"Mengapa sejak lahir diriku sudah di baptis?" Kalimat ini bagi seorang remaja bernama Irawan Budi Cahyono selalu menjadi kegelisahan dan ingin sekali mengetahui jawabannya, sementara Maryati sebagai ibu yang telah melahirkannya tak pernah memberikan jawaban kepastian.
Mengapa anak lelakinya yang berusia 17 tahun itu dibaptis? Allah SWT menciptakan manusia dimuka bumi penuh dengan variasi kehidupan, baik itu kisah dan cerita. Kehidupan yang layak, tercukupi dan jauh dari penderitaan, semua manusia memimpikan harapan itu. Tak terkecuali pada diri Budi, nama panggilan dari Irawan Budi Cahyono pria asal Lumajang, Jawa Timur.
Remaja ini bersama orang tuanya hidup selalu dalam perantauan dengan berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain hanya sekedar untuk mempertahankan hidup. Pada tahun 2000, mereka merantau ke Palembang, Sumatera Selatan. Namun di Palembang tidak begitu lama, karena tidak cocok dengan kondisi perantauan dan akhirnya Suripto, ayah dari Budi, bersama dengan keluarganya berpindah lagi ke Lumajang.
Di Lumajang, Suripto hanya berprofesi sebagai pengayuh becak, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa. Keluarga Suripto di karuniai dengan 4 orang anak. Hanya Budi satu-satunya anak yang beragama Kristen, sedangkan 3 anak yang lain beragama Islam. Entah mengapa Budi berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain.
Menurut Budi, dahulu kedua orang tuanya beragama Islam, tapi ia tidak tahu apa sebab kedua orang tuanya pindah ke agama Kristen Protestan. Sejak kecil Budi telah terbiasa dengan ajaran-ajaran nasrani dan sering melakukan kebaktian dihari minggu. Rutinitas kegiatan tersebut dilakukannya hingga ia beranjak remaja.
Pada usia remaja, Budi tidak seriang dan seceria remaja seusianya, sebab dengan usia remajanya, Budi sudah bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga pada seorang majikan beragama Katholik. Majikan itulah yang membiayai kehidupan dan menyekolahkan Budi di SMPK Santo Paulus Lumajang, sebuah Sekolah Menengah milik yayasan Katholik.
Di sekolah itu Budi sering mendapatkan ajaran-ajaran agama Katholik. Pada saat jelas 3 SMP, majikannya menyuruhnya untuk memeluk agama Katholik. Akhirnya Budi juga masuk agama Katholik dan meninggalkan agama Kristen Protestan.
Memeluk agama Katholik, kata Budi, bukan merupakan pilihannya, sebab semenjak ia masuk di Sekolah Menengah itu, hati kecilnya selalu bertanya-tanya: "Tuhan itu satu, kenapa dalam ajaran Kristen Tuhan itu tiga yang disebut trinitas? Tuhan satu itu hanya pada ajaran Islam, yaitu Allah."
Itulah yang selalu menjadi pertanyaan ganjil yang sering muncul pada kebenaran hati seorang remaja yang polos dan lugu ini. "Selain itu juga, saya merenung, mengapa kalau orang muslim selalu ingat Tuhannya dengan sering melakukan shalat 5 waktu. Sedangkan orang Kristen hanya hari minggu saja dengan kebaktian dan habis kebaktian terus tidur," ungkapnya tertegun.
Pertanyaan dalam hatinya itulah yang selalu menyertai dirinya selama tiga tahun sekolah di SMPK Santo Paulus. Hingga akhirnya ada Ilham yang memberikan kerinduan Budi untuk memeluk agama Islam.
Tapi sebelum niat itu diwujudkannya, pada suatu hari ia meminta izin kepada ibundanya untuk memeluk agama Islam dan ibundanya pun tidak kecepatan. "Ibu saya berpesan jika memeluk agama Islam harus bersungguh-sungguh dan rajin melakukan ibadah," tuturnya.
Keseriusan memeluk agama Islam masih menjadi cita-citanya, ketika ia telah lulus dari SMPK Santo Paulus, ia nekat meninggalkan kampung halamannya dan berangkat ke Jakarta untuk bekerja.
Di daerah Jakarta, Budi tinggal di Bekasi bersama dengan saudaranya, disana ia tidak melanjutkan ke SMU karena ketiadaan biaya, ia lebih memilih bekerja dari pada sekolah.
Hingga akhirnya, ada sebuah konveksi tailor di Cilandak, Jakarta Selatan, menerimanya sebagai karyawan. Di tailor tersebut merupakan awal perjumpaannya dengan Redy Suwanto, seorang aktivis pemuda Muhammadiyah.
Redy selalu memperhatikan Budi selama bekerja di tailornya, seperti pada saat waktunya shalat, mengapa Budi tidak shalat? Pertanyaan Redy memang wajar, sebab Redy belum tahu kalau Budi non-muslim. Kemudian Redy mendekati Budi dan Budi menjelaskan kepadanya kalau ia bukanlah seorang muslim, tetapi ingin masuk Islam.
Mendengar penjelasan itu, hati Redy tergugah, sebagai seorang aktivis muslim, adalah kewajiban untuk menolong sesama umat manusia untuk mengarahkan jalan kebenaran dan jalan lurus yang diridhoi oleh Allah SWT.
Akhirnya, Redy mengajak Budi ke kantor MTDK-PP Muhammadiyah Menteng untuk meneruskan niat Budi untuk masuk Islam. Di kantor MTDK seperti biasanya mereka menemui pengasuh MTDK, Buya Risman Muchtar. Dalam kesempatan itu, Buya Risman memberikan tausiyah pada Budi, bahwa Allah telah memberikan rahmatNya berupa kebenaran kepada Budi untuk memilih Islam sebagai agamanya. "Saat Budi masuk Islam, maka Budi akan terlahir kembali, seperti bayi yang baru lahir. Maka tidak usah cemas dengan dosa-dosa yang pernah Budi lakukan sebelum masuk Islam. Sebab Allah akan selalu memberikan pengampunan pada umatNya." kata Buya Risman.
Selama memberikan tausiyah, Buya memberikan syarat-syarat untuk masuk Islam, diantaranya membaca 2 kalimat syahadat, dengan menyebut tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.
Selain itu melaksanakan rukun-rukun yang ada pada rukun Islam.
Tepat pukul 13.30 di Masjid At-Takwa Muhammadiyah setelah selesai menunaikan shalat zuhur, Budi dengan dibantu oleh Buya Risman dan disaksikan oleh para jamaah, dengan tulus ikhlas memeluk agama Islam dan ia mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusanNya.
Setelah itu para jamaah memberikan selamat kepada Budi yang telah masuk ke dalam golongan kaum muslimin. "Selamat bergabung dijalan Allah, saudaraku." ucap salah seorang jamaah.
Dari swaramuslim.net dari Majalah Tabligh oleh Agus Yuliawan.
Dari cerita di atas, sepertinya Budi belum menemukan jawaban atas pertanyaannya 'kenapa dirinya harus di baptis?'
http://peperonity.com/go/sites/mview/muallaf/23872327
Jumat, 04 Februari 2011
Bruno Guiderdoni, Astrafisikawan Muallaf dari Perancis
Bruno Guiderdoni adalah salah seorang intelektual Prancis Muslim yang terkenal, seorang astrofisikawan terkemuka yang masuk Islam kurang lebih lima belas tahun yang lalu. Dia belajar fisika dan astrofisika di Universitas Paris dan memperoleh gelar doktornya di sana pada 1986.
Kini (2004), dia merupakan ilmuwan yang bekerja pada Badan Antariksa Eropa yang menangani dua satelit untuk penelitian ilmiah, yaitu Herschel dan Planck, yang akan diorbitkan pada 2007, untuk mengamati fluktuasi suhu pada radiasi latar kosmologi dalam frekuensi inframerah-jauh dan gelombang submilimeter. Penelitian ilmiah Dr. Guiderdoni terfokus pada persoalan lahirnya dan evousi galaksi-galaksi.
Berikut adalah wawancara Philip Clayton dengan Bruno Guiderdoni, yang dikutip — seizin kronik, mizan — dari Buku Membaca Alam Membaca Ayat (mizan, 2004).
Philip Clayton: Pengaruh-pengaruh religius apa saja yang anda terima dimasa kanak-kanak, dan bagaimana akhirnya Anda memilih Islam ?
Guiderdoni: Ayah dan ibu saya beragama Kristen, tetapi saya tidak dibesarkan dalam suatu agama tertentu. Sata saya mempelajari sains, saya dapati ada sesuatu yang hilang dalam pendekatan saintifik terhadap dunia. Saat saya mencari jenis pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah sebuah pencarian religius. Saya tidak tahu kondisi di Amerika, tetapi di Prancis, pendidikan modern sama sekali mengesampingkan gagasan tentang Tuhan. Konsekuensinya, anak-anak muda tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan. Setelah banyak membaca dan melakukan perjalanan, akhirnya saya tersadar bahwa pencarian saya merupakan pencarian religius. Saya sangat tertarik dengan agama-agama Timur, khususnya penekanan agama-agama itu terhadap pencarian pengetahuan. Bagi saya, menjadi penganut Buddha, Tao, atau Hindu adalah langkah yang terlalu jauh. Menjadi seorang Muslim merupakan jalan tengah antara Timur dan Barat.. Islam memperkenalkan diri sebagai agama pertengahan antara agama-agama Barat — agama Yahudi dan Kristen — dan agama-agama Timur. Saya merasa (dengan memeluk Islam) tetap berada pada aliran yang sama, yang telah diawali oleh agama Yahudi dan Kristen, tetapi saya pun mendapatkan jalan kepada agama-agama Timur. Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun,`sebagaima na Anda tahu, Islam kini dirundung banyak masalah , terutama oleh paham fundamentalis yang menggunakan kekerasan. Tentu saja, ada juga banyak hal berharga dalam Islam dan banyak kemungkinan untuk sebuah kehidupan spiritual.
Clayton: Jadi, daya tarik Islam adalah karena agama itu merupakan keterpaduan agama Yahudi dan Kristen , tetapi juga dekat dengan tradisi-tradisi ketimuran.
Guiderdoni: Benar. Terutama mistisisme Islam , yang disebut sufisme. Sufisme memberikan penekanan pada realisasi pengetahuan dengan cara yang sangat simpatik, dalam kerangka paham monoteis, dengan konsep teologis yang sangat akrab dengan kita. Dalam Islam, pandangan tentang manusia, dunia, dan penciptaan, sangat mirip dengan Yahudi dan Kristen. Akhirnya, tujuan kehidupan religius adalah pengetahuan. Hal yang sangat penting adalah, baik pencarian sains maupun pencarian religius saya sama-sama merupakan pencarian pengetahuan.
Clayton: Bisakah Anda berbicara sedikit mengenai apa yang tidak Anda dapatkan dari sekadar pencarian pengetahuan saintifik?
Guiderdoni: Pada abad ke-19, sains berharap bisa menjawab semua pertanyaan. Sains modern sangat berhasil dalam menjawab pertanyaan-pertanya an tentang bagaimana mekanisme segala hal. Namun, hal itu mulai tidak memuaskan pertanyaan,”Mengapa segala sesuatu berlaku seperti ini ?” Harapan di abad ke-19 itu bukanlah pada sains yang sesungguhnya, melainkan pada ideologi . Kini, sains lebih menitikberatkan pada tujuan utamanya, yakni penjelajahan alam semesta. Sains modern hanya sedikit berbicara di tataran fisolofis. Pada abad yang lalu, segala usaha untuk mendefinisikan sifat-dasar kebenaraaan- ilmiah terbukti gagal total. Dalam sains, kita memiliki metode yang sangat efisien untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang alam semesta. Namun, kita tidak mampu mengatakan bahwa suatu teori benar, atau mungkin benar, atau salah, atau mungkin salah. Karya Karl Popper sangat penting dari sudut pandang ini.
Jawaban atas pertanyaan-pertanya an ilmiah kita memunculkan pertanyaan-pertanya an lainnya. Sains adalah suatu kisah yang tiada habisnya dan sangat mengasyikkan. Sayangnya, kita umat manusia dibatasi oleh waktu, dan kita menginginkan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanya an lainnya. Pencarian terhadap jawaban semacam itu adalah alami, bahkan meskipun jika pencarian ini tidak bersifat ilmiah, melainkan religius. Itulah sebabnya mengapa saya amat tidak puas dengan kegiatan ilmiah yang saya lakukan.
Clayton: Adakah sesuatu dalam keterbatasan pengetahuan yang telah ditegaskan oleh para ilmuwan sendiri ratusan tahun lalu, yang memberi sumbangsih bagi pemahaman Anda atas perlunya sebuah cara lain (di luar sains)? Umpamanya, ketidakpastian tentang tingkatan kuantum yang digagas Heisenberg.
Guiderdoni: Di jalan inlelektual saya ada dua langkah penting, dua telaah penting. Yang pertama adalah filsafat sains, terutama karya Popper yang saya baca saat berusia dua puluh tahun. Langkah penting lainnya adalah perdebatan mengenai sifat-dasar dan kesempurnaan mengenai mekanika kuantum. Di Prancis terjadi banyak perdebatan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Bernard d’Espagnat memberi kuliah di universitas tempat saya belajar lima belas tahun silam. Saya terkesan oleh kecermelangan dan kecerdasannya, dan terutama oleh anlisisnya mengenai keterbatasan mekanika kuantum dan oleh gagasan bahwa kenyataan tak pernah benar-benar dapat diungkap penyelidikan ilmiah. Sesungguhanya realitas selalu “terselubungi”. Saya rasa saya perlu mencoba cara lain untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas.
Clayton: Sejak menganut agama Islam, bagaiman Anda memandang hubungan antara tradisi sains dan religius? Apakah Anda melihatnya komplementer, integral, atau sebagai wilayah yang sangat berbeda?
Guiderdoni: Menurut saya, keduanya komplementer. Seperti yang saya katakan pada Anda, Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan secara umum dan dalam kehidupan religius secara khusus. Akar dari dosa adalah kebodohan, atau kegelapan.”Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat,” kata Rasulullah. Zhulm adalah istilah bahasa Arab untuk dosa dan kegelapan. Sangatlah mungkin bagi ita untuk keluar dari dosa dengan cahaya ilmu. Maka, mencari ilmu penting adanya, segala macam ilmu: ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Mungkin orang menganggap pengetahuan sains sebagai pengatahuan dunia, dan pengetahuan akhirat adalah pengetahuan religius.. Pada kenyatannya, perbedaan itu tidak begitu jelas. Dalam tradisi Islam, ilmu yang dicari adalah ilmu yang yang berguna untuk kemanusiaan secara umum. Pencarian ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etis. Seperti halnya segala sesuatu di dunia, sains punya satu tujuan, yaitu Tuhan. Kita tidak bisa memahami pencarian pengetahuan secara terpisah dari upaya perbaikan diri.
Clayton: Jadi, karya Anda sebagai seorang ilmuan tidak sepenuhnya terpisah dari ketaatan Anda sebagai seoarang Muslim. Itukah yang Anda maksud?
Guiderdoni: Ya. Tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Tidak mungkin ada kasus Galileo dalam Islam. Islam terbuka bagi segala macam ilmu. Jadi, sebagai seorang Muslim, saya merasa sangat nyaman dengan aktivitas keilmuan saya, karena saya dapat menafsirkan karya riset saya sebagai pencarian ilmu untuk dunia ini, juga sebagai penjelajahan kekayaan dan keindahan ciptaan Tuhan.
Clayton: Kedengarannya seolah-olah dalam Islam Anda menemukan suatu kebutuhan untuk menyatukan karya Anda sebagai seorang ilmuan dengan amal Anda sebagai Muslim.
Guiderdoni: Benar. Sebagai seorang Muslim, saya cenderung menyatukan seluruh aktivitas ke dalam satu jalan tunggal, satu jalan hidup dan berfikir. Karena Tuhan adalah Esa, manusia pun harus menjadi utuh. Pemisahan dalam bentuk apapun antara aktivitas profesional dan pencarian religius bukanlah hal yang baik.
Kita tidak harus memisahkan aktivitas keilmuan dengan aktivitas religius. Tidak benar bahwa ilmu dan iman tidak berhubungan satu sama lain, bahwa keduanya sepenuhnya merupakan jalan berbeda dalam mendekati kenyataan. Pandangan ini merupakan salah satu cacat dari beberapa pendekatan terhadap agama dalam peradaban Barat, khususnya setelah Kant.
Namun, saya pun harus menekankan bahwa pengetahuan sains tidaklah seperti pengetahuan religius.. Pada setiap saat, kita harus menyadari sifat-dasar dari aktivitas yang sedang kita lakukan; kita tidak mengerjakan doa seperti kita mengerjakan penelitian. Pemaduan aktivitas kita adalah penting, tetapi kita pun membutuhkan pembedaan. Kita harus teliti dalam hal ini.
Clayton: Jadi, pemisahan Kantian antara dunia alam dengan dunia tanggung jawab moral dan kebebasan yang telah memengaruhi banyak pemikiran agam Kristen dan Yahudi pada dua atau tiga abad yang lalu, tidak diterima oleh Islam?
Guiderdoni: Tidak, karena setiap perbuatan manusia memiliki makna etis.Agama meliputi kehidupan sehari-hari . Ada waktu-waktu ritual yang eksplisit; shalat lima kali sehari, umpamanya. Namun, di luar waktu-waktu itu, seluruh waktu kehidupan merupakan kesempatan untuk beribadah, dalam bentuk penjelajahan dunia. Dan penjelajahan dunia seperti apa pun akan memajukan pengetahuan. Karena penjelajahan dunia merupakn jalan mempelajari ciptaan Tuhan, aktivitas ini juga bernilai ibadah.
Clayton: Bagi Islam, sebagaimana bagi agama Yahudi dan Kristen, alam semesta tidak hanya memiliki waktu yang linear, tapi juga sebuah telos (‘tujuan’,bahasa Yunani-peny. ) tertentu, tujuan yang ditetapkan Tuhan.. Bagaimana gagasan tujuan tersebut berdampingan dengan ilmu fisika dan astrofisika kontemporer?
Guiderdoni: Dalam Al-Quran , banyak ayat yang menekankan tujuan Penciptaan Tuhan. Tujuan itu meluas hingga pada detail kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang diciptakan secara kebetulan. Segalanya dibuat dengan satu tujuan. Segala sesuatu merupakan tanda-tanda Tuhan: ayat. Kata tersebut merupakan salah satu kata penting dalam tradisi Islam; yang artinya bahwa segala yang ada di dunia, segala yang tampak oleh kita, sesungguhnya membawa pelajaran dari Tuhan. Maka, sekali lagi, sangatlah mudah untuk mengkaji sains modern dalam paradigma finalitas ini. Saya terheran-heran dengan perbedaan antara keberhasilan reduksionisme sebagai alat dan sebagai rancangan metodologis, dan kegagalannya sebagai rancangan filosofis. Eksplorasi kita terhadap detail fisika kosmos kini mengarah kepada sesuatu yang dapat dengan mudah dibaca sebagai finalitas. Semua”kebetulan” yang “ditafsirkan” dengan prinsip antropik dapat dibaca dengan mudah sebagai finalitas di dunia. Seorang Muslim tentunya tidak perlu bersusah payah untuk membaca hal itu. Yang mendapat masalah adalah orang-orang yang tak beriman, karena mereka memahami dunia ini sebagai sebuah bangunan raksasa yang berdiri di atas sejumlah sangat kecil pilar yang tertala-cermat (finely tuned): nilai-nilai konstanta fisika. Itulah yang menjadi masalah bagi mereka.
Clayton: Argumen apa yang Anda pakai sebagai seorang fisikawan, tentang keberadaan rancangan dan tujuan dalam alam semesta ini?
Guiderdoni: Telah banyak muncul karya tentang prinsip antropik, yang dirangkum dengan baik dalam buku karangan John Barrow, The Antropic Cosmological Principle. Secara historis, keluasan jagat raya telah digunakan sebagai arguman untuk menentang agama.Alasannya, jika jagat semesta demikian luas , manusia menjadi tidak ada artinya dan konsep adanya agama yang diwahyukan di planet kecil tempat kita tinggal pun tidak punya makna. Namun, kini kita tahu bahwa usia dan ukuran alam semesta yang bisa diamati berhubungan erat dengan kehadiran kita di bumi. Kita tidak dapat muncul di sebuah jagat raya yang memiliki usia dan ukuran yang berbeda (dari jagat raya yang kita huni sekarang). Usia alam semesta yang sangat tua diperlukan untuk pengayaan elemen berat, juga penting bagi pembentukan planet dan kemunculan kehidupan.
Ukuran semesta Merupakn konsekuensi usianya. Kita memerlukan ukuran semesta seperti ukuran semesta kita ini dan waktu selama usia semesta kita ini, agar kita (manusia) dapat muncul dibumi.
Clayton: Beberapa orang memberikan argumen-argumen fisika untuk mempertahankan apa yang biasa disebut prinsip antropik kuat. Apakah Anda bersimpati kepada pandangan yang menyatakan bahwa kemunculan kehidupan cerdas adalah sebuah keniscayaan tersebut dirancang di alam semesta sejak awal?
Guiderdoni: Ya, saya sepakat. Menurut saya, hal itu merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari kerja-kerja terbaru dalam kosmologi modern. Semua”kebetulan” pada konstanta-konstanta fisika membuat kompleksitas yang amat besar menjadi mungkin. Sebagai orang beriman, saya menganut prinsip antropik kuat; segalanya telah dirancang dengan cara tertentu untuk memungkinkan keberadaan manusia.
Clayton: Bolehkah saya menanyakan sifat-dasar prinsip tersebut? Ada orang bilang bahwa itu merupakan penjelasan metafisis. Ada yang bilang itu benar-benar merupakan kesimpulan fisika, bahwa prinsip itu bisa kita peroleh dari fisika, tanpa mesti beralih ke meta fisika.
Guiderdoni: Untuk saat ini, saya katakan bahwa itu bukan suatu prinsip fisika. Itu adalah sesuatu yang berakar dalam sains, tetapi merupakan prinsip metafisika. Memang ini merupakan arus balik menuju metafisika yang mengejutkan, karena banyak filosof menyatakan bahwa kita telah membunuh metafisika sejak kemunculan filsafat Kantian pada akhir abad ke-18. Kini, metafisika dimunculkan kembali saat tidak diharapkan , oleh sains itu sendiri.
Menurut saya, prinsip antropik tidak bisa dianggap sebagai prinsip fisika karena prinsip fisika harus bisa diprediksikan. Saya tidak tahu apakah telah muncul prediksi dari prinsip antropik. Namun, tentu saja kita tidak bisa menghilangkannya hanya karena prinsip ini punya makna metafisis.
Clayton: Dalam sains dasawarsa lalu, sebagaimana yang Anda gambarkan, kesimpulan-kesimpul an metafisis dipengaruhi oleh karya-karya bidang astrofisika, bahkan mungkin bisa diuji melalui cara-cara tertentu. Riset fisika sebenarnya bisa memberi bukti untuk beberapa tinjauan metafisis. Apakah saya mendiskripsikan pendirian Anda itu dengan benar?
Guiderdoni: Ya Anda benar. Kecenderungan dalam Islam selalu ke arah penyatuan. Maka, pernyataan bahwa metafisika bisa disingkirkan sepenuhnya dari sebarang bidang aktivitas atau pengetahuan manusia benar-benar tidak konsisten dengan pemikiran Islam. Dari sudut pandang sains modern, yang, setidak-tidaknya pada abad-abad lalu, berusaha meniadakan metafisika, kembalinya metafisika merupakan sebuah kejutan. Pemikiran Islam menekankan hubungan erat antara pendiskripsian jagat raya dan akar-akarnya dalam prinsip-prinsip metafisika dan spiritual. Keberhasilan reduksionisme sebagai sebuah metodologi keilmuan dan kegagalannya sebagai sebuah rancangan filsafat, menjadi dorongan kuat bagi pencarian jenis ilmu lain, cara lain untuk melihat kebenaran tunggal. Menurut saya, seluruh pemikiran Islam pun mengarah pada kesimpulan bahwa hanya ada satu kebenaran. Untuk mencapainya, kita memiliki banyak cara. Salah satunya adalah sains.. Baik kesuksesan maupun kegagalannya membesarkan hati. Kegagalannya, berupa ketiadaan jawaban-jawaban radikal, mungkin menjadi pendorong untuk beranjak kepada cara lain dalam memperoleh kebenaran. Mungkin jalan religius memiliki keistimewaan, dalam hal tertentu. Menurut saya, filsafat modern tidak menekankan pada pencarian kebenaran. Itu ditandai dengan lenyapnya metafisika. Jadi, mungkin agama adalah satu-satunya jalan yang tersisa bagi para ilmuan untuk mencoba memperoleh kebenaran.
Clayton: Jadi, mungkin bisa dikatakan seperti ini: bahwa sebagai seorang ilmuan, saya takjub dengan improbabilitas bahwa saya — sebagai orang yang mengetahui — harus ada di sini. Saat saya tatap alam semesta, tampaklah ia seolah-olah tertala-cermat, sehingga kehidupan dapat berkembang. Kemudian, saya mengetahui prinsip antropik dalam fisika, atau pentingnya posisi pengamat dalam bidang fisika kuantum, sehingga saya berfikir pasti ada tujuan tertentu bagi kita. Saya berpaling dari agama untuk mencari tahu apakah tujuan itu dan apakah tanggung jawab moral saya di hadapan Tuhan. Demikiankah gagasan Anda ?
Guiderdoni: Tepat sekali. Saya tidak menyukai penafsiran dualistik sains, khususnya mengenai mekanika kuantum. Saya menyukai realitas; saya adalah seoraang realis. Kita menduga bahwa ada realitas tersembunyi, sebuah “realitas terselubung”, sebagaimana dikatakan d’Espagnat. Kita mencoba untuk lebih dekat pada realitas ini melalui sains dan kita berhasil dalam beberapa hal. Namun, kita merasa bahwa kita membutuhkan suatu langkah kualitatif yang akan menggiring kita pada pertanyaan mengenai makna segala sesuatu. Menurut saya, kita hanya bisa memperoleh jawaban melalui pendekatan religius. Dan inilah sebabnya mengapa saya memandang dua aktivitas itu benar-benar komplementer..
Clayton: Islam,seperti halnya agama-agama Barat, mengajarkan bahwa umat manusia diciptakan bertanggung jawab secara moral, bebas, dan mampu berhubungan dengan Tuhan. Bagaimana pengertian manusia sebagai pribadi ini dapat dikatakan sesuai dengan teori sains mutakhir?
Guiderdoni: Ini adalah pertanyaan yang berkaitan; manusia digambarkan dalam Al-Quran sebagai wakil Tuhan di bumi. Jadi, ia tidak berada di atas ciptaan. Mungkin dikatakan bahwa pada peradaban Barat, khususnya pandangan — dunia Cartesian, hanya manusialah yang mempunyai jiwa; maka ia bisa berbuat apapun yang diinginkannya di dunia ini. Dalam Islam, manusia tidak berada di atas penciptaan, tetapi berada di pusatnya. Dan kita harus mengatur ciptaan tersebut, atas nam Tuhan, seperti penjaga kebun yang baik.. Kita bertanggung jawab atas ciptaan dan tidak bisa mengubahnya semau kita. Manusia berada di bumi ini sebagai konsekuensi dari sejumlah krisis luar biasa dalam perkembangan alam semesta: krisis dalam pembentukan galaksi, pembentukan spektrum-spektrum bintang, evolusi bintang dan seterusnya, hingga pembentukan planet-planet dan munculnya kehidupan, serta seluruh periode perkembangan hidup dan sebagainya. Sains mengajarkan bahwa kita berada di puncak bangunan kosmis raksasa, yang berusia 10 milyar tahun. Islam membantu saya merasa nyaman, karena penekanannya terhadap ilmu dan nilai-nilai etika. Pengetahuan tidak bisa di capai secara terpisah dari pencarian nilai-nilai etika. Nilai etika yang sesungguhnya adalah tanggung jawab. Jadi, pandangan ilmiah ini, yang mengatakan bahwa manusia merupakan akibat dari apa yang dinamakan “kebetulan-kebetulan” dan krisis- krisis yang luar biasa banyaknya itu, seharusnya menuntun kita pada pandangan religius yang memandang manusia memiliki rasa tanggung jawab yang besar di muka bumi.
Selain itu, hal yang sangat menarik adalah kemunculan manusia dalam kosmologi. Prinsip kosmologis menyatakan bahwa tempat yang “jauh” tidak ada bedanya dengan “di sini”; tidak ada posisi istimewa dalam jagat raya. Namun, hal ini membawa kemungkinan penjelajahan sejarah alam semesta. Karena kenyataan bahwa “yang jauh” sama dengan ” di sini”, maka sejarah alam semesta bisa di telusuri dengan mengamati benda-benda pada pergeseran merah (redshift) yang tinggi. Ini berarti pula bahwa jarak yang jauh memberi gambaran dari masa yang sangat lampau, karena cahaya berjalan pada kecepatan terbatas. Kita bisa merekonstruksi masa lalu alam semesta dan masa lau kita sendiri, sampai pada saat-saat pertama setelah terjanya Ledakan Besar. Jadi, kita berada pada posisi pusat; kita ada di pusat semesta yang bisa diamati. Dalam beberapa hal, kosmos kita sangatlah mirip dengan kosmos Abad pertengahan yang menempatkan manusia di pusat semesta. Tentu saja, kita tahu bahwa dunia ini tak terbatas. Namun, dunia yang bisa diamati adalah sebuah gelembung di keluasan alam semesta. Kita berada di posisi pusat seperti ini dalam upaya membangun pengetahuan kita mengenai dunia.
Dengan kata lain, kita berada di sebuah lokasi yang sesuai untuk mengamati semesta karena bidang galaksi kita, umpamanya, memiliki sebuah sudut pandang bagus terhadap bidang Supergugus Lokal(Local Super Cluster). Kita tidak berada dalam sebuah awan molekular dan seterusnya. Semesta yang mengelilingi kita, Galaksi Bima Sakti, agak tembus cahaya. Dan kita bisa mengakses masa yang sangat lampau. Jika kita hidup di galaksi lain, atau dalam sebuah awan molekular, semesta di sekeliling kita akan benar-benar buram, kecuali bagi radiasi cahaya inframerah dan gelombang radio. Pasti ada lebih banyak halangan untuk mengungkap semesta ini.
Ada banyak kemiripan dalam cara kita memandang dunia dengan cara Abad Pertengahan memandang dunia ini.. Bagi para pemikir Abad Pertengahan, batas jagat raya adalah bola langit(atau lebih tepatnya adalah Langit Kristal [Crystalline Sphere]), karena penemuan presesi ekuinoks (the precession of the equinoxes). Ini merupakan pembatasan yang amat tajam, pemisahan antara jagat raya di satu sisi dan Empyreum (lokus Singgasana Tuhan, ‘Arsy) pada sisi yang lain. Inilah batas maksimal bagi penciptaan. Dan kita pun memiliki batas ini, karena batas semesta yang bisa kita amati pun berbentuk sebuah bulatan. Pada permukaan bulatan itu, kita mendapatkan T=0 dan kita tidak bisa melihat lebih jauh. Lebih jauh lagi adalah masa lalu yang sudah terlalu lampau.. Itulah saat ledakan besar terjadi; yang merupakan misteri bagi kosmologi modern. Kita tahu bahwa dunia ini tidak terbatas dan penuh dengan bintang dan galaksi, tetapi kita punya pandangan yang dinamis terhadap jagat raya, kaitan yang erat antara menatap jarak yang jauh dan menggali masa lalu. Ketika kita melihat jauh, kita mencoba menggali asal mula keberadaan kita tetap sebagaimana Dante Alighieri menggambarkan secara alegoris dirinya mengarungi ruang angkasa untuk melihat wajah Tuhan. Ada banyak kemiripan lainnya antara pandangan Abad Pertengahan dengan sains modern mengenai jagat raya.
Clayton: Saya ingin tahu, bagaimana pengaruh pengetahuan kita mengenai evolusi kehidupan terhadap pandangan religius terhadap individu. Menurut biologi evolusioner, kita sangat mirip dengan mahluk primata tingkat tinggi lainnya. Sebagian besar materi genetis kita sama dengan mereka. Apakah hal itu menimbulkan ketegangan pada keyakinan religius mengenai keunikan sosok individu sebagai wakil Tuhan ?
Guiderdoni: Mungkin akan ada semacam tegangan jika Anda membaca Al-Quran secara harfiah. Namun,hal itu akan hilang jika kita mengkaji ayat-ayatnya secara terbuka. Penciptaan manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut: Manusia diciptakan Tuhan dari dua unsur. Ia tercipta dari tanah liat (thin) dan ruh Tuhan (Ruh). Proses penciptaan ini dulu ditafsirkan sebagai penciptaan yang terjadi seketika. Namun, tak satupun petunjuk dalam ayat-ayat suci itu yang mengharuskan kita tiba pada kesimpulan ini, karena segala sesuatu yang di deskripsikan oleh (teori) evolusi bisa jadi terkait dengan bagian dari evolusi kosmik sejak awal, dari nukleosintesis pada bintang-bintang dan seterusnya, dan fakta bahwa unsur-unsur kita,”tanah liat”, ada pada bintang-bintang 5 milyar tahun lalu. Bagian tanah liat ini membuat kita sangat dekat dengan dunia ini, sangat dekat dengan hewan.
Kita pun mempunyai bagian lainnya, yakni ruh Tuhan.. Ruh ini merupakan anugrah Tuhan, dan itu bukan satu-satunya alasan. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, tetapi pikiran bukan satu-satunya perbedaan. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kapasitas untuk mengenal Tuhan, untuk menyadari nama-nama-Nya dan sifat-sifat- Nya. Dalam tradisi Islam, manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang memiliki kemampuan untuk menyadari seluruh asma Tuhan, seluruh sifat-sifat- Nya. Inilah anugrah dari Ruh Tuhan dalam diri kita. Dalam Islam, tak ada hal-hal yang menyebabkan penentangan terhadap kemungkinan bahwa bentuk dan sifat-sifat manusia yang sama dengan hewan (unsur hewaniah) merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang.
Al-Quran tidak menceritakan sejarah dunia. Ia adalah kitab yang khas, sebuah kitab yang mengiring perhatian manusia kepada fakta-fakta signifikan. Ini bukanlah sebuah buku teks ilmiah. Bagian-bagian dari Al-Quran sangat puitis dan misterius, dan ayat-ayatnya bisa di baca dengan berbagai cara. Selama Abad Pertengahan, Al-Quran sering di baca secara harfiah, sangat mirip dengan yang di lakukan orang-orang Yahudi atau Kristen. Namun, ayat-ayat itu selalu terbuka untuk ditafsirkan dan di baca kembali.
Al-Quran menyatakan bahwa ada masa ketika manusia belum diciptakan. Manusia diciptakan untuk Tuhan, tetapi jagat raya di ciptakan untuk manusia, untuk menjadi tempat (lokus) pengetahuan kita mengenai Tuhan. Penciptaan manusia mungkin berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tetapi hitungan waktu tidak benar-benar signifikan dari sudut pandang spiritual.. Yang penting adalah apa yang sedang terjadi sekarang dan kemampuan kita untuk memahami tindakan Tuhan di jagat raya.
Clayton: Jadi, kisah-kisah tentang bagaimana segala sesuatu terjadi dan bahwa manusia berbeda dari hewan tidak begitu penting dalam Islam, jika dibandingkan dalam agama Kristen? Permasalahan yang penting adalah bagaimana pemahaman manusia saat ini di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia hidup dan berperilaku. Apakah demikian?
Guiderdoni: Ya, saya pikir begitu. Dalam Islam, ada penekanan bagi realisasi spiritual. Realisasi spiritual ini juga sama pentingnya dalam ajaran Buddha dan Hindu. Sebagai orang Barat, kita terbiasa menangani banyak masalah, yang sebagian tidak ada kaitannya dengan kita. Meskipun kita mencapai kesuksesan dalam penjelajahan jagat raya, tujuan penciptaan diri kita bukanlah penemuan jagat raya tersebut. Kita tidak memiliki deskripsi yang luar biasa mengenai sejarah jagat raya. Namun, terlepas dari penemuan-penemuan ini, hal yang penting justru terlupakan: realisasi spiritual manusia. Karenanya, kita butuh lebih banyak pengetahuan daripada yang bisa diberikan oleh sains. Kita di Barat biasa berpikir bahwa kita hanya bisa mengetahui apa yang bisa kita rumuskan menjadi konsep. Agama-agama Timur, termasuk Islam, yang merupakan agama Timur dari sudut pandang ini, mengajarkan bahwa kita bisa mengetahui leih banyak daripada yang bisa kita konsepsikan. Tentu saja, kita (bangsa Barat) sangat piawai memakai nalar kita. Namun, kita pun punya jenis kecerdasan lainnya. Kita mempunyai apa yang disebut oleh filosof Abad Pertengahan sebagai “intelek”, yakni kemampuan untuk merenungkan kebenaran. Jadi, jika kita ingin mencari tahu asal-usul keberadaan kita, kita bisa memperoleh bermacam-macam jawaban. Kita mendapatkan jawaban berdasarkan kosmologi modern, kita pun punya pendekatan spiritual dan mistis.
Jawaban yang lengkap hanya bisa di temukan di akhirat, yang menurut tradisi Islam juga merupakan dunia pengetahuan. Di bumi, kita di batasi oleh hukum alam dan kita hanya bisa mendapat jawaban parsial atas pertanyaan-pertanya an penting. Di akhirat kelak pengetahuan- langsung akan tersingkap.
Clayton: Dan intuisi spontan dari intellectus pun akan kita dapatkan, sementara di dunia ini kita hanya memiliki cara-cara terbatas untuk mengetahui, dengan nalar modern dan analisisnya, bukan dengan sintesis.
Guiderdoni: Tepat sekali. Kita (Bangsa Barat) sangat berhasil dalam bidang algoritma. Namun, kita lupa bahwa ada jalan lain; kecerdasan tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga memiliki sisi sintesis, sebagaimana yang tadi Anda katakan. Ia pun berhubungan dengan misteri kreativitas ilmiah dan penemuan ilmiah. Bagaimanakah sebuah gagasan bisa terbetik dalam benak seorang ilmuan? Ini merupakan pertanyaan besar. Kita bisa saja mengajari mahasiswa kita banyak hal mengenai sains, tetapi kita tidak bisa mengajari mereka bagaimana menemukan, karena kita benar-benar melupakan sisi kontemplatif dalam pikiran manusia dan aktivitas manusia secara umum. Dalam agama, kami menemukan kembali pentingnya jalan kontemplasi.
Clayton: Bisakah amal dan ketaatan religius membuat kita lebih kreatif dan menambahkan bagi sisi analitis suatu cara berpikir yang lebih holistik?
Guiderdoni: Menurut saya, itu mungkin saja. Kita mempunyai contoh orang-orang suci yang sangat kreatif, bukan hanya dalam Islam, tentu saja, melainkan di semua agama. Kami punya kesan bahwa beberapa jenis amal bisa membuka cakrawala berpikir atau membantu pikiran menghilangkan hambatan yang berhubungan dengan hawa nafsu, dan lain sebagainya. Mungkin amal seperti inilah yang bisa membuat seseorang lebih kreatif dan lebih efisien di duni ini. Namun, sekali lagi, itu bukan tujuan utama amal religius. Tujuan utamanya adalah bukanlah penemuan dunia ini, melainkan amal di dunia atas nama Tuhan. Melalui hal itu, kita bisa menemukan Tuhan.
Clayton: Dasar keyakinan Islam adalah Tuhan tidak hanya merupakan Sang Pencipta, tetapi, dalam makna tertentu, juga Sang Pengatur. Dengan kata lain, Dialah Pengatur alam semesta. Apakah dalam tradisi Islam pemahaman mengenai Tuhan semacam ini berubah setelah bersentuhan dengan sains modern atau tetap tidak terpengaruh? Adakah penentangan terhadap keyakinan dan aktivitas Tuhan ini, dikarenakan perkembangan pengetahuan kita atas dunia fisikal ini?
Guiderdoni: Ini pertanyaan yang sangat pelik dan ada beragam jawaban, sesuai dengan periode sejarah yang kita perhatikan. Kini , tidak terdapat perdebatan antara sains dan teologi Islam, karena teologi Islam sudah hampir lenyap. Saat ini kami, Dunia Islam, sedang berada dalam masa sulit. Ada dua kecenderungan utama dalam pemikiran Islam dewasa ini: yang pertama bisa disebut kecenderungan rasionalistis, atau modernisme, yang menerima hasil-hasil sains modern tanpa bersikap kritis. Kecenderungan ini berupa penerimaan menyeluruh terhadap semua hasil pemikiran dan teknologi modern, tanpa upaya kritis untuk mempertanyakan apakah hasil-hasil itu sesuai dengan pemikiran atau teologi Islam. Kecenderungan kedua adalah perspektif fundamentalis: segala sesuat yang datang dari peradaban Barat dianggap buruk hanya karena berasal dari Barat. Kaum fundamentalis ingin membangun sains Islam yang selaras dengan sains modern. Kaum fundamentalis menganggap sains modern sebagai sains Barat atau sains Kristen. Ini benar-benar bertolak belakang dengan tradisi intelek dan spiritual yang luar biasa dalam Islam. Sayangnya, perdebatan dalam Dunia Islam modern sangat langka. Harus ada jalan ketiga di antara kedua jalan ekstrem ini dalam memandang segala hal.
Malangnya, kebanyakan pemikir Muslim lebih tertarik pada masalah sosial dari pada masalah fundamental, karena negara-negara Islam menghadapi begitu banyak masalah ekonomi dan sosial. Jadi, kebanyakan refleksi dalam Islam berpusat pada masalah-masalah tersebut. Namun sesungguhnya, secara historis –d an karena alasan yang sangat kuat — kecenderungan teologi Islam adalah membahas masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Kita tidak bisa mengurusi masalah-masalah sosial atau ekonomi dengan baik tanpa berefleksi pada masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Inilah kelemahan besar pemikiran Islam modern dan merupakan penyebab mengapa refleksi Islam modern terhadap masalah sosial dan ekonomi sering tidak mendalam. Itu pula penyebab mengapa kami tergiring pada situasi kekerasan sekarang ini. Pada dasarnya, filsafat Islam telah lenyap pada akhir Abad Pertengahan. Pemikiran Islam mengalami kemunduran kecuali pada bidang tasawuf. Pada bidang ini refleksi selalu ada, tetapi sedikit tersembunyi. Tidak mudah menemukan buku yang bagus atau seseorang yang merenungkan pertanyaan Anda tadi.
Clayton: Apakah Anda memahami kerja yang Anda lakukan sebagai bagian dari upaya membantu perubahan teologi Islam supaya lebih memikirkan pertanyaan ini, umpamanya kerja Anda dengan televisi Prancis?
Guiderdoni: Menurut saya, di Eropa kami lebih siap untuk menjawab pertanyaan-pertanya an semacam ini karena kami memiliki dasar-dasar intelektual. Kami hidup dengan pertanyaan-pertanya an semacam in. Mungkin kami lebih siap berpikir lebih tenang, karena kami tidak perlu menghadapi masalah-masalah ekonomi dan politik yang parah seperti di hadapi oleh banyak negara Muslim. Karenanya, kami punya kesempatan untuk berdiskusi. Contohnya, saya sering memberi kuliah tentang soal-soal ini di masjid-masjid dan menemui begitu banyak kaum muda Muslim yang tumbuh di Eropa dan telah meneima pendidikan budaya Barat. Mereka menanti refleksi semacam ini karena hal itu memang diperlukan.
Clayton: Jadi, jika kita berangkat dari anggapan bahwa pemikiran Islam di wilayah ini berada pada tahap awal dan bahwa jawaban yang muncul pastilah sangat spekulatif di mata seorang Muslim, apa pendapat pribadi Anda mengenai hubungan antara Tuhan, aktivitas Tuhan di dunia, dan deskripsi fisikal realitas?
Guiderdoni: Al-Quran tidak menjelaskan terlalu mendetail soal ini. Tapi, ada dua ayat yang bagi saya tampaknya sangat relevan. Satu ayat menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan matematis. Al-Quran mengatakan bahwa “matahari dan rembulan beredar menurut suatu perhitungan” (QS Al-Rahman[55] :5).Ada “angka-angka’ di jagat raya. Al-Quran menarik perhatian pembacanya pada segala keteraturan di jagat raya. Ada juga ayat lainnya yang menyatakan bahwa “tiada yang berubah dalam ciptaan Tuhan”. Itu berarti ada keteraturan. Keteraturan yang kita lihat di alam dikarenakan terdapat tatanan sejak awal dan ini bisa di identifikasikan, tentu saja, dengan hukum-hukum alam yang di ciptakan oleh Tuhan. Tuhan membuat hukum-hukum alam menjadi mungkin. Tuhan adalah pemelihara hukum alam.
Clayton: Mungkinkah ini merupakan sebuah pemahaman tentang tindakan Tuhan yang dibahasakan dalam istilah-istilah keteraturan alam dan sifat penciptaan yang seolah memang sengaja di tata?
Guiderdoni: Benar: keteraturan dan tatanan yang terus berlangsung. Ada ayat lain yang sangat indah. Ayat itu menyatakan bahwa kita tak akan mampu menemukan “celah” dalam ciptaan Tuhan. Tak ada yang melenceng. Segalanya serba-teratur dan tertata.. Sebab, Tuhan sendiri adalah tatanan. Tuhan adalah keindahan. Dan keindahan yang kita lihat dalam jagat raya adalah bayangan keindahan Tuhan. Ini yang pertama. Hal kedua, yang tak mengejutkan, bahwa keteraturan ini secara mendasar bersifat intelektual. Mereka di bentuk oleh sebuah kecerdasan yang juga menciptakan kecerdasan kita. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila kita mampu menjelajahi jagat raya, karena jagat raya bukanlah sebuah negeri asing; ia tak berbeda dari kita. Kita dan alam semesta di ciptakan oleh Kecerdasan yang sama.
Clayton: Dapatkah cara berpikir seperti ini membawa kita pada sebuah pandangan bahwa Tuhan mengendalikan alam semesta tidak dalam bentuk tindakan-tindakan langsung, tetapi dalam bentuk penciptaan awal berupa suatu tatanan yang kemudian membentuk sifat-sifat dunia di masa berikutnya? Atau perlukah menjaga konsep tentang tindakan Tuhan yang terus-menerus ?
Guiderdoni: Dalam teologi Islam, ada doktrin yang disebut pembaharuan penciptaan pada setiap saat. Alasannya adalah bahwa keteraturan di dunia tidak hanya sekadar ada; mereka tak bisa berjalan jika Tuhan tidak memperbarui mereka setiap saat.. Gagasan ini juga terdapat dalam filsafat Barat dengan nama “oksionalisme”. Teologi Islam menggunakan gagasan fisika atomistik, sehingga tentu saja cukup mirip dengan cara pandang kita sekarang terhadap jagat raya, yang juga bersifat atomistik. Namun, teologi klasik Asy’ariyyah, yang berkembang selama abad ke-19 dan ke-10 Masehi, menyatakan bahwa Tuhan menciptakan atom-atom dan aksiden-aksiden setiap saat. Dengan demikian, atom tak memiliki kemampuan untuk berbuat terhadap atom lain karena atom-atom tak cukup mengada. Kausalitas sepenuhnya diadakan oleh Tuhan. Ada sebuah contoh klasik yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali, salah seorang pemikir agung Islam. Ia mengatakan bahwa api pada dasarnya tak memiliki kemampuan untuk membakar selembar kertas. Jika kita mendekatkan api pada secarik kertas, kita melihat kertas itu terbakar, tetapi ini bukan karena kita mendekatkan api pada kertas itu. Ini adalah kehendak Tuhan karena api tak memiliki kapasitas dalam dirinya untuk membakar. Ini merupakan sebuah pernyataan yang kuat dan sangat bertentangan dengan cara kita memandang kausalitas di dunia. Kita bisa menerima bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan kausalitas, dengan hukum-hukum, tetapi kita merasa bahwa setelah momen penciptaan, Tuhan membiarkan hukum-hukum itu berjalan sendiri secara mekanistis. Teologi Islam klasik menyatakan bahwa pada akhirnya perdebatan tentang kausalitas amatlah rumit dan secara esensial bersifat metafisis. Siapakah yang membuat hukum alam? Apakah hukum-hukum alam terletak pada materi? Mengapa harus ada hukum alam? Newton mengatakan bahwa hukum gravitasi di mungkinkan karena Tuhan ada dan memelihara hukum gravitasi agar tetap ada sepanjang waktu. Akhirnya, saya pikir teologi Islam juga sama. Persoalan-persoalan kausalitas dan kekekalan hukum-hukum fisika adalah pertanyaan-pertanya an utama yang tak terpecahkan oleh filsafat kita. Orang Barat cenderung membayangkan hukum alam sebagai sebuah deskripsi bersifat perkiraan atas segelintir keteraturan di dunia. Dalam cara pandang ini, materi akan didominasi oleh sebab dan kebetulan, dan kita berusaha menjelaskannya dengan meraba-raba. Namun, dalam cara pandang teologi Islam, hukum-hukum alam adalah “isi” alam semesta. Keteraturan, simetri, dan hukum-hukum kekekalan, itu semua hanya penjelasan kita, cara pikir kita tentang “materi”. Ini karena materi diciptakan oleh intelek. Ia di buat dengan simetri dan matematika.
Clayton: Alangkah menakjubkan. Kini, izinkan saya beralih ke pertanyaan terakhir, sebuah pertanyaan pribadi. Dengan cara bagaimanakah keyakinan agama Anda memotivasi kerja ilmiah Anda dan apakah riset ilmiah atau astrofisika mengilhami keyakinan religius Anda?
Guiderdoni: Barangkali, langkah pertama dalam sebuah perjalanan spiritual akan terkecewakan oleh sejumlah pertanyaan yang tak terjawab dan kita mencoba untuk mencari pengetahuan dengan cara lain ; contohnya dengan bemuhibah ke negeri-negeri Timur, meninggalkan segala kehidupan modern dan menyepi di biara atau padepokan. Namun, itu merupakan pengingkaran kenyataan. Latihan religius yang saya tempuh telah mengajari saya bahwa kita harus menerima realitas apa adanya, sesuai dengan batas-batas kita. Namun, kita harus juga menerima segala keindahan dan kekayaannya. Sains memiliki banyak batasan, tetapi juga memiliki keindahan dan daya tarik yang luar biasa. Inilah alasan mengapa saya terus menggelutinya dan berharap dapat mengembangkan diri di masa depan. Namun, saya melihat kedua aktivitas ini mengarah pada satu realitas yang sama. [amanag-land]
Source : Warna Islam; http://2i2h.multiply.com/notes/item/896?mark_read=2i2h:notes:896
Kini (2004), dia merupakan ilmuwan yang bekerja pada Badan Antariksa Eropa yang menangani dua satelit untuk penelitian ilmiah, yaitu Herschel dan Planck, yang akan diorbitkan pada 2007, untuk mengamati fluktuasi suhu pada radiasi latar kosmologi dalam frekuensi inframerah-jauh dan gelombang submilimeter. Penelitian ilmiah Dr. Guiderdoni terfokus pada persoalan lahirnya dan evousi galaksi-galaksi.
Berikut adalah wawancara Philip Clayton dengan Bruno Guiderdoni, yang dikutip — seizin kronik, mizan — dari Buku Membaca Alam Membaca Ayat (mizan, 2004).
Philip Clayton: Pengaruh-pengaruh religius apa saja yang anda terima dimasa kanak-kanak, dan bagaimana akhirnya Anda memilih Islam ?
Guiderdoni: Ayah dan ibu saya beragama Kristen, tetapi saya tidak dibesarkan dalam suatu agama tertentu. Sata saya mempelajari sains, saya dapati ada sesuatu yang hilang dalam pendekatan saintifik terhadap dunia. Saat saya mencari jenis pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah sebuah pencarian religius. Saya tidak tahu kondisi di Amerika, tetapi di Prancis, pendidikan modern sama sekali mengesampingkan gagasan tentang Tuhan. Konsekuensinya, anak-anak muda tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan. Setelah banyak membaca dan melakukan perjalanan, akhirnya saya tersadar bahwa pencarian saya merupakan pencarian religius. Saya sangat tertarik dengan agama-agama Timur, khususnya penekanan agama-agama itu terhadap pencarian pengetahuan. Bagi saya, menjadi penganut Buddha, Tao, atau Hindu adalah langkah yang terlalu jauh. Menjadi seorang Muslim merupakan jalan tengah antara Timur dan Barat.. Islam memperkenalkan diri sebagai agama pertengahan antara agama-agama Barat — agama Yahudi dan Kristen — dan agama-agama Timur. Saya merasa (dengan memeluk Islam) tetap berada pada aliran yang sama, yang telah diawali oleh agama Yahudi dan Kristen, tetapi saya pun mendapatkan jalan kepada agama-agama Timur. Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun,`sebagaima na Anda tahu, Islam kini dirundung banyak masalah , terutama oleh paham fundamentalis yang menggunakan kekerasan. Tentu saja, ada juga banyak hal berharga dalam Islam dan banyak kemungkinan untuk sebuah kehidupan spiritual.
Clayton: Jadi, daya tarik Islam adalah karena agama itu merupakan keterpaduan agama Yahudi dan Kristen , tetapi juga dekat dengan tradisi-tradisi ketimuran.
Guiderdoni: Benar. Terutama mistisisme Islam , yang disebut sufisme. Sufisme memberikan penekanan pada realisasi pengetahuan dengan cara yang sangat simpatik, dalam kerangka paham monoteis, dengan konsep teologis yang sangat akrab dengan kita. Dalam Islam, pandangan tentang manusia, dunia, dan penciptaan, sangat mirip dengan Yahudi dan Kristen. Akhirnya, tujuan kehidupan religius adalah pengetahuan. Hal yang sangat penting adalah, baik pencarian sains maupun pencarian religius saya sama-sama merupakan pencarian pengetahuan.
Clayton: Bisakah Anda berbicara sedikit mengenai apa yang tidak Anda dapatkan dari sekadar pencarian pengetahuan saintifik?
Guiderdoni: Pada abad ke-19, sains berharap bisa menjawab semua pertanyaan. Sains modern sangat berhasil dalam menjawab pertanyaan-pertanya an tentang bagaimana mekanisme segala hal. Namun, hal itu mulai tidak memuaskan pertanyaan,”Mengapa segala sesuatu berlaku seperti ini ?” Harapan di abad ke-19 itu bukanlah pada sains yang sesungguhnya, melainkan pada ideologi . Kini, sains lebih menitikberatkan pada tujuan utamanya, yakni penjelajahan alam semesta. Sains modern hanya sedikit berbicara di tataran fisolofis. Pada abad yang lalu, segala usaha untuk mendefinisikan sifat-dasar kebenaraaan- ilmiah terbukti gagal total. Dalam sains, kita memiliki metode yang sangat efisien untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang alam semesta. Namun, kita tidak mampu mengatakan bahwa suatu teori benar, atau mungkin benar, atau salah, atau mungkin salah. Karya Karl Popper sangat penting dari sudut pandang ini.
Jawaban atas pertanyaan-pertanya an ilmiah kita memunculkan pertanyaan-pertanya an lainnya. Sains adalah suatu kisah yang tiada habisnya dan sangat mengasyikkan. Sayangnya, kita umat manusia dibatasi oleh waktu, dan kita menginginkan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanya an lainnya. Pencarian terhadap jawaban semacam itu adalah alami, bahkan meskipun jika pencarian ini tidak bersifat ilmiah, melainkan religius. Itulah sebabnya mengapa saya amat tidak puas dengan kegiatan ilmiah yang saya lakukan.
Clayton: Adakah sesuatu dalam keterbatasan pengetahuan yang telah ditegaskan oleh para ilmuwan sendiri ratusan tahun lalu, yang memberi sumbangsih bagi pemahaman Anda atas perlunya sebuah cara lain (di luar sains)? Umpamanya, ketidakpastian tentang tingkatan kuantum yang digagas Heisenberg.
Guiderdoni: Di jalan inlelektual saya ada dua langkah penting, dua telaah penting. Yang pertama adalah filsafat sains, terutama karya Popper yang saya baca saat berusia dua puluh tahun. Langkah penting lainnya adalah perdebatan mengenai sifat-dasar dan kesempurnaan mengenai mekanika kuantum. Di Prancis terjadi banyak perdebatan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Bernard d’Espagnat memberi kuliah di universitas tempat saya belajar lima belas tahun silam. Saya terkesan oleh kecermelangan dan kecerdasannya, dan terutama oleh anlisisnya mengenai keterbatasan mekanika kuantum dan oleh gagasan bahwa kenyataan tak pernah benar-benar dapat diungkap penyelidikan ilmiah. Sesungguhanya realitas selalu “terselubungi”. Saya rasa saya perlu mencoba cara lain untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas.
Clayton: Sejak menganut agama Islam, bagaiman Anda memandang hubungan antara tradisi sains dan religius? Apakah Anda melihatnya komplementer, integral, atau sebagai wilayah yang sangat berbeda?
Guiderdoni: Menurut saya, keduanya komplementer. Seperti yang saya katakan pada Anda, Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan secara umum dan dalam kehidupan religius secara khusus. Akar dari dosa adalah kebodohan, atau kegelapan.”Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat,” kata Rasulullah. Zhulm adalah istilah bahasa Arab untuk dosa dan kegelapan. Sangatlah mungkin bagi ita untuk keluar dari dosa dengan cahaya ilmu. Maka, mencari ilmu penting adanya, segala macam ilmu: ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Mungkin orang menganggap pengetahuan sains sebagai pengatahuan dunia, dan pengetahuan akhirat adalah pengetahuan religius.. Pada kenyatannya, perbedaan itu tidak begitu jelas. Dalam tradisi Islam, ilmu yang dicari adalah ilmu yang yang berguna untuk kemanusiaan secara umum. Pencarian ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etis. Seperti halnya segala sesuatu di dunia, sains punya satu tujuan, yaitu Tuhan. Kita tidak bisa memahami pencarian pengetahuan secara terpisah dari upaya perbaikan diri.
Clayton: Jadi, karya Anda sebagai seorang ilmuan tidak sepenuhnya terpisah dari ketaatan Anda sebagai seoarang Muslim. Itukah yang Anda maksud?
Guiderdoni: Ya. Tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Tidak mungkin ada kasus Galileo dalam Islam. Islam terbuka bagi segala macam ilmu. Jadi, sebagai seorang Muslim, saya merasa sangat nyaman dengan aktivitas keilmuan saya, karena saya dapat menafsirkan karya riset saya sebagai pencarian ilmu untuk dunia ini, juga sebagai penjelajahan kekayaan dan keindahan ciptaan Tuhan.
Clayton: Kedengarannya seolah-olah dalam Islam Anda menemukan suatu kebutuhan untuk menyatukan karya Anda sebagai seorang ilmuan dengan amal Anda sebagai Muslim.
Guiderdoni: Benar. Sebagai seorang Muslim, saya cenderung menyatukan seluruh aktivitas ke dalam satu jalan tunggal, satu jalan hidup dan berfikir. Karena Tuhan adalah Esa, manusia pun harus menjadi utuh. Pemisahan dalam bentuk apapun antara aktivitas profesional dan pencarian religius bukanlah hal yang baik.
Kita tidak harus memisahkan aktivitas keilmuan dengan aktivitas religius. Tidak benar bahwa ilmu dan iman tidak berhubungan satu sama lain, bahwa keduanya sepenuhnya merupakan jalan berbeda dalam mendekati kenyataan. Pandangan ini merupakan salah satu cacat dari beberapa pendekatan terhadap agama dalam peradaban Barat, khususnya setelah Kant.
Namun, saya pun harus menekankan bahwa pengetahuan sains tidaklah seperti pengetahuan religius.. Pada setiap saat, kita harus menyadari sifat-dasar dari aktivitas yang sedang kita lakukan; kita tidak mengerjakan doa seperti kita mengerjakan penelitian. Pemaduan aktivitas kita adalah penting, tetapi kita pun membutuhkan pembedaan. Kita harus teliti dalam hal ini.
Clayton: Jadi, pemisahan Kantian antara dunia alam dengan dunia tanggung jawab moral dan kebebasan yang telah memengaruhi banyak pemikiran agam Kristen dan Yahudi pada dua atau tiga abad yang lalu, tidak diterima oleh Islam?
Guiderdoni: Tidak, karena setiap perbuatan manusia memiliki makna etis.Agama meliputi kehidupan sehari-hari . Ada waktu-waktu ritual yang eksplisit; shalat lima kali sehari, umpamanya. Namun, di luar waktu-waktu itu, seluruh waktu kehidupan merupakan kesempatan untuk beribadah, dalam bentuk penjelajahan dunia. Dan penjelajahan dunia seperti apa pun akan memajukan pengetahuan. Karena penjelajahan dunia merupakn jalan mempelajari ciptaan Tuhan, aktivitas ini juga bernilai ibadah.
Clayton: Bagi Islam, sebagaimana bagi agama Yahudi dan Kristen, alam semesta tidak hanya memiliki waktu yang linear, tapi juga sebuah telos (‘tujuan’,bahasa Yunani-peny. ) tertentu, tujuan yang ditetapkan Tuhan.. Bagaimana gagasan tujuan tersebut berdampingan dengan ilmu fisika dan astrofisika kontemporer?
Guiderdoni: Dalam Al-Quran , banyak ayat yang menekankan tujuan Penciptaan Tuhan. Tujuan itu meluas hingga pada detail kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang diciptakan secara kebetulan. Segalanya dibuat dengan satu tujuan. Segala sesuatu merupakan tanda-tanda Tuhan: ayat. Kata tersebut merupakan salah satu kata penting dalam tradisi Islam; yang artinya bahwa segala yang ada di dunia, segala yang tampak oleh kita, sesungguhnya membawa pelajaran dari Tuhan. Maka, sekali lagi, sangatlah mudah untuk mengkaji sains modern dalam paradigma finalitas ini. Saya terheran-heran dengan perbedaan antara keberhasilan reduksionisme sebagai alat dan sebagai rancangan metodologis, dan kegagalannya sebagai rancangan filosofis. Eksplorasi kita terhadap detail fisika kosmos kini mengarah kepada sesuatu yang dapat dengan mudah dibaca sebagai finalitas. Semua”kebetulan” yang “ditafsirkan” dengan prinsip antropik dapat dibaca dengan mudah sebagai finalitas di dunia. Seorang Muslim tentunya tidak perlu bersusah payah untuk membaca hal itu. Yang mendapat masalah adalah orang-orang yang tak beriman, karena mereka memahami dunia ini sebagai sebuah bangunan raksasa yang berdiri di atas sejumlah sangat kecil pilar yang tertala-cermat (finely tuned): nilai-nilai konstanta fisika. Itulah yang menjadi masalah bagi mereka.
Clayton: Argumen apa yang Anda pakai sebagai seorang fisikawan, tentang keberadaan rancangan dan tujuan dalam alam semesta ini?
Guiderdoni: Telah banyak muncul karya tentang prinsip antropik, yang dirangkum dengan baik dalam buku karangan John Barrow, The Antropic Cosmological Principle. Secara historis, keluasan jagat raya telah digunakan sebagai arguman untuk menentang agama.Alasannya, jika jagat semesta demikian luas , manusia menjadi tidak ada artinya dan konsep adanya agama yang diwahyukan di planet kecil tempat kita tinggal pun tidak punya makna. Namun, kini kita tahu bahwa usia dan ukuran alam semesta yang bisa diamati berhubungan erat dengan kehadiran kita di bumi. Kita tidak dapat muncul di sebuah jagat raya yang memiliki usia dan ukuran yang berbeda (dari jagat raya yang kita huni sekarang). Usia alam semesta yang sangat tua diperlukan untuk pengayaan elemen berat, juga penting bagi pembentukan planet dan kemunculan kehidupan.
Ukuran semesta Merupakn konsekuensi usianya. Kita memerlukan ukuran semesta seperti ukuran semesta kita ini dan waktu selama usia semesta kita ini, agar kita (manusia) dapat muncul dibumi.
Clayton: Beberapa orang memberikan argumen-argumen fisika untuk mempertahankan apa yang biasa disebut prinsip antropik kuat. Apakah Anda bersimpati kepada pandangan yang menyatakan bahwa kemunculan kehidupan cerdas adalah sebuah keniscayaan tersebut dirancang di alam semesta sejak awal?
Guiderdoni: Ya, saya sepakat. Menurut saya, hal itu merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari kerja-kerja terbaru dalam kosmologi modern. Semua”kebetulan” pada konstanta-konstanta fisika membuat kompleksitas yang amat besar menjadi mungkin. Sebagai orang beriman, saya menganut prinsip antropik kuat; segalanya telah dirancang dengan cara tertentu untuk memungkinkan keberadaan manusia.
Clayton: Bolehkah saya menanyakan sifat-dasar prinsip tersebut? Ada orang bilang bahwa itu merupakan penjelasan metafisis. Ada yang bilang itu benar-benar merupakan kesimpulan fisika, bahwa prinsip itu bisa kita peroleh dari fisika, tanpa mesti beralih ke meta fisika.
Guiderdoni: Untuk saat ini, saya katakan bahwa itu bukan suatu prinsip fisika. Itu adalah sesuatu yang berakar dalam sains, tetapi merupakan prinsip metafisika. Memang ini merupakan arus balik menuju metafisika yang mengejutkan, karena banyak filosof menyatakan bahwa kita telah membunuh metafisika sejak kemunculan filsafat Kantian pada akhir abad ke-18. Kini, metafisika dimunculkan kembali saat tidak diharapkan , oleh sains itu sendiri.
Menurut saya, prinsip antropik tidak bisa dianggap sebagai prinsip fisika karena prinsip fisika harus bisa diprediksikan. Saya tidak tahu apakah telah muncul prediksi dari prinsip antropik. Namun, tentu saja kita tidak bisa menghilangkannya hanya karena prinsip ini punya makna metafisis.
Clayton: Dalam sains dasawarsa lalu, sebagaimana yang Anda gambarkan, kesimpulan-kesimpul an metafisis dipengaruhi oleh karya-karya bidang astrofisika, bahkan mungkin bisa diuji melalui cara-cara tertentu. Riset fisika sebenarnya bisa memberi bukti untuk beberapa tinjauan metafisis. Apakah saya mendiskripsikan pendirian Anda itu dengan benar?
Guiderdoni: Ya Anda benar. Kecenderungan dalam Islam selalu ke arah penyatuan. Maka, pernyataan bahwa metafisika bisa disingkirkan sepenuhnya dari sebarang bidang aktivitas atau pengetahuan manusia benar-benar tidak konsisten dengan pemikiran Islam. Dari sudut pandang sains modern, yang, setidak-tidaknya pada abad-abad lalu, berusaha meniadakan metafisika, kembalinya metafisika merupakan sebuah kejutan. Pemikiran Islam menekankan hubungan erat antara pendiskripsian jagat raya dan akar-akarnya dalam prinsip-prinsip metafisika dan spiritual. Keberhasilan reduksionisme sebagai sebuah metodologi keilmuan dan kegagalannya sebagai sebuah rancangan filsafat, menjadi dorongan kuat bagi pencarian jenis ilmu lain, cara lain untuk melihat kebenaran tunggal. Menurut saya, seluruh pemikiran Islam pun mengarah pada kesimpulan bahwa hanya ada satu kebenaran. Untuk mencapainya, kita memiliki banyak cara. Salah satunya adalah sains.. Baik kesuksesan maupun kegagalannya membesarkan hati. Kegagalannya, berupa ketiadaan jawaban-jawaban radikal, mungkin menjadi pendorong untuk beranjak kepada cara lain dalam memperoleh kebenaran. Mungkin jalan religius memiliki keistimewaan, dalam hal tertentu. Menurut saya, filsafat modern tidak menekankan pada pencarian kebenaran. Itu ditandai dengan lenyapnya metafisika. Jadi, mungkin agama adalah satu-satunya jalan yang tersisa bagi para ilmuan untuk mencoba memperoleh kebenaran.
Clayton: Jadi, mungkin bisa dikatakan seperti ini: bahwa sebagai seorang ilmuan, saya takjub dengan improbabilitas bahwa saya — sebagai orang yang mengetahui — harus ada di sini. Saat saya tatap alam semesta, tampaklah ia seolah-olah tertala-cermat, sehingga kehidupan dapat berkembang. Kemudian, saya mengetahui prinsip antropik dalam fisika, atau pentingnya posisi pengamat dalam bidang fisika kuantum, sehingga saya berfikir pasti ada tujuan tertentu bagi kita. Saya berpaling dari agama untuk mencari tahu apakah tujuan itu dan apakah tanggung jawab moral saya di hadapan Tuhan. Demikiankah gagasan Anda ?
Guiderdoni: Tepat sekali. Saya tidak menyukai penafsiran dualistik sains, khususnya mengenai mekanika kuantum. Saya menyukai realitas; saya adalah seoraang realis. Kita menduga bahwa ada realitas tersembunyi, sebuah “realitas terselubung”, sebagaimana dikatakan d’Espagnat. Kita mencoba untuk lebih dekat pada realitas ini melalui sains dan kita berhasil dalam beberapa hal. Namun, kita merasa bahwa kita membutuhkan suatu langkah kualitatif yang akan menggiring kita pada pertanyaan mengenai makna segala sesuatu. Menurut saya, kita hanya bisa memperoleh jawaban melalui pendekatan religius. Dan inilah sebabnya mengapa saya memandang dua aktivitas itu benar-benar komplementer..
Clayton: Islam,seperti halnya agama-agama Barat, mengajarkan bahwa umat manusia diciptakan bertanggung jawab secara moral, bebas, dan mampu berhubungan dengan Tuhan. Bagaimana pengertian manusia sebagai pribadi ini dapat dikatakan sesuai dengan teori sains mutakhir?
Guiderdoni: Ini adalah pertanyaan yang berkaitan; manusia digambarkan dalam Al-Quran sebagai wakil Tuhan di bumi. Jadi, ia tidak berada di atas ciptaan. Mungkin dikatakan bahwa pada peradaban Barat, khususnya pandangan — dunia Cartesian, hanya manusialah yang mempunyai jiwa; maka ia bisa berbuat apapun yang diinginkannya di dunia ini. Dalam Islam, manusia tidak berada di atas penciptaan, tetapi berada di pusatnya. Dan kita harus mengatur ciptaan tersebut, atas nam Tuhan, seperti penjaga kebun yang baik.. Kita bertanggung jawab atas ciptaan dan tidak bisa mengubahnya semau kita. Manusia berada di bumi ini sebagai konsekuensi dari sejumlah krisis luar biasa dalam perkembangan alam semesta: krisis dalam pembentukan galaksi, pembentukan spektrum-spektrum bintang, evolusi bintang dan seterusnya, hingga pembentukan planet-planet dan munculnya kehidupan, serta seluruh periode perkembangan hidup dan sebagainya. Sains mengajarkan bahwa kita berada di puncak bangunan kosmis raksasa, yang berusia 10 milyar tahun. Islam membantu saya merasa nyaman, karena penekanannya terhadap ilmu dan nilai-nilai etika. Pengetahuan tidak bisa di capai secara terpisah dari pencarian nilai-nilai etika. Nilai etika yang sesungguhnya adalah tanggung jawab. Jadi, pandangan ilmiah ini, yang mengatakan bahwa manusia merupakan akibat dari apa yang dinamakan “kebetulan-kebetulan” dan krisis- krisis yang luar biasa banyaknya itu, seharusnya menuntun kita pada pandangan religius yang memandang manusia memiliki rasa tanggung jawab yang besar di muka bumi.
Selain itu, hal yang sangat menarik adalah kemunculan manusia dalam kosmologi. Prinsip kosmologis menyatakan bahwa tempat yang “jauh” tidak ada bedanya dengan “di sini”; tidak ada posisi istimewa dalam jagat raya. Namun, hal ini membawa kemungkinan penjelajahan sejarah alam semesta. Karena kenyataan bahwa “yang jauh” sama dengan ” di sini”, maka sejarah alam semesta bisa di telusuri dengan mengamati benda-benda pada pergeseran merah (redshift) yang tinggi. Ini berarti pula bahwa jarak yang jauh memberi gambaran dari masa yang sangat lampau, karena cahaya berjalan pada kecepatan terbatas. Kita bisa merekonstruksi masa lalu alam semesta dan masa lau kita sendiri, sampai pada saat-saat pertama setelah terjanya Ledakan Besar. Jadi, kita berada pada posisi pusat; kita ada di pusat semesta yang bisa diamati. Dalam beberapa hal, kosmos kita sangatlah mirip dengan kosmos Abad pertengahan yang menempatkan manusia di pusat semesta. Tentu saja, kita tahu bahwa dunia ini tak terbatas. Namun, dunia yang bisa diamati adalah sebuah gelembung di keluasan alam semesta. Kita berada di posisi pusat seperti ini dalam upaya membangun pengetahuan kita mengenai dunia.
Dengan kata lain, kita berada di sebuah lokasi yang sesuai untuk mengamati semesta karena bidang galaksi kita, umpamanya, memiliki sebuah sudut pandang bagus terhadap bidang Supergugus Lokal(Local Super Cluster). Kita tidak berada dalam sebuah awan molekular dan seterusnya. Semesta yang mengelilingi kita, Galaksi Bima Sakti, agak tembus cahaya. Dan kita bisa mengakses masa yang sangat lampau. Jika kita hidup di galaksi lain, atau dalam sebuah awan molekular, semesta di sekeliling kita akan benar-benar buram, kecuali bagi radiasi cahaya inframerah dan gelombang radio. Pasti ada lebih banyak halangan untuk mengungkap semesta ini.
Ada banyak kemiripan dalam cara kita memandang dunia dengan cara Abad Pertengahan memandang dunia ini.. Bagi para pemikir Abad Pertengahan, batas jagat raya adalah bola langit(atau lebih tepatnya adalah Langit Kristal [Crystalline Sphere]), karena penemuan presesi ekuinoks (the precession of the equinoxes). Ini merupakan pembatasan yang amat tajam, pemisahan antara jagat raya di satu sisi dan Empyreum (lokus Singgasana Tuhan, ‘Arsy) pada sisi yang lain. Inilah batas maksimal bagi penciptaan. Dan kita pun memiliki batas ini, karena batas semesta yang bisa kita amati pun berbentuk sebuah bulatan. Pada permukaan bulatan itu, kita mendapatkan T=0 dan kita tidak bisa melihat lebih jauh. Lebih jauh lagi adalah masa lalu yang sudah terlalu lampau.. Itulah saat ledakan besar terjadi; yang merupakan misteri bagi kosmologi modern. Kita tahu bahwa dunia ini tidak terbatas dan penuh dengan bintang dan galaksi, tetapi kita punya pandangan yang dinamis terhadap jagat raya, kaitan yang erat antara menatap jarak yang jauh dan menggali masa lalu. Ketika kita melihat jauh, kita mencoba menggali asal mula keberadaan kita tetap sebagaimana Dante Alighieri menggambarkan secara alegoris dirinya mengarungi ruang angkasa untuk melihat wajah Tuhan. Ada banyak kemiripan lainnya antara pandangan Abad Pertengahan dengan sains modern mengenai jagat raya.
Clayton: Saya ingin tahu, bagaimana pengaruh pengetahuan kita mengenai evolusi kehidupan terhadap pandangan religius terhadap individu. Menurut biologi evolusioner, kita sangat mirip dengan mahluk primata tingkat tinggi lainnya. Sebagian besar materi genetis kita sama dengan mereka. Apakah hal itu menimbulkan ketegangan pada keyakinan religius mengenai keunikan sosok individu sebagai wakil Tuhan ?
Guiderdoni: Mungkin akan ada semacam tegangan jika Anda membaca Al-Quran secara harfiah. Namun,hal itu akan hilang jika kita mengkaji ayat-ayatnya secara terbuka. Penciptaan manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut: Manusia diciptakan Tuhan dari dua unsur. Ia tercipta dari tanah liat (thin) dan ruh Tuhan (Ruh). Proses penciptaan ini dulu ditafsirkan sebagai penciptaan yang terjadi seketika. Namun, tak satupun petunjuk dalam ayat-ayat suci itu yang mengharuskan kita tiba pada kesimpulan ini, karena segala sesuatu yang di deskripsikan oleh (teori) evolusi bisa jadi terkait dengan bagian dari evolusi kosmik sejak awal, dari nukleosintesis pada bintang-bintang dan seterusnya, dan fakta bahwa unsur-unsur kita,”tanah liat”, ada pada bintang-bintang 5 milyar tahun lalu. Bagian tanah liat ini membuat kita sangat dekat dengan dunia ini, sangat dekat dengan hewan.
Kita pun mempunyai bagian lainnya, yakni ruh Tuhan.. Ruh ini merupakan anugrah Tuhan, dan itu bukan satu-satunya alasan. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, tetapi pikiran bukan satu-satunya perbedaan. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kapasitas untuk mengenal Tuhan, untuk menyadari nama-nama-Nya dan sifat-sifat- Nya. Dalam tradisi Islam, manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang memiliki kemampuan untuk menyadari seluruh asma Tuhan, seluruh sifat-sifat- Nya. Inilah anugrah dari Ruh Tuhan dalam diri kita. Dalam Islam, tak ada hal-hal yang menyebabkan penentangan terhadap kemungkinan bahwa bentuk dan sifat-sifat manusia yang sama dengan hewan (unsur hewaniah) merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang.
Al-Quran tidak menceritakan sejarah dunia. Ia adalah kitab yang khas, sebuah kitab yang mengiring perhatian manusia kepada fakta-fakta signifikan. Ini bukanlah sebuah buku teks ilmiah. Bagian-bagian dari Al-Quran sangat puitis dan misterius, dan ayat-ayatnya bisa di baca dengan berbagai cara. Selama Abad Pertengahan, Al-Quran sering di baca secara harfiah, sangat mirip dengan yang di lakukan orang-orang Yahudi atau Kristen. Namun, ayat-ayat itu selalu terbuka untuk ditafsirkan dan di baca kembali.
Al-Quran menyatakan bahwa ada masa ketika manusia belum diciptakan. Manusia diciptakan untuk Tuhan, tetapi jagat raya di ciptakan untuk manusia, untuk menjadi tempat (lokus) pengetahuan kita mengenai Tuhan. Penciptaan manusia mungkin berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tetapi hitungan waktu tidak benar-benar signifikan dari sudut pandang spiritual.. Yang penting adalah apa yang sedang terjadi sekarang dan kemampuan kita untuk memahami tindakan Tuhan di jagat raya.
Clayton: Jadi, kisah-kisah tentang bagaimana segala sesuatu terjadi dan bahwa manusia berbeda dari hewan tidak begitu penting dalam Islam, jika dibandingkan dalam agama Kristen? Permasalahan yang penting adalah bagaimana pemahaman manusia saat ini di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia hidup dan berperilaku. Apakah demikian?
Guiderdoni: Ya, saya pikir begitu. Dalam Islam, ada penekanan bagi realisasi spiritual. Realisasi spiritual ini juga sama pentingnya dalam ajaran Buddha dan Hindu. Sebagai orang Barat, kita terbiasa menangani banyak masalah, yang sebagian tidak ada kaitannya dengan kita. Meskipun kita mencapai kesuksesan dalam penjelajahan jagat raya, tujuan penciptaan diri kita bukanlah penemuan jagat raya tersebut. Kita tidak memiliki deskripsi yang luar biasa mengenai sejarah jagat raya. Namun, terlepas dari penemuan-penemuan ini, hal yang penting justru terlupakan: realisasi spiritual manusia. Karenanya, kita butuh lebih banyak pengetahuan daripada yang bisa diberikan oleh sains. Kita di Barat biasa berpikir bahwa kita hanya bisa mengetahui apa yang bisa kita rumuskan menjadi konsep. Agama-agama Timur, termasuk Islam, yang merupakan agama Timur dari sudut pandang ini, mengajarkan bahwa kita bisa mengetahui leih banyak daripada yang bisa kita konsepsikan. Tentu saja, kita (bangsa Barat) sangat piawai memakai nalar kita. Namun, kita pun punya jenis kecerdasan lainnya. Kita mempunyai apa yang disebut oleh filosof Abad Pertengahan sebagai “intelek”, yakni kemampuan untuk merenungkan kebenaran. Jadi, jika kita ingin mencari tahu asal-usul keberadaan kita, kita bisa memperoleh bermacam-macam jawaban. Kita mendapatkan jawaban berdasarkan kosmologi modern, kita pun punya pendekatan spiritual dan mistis.
Jawaban yang lengkap hanya bisa di temukan di akhirat, yang menurut tradisi Islam juga merupakan dunia pengetahuan. Di bumi, kita di batasi oleh hukum alam dan kita hanya bisa mendapat jawaban parsial atas pertanyaan-pertanya an penting. Di akhirat kelak pengetahuan- langsung akan tersingkap.
Clayton: Dan intuisi spontan dari intellectus pun akan kita dapatkan, sementara di dunia ini kita hanya memiliki cara-cara terbatas untuk mengetahui, dengan nalar modern dan analisisnya, bukan dengan sintesis.
Guiderdoni: Tepat sekali. Kita (Bangsa Barat) sangat berhasil dalam bidang algoritma. Namun, kita lupa bahwa ada jalan lain; kecerdasan tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga memiliki sisi sintesis, sebagaimana yang tadi Anda katakan. Ia pun berhubungan dengan misteri kreativitas ilmiah dan penemuan ilmiah. Bagaimanakah sebuah gagasan bisa terbetik dalam benak seorang ilmuan? Ini merupakan pertanyaan besar. Kita bisa saja mengajari mahasiswa kita banyak hal mengenai sains, tetapi kita tidak bisa mengajari mereka bagaimana menemukan, karena kita benar-benar melupakan sisi kontemplatif dalam pikiran manusia dan aktivitas manusia secara umum. Dalam agama, kami menemukan kembali pentingnya jalan kontemplasi.
Clayton: Bisakah amal dan ketaatan religius membuat kita lebih kreatif dan menambahkan bagi sisi analitis suatu cara berpikir yang lebih holistik?
Guiderdoni: Menurut saya, itu mungkin saja. Kita mempunyai contoh orang-orang suci yang sangat kreatif, bukan hanya dalam Islam, tentu saja, melainkan di semua agama. Kami punya kesan bahwa beberapa jenis amal bisa membuka cakrawala berpikir atau membantu pikiran menghilangkan hambatan yang berhubungan dengan hawa nafsu, dan lain sebagainya. Mungkin amal seperti inilah yang bisa membuat seseorang lebih kreatif dan lebih efisien di duni ini. Namun, sekali lagi, itu bukan tujuan utama amal religius. Tujuan utamanya adalah bukanlah penemuan dunia ini, melainkan amal di dunia atas nama Tuhan. Melalui hal itu, kita bisa menemukan Tuhan.
Clayton: Dasar keyakinan Islam adalah Tuhan tidak hanya merupakan Sang Pencipta, tetapi, dalam makna tertentu, juga Sang Pengatur. Dengan kata lain, Dialah Pengatur alam semesta. Apakah dalam tradisi Islam pemahaman mengenai Tuhan semacam ini berubah setelah bersentuhan dengan sains modern atau tetap tidak terpengaruh? Adakah penentangan terhadap keyakinan dan aktivitas Tuhan ini, dikarenakan perkembangan pengetahuan kita atas dunia fisikal ini?
Guiderdoni: Ini pertanyaan yang sangat pelik dan ada beragam jawaban, sesuai dengan periode sejarah yang kita perhatikan. Kini , tidak terdapat perdebatan antara sains dan teologi Islam, karena teologi Islam sudah hampir lenyap. Saat ini kami, Dunia Islam, sedang berada dalam masa sulit. Ada dua kecenderungan utama dalam pemikiran Islam dewasa ini: yang pertama bisa disebut kecenderungan rasionalistis, atau modernisme, yang menerima hasil-hasil sains modern tanpa bersikap kritis. Kecenderungan ini berupa penerimaan menyeluruh terhadap semua hasil pemikiran dan teknologi modern, tanpa upaya kritis untuk mempertanyakan apakah hasil-hasil itu sesuai dengan pemikiran atau teologi Islam. Kecenderungan kedua adalah perspektif fundamentalis: segala sesuat yang datang dari peradaban Barat dianggap buruk hanya karena berasal dari Barat. Kaum fundamentalis ingin membangun sains Islam yang selaras dengan sains modern. Kaum fundamentalis menganggap sains modern sebagai sains Barat atau sains Kristen. Ini benar-benar bertolak belakang dengan tradisi intelek dan spiritual yang luar biasa dalam Islam. Sayangnya, perdebatan dalam Dunia Islam modern sangat langka. Harus ada jalan ketiga di antara kedua jalan ekstrem ini dalam memandang segala hal.
Malangnya, kebanyakan pemikir Muslim lebih tertarik pada masalah sosial dari pada masalah fundamental, karena negara-negara Islam menghadapi begitu banyak masalah ekonomi dan sosial. Jadi, kebanyakan refleksi dalam Islam berpusat pada masalah-masalah tersebut. Namun sesungguhnya, secara historis –d an karena alasan yang sangat kuat — kecenderungan teologi Islam adalah membahas masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Kita tidak bisa mengurusi masalah-masalah sosial atau ekonomi dengan baik tanpa berefleksi pada masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Inilah kelemahan besar pemikiran Islam modern dan merupakan penyebab mengapa refleksi Islam modern terhadap masalah sosial dan ekonomi sering tidak mendalam. Itu pula penyebab mengapa kami tergiring pada situasi kekerasan sekarang ini. Pada dasarnya, filsafat Islam telah lenyap pada akhir Abad Pertengahan. Pemikiran Islam mengalami kemunduran kecuali pada bidang tasawuf. Pada bidang ini refleksi selalu ada, tetapi sedikit tersembunyi. Tidak mudah menemukan buku yang bagus atau seseorang yang merenungkan pertanyaan Anda tadi.
Clayton: Apakah Anda memahami kerja yang Anda lakukan sebagai bagian dari upaya membantu perubahan teologi Islam supaya lebih memikirkan pertanyaan ini, umpamanya kerja Anda dengan televisi Prancis?
Guiderdoni: Menurut saya, di Eropa kami lebih siap untuk menjawab pertanyaan-pertanya an semacam ini karena kami memiliki dasar-dasar intelektual. Kami hidup dengan pertanyaan-pertanya an semacam in. Mungkin kami lebih siap berpikir lebih tenang, karena kami tidak perlu menghadapi masalah-masalah ekonomi dan politik yang parah seperti di hadapi oleh banyak negara Muslim. Karenanya, kami punya kesempatan untuk berdiskusi. Contohnya, saya sering memberi kuliah tentang soal-soal ini di masjid-masjid dan menemui begitu banyak kaum muda Muslim yang tumbuh di Eropa dan telah meneima pendidikan budaya Barat. Mereka menanti refleksi semacam ini karena hal itu memang diperlukan.
Clayton: Jadi, jika kita berangkat dari anggapan bahwa pemikiran Islam di wilayah ini berada pada tahap awal dan bahwa jawaban yang muncul pastilah sangat spekulatif di mata seorang Muslim, apa pendapat pribadi Anda mengenai hubungan antara Tuhan, aktivitas Tuhan di dunia, dan deskripsi fisikal realitas?
Guiderdoni: Al-Quran tidak menjelaskan terlalu mendetail soal ini. Tapi, ada dua ayat yang bagi saya tampaknya sangat relevan. Satu ayat menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan matematis. Al-Quran mengatakan bahwa “matahari dan rembulan beredar menurut suatu perhitungan” (QS Al-Rahman[55] :5).Ada “angka-angka’ di jagat raya. Al-Quran menarik perhatian pembacanya pada segala keteraturan di jagat raya. Ada juga ayat lainnya yang menyatakan bahwa “tiada yang berubah dalam ciptaan Tuhan”. Itu berarti ada keteraturan. Keteraturan yang kita lihat di alam dikarenakan terdapat tatanan sejak awal dan ini bisa di identifikasikan, tentu saja, dengan hukum-hukum alam yang di ciptakan oleh Tuhan. Tuhan membuat hukum-hukum alam menjadi mungkin. Tuhan adalah pemelihara hukum alam.
Clayton: Mungkinkah ini merupakan sebuah pemahaman tentang tindakan Tuhan yang dibahasakan dalam istilah-istilah keteraturan alam dan sifat penciptaan yang seolah memang sengaja di tata?
Guiderdoni: Benar: keteraturan dan tatanan yang terus berlangsung. Ada ayat lain yang sangat indah. Ayat itu menyatakan bahwa kita tak akan mampu menemukan “celah” dalam ciptaan Tuhan. Tak ada yang melenceng. Segalanya serba-teratur dan tertata.. Sebab, Tuhan sendiri adalah tatanan. Tuhan adalah keindahan. Dan keindahan yang kita lihat dalam jagat raya adalah bayangan keindahan Tuhan. Ini yang pertama. Hal kedua, yang tak mengejutkan, bahwa keteraturan ini secara mendasar bersifat intelektual. Mereka di bentuk oleh sebuah kecerdasan yang juga menciptakan kecerdasan kita. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila kita mampu menjelajahi jagat raya, karena jagat raya bukanlah sebuah negeri asing; ia tak berbeda dari kita. Kita dan alam semesta di ciptakan oleh Kecerdasan yang sama.
Clayton: Dapatkah cara berpikir seperti ini membawa kita pada sebuah pandangan bahwa Tuhan mengendalikan alam semesta tidak dalam bentuk tindakan-tindakan langsung, tetapi dalam bentuk penciptaan awal berupa suatu tatanan yang kemudian membentuk sifat-sifat dunia di masa berikutnya? Atau perlukah menjaga konsep tentang tindakan Tuhan yang terus-menerus ?
Guiderdoni: Dalam teologi Islam, ada doktrin yang disebut pembaharuan penciptaan pada setiap saat. Alasannya adalah bahwa keteraturan di dunia tidak hanya sekadar ada; mereka tak bisa berjalan jika Tuhan tidak memperbarui mereka setiap saat.. Gagasan ini juga terdapat dalam filsafat Barat dengan nama “oksionalisme”. Teologi Islam menggunakan gagasan fisika atomistik, sehingga tentu saja cukup mirip dengan cara pandang kita sekarang terhadap jagat raya, yang juga bersifat atomistik. Namun, teologi klasik Asy’ariyyah, yang berkembang selama abad ke-19 dan ke-10 Masehi, menyatakan bahwa Tuhan menciptakan atom-atom dan aksiden-aksiden setiap saat. Dengan demikian, atom tak memiliki kemampuan untuk berbuat terhadap atom lain karena atom-atom tak cukup mengada. Kausalitas sepenuhnya diadakan oleh Tuhan. Ada sebuah contoh klasik yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali, salah seorang pemikir agung Islam. Ia mengatakan bahwa api pada dasarnya tak memiliki kemampuan untuk membakar selembar kertas. Jika kita mendekatkan api pada secarik kertas, kita melihat kertas itu terbakar, tetapi ini bukan karena kita mendekatkan api pada kertas itu. Ini adalah kehendak Tuhan karena api tak memiliki kapasitas dalam dirinya untuk membakar. Ini merupakan sebuah pernyataan yang kuat dan sangat bertentangan dengan cara kita memandang kausalitas di dunia. Kita bisa menerima bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan kausalitas, dengan hukum-hukum, tetapi kita merasa bahwa setelah momen penciptaan, Tuhan membiarkan hukum-hukum itu berjalan sendiri secara mekanistis. Teologi Islam klasik menyatakan bahwa pada akhirnya perdebatan tentang kausalitas amatlah rumit dan secara esensial bersifat metafisis. Siapakah yang membuat hukum alam? Apakah hukum-hukum alam terletak pada materi? Mengapa harus ada hukum alam? Newton mengatakan bahwa hukum gravitasi di mungkinkan karena Tuhan ada dan memelihara hukum gravitasi agar tetap ada sepanjang waktu. Akhirnya, saya pikir teologi Islam juga sama. Persoalan-persoalan kausalitas dan kekekalan hukum-hukum fisika adalah pertanyaan-pertanya an utama yang tak terpecahkan oleh filsafat kita. Orang Barat cenderung membayangkan hukum alam sebagai sebuah deskripsi bersifat perkiraan atas segelintir keteraturan di dunia. Dalam cara pandang ini, materi akan didominasi oleh sebab dan kebetulan, dan kita berusaha menjelaskannya dengan meraba-raba. Namun, dalam cara pandang teologi Islam, hukum-hukum alam adalah “isi” alam semesta. Keteraturan, simetri, dan hukum-hukum kekekalan, itu semua hanya penjelasan kita, cara pikir kita tentang “materi”. Ini karena materi diciptakan oleh intelek. Ia di buat dengan simetri dan matematika.
Clayton: Alangkah menakjubkan. Kini, izinkan saya beralih ke pertanyaan terakhir, sebuah pertanyaan pribadi. Dengan cara bagaimanakah keyakinan agama Anda memotivasi kerja ilmiah Anda dan apakah riset ilmiah atau astrofisika mengilhami keyakinan religius Anda?
Guiderdoni: Barangkali, langkah pertama dalam sebuah perjalanan spiritual akan terkecewakan oleh sejumlah pertanyaan yang tak terjawab dan kita mencoba untuk mencari pengetahuan dengan cara lain ; contohnya dengan bemuhibah ke negeri-negeri Timur, meninggalkan segala kehidupan modern dan menyepi di biara atau padepokan. Namun, itu merupakan pengingkaran kenyataan. Latihan religius yang saya tempuh telah mengajari saya bahwa kita harus menerima realitas apa adanya, sesuai dengan batas-batas kita. Namun, kita harus juga menerima segala keindahan dan kekayaannya. Sains memiliki banyak batasan, tetapi juga memiliki keindahan dan daya tarik yang luar biasa. Inilah alasan mengapa saya terus menggelutinya dan berharap dapat mengembangkan diri di masa depan. Namun, saya melihat kedua aktivitas ini mengarah pada satu realitas yang sama. [amanag-land]
Source : Warna Islam; http://2i2h.multiply.com/notes/item/896?mark_read=2i2h:notes:896
Professor Karen : Masuk Islam Karena Terinspirasi Penderitaan Dan Kemiskinan Pakistan Dan Afghanistan
DUA minggu lalu, selepas Jumat saya menemukan secarik kertas di atas meja kantor saya di Islamic Cultural Center of New York . Isinya kira-kira berbunyi, “I have been trying to reach you but never had a good luck! Would you please call me back? Karen.”
Berhubung karena berbagai kesibukan lainnya, saya menunda menelepon balik Karen hingga dua hari lalu. “Oh! thank you so much for getting back to me!” jawabnya ketika saya perkenalkan diri dari Islamic Center of New York. “I am really sorry for delaying to call you back,” kataku, sambil menanyakan siapa dan apa latar belakang sang penelpon.
“Hi, I am sorry! My name is Karen Henderson, and I am a professor at the NYU (New York University),” katanya.
“And so what I can do for you?” tanyaku. Dia kemudian menanyakan jika saya ada beberapa menit untuk berbicara lewat telepon. “Yes, certainly I have, just for you, professor!” candaku. “Oh.. that is so kind of you!” jawabnya.
Karen kemudian bercerita panjang mengenai dirinya, latar belakang keluarganya, profesinya, dan bahkan status sosialnya.
“Saya adalah seorang professor yang mengajar sosiologi di New York University,” demikian dia memulai. Namun menurutnya lagi, sebagai sosiolog, dia tidak saja mengajar di universitas tapi juga melakukan berbagai penelitian di berbagai tempat, termasuk luar negeri.
Karen sudah pernah mengunjungi banyak negara untuk tujuan penelitiannya, termasuk dua negara yang justru disebutnya sebagai sumber inspirasi. Yaitu Pakistan dan Afghanistan.
“Saya menghabiskan lebih dari 3 tahun di negara ini, sebagian besar di desa-desa,” katanya. “Selama tiga tahun, saya punya banyak kenangan tentang orang-orang. Mereka sangat menakjubkan,” lanjutnya.
Tidak terasa Karen berbicara di telepon hampir 20 menit. Sementara saya hanya mendengarkan dengan serius dan tanpa menyela sekalipun. Selain itu Karen berbicara dengan sangat menarik, informatif, dan disampaikan dalam bahasa yang jelas, membuat saya lebih tertarik mendengar. Mungkin karena dia adalah seorang professor, jadi dalam berbicara dia sangat sistematis dan eloquent.
“Karen, itu adalah cerita yang sangat menarik. Saya yakin apa yang Anda lakukan seperti pengalamanku juga. Saya tinggal di Pakistan 7 tahun, dan memiliki kesempatan untuk mengunjungi banyak daerah-daerah yang tidak Anda sebutkan, ” kataku.
“Tapi apa kau ingin menceritakan cerita ini?” tanyaku Lagi
Nampaknya Karena menarik napas, lalu menjawab. Tapi kali ini dengan suara lembut dan agak lamban.
“Sir, saya ingin tahu Islam lebih lanjut, agama orang-orang ini. Mereka adalah orang-orang manis, dan saya pikir saya telah terinspirasi oleh mereka dalam banyak hal, ” katanya.
Tapi karena waktu yang tidak terlalu mengizinkan untuk saya banyak berbicara lewat telepon, saya meminta Karen untuk datang ke Islamic Center keesokan harinya, Sabtu lalu. Dia pun menyetujui dan disepakatilah pukul 1:30 siang, persis jam ketika saya mengajar di kelas khusus non-muslim, Islamic Forum for non-Muslims.
Keesokan harinya, Sabtu, saya tiba agak telat. Sekitar pukul 12 siang saya tiba, dan pihak security menyampaikan bahwa dari tadi ada seorang wanita menunggu saya. “She is the mosque.” (maksudnya di ruang shalat wanita). Saya segera meminta security untuk memanggil wanita tersebut ke kantor untuk menemui saya.
Tak lama kemudian datanglah seorang wanita dengan pakaian ala Asia Selatan (India Pakistan). Sepasang shalwar dan gamiz, lengkap dengan penutup kepala ala kerudung Benazir Bhutto.
“Hi, sorry for coming earlier! I can wait at the mosque, if you are still busy with other things,” kata wanita baya umur 40-an tahun itu. Dia jelas Amerika berkulit putih, kemungkinan keturunan Jerman.
“Not at all, professor! I am free for you,” jawabku sambil tersenyum.
“Silakan duduk dulu, aku pamit sekitar lima menit,” mintaku untuk sekedar melihat-lihat weekend school program hari itu.
Setelah selesai melihat-lihat beberapa kelas pada hari itu, saya kembali ke kantor. “I am sorry Professor!” sapaku.
“Please do call me by name, Karen!” pintanya sambil tersenyum.
“You know, saya lebih senang memanggil seseorang penuh penghormatan. Dan aku benar-benar tak tahu bagaimana harus memanggil Anda,” kataku. “Di sejumlah negara, orang suka dikenal dengan gelar profesional mereka. Tapi aku tahu, di Amerika tidak,” lanjutku sambil ketawa kecil.
Kita kemudian hanyut dalam pembicaraan dalam berbagai hal, mulai dari isu hangat tentang kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah komedi kartun Amerika, hingga kepada asal usul Karen itu sendiri.
“Saya adalah seorang kelahiran Yahudi. Orangtua saya orang Yahudi, tetapi Anda tahu, terutama ayahku, dia tidak percaya pada agama lagi,” katanya.
Bahkan menurutnya, ayahnya itu seringkali menilai konsep tuhan sebagai sekedar alat repression (menekan) sepanjang sejarah manusia.
Namun menurut Karen, walaupun tidak percaya agama dan mengaku tidak percaya tuhan, ayahnya masih juga merayakan hari-hari besar Yahudi, seperti Hanukkah, Sabbath, dll.
“Perayaan ini, sebagai orang Yahudi kebanyakan, tidak lebih dari warisan tradisi, “ jelasnya. “Yudaisme adalah saya pikir bukan agama, dalam arti lebih tentang budaya dan keluarga, “ tambahnya.
Dalam hatiku saya mengatakan bahwa semua itu bukan baru bagi saya. Sekitar 60 persen atau lebih Yahudi di Amerika Serikat adalah dari kalangan sekte ‘reform’ (pembaharu). Mereka ini ternyata telah melakukan reformasi mendasar dalam agama mereka, termasuk dalam hal-hal akidah atau keyakinan. “Sekte reform” misalnya, sama sekali tidak percaya lagi kepada kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di gereja Marble Collegiate tahun lalu tentang konsep kehidupan.
Pembicaranya adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi dari Central Synagogue Manhattan. Ketika kita telah sampai kepada isu hari Akhirat, Rabbi tersebut mengaku tidak percaya.
Tiba-tiba salah seorang hadirin yang juga murid muallaf saya keturunan Rusia berdiri dan bertanya, “Jadi, jika Anda tidak percaya pada kehidupan setelah kematian, mengapa Anda harus pergi ke rumah ibadat, mengenakan yarmukka, memberi amal, dll? Mengapa Anda merasa perlu untuk bersikap jujur, bermanfaat untuk orang lain? Dan mengapa kita harus menghindari hal-hal yang harus kita hindari? ” begitu pertanyaannya kala itu.
Sang Rabbi hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Kami melakukan semua karena apa yang harus kita lakukan,” ujarnya. Mendengar jawaban sang Rabbi, semua hadirin hanya tersenyum, dan bahkan banyak yang tertawa.
Kembali ke Karen, kita kemudian hanyut dalam dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, beberapa negara Eropa, dan juga Asia , termasuk Asia Selatan.”Tapi satu hal yang harus aku ceritakan padamu, orang-orang Pakistan dan Afghan adalah orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.
“Apa yang membuat Anda benar-benar heran tentang mereka,” tanyaku.
“Banyak, religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa yang paling menakjubkan tentang mereka adalah kekuatan mereka, dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
“Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan yang sangat menantang.”
Saya tidak pernah menyangka kalau Karen tiba-tiba meneteskan airmata di tengah-tengah pembicaraan kami. Dia seorang professor yang senior, walau masih belia dalam umur. Tapi juga pengalamannya yang luar biasa, menjadikan saya lebih banyak mendengar.
Di tengah-tengah membicarakan ‘kesulitan hidup’ orang-orang Afghanistan dan Pakistan, khususnya di daerah pegunungan-pegunungan, dia meneteskan airmata tapi sambil melemparkan senyum. “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah ini,” katanya.
Segera saya ambil kendali. Saya bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut ajaran Islam. Bahkan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia sementara, dan bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu sendiri.
“Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di sini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada beberapa tempat, kadang di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan harapan akan terpenuhi, ” jelasku. “Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar dan tekad untuk menjalani hidup kita sepenuhnya, tidak peduli bagaimana situasi dapat mengelilingi kehidupan itu sendiri,” jelasku.
Tanpa terasa adzan Dhuhur dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara. Nampaknya Karen paham bahwa ketika adzan didengarkan, maka kita seharusnya mendengarkan dan menjawab. Mungkin dia sendiri tidak paham apa yang seharusnya diucapkan, tapi dia tersenyum ketika saya meminta maaf berhenti berbicara.
Setelah adzan, saya melanjutkan sedikit, lalu saya tanya kepada Karen, “Jadi, apa yang benar-benar membuat Anda menelepon saya?”
“Saya ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang-orang itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurangan kebahagiaan,” ujarnya seolah bernada marah.
“Tapi kenapa kau harus datang dan membicarakan dengan saya?” pancingku lagi.
Karen merubah posisi duduknya, tapi nampak sangat serius lalu berkata. “Aku sudah memikirkan ini untuk waktu yang cukup lama. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana untuk melanjutkan itu. Aku ingin menjadi seorang muslim,” ujarnya mantap.
Saya segera menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim itu sebenarnya sangat mudah. Yang susah adalah proses menemukan hidayah. Jadi nampaknya Anda sudah melalui proses itu, dan kini sudah menuju kepada jenjang akhir.
“Pertanyaan saya adalah apakah Anda benar-benar yakin bahwa ini adalah agama yang Anda yakini sebagai kebenaran, “ kataku.
“Ya, tentu tidak diragukan lagi!” Jawabnya tegas.
Saya segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu. Ternyata dia sudah bisa wudhu dan shalat, hanya belum hafal bacaan-bacaan shalat tersebut.
Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan, “Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah” dengan penuh khusyu’ dan diikuti pekikan takbir ratusan jamaah yang hadir.
Hanya doa yang menyertai, semoga Karen Henderson dijaga dan dikuatkan dalam iman, tumbuh menjadi pejuang Islam di bidangnya sebagai profesor ilmu-ilmu sosial di salah satu universitas bergengsi di AS. Amin! (diceritakan oleh M.syamsi Ali)
http://hidayatullah.com/kolom/syamsi-ali/11529?task=view
Berhubung karena berbagai kesibukan lainnya, saya menunda menelepon balik Karen hingga dua hari lalu. “Oh! thank you so much for getting back to me!” jawabnya ketika saya perkenalkan diri dari Islamic Center of New York. “I am really sorry for delaying to call you back,” kataku, sambil menanyakan siapa dan apa latar belakang sang penelpon.
“Hi, I am sorry! My name is Karen Henderson, and I am a professor at the NYU (New York University),” katanya.
“And so what I can do for you?” tanyaku. Dia kemudian menanyakan jika saya ada beberapa menit untuk berbicara lewat telepon. “Yes, certainly I have, just for you, professor!” candaku. “Oh.. that is so kind of you!” jawabnya.
Karen kemudian bercerita panjang mengenai dirinya, latar belakang keluarganya, profesinya, dan bahkan status sosialnya.
“Saya adalah seorang professor yang mengajar sosiologi di New York University,” demikian dia memulai. Namun menurutnya lagi, sebagai sosiolog, dia tidak saja mengajar di universitas tapi juga melakukan berbagai penelitian di berbagai tempat, termasuk luar negeri.
Karen sudah pernah mengunjungi banyak negara untuk tujuan penelitiannya, termasuk dua negara yang justru disebutnya sebagai sumber inspirasi. Yaitu Pakistan dan Afghanistan.
“Saya menghabiskan lebih dari 3 tahun di negara ini, sebagian besar di desa-desa,” katanya. “Selama tiga tahun, saya punya banyak kenangan tentang orang-orang. Mereka sangat menakjubkan,” lanjutnya.
Tidak terasa Karen berbicara di telepon hampir 20 menit. Sementara saya hanya mendengarkan dengan serius dan tanpa menyela sekalipun. Selain itu Karen berbicara dengan sangat menarik, informatif, dan disampaikan dalam bahasa yang jelas, membuat saya lebih tertarik mendengar. Mungkin karena dia adalah seorang professor, jadi dalam berbicara dia sangat sistematis dan eloquent.
“Karen, itu adalah cerita yang sangat menarik. Saya yakin apa yang Anda lakukan seperti pengalamanku juga. Saya tinggal di Pakistan 7 tahun, dan memiliki kesempatan untuk mengunjungi banyak daerah-daerah yang tidak Anda sebutkan, ” kataku.
“Tapi apa kau ingin menceritakan cerita ini?” tanyaku Lagi
Nampaknya Karena menarik napas, lalu menjawab. Tapi kali ini dengan suara lembut dan agak lamban.
“Sir, saya ingin tahu Islam lebih lanjut, agama orang-orang ini. Mereka adalah orang-orang manis, dan saya pikir saya telah terinspirasi oleh mereka dalam banyak hal, ” katanya.
Tapi karena waktu yang tidak terlalu mengizinkan untuk saya banyak berbicara lewat telepon, saya meminta Karen untuk datang ke Islamic Center keesokan harinya, Sabtu lalu. Dia pun menyetujui dan disepakatilah pukul 1:30 siang, persis jam ketika saya mengajar di kelas khusus non-muslim, Islamic Forum for non-Muslims.
Keesokan harinya, Sabtu, saya tiba agak telat. Sekitar pukul 12 siang saya tiba, dan pihak security menyampaikan bahwa dari tadi ada seorang wanita menunggu saya. “She is the mosque.” (maksudnya di ruang shalat wanita). Saya segera meminta security untuk memanggil wanita tersebut ke kantor untuk menemui saya.
Tak lama kemudian datanglah seorang wanita dengan pakaian ala Asia Selatan (India Pakistan). Sepasang shalwar dan gamiz, lengkap dengan penutup kepala ala kerudung Benazir Bhutto.
“Hi, sorry for coming earlier! I can wait at the mosque, if you are still busy with other things,” kata wanita baya umur 40-an tahun itu. Dia jelas Amerika berkulit putih, kemungkinan keturunan Jerman.
“Not at all, professor! I am free for you,” jawabku sambil tersenyum.
“Silakan duduk dulu, aku pamit sekitar lima menit,” mintaku untuk sekedar melihat-lihat weekend school program hari itu.
Setelah selesai melihat-lihat beberapa kelas pada hari itu, saya kembali ke kantor. “I am sorry Professor!” sapaku.
“Please do call me by name, Karen!” pintanya sambil tersenyum.
“You know, saya lebih senang memanggil seseorang penuh penghormatan. Dan aku benar-benar tak tahu bagaimana harus memanggil Anda,” kataku. “Di sejumlah negara, orang suka dikenal dengan gelar profesional mereka. Tapi aku tahu, di Amerika tidak,” lanjutku sambil ketawa kecil.
Kita kemudian hanyut dalam pembicaraan dalam berbagai hal, mulai dari isu hangat tentang kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah komedi kartun Amerika, hingga kepada asal usul Karen itu sendiri.
“Saya adalah seorang kelahiran Yahudi. Orangtua saya orang Yahudi, tetapi Anda tahu, terutama ayahku, dia tidak percaya pada agama lagi,” katanya.
Bahkan menurutnya, ayahnya itu seringkali menilai konsep tuhan sebagai sekedar alat repression (menekan) sepanjang sejarah manusia.
Namun menurut Karen, walaupun tidak percaya agama dan mengaku tidak percaya tuhan, ayahnya masih juga merayakan hari-hari besar Yahudi, seperti Hanukkah, Sabbath, dll.
“Perayaan ini, sebagai orang Yahudi kebanyakan, tidak lebih dari warisan tradisi, “ jelasnya. “Yudaisme adalah saya pikir bukan agama, dalam arti lebih tentang budaya dan keluarga, “ tambahnya.
Dalam hatiku saya mengatakan bahwa semua itu bukan baru bagi saya. Sekitar 60 persen atau lebih Yahudi di Amerika Serikat adalah dari kalangan sekte ‘reform’ (pembaharu). Mereka ini ternyata telah melakukan reformasi mendasar dalam agama mereka, termasuk dalam hal-hal akidah atau keyakinan. “Sekte reform” misalnya, sama sekali tidak percaya lagi kepada kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di gereja Marble Collegiate tahun lalu tentang konsep kehidupan.
Pembicaranya adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi dari Central Synagogue Manhattan. Ketika kita telah sampai kepada isu hari Akhirat, Rabbi tersebut mengaku tidak percaya.
Tiba-tiba salah seorang hadirin yang juga murid muallaf saya keturunan Rusia berdiri dan bertanya, “Jadi, jika Anda tidak percaya pada kehidupan setelah kematian, mengapa Anda harus pergi ke rumah ibadat, mengenakan yarmukka, memberi amal, dll? Mengapa Anda merasa perlu untuk bersikap jujur, bermanfaat untuk orang lain? Dan mengapa kita harus menghindari hal-hal yang harus kita hindari? ” begitu pertanyaannya kala itu.
Sang Rabbi hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Kami melakukan semua karena apa yang harus kita lakukan,” ujarnya. Mendengar jawaban sang Rabbi, semua hadirin hanya tersenyum, dan bahkan banyak yang tertawa.
Kembali ke Karen, kita kemudian hanyut dalam dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, beberapa negara Eropa, dan juga Asia , termasuk Asia Selatan.”Tapi satu hal yang harus aku ceritakan padamu, orang-orang Pakistan dan Afghan adalah orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.
“Apa yang membuat Anda benar-benar heran tentang mereka,” tanyaku.
“Banyak, religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa yang paling menakjubkan tentang mereka adalah kekuatan mereka, dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
“Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan yang sangat menantang.”
Saya tidak pernah menyangka kalau Karen tiba-tiba meneteskan airmata di tengah-tengah pembicaraan kami. Dia seorang professor yang senior, walau masih belia dalam umur. Tapi juga pengalamannya yang luar biasa, menjadikan saya lebih banyak mendengar.
Di tengah-tengah membicarakan ‘kesulitan hidup’ orang-orang Afghanistan dan Pakistan, khususnya di daerah pegunungan-pegunungan, dia meneteskan airmata tapi sambil melemparkan senyum. “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah ini,” katanya.
Segera saya ambil kendali. Saya bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut ajaran Islam. Bahkan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia sementara, dan bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu sendiri.
“Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di sini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada beberapa tempat, kadang di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan harapan akan terpenuhi, ” jelasku. “Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar dan tekad untuk menjalani hidup kita sepenuhnya, tidak peduli bagaimana situasi dapat mengelilingi kehidupan itu sendiri,” jelasku.
Tanpa terasa adzan Dhuhur dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara. Nampaknya Karen paham bahwa ketika adzan didengarkan, maka kita seharusnya mendengarkan dan menjawab. Mungkin dia sendiri tidak paham apa yang seharusnya diucapkan, tapi dia tersenyum ketika saya meminta maaf berhenti berbicara.
Setelah adzan, saya melanjutkan sedikit, lalu saya tanya kepada Karen, “Jadi, apa yang benar-benar membuat Anda menelepon saya?”
“Saya ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang-orang itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurangan kebahagiaan,” ujarnya seolah bernada marah.
“Tapi kenapa kau harus datang dan membicarakan dengan saya?” pancingku lagi.
Karen merubah posisi duduknya, tapi nampak sangat serius lalu berkata. “Aku sudah memikirkan ini untuk waktu yang cukup lama. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana untuk melanjutkan itu. Aku ingin menjadi seorang muslim,” ujarnya mantap.
Saya segera menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim itu sebenarnya sangat mudah. Yang susah adalah proses menemukan hidayah. Jadi nampaknya Anda sudah melalui proses itu, dan kini sudah menuju kepada jenjang akhir.
“Pertanyaan saya adalah apakah Anda benar-benar yakin bahwa ini adalah agama yang Anda yakini sebagai kebenaran, “ kataku.
“Ya, tentu tidak diragukan lagi!” Jawabnya tegas.
Saya segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu. Ternyata dia sudah bisa wudhu dan shalat, hanya belum hafal bacaan-bacaan shalat tersebut.
Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan, “Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah” dengan penuh khusyu’ dan diikuti pekikan takbir ratusan jamaah yang hadir.
Hanya doa yang menyertai, semoga Karen Henderson dijaga dan dikuatkan dalam iman, tumbuh menjadi pejuang Islam di bidangnya sebagai profesor ilmu-ilmu sosial di salah satu universitas bergengsi di AS. Amin! (diceritakan oleh M.syamsi Ali)
http://hidayatullah.com/kolom/syamsi-ali/11529?task=view
Mualaf Catherine, Syiarkan Islam Dengan Kecerdasan
“Jika kau bertanya padaku pada usia 16 apakah aku ingin menjadi seorang Muslim, aku akan berkata,” Tidak, terima kasih. Agamaku adalah minum-minum, berpesta dan aku nyaman dengan teman-temanku,” ujar Catherine Heseltine, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tumbuh di London Utara, Catherine tidak pernah mempraktikkan agama apapun di rumahnya. Besar dalam lingkungan kelas menengah terpelajar, agama bagi keluarga ini dianggap “sedikit kuno dan tidak relevan”.
Hingga suatu hari, guru sekolah tumbuh kembang ini bertemu seorang pemuda bernama Syed. Pemuda ini, diakuinya, beda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya. “Ia menantang semua prasangkaku tentang agama. Dia masih muda, Muslim, sangat percaya pada Tuhan – dan sialnya, ia sangat “normal”, sama seperti pria seusianya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa, tidak seperti kebanyakan pemuda Inggris, dia tidak pernah minum minuman keras.”
Bagi Catherine, diskusi-diskusi dengan Syed membuatnya seperti ditampar. Menurutnya, seorang penganut agnotism akan menyadari bahwa menjadi pribadi tanpa agama adalah juga sebuah keyakinan; yakin Tuhan tak ada. “Kalau bagiku, bahkan Tuhan ada tidak pun, aku tak pernah peduli.”
Setahun kemudian, ia jungkir balik dengan pemikirannya. Sampai akhirnya diam-diam ia menyadari, mulai jatuh hati pada Syed dan Islam. Entah ia jatuh hati lebih dulu pada Islam kemudian baru Syed, atau sebaliknya. Yang jelas, ia yang makin penasaran kian rajin membaca buku-buku keislaman.
Apa yang paling menarik perhatiannya dari semua literatur yang dibacanya? “Alquran. Kitab ini sangat menarik dari sisi intelektual, sisi emosional, dan spiritual. Aku menyukai penjelasannya tentang alam semesta dan menemukan bahwa 1.500 tahun yang lalu, Islam telah memberikan hak-hak perempuan yang tak dimiliki di sini, di dunia Barat ini. Aku makin yakin Alquran betul-betul sebuah wahyu.”
Namun, menyatakan keislaman, dia belum sanggup. Baginya, berislam bukan sekadar bersyahadat, atau demi mendapatkan apa yang kita inginkan — dalam konteks Catherine adalah mendapatkan Syed sebagai suaminya. “Agama ini benar-benar cool. Tapi selama tiga tahun aku menyimpan minat dalam Islam untuk diriku sendiri,” ujarnya.
Sampai kemudian, timbul keberanian untuk bersyahadat saat kuliah di tahun pertama. Di tahun yang sama, karena alasan tak ingin berlama-lama pacaran, ia memutuskan menikah. “Reaksi awal Ibuku adalah, “tidak dapatkah kau hidup bersama saja dengannya tanpa menikah?” Bagi ibuku ia agak keberatan,” tambahnya.
Bagi ibunya, rumah tangga Muslim adalah rumah tangga yang menindas istri. Namun ia sudah bulat tekadnya. “Kini aku sudah lima tahun lebih menjadi Nyonya Syed dan ibuku tak menemukanku dirantai di dapur,” ujarnya terbahak-bahak.
Beda dengan Joanne atau Sukina (kisahnya ditulis di Republika Online dalam serial ini) yang berjilbab begitu bersyahadat, Catherine pada awal keislamannya belum sepenuhnya berjilbab. Di acara-acara keagamaan, ia mengenakan jilbab. Namun dalam kesehariannya, dia mengenakan bandana atau topi untuk menutupi rambutnya.
Ia beralasan, sengaja tampil demikian untuk menarik perhatian ketika tengah berada di rumah makan, tempat belanja, atau dimanapun ia berada di luar rumah. Ketika orang bertanya, maka akan mudah baginya untuk bercerita tentang Islam.
“Sepertiku, aku ingin orang bertahap mengadopsi ajaran Islam. Aku juga ingin orang menilaiku pertama kali dari kecerdasan dan karakterku, bukan agamaku. Ini aku sebut sebagai syiar.” (Republika.co.id)
http://dhprawirasantana.wordpress.com/2010/12/20/mualaf-catherine-syiarkan-islam-dengan-kecerdasan/
Tumbuh di London Utara, Catherine tidak pernah mempraktikkan agama apapun di rumahnya. Besar dalam lingkungan kelas menengah terpelajar, agama bagi keluarga ini dianggap “sedikit kuno dan tidak relevan”.
Hingga suatu hari, guru sekolah tumbuh kembang ini bertemu seorang pemuda bernama Syed. Pemuda ini, diakuinya, beda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya. “Ia menantang semua prasangkaku tentang agama. Dia masih muda, Muslim, sangat percaya pada Tuhan – dan sialnya, ia sangat “normal”, sama seperti pria seusianya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa, tidak seperti kebanyakan pemuda Inggris, dia tidak pernah minum minuman keras.”
Bagi Catherine, diskusi-diskusi dengan Syed membuatnya seperti ditampar. Menurutnya, seorang penganut agnotism akan menyadari bahwa menjadi pribadi tanpa agama adalah juga sebuah keyakinan; yakin Tuhan tak ada. “Kalau bagiku, bahkan Tuhan ada tidak pun, aku tak pernah peduli.”
Setahun kemudian, ia jungkir balik dengan pemikirannya. Sampai akhirnya diam-diam ia menyadari, mulai jatuh hati pada Syed dan Islam. Entah ia jatuh hati lebih dulu pada Islam kemudian baru Syed, atau sebaliknya. Yang jelas, ia yang makin penasaran kian rajin membaca buku-buku keislaman.
Apa yang paling menarik perhatiannya dari semua literatur yang dibacanya? “Alquran. Kitab ini sangat menarik dari sisi intelektual, sisi emosional, dan spiritual. Aku menyukai penjelasannya tentang alam semesta dan menemukan bahwa 1.500 tahun yang lalu, Islam telah memberikan hak-hak perempuan yang tak dimiliki di sini, di dunia Barat ini. Aku makin yakin Alquran betul-betul sebuah wahyu.”
Namun, menyatakan keislaman, dia belum sanggup. Baginya, berislam bukan sekadar bersyahadat, atau demi mendapatkan apa yang kita inginkan — dalam konteks Catherine adalah mendapatkan Syed sebagai suaminya. “Agama ini benar-benar cool. Tapi selama tiga tahun aku menyimpan minat dalam Islam untuk diriku sendiri,” ujarnya.
Sampai kemudian, timbul keberanian untuk bersyahadat saat kuliah di tahun pertama. Di tahun yang sama, karena alasan tak ingin berlama-lama pacaran, ia memutuskan menikah. “Reaksi awal Ibuku adalah, “tidak dapatkah kau hidup bersama saja dengannya tanpa menikah?” Bagi ibuku ia agak keberatan,” tambahnya.
Bagi ibunya, rumah tangga Muslim adalah rumah tangga yang menindas istri. Namun ia sudah bulat tekadnya. “Kini aku sudah lima tahun lebih menjadi Nyonya Syed dan ibuku tak menemukanku dirantai di dapur,” ujarnya terbahak-bahak.
Beda dengan Joanne atau Sukina (kisahnya ditulis di Republika Online dalam serial ini) yang berjilbab begitu bersyahadat, Catherine pada awal keislamannya belum sepenuhnya berjilbab. Di acara-acara keagamaan, ia mengenakan jilbab. Namun dalam kesehariannya, dia mengenakan bandana atau topi untuk menutupi rambutnya.
Ia beralasan, sengaja tampil demikian untuk menarik perhatian ketika tengah berada di rumah makan, tempat belanja, atau dimanapun ia berada di luar rumah. Ketika orang bertanya, maka akan mudah baginya untuk bercerita tentang Islam.
“Sepertiku, aku ingin orang bertahap mengadopsi ajaran Islam. Aku juga ingin orang menilaiku pertama kali dari kecerdasan dan karakterku, bukan agamaku. Ini aku sebut sebagai syiar.” (Republika.co.id)
http://dhprawirasantana.wordpress.com/2010/12/20/mualaf-catherine-syiarkan-islam-dengan-kecerdasan/
Miliader Amerika Masuk Islam
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk . . . ” (QS. Al-A’raf: 178)
Gambaran ayat di atas terlihat pada disi seorang miliader asal negeri kafir Amerika. Mark Shaffer namanya. Dia mendeklarasikan keislamannya pada Sabtu, 17 Oktober 2009 yang lalu. Saat itu Mark sedang berwisata ke Saudi Arabia untuk mengunjungi beberapa kota terkenal seperti Riyadh, Najran, dan Jeddah selama 10 hari.
Mark adalah seorang miliader terkenal dan pengacara kawakan di Los Angeles Amerika Serikat, khususnya terkait hukum perdata. Kasus besar terakhir yang ditanganinya ialah terkait dengan penyanyi pop terkenal Amerika Michel Jackson sepekan sebelum ia meninggal.
Menurut pengakuannya, yang mengilhaminya masuk Islam adalah dorongan pribadinya yang kuat mengenal Islam. Dan setelah membaca informasi yang benar tentangnya, dia yakin bahwa Islam adalah agama yang benar.
Sebenarnya, Mark sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang Islam. Dan ketika berada di Saudi dan menyaksikan langsung kehidupan kaum Muslimin, khususnya ketika mereka shalat berjamaah, dorongan untuk lebih mendalami Islam makin kuat.
Seorang guide wisata yang menemani Mark selama 10 hari di Saudi, Dhawi Ben Nashir menjadi saksi perjalanan keislaman Mark Shaffer. Ben Nasher menceritakan bahwa Mark mulai bertanya-tanya padanya tentang Islam sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Saudi.
Sesampainya di Saudi, Mark menginap di kota Riyadh selama dua hari. Selama itu, Mark sangat concern pada Islam.
Setelah dari Riyadh, Mark pindah ke Najran, terus ke Abha dan Al-Ula. Di sanalah ketertarikannya pada Islam sangat terlihat. Ketika itu, dia sedang berwisata ke padang pasir.
Di sana, dia melihat tiga pemuda Saudi yang mendampinginya sedang shalat di atas bentangan padang pasir yang amat luas. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan baginya.
Dia melihat tiga pemuda Saudi yang mendampinginya sedang shalat di atas bentangan padang pasir yang amat luas. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan baginya.
Ben Nasher melanjutkan ceritanya, “Setelah dua hari di Al-Ula, kami, pergi ke Al-Juf. Sesampai di Al-Juf, Mark minta dicarikan buku-buku tentang Islam. Lalu saya berikan beberapa buku tentang Islam. Semua buku tersebut dibaca habis oleh Mark. Esok paginya, dia minta saya mengajarkannya shalat. Sayapun mengajarkannya shalat dan bagaimana cara berwudhu’. Lalu dia ikut shalat di samping saya.”
Setelah ikut shalat bersamanya, Mark merasakan jiwanya sangat tentram. Sebuah kenikmatan yang tidak bisa dibayangkannya.
Kamis sorenya, Mark dan guidenya meninggalkan Al-Ula menuju kota Jeddah. Selama di perjalanan dia terlihat serius sekali membaca buku-buku tentang Islam. Dan pada Jum’at paginya, mereka mengunjungi kota tua Jeddah.
Setelah ikut shalat bersamanya, Mark merasakan jiwanya sangat tentram. Sebuah kenikmatan yang tidak bisa dibayangkannya.
Sebelum waktu shalat Jumat tiba, mereka kembali ke hotel. Ben Nasher minta izin untuk shalat Jumat. Saat itu Mark ingin ikut bersamanya untuk shalat Jumat agar bisa menyaksikannya seperti apa shalat Jumat itu. “Welcome…,” jawab Ben Naher dengan semangat.
“Kamipun pergi ke sebuah masjid yang tidak jauh dari hotel tempat kami menginap di Jeddah. Karena agak terlambat, saya dan sebagian jamaah shalat di luar masjid karena jamaahnya yang mebludak. Terlihat Mark mengamati jamaah apalagi setelah selesai shalat Jumat, mereka saling bersalam-salaman dengan wajah yang cerah dan gembira. Mark semakin kagum dengan pemandangan tersebut,” tutur Ben Nasher.
Setelah pulang ke hotel, tiba-tiba Mark menyampaikan kepada Ben Nasher tentang keinginannya untuk masuk Islam. Ben Nasher pun menyambutnya dengan gembira, “Silahakan Anda mandi terlebih dulu,” sarannya.
Setelah mandi, Ben Nasher membimbing Mark mengucapkan dua kalimat syahadat lalu shalat sunnah dua rakaat. Setelah itu, Mark mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Masjid Haram di Makkah dan shalat di sana sebelum dia meninggalkan Saudi Arabia.
Agar dapat memasuki kota Makkah dan Masjidil Haram, Mark ditemani Ben Nasher pergi ke kantor Dakwah dan Irsyad di kawasan Al-Hamro’ Jeddah untuk mengambil bukti formal keislamannya. Lalu Mark diberi sertifikat sementara masuk Islam. Karena beberapa anggota kru yang mengikuti kunjungan Mark ke Saudi Arabia sudah harus kembali ke Amerika sore Sabtunya. Al-Hamdullah, Ustadz Muhammad Turkistani bersedia mengantarkan Mark ke tanah haram Mekkah pagi itu juga.
Terkait kunjungan Mark ke Masjidil Haram, Ustazd Muhammad Turkistani menceritakan, “setelah Mark medapatkan sertifikat Islam sementara kamipun langsung berangkat menuju Masjidil Haram yang mulia. Ketika dia menyaksikan Masjidil Haram, tampak sekali wajahnya sangat cerah dan memancarkan kegembiraan yang luar biasa. Ketika kami masuk ke dalam Masjidil Haram dan menyaksikan langsung Ka’bah, kegembiraannya semakin bertambah. Demi Allah saya tidak bisa mengungkapkannya dengan lisan akan pemandangan tersebut. Setelah dia tawaf mengelilingi Ka’bah yang mulia, kami shalat sunnah dan kemudian keluar dari Masjid Haram. Saya lihat Mark sangat berat untuk berpisah dengan Masjid Haram.”
Setelah Mark mengumumkan keislamannya, dia sempat mengungkapkan kebahagiaanya pada Koran Al-Riyadh sambil berkata, “Saya tidak sanggup mengungkapkan perasaan saya saat ini. Sekarang saya baru dilahirkan kembali dan kehidupan saya baru dimulai…” Mark menambahkan, “saya sangat bahagia. Kebahagiaan yang saya rasakan tidak sanggup saya ungkapkan pada Anda saat saya berkunjung ke Masjidil Haram dan Ka’bah yang mulia.”
Mark menambahkan, “saya sangat bahagia. Kebahagiaan yang saya rasakan tidak sanggup saya ungkapkan pada Anda saat saya berkunjung ke Masjidil Haram dan Ka’bah yang mulia.”
Setelah menjadi muslim, Mark bertekat akan lebih serius mendalami Islam dan akan kembali lagi ke Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah Haji.
Pagi Ahad 18 Okteber 2009, Mark meninggalkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah menuju Amerika. Sebelum meninggalkan Jeddah, saat mengisi fomulir imigrasi, Mark mencantumkan agamanya adalah ISLAM.
Selamat jalan saudaraku . . . semoga Allah senantiasa menjagamu dan memilihmu untuk menjadi duta Islam di Amerika. Semoga Allah menganugerahkan hidayah kepada rakyat Amerika melalui tanganmu. Membuka mata hati pemimpin negerimu melalui sebab dirimu. . . . (PurWD/era)
http://www.voa-islam.net/news/technology/2009/11/05/1614/subhanallahmiliader-amerika-masuk-islam/
Hindu Masuk Islam
Dr. Najat lahir di India, ia tumbuh dewasa kemudian menuntut ilmu di negara kelahirannya itu. Setelah berhasil meraih gelar Insinyur disebuah Universitas, ia bekerja sebentar. Lalu pergi ke Kanada untuk melanjutkan studi di Akademi Tinggi Arsitektur. Najat bukanlah nama aslinya, nama aslinya tidak dapat aku tuliskan dan ucapkan.
Aku tidak mengetahui nama aslinya itu melainkan nama itu adalah tradisi yang diberikan keluarga penganut Hindu yang fanatik kepada anak-anak mereka. Keluarga ini berupaya menanamkan dasar-dasar agama Hindu dan menjadikannya seorang militan yang teguh mempelajari agama tersebut.
Demikianlah perjalanan hidupnya dalam sebuah masyarakat yang terisolir dinegaranya.
Namun setelah ia berangkat ke Kanada, ia menemukan komunitas masyarakat yang berasal dari beragam budaya dan pemikiran yang berbeda. Di kampus ia menemukan suasana keterbukaan yang memungkinkan dirinya untuk membuat dialog dan diskusi disegala bidang.
Apalagi ia seorang pemuda yang cerdas dan pintar, ia mulai memikirkan agama yang dianutnya. Ia membahas tentang kebenaran agama tersebut.
Dengan cepat ia mengambil kesimpulan bahwa keyakinan dan syiar agama Hindu adalah bathil. Lantas ia mencari penggantinya dalam kitab Injil, kitab agama Nasrani. Agama inilah yang pertama kali terlintas dalam benaknya, karena ia berada dalam lingkungan masyarakat Nasrani.
Dan nyatanya, iapun memeluk agama Nasrani, karena agama ini ia anggap lebih benar dibandingkan dengan agamanya dulu yang penuh kesesatan. Namun selang beberapa waktu, ia mengetahui bahwa agama Nasrani mengandung sedikit ilmu dan tidak mampu menjawab apa yang sedang ia cari. Ia menjumpai dalam agama ini perkara yang kontradiktif dan perkara-perkara bathil lainnya yang mustahil untuk dikatakan sebagai sebuah agama yang benar.
Kemudian mulailah ia mempelajari dan mendalami agama Islam, peristiwa itu terjadi pada saat ia masih dalam proses meraih gelar doktor di bidang teknologi.
Suasana pemikiran kampus yang bebas memberikan pengaruh besar terhadap diri Najat dalam mengenal Islam lebih dalam. Kampus tempat ia belajar berkali-kali mensponsori dialog antar penganut agama yang berbeda, khususnya penganut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Dialog tersebut dilakukan dalam suasana yang hangat dan tenang serta tidak melewati batas kode etik.
Ketika ia mulai membanding-bandingkan agama-agama tersebut, jelaslah baginya adanya kontradiktif dalam agama Nasrani yaitu seseorang yang mengambil tiga tuhan sekaligus.
Bahkan agama Hindu memiliki tuhan lebih banyak. Kemudian fitrah suci yang sesuai dengan jiwa yang sehat dan dapat diterima akal yaitu hanya beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Selain Dia adalah makhluk. Dia Yang Maha Esa dan hanya Dia yang berhak untuk disembah.Tanpa pikir panjang lagi, hati dan akalnya sudah mantap memilih Islam lalu dengan suka rela ia memeluknya.
Kemudian ia mengganti namanya yang berbau Hindu dengan nama Islami yaitu Najat sebagai bukti atas selamatnya ia dari kekufuran menjadi seorang yang beriman. Ia mengetahui bahwa memeluk agama Islam itu sangat mudah, namun untuk konsisten membutuhkan ekstra kesabaran dan pembiasaan. Ia juga mengetahui kewajibannya untuk berumah tangga secepat mungkin untuk menjaga dirinya dan kematangan hidupnya.
Ia memilih seorang gadis dari keluarga muslim yang terhormat di kota Winzar dan pestanya dilangsungkan di masjid kota itu. Keberhasilan hidupnya semakin sempurna setelah ia meraih gelar doktor yang merupakan tingkat disiplin ilmu yang ia idam-idamkan. Kemudian ia mendapat pekerjaan di pabrik mobil Ford company yang terletak dikota Detroit, USA.
Iapun pindah ke kota yang terdekat dengan pabrik tersebut karena disitu ada masjid tempat ia melakukan shalat. Di masjid inilah awal pertemuan dan perkenalanku dengannya.
Setelah beberapa kali pertemuan, aku bertanya kepadanya apakah ia dapat membaca AlQur'an. Bagai disambar petir aku mendengar bahwa ia belum dapat membaca AlQur'an, padahal ia sangat ingin dan mampu untuk mempelajarinya. Sebenarnya hal ini merupakan problema kita sebagai kaum muslimin.
Kita sering berdialog dan memberikan bantahan, membicarakan hal-hal yang wajib dan yang tidak wajib namun sedikit sekali yang mengamalkannya. Walau banyak saudara-saudara muslim kita yang telah mengenal seorang yang baru masuk Islam ini, namun tak seorangpun yang peduli dengan kebutuhan dan kondisinya.
Aku pernah mempertanyakan hal itu kepada isterinya sebagai sindiran untuknya, "Mengapa anda tidak ajarkan suami anda membaca AlQur'an dengan huruf Arab, padahal kalian telah lama berumah tangga?" Tetapi isterinya tidak memberikan jawaban. Namun aku dapat membaca bahwa ketidak pedulian dan kurang perhatian merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut dan juga merupakan jawaban terhadap orang-orang yang lalai dan tidak mengindahkannya. Tentunya hal ini sangat disayangkan...
Kemudian aku katakan kepada Najat agar menyediakan waktunya setiap minggu di hari libur, agar aku dapat mengajarkannya membaca AlQur'an dengan izin Allah. Kami bertemu dan duduk beberapa jam sehabis shalat Subuh setiap minggu pada hari libur. Selang beberapa waktu kemudian ia sudah mampu membaca AlQur'an. Aku juga memberitahu beberapa ikhwan lain tentang pelajaran kami, sehingga mereka juga mengikuti pelajaran tersebut.
Setiap yang mampu membaca AlQur'an dengan huruf Arab ditugaskan untuk mengajar satu orang yang belum mampu membacanya. Para ikhwan menjadi terbiasa berkumpul belajar AlQur'an setiap pagi hari Sabtu dan Ahad, kemudian ditutup dengan sarapan pagi besama di masjid.
Setelah kemampuan Najat membaca AlQur'an meningkat dan sanggup membaca semua surat dalam Juz 'Amma, ia belajar kepada orang yang mempunyai kemampuan lebih dariku, yaitu seorang Syeikh dari negeri Syiria, sehingga ia dapat mengucapkan huruf Arab dan membaca AlQur'an dengan lebih baik.
Semangat ia dengannya semakin bertambah sehingga mereka bertemu setiap hari setelah shalat Subuh. Setiap hari Najat keluar dari rumah sebelum masuk waktu shalat Subuh, lalu shalat di masjid dan belajar dengan gurunya hingga mendekati jam kerjanya. Dari sana ia tidak kembali ke rumah, tetapi langsung menuju kantornya . Ia juga datang bersama keluarganya ke masjid setiap shalat Isya.
Najat dan gurunya tetap rutin melaksanakan proses belajar-mengajar ini walaupun cuaca sangat dingin dan turun salju serta angin dingin yang menusuk tulang.
Gurunya yang berasal dari Syiria itu sangat bangga dengan muridnya tersebut. Terkadang ia bergurau, "Sekarang Najat mampu menyebutkan huruf Arab dan membaca AlQur'an lebih baik darimu."
Bahkan ia sanggup membaca AlQur'an di surat manapun. Disamping belajar membaca AlQur'an, ia juga membaca maknanya dalam bahasa Inggris sehingga pemahaman dan ilmunya semakin dalam. Ia juga sudah mulai menghafal AlQur'an hingga mampu menghafal kurang lebih setengah dari Juz 'Amma.
Mereka yang bekerja di masjid kaum muslimin yang berada di negara Barat dapat merasakan kesulitan untuk menjalankan urusan-urusan masjid, karena tidak ada yayasan Islam resmi yang memberikan subsidi. Jadi dana operasional ditanggung oleh jamaah masjid sendiri.
Dan urusan-urusan tersebut kebanyakan dilaksanakan secara sosial karena tidak ada sumber dana tetap untuk masjid tersebut kecuali dari bantuan-bantuan yang diberikan oleh jamaah sendiri. Demikian juga sangat sulit mendapatkan ikhwan-ikhwan yang bekerja secara suka-rela dengan kesungguhan, keikhlasan dan tekun tanpa menimbulkan problem dan tidak banyak membantah.
Banyak kaum muslimin diantara kita berkomentar miring terhadap kaum muslimin yang datang dari berbagai belahan dunia Islam. Mereka datang ke negara Barat ini dengan membawa penyakit malas dan sedikit beramal, namun banyak memberikan komentar terhadap apa yang dikerjakan orang. Ini masalah yang sangat banyak kita temui. Hanya saja Dr. Najat dengan suka rela menyelesaikan urusan masjid tanpa diminta oleh siapapun.
Ia adalah orang yang sering membukakan pintu masjid untuk pelaksanaan shalat Subuh. Karena dialah yang datang paling awal, padahal tempat tinggalnya yang paling jauh diantara kami. Pada musim dingin, ia membersihkan jalan menuju masjid dari bongkahan salju dan menaburkan garam untuk mencairkan es agar orang yang melintas tidak tergelincir dan jatuh.
Ini merupakan pekerjaan yang teramat penting, bukan hanya menghindarkan orang agar tidak tergelincir, tapi juga untuk menjaga masjid, agar tidak membuat orang lain yang melintas didepannya tergelincir sehingga ia memperkarakan masalah ini ke pengadilan dan meminta ganti-rugi. Kasus seperti ini sering terjadi di negara ini.
Dr. Najat juga banyak membantu urusan operasional sekolah Islam di masjid tersebut yang aktifitasnya dibuka setiap akhir pekan. Ia membuka pintu masjid sebelum shalat Zuhur dan membersihkan salju serta menebarkan garam sebelum murid dan guru datang. Ia juga bertugas mengutip uang sekolah dari orang tua murid yang terdaftar di sekolah tersebut.
Ia yang membeli makanan ringan untuk para murid, membersihkan dapur dan lemari es dengan rapi. Jika melihatnya kalian akan merasa seolah-olah ia lakukan itu untuk rumahnya sendiri. Ia membersihkan dan memelihara kebun yang ada di sekeliling masjid. Ia membeli pupuk dan garam dengan uangnya sendiri dan ia juga yang memupuk tanaman kebun dan mencabuti tumbuhan dan rerumputan yang merusak tanaman. Semua ini ia lakukan dengan sangat tekun dan penuh perhatian, sebagaimana ia ikut andil menebang pohon tua yang terdapat disekitar masjid bersama ikhwan lainnya.
Pada bulan Ramadhan, ia mendatangkan hidangan berbuka puasa dari rumahnya, sebagaimana ikhwan lain juga ikut memberikan bantuannya untuk berbuka di masjid setiap hari. Dan ia juga ikut membantu ikhwan lain dalam menertibkan dan mempersiapkan makanan berbuka setiap hari. Semuanya ia lakukan sendiri dengan tenang dan tidak banyak bicara dan juga tidak menyuruh orang lain atau meminta bantuan orang lain.
Adapun pada hari raya ia mempersiapkan apa yang dibutuhkan dalam pelaksanaan shalat Ied dan layanan setelah shalat Ied. Keluarga Dr. Najat banyak diundang oleh keluarga-keluarga lain ke rumah mereka.
Pada suatu kali aku bertanya kepada Dr. Najat, "Bagaimana perasaanmu sekarang setelah kau memeluk agama Islam dan dapat membaca AlQur'an ?" Ia menjawab, "Sebenarnya aku tidak mungkin membandingkan antara hidayah dan kebaikan yang aku dapat dalam Islam dengan kegelisahan dan kesia-siaan yang aku rasakan ketika dahulu memeluk agama Hindu dan Nasrani. Demikian juga ketika aku mendengar AlQur'an dibacakan, sangat banyak mempengaruhi jiwa dan hatiku."
Terkadang Dr. Najat mengimami shalat jamaah jika orang yang bacaannya lebih baik dari bacaannya tidak hadir. Demikianlah walaupun kami sudah terbiasa dengan melaksanakan perintah Rasulullah SAW, "Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya." Namun beliau juga menjelaskan makna yang tertinggi diantara makna-makna agama yang telah disebutkan Allah dalam kitab-Nya,
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling takwa." (Al-Hujurat : 13)
Lelaki yang tadinya beragama Hindu, setelah Allah memberikan hidayah Islam dan kebenaran kepadanya, kini mengimami shalat jamaah. Seorang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling tekun dan yang terbaik membaca AlQur'an dengan tanpa melihat asal-usul, warna kulit dan negara asalnya.
Kita bermohon kepada Allah semoga memberikan kita ketetapan hati dalam kebenaran dan menambah kebaikan kita.
Dari buku 'Allah Memberi Hidayah Kepada Siapa Yang Dikehendaki-Nya' oleh Imtiyaz Ahmad.
http://peperonity.com/go/sites/mview/muallaf/26187708
Aku tidak mengetahui nama aslinya itu melainkan nama itu adalah tradisi yang diberikan keluarga penganut Hindu yang fanatik kepada anak-anak mereka. Keluarga ini berupaya menanamkan dasar-dasar agama Hindu dan menjadikannya seorang militan yang teguh mempelajari agama tersebut.
Demikianlah perjalanan hidupnya dalam sebuah masyarakat yang terisolir dinegaranya.
Namun setelah ia berangkat ke Kanada, ia menemukan komunitas masyarakat yang berasal dari beragam budaya dan pemikiran yang berbeda. Di kampus ia menemukan suasana keterbukaan yang memungkinkan dirinya untuk membuat dialog dan diskusi disegala bidang.
Apalagi ia seorang pemuda yang cerdas dan pintar, ia mulai memikirkan agama yang dianutnya. Ia membahas tentang kebenaran agama tersebut.
Dengan cepat ia mengambil kesimpulan bahwa keyakinan dan syiar agama Hindu adalah bathil. Lantas ia mencari penggantinya dalam kitab Injil, kitab agama Nasrani. Agama inilah yang pertama kali terlintas dalam benaknya, karena ia berada dalam lingkungan masyarakat Nasrani.
Dan nyatanya, iapun memeluk agama Nasrani, karena agama ini ia anggap lebih benar dibandingkan dengan agamanya dulu yang penuh kesesatan. Namun selang beberapa waktu, ia mengetahui bahwa agama Nasrani mengandung sedikit ilmu dan tidak mampu menjawab apa yang sedang ia cari. Ia menjumpai dalam agama ini perkara yang kontradiktif dan perkara-perkara bathil lainnya yang mustahil untuk dikatakan sebagai sebuah agama yang benar.
Kemudian mulailah ia mempelajari dan mendalami agama Islam, peristiwa itu terjadi pada saat ia masih dalam proses meraih gelar doktor di bidang teknologi.
Suasana pemikiran kampus yang bebas memberikan pengaruh besar terhadap diri Najat dalam mengenal Islam lebih dalam. Kampus tempat ia belajar berkali-kali mensponsori dialog antar penganut agama yang berbeda, khususnya penganut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Dialog tersebut dilakukan dalam suasana yang hangat dan tenang serta tidak melewati batas kode etik.
Ketika ia mulai membanding-bandingkan agama-agama tersebut, jelaslah baginya adanya kontradiktif dalam agama Nasrani yaitu seseorang yang mengambil tiga tuhan sekaligus.
Bahkan agama Hindu memiliki tuhan lebih banyak. Kemudian fitrah suci yang sesuai dengan jiwa yang sehat dan dapat diterima akal yaitu hanya beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Selain Dia adalah makhluk. Dia Yang Maha Esa dan hanya Dia yang berhak untuk disembah.Tanpa pikir panjang lagi, hati dan akalnya sudah mantap memilih Islam lalu dengan suka rela ia memeluknya.
Kemudian ia mengganti namanya yang berbau Hindu dengan nama Islami yaitu Najat sebagai bukti atas selamatnya ia dari kekufuran menjadi seorang yang beriman. Ia mengetahui bahwa memeluk agama Islam itu sangat mudah, namun untuk konsisten membutuhkan ekstra kesabaran dan pembiasaan. Ia juga mengetahui kewajibannya untuk berumah tangga secepat mungkin untuk menjaga dirinya dan kematangan hidupnya.
Ia memilih seorang gadis dari keluarga muslim yang terhormat di kota Winzar dan pestanya dilangsungkan di masjid kota itu. Keberhasilan hidupnya semakin sempurna setelah ia meraih gelar doktor yang merupakan tingkat disiplin ilmu yang ia idam-idamkan. Kemudian ia mendapat pekerjaan di pabrik mobil Ford company yang terletak dikota Detroit, USA.
Iapun pindah ke kota yang terdekat dengan pabrik tersebut karena disitu ada masjid tempat ia melakukan shalat. Di masjid inilah awal pertemuan dan perkenalanku dengannya.
Setelah beberapa kali pertemuan, aku bertanya kepadanya apakah ia dapat membaca AlQur'an. Bagai disambar petir aku mendengar bahwa ia belum dapat membaca AlQur'an, padahal ia sangat ingin dan mampu untuk mempelajarinya. Sebenarnya hal ini merupakan problema kita sebagai kaum muslimin.
Kita sering berdialog dan memberikan bantahan, membicarakan hal-hal yang wajib dan yang tidak wajib namun sedikit sekali yang mengamalkannya. Walau banyak saudara-saudara muslim kita yang telah mengenal seorang yang baru masuk Islam ini, namun tak seorangpun yang peduli dengan kebutuhan dan kondisinya.
Aku pernah mempertanyakan hal itu kepada isterinya sebagai sindiran untuknya, "Mengapa anda tidak ajarkan suami anda membaca AlQur'an dengan huruf Arab, padahal kalian telah lama berumah tangga?" Tetapi isterinya tidak memberikan jawaban. Namun aku dapat membaca bahwa ketidak pedulian dan kurang perhatian merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut dan juga merupakan jawaban terhadap orang-orang yang lalai dan tidak mengindahkannya. Tentunya hal ini sangat disayangkan...
Kemudian aku katakan kepada Najat agar menyediakan waktunya setiap minggu di hari libur, agar aku dapat mengajarkannya membaca AlQur'an dengan izin Allah. Kami bertemu dan duduk beberapa jam sehabis shalat Subuh setiap minggu pada hari libur. Selang beberapa waktu kemudian ia sudah mampu membaca AlQur'an. Aku juga memberitahu beberapa ikhwan lain tentang pelajaran kami, sehingga mereka juga mengikuti pelajaran tersebut.
Setiap yang mampu membaca AlQur'an dengan huruf Arab ditugaskan untuk mengajar satu orang yang belum mampu membacanya. Para ikhwan menjadi terbiasa berkumpul belajar AlQur'an setiap pagi hari Sabtu dan Ahad, kemudian ditutup dengan sarapan pagi besama di masjid.
Setelah kemampuan Najat membaca AlQur'an meningkat dan sanggup membaca semua surat dalam Juz 'Amma, ia belajar kepada orang yang mempunyai kemampuan lebih dariku, yaitu seorang Syeikh dari negeri Syiria, sehingga ia dapat mengucapkan huruf Arab dan membaca AlQur'an dengan lebih baik.
Semangat ia dengannya semakin bertambah sehingga mereka bertemu setiap hari setelah shalat Subuh. Setiap hari Najat keluar dari rumah sebelum masuk waktu shalat Subuh, lalu shalat di masjid dan belajar dengan gurunya hingga mendekati jam kerjanya. Dari sana ia tidak kembali ke rumah, tetapi langsung menuju kantornya . Ia juga datang bersama keluarganya ke masjid setiap shalat Isya.
Najat dan gurunya tetap rutin melaksanakan proses belajar-mengajar ini walaupun cuaca sangat dingin dan turun salju serta angin dingin yang menusuk tulang.
Gurunya yang berasal dari Syiria itu sangat bangga dengan muridnya tersebut. Terkadang ia bergurau, "Sekarang Najat mampu menyebutkan huruf Arab dan membaca AlQur'an lebih baik darimu."
Bahkan ia sanggup membaca AlQur'an di surat manapun. Disamping belajar membaca AlQur'an, ia juga membaca maknanya dalam bahasa Inggris sehingga pemahaman dan ilmunya semakin dalam. Ia juga sudah mulai menghafal AlQur'an hingga mampu menghafal kurang lebih setengah dari Juz 'Amma.
Mereka yang bekerja di masjid kaum muslimin yang berada di negara Barat dapat merasakan kesulitan untuk menjalankan urusan-urusan masjid, karena tidak ada yayasan Islam resmi yang memberikan subsidi. Jadi dana operasional ditanggung oleh jamaah masjid sendiri.
Dan urusan-urusan tersebut kebanyakan dilaksanakan secara sosial karena tidak ada sumber dana tetap untuk masjid tersebut kecuali dari bantuan-bantuan yang diberikan oleh jamaah sendiri. Demikian juga sangat sulit mendapatkan ikhwan-ikhwan yang bekerja secara suka-rela dengan kesungguhan, keikhlasan dan tekun tanpa menimbulkan problem dan tidak banyak membantah.
Banyak kaum muslimin diantara kita berkomentar miring terhadap kaum muslimin yang datang dari berbagai belahan dunia Islam. Mereka datang ke negara Barat ini dengan membawa penyakit malas dan sedikit beramal, namun banyak memberikan komentar terhadap apa yang dikerjakan orang. Ini masalah yang sangat banyak kita temui. Hanya saja Dr. Najat dengan suka rela menyelesaikan urusan masjid tanpa diminta oleh siapapun.
Ia adalah orang yang sering membukakan pintu masjid untuk pelaksanaan shalat Subuh. Karena dialah yang datang paling awal, padahal tempat tinggalnya yang paling jauh diantara kami. Pada musim dingin, ia membersihkan jalan menuju masjid dari bongkahan salju dan menaburkan garam untuk mencairkan es agar orang yang melintas tidak tergelincir dan jatuh.
Ini merupakan pekerjaan yang teramat penting, bukan hanya menghindarkan orang agar tidak tergelincir, tapi juga untuk menjaga masjid, agar tidak membuat orang lain yang melintas didepannya tergelincir sehingga ia memperkarakan masalah ini ke pengadilan dan meminta ganti-rugi. Kasus seperti ini sering terjadi di negara ini.
Dr. Najat juga banyak membantu urusan operasional sekolah Islam di masjid tersebut yang aktifitasnya dibuka setiap akhir pekan. Ia membuka pintu masjid sebelum shalat Zuhur dan membersihkan salju serta menebarkan garam sebelum murid dan guru datang. Ia juga bertugas mengutip uang sekolah dari orang tua murid yang terdaftar di sekolah tersebut.
Ia yang membeli makanan ringan untuk para murid, membersihkan dapur dan lemari es dengan rapi. Jika melihatnya kalian akan merasa seolah-olah ia lakukan itu untuk rumahnya sendiri. Ia membersihkan dan memelihara kebun yang ada di sekeliling masjid. Ia membeli pupuk dan garam dengan uangnya sendiri dan ia juga yang memupuk tanaman kebun dan mencabuti tumbuhan dan rerumputan yang merusak tanaman. Semua ini ia lakukan dengan sangat tekun dan penuh perhatian, sebagaimana ia ikut andil menebang pohon tua yang terdapat disekitar masjid bersama ikhwan lainnya.
Pada bulan Ramadhan, ia mendatangkan hidangan berbuka puasa dari rumahnya, sebagaimana ikhwan lain juga ikut memberikan bantuannya untuk berbuka di masjid setiap hari. Dan ia juga ikut membantu ikhwan lain dalam menertibkan dan mempersiapkan makanan berbuka setiap hari. Semuanya ia lakukan sendiri dengan tenang dan tidak banyak bicara dan juga tidak menyuruh orang lain atau meminta bantuan orang lain.
Adapun pada hari raya ia mempersiapkan apa yang dibutuhkan dalam pelaksanaan shalat Ied dan layanan setelah shalat Ied. Keluarga Dr. Najat banyak diundang oleh keluarga-keluarga lain ke rumah mereka.
Pada suatu kali aku bertanya kepada Dr. Najat, "Bagaimana perasaanmu sekarang setelah kau memeluk agama Islam dan dapat membaca AlQur'an ?" Ia menjawab, "Sebenarnya aku tidak mungkin membandingkan antara hidayah dan kebaikan yang aku dapat dalam Islam dengan kegelisahan dan kesia-siaan yang aku rasakan ketika dahulu memeluk agama Hindu dan Nasrani. Demikian juga ketika aku mendengar AlQur'an dibacakan, sangat banyak mempengaruhi jiwa dan hatiku."
Terkadang Dr. Najat mengimami shalat jamaah jika orang yang bacaannya lebih baik dari bacaannya tidak hadir. Demikianlah walaupun kami sudah terbiasa dengan melaksanakan perintah Rasulullah SAW, "Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya." Namun beliau juga menjelaskan makna yang tertinggi diantara makna-makna agama yang telah disebutkan Allah dalam kitab-Nya,
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling takwa." (Al-Hujurat : 13)
Lelaki yang tadinya beragama Hindu, setelah Allah memberikan hidayah Islam dan kebenaran kepadanya, kini mengimami shalat jamaah. Seorang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling tekun dan yang terbaik membaca AlQur'an dengan tanpa melihat asal-usul, warna kulit dan negara asalnya.
Kita bermohon kepada Allah semoga memberikan kita ketetapan hati dalam kebenaran dan menambah kebaikan kita.
Dari buku 'Allah Memberi Hidayah Kepada Siapa Yang Dikehendaki-Nya' oleh Imtiyaz Ahmad.
http://peperonity.com/go/sites/mview/muallaf/26187708
Prof. Dr. Jerald Frederick Dirkins Surrendered To Islam
Jerald F Dirks, sebelumnya ialah seorang pendeta yang dinobatkan sebagai Ketua Dewan Gereja Metodis Kini peraih gelar Bachelor of Arts (BA) dan Master of Divinity (M Div) dari Universitas Harvard, serta pemegang gelar Master of Arts (MA) dan Doctor of Psychology (Psy D) dari Universtas Denver, Amerika Serikat, menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.
Dibesarkan di tengah lingkungan masyarakat penganut kepercayaan Kristen Metodis, membuat Jerald kecil terbiasa dengan suara dentingan lonceng yang kerap mengalun dari sebuah bangunan tua Gereja Kristen Metodis yang berjarak hanya dua blok dari rumahnya. Bunyi lonceng yang bergema setiap Minggu pagi ini menjadi tanda bagi seluruh anggota keluarganya agar segera menghadiri kebaktian yang diadakan di gereja.
Tidak hanya dalam urusan kebaktian saja, tetapi juga dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak Gereja Kristen Metodis, seluruh anggota keluarga ini turut terlibat secara aktif. Karenanya tak mengherankan jika sejak usia kanak-kanak Jerald sudah diikutsertakan dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak gereja. Salah satunya adalah mengikuti sekolah khusus selama dua pekan yang diadakan oleh pihak gereja setiap bulan Juni. Selama mengikuti sekolah khusus ini, para peserta mendapat pengajaran mengenai Bibel.
''Secara rutin saya mengikuti sekolah khusus ini hingga memasuki tahun kedelapan, selain kebaktian Minggu pagi dan sekolah Minggu yang diadakan setiap akhir pekan,'' ungkap muallaf kelahiran Kansas tahun 1950 ini. Diantara para peserta sekolah khusus ini, Jerald termasuk yang paling menonjol. Tidak pernah sekalipun ia absen dari kelas. Dan dalam hal menghafal ayat-ayat dalam Bibel, ia kerap mendapatkan penghargaan.
Keikutsertaan Jerald dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Gereja Metodis terus berlanjut hingga ia memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Diantaranya ia terlibat secara aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen Metodis. Dia juga kerap mengisi khotbah dalam acara kebaktian Minggu yang khusus diadakan bagi kalangan anak muda seusianya.
Dalam perjalanannya, khotbah yang ia sampaikan ternyata menarik minat komunitas Kristen Metodis di tempat lain. Ia pun kemudian diminta untuk memberikan khotbah di gereja lain, panti jompo, dan dihadapan organisasi-organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan Gereja Metodis. Sejak saat itu Jerald bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta kelak.
Ketika diterima di Universitas Harvard, Jerald tidak mensia-siakan kesempatan demi mewujudkan cita-citanya itu. Ia mendaftar pada kelas perbandingan agama yang diajar oleh Wilfred Cantwell Smith untuk dua semester. Di kelas perbandingan agama ini Jerald mengambil bidang keahlian khusus agama Islam.
Namun, selama mengikuti kelas ini Jerald justru lebih tertarik untuk mempelajari agama Budha dan Hindu. Dibandingkan dengan Islam, menurut dia, kedua ajaran agama ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan keyakinan yang ia anut selama ini.
Akan tetapi untuk memenuhi tuntutan standar kelulusan akademik, Jerald diharuskan untuk membuat makalah mengenai konsep wahyu dalam Alquran. Ia mulai membaca berbagai literatur buku mengenai Islam, yang sebagian besar justru ditulis oleh para penulis non-muslim. Ia juga membaca dua Alquran terjemahan bahasa Inggris dalam versi yang berbeda.
Diluar dugaannya buku-buku tersebutlah yang di kemudian hari justru membimbingnya ke kondisi seperti saat ini. Makalah tersebut membuat pihak Harvard memberikan penghargaan Hollis Scholar kepada Jerald. Sebuah penghargaan tertinggi bagi para mahasiswa jurusan Teologi Universitas Harvard yang dinilai berprestasi.
Untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan Jerald rela mengisi liburan musim panasnya dengan bekerja sebagai seorang pendeta cilik di sebuah Gereja Metodis terbesar di negeri Paman Sam tersebut. Pada musim panas itu pula ia mendapatkan sertifikat untuk menjadi seorang pengkhotbah dari pihak Gereja Metodis Amerika.
Setelah lulus dari Harvard College di tahun 1971, Jerald langsung mendaftar di Harvard Divinity School atau sejenis sekolah tinggi teologi atas beasiswa dari Gereja Metodis Amerika. Selama menempuh pendidikan di bidang teologi, Jerald juga mengikuti program magang sebagai di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston.
Ia lulus dari sekolah tinggi ini tahun 1974 dan mendapatkan gelar Master di bidang teologi. Selepas meraih gelar master teologi, ia sempat menghabiskan liburan musim panasnya dengan menjadi pendeta pada dua Gereja Metodis Amerika yang berada di pinggiran Kansas.
Aktivitasnya sebagai seorang pendeta tidak hanya terbatas di lingkungan gereja saja. Ia mulai merambah ke cakupan yang lebih luas, mulai dari lingkungan sekolah, perkantoran, hingga pesan-pesan ajaran Kristen Metodis ia juga gencar sampaikan kepada para pasien yang datang ke tempat praktiknya sebagai seorang dokter ahli kejiwaan.
Meninggalkan aktivitas gereja
Namun, berbagai upaya dakwah ini dinilainya tidak memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di sekitar ia tinggal. Ia justru menyaksikan terjadinya penurunan moralitas di tengah-tengah kehidupann beragama masyarakat Amerika. Bahkan kondisi serupa juga terjadi di lingkungan gereja.
''Dua dari tiga pasangan di Amerika selalu berakhir dengan perceraian, aksi kekerasan meningkat di lingkungan sekolah dan di jalanan, tidak ada lagi rasa tanggung jawab dan disiplin di kalangan anak muda. Bahkan yang lebih mencengangkan diantara para pemuka Kristen ada yang terlibat dalam skandal seks dan keuangan. Masyarakat Amerika seakan-akan sedang menuju kepada kehancuran moral,'' paparnya.
Melihat kenyataan seperti ini, Jerald mengambil keputusan untuk menyendiri dan tidak lagi menjalani aktivitasnya memberikan pelayanan dan khotbah kepada para jemaat. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh sang istri. Penelitian mengenai sejarah kuda Arab ini membuat ia dan istrinya melakukan banyak kontak dengan warga Amerika keturunan Muslim Arab . Salah satunya adalah dengan Jamal.
Babak pergaulan dengan Arab Muslim
Pertemuan Jerald dengan pria Arab-Amerika ini pertama kali terjadi pada musim panas tahun 1991. Dari awalnya sekedar berhubungan melalui sambungan telepon, kemudian berlanjut pada saat Jamal berkunjung ke rumah Jerald. Pada kunjungan kali pertama ini, Jamal menawarkan jasa untuk menterjemahkan berbagai literatur dari bahasa Arab ke Inggris yang disambut baik oleh Jerald dan istrinya.
Ketika waktu shalat ashar tiba, sang tamu kemudian meminta izin agar diperbolehkan menggunakan kamar mandi dan meminjam selembar koran untuk digunakan sebagai alas shalat. Apa yang diminta oleh tamunya itu diambilkan oleh Jerald, kendati dalam hati kecilnya ia berharap bisa meminjamkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar lembaran surat kabar sebagai alas shalat. Untuk kali pertama ia melihat gerakan shalat dalam agama Islam.
Aktivitas shalat ashar itu terus ia lihat manakala Jamal dan istrinya berkunjung ke rumah mereka seminggu sekali. Dan, hal itu membuat Jerald terkesima. ''Selama berada di rumah kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan komentar mengenai agama yang kami anut. Begitu juga ia tidak pernah menyampaikan ajaran agama yang diyakininya kepada kami. Yang dia lakukan hanya memberikan contoh nyata yang amat sederhana, seperti berbicara dengan suara serendah mungkin jika ada diantara kami yang bertanya mengenai agamanya. Ini yang membuat kami kagum,'' ungkapnya.
Dari perkenalannya dengan Jamal dan keluarganya, justru Jerald mendapat banyak pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sang tamu telah menunjukkan kepadanya sebuah pelajaran disiplin melalui shalat yang dilaksanakannya. Selain pelajaran moral dan etika yang diperlihatkan Jamal dalam urusan bisnis dan sosialnya serta cara Jamal berkomunikasi dengan kedua anaknya. ''Begitu juga yang dilakukan oleh istrinya menjadi contoh bagi istriku.''
Tidak hanya itu, dari kunjungan tersebut Jerald juga mendapatkan pengetahuan seputar dunia Arab dan Islam. Dari Jamal, ia bisa mengetahui tentang sejarah Arab dan peradaban Islam, sosok Nabi Muhammad, serta ayat-ayat Alquran berikut makna yang terkandung di dalamnya. Setidaknya Jerald meminta waktu kurang lebih 30 menit kepada tamunya untuk berbicara mengenai segala aspek seputar Islam. Dari situ, diakui Jerald, dirinya mulai mengenal apa dan bagaimana itu Islam.
Kemudian oleh Jamal, Jerald sekeluarga diperkenalkan kepada keluarga Arab lainnya di masyarakat Muslim setempat. Diantaranya keluarga Wa el dan keluarga Khalid. Dan secara kontinyu, ia melakukan interaksi sehari-hari dengan komunitas keluarga Arab Amerika ini. Dari interaksi tersebut, Jerald mendapatkan sesuatu ajaran dalam Islam yang selama ini tidak ia temui manakalan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Kristen, yakni rasa persaudaraan dan toleransi.
Baru di awal Desember 1992, sebuah pertanyaan mengganjal timbul dalam pikirannya, ''Dirinya adalah seorang pemeluk Kristen Metodis, tapi kenapa dalam keseharian justru bergaul dan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Muslim Arab?.'' Sebuah komunitas masyarakat yang menurutnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, serta mengedepankan sikap saling menghargai baik terhadap pasangan masing-masing, anggota keluarga maupun sesama. Sebuah kondisi yang pada masa sekarang hampir tidak ia temukan dalam masyarakat Amerika.
Serangkaian Kejadian Tak Terduga
Untuk menjawab keraguannya itu, Jerald memutuskan untuk mempelajari lebih dalam ajaran Islam melalui kitab suci Alquran. Dalam perjalanannya mempelajari Aquran, sang pendeta ini justru menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan hati kecilnya yang selama ini tidak ia temukan dalam doktrin ajaran Kristen yang dianutnya.
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas membuatnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia merasa belum siap untuk melepaskan identitas yang dikenakan selama hampir 43 tahun lamanya dan berganti identitas baru sebagai seorang muslim.
Begitu pun ketika ia bersama sang istri memutuskan untuk mengunjungi kawasan Timur Tengah di awal tahun 1993. Ketika itu, ia seorang diri makan di sebuah restoran yang hanya menyajikan makanan Arab setempat. Sang pemilik restoran, Mahmoud, kala itu memergoki dirinya tengah membaca sebuah Alquran terjemahan bahasa Inggris. Tanpa berkata sepatah kata pun, Mahmoud melontarkan senyum ke arah Jerald.
Kejadian tak terduga lagi-lagi menghampirinya. Istri Mahmoud, Iman, yang merupakan seorang Muslim Amerika, mendatangi mejanya sambil membawakan menu yang ia pesan. Kepadanya Iman berkomentar bahwa buku yang ia baca adalah sebuah Alquran. Tidak hanya itu, Iman juga bertanya apakah Jerald seorang muslim sama seperti dirinya. Pertanyaan tersebut lantas ia jawab dengan satu kata: Tidak.
Namun ketika Imam menghampiri mejanya untuk menyerahkan bukti tagihan, tanpa disadari Jerald melontarkan kalimat permintaan maaf atas sikapnya, seraya berkata: ''Saya takut untuk menjawab pertanyaan Anda tadi. Namun jika Anda bertanya kepada saya apakah saya percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, maka jawaban saya adalah ya. Jika Anda bertanya apakah saya percaya bahwa Muhammad adalah salah satu utusan Tuhan, maka jawaban saya akan sama, iya.'' Mendengar jawaban tersebut, Iman hanya berkata: ''Tidak masalah, mungkin bagi sebagian orang butuh waktu lama dibandingkan yang lain.''
Ikut berpuasa dan shalat
Ketika memasuki minggu kelima masa liburannya di Timur Tengah atau bertepatan dengan masuknya bulan Ramadhan yang jatuh pada bulan Maret tahun 1993, untuk kali pertama Jerald dan istrinya menikmati suasana lain dari ibadah orang Muslim. Demi menghormati masyarakat sekitar, ia dan istri ikut serta berpuasa. Bahkan pada saat itu, Jerald juga mulai ikut-ikutan melaksanakan shalat lima waktu bersama-sama para temannya yang Muslim dan kenalan barunya yang berasal dari Timur Tengah.
Bersamaan dengan akan berakhirnya masa liburannya menjelajah kawasan Timur Tengah, hidayah tersebut akhirnya datang. Peristiwa penting dalam hidup Jerald ini terjadi manakala ia diajak seorang teman untuk mengunjungi Amman, ibukota Yordania.
Pada saat ia melintas di sebuah jalan di pusat ibukota, tiba-tiba seseorag lelaki tua datang menghampirinya seraya mengucapkan, Salam Alaikum dan mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, serta melontarkan pertanyaan apakah iaseorang Muslim?. Sapaan salam dalam ajaran Islam itu membuatnya kaget. Di sisi lain, karena kendala bahasa, ia bingung harus menjelaskan dengan cara apa ke orang tua tersebut bahwa ia bukan seorang Muslim. Terlebih lagi teman yang bersamanya juga tidak mengerti bahasa Arab.
Mengikrarkan Keislaman
Saat itu Jerald merasa dirinya tengah terjebak dalam situasi yang sulit diungkapkan. Pilihan yang ada dihadapannya saat itu hanya dua, yakni berkata N'am yang artinya iya atau berkata La yang berarti tidak. Hanya ia yang bisa menentukan pilihan tersebut, sekarang atau tidak sama sekali.
Setelah berpikir agak lama dan memohon petunjuk dari Allah, Jerald pun menjawabnya dengan perkataan N'am. Sejak peristiwa tersebut, ia resmi menyatakan diri masuk Islam. Beruntung hidayah tersebut juga datang lepada istrinya di saat bersamaan. Sang istri yang kala itu berusia 33 tahun juga menyatakan diri sebagai seorang Muslimah.
Bahkan tidak lama berselang setelah kepulangannya ke Amerika, salah seorang tetangganya yang juga merupakan seorang pendeta mendatangi kediamannya dan menyatakan ketertarikannya tehadap ajaran Islam. Dihadapannya, tetangganya yang telah berhenti menjadi pendeta Metodis ini pun berikrar masuk Islam.
Kini hari-hari Jerald dihabiskan untuk kegiatan menulis dan memberikan ceramah tentang Islam dan hubungan antara Islam dan Kristen. Bahkan ia juga kerap diundang sebagai bintang tamu dalam program Islam di televisi di banyak negara.
Salah satu hasil karyanya yang menjadi best seller adalah "The Cross and the Crescent: An Interfaith Dialogue between Christianity and Islam". Selain itu ia juga menulis lebih dari 60 artikel tentang ilmu perilaku, dan lebih dari 150 artikel tentang kuda Arab dan sejarahnya. (dia/berbagai sumber)
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/09/07/15/62410-jerarld-f-dirks-temui-kenikmatan-dan-disiplin-dalam-islam
Dibesarkan di tengah lingkungan masyarakat penganut kepercayaan Kristen Metodis, membuat Jerald kecil terbiasa dengan suara dentingan lonceng yang kerap mengalun dari sebuah bangunan tua Gereja Kristen Metodis yang berjarak hanya dua blok dari rumahnya. Bunyi lonceng yang bergema setiap Minggu pagi ini menjadi tanda bagi seluruh anggota keluarganya agar segera menghadiri kebaktian yang diadakan di gereja.
Tidak hanya dalam urusan kebaktian saja, tetapi juga dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak Gereja Kristen Metodis, seluruh anggota keluarga ini turut terlibat secara aktif. Karenanya tak mengherankan jika sejak usia kanak-kanak Jerald sudah diikutsertakan dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak gereja. Salah satunya adalah mengikuti sekolah khusus selama dua pekan yang diadakan oleh pihak gereja setiap bulan Juni. Selama mengikuti sekolah khusus ini, para peserta mendapat pengajaran mengenai Bibel.
''Secara rutin saya mengikuti sekolah khusus ini hingga memasuki tahun kedelapan, selain kebaktian Minggu pagi dan sekolah Minggu yang diadakan setiap akhir pekan,'' ungkap muallaf kelahiran Kansas tahun 1950 ini. Diantara para peserta sekolah khusus ini, Jerald termasuk yang paling menonjol. Tidak pernah sekalipun ia absen dari kelas. Dan dalam hal menghafal ayat-ayat dalam Bibel, ia kerap mendapatkan penghargaan.
Keikutsertaan Jerald dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Gereja Metodis terus berlanjut hingga ia memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Diantaranya ia terlibat secara aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen Metodis. Dia juga kerap mengisi khotbah dalam acara kebaktian Minggu yang khusus diadakan bagi kalangan anak muda seusianya.
Dalam perjalanannya, khotbah yang ia sampaikan ternyata menarik minat komunitas Kristen Metodis di tempat lain. Ia pun kemudian diminta untuk memberikan khotbah di gereja lain, panti jompo, dan dihadapan organisasi-organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan Gereja Metodis. Sejak saat itu Jerald bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta kelak.
Ketika diterima di Universitas Harvard, Jerald tidak mensia-siakan kesempatan demi mewujudkan cita-citanya itu. Ia mendaftar pada kelas perbandingan agama yang diajar oleh Wilfred Cantwell Smith untuk dua semester. Di kelas perbandingan agama ini Jerald mengambil bidang keahlian khusus agama Islam.
Namun, selama mengikuti kelas ini Jerald justru lebih tertarik untuk mempelajari agama Budha dan Hindu. Dibandingkan dengan Islam, menurut dia, kedua ajaran agama ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan keyakinan yang ia anut selama ini.
Akan tetapi untuk memenuhi tuntutan standar kelulusan akademik, Jerald diharuskan untuk membuat makalah mengenai konsep wahyu dalam Alquran. Ia mulai membaca berbagai literatur buku mengenai Islam, yang sebagian besar justru ditulis oleh para penulis non-muslim. Ia juga membaca dua Alquran terjemahan bahasa Inggris dalam versi yang berbeda.
Diluar dugaannya buku-buku tersebutlah yang di kemudian hari justru membimbingnya ke kondisi seperti saat ini. Makalah tersebut membuat pihak Harvard memberikan penghargaan Hollis Scholar kepada Jerald. Sebuah penghargaan tertinggi bagi para mahasiswa jurusan Teologi Universitas Harvard yang dinilai berprestasi.
Untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan Jerald rela mengisi liburan musim panasnya dengan bekerja sebagai seorang pendeta cilik di sebuah Gereja Metodis terbesar di negeri Paman Sam tersebut. Pada musim panas itu pula ia mendapatkan sertifikat untuk menjadi seorang pengkhotbah dari pihak Gereja Metodis Amerika.
Setelah lulus dari Harvard College di tahun 1971, Jerald langsung mendaftar di Harvard Divinity School atau sejenis sekolah tinggi teologi atas beasiswa dari Gereja Metodis Amerika. Selama menempuh pendidikan di bidang teologi, Jerald juga mengikuti program magang sebagai di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston.
Ia lulus dari sekolah tinggi ini tahun 1974 dan mendapatkan gelar Master di bidang teologi. Selepas meraih gelar master teologi, ia sempat menghabiskan liburan musim panasnya dengan menjadi pendeta pada dua Gereja Metodis Amerika yang berada di pinggiran Kansas.
Aktivitasnya sebagai seorang pendeta tidak hanya terbatas di lingkungan gereja saja. Ia mulai merambah ke cakupan yang lebih luas, mulai dari lingkungan sekolah, perkantoran, hingga pesan-pesan ajaran Kristen Metodis ia juga gencar sampaikan kepada para pasien yang datang ke tempat praktiknya sebagai seorang dokter ahli kejiwaan.
Meninggalkan aktivitas gereja
Namun, berbagai upaya dakwah ini dinilainya tidak memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di sekitar ia tinggal. Ia justru menyaksikan terjadinya penurunan moralitas di tengah-tengah kehidupann beragama masyarakat Amerika. Bahkan kondisi serupa juga terjadi di lingkungan gereja.
''Dua dari tiga pasangan di Amerika selalu berakhir dengan perceraian, aksi kekerasan meningkat di lingkungan sekolah dan di jalanan, tidak ada lagi rasa tanggung jawab dan disiplin di kalangan anak muda. Bahkan yang lebih mencengangkan diantara para pemuka Kristen ada yang terlibat dalam skandal seks dan keuangan. Masyarakat Amerika seakan-akan sedang menuju kepada kehancuran moral,'' paparnya.
Melihat kenyataan seperti ini, Jerald mengambil keputusan untuk menyendiri dan tidak lagi menjalani aktivitasnya memberikan pelayanan dan khotbah kepada para jemaat. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh sang istri. Penelitian mengenai sejarah kuda Arab ini membuat ia dan istrinya melakukan banyak kontak dengan warga Amerika keturunan Muslim Arab . Salah satunya adalah dengan Jamal.
Babak pergaulan dengan Arab Muslim
Pertemuan Jerald dengan pria Arab-Amerika ini pertama kali terjadi pada musim panas tahun 1991. Dari awalnya sekedar berhubungan melalui sambungan telepon, kemudian berlanjut pada saat Jamal berkunjung ke rumah Jerald. Pada kunjungan kali pertama ini, Jamal menawarkan jasa untuk menterjemahkan berbagai literatur dari bahasa Arab ke Inggris yang disambut baik oleh Jerald dan istrinya.
Ketika waktu shalat ashar tiba, sang tamu kemudian meminta izin agar diperbolehkan menggunakan kamar mandi dan meminjam selembar koran untuk digunakan sebagai alas shalat. Apa yang diminta oleh tamunya itu diambilkan oleh Jerald, kendati dalam hati kecilnya ia berharap bisa meminjamkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar lembaran surat kabar sebagai alas shalat. Untuk kali pertama ia melihat gerakan shalat dalam agama Islam.
Aktivitas shalat ashar itu terus ia lihat manakala Jamal dan istrinya berkunjung ke rumah mereka seminggu sekali. Dan, hal itu membuat Jerald terkesima. ''Selama berada di rumah kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan komentar mengenai agama yang kami anut. Begitu juga ia tidak pernah menyampaikan ajaran agama yang diyakininya kepada kami. Yang dia lakukan hanya memberikan contoh nyata yang amat sederhana, seperti berbicara dengan suara serendah mungkin jika ada diantara kami yang bertanya mengenai agamanya. Ini yang membuat kami kagum,'' ungkapnya.
Dari perkenalannya dengan Jamal dan keluarganya, justru Jerald mendapat banyak pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sang tamu telah menunjukkan kepadanya sebuah pelajaran disiplin melalui shalat yang dilaksanakannya. Selain pelajaran moral dan etika yang diperlihatkan Jamal dalam urusan bisnis dan sosialnya serta cara Jamal berkomunikasi dengan kedua anaknya. ''Begitu juga yang dilakukan oleh istrinya menjadi contoh bagi istriku.''
Tidak hanya itu, dari kunjungan tersebut Jerald juga mendapatkan pengetahuan seputar dunia Arab dan Islam. Dari Jamal, ia bisa mengetahui tentang sejarah Arab dan peradaban Islam, sosok Nabi Muhammad, serta ayat-ayat Alquran berikut makna yang terkandung di dalamnya. Setidaknya Jerald meminta waktu kurang lebih 30 menit kepada tamunya untuk berbicara mengenai segala aspek seputar Islam. Dari situ, diakui Jerald, dirinya mulai mengenal apa dan bagaimana itu Islam.
Kemudian oleh Jamal, Jerald sekeluarga diperkenalkan kepada keluarga Arab lainnya di masyarakat Muslim setempat. Diantaranya keluarga Wa el dan keluarga Khalid. Dan secara kontinyu, ia melakukan interaksi sehari-hari dengan komunitas keluarga Arab Amerika ini. Dari interaksi tersebut, Jerald mendapatkan sesuatu ajaran dalam Islam yang selama ini tidak ia temui manakalan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Kristen, yakni rasa persaudaraan dan toleransi.
Baru di awal Desember 1992, sebuah pertanyaan mengganjal timbul dalam pikirannya, ''Dirinya adalah seorang pemeluk Kristen Metodis, tapi kenapa dalam keseharian justru bergaul dan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Muslim Arab?.'' Sebuah komunitas masyarakat yang menurutnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, serta mengedepankan sikap saling menghargai baik terhadap pasangan masing-masing, anggota keluarga maupun sesama. Sebuah kondisi yang pada masa sekarang hampir tidak ia temukan dalam masyarakat Amerika.
Serangkaian Kejadian Tak Terduga
Untuk menjawab keraguannya itu, Jerald memutuskan untuk mempelajari lebih dalam ajaran Islam melalui kitab suci Alquran. Dalam perjalanannya mempelajari Aquran, sang pendeta ini justru menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan hati kecilnya yang selama ini tidak ia temukan dalam doktrin ajaran Kristen yang dianutnya.
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas membuatnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia merasa belum siap untuk melepaskan identitas yang dikenakan selama hampir 43 tahun lamanya dan berganti identitas baru sebagai seorang muslim.
Begitu pun ketika ia bersama sang istri memutuskan untuk mengunjungi kawasan Timur Tengah di awal tahun 1993. Ketika itu, ia seorang diri makan di sebuah restoran yang hanya menyajikan makanan Arab setempat. Sang pemilik restoran, Mahmoud, kala itu memergoki dirinya tengah membaca sebuah Alquran terjemahan bahasa Inggris. Tanpa berkata sepatah kata pun, Mahmoud melontarkan senyum ke arah Jerald.
Kejadian tak terduga lagi-lagi menghampirinya. Istri Mahmoud, Iman, yang merupakan seorang Muslim Amerika, mendatangi mejanya sambil membawakan menu yang ia pesan. Kepadanya Iman berkomentar bahwa buku yang ia baca adalah sebuah Alquran. Tidak hanya itu, Iman juga bertanya apakah Jerald seorang muslim sama seperti dirinya. Pertanyaan tersebut lantas ia jawab dengan satu kata: Tidak.
Namun ketika Imam menghampiri mejanya untuk menyerahkan bukti tagihan, tanpa disadari Jerald melontarkan kalimat permintaan maaf atas sikapnya, seraya berkata: ''Saya takut untuk menjawab pertanyaan Anda tadi. Namun jika Anda bertanya kepada saya apakah saya percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, maka jawaban saya adalah ya. Jika Anda bertanya apakah saya percaya bahwa Muhammad adalah salah satu utusan Tuhan, maka jawaban saya akan sama, iya.'' Mendengar jawaban tersebut, Iman hanya berkata: ''Tidak masalah, mungkin bagi sebagian orang butuh waktu lama dibandingkan yang lain.''
Ikut berpuasa dan shalat
Ketika memasuki minggu kelima masa liburannya di Timur Tengah atau bertepatan dengan masuknya bulan Ramadhan yang jatuh pada bulan Maret tahun 1993, untuk kali pertama Jerald dan istrinya menikmati suasana lain dari ibadah orang Muslim. Demi menghormati masyarakat sekitar, ia dan istri ikut serta berpuasa. Bahkan pada saat itu, Jerald juga mulai ikut-ikutan melaksanakan shalat lima waktu bersama-sama para temannya yang Muslim dan kenalan barunya yang berasal dari Timur Tengah.
Bersamaan dengan akan berakhirnya masa liburannya menjelajah kawasan Timur Tengah, hidayah tersebut akhirnya datang. Peristiwa penting dalam hidup Jerald ini terjadi manakala ia diajak seorang teman untuk mengunjungi Amman, ibukota Yordania.
Pada saat ia melintas di sebuah jalan di pusat ibukota, tiba-tiba seseorag lelaki tua datang menghampirinya seraya mengucapkan, Salam Alaikum dan mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, serta melontarkan pertanyaan apakah iaseorang Muslim?. Sapaan salam dalam ajaran Islam itu membuatnya kaget. Di sisi lain, karena kendala bahasa, ia bingung harus menjelaskan dengan cara apa ke orang tua tersebut bahwa ia bukan seorang Muslim. Terlebih lagi teman yang bersamanya juga tidak mengerti bahasa Arab.
Mengikrarkan Keislaman
Saat itu Jerald merasa dirinya tengah terjebak dalam situasi yang sulit diungkapkan. Pilihan yang ada dihadapannya saat itu hanya dua, yakni berkata N'am yang artinya iya atau berkata La yang berarti tidak. Hanya ia yang bisa menentukan pilihan tersebut, sekarang atau tidak sama sekali.
Setelah berpikir agak lama dan memohon petunjuk dari Allah, Jerald pun menjawabnya dengan perkataan N'am. Sejak peristiwa tersebut, ia resmi menyatakan diri masuk Islam. Beruntung hidayah tersebut juga datang lepada istrinya di saat bersamaan. Sang istri yang kala itu berusia 33 tahun juga menyatakan diri sebagai seorang Muslimah.
Bahkan tidak lama berselang setelah kepulangannya ke Amerika, salah seorang tetangganya yang juga merupakan seorang pendeta mendatangi kediamannya dan menyatakan ketertarikannya tehadap ajaran Islam. Dihadapannya, tetangganya yang telah berhenti menjadi pendeta Metodis ini pun berikrar masuk Islam.
Kini hari-hari Jerald dihabiskan untuk kegiatan menulis dan memberikan ceramah tentang Islam dan hubungan antara Islam dan Kristen. Bahkan ia juga kerap diundang sebagai bintang tamu dalam program Islam di televisi di banyak negara.
Salah satu hasil karyanya yang menjadi best seller adalah "The Cross and the Crescent: An Interfaith Dialogue between Christianity and Islam". Selain itu ia juga menulis lebih dari 60 artikel tentang ilmu perilaku, dan lebih dari 150 artikel tentang kuda Arab dan sejarahnya. (dia/berbagai sumber)
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/09/07/15/62410-jerarld-f-dirks-temui-kenikmatan-dan-disiplin-dalam-islam
Prof. Dr. Tejatat Tejasen: Mengenal Islam dari Kulit
Profesor Tejatat Tejasen mengucapkan kalimat syahadat saat Konferensi Kedokteran ke-5 yang diadakan di Riyadh, Saudi Arabia. Dia adalah Ketua Jurusan Anatomi di Chiang Mai, Universitas Thailand. Sebelumnya menjabat Dekan Fakultas Kedokteran di Universitas yang sama.
Kami menunjukkan beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi kepada Profesor Tejasen yang sesuai dengan keahliannya dalam bidang anatomi. Dia memberi alasan bahwa mereka juga memiliki kitab dalam agama Buddha yang menerangkan gambaran fase perkembangan embrio yang sangat akurat. Kami mengatakan kepadanya bahwa kami sangat senang dan tertarik untuk melihat gambaran itu dan belajar tentang kitab itu.
Setahun kemudian, Profesor Tejasen datang ke Universitas King Abdul Aziz sebagai penguji dari luar. Kami mengingatkannya tentang pernyataan yang dibuatnya setahun yang lalu, tetapi dia minta maaf dan mengatakan bahwa pada saat dia membuat pernyataan itu tanpa mengetahui persoalan dengan pasti. Ketika dia mengecek kitab Tripitaka, ternyata dia tidak menemukan pertalian dengan pokok masalah. Atas dasar hal ini, kami menghadirkan sebuah kuliah tertulis Profesor Keith Moore tentang kecocokan antara embriologi modern dengan apa yang tertulis di dalam al-Quran dan Sunnah. Dan kami bertanya kepada Profesor Tejasen jika dia tahu tentang Profesor Keith Moore. Bahkan, dia menjawab bahwa dia tentu tahu Profesor Moore dan menambahkan bahwa Profesor Moore adalah salah satu ilmuwan dunia yang terkenal dalam bidangnya.
Ketika Profesor Tejasen mempelajari artikel ini, dia juga sangat heran. Kami menanyakannya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan keahliannya. Salah satu pertanyaan itu menyinggung tentang penemuan terbaru dalam hal dermatologi tentang sifat-sifat kulit sebagai salah satu alat panca indra.
Dinyatakan kepada Profesor Tejasen, “Anda akan tertarik untuk mengetahui isi kitab ini, kitab al-Quran, sebagai referensi pada 1400 tahun yang lalu yang menyinggung tentang persoalan hukuman bagi orang yang tidak beriman atau kafir, yaitu akan masuk neraka yang dipenuhi api. Dalam hal ini dinyatakan bahwa ketika kulit mereka mengalami kerusakan, Allah membuat kulit lain untuk mereka sehingga mereka merasakan hukuman balasan di dalam neraka itu. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kulit mereka hangus, Kami ganti mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (QS. an-Nisaa [4]: 56).”
Kami menanyakan, “Jadi, Anda setuju bahwa ini referensi tentang pentingnya bagian terakhir dari urat saraf dalam perasaan kulit 1400 tahun yang lalu?”
Profesor Tejasen menjawab, “Ya, saya setuju.”
Pengetahuan tentang perasaan kulit ini telah diketahui lama sebelumnya, sebab hal ini dikatakan jika seseorang berbuat salah, kemudian dia akan dihukum dengan menghanguskan kulitnya dan kemudian Allah akan menggantinya dengan kulit baru, yang menutupi mereka agar tahu bahwa dia disiksa kembali.
Kulit adalah pusat kepekaan luka bakar. Oleh karena itu, jika kulit terbakar api seluruhnya, akan kehilangan kepekaannya. Dengan berdasar alasan inilah maka Allah akan menghukum orang-orang kafir di hari kiamat dengan mengembalikan kulit mereka ke keadaan semula secara terus menerus, sebagaimana Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisaa ayat 56.
Kami menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan sebagai berikut, “Apakah mungkin ayat-ayat al-Quran datang dari Nabi Muhammad, dari sumber manusia?”
Profesor Tejasen mengakui bahwa ayat-ayat al-Quran tidak mungkin bersumber dari manusia. Akan tetapi, dia masih menanyakan tentang sumber ilmu pengetahuan itu dan dari mana Nabi Muhammad kemungkinan menerima ayat-ayat itu.
Kami menjawab, “Dari Allah, Yang Maha Agung dan Maha Mulia.”
Kemudian dia bertanya, “Siapakah Allah itu?”
Kami menjawab, “Dia adalah pencipta semua yang ada di jagat raya ini. Jika Anda mendapatkan kebijakan kemudian hal ini hanya datang dari satu-satunya Yang Maha Bijaksana. Jika Anda menemui pengetahuan dalam pembuatan alam semesta ini, Dialah pencipta alam semesta, satusatunya Yang Maha Mengetahui. Jika Anda mendapatkan kesempurnaan komposisi ciptaan-Nya, inilah bukti bahwa Dialah Yang Maha Sempurna. Dan, jika Anda mendapatkan kemurahan hati kemudian memberikan kesaksian ini pada kenyataan bahwa penciptaan itu dimiliki sebagai satu kesatuan tata tertib dan menghubungkan bersama dengan kuat, kemudian inilah bukti bahwa inilah ciptaan Sang Pencipta, Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa.”
Profesor Tejasen setuju dengan apa yang kami terangkan kepadanya. Dia kembali ke negaranya di mana dia menyampaikan beberapa perkuliahan tentang pengetahuan barunya dan penemuannya. Kami telah memberikan informasi kepada lima orang mahasiswa yang kemudian masuk Islam sebagai hasil dari perkuliahan ini. Kemudian, pada saat Konferensi Kedokteran ke-5 yang diselenggarakan di Riyadh, Profesor Tejasen mengikuti seri perkuliahan tentang tanda-tanda kedokteran dalam al-Qur’an dan Sunnah. Profesor Tejasen menghabiskan empat hari dengan beberapa perkuliahan, muslim dan non-muslim, membicarakan tentang fenomena di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Pada sesi akhir itu, Profesor Tejasen berdiri dan berkata, “Pada tahun-tahun terakhir ini, saya menjadi tertarik mempelajari al-Qur’an yang mana Syekh Abdul Majid az-Zindani berikan kepada saya. Tahun lalu, saya mendapati tulisan Profesor Keith Moore terakhir dari Syekh. Dia meminta saya menerjemahkan ke dalam bahasa Thai dan memberikan sedikit kuliah kepada muslim di Thailand. Saya telah memenuhi permintaannya. Anda dapat melihatnya dalam video tape yang saya berikan kepada Syekh sebagai sebuah hadiah.
Dari penelitian saya dan apa yang saya pelajari secara keseluruhan dalam konferensi ini, saya percaya bahwa semuanya yang telah tertulis di dalam al-Qur’an pasti sebuah kebenaran, yang dapat dibuktikan dengan peralatan ilmiah. Sejak Nabi Muhammad yang tidak dapat membaca maupun menulis, Muhammad pasti seorang utusan yang menyiarkan kebenaran yang diturunkan kepadanya sebagai seorang yang dipilih oleh Sang Pencipta. Pencipta ini pasti Allah atau Tuhan. Oleh karena itu, saya berpikir inilah saatnya saya mengucapkan kalimat laa illaha illallah. Saya tidak hanya belajar dari pengetahuan ilmiah selama konferensi itu, tetapi juga kesempatan yang bagus bertemu dengan beberapa ilmuwan baru dan bertemu dengan mereka sebagai sesama peserta. Hal yang paling berharga yang saya peroleh ketika datang ke konferensi ini adalah saya mengucapkan kalimat syahadat.
Kebenaran itu datangnya dari Allah sebagaimana firman-Nya:
“Dan, orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menyuruh kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkara lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’ [34]: 6).
Edited by: Nisrina Lubis
Kami menunjukkan beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi kepada Profesor Tejasen yang sesuai dengan keahliannya dalam bidang anatomi. Dia memberi alasan bahwa mereka juga memiliki kitab dalam agama Buddha yang menerangkan gambaran fase perkembangan embrio yang sangat akurat. Kami mengatakan kepadanya bahwa kami sangat senang dan tertarik untuk melihat gambaran itu dan belajar tentang kitab itu.
Setahun kemudian, Profesor Tejasen datang ke Universitas King Abdul Aziz sebagai penguji dari luar. Kami mengingatkannya tentang pernyataan yang dibuatnya setahun yang lalu, tetapi dia minta maaf dan mengatakan bahwa pada saat dia membuat pernyataan itu tanpa mengetahui persoalan dengan pasti. Ketika dia mengecek kitab Tripitaka, ternyata dia tidak menemukan pertalian dengan pokok masalah. Atas dasar hal ini, kami menghadirkan sebuah kuliah tertulis Profesor Keith Moore tentang kecocokan antara embriologi modern dengan apa yang tertulis di dalam al-Quran dan Sunnah. Dan kami bertanya kepada Profesor Tejasen jika dia tahu tentang Profesor Keith Moore. Bahkan, dia menjawab bahwa dia tentu tahu Profesor Moore dan menambahkan bahwa Profesor Moore adalah salah satu ilmuwan dunia yang terkenal dalam bidangnya.
Ketika Profesor Tejasen mempelajari artikel ini, dia juga sangat heran. Kami menanyakannya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan keahliannya. Salah satu pertanyaan itu menyinggung tentang penemuan terbaru dalam hal dermatologi tentang sifat-sifat kulit sebagai salah satu alat panca indra.
Dinyatakan kepada Profesor Tejasen, “Anda akan tertarik untuk mengetahui isi kitab ini, kitab al-Quran, sebagai referensi pada 1400 tahun yang lalu yang menyinggung tentang persoalan hukuman bagi orang yang tidak beriman atau kafir, yaitu akan masuk neraka yang dipenuhi api. Dalam hal ini dinyatakan bahwa ketika kulit mereka mengalami kerusakan, Allah membuat kulit lain untuk mereka sehingga mereka merasakan hukuman balasan di dalam neraka itu. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kulit mereka hangus, Kami ganti mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (QS. an-Nisaa [4]: 56).”
Kami menanyakan, “Jadi, Anda setuju bahwa ini referensi tentang pentingnya bagian terakhir dari urat saraf dalam perasaan kulit 1400 tahun yang lalu?”
Profesor Tejasen menjawab, “Ya, saya setuju.”
Pengetahuan tentang perasaan kulit ini telah diketahui lama sebelumnya, sebab hal ini dikatakan jika seseorang berbuat salah, kemudian dia akan dihukum dengan menghanguskan kulitnya dan kemudian Allah akan menggantinya dengan kulit baru, yang menutupi mereka agar tahu bahwa dia disiksa kembali.
Kulit adalah pusat kepekaan luka bakar. Oleh karena itu, jika kulit terbakar api seluruhnya, akan kehilangan kepekaannya. Dengan berdasar alasan inilah maka Allah akan menghukum orang-orang kafir di hari kiamat dengan mengembalikan kulit mereka ke keadaan semula secara terus menerus, sebagaimana Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisaa ayat 56.
Kami menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan sebagai berikut, “Apakah mungkin ayat-ayat al-Quran datang dari Nabi Muhammad, dari sumber manusia?”
Profesor Tejasen mengakui bahwa ayat-ayat al-Quran tidak mungkin bersumber dari manusia. Akan tetapi, dia masih menanyakan tentang sumber ilmu pengetahuan itu dan dari mana Nabi Muhammad kemungkinan menerima ayat-ayat itu.
Kami menjawab, “Dari Allah, Yang Maha Agung dan Maha Mulia.”
Kemudian dia bertanya, “Siapakah Allah itu?”
Kami menjawab, “Dia adalah pencipta semua yang ada di jagat raya ini. Jika Anda mendapatkan kebijakan kemudian hal ini hanya datang dari satu-satunya Yang Maha Bijaksana. Jika Anda menemui pengetahuan dalam pembuatan alam semesta ini, Dialah pencipta alam semesta, satusatunya Yang Maha Mengetahui. Jika Anda mendapatkan kesempurnaan komposisi ciptaan-Nya, inilah bukti bahwa Dialah Yang Maha Sempurna. Dan, jika Anda mendapatkan kemurahan hati kemudian memberikan kesaksian ini pada kenyataan bahwa penciptaan itu dimiliki sebagai satu kesatuan tata tertib dan menghubungkan bersama dengan kuat, kemudian inilah bukti bahwa inilah ciptaan Sang Pencipta, Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa.”
Profesor Tejasen setuju dengan apa yang kami terangkan kepadanya. Dia kembali ke negaranya di mana dia menyampaikan beberapa perkuliahan tentang pengetahuan barunya dan penemuannya. Kami telah memberikan informasi kepada lima orang mahasiswa yang kemudian masuk Islam sebagai hasil dari perkuliahan ini. Kemudian, pada saat Konferensi Kedokteran ke-5 yang diselenggarakan di Riyadh, Profesor Tejasen mengikuti seri perkuliahan tentang tanda-tanda kedokteran dalam al-Qur’an dan Sunnah. Profesor Tejasen menghabiskan empat hari dengan beberapa perkuliahan, muslim dan non-muslim, membicarakan tentang fenomena di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Pada sesi akhir itu, Profesor Tejasen berdiri dan berkata, “Pada tahun-tahun terakhir ini, saya menjadi tertarik mempelajari al-Qur’an yang mana Syekh Abdul Majid az-Zindani berikan kepada saya. Tahun lalu, saya mendapati tulisan Profesor Keith Moore terakhir dari Syekh. Dia meminta saya menerjemahkan ke dalam bahasa Thai dan memberikan sedikit kuliah kepada muslim di Thailand. Saya telah memenuhi permintaannya. Anda dapat melihatnya dalam video tape yang saya berikan kepada Syekh sebagai sebuah hadiah.
Dari penelitian saya dan apa yang saya pelajari secara keseluruhan dalam konferensi ini, saya percaya bahwa semuanya yang telah tertulis di dalam al-Qur’an pasti sebuah kebenaran, yang dapat dibuktikan dengan peralatan ilmiah. Sejak Nabi Muhammad yang tidak dapat membaca maupun menulis, Muhammad pasti seorang utusan yang menyiarkan kebenaran yang diturunkan kepadanya sebagai seorang yang dipilih oleh Sang Pencipta. Pencipta ini pasti Allah atau Tuhan. Oleh karena itu, saya berpikir inilah saatnya saya mengucapkan kalimat laa illaha illallah. Saya tidak hanya belajar dari pengetahuan ilmiah selama konferensi itu, tetapi juga kesempatan yang bagus bertemu dengan beberapa ilmuwan baru dan bertemu dengan mereka sebagai sesama peserta. Hal yang paling berharga yang saya peroleh ketika datang ke konferensi ini adalah saya mengucapkan kalimat syahadat.
Kebenaran itu datangnya dari Allah sebagaimana firman-Nya:
“Dan, orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menyuruh kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkara lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’ [34]: 6).
Edited by: Nisrina Lubis
Langganan:
Postingan (Atom)