat dan memenuhi syariat –padahal subhanllah ia adalah seorang muallaf alias “A new Muslim atau convert” dibanding kita yang lahir Muslim atau 'born a Muslim'.
Kepadaku, ia menceritakan kisahnya. Sebelum jadi Aisyah nama asli nya adalah Yana. Ia datang ke London 3 ahun lalu. Gadis asal Czecklo ini datang di negeri Ratu Elizabeth untuk mengadu peruntungan dan mencari pekerjaan. Baru pertama kali itulah dalam hidupnya ia melihat Muslim. Menurutnya bahwa agama Islam itu agama yang eksotik, maksudnya eksklusif hanya cocok dan melulu untuk orang Arab saja, bukan untuk orang orang Eropa, baik Eropa barat atau timur , seperti dirinya, yang berasal dari Czecklovakia. Ia tahu betul bawa agama resmi dinegeriya adalah agama Kristen.
Sampai suaru hari ia berjumpa dengan seorang lelaki asal Pakistan. “Kami berteman,” ujarnya. Suatu petang mereka bercakap-cakap disuatu warung kopi atau café sambil makan sore. Kami terlibat dengan percakapan soal agama sampai percakapan tentang agama Islam dan Muslim. Diakhir percakapan itu Aisyah mengajukan pertanyaan yang membuatnya terkejut:
“He asked me if I would to convert to Islam. I answered",
“Never! I can’t do something like this. It’s a really crazy idea!".
"Nggak bakalan deh saya melakukan yang begituan. "Wah itu bener bener gila kalau saya masuk Islam, lalu ia bertanya lagi".
“Why?“
“I answered,”Because I like to wear top, T-Shirt and jeans and I like to do sunbathing and swimming and so on and so on....” (Karena saya suka pakai baju blus biasa, T-shirt dan celana jeans, juga saya suka berenang dan berjemur di matahari).
“Saya heran kenapa temanku ini kok aneh banget? Ngajakin saya masuk Islam. Ganti agama?. Ah, yang bener aja, emang gampang?" itulah kira-kira yang ada dibenak Aisyah kala itu.
“Ketika kami berpisah, entah bagaimana si lelaki ini telah meninggalkan suatu kesan di hati saya. Sangat membekas. Cukup dalam. Tak hentinya saya memikirkan percakapan petang itu, baik tentang Islam, Muslim dan permintaan atau pertanyaan dia kalau saya mau masuk Islam. Saya tak paham, lalu saya berkata. "Ah, gila dia," kenang Aisyah.
“Tapi… kenapa lantas saya tak hentinya memikirkan ini. Terus terang hal ini berputar-putar di benak saya. Tak ubahnya seperti korsel. Hati saya dibolak balik seperti juga saya membolak balikan tubuh saya ditempat tidur dimalam itu. Saya tak bisa tidur. Ya, Semalaman!”.
“Uh, rasanya saya tak sabar menanti hari esok, ingin rasanya matahari cepat datang dan terbit. Hmm saya dibuat penasaran oleh dia, si lelaki Pakistan itu. Ia telah membuat saya begitu interest sama agama ini hingga saya berbicara pada diri saya: “Ok it will be interesting to read something about this religion,” saya tertantang jadinya.
“Esoknya saya bergegas ke warnet lalu saya cari situs tentang Islam dalam bahasa Czech tentunya agar mudah saya pahami. Setelah saya baca secepatnya saya memilih artikel: “Posisi Wanita Dalam Islam”…dan betul betul membuat saya terperangah dan bahkan membuatku terpaku. Saya mikir."
“Betapa tingginya peran dan posisi wanita dan berapa banyak haknya Wanita dalam Islam’. Itu kesan pertama saya,” ujarnya.
“Kemudian saya lanjutkan dengan membaca beberapa artikel lainnya. Ia bagai sebuah magis. Kekuatan magnitnya begitu menerpa jantung saya. Kuat sekali. Saya tertarik.”
“Dari yang saya baca saya menyimpulkan betapa agama ini begitu toleran terhadap agama lainnya, tidak memandang suku, ras dan warna dan mengumpamakan bahwa kita ini bersaudara, bagai satu tubuh, mengundang persatuan”.
“Saya kopi-paste artikel ini ke dalam USB, lalu saya print sehingga saya bisa membaca di rumah. Sejak itu saya terus membaca Islam. Ibaratnya saya seperti orang kehausan. Tambah banyak saya membaca Islam, betambah banyak saya ingin tahu. Sampai kepada satu kesimpulan bahwa secara filosofi Islam ini begitu penuh dengan kedamaian dan apapun yang ditawarkan oleh Islam sepertinya serba masuk akal dan sangat fitrah. “Islam is peaceful and every thing makes sense in Islam”, demikian kata Aisyah.
***
Suatu hari, Aisyah mengaku rindu akan keluarganya dan ingin memiliki Al-Quran dengan terjemahan dalam bahasa Czeck yang tidak ia dapatkan di London. Akhirnya ia pulang ke Czeck untuk mengobat rindu kepada keluarga sambil liburan. Di sana ia membeli kitab Al-Quran dalam dengan terjemahan bahasa Czeck. Ia baca kitab suci ini ini berulang-ulang, sungguh ia terpana dibuatnya. Salah satu ayat yang membuatnya terpana adalah ayat di bawah ini:
“The good deed and evil deed cannot be equal. Repel (the evil) with one which is better (i.e. Allah orders the faithful believers to be patient at the time of anger, and excuse those who treat them badly) them verily he, between whom and you there was enmity, (will become) as though he was a close friend.”
(Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. 41:34))
“Ayat ini telah betul-betul merasuk ke hati saya, sangat dalam”, ujarnya ketika ia membaca ayat 34 surat Fushilat.
Waktu terus berjalan. Kira-kira enam bulan. “Perasaan ini kian menguat bahwa saya ingin sekali mengikuti agama ini," ujar Aisyah.
“Saya kembali ke Czeckoslovakia untuk liburan lagi sambil ingin mengatakan kepada kedua orangtua saya tentang agama Islam yang sedang saya pelajari dan saya cinta. Alhamdulillah, mereka berdua tidak keberatan sama sekali".
"Kok bisa sis, mereka tidak kecewa, marah atau bersedih,” tanyaku. “Well, kami di Czecko, terutama di keluarga sama sekali hampir tidak pernah berbicara soal agama. Ke gerejapun, saya hampir tidak pernah melihat mereka pergi, walaupun mengaku beragama Katolik (Roman Catholic). Kami di Czecko memang di sana rata-rata Katolik," ia menambahkan.
“Atas restu kedua orangtua saya akhirnya saya balik ke London dan mengikrarkan syahadat pada bulan Maret 2006. Ah ternyata tidak susah ya menjadi Muslim, hanya mengucapkan, “ ujarnya.
"ASHHADU ANLA ILAHA ILLA-ALLAH WA ASHHADU ANNA MUHAMMADAN RASULAHH". I witness that is not got except Allah and I witness that Muhammad is messenger of Allah.” (Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah)
Sejak bersyahadat Aisyah merasa berbahagia dan mendapatkan ketenangan, dan ia lebih intens belajar Islam serta belajar bahasa Arab. Di akhir pekan ia belajar bahasa Arab (maksudnya belajar mengaji). Meski ngaji nya masih rada alot kedengarannya. Namun ia berupaya keras menghafal surat-surat pendek untuk shalat.
“Islam menurutku, sangat mudah praktis,” ujarnya. “Bahwa Islam itu tidak cuma shalat lima waktu, pake jilbab.. tapi Islam adalah cara hidup atau ‘A way of life..ad-Dien, menurut saya bahwa Islam adalah apa yang kita kerjakan dari pagi hingga petang.”
Niqab Aisyah
Bulan September, enam bulan usadi bersyahadat, Aisyah menggunakan abaya atau baju Muslimah. Sebelumnya, untuk beradaptasi saat pulang ke Czeck dia cuma pake baju biasa. Rok panjang, blous tanpak jilbab. Itupun sudah membuat teman-temam di kampusnya terkejut melihat perubahan itu. Dia potong kukunya pendek dan tidak lagi mengenakan kutek. Saudara sepupunya yang seusia, bahkan sempat marah dan tidak suka saat ia tahu Yana masuk Islam. Bahkan beberapa saat mereka tidak saling menyapa dan bicara.
Lebaran 2006 lalu, saya terkejut. Sebab saya temukan ia memakai niqab (cadar). Lebih terkejut lagi setalah tahu bahwa ia telah melepas cadarnya. “Kenapa dilepas, “ bagitu tanyaku kala itu. Menurut Aisyah, dia tahu itu tidak diwajibkan dan banyak pendapat beberapa imam (scholar) yang berbeda.
Semenjak beralih memeluk Islam, Aisyah sangat rajin belajar agama dan mengaji. Kini, ia memiliki seorang guru asal Pakistan.
“Guru saya seorang Syeikh (baca ustadz), asal Pakistan, mengatakan bahwa Islam itu bukan sebuah agama kekerasan, opresi (opressed) menekan atau pemaksaan, tapi Islam adalah agama pertengahan dan mencari keseimbangan dalam segala aspek di dalam kehidupan kita sehari-hari. Islam bukan agama hanya ibadah ritual saja, bukan pula agama ke-rahiban, atau sebaliknya mencari dunia saja dan melupakan Tuhan atau kematian. Dalam Islam ada waktu untuk menyembah Allah, waktu untuk keluarga, bermain dengan anak-anak, berinteraksi dengan manusia, berbuat kebaikan, bekerja atau studi dan bahkan kita diperintahkan untuk santai. Semua itu adalah ibadah.” Demikian ujarnya.
“Saya tengah meniti menjadi Muslim yang betul-betul akan berada pada tingkatan bahwa saya akan bisa merasakan melihat Allah, walau bukan dengan kasat mata. Artinya apapun yang saya lakukan saya tahu Allah menyaksikan perbuatan saya, saya mengutip ini dari apa yang Rasulullah sampaikan disalah satu hadits.
“Sis, jika ada orang bertanya, seperti apa rasanya menjadi seorang Muslim. Apa yang akan Anda jawab?”, begitu tanya saya pada Aisyah.
“Saya akan menganalogikan seperti makan buah apel deh. Saya akan katakan kepada mereka untuk merasakan buah apel, Anda harus mencicipi dan memakannya sendiri. Di situ Anda akan tahu seperti apa indah dan lezatnya buah apel. Rasa buah apel ini hanya bisa dirasakan dinikmati kalau Anda mau memakannya sendiri."
Sebelum menutup pembicaraan, Aisyah mengundang bagi mereka yang belum tahu rasanya bagaimana menjadi seorang Muslim agar bisa merasakan bagaimana nikmatnya berislam.
"Let’s taste the feeling to be a Muslim", undangnya. [London, 6 Januari 2006 by Al-Shahida, email: al_shahida@yahoo.com /www.hidayatullah.com]
Hidayatullah.com--Pengajian mingguan yang aku hadiri tidak seramai biasanya. Agak sunyi. Beberapa hari terakhir memang London tengah diguyur hujan hingga menyebabkan semua kegiatan rutin agak tersendat-sendat. Beberapa peserta banyak yang terkena sakit flue atau alasan lainnya.
Meski banyak yang absen, tapi hari itu ada keistimewaan tersendiri. Tiga diantara peserta yang hadir adalah dua brothers dan satu sister muallaf. Mereka adalah brother Gaffar (Jaffar) alias Gavin yang baru sembilan bulan menjadi Muslim, Jamal alias James dan sister Aisyah, gadis cantik asal Czeckolovakia.
Sebelum mengakhiri pengajian, kami memberi kesempatan kepada sahabat kami, seorang muallaf yang hadir hari itu untuk menyampaikan pendapat serta pengalaman spiritual mereka selama menjadi Muslim.
Mereka masing masing menyampaikan perasaan dan pengalaman mereka selama menjadi Muslim. Tentu pendapatnya masing-masing berbeda. Namun satu yang pasti bahwa mereka tambah yakin akan kebenaran Islam, merasakan satu ketenangan dalam jiwa mereka. Tidak itu saja, Gaffar mengatakan bahwa sejak ia kembali dari umrah Ramadhan lalu, kini ia lebih terbuka dan berterus terang dengan para pegawai, baik tetang dirinya yang sudah Muslim. Kebetulan ia seorang direktur di perusahaannya.
Konon setiap hari, ujarnya, ada saja orang bertanya tentang Islam. Tak hentinya mereka bertanya, kebetulan yang bertanya adalah orang-orang ilmuwan. “I love talking Islam in science percepective,” ujarnya. Begitu juga Jamal dan Aisyah. Maha Besar Allah. Pesan dan kesan mereka membuat kami yang lahir Muslim jadi terpacu dan terpicu untuk meningkatkan keimanan kami. Pengajian ditutup lalu disambung dengan shalat maghrib dan diakhiri dengan makan.
Enam bulan....
Saya mengenal cukup lama dengan Aisyah. Namun baru kali ini berjumpa lagi dengannya, bertepatan saat pengajian. Selama ini, sister Aisyah, begitu saya sering memanggilnya, begitu sibuk dengan kursus Arab-nya (mengaji Al-Quran) selain bekerja tentunya. Kali ini ada ada kesempatan untuk berbincang. Kita memang sudah berjanji untuk bisa berbincang soal perjalanan dan pengalaman spiritualnya menuju Islam. Akhirnya, dengan senang hati ia membolehkan saya untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk tulisan.
“ I let you to write my story, my journey to Islam sis, I hope it will be useful for other”, ujarnya.
Ia nampak lebih anggun hari itu. Percaya dirinya kian bertambah dengan busana Muslimnya yang kaffah serta jilbabnya yang sarat dan memenuhi syariat –padahal subhanllah ia adalah seorang muallaf alias “A new Muslim atau convert” dibanding kita yang lahir Muslim atau 'born a Muslim'.
Kepadaku, ia menceritakan kisahnya. Sebelum jadi Aisyah nama asli nya adalah Yana. Ia datang ke London 3 ahun lalu. Gadis asal Czecklo ini datang di negeri Ratu Elizabeth untuk mengadu peruntungan dan mencari pekerjaan. Baru pertama kali itulah dalam hidupnya ia melihat Muslim. Menurutnya bahwa agama Islam itu agama yang eksotik, maksudnya eksklusif hanya cocok dan melulu untuk orang Arab saja, bukan untuk orang orang Eropa, baik Eropa barat atau timur , seperti dirinya, yang berasal dari Czecklovakia. Ia tahu betul bawa agama resmi dinegeriya adalah agama Kristen.
Sampai suaru hari ia berjumpa dengan seorang lelaki asal Pakistan. “Kami berteman,” ujarnya. Suatu petang mereka bercakap-cakap disuatu warung kopi atau café sambil makan sore. Kami terlibat dengan percakapan soal agama sampai percakapan tentang agama Islam dan Muslim. Diakhir percakapan itu Aisyah mengajukan pertanyaan yang membuatnya terkejut:
“He asked me if I would to convert to Islam. I answered",
“Never! I can’t do something like this. It’s a really crazy idea!".
"Nggak bakalan deh saya melakukan yang begituan. "Wah itu bener bener gila kalau saya masuk Islam, lalu ia bertanya lagi".
“Why?“
“I answered,”Because I like to wear top, T-Shirt and jeans and I like to do sunbathing and swimming and so on and so on....” (Karena saya suka pakai baju blus biasa, T-shirt dan celana jeans, juga saya suka berenang dan berjemur di matahari).
“Saya heran kenapa temanku ini kok aneh banget? Ngajakin saya masuk Islam. Ganti agama?. Ah, yang bener aja, emang gampang?" itulah kira-kira yang ada dibenak Aisyah kala itu.
“Ketika kami berpisah, entah bagaimana si lelaki ini telah meninggalkan suatu kesan di hati saya. Sangat membekas. Cukup dalam. Tak hentinya saya memikirkan percakapan petang itu, baik tentang Islam, Muslim dan permintaan atau pertanyaan dia kalau saya mau masuk Islam. Saya tak paham, lalu saya berkata. "Ah, gila dia," kenang Aisyah.
“Tapi… kenapa lantas saya tak hentinya memikirkan ini. Terus terang hal ini berputar-putar di benak saya. Tak ubahnya seperti korsel. Hati saya dibolak balik seperti juga saya membolak balikan tubuh saya ditempat tidur dimalam itu. Saya tak bisa tidur. Ya, Semalaman!”.
“Uh, rasanya saya tak sabar menanti hari esok, ingin rasanya matahari cepat datang dan terbit. Hmm saya dibuat penasaran oleh dia, si lelaki Pakistan itu. Ia telah membuat saya begitu interest sama agama ini hingga saya berbicara pada diri saya: “Ok it will be interesting to read something about this religion,” saya tertantang jadinya.
“Esoknya saya bergegas ke warnet lalu saya cari situs tentang Islam dalam bahasa Czech tentunya agar mudah saya pahami. Setelah saya baca secepatnya saya memilih artikel: “Posisi Wanita Dalam Islam”…dan betul betul membuat saya terperangah dan bahkan membuatku terpaku. Saya mikir."
“Betapa tingginya peran dan posisi wanita dan berapa banyak haknya Wanita dalam Islam’. Itu kesan pertama saya,” ujarnya.
“Kemudian saya lanjutkan dengan membaca beberapa artikel lainnya. Ia bagai sebuah magis. Kekuatan magnitnya begitu menerpa jantung saya. Kuat sekali. Saya tertarik.”
“Dari yang saya baca saya menyimpulkan betapa agama ini begitu toleran terhadap agama lainnya, tidak memandang suku, ras dan warna dan mengumpamakan bahwa kita ini bersaudara, bagai satu tubuh, mengundang persatuan”.
“Saya kopi-paste artikel ini ke dalam USB, lalu saya print sehingga saya bisa membaca di rumah. Sejak itu saya terus membaca Islam. Ibaratnya saya seperti orang kehausan. Tambah banyak saya membaca Islam, betambah banyak saya ingin tahu. Sampai kepada satu kesimpulan bahwa secara filosofi Islam ini begitu penuh dengan kedamaian dan apapun yang ditawarkan oleh Islam sepertinya serba masuk akal dan sangat fitrah. “Islam is peaceful and every thing makes sense in Islam”, demikian kata Aisyah.
***
Suatu hari, Aisyah mengaku rindu akan keluarganya dan ingin memiliki Al-Quran dengan terjemahan dalam bahasa Czeck yang tidak ia dapatkan di London. Akhirnya ia pulang ke Czeck untuk mengobat rindu kepada keluarga sambil liburan. Di sana ia membeli kitab Al-Quran dalam dengan terjemahan bahasa Czeck. Ia baca kitab suci ini ini berulang-ulang, sungguh ia terpana dibuatnya. Salah satu ayat yang membuatnya terpana adalah ayat di bawah ini:
“The good deed and evil deed cannot be equal. Repel (the evil) with one which is better (i.e. Allah orders the faithful believers to be patient at the time of anger, and excuse those who treat them badly) them verily he, between whom and you there was enmity, (will become) as though he was a close friend.”
(Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. 41:34))
“Ayat ini telah betul-betul merasuk ke hati saya, sangat dalam”, ujarnya ketika ia membaca ayat 34 surat Fushilat.
Waktu terus berjalan. Kira-kira enam bulan. “Perasaan ini kian menguat bahwa saya ingin sekali mengikuti agama ini," ujar Aisyah.
“Saya kembali ke Czeckoslovakia untuk liburan lagi sambil ingin mengatakan kepada kedua orangtua saya tentang agama Islam yang sedang saya pelajari dan saya cinta. Alhamdulillah, mereka berdua tidak keberatan sama sekali".
"Kok bisa sis, mereka tidak kecewa, marah atau bersedih,” tanyaku. “Well, kami di Czecko, terutama di keluarga sama sekali hampir tidak pernah berbicara soal agama. Ke gerejapun, saya hampir tidak pernah melihat mereka pergi, walaupun mengaku beragama Katolik (Roman Catholic). Kami di Czecko memang di sana rata-rata Katolik," ia menambahkan.
“Atas restu kedua orangtua saya akhirnya saya balik ke London dan mengikrarkan syahadat pada bulan Maret 2006. Ah ternyata tidak susah ya menjadi Muslim, hanya mengucapkan, “ ujarnya.
"ASHHADU ANLA ILAHA ILLA-ALLAH WA ASHHADU ANNA MUHAMMADAN RASULAHH". I witness that is not got except Allah and I witness that Muhammad is messenger of Allah.” (Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah)
Sejak bersyahadat Aisyah merasa berbahagia dan mendapatkan ketenangan, dan ia lebih intens belajar Islam serta belajar bahasa Arab. Di akhir pekan ia belajar bahasa Arab (maksudnya belajar mengaji). Meski ngaji nya masih rada alot kedengarannya. Namun ia berupaya keras menghafal surat-surat pendek untuk shalat.
“Islam menurutku, sangat mudah praktis,” ujarnya. “Bahwa Islam itu tidak cuma shalat lima waktu, pake jilbab.. tapi Islam adalah cara hidup atau ‘A way of life..ad-Dien, menurut saya bahwa Islam adalah apa yang kita kerjakan dari pagi hingga petang.”
Niqab Aisyah
Bulan September, enam bulan usadi bersyahadat, Aisyah menggunakan abaya atau baju Muslimah. Sebelumnya, untuk beradaptasi saat pulang ke Czeck dia cuma pake baju biasa. Rok panjang, blous tanpak jilbab. Itupun sudah membuat teman-temam di kampusnya terkejut melihat perubahan itu. Dia potong kukunya pendek dan tidak lagi mengenakan kutek. Saudara sepupunya yang seusia, bahkan sempat marah dan tidak suka saat ia tahu Yana masuk Islam. Bahkan beberapa saat mereka tidak saling menyapa dan bicara.
Lebaran 2006 lalu, saya terkejut. Sebab saya temukan ia memakai niqab (cadar). Lebih terkejut lagi setalah tahu bahwa ia telah melepas cadarnya. “Kenapa dilepas, “ bagitu tanyaku kala itu. Menurut Aisyah, dia tahu itu tidak diwajibkan dan banyak pendapat beberapa imam (scholar) yang berbeda.
Semenjak beralih memeluk Islam, Aisyah sangat rajin belajar agama dan mengaji. Kini, ia memiliki seorang guru asal Pakistan.
“Guru saya seorang Syeikh (baca ustadz), asal Pakistan, mengatakan bahwa Islam itu bukan sebuah agama kekerasan, opresi (opressed) menekan atau pemaksaan, tapi Islam adalah agama pertengahan dan mencari keseimbangan dalam segala aspek di dalam kehidupan kita sehari-hari. Islam bukan agama hanya ibadah ritual saja, bukan pula agama ke-rahiban, atau sebaliknya mencari dunia saja dan melupakan Tuhan atau kematian. Dalam Islam ada waktu untuk menyembah Allah, waktu untuk keluarga, bermain dengan anak-anak, berinteraksi dengan manusia, berbuat kebaikan, bekerja atau studi dan bahkan kita diperintahkan untuk santai. Semua itu adalah ibadah.” Demikian ujarnya.
“Saya tengah meniti menjadi Muslim yang betul-betul akan berada pada tingkatan bahwa saya akan bisa merasakan melihat Allah, walau bukan dengan kasat mata. Artinya apapun yang saya lakukan saya tahu Allah menyaksikan perbuatan saya, saya mengutip ini dari apa yang Rasulullah sampaikan disalah satu hadits.
“Sis, jika ada orang bertanya, seperti apa rasanya menjadi seorang Muslim. Apa yang akan Anda jawab?”, begitu tanya saya pada Aisyah.
“Saya akan menganalogikan seperti makan buah apel deh. Saya akan katakan kepada mereka untuk merasakan buah apel, Anda harus mencicipi dan memakannya sendiri. Di situ Anda akan tahu seperti apa indah dan lezatnya buah apel. Rasa buah apel ini hanya bisa dirasakan dinikmati kalau Anda mau memakannya sendiri."
Sebelum menutup pembicaraan, Aisyah mengundang bagi mereka yang belum tahu rasanya bagaimana menjadi seorang Muslim agar bisa merasakan bagaimana nikmatnya berislam.
"Let’s taste the feeling to be a Muslim", undangnya. [London, 6 Januari 2006 by Al-Shahida, email: al_shahida@yahoo.com /www.hidayatullah.com]
Tidak Ada Kata Terlambat
Oleh : Al Shahida
Tidak ada kata terlamat bagi ‘Sarah Quinn’ pensiunan perawat (nurse) tinggal di Middlessex, UK yang mengikrarkan shahadatnya pada bulan Desember tahun 2006, seminggu menjelang ulang tahunnya yang ke 90’.
Rabu 25 Desember 2007 aku menerima ucapan selamat via telefon: ‘ Eid Mubarak sis…’ langsung kujawab’ Thank you and Eid mubarak to you too .’ lalu sambungnya ‘And merry bloody Chirstmast…! ucapnya. Aku sungguh terkejut menerima kata-kata bloody, entah apa maksudnya. Sindirankah?
"Hoosh…why do you say bloody? (bloody artinya sialan, slang. pen) tanyaku.
‘Well.. its true, its bloody christmast?
‘Lho emang kenapa kamu kesel dan sebel nggak ngeraya-in natalan?
“Bukan sis…aku ikutan stress gara-gara krismasan, semua orang dibikin gila, panik, stress & kesurupan, mereka juga begitu agresif. Dimana-mana. Ditoko, disupermarket, dijalanan, semua penuh sesak, macet gara-gara ini, belum lagi yang mabuk..huh. Coba lihat sekarang, akhirnya mereka diam dirumah, merayakan festifal Pagan itu!, ujarnya. ‘Ooh…begitu’ kataku, lalu ia menyelag,
"Jadi nggak sisi datang kerumah kami ? plis deh? Biar rame, biar ibuku seneng ada yang mengunjungi, aku juga undang teman lainnya’ Syerif membujukku untuk datang kerumahnya di Eastcote, Middlessex pada hari libur yang bertepatan pada tanggal 25 Desember pekan lalu.
Sebetulnya aku tidak bermaksud keluar, ingin menyelesaikan semua pekerjaan yang tertunda-tunda. Hebatnya sang brother merayuku kalau ia akan menolongku, menyelesaikan semua yang belum selesai, ujarnya: ‘Bring all your work, laptop, I will help you ,don’t worry” bujuknya.
Akupun berkemas menyiapkan laptop, USB, membawa beberapa draft surat dan laporan. ‘Ooops don’t forget to bring Tiramisu, Mum love it..', pesannya.
Syerif alias Simon yang muallaf Inggris mengatakan bahwa ibunya merasa kesepian, karena biasanya dihari Natalan abangnya John, istri serta anak-anaknya datang merayakan natalan. Namun, karena Ibunya, telah memeluk Islam sejak Desember 2006, maka Natalan ditiadakan dirumahnya. Sementara Syerif ingin sekali membuat bahagia ibunya dengan mengundang kami untuk kumpul dan makan sore.
Ahad lalu Syerif tidak datang ke pengajian karena abangnya John datang berkunjung menjumpai ibunya, ‘ I cant go to the gathering sis because I want to make sure he doesnt give Mum wine..’ ujar Syerif via sms, padahal dia ingin sekali datang. Mereka datang membawa hadiah dan kartu natal untuk ibunya ‘kufikir sudah tradisi, gak bisa di stop sis, kubiarkan saja", ujar Syerif.
Ke Eastcote, Middlessex
Alhamdulilah perjalanan ke Eastcote cuma memakan waktu 1½ jam, kalaupun ada trafik tidak separah dihari-hari kerja. Karena aku lewat London city (atas saran Syerif) banyak kutemui pemandangan yang cukup merepotkan. Dijalanan kutemui beberapa pengendara mobil yang rada riskan, tidak stabil, bahkan sangat pelan sehingga aku sering dikasih lampu besar peringatan oleh pengendara mobil dibelakang. Disuruhnya aku mempercepat mobilku.
Mungkin akibat minuman alkohol yang berlebihan pada malam sebelumny mereka membawa mobil begitu pelannya. Aku hampir menabrak mobil sedan yang tiba-tiba membelokkan mobilnya secara tiba-tiba tanpa memberi sinyal, yang rupanya mau berputar U-turn kekanan. Untung aku sigap melempar si mobil kekiri sehingga kecelakaan terhindar..dengan serta merta kuklakson dengan keras pertanda aku marah dan... maha besar Allah, aku masih terlindungi.
Begitu aku tiba mereka menyambutku. Aku langsung masuk dan nampak bunda Sarah sedang duduk diruang TV. Menyambutku. Kusalami, sekaligus kupeluk hangat si ibu yang sedang menantiku. Lalu kukeluarkan bingkisan kecil, oh beliau nampak sumringah menerima hadiah kecil, Sarah kemdian membuka hadiah itu.
"what is this? tanya beliau,
"Just something little for you..’ kataku.
Hadiah jilbab itu langsung menjadi bentuk segitiga.. ’Shall I put this in your head..? tanyaku. Yes please..’ jawabnya.. Subhanllah ia nampak ayu dan entahlah.. Syerif mengambil foto bundanya, klik..klik! si ibu selalu mengucap kata-kata 'cheese' dengan senyum lepas.
“Tapi Mum sudah engga wajib lagi khan pake jilbab, sis?” tanya Syerif. Aku bilang ‘tidak’ karena beliau sudah lebih dari tujuh puluh, terserah beliau, tapiii, ujarku waktu sholat beliau wajib metutup kepalanya. Syerif meng-iyakan. Saat kami sholat, si ibu hanya duduk di sofa, menggerakan tangannya sambil berusaha mengucap lafadz ‘Allahu Akbar’ kami sholat dzuhur berjama'ah.
Berkelakar
Syerif mau meyakinkan ibunya tentang natalia menggoda ’Mother remember no chrismast today…’ si ibu menirukan, sambil menggelengkan kepalanya ’no Chrismas today, I know that Simon’ (ia masih memanggil Simon) . ‘You are not worried about Chrismast dinner either, are you mother? kelakarnya lagi. ‘No.. I am not hungry, anyway..’ jawab sang ibu. Akhirnya Syerif kedapur membuat teh untuk kita semua. ‘
Tahun ini ‘Sarah Quinn’ demikian nama lengkapnya tepat memeluk agama Islam dua tahun. Tepatnya pada tanggal 3 Desember 2006 (12 Dzul QAIDAH 1427) sepekan sebelum ulang tahunnya yang ke 90. Aku ingat setahun lalu Syerif menelfonku, dengan gembiranya ia mengatakan bahwa ibuny sudah resmi bershahadat di Masjid Agung Regent Park Mosque, London , dan kamipun menyampaikan rasa bahagia ini lewat telefon, email atau sms. Kami semua berdoa dan mengucapkan selama untuk bunda Sarah Quinn.
Pertama kali menemukan Islam
Dengan agak terbata-bata, maklum sudah lanjut usianya beliau bertutur bagaimana ia tertarik dengan Islam. Menurutnya pertama kali ia temukan Islam saat ia pergi mengunjungi anaknya Simon yang kini menjadi Syerif di Middle East. ‘Sepuluh tahun lalu’, imbuh Syerif.
“Saya dibesarkan dan dididik dengan cara Katollik dan selalu pergi ke gereja secara teratur. Saya tidak pernah berfikir banyak tentang agama saya, juga saya tidak pernah bertanya apa-apa pokoknya saya terima apa adanya, dan penuh. Di Irlandia cuma ada dua pilihan yakni agama Katolik atau Protestan. Itu saja. Tidak ada yang lain’ paparnya.
“Jadi memang saya termasuk yang patuh dan nurut, tidak pernah bertanya macam-macam, apalagi kritis dengan agama Katolik saya, walaupun ada satu hal yang membuat saya heran dan tidak paham dan selalu bertanya-tanya misalnya kenapa Pendeta di Katolik tidak boleh menikah?”. Itupun baru muncul dibenak saya akhir-akhir ini saja.
“Soal Yesus..saya selalu percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi, dan saya selalu percaya bahwa hanya ada satu Tuhan. Terus terang saya tidak pernah paham Triniti tapi juga tidak pernah merisaukan saya”, tegasnya lagi.
“Selama saya di Oman dimana anak saya Simon bekerja, disitulah saya temukan ada agama lain selain Katolik dan Protestan. Disana saya berjumpa dengan berbagai Muslim yang begitu ramah, baik, dan selalu menyambut hangat akan kedatangann saya.” kenangnya.
“Waktu itu saya tidak berfikir tentang Islam sama sekali”, ujar ibu Sarah sambil membenahi jilbabnya kebelakang, ‘…tapi saya betul-betul meresapi (absorbed) suasana yang begitu hangat, tenang dan penuh kedamaian yang akhirnya mungkin membuat saya mulai berfikir tentang Islam secara perlahan dan tanpa saya sadari.”
“Syerif memang sudah masuk Islam lebih dulu. Saya cermati memang ada perubahan, misalnya dia tidak minum alcohol dan tidak lagi mau makan bacon. Namun yang lebih menonjol lagi ko anak ini lebih santun dan perhatian sama orang tua’ demikain ibu Sarah menjelaskan tentang anaknya Syerif.
“Saya senang membaca, dia selalu membelikan saya buku-buku tentang Islam, yang mudah dipahami sehingga pengetahuan saya tentang Islam jadi bertambah, terutama beberapa tahun terakhir ini"
"Saya sendiri tidak tahu bagaimana saya bisa jadi Muslim dan memeluk agama ini. Selain membaca, kami selalu bercakap-cakap dan diskusi mengenai Islam, saya kira inilah kontribusi Syerif walau dia tidak pernah memaksa saya”.
“Namun…tambahnya lagi ‘ Satu yang sangat saya suka dan sangat beruntung, anak saya ini begitu peduli mengurus dan menjaga saya, pada usia yang renta ini. Saya khan sudah tambah tua dan tidak begitu sehat. Mungkin dia banyak belajar dari Al-Quran dan Islam bagaimana sebaiknya sikap anak terhadap orang tuanya”.
Rupanya hal positif yang ia saksikan dan rasakan membuat perasaan ibu Sarah betul-betul ingin memeluk agama Islam. Setelah difikir lama dan dipertimbangkan akhirnya bunda Sarah memutuskan untuk memeluk agama baru ini dan ia mengatakan bahwa Islam adalah agama fitrah, lurus dan tepat untuknya.
“ Islam membuat saya merasa damai dan tenang’ bunda Sarah mengutarakan kesannya. Beliau mengatakan bahwa mereka (Muslim) kelihatannya bahagia, tenang dengan kehidupan mereka walaupun kalau diukur secara materi kurang memadai, karena mereka tahu siapa Tuhannya dan percaya ada hari pembalasan.
“Itu lho teman-temannya Simo, langsung menyambut dan menerima saya dengan hangat dan mereka semua tahu kalau saya masuk Islam dengan ikhlas dan tidak pura-pura, bukan karena pengaruh orang lain dan ini atas kehendak saya sendiri” sesekali saya pegang tangannya yang lembut, halus tapi dingin dan begitu rapih bentuk kukunya.
Bunda Sarah mengakui bahwa pengalamannya berkunjung ke Middle East telah berperan banyak ditambah percakapan dengan anaknya Syerif yang telah dengan sabarnya membimbing dan meyakinkan beliau tentang Islam. Ibu Sarah mengakui bahwa ketika ia memutuskan untuk masuk Islam ia tidak dipengaruhi oleh siapapun. “I made up my mind’ ujarnya.
Tambahnya lagi : “Bayangkan my dear, seumur hidup saya menganut dan penganut Katolik..eh sekarang saya memeluk agama Islam, kadang saya bertanya bagaimana ko saya bisa jadi Muslim?. Ini merupakan tantangan baru untuk tahun yang baru untuk saya sebagai seorang Muslim yang baru. Alhamdulilllah, Allah masih memberi peluang kepada saya untuk menjadi hambaNya mengakui bahwa hanya Satu, bukan tiga, yaitu Allah serta pengikut Nabi Muhamda saw, padahal jarak ke kuburan untuk saya tinggal beberapa jengkal saja, bukan?. ‘Its never too late to change my religion’ . Tidak ada kata terlambat untuk berganti agama, walau saya sudah tua’.
Acara Ber-Lebaran dirumah
Percakapan kami sudahi, tak lama penganan siap dihidang bertepatan dengan kedatangan teman karib Syerif yakni Mizan, Khalid dan Mahmoud. Kamipun duduk menikmati makan sore, ' A High Tea atau Supper' berupa Moussaka, makanan ala Yunani, lengkap dengan nasi, salad, ditutup dengan non alkohol Tiramissu, cuci mulut ala Italy, home-made dan ditutup dengan kopi atau teh. (Al Shahida)
London, 30 December 2007
http://hysinth.multiply.com
Tidak ada kata terlamat bagi ‘Sarah Quinn’ pensiunan perawat (nurse) tinggal di Middlessex, UK yang mengikrarkan shahadatnya pada bulan Desember tahun 2006, seminggu menjelang ulang tahunnya yang ke 90’.
Rabu 25 Desember 2007 aku menerima ucapan selamat via telefon: ‘ Eid Mubarak sis…’ langsung kujawab’ Thank you and Eid mubarak to you too .’ lalu sambungnya ‘And merry bloody Chirstmast…! ucapnya. Aku sungguh terkejut menerima kata-kata bloody, entah apa maksudnya. Sindirankah?
"Hoosh…why do you say bloody? (bloody artinya sialan, slang. pen) tanyaku.
‘Well.. its true, its bloody christmast?
‘Lho emang kenapa kamu kesel dan sebel nggak ngeraya-in natalan?
“Bukan sis…aku ikutan stress gara-gara krismasan, semua orang dibikin gila, panik, stress & kesurupan, mereka juga begitu agresif. Dimana-mana. Ditoko, disupermarket, dijalanan, semua penuh sesak, macet gara-gara ini, belum lagi yang mabuk..huh. Coba lihat sekarang, akhirnya mereka diam dirumah, merayakan festifal Pagan itu!, ujarnya. ‘Ooh…begitu’ kataku, lalu ia menyelag,
"Jadi nggak sisi datang kerumah kami ? plis deh? Biar rame, biar ibuku seneng ada yang mengunjungi, aku juga undang teman lainnya’ Syerif membujukku untuk datang kerumahnya di Eastcote, Middlessex pada hari libur yang bertepatan pada tanggal 25 Desember pekan lalu.
Sebetulnya aku tidak bermaksud keluar, ingin menyelesaikan semua pekerjaan yang tertunda-tunda. Hebatnya sang brother merayuku kalau ia akan menolongku, menyelesaikan semua yang belum selesai, ujarnya: ‘Bring all your work, laptop, I will help you ,don’t worry” bujuknya.
Akupun berkemas menyiapkan laptop, USB, membawa beberapa draft surat dan laporan. ‘Ooops don’t forget to bring Tiramisu, Mum love it..', pesannya.
Syerif alias Simon yang muallaf Inggris mengatakan bahwa ibunya merasa kesepian, karena biasanya dihari Natalan abangnya John, istri serta anak-anaknya datang merayakan natalan. Namun, karena Ibunya, telah memeluk Islam sejak Desember 2006, maka Natalan ditiadakan dirumahnya. Sementara Syerif ingin sekali membuat bahagia ibunya dengan mengundang kami untuk kumpul dan makan sore.
Ahad lalu Syerif tidak datang ke pengajian karena abangnya John datang berkunjung menjumpai ibunya, ‘ I cant go to the gathering sis because I want to make sure he doesnt give Mum wine..’ ujar Syerif via sms, padahal dia ingin sekali datang. Mereka datang membawa hadiah dan kartu natal untuk ibunya ‘kufikir sudah tradisi, gak bisa di stop sis, kubiarkan saja", ujar Syerif.
Ke Eastcote, Middlessex
Alhamdulilah perjalanan ke Eastcote cuma memakan waktu 1½ jam, kalaupun ada trafik tidak separah dihari-hari kerja. Karena aku lewat London city (atas saran Syerif) banyak kutemui pemandangan yang cukup merepotkan. Dijalanan kutemui beberapa pengendara mobil yang rada riskan, tidak stabil, bahkan sangat pelan sehingga aku sering dikasih lampu besar peringatan oleh pengendara mobil dibelakang. Disuruhnya aku mempercepat mobilku.
Mungkin akibat minuman alkohol yang berlebihan pada malam sebelumny mereka membawa mobil begitu pelannya. Aku hampir menabrak mobil sedan yang tiba-tiba membelokkan mobilnya secara tiba-tiba tanpa memberi sinyal, yang rupanya mau berputar U-turn kekanan. Untung aku sigap melempar si mobil kekiri sehingga kecelakaan terhindar..dengan serta merta kuklakson dengan keras pertanda aku marah dan... maha besar Allah, aku masih terlindungi.
Begitu aku tiba mereka menyambutku. Aku langsung masuk dan nampak bunda Sarah sedang duduk diruang TV. Menyambutku. Kusalami, sekaligus kupeluk hangat si ibu yang sedang menantiku. Lalu kukeluarkan bingkisan kecil, oh beliau nampak sumringah menerima hadiah kecil, Sarah kemdian membuka hadiah itu.
"what is this? tanya beliau,
"Just something little for you..’ kataku.
Hadiah jilbab itu langsung menjadi bentuk segitiga.. ’Shall I put this in your head..? tanyaku. Yes please..’ jawabnya.. Subhanllah ia nampak ayu dan entahlah.. Syerif mengambil foto bundanya, klik..klik! si ibu selalu mengucap kata-kata 'cheese' dengan senyum lepas.
“Tapi Mum sudah engga wajib lagi khan pake jilbab, sis?” tanya Syerif. Aku bilang ‘tidak’ karena beliau sudah lebih dari tujuh puluh, terserah beliau, tapiii, ujarku waktu sholat beliau wajib metutup kepalanya. Syerif meng-iyakan. Saat kami sholat, si ibu hanya duduk di sofa, menggerakan tangannya sambil berusaha mengucap lafadz ‘Allahu Akbar’ kami sholat dzuhur berjama'ah.
Berkelakar
Syerif mau meyakinkan ibunya tentang natalia menggoda ’Mother remember no chrismast today…’ si ibu menirukan, sambil menggelengkan kepalanya ’no Chrismas today, I know that Simon’ (ia masih memanggil Simon) . ‘You are not worried about Chrismast dinner either, are you mother? kelakarnya lagi. ‘No.. I am not hungry, anyway..’ jawab sang ibu. Akhirnya Syerif kedapur membuat teh untuk kita semua. ‘
Tahun ini ‘Sarah Quinn’ demikian nama lengkapnya tepat memeluk agama Islam dua tahun. Tepatnya pada tanggal 3 Desember 2006 (12 Dzul QAIDAH 1427) sepekan sebelum ulang tahunnya yang ke 90. Aku ingat setahun lalu Syerif menelfonku, dengan gembiranya ia mengatakan bahwa ibuny sudah resmi bershahadat di Masjid Agung Regent Park Mosque, London , dan kamipun menyampaikan rasa bahagia ini lewat telefon, email atau sms. Kami semua berdoa dan mengucapkan selama untuk bunda Sarah Quinn.
Pertama kali menemukan Islam
Dengan agak terbata-bata, maklum sudah lanjut usianya beliau bertutur bagaimana ia tertarik dengan Islam. Menurutnya pertama kali ia temukan Islam saat ia pergi mengunjungi anaknya Simon yang kini menjadi Syerif di Middle East. ‘Sepuluh tahun lalu’, imbuh Syerif.
“Saya dibesarkan dan dididik dengan cara Katollik dan selalu pergi ke gereja secara teratur. Saya tidak pernah berfikir banyak tentang agama saya, juga saya tidak pernah bertanya apa-apa pokoknya saya terima apa adanya, dan penuh. Di Irlandia cuma ada dua pilihan yakni agama Katolik atau Protestan. Itu saja. Tidak ada yang lain’ paparnya.
“Jadi memang saya termasuk yang patuh dan nurut, tidak pernah bertanya macam-macam, apalagi kritis dengan agama Katolik saya, walaupun ada satu hal yang membuat saya heran dan tidak paham dan selalu bertanya-tanya misalnya kenapa Pendeta di Katolik tidak boleh menikah?”. Itupun baru muncul dibenak saya akhir-akhir ini saja.
“Soal Yesus..saya selalu percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi, dan saya selalu percaya bahwa hanya ada satu Tuhan. Terus terang saya tidak pernah paham Triniti tapi juga tidak pernah merisaukan saya”, tegasnya lagi.
“Selama saya di Oman dimana anak saya Simon bekerja, disitulah saya temukan ada agama lain selain Katolik dan Protestan. Disana saya berjumpa dengan berbagai Muslim yang begitu ramah, baik, dan selalu menyambut hangat akan kedatangann saya.” kenangnya.
“Waktu itu saya tidak berfikir tentang Islam sama sekali”, ujar ibu Sarah sambil membenahi jilbabnya kebelakang, ‘…tapi saya betul-betul meresapi (absorbed) suasana yang begitu hangat, tenang dan penuh kedamaian yang akhirnya mungkin membuat saya mulai berfikir tentang Islam secara perlahan dan tanpa saya sadari.”
“Syerif memang sudah masuk Islam lebih dulu. Saya cermati memang ada perubahan, misalnya dia tidak minum alcohol dan tidak lagi mau makan bacon. Namun yang lebih menonjol lagi ko anak ini lebih santun dan perhatian sama orang tua’ demikain ibu Sarah menjelaskan tentang anaknya Syerif.
“Saya senang membaca, dia selalu membelikan saya buku-buku tentang Islam, yang mudah dipahami sehingga pengetahuan saya tentang Islam jadi bertambah, terutama beberapa tahun terakhir ini"
"Saya sendiri tidak tahu bagaimana saya bisa jadi Muslim dan memeluk agama ini. Selain membaca, kami selalu bercakap-cakap dan diskusi mengenai Islam, saya kira inilah kontribusi Syerif walau dia tidak pernah memaksa saya”.
“Namun…tambahnya lagi ‘ Satu yang sangat saya suka dan sangat beruntung, anak saya ini begitu peduli mengurus dan menjaga saya, pada usia yang renta ini. Saya khan sudah tambah tua dan tidak begitu sehat. Mungkin dia banyak belajar dari Al-Quran dan Islam bagaimana sebaiknya sikap anak terhadap orang tuanya”.
Rupanya hal positif yang ia saksikan dan rasakan membuat perasaan ibu Sarah betul-betul ingin memeluk agama Islam. Setelah difikir lama dan dipertimbangkan akhirnya bunda Sarah memutuskan untuk memeluk agama baru ini dan ia mengatakan bahwa Islam adalah agama fitrah, lurus dan tepat untuknya.
“ Islam membuat saya merasa damai dan tenang’ bunda Sarah mengutarakan kesannya. Beliau mengatakan bahwa mereka (Muslim) kelihatannya bahagia, tenang dengan kehidupan mereka walaupun kalau diukur secara materi kurang memadai, karena mereka tahu siapa Tuhannya dan percaya ada hari pembalasan.
“Itu lho teman-temannya Simo, langsung menyambut dan menerima saya dengan hangat dan mereka semua tahu kalau saya masuk Islam dengan ikhlas dan tidak pura-pura, bukan karena pengaruh orang lain dan ini atas kehendak saya sendiri” sesekali saya pegang tangannya yang lembut, halus tapi dingin dan begitu rapih bentuk kukunya.
Bunda Sarah mengakui bahwa pengalamannya berkunjung ke Middle East telah berperan banyak ditambah percakapan dengan anaknya Syerif yang telah dengan sabarnya membimbing dan meyakinkan beliau tentang Islam. Ibu Sarah mengakui bahwa ketika ia memutuskan untuk masuk Islam ia tidak dipengaruhi oleh siapapun. “I made up my mind’ ujarnya.
Tambahnya lagi : “Bayangkan my dear, seumur hidup saya menganut dan penganut Katolik..eh sekarang saya memeluk agama Islam, kadang saya bertanya bagaimana ko saya bisa jadi Muslim?. Ini merupakan tantangan baru untuk tahun yang baru untuk saya sebagai seorang Muslim yang baru. Alhamdulilllah, Allah masih memberi peluang kepada saya untuk menjadi hambaNya mengakui bahwa hanya Satu, bukan tiga, yaitu Allah serta pengikut Nabi Muhamda saw, padahal jarak ke kuburan untuk saya tinggal beberapa jengkal saja, bukan?. ‘Its never too late to change my religion’ . Tidak ada kata terlambat untuk berganti agama, walau saya sudah tua’.
Acara Ber-Lebaran dirumah
Percakapan kami sudahi, tak lama penganan siap dihidang bertepatan dengan kedatangan teman karib Syerif yakni Mizan, Khalid dan Mahmoud. Kamipun duduk menikmati makan sore, ' A High Tea atau Supper' berupa Moussaka, makanan ala Yunani, lengkap dengan nasi, salad, ditutup dengan non alkohol Tiramissu, cuci mulut ala Italy, home-made dan ditutup dengan kopi atau teh. (Al Shahida)
London, 30 December 2007
http://hysinth.multiply.com
Burung Besi
Setelah Papa lulus dari sekolah penerbangan Perancis, beliau menikah dengan mamaku. Papa seorang kulit hitam, namanya Charles Jacquet, mamaku seorang kulit putih, namanya Isabell Louvrett. Keluargaku cukup demokratis, oleh karena itu, bagi Papa, pernikahan tidak memandang perbedaan kulit. Cara berpikir itu pula yang mendorong Papa untuk pindah ke Amerika. Baginya dunia itu luas, di manapun kita berada, asal mau berusaha, pasti kita menjadi seseorang. Oleh karena itu kami pindah ke Portland. Papa ditawari menjadi penerbang di suatu perusahaan. Di sana beliau menjadi Pilot pesawat Air Bus dan menerbangkan pesawat ke banyak wilayah di Amerika.
Papa mempunyai sebuah cita-cita. Ada sebuah pesawat yang sangat dicintainya. Kecepatannnya luar biasa, mach2, selain itu bodinya sempurna. Pesawat kebanggaan Amerika ini menjadi cita-cita papaku.
Namanya F-16. "Voir ma dear, lihat sayang," Ujar Papa suatu kali di pangkalan pesawat terbang, tempatnya bekerja. Beliau menunjuk ke sebuah pesawat indah.Itulah F-16. "Suatu hari, Papa akan menaikinya, begitu pula dengan Mama dan kamu ma pouppette." Saat itulah aku tahu, betapa tingginya cita-cita Papa. Beliau bukan berasal sekolah militer, dan bukan warga negara asli Amerika. Hampir tidak mungkin baginya untuk menjadi anggota AU Amerika. Tapi cita-cita itu tetap dipegangnya dengan teguh dalam hati. Ya, cita-cita indah tentang menaiki
burung besi yang bagaikan seekor rajawali.Tujuh tahun telah berlalu sejak kepindahan kami. Usiaku sudah 12 tahun.Papa kini menjadi salah satu pegawai yang disegani di perusahaannya. Mama juga meneruskan kuliahnya, dia mengambil jurusan sastra Perancis. Jelas terlihat pada dirinya, betapa ia masih mencintai Perancis. Di rumah pun, bahasa Inggris masih terbatas pemakaiannya. Hampir sepanjang hari mama berbicara dengan bahasa Perancis. Terkadang kalau kami bepergian dengan taksi, mama suka tiba-tiba berkata, "Conduisez-moi a...ups, I mean, take me to..."
Kalau sudah begitu, papa dan aku hanya bisa tertawa kecil.
Teman-temanku di sekolah pun cukup heran dengan keberagaman keluargaku. Apalagi kalau ada pertemuan orangtua murid di sekolah. Guru-guruku selalu memanggil nama mamaku bekali-kali, padahal beliau sudah ada di hadapan mereka. Maklum, kulitku hitam seperti Papa, walaupun mataku biru seperti mama. Tapi ini semua membuatku bangga. Tidak semua anak beruntung sepertiku. Ya, kan?
Segala sesuatunya berjalan normal, Papa bekerja, Mama kuliah, dan aku sekolah. Tapi suatu hari, sesuatu yang benar-benar merubah kami sekeluarga." Jai faim, Mama. Saya lapar, Mama," ujarku kepada Mama ketika tiba-tiba Papa masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Karena Papa baru pulang setelah seminggu penuh bekerja, aku segera berlari menujunya, biasanya, Papa akan langsung menggendongku sambil mengajakku bercanda. Tapi hari itu, dia hanya mengelus kepalaku, sambil tersenyum, dalam sekali. Lalu, tanpa basa-basi, Papa memeluk Mama, dan mulai menangis, pelan. Saat itu, pertama kalinya aku melihat laki-laki yang paling kubanggakan menangis seperti itu. Saat itu, aku hanya memandangi, dan tidak tahu apa yang terjadi .Ketika melihatku, Mama segera berkata, "Aller pour tranguille, dear, I'll bring your dinner, in a few minutes, okay?" ujar Mama lembut. Aku lalu naik ke atas dengan perasaan bingung. Selama 3 jam Mama dan Papa ngobrol di bawah,
sepertinya menggunakan bahasa Perancis yang "complicated" sekali. Perutku yang lapar tidak terasa lagi, aku hanya ingin tahu, ada apa di bawah sana.
Esok paginya aku terbangun. Rupanya semalam aku ketiduran. Cepat-cepat aku
turun ke bawah. Hari ini hari Sabtu, sekolah libur. Begitu sampai di bawah,sudah ada Papa dan Mama menunggu di meja makan. Wajah mereka cerah sekali, bahkan jauh lebih tenang dari biasanya. Seperti ada jiwa baru dimata mereka yang membuat segala sesuatunya lebih baik. "Bonjour, ma pouppete," Ujar Papa sambil menenggak kopi hangatnya. "How's your sleep dear? Waktu mama ke kamarku semalam, kamu sudah tertidur.Jadi, pagi ini ada masakan istimewa, omelet kesukaanmu." Keduanya tampak berseri. Tapi kebingunganku, belum juga reda. Papa melihat itu, lalu menyuruhku duduk didekatnya.
"Siapa Tuhanmu, Anna?" Pertanyaan Papa yang aneh dan tidak biasa itu mengejutkanku. Papa belum pernah bertanya seperti itu, bahkan menyinggung-nyinggung hal itu pun jarang. Iya, kami merayakan natal setiap tahun, seperti orang lain. Setiap Paskah selalu ada ayam kalkun di meja makan. Terkadang kami ke gereja, di rumahku juga ada Bible. Tapi mempelajarinya? Membukanya pun, hanya pada saat-saat khusus itu. Papa, atau Mama, yang memang sangat demokratis, benar-benar tidak peduli tentang itu. Aku pun tidak, selama kami bahagia, itu sudah cukup. Tapi kujawab juga pertanyaan papa, sepanjang pengetahuanku. "Yesus, Papa," Jawabku.
"Lalu bagaimana dengan Tuhan Bapa?" Pertanyaan Papa benar-benar membingungkanku."D-Dia juga, Papa," jawabku ragu.
"Lalu, Roh Kudus?" Hatiku gelisah, apa maksudmu Papa?
"Iya! Dia juga Tuhan!"
"Lalu, ada berapa Tuhan kalau begitu?" Aku teringat kata pastur yang masih
membingungkanku sampai sekarang."Semuanya satu Papa, hanya satu!"
"Kamu yakin Anna? Apa tiga sama dengan satu?" Aku terdiam. Aku gelisah dan
heran, apa maksud papa bertanya seperti ini. Lalu Papa merubah pertanyaannya.
"Menurutmu, kalau ada, misalnya, dua yang sempurna, diberi kesempatan untuk
menguasai dunia, apa yang mereka lakukan?" Tanya Papa.
"Bi-bisa saja mereka berebut atau bekerja sama, Papa," jawabku.
"Misalnya mereka bekerja sama, dan yang satu tidak setuju dengan yang
lainnya apa yang bakal terjadi?"
"Me-mereka akan bertengkar Papa."
"Tepat, my little, pouppete, satu lagi kalaupun mereka bekerja sama bukanlah
pola pikir mereka sama, sehingga dalam menciptakan sesuatupun sama. Apakah
perlu dua orang kalau begitu?" tanya Papa.
"Tidak Papa, satupun cukup." Papa lalu tersenyum mendengar ucapanku.
"Kalau begitu, apa perlu Tuhan yang banyak?" Aku terdiam. Jauh di dalam
hatiku seperti ada sinar terang. Ya, aku memang baru berumur dua belas
tahun, tapi perasaan itu benar-benar terasa di dalam hatiku.
"Tidak Papa, cukup satu," jawabku mantap. Tiba-tiba air mata Papa tumpah, Mama juga. Dengan suara bergetar, Papa bertanya."Terakhir dear, apa kamu percaya Tuhan?" Saat itu, bagaikan sekelilingku benar-benar sunyi senyap. Aku teringat betapa indah semua pertanyaan yang pernah kualami. Melihat bintang-bintang di planetarium, alam Perancis yang luar biasa, bukan hanya itu, segala sesuatu yang pernah kulihat selama ini Pasti ada yang membuat. Di pelajaran Biologi di sekolah, benda hidup tidak mungkin berasal dari benda mati. Kalau begitu, pasti segala sesuatu ini ada yang meciptakan, dan itu adalah...
"Ya, Papa. I believe in God." Kedua orang tuaku tesenyum. Damai sekali. Tanpa sadar aku menitikan air mata, seperti aku baru terbangun dari mimpi panjang, dan pertama kali melihat cahaya. Rupanya ini yang membuat Papa menangis. Kembalinya keyakinan dalam dirinya. Ya, Papa telah menemukan Tuhannya.
Dan kini aku ingin mengetahuinya.
"Allah, Tuhan kita, Anna." Perlahan Papa mulai bercerita," Papa menemukan Dia saat mendengar seorang teman Papa, muslim yang membaca kitabnya dengan bahasa yang asing sekali bagi Papa. Tapi hati Papa bergetar, walau tidak tahu artinya, hati Papa benar-benar tergetar. Saat Papa menanyakan artinya, teman Papa menjawab, 'Sesungguhnya bumi Allah itu luas, dan rezeki Allah berlimpah di mana-mana'. Papa kaget. Itu prinsip hidup Papa selama ini! Papa tidak menyangka, prinsip hidup Papa yang selama ini banyak ditentang, ada disuatu kitab. Apa itu kebenaran? Lalu papa meminta teman Papa membacakannya ayat-ayat lain, dan hati Papa seperti disiram air sejuk."
"Anna, Mama pun merasakan itu. Tadi malam Papamu menceritakan semuanya.
Inilah yang Mama belum dapatkan selama ini. Islam! Menyembah Tuhan yang satu! Inilah jalan hidup yang Mama dan Papa cari. Bertahun-tahun, ya kau tahu sendiri Anna, hidup bahagia, tapi hati penuh kegelisahan. Dan kini, hanya dengan sepotong ayat saja, Papa dan Mama merasakan hidup yang sebenarnya. Anna, kau masih kecil, kami tidak memaksamu, tapi apa kau merasakan sesuatu? Coba rasakan di dasar hatimu, my little pouppete."
Aku tidak bisa berkata, tapi kepalaku kuanggukan. Dengan penuh keyakinan. Ya, aku masih kecil, tapi aku sudah merasakannya, getaran itu benar-benar menggema ke seluruh tubuhku.
Pagi itu, sarapan kami terasa penuh makna. Seperti ruang-ruang kosong di relung hati, terisi sedikit demi sedikit. Bahkan sinar matahari pun terasa lebih jauh-lebih rendah.
Hari itu juga, kami ke rumah teman Papa, Mr.Ahmad Brown, dia sudah masuk Islam selama lima tahun. Dia Angkatan Udara Amerika Serikat yang sedang cuti. Papa bilang, di AU, perkembangan Islam sangat pesat. Terutama dari golongan orang kulit hitam.
Papa memiliki banyak kenalan dari AU, karena-seperti yang kalian tahu-kecintaannya pada pesawat F-16. Rupanya Papa mencuri-curi tahu ke mana saja pesawat itu berdinas, bagaimana onderdilnya, dan banyak lagi.
Kami bertiga diajak oleh teman Papa ke sebuah masjid sederhana di Portland.
Tempat ini merupakan salah satu tempat syiar Islam yang masih jarang ditemukan di Portland. Kami bertiga masuk ke dalam dan melihat beberapa orang sedang sujud, membaca kitab, atau bergumam-gumam. Wajah mereka tenang sekali. Beberapa adalah orang Amerika asli, atau juga berkulit hitam seperti Papa. Tapi yang paling banyak adalah orang Asia. Teman Papa lalu mengajak kami bertemu pemimpin agama, pastur kalau di Kristen. Lalu secara sederhana, saat Papa minta diislamkan, dengan mata yang berkaca-kaca, dia menyuruh kami mengikuti perkataannya, "Asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, I witness that there is no God except Allah, and I witness that Muhammad is Allah messenger." Singkat, tanpa perlu ritual berlebihan. Beliau lalu memberikan kami masing-masing sebuah kitab.
"This is Koran. Bacalah, pelajari. Tidak usah terlalu di buru. Ini jugasebuah kitab fiqih untuk mempelajari Islam, banyak buku yang bisa kalian pinjam dan pelajari, dan kami semua siap membantu. Apa saja.
Bersabarlah, remember, Actually God is with whom is patient."
***
Kami sekeluarga perlahan-lahan mulai mempelajari Islam. Setiap habis Maghrib, selama satu jam sampai waktu Isya' kami belajar membaca Al-Qur'an. Kalau Papa pergi tugas, istri Mr. Ahmad yang membantu. Islam perlahan-lahan mulai menjadi tiang penyangga hidup kami.
***
Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Terutama bagi Mama. Beliau mulai memakai kerudung. Dan pakaiannya, benar-benar mencerminkan muslimah.
Tapi, teman-teman di kampusnya mulai menjauhinya. Hanya beberapa yang, yang
benar-benar demokratis mau berteman dengannya. Untunglah, teman-teman muslimah bertambah banyak. Sehingga Mama tidak merasa sendiri. Tapi ada
satu hal yang terberat. Saat Mama menceritakan keislamannya kepada orangtuanya, Grandma terutama, marah besar. Saat mama berbicara ditelepon, air matanya tumpah. Lalu tiba-tiba ia diam, kemudian memanggil-manggil, "Mama, oh Mama, mama." Teleponnya diputuskan. Mama hanya bisa bersandar didada Papa sambil menangis. Papa terus berkata, "Actually God is with whom is patient, Ma Cherie. He is. He is.
Di sekolah, teman-temanku tetap bersikap baik. Bahkan mereka suka bertanya
yang aneh-aneh. Seperti, "Dalam Islam, ada Santa Klausnya, nggak?" atau
"Wah, asik dong. Kamu ngak usah ke gereja lagi tiap minggu." Dan banyak
komentar lagi komentar lain. Sekolahku memang multi etnik, dan sangat
liberal. Selama tidak mengganggu mereka, semua akan seperti biasa saja.
Walaupun ada juga orangtua atau guru yang sinis, hal itu tidak kupedulikan.
Mereka saja yang berpikir terlalu sempit.
***
Setahun berlalu, tiba-tiba di negara bagian ini muncul desas-desus mengerikan. Kabarnya orang-orang kulit hitam banyak yang tiba-tiba menghilang. Banyak yang mengatakan bahwa mereka menjadi korban penculikan sekte-sekte fanatik ras kulit putih. Polisi, FBI, sudah diturunkan ke berbagai kota, tapi hasilnya secara konkret belum juga muncul. Papa sangat khawatir. "Isabell, aku akan cuti. Atasanku memaklumi. Lagipula aku belum mengambil cutiku yang sebulan. Dan kini, tugasku untuk menjaga kalian.
Setidak-tidaknya sampai keadaan mereda. Oke? J'etaime I don't want to lose you." Situasi benar-benar gawat. Sudah beberapa mayat yang hilang yang ditemukan, dengan kondisi memilukan. Para maniak itu bahkan selalu meninggalkan pesan mengerikan, bahwa tidak jarang jorok, 'Die you Negros!, atau 'Pig's skin ever better than your!" dan banyak lagi. Perlindungan bagi kaum kulit hitam dari Harlem. Kemarin, mayat seorang pastur kulit hitam ditemukan. Aku khawatir dengan Papa.
" Don't worry ma pouppete. Allah with us. Kita harus berani, dan selalu waspada. Okay?" Sampai hari itu. Hari dimana semua kebahagiaanku direnggut. Papa sedang berkendara dari kota. Kami sedang dalam pejalanan pulang. Karena ada pemblokiran jalan, kami terpaksa lewat jalan kecil. Malam itu sepi sekali.Tiba-tiba di tengah jalan, tedengar bunyi tembakan. Papa cepat-cepat mengerem. Ternyata ban kami pecah. Lalu, muncul orang-orang bertudung putih, berjalan mendekat sambil membawa obor dan senjata. Pakaian mereka putih, dengan lambang salib terbalik. Aku ketakutan, Mama juga, tapi Papa memegang tangan kami sambil terus berkata, "Ingat, apapun yang terjadi, Allah selalu bersama kita, Macherie."
Mereka menyuruh kami turun dari mobil. Kalau tidak, mereka mengancam kepala kami akan ditembak. Papa menurut. Lalu kami digiring ke dalam hutan, perjalanannya cukup jauh, aku ingin menangis, tapi aku percaya, aku harus kuat. Kami tiba di sebuah lapangan luas. Di sana ada lebih banyak lagi orang-orang bertudung putih. Mereka beteriak kasar, bersorak-sorai, sambil membakar kayu-kayu. Pandanganku lalu tertuju ke sebuah penjara kayu. Panjang, dan didalamnya,banyak orang kulit hitam! Kami didorong ke sana. Tiba-tiba Mamaku ditarik lengannya."Lepaskan istriku!" Papa coba berontak. Mama berusaha untuk lepas, tapi sia-sia. Orang tiba-tiba berkata. "Wanita ini seorang kulit putih. Tapi lihat! Keluarganya Negro, cih, menjijikan! Tubuhnya sudah ternoda oleh si hitam itu! Negro hina! Dan, apa ini?" Ujarnya sambil menarik kerudung Mama, "Ini benda yang dipakai wanita-wanita Islam itu. Cih! Ini lebih hina lagi. Tidak ada pantas-pantasnya, bahkan untuk di muka bumi ini! Mau apakan dia?"
Ujarnya sambil berteriak keras. "Bakar! Bakar! Bakar!" orang-orang itu mulai menjadi liar. Lalu orang tadi berkata lagi, "Semua ingin kau bakar. Tapi demi ras kulit putih kita, kuberi kau kesempatan. Tinggalkan keluargamu, juga Islammu. Kau akan kami bebaskan, setuju?" Papa tiba-tiba berteriak "Isabell! Lakukan! Lebih baik seorang dari kita selamat! Lakukan! Lakukan!" Tepat setelah itu. Kulihat mata biru mama dengan penuh keyakinan menatap tajam kepada orang itu, lalu berkata.
"Aku tidak akan melepaskan agamaku walaupun kulitku lepas dari dagingnya. Dan aku tidak akan meninggalkan keluargaku, walau nyawa taruhannya!" Orang itu gemetar, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengurung mamaku juga.
Kami dilempar ke dalam, bersama orang-orang kulit hitam lainnya. Tubuh mereka kurus sekali, badannya penuh luka. Banyak juga wanita dan anak-anak seusiaku. Beberapa tampak berasal dari keluarga miskin, tapi ada juga yang berada sepertiku. Seorang laki-laki tiba-tiba berbicara kepadaku.
"Hari ini mereka akan membunuh lima orang dari kita." Lalu anak lain menyahut. "Lalu, mayatnya dibawa entah kemana...seperti ayahku," gadis kecil itu menerangkan, lalu menangis. Mamaku lalu memeluknya dan bertanya.
"Tidak adakah yang bisa kita lakukan?" Tiba-tiba seorang berbisik kepada Papa. Papa mengangguk, sebentar wajahnya tenang, lalu pucat sekejap dan tenang kembali. Ada apa, Papa? Papa mendekat kepadaku dan Mama, lalu berkata pelan. "Mereka telah mematahkan sala satu dari kayunya. Akan cukup bagi anak-anak dan wanita untuk keluar. Anna, kamu seorang pandu di sekolah, bawa mereka ke tempat pemblokiran polisi tadi, Isabell, kau jaga para wanita dan anak-anak ini. Okay?" belum sempat aku membantah, Mama cepat-cepat memotong sambil memegang kedua tangan Papa. "Charles, bagaimana denganmu?
Bagaimana kau keluar? Aku tidak mau pergi sendiri!" Air mata mama mulai tumpah, Papa memandangku dengan sangat dalam.Lalu Mama jatuh ke pelukan Papa, menangis sambil mengucap nama Allah. Aku menyelinap masuk di antara mereka, dan ikut menangis.
***
"Ayo saatnya sudah tiba. Anna, bawa anak-anak keluar, juga para wanita. Depechez vous! Cepatlah! Mumpung mereka sedang tertidur, Papa dan lainnya akan menahan mereka dari sini! Cepat lari!" Setelah semuanya keluar, aku kembali ke Papa. Tidak, tidak mungkin aku meninggalkan Papa. Tepat saat semuanya berjalan sempurna, tepat saat kami menemukan kehidupan di jalan yang lurus. Aku tidak rela, Papaku yang kucinta. Sang Pilot yang kukagumi. Ma Papa. "Ayolah Anna. Yang lain membutuhkanmu." "Tapi Papa, kenapa harus begini? Tidak Papa! Tidak!" "Chest-la-vie. Kamu harus tabah, ma pouppet. Kalau Papa memang harus pergi bukankah Papa akan pegi ke tempat yang lebih baik? Ke sisi Allah. Prier to Dieau. Kita akan bertemu lagi, Okay?" Papa lalu mencium keningku, lama, sampai kurasakan air matanya mengalir di keningku.
"Come on, Anna dear," Mama memanggilku. Dia Lalu mematap lekat kepadaku Papa." A toute a I'huere. I'll be missing you," Lama sekali keduanya bertatapan, lalu dengan lembut Papa mencium kening Mama. Dan berkata berkali-kali. "J'etaime macherie. J'etaime. J'etaime Isabell, J'etaime Anna. J'etaime..." Lalu perlahan dilepaskannya pegangannya," Allez vous-en! Lari sejauh mungkin. Ingat pesan Papa, jaga Mamamu!"
"Soyez tranguille I will Papa, I will." Perlahan aku keluar, Mama memegangiku. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat kami. Kami bergegas. "Noubliez pas, Anna, 'Asyhaduanla ilaha....."
"Illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah..." Aku dan Mama
membalas, lalu kami pergi. Para penjahat itu mulai berkumpul. "Ingat cita-cita Papa, pouppete, F-16 burung besi kecintaan Papa. Wujudkan cita-cita Papa, Noubliez pas! J'etaime, J'etaime Isabell, J'etaime Anna!"
"J'etaime Papa! J'etaime"
"J'etaime Charles! J'etaime Mama dan aku lalu pergi berlari. Aku memimpin mengikuti arah bintang, semak-semak belukar yang melukai kakiku, tidak kuingat lagi. Pardoner Papa! Aku tidak ingat lagi ketika tiba di tempat pemblokiran polisi bagaimana kami menjelaskan kejadiannya, lalu masuk ke hutan dengan polisi. Aku tidak ingat bagaimana para biadab itu terkepung. Aku bermimpi, di suatu tempat, putih, dan halus. Papa!
"Wonderful ma pouppete. Kau berhasil. Sekarang jaga mamamu. Papa akan ke tempat yang akan berkumpul bersama lagi. N'oubliez pas! God is with whom is patient! Wujudkan cita-cita Papa. Goodbye ma pouppete! Lalu sosok Papa menghilang, pandanganku berputar, lalu aku terbangun. Wajah yang saat itu
aku lihat, Mama!
"Oh, Anna. Anna, be patient. Papa is gone. He's with Lord Now." Mama lalu
memelukku erat. "Kami berterima kasih," tiba-tiba seorang berkulit hitam
berbicara.
Wajahnya sedih sekali," Papamu telah menyelamatkan hidupku. Dia melindungiku
dari tembakan biadab-biadab itu. Papamu tidak menderita, dia pergi dengan senyum di wajahnya. Dia teus mengucap 'Allah...Allah', dan dia sempat meninggalkan pesan untukmu," Anna, ma pouppete, jaga mamamu. Ingat cita-cita Papa.
Preir to Dioer, J'etaime..." aku menangis, Mama juga. Papa kini telah pergi, tapi ke tempat yang lebih baik. Sampai aku juga kesana. Wait for me, Papa.
I'll make your dreams come true. J'etamine..
***
Papa mendapat gelar kehormatan dari pemerintah AS. Hidup Mama dan aku mendapat tunjangan, dan aku mendapat beasiswa. Aku melanjutkan ke sekolah
militer. Mama, dengan tabah, membangun kembali dirinya. Beliau mengajar sastra Perancis di universitas-universitas Portland dan Seattle. Mama juga aktif mendakwahkan Islam di berbagai tempat. Perlahan kami membangun kembali keluarga kami, grandma bahkan memaafkan mama dan memutuskan untuk pindah ke
Amerika untuk membantu Mama. Namun dengan hakus Mama menolak.
Katanya, "I can raise my own child, trust me momm."
***
Mesin pesawat berbunyi halus. Sayap F-16 yang kokoh ini membawaku terbang ke
angkasa. Hari ini, Anna Marie Fatimah Jacquet, penerbang muslimat pertama, mewujudkan cita-cita Papa. Terus membumbung tinggi ke langit yang dicintai Papa. A'toute a I'houre Papa. Sampai kita bertemu kembali....( Arie)
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.495.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Papa mempunyai sebuah cita-cita. Ada sebuah pesawat yang sangat dicintainya. Kecepatannnya luar biasa, mach2, selain itu bodinya sempurna. Pesawat kebanggaan Amerika ini menjadi cita-cita papaku.
Namanya F-16. "Voir ma dear, lihat sayang," Ujar Papa suatu kali di pangkalan pesawat terbang, tempatnya bekerja. Beliau menunjuk ke sebuah pesawat indah.Itulah F-16. "Suatu hari, Papa akan menaikinya, begitu pula dengan Mama dan kamu ma pouppette." Saat itulah aku tahu, betapa tingginya cita-cita Papa. Beliau bukan berasal sekolah militer, dan bukan warga negara asli Amerika. Hampir tidak mungkin baginya untuk menjadi anggota AU Amerika. Tapi cita-cita itu tetap dipegangnya dengan teguh dalam hati. Ya, cita-cita indah tentang menaiki
burung besi yang bagaikan seekor rajawali.Tujuh tahun telah berlalu sejak kepindahan kami. Usiaku sudah 12 tahun.Papa kini menjadi salah satu pegawai yang disegani di perusahaannya. Mama juga meneruskan kuliahnya, dia mengambil jurusan sastra Perancis. Jelas terlihat pada dirinya, betapa ia masih mencintai Perancis. Di rumah pun, bahasa Inggris masih terbatas pemakaiannya. Hampir sepanjang hari mama berbicara dengan bahasa Perancis. Terkadang kalau kami bepergian dengan taksi, mama suka tiba-tiba berkata, "Conduisez-moi a...ups, I mean, take me to..."
Kalau sudah begitu, papa dan aku hanya bisa tertawa kecil.
Teman-temanku di sekolah pun cukup heran dengan keberagaman keluargaku. Apalagi kalau ada pertemuan orangtua murid di sekolah. Guru-guruku selalu memanggil nama mamaku bekali-kali, padahal beliau sudah ada di hadapan mereka. Maklum, kulitku hitam seperti Papa, walaupun mataku biru seperti mama. Tapi ini semua membuatku bangga. Tidak semua anak beruntung sepertiku. Ya, kan?
Segala sesuatunya berjalan normal, Papa bekerja, Mama kuliah, dan aku sekolah. Tapi suatu hari, sesuatu yang benar-benar merubah kami sekeluarga." Jai faim, Mama. Saya lapar, Mama," ujarku kepada Mama ketika tiba-tiba Papa masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Karena Papa baru pulang setelah seminggu penuh bekerja, aku segera berlari menujunya, biasanya, Papa akan langsung menggendongku sambil mengajakku bercanda. Tapi hari itu, dia hanya mengelus kepalaku, sambil tersenyum, dalam sekali. Lalu, tanpa basa-basi, Papa memeluk Mama, dan mulai menangis, pelan. Saat itu, pertama kalinya aku melihat laki-laki yang paling kubanggakan menangis seperti itu. Saat itu, aku hanya memandangi, dan tidak tahu apa yang terjadi .Ketika melihatku, Mama segera berkata, "Aller pour tranguille, dear, I'll bring your dinner, in a few minutes, okay?" ujar Mama lembut. Aku lalu naik ke atas dengan perasaan bingung. Selama 3 jam Mama dan Papa ngobrol di bawah,
sepertinya menggunakan bahasa Perancis yang "complicated" sekali. Perutku yang lapar tidak terasa lagi, aku hanya ingin tahu, ada apa di bawah sana.
Esok paginya aku terbangun. Rupanya semalam aku ketiduran. Cepat-cepat aku
turun ke bawah. Hari ini hari Sabtu, sekolah libur. Begitu sampai di bawah,sudah ada Papa dan Mama menunggu di meja makan. Wajah mereka cerah sekali, bahkan jauh lebih tenang dari biasanya. Seperti ada jiwa baru dimata mereka yang membuat segala sesuatunya lebih baik. "Bonjour, ma pouppete," Ujar Papa sambil menenggak kopi hangatnya. "How's your sleep dear? Waktu mama ke kamarku semalam, kamu sudah tertidur.Jadi, pagi ini ada masakan istimewa, omelet kesukaanmu." Keduanya tampak berseri. Tapi kebingunganku, belum juga reda. Papa melihat itu, lalu menyuruhku duduk didekatnya.
"Siapa Tuhanmu, Anna?" Pertanyaan Papa yang aneh dan tidak biasa itu mengejutkanku. Papa belum pernah bertanya seperti itu, bahkan menyinggung-nyinggung hal itu pun jarang. Iya, kami merayakan natal setiap tahun, seperti orang lain. Setiap Paskah selalu ada ayam kalkun di meja makan. Terkadang kami ke gereja, di rumahku juga ada Bible. Tapi mempelajarinya? Membukanya pun, hanya pada saat-saat khusus itu. Papa, atau Mama, yang memang sangat demokratis, benar-benar tidak peduli tentang itu. Aku pun tidak, selama kami bahagia, itu sudah cukup. Tapi kujawab juga pertanyaan papa, sepanjang pengetahuanku. "Yesus, Papa," Jawabku.
"Lalu bagaimana dengan Tuhan Bapa?" Pertanyaan Papa benar-benar membingungkanku."D-Dia juga, Papa," jawabku ragu.
"Lalu, Roh Kudus?" Hatiku gelisah, apa maksudmu Papa?
"Iya! Dia juga Tuhan!"
"Lalu, ada berapa Tuhan kalau begitu?" Aku teringat kata pastur yang masih
membingungkanku sampai sekarang."Semuanya satu Papa, hanya satu!"
"Kamu yakin Anna? Apa tiga sama dengan satu?" Aku terdiam. Aku gelisah dan
heran, apa maksud papa bertanya seperti ini. Lalu Papa merubah pertanyaannya.
"Menurutmu, kalau ada, misalnya, dua yang sempurna, diberi kesempatan untuk
menguasai dunia, apa yang mereka lakukan?" Tanya Papa.
"Bi-bisa saja mereka berebut atau bekerja sama, Papa," jawabku.
"Misalnya mereka bekerja sama, dan yang satu tidak setuju dengan yang
lainnya apa yang bakal terjadi?"
"Me-mereka akan bertengkar Papa."
"Tepat, my little, pouppete, satu lagi kalaupun mereka bekerja sama bukanlah
pola pikir mereka sama, sehingga dalam menciptakan sesuatupun sama. Apakah
perlu dua orang kalau begitu?" tanya Papa.
"Tidak Papa, satupun cukup." Papa lalu tersenyum mendengar ucapanku.
"Kalau begitu, apa perlu Tuhan yang banyak?" Aku terdiam. Jauh di dalam
hatiku seperti ada sinar terang. Ya, aku memang baru berumur dua belas
tahun, tapi perasaan itu benar-benar terasa di dalam hatiku.
"Tidak Papa, cukup satu," jawabku mantap. Tiba-tiba air mata Papa tumpah, Mama juga. Dengan suara bergetar, Papa bertanya."Terakhir dear, apa kamu percaya Tuhan?" Saat itu, bagaikan sekelilingku benar-benar sunyi senyap. Aku teringat betapa indah semua pertanyaan yang pernah kualami. Melihat bintang-bintang di planetarium, alam Perancis yang luar biasa, bukan hanya itu, segala sesuatu yang pernah kulihat selama ini Pasti ada yang membuat. Di pelajaran Biologi di sekolah, benda hidup tidak mungkin berasal dari benda mati. Kalau begitu, pasti segala sesuatu ini ada yang meciptakan, dan itu adalah...
"Ya, Papa. I believe in God." Kedua orang tuaku tesenyum. Damai sekali. Tanpa sadar aku menitikan air mata, seperti aku baru terbangun dari mimpi panjang, dan pertama kali melihat cahaya. Rupanya ini yang membuat Papa menangis. Kembalinya keyakinan dalam dirinya. Ya, Papa telah menemukan Tuhannya.
Dan kini aku ingin mengetahuinya.
"Allah, Tuhan kita, Anna." Perlahan Papa mulai bercerita," Papa menemukan Dia saat mendengar seorang teman Papa, muslim yang membaca kitabnya dengan bahasa yang asing sekali bagi Papa. Tapi hati Papa bergetar, walau tidak tahu artinya, hati Papa benar-benar tergetar. Saat Papa menanyakan artinya, teman Papa menjawab, 'Sesungguhnya bumi Allah itu luas, dan rezeki Allah berlimpah di mana-mana'. Papa kaget. Itu prinsip hidup Papa selama ini! Papa tidak menyangka, prinsip hidup Papa yang selama ini banyak ditentang, ada disuatu kitab. Apa itu kebenaran? Lalu papa meminta teman Papa membacakannya ayat-ayat lain, dan hati Papa seperti disiram air sejuk."
"Anna, Mama pun merasakan itu. Tadi malam Papamu menceritakan semuanya.
Inilah yang Mama belum dapatkan selama ini. Islam! Menyembah Tuhan yang satu! Inilah jalan hidup yang Mama dan Papa cari. Bertahun-tahun, ya kau tahu sendiri Anna, hidup bahagia, tapi hati penuh kegelisahan. Dan kini, hanya dengan sepotong ayat saja, Papa dan Mama merasakan hidup yang sebenarnya. Anna, kau masih kecil, kami tidak memaksamu, tapi apa kau merasakan sesuatu? Coba rasakan di dasar hatimu, my little pouppete."
Aku tidak bisa berkata, tapi kepalaku kuanggukan. Dengan penuh keyakinan. Ya, aku masih kecil, tapi aku sudah merasakannya, getaran itu benar-benar menggema ke seluruh tubuhku.
Pagi itu, sarapan kami terasa penuh makna. Seperti ruang-ruang kosong di relung hati, terisi sedikit demi sedikit. Bahkan sinar matahari pun terasa lebih jauh-lebih rendah.
Hari itu juga, kami ke rumah teman Papa, Mr.Ahmad Brown, dia sudah masuk Islam selama lima tahun. Dia Angkatan Udara Amerika Serikat yang sedang cuti. Papa bilang, di AU, perkembangan Islam sangat pesat. Terutama dari golongan orang kulit hitam.
Papa memiliki banyak kenalan dari AU, karena-seperti yang kalian tahu-kecintaannya pada pesawat F-16. Rupanya Papa mencuri-curi tahu ke mana saja pesawat itu berdinas, bagaimana onderdilnya, dan banyak lagi.
Kami bertiga diajak oleh teman Papa ke sebuah masjid sederhana di Portland.
Tempat ini merupakan salah satu tempat syiar Islam yang masih jarang ditemukan di Portland. Kami bertiga masuk ke dalam dan melihat beberapa orang sedang sujud, membaca kitab, atau bergumam-gumam. Wajah mereka tenang sekali. Beberapa adalah orang Amerika asli, atau juga berkulit hitam seperti Papa. Tapi yang paling banyak adalah orang Asia. Teman Papa lalu mengajak kami bertemu pemimpin agama, pastur kalau di Kristen. Lalu secara sederhana, saat Papa minta diislamkan, dengan mata yang berkaca-kaca, dia menyuruh kami mengikuti perkataannya, "Asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, I witness that there is no God except Allah, and I witness that Muhammad is Allah messenger." Singkat, tanpa perlu ritual berlebihan. Beliau lalu memberikan kami masing-masing sebuah kitab.
"This is Koran. Bacalah, pelajari. Tidak usah terlalu di buru. Ini jugasebuah kitab fiqih untuk mempelajari Islam, banyak buku yang bisa kalian pinjam dan pelajari, dan kami semua siap membantu. Apa saja.
Bersabarlah, remember, Actually God is with whom is patient."
***
Kami sekeluarga perlahan-lahan mulai mempelajari Islam. Setiap habis Maghrib, selama satu jam sampai waktu Isya' kami belajar membaca Al-Qur'an. Kalau Papa pergi tugas, istri Mr. Ahmad yang membantu. Islam perlahan-lahan mulai menjadi tiang penyangga hidup kami.
***
Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Terutama bagi Mama. Beliau mulai memakai kerudung. Dan pakaiannya, benar-benar mencerminkan muslimah.
Tapi, teman-teman di kampusnya mulai menjauhinya. Hanya beberapa yang, yang
benar-benar demokratis mau berteman dengannya. Untunglah, teman-teman muslimah bertambah banyak. Sehingga Mama tidak merasa sendiri. Tapi ada
satu hal yang terberat. Saat Mama menceritakan keislamannya kepada orangtuanya, Grandma terutama, marah besar. Saat mama berbicara ditelepon, air matanya tumpah. Lalu tiba-tiba ia diam, kemudian memanggil-manggil, "Mama, oh Mama, mama." Teleponnya diputuskan. Mama hanya bisa bersandar didada Papa sambil menangis. Papa terus berkata, "Actually God is with whom is patient, Ma Cherie. He is. He is.
Di sekolah, teman-temanku tetap bersikap baik. Bahkan mereka suka bertanya
yang aneh-aneh. Seperti, "Dalam Islam, ada Santa Klausnya, nggak?" atau
"Wah, asik dong. Kamu ngak usah ke gereja lagi tiap minggu." Dan banyak
komentar lagi komentar lain. Sekolahku memang multi etnik, dan sangat
liberal. Selama tidak mengganggu mereka, semua akan seperti biasa saja.
Walaupun ada juga orangtua atau guru yang sinis, hal itu tidak kupedulikan.
Mereka saja yang berpikir terlalu sempit.
***
Setahun berlalu, tiba-tiba di negara bagian ini muncul desas-desus mengerikan. Kabarnya orang-orang kulit hitam banyak yang tiba-tiba menghilang. Banyak yang mengatakan bahwa mereka menjadi korban penculikan sekte-sekte fanatik ras kulit putih. Polisi, FBI, sudah diturunkan ke berbagai kota, tapi hasilnya secara konkret belum juga muncul. Papa sangat khawatir. "Isabell, aku akan cuti. Atasanku memaklumi. Lagipula aku belum mengambil cutiku yang sebulan. Dan kini, tugasku untuk menjaga kalian.
Setidak-tidaknya sampai keadaan mereda. Oke? J'etaime I don't want to lose you." Situasi benar-benar gawat. Sudah beberapa mayat yang hilang yang ditemukan, dengan kondisi memilukan. Para maniak itu bahkan selalu meninggalkan pesan mengerikan, bahwa tidak jarang jorok, 'Die you Negros!, atau 'Pig's skin ever better than your!" dan banyak lagi. Perlindungan bagi kaum kulit hitam dari Harlem. Kemarin, mayat seorang pastur kulit hitam ditemukan. Aku khawatir dengan Papa.
" Don't worry ma pouppete. Allah with us. Kita harus berani, dan selalu waspada. Okay?" Sampai hari itu. Hari dimana semua kebahagiaanku direnggut. Papa sedang berkendara dari kota. Kami sedang dalam pejalanan pulang. Karena ada pemblokiran jalan, kami terpaksa lewat jalan kecil. Malam itu sepi sekali.Tiba-tiba di tengah jalan, tedengar bunyi tembakan. Papa cepat-cepat mengerem. Ternyata ban kami pecah. Lalu, muncul orang-orang bertudung putih, berjalan mendekat sambil membawa obor dan senjata. Pakaian mereka putih, dengan lambang salib terbalik. Aku ketakutan, Mama juga, tapi Papa memegang tangan kami sambil terus berkata, "Ingat, apapun yang terjadi, Allah selalu bersama kita, Macherie."
Mereka menyuruh kami turun dari mobil. Kalau tidak, mereka mengancam kepala kami akan ditembak. Papa menurut. Lalu kami digiring ke dalam hutan, perjalanannya cukup jauh, aku ingin menangis, tapi aku percaya, aku harus kuat. Kami tiba di sebuah lapangan luas. Di sana ada lebih banyak lagi orang-orang bertudung putih. Mereka beteriak kasar, bersorak-sorai, sambil membakar kayu-kayu. Pandanganku lalu tertuju ke sebuah penjara kayu. Panjang, dan didalamnya,banyak orang kulit hitam! Kami didorong ke sana. Tiba-tiba Mamaku ditarik lengannya."Lepaskan istriku!" Papa coba berontak. Mama berusaha untuk lepas, tapi sia-sia. Orang tiba-tiba berkata. "Wanita ini seorang kulit putih. Tapi lihat! Keluarganya Negro, cih, menjijikan! Tubuhnya sudah ternoda oleh si hitam itu! Negro hina! Dan, apa ini?" Ujarnya sambil menarik kerudung Mama, "Ini benda yang dipakai wanita-wanita Islam itu. Cih! Ini lebih hina lagi. Tidak ada pantas-pantasnya, bahkan untuk di muka bumi ini! Mau apakan dia?"
Ujarnya sambil berteriak keras. "Bakar! Bakar! Bakar!" orang-orang itu mulai menjadi liar. Lalu orang tadi berkata lagi, "Semua ingin kau bakar. Tapi demi ras kulit putih kita, kuberi kau kesempatan. Tinggalkan keluargamu, juga Islammu. Kau akan kami bebaskan, setuju?" Papa tiba-tiba berteriak "Isabell! Lakukan! Lebih baik seorang dari kita selamat! Lakukan! Lakukan!" Tepat setelah itu. Kulihat mata biru mama dengan penuh keyakinan menatap tajam kepada orang itu, lalu berkata.
"Aku tidak akan melepaskan agamaku walaupun kulitku lepas dari dagingnya. Dan aku tidak akan meninggalkan keluargaku, walau nyawa taruhannya!" Orang itu gemetar, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengurung mamaku juga.
Kami dilempar ke dalam, bersama orang-orang kulit hitam lainnya. Tubuh mereka kurus sekali, badannya penuh luka. Banyak juga wanita dan anak-anak seusiaku. Beberapa tampak berasal dari keluarga miskin, tapi ada juga yang berada sepertiku. Seorang laki-laki tiba-tiba berbicara kepadaku.
"Hari ini mereka akan membunuh lima orang dari kita." Lalu anak lain menyahut. "Lalu, mayatnya dibawa entah kemana...seperti ayahku," gadis kecil itu menerangkan, lalu menangis. Mamaku lalu memeluknya dan bertanya.
"Tidak adakah yang bisa kita lakukan?" Tiba-tiba seorang berbisik kepada Papa. Papa mengangguk, sebentar wajahnya tenang, lalu pucat sekejap dan tenang kembali. Ada apa, Papa? Papa mendekat kepadaku dan Mama, lalu berkata pelan. "Mereka telah mematahkan sala satu dari kayunya. Akan cukup bagi anak-anak dan wanita untuk keluar. Anna, kamu seorang pandu di sekolah, bawa mereka ke tempat pemblokiran polisi tadi, Isabell, kau jaga para wanita dan anak-anak ini. Okay?" belum sempat aku membantah, Mama cepat-cepat memotong sambil memegang kedua tangan Papa. "Charles, bagaimana denganmu?
Bagaimana kau keluar? Aku tidak mau pergi sendiri!" Air mata mama mulai tumpah, Papa memandangku dengan sangat dalam.Lalu Mama jatuh ke pelukan Papa, menangis sambil mengucap nama Allah. Aku menyelinap masuk di antara mereka, dan ikut menangis.
***
"Ayo saatnya sudah tiba. Anna, bawa anak-anak keluar, juga para wanita. Depechez vous! Cepatlah! Mumpung mereka sedang tertidur, Papa dan lainnya akan menahan mereka dari sini! Cepat lari!" Setelah semuanya keluar, aku kembali ke Papa. Tidak, tidak mungkin aku meninggalkan Papa. Tepat saat semuanya berjalan sempurna, tepat saat kami menemukan kehidupan di jalan yang lurus. Aku tidak rela, Papaku yang kucinta. Sang Pilot yang kukagumi. Ma Papa. "Ayolah Anna. Yang lain membutuhkanmu." "Tapi Papa, kenapa harus begini? Tidak Papa! Tidak!" "Chest-la-vie. Kamu harus tabah, ma pouppet. Kalau Papa memang harus pergi bukankah Papa akan pegi ke tempat yang lebih baik? Ke sisi Allah. Prier to Dieau. Kita akan bertemu lagi, Okay?" Papa lalu mencium keningku, lama, sampai kurasakan air matanya mengalir di keningku.
"Come on, Anna dear," Mama memanggilku. Dia Lalu mematap lekat kepadaku Papa." A toute a I'huere. I'll be missing you," Lama sekali keduanya bertatapan, lalu dengan lembut Papa mencium kening Mama. Dan berkata berkali-kali. "J'etaime macherie. J'etaime. J'etaime Isabell, J'etaime Anna. J'etaime..." Lalu perlahan dilepaskannya pegangannya," Allez vous-en! Lari sejauh mungkin. Ingat pesan Papa, jaga Mamamu!"
"Soyez tranguille I will Papa, I will." Perlahan aku keluar, Mama memegangiku. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat kami. Kami bergegas. "Noubliez pas, Anna, 'Asyhaduanla ilaha....."
"Illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah..." Aku dan Mama
membalas, lalu kami pergi. Para penjahat itu mulai berkumpul. "Ingat cita-cita Papa, pouppete, F-16 burung besi kecintaan Papa. Wujudkan cita-cita Papa, Noubliez pas! J'etaime, J'etaime Isabell, J'etaime Anna!"
"J'etaime Papa! J'etaime"
"J'etaime Charles! J'etaime Mama dan aku lalu pergi berlari. Aku memimpin mengikuti arah bintang, semak-semak belukar yang melukai kakiku, tidak kuingat lagi. Pardoner Papa! Aku tidak ingat lagi ketika tiba di tempat pemblokiran polisi bagaimana kami menjelaskan kejadiannya, lalu masuk ke hutan dengan polisi. Aku tidak ingat bagaimana para biadab itu terkepung. Aku bermimpi, di suatu tempat, putih, dan halus. Papa!
"Wonderful ma pouppete. Kau berhasil. Sekarang jaga mamamu. Papa akan ke tempat yang akan berkumpul bersama lagi. N'oubliez pas! God is with whom is patient! Wujudkan cita-cita Papa. Goodbye ma pouppete! Lalu sosok Papa menghilang, pandanganku berputar, lalu aku terbangun. Wajah yang saat itu
aku lihat, Mama!
"Oh, Anna. Anna, be patient. Papa is gone. He's with Lord Now." Mama lalu
memelukku erat. "Kami berterima kasih," tiba-tiba seorang berkulit hitam
berbicara.
Wajahnya sedih sekali," Papamu telah menyelamatkan hidupku. Dia melindungiku
dari tembakan biadab-biadab itu. Papamu tidak menderita, dia pergi dengan senyum di wajahnya. Dia teus mengucap 'Allah...Allah', dan dia sempat meninggalkan pesan untukmu," Anna, ma pouppete, jaga mamamu. Ingat cita-cita Papa.
Preir to Dioer, J'etaime..." aku menangis, Mama juga. Papa kini telah pergi, tapi ke tempat yang lebih baik. Sampai aku juga kesana. Wait for me, Papa.
I'll make your dreams come true. J'etamine..
***
Papa mendapat gelar kehormatan dari pemerintah AS. Hidup Mama dan aku mendapat tunjangan, dan aku mendapat beasiswa. Aku melanjutkan ke sekolah
militer. Mama, dengan tabah, membangun kembali dirinya. Beliau mengajar sastra Perancis di universitas-universitas Portland dan Seattle. Mama juga aktif mendakwahkan Islam di berbagai tempat. Perlahan kami membangun kembali keluarga kami, grandma bahkan memaafkan mama dan memutuskan untuk pindah ke
Amerika untuk membantu Mama. Namun dengan hakus Mama menolak.
Katanya, "I can raise my own child, trust me momm."
***
Mesin pesawat berbunyi halus. Sayap F-16 yang kokoh ini membawaku terbang ke
angkasa. Hari ini, Anna Marie Fatimah Jacquet, penerbang muslimat pertama, mewujudkan cita-cita Papa. Terus membumbung tinggi ke langit yang dicintai Papa. A'toute a I'houre Papa. Sampai kita bertemu kembali....( Arie)
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.495.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Teofilus Sarjiono : Sakit Berbuah Hidayah
Saya lahir di Wonosari, Gunung Kidul, 9 Desember 1950, dengan nama Teofilus Sarjiono. Orangtua saya adalah penganut Kristen Pantekosta. Saya termasuk orang yang taat dalam menjalankan ibadah. Sepanjang masa saya menjalani agama lamaku itu kehidupan saya terjamin. Uang bukan masalah, sebab semua biaya hidup ditanggung agama saya saat itu. Semua fasilitas itu membuat saya sering lupa diri. Makan pun harus yang enak-enak. Seminggu sekali saya harus makan tongseng Amerika (makanan yang bahan dasarnya daging anjing).
Saat saya menjalani aktivitas agama lama saya kala itu, tiba-tiba saja saya jatuh sakit. Penyebabnya mungkin karena saya rakus makan daging. Badan saya membengkak dan perut membuncit. Beberapa penyakit seperti kolesterol, gula, dan ginjal, mulai menggerogoti tubuh saya. Dokter menganjurkan saya berhenti makan daging.
Tapi saya tidak menggubrisnya, hingga ginjal saya makin parah. Akhirnya, dokter menganjurkan saya untuk cuci darah.
Dari semenjak cuci darah inilah harta saya ikut “tercuci” pula. Malangnya, penyakitku tak kunjung sembuh, bahkan makin hari kian terlihat makin parah. Saya tidak bisa apa-apa saat itu.
Sekitar pukul 04.30 suatu pagi, saya mendengar suara adzan dari sebuah masjid. Dengan spontan saya menirukan lafadz “Laa ilaha ilallah “. Aneh, penyakit saya terasa hilang. Kata-kata itu saya ucapkan berulang-ulang, hingga ratusan kali. Ketika istri mengetahui bahwa saya mengucapkan kata-kata itu, dia mengingatkan,
“Mas, bacaan Laa illaha ilallah itu bacaan orang Islam. Bapak ‘kan orang Kristen, tidak baik mengucapkan kata-kata itu !”.
Saya jawab, “Biar berasal dari setan belang atau dari agama manapun akan saya ucapkan terus, karena setiap kali dibaca sakit saya berkurang !”.
“Keajaiban” itu tidak berhenti di situ. Suatu malam saya bermimpi seperti mendengar sebuah bisikan, “Pak Theo, kalau kamu ingin sembuh berobatlah kepada Bapak Abu !”. Maka saya pun berusaha mencari tahu orang yang bernama Pak Abu itu. Alhamdulillah, saya berhasil menemukannya. Beliau adalah seorang tabib beragama Islam.
Saat pertama kali bertemu, saya langsung mengatakan bahwa saya seorang Kristen yang ingin berobat. Pak Abu menjawab, “Saya ini mengobati penyakit, bukan mengobati agama. Saya tidak menolak siapa saja yang ingin berobat kemari. Insya Allah akan saya terima dengan baik.”
Setelah berdialog tentang penyakit yang saya derita, Pak Abu kemudian mengobati saya dengan cara Islam. Saya disuruh membaca Basmallah berulang-ulang, dan Pak Abu pun terus berdoa sambil memegang bagian badan saya yang sakit. Aneh, selama prosesi itu badan saya terasa sembuh sama sekali. Yang paling mengharukan, Pak Abu memberi saya obat secara gratis, karena saat itu saya tidak membawa uang.
Semenjak itulah saya mulai tertarik pada Islam. Saya mulai menghadiri pengajian di kampung, hingga rasa simpati saya pada Islam semakin besar. Akhirnya, 18 September 1993 saya mengucapkan kalimat syahadat di kampus UII Yogyakarta. Setelah itu istri dan kedua anak saya pun masuk Islam.
Setelah menjadi Muslim, saya sering diundang untuk mengisi ceramah pengajian. Saya pun aktif mengikuti kegiatan dakwah. Saya ingin menebus dosa. Jika dahulu saya banyak mengkristenkan orang Islam, sekarang saya ingin mendakwahkan Islam.
Karena sering menjadi penceramah, nama saya pun mulai dikenal. Bahkan saya pernah didaulat untuk menjadi pembicara pada sebuah tabligh akbar di Cirebon yang dihadiri sekitar 10.000 orang.
Seperti halnya teman-teman saya yang sudah masuk Islam terlebih dahulu, saya pun mengalami ujian berat, terutama dalam bidang ekonomi. Kehilangan pekerjaan, dikucilkan dari pergaulan, dicaci maki, adalah hal yang saya terima.
Saya dipecat dari pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Walaupun demikian, rasa percaya diri dan iman kepada Allah semakin tebal. Semua itu saya hadapi dengan tabah.
Setelah menghadapi berbagai kesulitan, Allah SWT membukakan pintu anugerah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Allah menitipkan sebuah rumah dan tanah kepada saya sekeluarga. Beberapa bulan lalu Allah mengundang saya dan istri untuk menunaikan ibadah haji dengan gratis. Alhamdulillah, hidup saya pun lebih dari cukup. Di balik itu semua, ada hal terindah yang saya rasakan, yaitu bertambahnya saudara dan lahirnya kedamaian hidup dalam naungan Islam. (dari : MQ/kotasantri)
untuk rekan kristen yang bimbang dengan akidah trinitasnya secepatnya jadi muallaf, saya akan ikut berdoa semoga Allah SWT membimbing dan melimpahkan hidayah kepada kita semua. dan selalu ditunjukan ke jalan yang lurus dan benar, amin....
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.480.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Saat saya menjalani aktivitas agama lama saya kala itu, tiba-tiba saja saya jatuh sakit. Penyebabnya mungkin karena saya rakus makan daging. Badan saya membengkak dan perut membuncit. Beberapa penyakit seperti kolesterol, gula, dan ginjal, mulai menggerogoti tubuh saya. Dokter menganjurkan saya berhenti makan daging.
Tapi saya tidak menggubrisnya, hingga ginjal saya makin parah. Akhirnya, dokter menganjurkan saya untuk cuci darah.
Dari semenjak cuci darah inilah harta saya ikut “tercuci” pula. Malangnya, penyakitku tak kunjung sembuh, bahkan makin hari kian terlihat makin parah. Saya tidak bisa apa-apa saat itu.
Sekitar pukul 04.30 suatu pagi, saya mendengar suara adzan dari sebuah masjid. Dengan spontan saya menirukan lafadz “Laa ilaha ilallah “. Aneh, penyakit saya terasa hilang. Kata-kata itu saya ucapkan berulang-ulang, hingga ratusan kali. Ketika istri mengetahui bahwa saya mengucapkan kata-kata itu, dia mengingatkan,
“Mas, bacaan Laa illaha ilallah itu bacaan orang Islam. Bapak ‘kan orang Kristen, tidak baik mengucapkan kata-kata itu !”.
Saya jawab, “Biar berasal dari setan belang atau dari agama manapun akan saya ucapkan terus, karena setiap kali dibaca sakit saya berkurang !”.
“Keajaiban” itu tidak berhenti di situ. Suatu malam saya bermimpi seperti mendengar sebuah bisikan, “Pak Theo, kalau kamu ingin sembuh berobatlah kepada Bapak Abu !”. Maka saya pun berusaha mencari tahu orang yang bernama Pak Abu itu. Alhamdulillah, saya berhasil menemukannya. Beliau adalah seorang tabib beragama Islam.
Saat pertama kali bertemu, saya langsung mengatakan bahwa saya seorang Kristen yang ingin berobat. Pak Abu menjawab, “Saya ini mengobati penyakit, bukan mengobati agama. Saya tidak menolak siapa saja yang ingin berobat kemari. Insya Allah akan saya terima dengan baik.”
Setelah berdialog tentang penyakit yang saya derita, Pak Abu kemudian mengobati saya dengan cara Islam. Saya disuruh membaca Basmallah berulang-ulang, dan Pak Abu pun terus berdoa sambil memegang bagian badan saya yang sakit. Aneh, selama prosesi itu badan saya terasa sembuh sama sekali. Yang paling mengharukan, Pak Abu memberi saya obat secara gratis, karena saat itu saya tidak membawa uang.
Semenjak itulah saya mulai tertarik pada Islam. Saya mulai menghadiri pengajian di kampung, hingga rasa simpati saya pada Islam semakin besar. Akhirnya, 18 September 1993 saya mengucapkan kalimat syahadat di kampus UII Yogyakarta. Setelah itu istri dan kedua anak saya pun masuk Islam.
Setelah menjadi Muslim, saya sering diundang untuk mengisi ceramah pengajian. Saya pun aktif mengikuti kegiatan dakwah. Saya ingin menebus dosa. Jika dahulu saya banyak mengkristenkan orang Islam, sekarang saya ingin mendakwahkan Islam.
Karena sering menjadi penceramah, nama saya pun mulai dikenal. Bahkan saya pernah didaulat untuk menjadi pembicara pada sebuah tabligh akbar di Cirebon yang dihadiri sekitar 10.000 orang.
Seperti halnya teman-teman saya yang sudah masuk Islam terlebih dahulu, saya pun mengalami ujian berat, terutama dalam bidang ekonomi. Kehilangan pekerjaan, dikucilkan dari pergaulan, dicaci maki, adalah hal yang saya terima.
Saya dipecat dari pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Walaupun demikian, rasa percaya diri dan iman kepada Allah semakin tebal. Semua itu saya hadapi dengan tabah.
Setelah menghadapi berbagai kesulitan, Allah SWT membukakan pintu anugerah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Allah menitipkan sebuah rumah dan tanah kepada saya sekeluarga. Beberapa bulan lalu Allah mengundang saya dan istri untuk menunaikan ibadah haji dengan gratis. Alhamdulillah, hidup saya pun lebih dari cukup. Di balik itu semua, ada hal terindah yang saya rasakan, yaitu bertambahnya saudara dan lahirnya kedamaian hidup dalam naungan Islam. (dari : MQ/kotasantri)
untuk rekan kristen yang bimbang dengan akidah trinitasnya secepatnya jadi muallaf, saya akan ikut berdoa semoga Allah SWT membimbing dan melimpahkan hidayah kepada kita semua. dan selalu ditunjukan ke jalan yang lurus dan benar, amin....
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.480.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Linda Widad Delgado : Perjalanan Panjang Memperoleh Hidayah Islam
LINDA DELGADO, adalah seorang anggota polisi berpangkat Sarjana di Arizona, Amerika Serikat. Beliau menerima hidayah Allah dan memeluk agama Islam ketika dunia digegarkan dengan isu terrorisme. Ikuti kisah beliau berikut ini dalam terjemahan bahasa malaysia.
LIMA tahun yang lalu, usia saya 52 tahun dan merupakan seorang Kristian. Saya bukannya ahli pada mana-mana gereja, tapi sepanjang hidup, saya sentiasa mencari kebenaran. Saya menghadiri banyak gereja dan belajar daripada guru-guru mereka.
Semuanya tidak lengkap dan saya menyedari tiada apa yang benar melainkan Allah. Sejak usia saya 9 tahun saya membaca Injil setiap hari. Tidak dapat dikatakan, sejak sekian tahun lamanya, kerap kali saya mencari kebenaran yang hakiki.
Bertahun-tahun lamanya sepanjang pencarian saya untuk kebenaran, saya mempelajari beberapa ajaran agama. Lebih setahun lamanya saya belajar dua kali seminggu bersama seorang paderi Katolik, tapi tidak boleh menerima kepercayaan Katolik.
Kemudian selama setahun saya mempelajari Kesaksian Jehovah dan juga tidak dapat menerima kepercayaan mereka.
Saya menghabiskan masa hampir dua tahun bersama Mormon dan masih tidak menjumpai kebenaran.
Saya pergi ke beberapa gereja Protestan, sesetengahnya selama beberapa bulan, cuba mencari jawapan pada persoalan saya.
Hati saya mengatakan Jesus bukannya Tuhan tapi adalah merupakan Nabi. Hati saya mengatakan Adam dan Hawa bertanggungjawab atas dosa mereka, bukan saya. Hati saya mengatakan saya mesti menyembah Tuhan dan tiada yang lain.
Perasaan saya mengatakan saya bertanggungjawab atas usaha baik dan jahat saya dan Tuhan sesekali tidak akan menjelma menjadi manusia untuk memberitahu bukan saya yang dipertanggungjawabkan. Dia tidak perlu hidup dan mati sebagai manusia, kerana Dia ialah Tuhan.
Begitulah kedudukan saya, penuh persoalan dan memohon doa kepada Tuhan untuk pertolongan. Saya begitu takut menghadapi maut tanpa mengetahui kebenaran. Saya berdoa dan terus berdoa.
Saya menerima jawapan daripada paderi-paderi dan mubaligh-mubaligh mengatakan, "Ini ialah satu misteri".
Saya merasakan Tuhan mahukan manusia masuk ke syurga jadi Dia tidak akan menjadikan ianya satu misteri untuk pergi ke sana, bagaimana untuk menguruskan kehidupan ini, dan bagaimana untuk mengenali Dia. Saya tahu hati saya menyatakan iaitu apa yang saya dengar selama ini tidak benar.
Saya tinggal di Arizona, Amerika Syarikat dan pada usia 52 tahun belum pernah bercakap dengan orang Islam. Saya seperti kebanyakan orang Barat, telah membaca banyak melalui media mengenai Islam sebagai agama fanatik dan teroris, jadi saya tidak pernah mengkaji apa-apa buku atau maklumat mengenai Islam. Saya tidak tahu apa-apa mengenai agama tersebut.
PENEMUAN SAYA
Empat tahun yang lalu, saya bersara setelah berkhidmat selama 24 tahun sebagai pegawai polis. Suami saya juga pesara polis. Setahun sebelum kami bersara, saya merupakan seorang sarjan polis dan penyelia. Anggota polis seluruh dunia mempunyai ikatan yang sama, kita panggil sebagai Persaudaraan Penguat kuasa Undang-Undang. Kita sentiasa membantu antara satu sama lain tidak kira polis dari jabatan mana atau negara mana sekalipun.
Tahun tersebut saya menerima satu risalah yang memerlukan bantuan daripada sekumpulan anggota polis dari Arab Saudi yang datang ke Amerika Syarikat untuk belajar bahasa Inggeris di universiti berdekatan dan mengadakan latihan di akademi polis di bandar tempat tinggal saya.
Anggota polis dari Arab ini sedang mencari rumah untuk mereka tinggal bersama keluarga angkat bertujuan untuk mereka mempelajari budaya Amerika dan mempraktikkan bahasa Inggeris yang mereka pelajari.
Anak lelaki saya membesarkan cucu perempuan saya sebagai bapa tunggal. Saya membantunya mencari rumah berhampiran rumah kami agar kami dapat menjaga cucu. Saya berbincang dengan suami saya dan kami bersetuju ada baiknya kita membantu anggota polis tadi. Ianya juga merupakan satu peluang untuk cucu saya mempelajari mengenai orang daripada negara lain. Saya diberitahu anak-anak muda tadi beragama Islam dan saya begitu tertanya-tanya.
Seorang jurubahasa dari Arizona State University membawa seorang pemuda Arab bernama Abdul untuk bertemu dengan kami. Kami menunjukkan kepada pemuda tadi bilik tidur dan bilik mandi yang dia akan guna apabila tinggal bersama kami. Saya terus sukakan Abdul. Perwatakannya yang baik dan menghormati orang memikat hati kami!
Kemudian Fahd dibawa ke rumah kami. Dia lebih muda dan pemalu, tapi seorang anak muda yang ceria. Saya menjadi tutor mereka dan kami berkongsi banyak pengalaman kerja kepolisian, mengenai Amerika Syarikat dan Arab Saudi, Islam dan lain-lain.
Saya memerhatikan bagaimana mereka saling bantu membantu antara satu sama lain dan juga 16 anggota polis Arab Saudi yang lain yang datang mempelajari bahasa Inggeris.
Sepanjang tahun mereka di sini, saya menghormati Fahd dan Abdul yang tidak membiarkan budaya Amerika mempengaruhi mereka. Mereka ke masjid setiap hari Jumaat, menunaikan solat pada setiap waktu walaupun mereka keletihan, dan sentiasa berhati-hati apa yang mereka makan dan seterusnya. Mereka menunjukkan kepada saya masakan tradisional mereka dan mereka membawa saya ke pasar dan restoran Arab. Mereka begitu baik dengan cucu saya. Mereka sentiasa memberi cucu saya hadiah, berjenaka dan bersahabat.
Mereka melayan saya dan suami saya dengan penuh hormat. Setiap hari mereka akan bertanya sekiranya mereka perlu membantu saya membeli barangan di pasar sebelum mereka pergi belajar bersama anggota polis Arab yang lain.
Saya mengajar mereka bagaimana menggunakan komputer, dan saya melanggani akhbar Arab online dan mula membuat carian di internet untuk mempelajari lebih mendalam mengenai mereka, budaya mereka dan agama mereka. Saya tidak mahu melakukan perkara yang boleh menyinggung perasaan mereka.
Satu hari, saya menanyakan mereka jika mereka ada Quran lebih. Saya hendak membaca apa yang diperkatakan didalamnya. Mereka membuat permohonan daripada kedutaan mereka di Washington DC dan mendapatkan saya Quran terjemahan bahasa Inggeris, kaset-kaset dan risalah-risalah. Atas kehendak saya, kami mula berbincang mengenai Islam (mereka terpaksa bercakap bahasa Inggeris dan ini menjadi fokus sessi pembelajaran).
Saya mula menyayangi anak muda ini, dan mereka memberitahu saya bahawa sayalah orang bukan Islam yang pertama mereka mengajarkan Islam!
Setelah setahun, mereka menamatkan pengajian mereka serta latihan di akademi polis. Saya telah dapat membantu mereka dalam pengajian kepolisian, kerana saya pernah menjadi jurulatih polis.
Saya mengajak ramai kawan-kawan polis mereka ke rumah saya untuk menyiapkan projek universiti dan mempraktikkan bahasa Inggeris. Seorang daripada mereka membawa isteri ke Amerika, dan saya diajak ke rumah mereka. Mereka begitu baik dan saya berbicara dengan isterinya mengenai pakaian Islam, wudhu dan perkara lain.
Seminggu sebelum "anak-anak angkat" saya pulang ke Arab Saudi, saya merancang untuk mengadakan jamuan makan malam dengan hidangan tradisional mereka (saya membeli separuh daripadanya kerana tidak tahu memasaknya). Saya membeli hijab dan baya (gaun panjang). Saya hendak mereka pulang mengingati saya memakai pakaian wanita Islam yang sempurna.
Mengucap dua kalimah syahadah
Sebelum kami mula hendak makan, saya mengucapkan dua kalimah syahadah. Anak-anak muda tadi menangis dan ketawa dan ia sungguh istimewa sekali. Saya percaya dalam hati saya, Allah telah menghantar anak-anak muda ini sebagai membalas jawapan saya dalam doa-doa saya selama ini. Saya percaya Allah telah memilih saya untuk melihat kebenaran pada cahaya Islam. Saya percaya Allah telah menghantar Islam ke pintu rumah saya. Saya memujiNya atas sifat keampunan, penyayang dan pengasihNya kepada saya.
PENGEMBARAAN SAYA DALAM ISLAM
Anak-anak angkat Arab saya pulang ke kampung halaman mereka seminggu selepas saya memeluk agama Islam. Saya amat rindukan mereka, tapi masih terasa gembira. Saya telah menghadiri masjid berdekatan tempat tinggal saya sebaik sahaja saya memeluk agama Islam dan mendaftarkan diri saya sebagai seorang Islam. Saya menjangkakan sambutan yang baik daripada masyarakat Islam tempatan. Saya menyangkakan semua orang Islam adalah seperti anak-anak angkat saya yang telah bersama saya setahun yang lalu.
Keluarga saya masih dalam keadaan terperanjat! Mereka menyangkakan saya akan berpegang pada agama baru ini hanya untuk sementara waktu, menjadi tidak ketentuan, dan beralih ke agama lain, seperti mana yang saya lakukan sebelum ini. Mereka begitu hairan dengan perubahan pada kehidupan harian saya. Suami saya seorang yang serba boleh, jadi dia membeli makanan halal apabila saya katakan kita akan makan makanan halal dan menjauhkan makanan haram, dia setuju.
Perubahan seterusnya ialah mengalihkan semua gambar manusia dan gambar haiwan daripada semua bilik di rumah kami. Satu hari apabila suami saya pulang kerja dia mendapati gambar-gambar yang digantung di dinding sebelum ini, telah disusun dalam album. Dia hanya melihat tanpa sebarang komen.
Seterusnya saya menulis surat pada keluarga saya yang bukan Islam dan memberitahu mereka keadaan saya dan menjelaskan bagaimana ianya tidak akan mengubah hubungan kekeluargaan. Saya menerangkan sedikit asas Islam. Keluarga saya tetap dengan pendirian mereka, dan saya meneruskan usaha belajar sembahyang dan membaca Quran. Saya menjadi aktif dalam kumpulan wanita Islam melalui internet dan ini memudahkan pembelajaran saya.
Saya juga menghadiri kelas asas Islam di masjid apabila saya tidak bekerja. Saya masih seorang sarjan polis ketika itu dan ianya adalah sukar – sebenarya mustahil untuk bertudung. Ini begitu menggusarkan saya dan amat saya bimbang. Hanya lapan bulan lagi dan saya boleh bersara, jadi saya membuat permohonan, lalu dibenarkan untuk bekerja tiga hari seminggu untuk saya membuat perancangan dan projek penyelidikan.
Enam bulan berlalu, muslimah di masjid tidak begitu mengendahkan saya. Saya merasa kecewa. Saya terasa seperti orang luar. Saya jadi keliru. Saya cuba bergiat aktif dalam komuniti bersama segelintir muslimah yang baik dengan saya. Saya tercari-cari mereka yang baik hati, setia kawan dan sikap yang baik yang ditelah ditunjukkan oleh anak-anak muda polis Arab pada setiap hari.
Saya melakukan banyak kesilapan di masjid, seperti bercakap di tempat sembahyang. Saya pergi ke majlis komuniti dan makan dengan menggunakan tangan kiri; saya menggunakan ‘nail polish’ dan telah dimarahi. Saya mengambil wudhu dengan cara yang salah dan dipandang serong. Saya menjadi lemah semangat.
Pada satu hari saya menerima bungkusan daripada kawan muslimah saya yang saya kenal melalui internet. Dalam bungkunsan tersebut terdapat beberapa abayas, hijabs, stokin sutera dan sekeping nota yang mengalu-alukan kemasukan saya ke dalam agama Islam. Wanita ini daripada Kuwait.
Seterusnya seorang muslimah yang baik hati mengirimkan telekung dan sejadah yang dia buat sendiri. Wanita baik ini tinggal di Arab Saudi.
Saya menerima e-mel yang saya sentiasa ingat apabila saya terasa seperti orang asing. Nota dalam e-mel tersebut berbunyi : " Saya merasa gembira anda memeluk agama Islam, sebelum saya menemui ramai orang Islam". Ini bukanlah penghinaan. Ianya adalah peringatan iaitu Islam itu sempurna dan kita sebenarnya orang Islam yang tidak sempurna. Sepertimana diri saya sendiri yang mempunyai kelemahan, begitulah juga saudara-saudara Islam saya yang lain.
Saya juga mula memahami apa yang saya percaya sebagai anugerah Allah pada umat Islam : iaitu persaudaraan dalam Islam.
Empat tahun berlalu, kehidupan saya berubah dengan begitu ketara. Keluarga saya telah menerima dengan rasa baik dan toleran yang saya adalah seorang Islam dan akan sentiasa berada dalam keIslaman. Segala puji bagi Allah yang telah menguji saya yang memeluk Islam dan berhadapan dengan keluarga yang berusaha untuk mengeluarkan saya daripada Islam.
Beransur-ansur, saya mendapat kawan setempat dan melalui ruangan siber, ramai kawan-kawan muslimah saya telah menjadi keluarga Islam saya yang membantu, mengasihi dan menjalinkan persahabatan. Penghujung tahun pertama saya memeluk Islam, saya telah jatuh sakit dengan penyakit yang membahayakan. Saya berpegang teguh pada tali Islam dan bersyukur dengan pemberian teh biji hitam dan air zam-zam serta doa daripada sahabat saya serata dunia.
Setelah keadaan kesihatan saya bertambah teruk saya menjadi lemah. Saya terpaksa memberhentikan kerja komuniti dan terpisah daripada komuniti Islam setempat. Saya berusaha keras dalam solat saya, menghadapi kesukaran untuk menyebut perkataan Arab, tapi tidak pernah putus asa.
Guru yang mengajar Islam membuat beberapa kaset, dan sahabat saya membawanya ke rumah saya. Setelah dua tahun, saya telah belajar empat surah daripada Quran. Ini mungkin nampak sedikit pada kebanyakan orang Islam, tapi untuk saya ianya adalah satu pencapaian yang besar. Saya belajar memahami ayat-ayat yang diucapkan didalam solat, perjuangan selama dua tahun.
Tahun ketiga keIslaman saya, saya terkena serangan sakit jantung dan terpaksa melalui pembedahan jantung. Ianya waktu yang begitu sedih untuk saya, kerana saya tahu saya tidak akan dapat menyentuh dahi saya ke lantai ketika solat, tapi akan selamanya terpaksa duduk atas kerusi untuk menunaikan solat. Pada masa inilah saya memahami kemudahan yang Allah berikan dalam ibadah. Bersembahyang secara duduk diatas kerusi adalah dibolehkan; tidak berpuasa apabila keuzuran adalah dibolehkan. Saya tidak merasakan keIslaman saya kurang apabila saya melakukannya dalam keadaan yang demikian.
Setelah menziarahi beberapa buah masjid, ianya adalah seperti Mini Bangsa Bangsa Bersatu, saya dapat melihat beberapa kumpulan kecil di masjid yang terhasil mengikut bahasa dan budaya bukannya disebabkan oleh suka atau tidak suka pada seseorang. Saya merasa senang walaupun terdapat banyak perbedaan, saya sentiasa boleh mendapatkan ucapan "Assalamualaikum" dan senyuman.
Kemudian, saya mula berkenalan dengan mereka yang memeluk Islam seperti saya. Terdapat banyak persamaan antara kita – kami menghadapi ujian yang sama, seperti ahli keluarga yang bukan Islam, kesukaran menyebut perkataan Arab, terasa kesunyian pada hari perayaan Islam, dan tidak mempunyai ahli keluarga untuk berbuka pada bulan Ramadhan.
Adakalanya keIslaman kami akan mengakibatkan sahabat lama kita yang tidak boleh menerima perubahan pada diri kita, atau disebabkan oleh aktiviti yang kita tidak dapat bersama dengan mereka yang bukan Islam seperti menari serta pergaulan bebas lelaki dan perempuan.
Apabila saya tidak berupaya melakukan khidmat komuniti, saya berusaha dengan cara lain untuk kebaikan komuniti Islam. Saya berterusan memohon pertolongan Allah dalam hal ini.
Pada satu hari, cucu saya mencadangkan agar saya menulis buku mengenai anak-anak angkat saya daripada Arab Saudi, Islam dan pengalaman keluarga saya dengan Islam. Saya membuat keputusan untuk menulis buku dan termasuk juga cerita mengenai sekumpulan gadis, Islam dan bukan Islam. Cerita tersebut termasuklah masalah yang dihadapai oleh anak gadis di sekolah dan di rumah dan saya akan menggunakan pengetahuan saya dalam Islam sebagai panduan untuk karektor dalam buku tersebut.
Saya mula menulis beberapa siri buku yang dipanggil "Islamic Rose Books". Saya membentuk kumpulan penulis wanita Muslim dan penulis aspirasi dan seterusnya terhasillah persatuan Islamic Writers Alliance (Persekutuan Penulis Islam). Persekutuan ini ialah organisasi antarabangsa yang memberi sokongan untuk penulis wanita Islam dan penulis aspirasi. Matlamat utama kami ialah untuk mempromosi hasil kerja kami kepada para pembaca dan penerbit.
Saya juga membuat keputusan untuk membantu dua Tabung Makanan Islam dengan cara membantu mereka membuat pangkalan data yang digunakan untuk tujuan inventori, pelanggan, dan untuk menghasilkan lapuran yang diperlukan untuk tujuan penajaan serta pembiayaan.
Saya juga membuat keputusan iaitu saya akan membelanjakan sebahagian besar keuntungan hasil jualan buku tersebut untuk membeli buku dan ditempatkan di perpustakaan kanak-kanak. Saya dapati banyak perpustakaan yang mempunyai banyak ruangan kosong ditempat buku kanak-kanak Islam.
Banyak lagi yang saya perlu pelajari mengenai Islam. Saya tidak pernah jemu membaca Quran dan saya gemar membaca kisah-kisah mengenai tokoh-tokoh Islam yang unggul.
Apabila saya merasa ragu-ragu dalam sesuatu perkara, saya akan merujuk pada sunnah Rasul saw. Saya akan melihat bagaimana Baginda saw akan bertindak dalam sesuatu situasi dan saya akan menjadikannya sebagai panduan.
Pengembaraan saya dalam Islam akan berterusan, dan saya sentiasa mengharapkan pengalaman-pengalaman baru. Saya bersyukur pada Allah atas sifat keampunanNya dan sifat penyayangNya - zs
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.465.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
LIMA tahun yang lalu, usia saya 52 tahun dan merupakan seorang Kristian. Saya bukannya ahli pada mana-mana gereja, tapi sepanjang hidup, saya sentiasa mencari kebenaran. Saya menghadiri banyak gereja dan belajar daripada guru-guru mereka.
Semuanya tidak lengkap dan saya menyedari tiada apa yang benar melainkan Allah. Sejak usia saya 9 tahun saya membaca Injil setiap hari. Tidak dapat dikatakan, sejak sekian tahun lamanya, kerap kali saya mencari kebenaran yang hakiki.
Bertahun-tahun lamanya sepanjang pencarian saya untuk kebenaran, saya mempelajari beberapa ajaran agama. Lebih setahun lamanya saya belajar dua kali seminggu bersama seorang paderi Katolik, tapi tidak boleh menerima kepercayaan Katolik.
Kemudian selama setahun saya mempelajari Kesaksian Jehovah dan juga tidak dapat menerima kepercayaan mereka.
Saya menghabiskan masa hampir dua tahun bersama Mormon dan masih tidak menjumpai kebenaran.
Saya pergi ke beberapa gereja Protestan, sesetengahnya selama beberapa bulan, cuba mencari jawapan pada persoalan saya.
Hati saya mengatakan Jesus bukannya Tuhan tapi adalah merupakan Nabi. Hati saya mengatakan Adam dan Hawa bertanggungjawab atas dosa mereka, bukan saya. Hati saya mengatakan saya mesti menyembah Tuhan dan tiada yang lain.
Perasaan saya mengatakan saya bertanggungjawab atas usaha baik dan jahat saya dan Tuhan sesekali tidak akan menjelma menjadi manusia untuk memberitahu bukan saya yang dipertanggungjawabkan. Dia tidak perlu hidup dan mati sebagai manusia, kerana Dia ialah Tuhan.
Begitulah kedudukan saya, penuh persoalan dan memohon doa kepada Tuhan untuk pertolongan. Saya begitu takut menghadapi maut tanpa mengetahui kebenaran. Saya berdoa dan terus berdoa.
Saya menerima jawapan daripada paderi-paderi dan mubaligh-mubaligh mengatakan, "Ini ialah satu misteri".
Saya merasakan Tuhan mahukan manusia masuk ke syurga jadi Dia tidak akan menjadikan ianya satu misteri untuk pergi ke sana, bagaimana untuk menguruskan kehidupan ini, dan bagaimana untuk mengenali Dia. Saya tahu hati saya menyatakan iaitu apa yang saya dengar selama ini tidak benar.
Saya tinggal di Arizona, Amerika Syarikat dan pada usia 52 tahun belum pernah bercakap dengan orang Islam. Saya seperti kebanyakan orang Barat, telah membaca banyak melalui media mengenai Islam sebagai agama fanatik dan teroris, jadi saya tidak pernah mengkaji apa-apa buku atau maklumat mengenai Islam. Saya tidak tahu apa-apa mengenai agama tersebut.
PENEMUAN SAYA
Empat tahun yang lalu, saya bersara setelah berkhidmat selama 24 tahun sebagai pegawai polis. Suami saya juga pesara polis. Setahun sebelum kami bersara, saya merupakan seorang sarjan polis dan penyelia. Anggota polis seluruh dunia mempunyai ikatan yang sama, kita panggil sebagai Persaudaraan Penguat kuasa Undang-Undang. Kita sentiasa membantu antara satu sama lain tidak kira polis dari jabatan mana atau negara mana sekalipun.
Tahun tersebut saya menerima satu risalah yang memerlukan bantuan daripada sekumpulan anggota polis dari Arab Saudi yang datang ke Amerika Syarikat untuk belajar bahasa Inggeris di universiti berdekatan dan mengadakan latihan di akademi polis di bandar tempat tinggal saya.
Anggota polis dari Arab ini sedang mencari rumah untuk mereka tinggal bersama keluarga angkat bertujuan untuk mereka mempelajari budaya Amerika dan mempraktikkan bahasa Inggeris yang mereka pelajari.
Anak lelaki saya membesarkan cucu perempuan saya sebagai bapa tunggal. Saya membantunya mencari rumah berhampiran rumah kami agar kami dapat menjaga cucu. Saya berbincang dengan suami saya dan kami bersetuju ada baiknya kita membantu anggota polis tadi. Ianya juga merupakan satu peluang untuk cucu saya mempelajari mengenai orang daripada negara lain. Saya diberitahu anak-anak muda tadi beragama Islam dan saya begitu tertanya-tanya.
Seorang jurubahasa dari Arizona State University membawa seorang pemuda Arab bernama Abdul untuk bertemu dengan kami. Kami menunjukkan kepada pemuda tadi bilik tidur dan bilik mandi yang dia akan guna apabila tinggal bersama kami. Saya terus sukakan Abdul. Perwatakannya yang baik dan menghormati orang memikat hati kami!
Kemudian Fahd dibawa ke rumah kami. Dia lebih muda dan pemalu, tapi seorang anak muda yang ceria. Saya menjadi tutor mereka dan kami berkongsi banyak pengalaman kerja kepolisian, mengenai Amerika Syarikat dan Arab Saudi, Islam dan lain-lain.
Saya memerhatikan bagaimana mereka saling bantu membantu antara satu sama lain dan juga 16 anggota polis Arab Saudi yang lain yang datang mempelajari bahasa Inggeris.
Sepanjang tahun mereka di sini, saya menghormati Fahd dan Abdul yang tidak membiarkan budaya Amerika mempengaruhi mereka. Mereka ke masjid setiap hari Jumaat, menunaikan solat pada setiap waktu walaupun mereka keletihan, dan sentiasa berhati-hati apa yang mereka makan dan seterusnya. Mereka menunjukkan kepada saya masakan tradisional mereka dan mereka membawa saya ke pasar dan restoran Arab. Mereka begitu baik dengan cucu saya. Mereka sentiasa memberi cucu saya hadiah, berjenaka dan bersahabat.
Mereka melayan saya dan suami saya dengan penuh hormat. Setiap hari mereka akan bertanya sekiranya mereka perlu membantu saya membeli barangan di pasar sebelum mereka pergi belajar bersama anggota polis Arab yang lain.
Saya mengajar mereka bagaimana menggunakan komputer, dan saya melanggani akhbar Arab online dan mula membuat carian di internet untuk mempelajari lebih mendalam mengenai mereka, budaya mereka dan agama mereka. Saya tidak mahu melakukan perkara yang boleh menyinggung perasaan mereka.
Satu hari, saya menanyakan mereka jika mereka ada Quran lebih. Saya hendak membaca apa yang diperkatakan didalamnya. Mereka membuat permohonan daripada kedutaan mereka di Washington DC dan mendapatkan saya Quran terjemahan bahasa Inggeris, kaset-kaset dan risalah-risalah. Atas kehendak saya, kami mula berbincang mengenai Islam (mereka terpaksa bercakap bahasa Inggeris dan ini menjadi fokus sessi pembelajaran).
Saya mula menyayangi anak muda ini, dan mereka memberitahu saya bahawa sayalah orang bukan Islam yang pertama mereka mengajarkan Islam!
Setelah setahun, mereka menamatkan pengajian mereka serta latihan di akademi polis. Saya telah dapat membantu mereka dalam pengajian kepolisian, kerana saya pernah menjadi jurulatih polis.
Saya mengajak ramai kawan-kawan polis mereka ke rumah saya untuk menyiapkan projek universiti dan mempraktikkan bahasa Inggeris. Seorang daripada mereka membawa isteri ke Amerika, dan saya diajak ke rumah mereka. Mereka begitu baik dan saya berbicara dengan isterinya mengenai pakaian Islam, wudhu dan perkara lain.
Seminggu sebelum "anak-anak angkat" saya pulang ke Arab Saudi, saya merancang untuk mengadakan jamuan makan malam dengan hidangan tradisional mereka (saya membeli separuh daripadanya kerana tidak tahu memasaknya). Saya membeli hijab dan baya (gaun panjang). Saya hendak mereka pulang mengingati saya memakai pakaian wanita Islam yang sempurna.
Mengucap dua kalimah syahadah
Sebelum kami mula hendak makan, saya mengucapkan dua kalimah syahadah. Anak-anak muda tadi menangis dan ketawa dan ia sungguh istimewa sekali. Saya percaya dalam hati saya, Allah telah menghantar anak-anak muda ini sebagai membalas jawapan saya dalam doa-doa saya selama ini. Saya percaya Allah telah memilih saya untuk melihat kebenaran pada cahaya Islam. Saya percaya Allah telah menghantar Islam ke pintu rumah saya. Saya memujiNya atas sifat keampunan, penyayang dan pengasihNya kepada saya.
PENGEMBARAAN SAYA DALAM ISLAM
Anak-anak angkat Arab saya pulang ke kampung halaman mereka seminggu selepas saya memeluk agama Islam. Saya amat rindukan mereka, tapi masih terasa gembira. Saya telah menghadiri masjid berdekatan tempat tinggal saya sebaik sahaja saya memeluk agama Islam dan mendaftarkan diri saya sebagai seorang Islam. Saya menjangkakan sambutan yang baik daripada masyarakat Islam tempatan. Saya menyangkakan semua orang Islam adalah seperti anak-anak angkat saya yang telah bersama saya setahun yang lalu.
Keluarga saya masih dalam keadaan terperanjat! Mereka menyangkakan saya akan berpegang pada agama baru ini hanya untuk sementara waktu, menjadi tidak ketentuan, dan beralih ke agama lain, seperti mana yang saya lakukan sebelum ini. Mereka begitu hairan dengan perubahan pada kehidupan harian saya. Suami saya seorang yang serba boleh, jadi dia membeli makanan halal apabila saya katakan kita akan makan makanan halal dan menjauhkan makanan haram, dia setuju.
Perubahan seterusnya ialah mengalihkan semua gambar manusia dan gambar haiwan daripada semua bilik di rumah kami. Satu hari apabila suami saya pulang kerja dia mendapati gambar-gambar yang digantung di dinding sebelum ini, telah disusun dalam album. Dia hanya melihat tanpa sebarang komen.
Seterusnya saya menulis surat pada keluarga saya yang bukan Islam dan memberitahu mereka keadaan saya dan menjelaskan bagaimana ianya tidak akan mengubah hubungan kekeluargaan. Saya menerangkan sedikit asas Islam. Keluarga saya tetap dengan pendirian mereka, dan saya meneruskan usaha belajar sembahyang dan membaca Quran. Saya menjadi aktif dalam kumpulan wanita Islam melalui internet dan ini memudahkan pembelajaran saya.
Saya juga menghadiri kelas asas Islam di masjid apabila saya tidak bekerja. Saya masih seorang sarjan polis ketika itu dan ianya adalah sukar – sebenarya mustahil untuk bertudung. Ini begitu menggusarkan saya dan amat saya bimbang. Hanya lapan bulan lagi dan saya boleh bersara, jadi saya membuat permohonan, lalu dibenarkan untuk bekerja tiga hari seminggu untuk saya membuat perancangan dan projek penyelidikan.
Enam bulan berlalu, muslimah di masjid tidak begitu mengendahkan saya. Saya merasa kecewa. Saya terasa seperti orang luar. Saya jadi keliru. Saya cuba bergiat aktif dalam komuniti bersama segelintir muslimah yang baik dengan saya. Saya tercari-cari mereka yang baik hati, setia kawan dan sikap yang baik yang ditelah ditunjukkan oleh anak-anak muda polis Arab pada setiap hari.
Saya melakukan banyak kesilapan di masjid, seperti bercakap di tempat sembahyang. Saya pergi ke majlis komuniti dan makan dengan menggunakan tangan kiri; saya menggunakan ‘nail polish’ dan telah dimarahi. Saya mengambil wudhu dengan cara yang salah dan dipandang serong. Saya menjadi lemah semangat.
Pada satu hari saya menerima bungkusan daripada kawan muslimah saya yang saya kenal melalui internet. Dalam bungkunsan tersebut terdapat beberapa abayas, hijabs, stokin sutera dan sekeping nota yang mengalu-alukan kemasukan saya ke dalam agama Islam. Wanita ini daripada Kuwait.
Seterusnya seorang muslimah yang baik hati mengirimkan telekung dan sejadah yang dia buat sendiri. Wanita baik ini tinggal di Arab Saudi.
Saya menerima e-mel yang saya sentiasa ingat apabila saya terasa seperti orang asing. Nota dalam e-mel tersebut berbunyi : " Saya merasa gembira anda memeluk agama Islam, sebelum saya menemui ramai orang Islam". Ini bukanlah penghinaan. Ianya adalah peringatan iaitu Islam itu sempurna dan kita sebenarnya orang Islam yang tidak sempurna. Sepertimana diri saya sendiri yang mempunyai kelemahan, begitulah juga saudara-saudara Islam saya yang lain.
Saya juga mula memahami apa yang saya percaya sebagai anugerah Allah pada umat Islam : iaitu persaudaraan dalam Islam.
Empat tahun berlalu, kehidupan saya berubah dengan begitu ketara. Keluarga saya telah menerima dengan rasa baik dan toleran yang saya adalah seorang Islam dan akan sentiasa berada dalam keIslaman. Segala puji bagi Allah yang telah menguji saya yang memeluk Islam dan berhadapan dengan keluarga yang berusaha untuk mengeluarkan saya daripada Islam.
Beransur-ansur, saya mendapat kawan setempat dan melalui ruangan siber, ramai kawan-kawan muslimah saya telah menjadi keluarga Islam saya yang membantu, mengasihi dan menjalinkan persahabatan. Penghujung tahun pertama saya memeluk Islam, saya telah jatuh sakit dengan penyakit yang membahayakan. Saya berpegang teguh pada tali Islam dan bersyukur dengan pemberian teh biji hitam dan air zam-zam serta doa daripada sahabat saya serata dunia.
Setelah keadaan kesihatan saya bertambah teruk saya menjadi lemah. Saya terpaksa memberhentikan kerja komuniti dan terpisah daripada komuniti Islam setempat. Saya berusaha keras dalam solat saya, menghadapi kesukaran untuk menyebut perkataan Arab, tapi tidak pernah putus asa.
Guru yang mengajar Islam membuat beberapa kaset, dan sahabat saya membawanya ke rumah saya. Setelah dua tahun, saya telah belajar empat surah daripada Quran. Ini mungkin nampak sedikit pada kebanyakan orang Islam, tapi untuk saya ianya adalah satu pencapaian yang besar. Saya belajar memahami ayat-ayat yang diucapkan didalam solat, perjuangan selama dua tahun.
Tahun ketiga keIslaman saya, saya terkena serangan sakit jantung dan terpaksa melalui pembedahan jantung. Ianya waktu yang begitu sedih untuk saya, kerana saya tahu saya tidak akan dapat menyentuh dahi saya ke lantai ketika solat, tapi akan selamanya terpaksa duduk atas kerusi untuk menunaikan solat. Pada masa inilah saya memahami kemudahan yang Allah berikan dalam ibadah. Bersembahyang secara duduk diatas kerusi adalah dibolehkan; tidak berpuasa apabila keuzuran adalah dibolehkan. Saya tidak merasakan keIslaman saya kurang apabila saya melakukannya dalam keadaan yang demikian.
Setelah menziarahi beberapa buah masjid, ianya adalah seperti Mini Bangsa Bangsa Bersatu, saya dapat melihat beberapa kumpulan kecil di masjid yang terhasil mengikut bahasa dan budaya bukannya disebabkan oleh suka atau tidak suka pada seseorang. Saya merasa senang walaupun terdapat banyak perbedaan, saya sentiasa boleh mendapatkan ucapan "Assalamualaikum" dan senyuman.
Kemudian, saya mula berkenalan dengan mereka yang memeluk Islam seperti saya. Terdapat banyak persamaan antara kita – kami menghadapi ujian yang sama, seperti ahli keluarga yang bukan Islam, kesukaran menyebut perkataan Arab, terasa kesunyian pada hari perayaan Islam, dan tidak mempunyai ahli keluarga untuk berbuka pada bulan Ramadhan.
Adakalanya keIslaman kami akan mengakibatkan sahabat lama kita yang tidak boleh menerima perubahan pada diri kita, atau disebabkan oleh aktiviti yang kita tidak dapat bersama dengan mereka yang bukan Islam seperti menari serta pergaulan bebas lelaki dan perempuan.
Apabila saya tidak berupaya melakukan khidmat komuniti, saya berusaha dengan cara lain untuk kebaikan komuniti Islam. Saya berterusan memohon pertolongan Allah dalam hal ini.
Pada satu hari, cucu saya mencadangkan agar saya menulis buku mengenai anak-anak angkat saya daripada Arab Saudi, Islam dan pengalaman keluarga saya dengan Islam. Saya membuat keputusan untuk menulis buku dan termasuk juga cerita mengenai sekumpulan gadis, Islam dan bukan Islam. Cerita tersebut termasuklah masalah yang dihadapai oleh anak gadis di sekolah dan di rumah dan saya akan menggunakan pengetahuan saya dalam Islam sebagai panduan untuk karektor dalam buku tersebut.
Saya mula menulis beberapa siri buku yang dipanggil "Islamic Rose Books". Saya membentuk kumpulan penulis wanita Muslim dan penulis aspirasi dan seterusnya terhasillah persatuan Islamic Writers Alliance (Persekutuan Penulis Islam). Persekutuan ini ialah organisasi antarabangsa yang memberi sokongan untuk penulis wanita Islam dan penulis aspirasi. Matlamat utama kami ialah untuk mempromosi hasil kerja kami kepada para pembaca dan penerbit.
Saya juga membuat keputusan untuk membantu dua Tabung Makanan Islam dengan cara membantu mereka membuat pangkalan data yang digunakan untuk tujuan inventori, pelanggan, dan untuk menghasilkan lapuran yang diperlukan untuk tujuan penajaan serta pembiayaan.
Saya juga membuat keputusan iaitu saya akan membelanjakan sebahagian besar keuntungan hasil jualan buku tersebut untuk membeli buku dan ditempatkan di perpustakaan kanak-kanak. Saya dapati banyak perpustakaan yang mempunyai banyak ruangan kosong ditempat buku kanak-kanak Islam.
Banyak lagi yang saya perlu pelajari mengenai Islam. Saya tidak pernah jemu membaca Quran dan saya gemar membaca kisah-kisah mengenai tokoh-tokoh Islam yang unggul.
Apabila saya merasa ragu-ragu dalam sesuatu perkara, saya akan merujuk pada sunnah Rasul saw. Saya akan melihat bagaimana Baginda saw akan bertindak dalam sesuatu situasi dan saya akan menjadikannya sebagai panduan.
Pengembaraan saya dalam Islam akan berterusan, dan saya sentiasa mengharapkan pengalaman-pengalaman baru. Saya bersyukur pada Allah atas sifat keampunanNya dan sifat penyayangNya - zs
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.465.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Langganan:
Postingan (Atom)