Jumat, 03 September 2010

Yustina : Sepertinya Allah Menggerakkan Lidahku untuk Bersyahadat

Padahal sebenarnya orangtuaku keturunan Sunda. “Mana ada orang Betawi nonmuslim,” kata mereka berkomentar menanggapi perihal keyakinanku. Menginjak dewasa, waktu aku berusia 24 tahun, aku memutuskan untuk menikah. Aku berhasil dipersunting pria asal Kalimantan, yang keyakinannya beda denganku. Ia adalah anak pasangan keluarga haji yang taat beragama.

Sebelum menikah, orangtuaku mengingatkan, jika dia (baca: suamiku) ingin menikahiku, maka calon suamiku itu harus melepas agama lamanya, yakni Islam. Ia harus memeluk Protestan, agama yang aku dan keluarga anut. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka orangtuaku tidak akan memberi izin. Bahkan, mereka mengancam akan mengusirku dari rumah, kalau aku tidak menuruti nasehat mereka.

Dengan alasan ini, walau sudah empat tahun menjalin hubungan dengan calon suami, aku lebih siap kehilangan dia ketimbang orangtua. Kekasih hati bisa dicari gantinya, sedang orangtua, mana mungkin kita dapat ganti? Batinku kala itu.

Mungkin karena begitu besarnya cinta suami kepadaku, dengan ikhlas akhirnya ia mengikuti keyakinan yang kami anut. Aku pun lalu memperkenalkan ajaran Protestan kepadanya. Agar lebih mendalam, aku membawanya ke rumah seorang pastur di kawasan Matraman, Jakarta Pusat.

Setelah beberapa bulan resmi menjadi penganut Protestan, di tahun 1996, kami pun melangsungkan pernikahan. Di gereja Pasundan, Salemba Raya, Jakarta Pusat, kami mengikrarkan diri di hadapan Tuhan untuk mengarungi kehidupan bersama.Bersama suami, setelah menikah, aku memilih kawasan Ciledug sebagai tempat kediaman. Setahun kami lewati masa perkawinan, alhamdulillah aku dikaruniai Siska Mahsun, puteri pertamaku. Tahun berkutnya menyusul Riki (keislaman Riki pernah dimuat di Majalah Hidayah edisi Idul Fitri 2003), adiknya. Sampai kini aku hanya dikaruniai mereka berdua oleh Allah.

Mimpi Sang Suami Menjadi Hidayah Bagi Keluarga
imageTanpa terasa, usia perkawinanku telah memasuki tahun ketujuh belas. Selama rentang waktu ini suamiku telah menjadi penganut Protestan yang cukup taat. Kendati orangtuanya tidak melarang, tapi mereka juga tidak mengizinkan keputusan yang diambil suamiku. Semuanya diserahkan kepada suamiku.

Sikap toleransi keluarga suami adalah peluang buatku untuk tetap bisa menjalin silaturahmi. Meski beda keyakinan, komunikasiku dengan mereka tetap akrab. Mereka bahkan pernah mengatakan terkesan melihat kepribadianku. Walau aku penganut Protestan, kepribadianku di mata mereka layaknya berkepribadian Muslim, lembut dan baik hati.

Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang pendek untuk bisa mengenal suatu hal. Begitu pula dengan suamiku yang telah meninggalkan Islam dan beralih menjadi penganut Protestan. Ia bahkan tidak mau kembali memeluk agama lamanya.Pertahanan ini akhirnya runtuh, oleh hal yang menurutku sepele. Ia masuk Islam hanya karena ‘desakan’ sebuah mimpi. Jelasnya, di bulan Desember 1996, tujuh hari menjelang hari raya Idul Fitri, suamiku bercerita bahwa selama tiga hari berturut-turut ia bermimpi tentang ibunya (ibu mertuaku).

Ibu mertuaku yang beberapa waktu lalu meningal di Mekah, meminta suamiku agar mendoakannya. Suamiku resah mengingat mimpi ini. Kenapa mimpi ini datangnya berturut-turut? Permohonan doa itu seperti desakkan.

Setelah ia menceritakan mimpi itu, suamiku pun mengatakan bahwa dirinya ingin sekali mendoakan sang ibu. “Tapi kalo beda agama, doa papa tidak akan sampai,” kata suamiku ragu-ragu. Entah karena alasan apa, mulutku mengatakan hal yang berlawanan dengan keyakinan yang selama ini aku pegang. “kalau gitu papa harus masuk Islam,” kataku ringan seolah tanpa beban.

Aku tidak mengerti mengapa lidah ini begitu mudah mengatakan kata-kata seperti itu. Padahal aku penganut Protestan yang kuat, kebanggan orangtua lantaran telah berhasil mengajak suami pindah agama. Lagi pula, waktu itu aku punya anggapan miring tentang Islam. Dan beberapa alasan lain yang membuatku merasa tidak mungkin masuk agama ini. Tapi mengapa baru saja aku memberikan saran kepada suami untuk masuk Islam? Mungkin Allah yang menggerakkan lidahku.

Begitu suami mendengar saranku, ia terkejut bukan main. “Emang mamah ngijinin?” tanyanya tak percaya. “Ya silahkan aja,” kataku waktu itu. Tiba-tiba saja suamiku menangis, bersujud dan memelukku. Ia tersedu-sedu lama di pangkuanku. Raut mukanya bahagia bercampur haru.Tak lama ia pun kemudian pergi ke kamar mandi; berwudlu lalu shalat. Tidak aneh kalau ia langsung melaksanakan hal tersebut, karena pada dasarnya ia mengenal Islam sejak kecil. Maka ketika ia kembali memeluk agama lamanya, suamiku sudah tahu apa yang harus ia lakukan.

Waktu itu aku berinisiatif pula untuk masuk Islam. Aku pikir, tidak mungkin dalam sebuah keluarga ada dua agama. Aku lalu keluar dari kamar, mencari kedua anakku untuk mengajak mereka masuk Islam. “Ayah sudah masuk Islam, gimana kalau kita ikut ayah?” tanyaku pada anak-anak. Tidak seperti aku, mereka justru menentang. Mereka tidak mau mengikuti saranku. Apalagi anak pertamaku. Mendengar ajakan ini ia malah menangis, menjerit-jerit histeris, seperti orang kesetanan. “Nggak mau… nggak mau masuk Islaaammm!” jeritnya.

Berbeda dengan Siska, adiknya, Riki, justru mau menerima saranku. “Ya deh Bu, saya mau,” kata Riki setelah mendengar penjelasanku panjang lebar. Siska masih diam. Ia enggan masuk Islam karena khawatir guru-gurunya akan terpengaruh pada status baru yang akan disandangnya nanti.

Tapi yang paling ia takutkan, keputusan itu akan mempengaruhi nilainya, karena sebentar lagi Siska akan menghadapi ujian akhir. Walau begitu pada akhirnya toh ia mengikuti keputusan kami.

Merasa terharu, kami pun bertangis-tangisan. Saat itulah suamiku keluar dari kamar. Tatapan haru dan bahagia menyelimuti keluargaku sore itu. Kami pun bertangis-tangisan sejadi-jadinya. Kalau saja tembok pagar rumah tidak tinggi, pasti suara tangis tersebut sudah terdengar ke mana-mana. Apalagi susananya menjelang tarawih, saat setiap muslim lalu lalang melintasi rumah kami menuju masjid.

Suamiku menuntun aku dan anak-anak mengucapkan syahadat. Alhamdulillah, kini kami sekeluarga telah menjadi muslim. Hanya perasaan lega waktu itu yang terasa. Malam itu juga kami memutuskan agar besok ikut berpuasa. Kami langsung memanfaatkan momen Ramadhan yang seminggu lagi akan berakhir.

Sampai lebaran tiba, meskipun masih awam, alhamdulillah puasa kami tidak batal. Sehari menjelang lebaran, kami sekeluarga mengikrarkan keislaman di masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Anak bungsuku, Riki, langsung belajar mengaji kepada ayahnya. Sedangkan aku mengunjungi keponakan suami yang tinggal di Cibubur. Kami katakan kepada mereka bahwa kami sekarang sudah menjadi muslim. Mendengar berita ini, mereka sangat gembira. Mereka segera memberikan bimbingan mengenai apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Selepas dari sana, kami pergi ke Blok M dan buka puasa di sana. Terus terang aku bangga, walaupun bepergian jauh, puasa yang sedang aku jalani tidak batal.

Hidayah Untuk Berjilbab
Aku dan anak-anak masih awam dalam menjalani ajaran Islam, terkecuali suami. Maka untuk urusan tata cara ibadah seperti shalat dan doa-doa yang harus dibaca dalam shalat, suamiku yang mengajarkannya. Agar lebih mudah diingat dan dihafal, ia menuliskan doa-doa tersebut di atas kertas karton besar.

Untuk menunjang pengetahuan keislamanku, aku pun banyak membaca buku-buku Islam. Dalam penampilan, aku juga berusaha merubahnya sedikit-sedikit. Seorang ustadzah yang kebetulan sedang mendata muallaf, mendatangiku. Ustadzah ini ingin memberi bimbingan agama kepada setiap muallaf. Ia pun menerangkan tentang muslimah.

Dari penjelasan ustadzah itu, aku menyimpulkan bahwa sebagai muslimah aku harus mengenakan pakaian muslimah pula. Maka aku pun memutuskan memakai jilbab. Mulanya memang nggak pede, bahkan ngerasa norak. Tapi alhamdulillah, akhirnya aku terbiasa dan berbalik menyukai pakaian ini. Puteriku yang tadinya menolak masuk Islam pun akhirnya ingin berjilbab.

Semula, tidak ada pihak keluargaku yang tahu bahwa aku sekeluarga sudah masuk Islam. Aku masih merahasiakannya, akhirnya ketahuan juga. Keluarga besarku telah mencium kabar tentang keislamanku. Tentu saja mereka marah, termasuk kedelapan orang adikku. Apalagi aku berpakaian muslimah dan berjilbab. Pakaian yang dianggap kampungan oleh keluargaku.

Padahal sebetulnya banyak sekali manfaat yang aku dapatkan dari pakaian model ini. Pertama bisa menjaga kesehatan kulit dari sinar matahari dan debu, kedua, bila aku berjalan sendirian, aku merasa aman. Tidak ada laki-laki iseng yang menggodaku lagi.
Berbeda dengan dulu, waktu aku sering berpakaian modis dan minim. Aku merasa tidak aman kalau sedang berjalan sendirian. Karena pakaian minim itulah banyak laki-laki yang memberikan kartu namanya, ngajak kenalan dan sering mereka menggoda. Padahal aku sudah punya anak dua. Kini aku berbalik merasa iba melihat kaum wanita yang berpakaian minim.

Kini aku lebih percaya diri berpakaian muslimah. Bahkan aku pernah mendatangi orangtua dengan berpakaian seperti ini. Momennya kebetulan pas waktu hari natal. Bapak langsung menarik kerudungku dengan kasar, begitu aku masuk rumah. Ia berang dan seolah jijik melihat dandananku.

“Kalau mau Islam, ya Islam aja, jangan pakai jilbab segala,” katanya marah.
Namun aku tidak peduli atas perlakuan bapak. Aku tidak ingin merubah penampilanku seperti semula. Aku tidak mau mengikuti keinginan orangtuaku. Karena itu aku tidak mau lagi datang ke rumah.

Setelah kejadian itu, bapakku jatuh sakit. Bapak koma. Kabar ini aku ketahui dari adikku yang datang menjemputku supaya datang menjenguk Bapak. “Kakak harus datang,” kata adikku yang Kristennya sangat taat. Menurutnya, bapak sakit karena terlalu memikirkanku.

Bapak pun dibawa ke rumah sakit. Hanya sehari semalam ia dirawat, setelah itu meninggal. Menjelang bapak meninggal itulah aku berpikir untuk membahagiakan hatinya. Maka sewaktu masuk ke dalam ruang perawatan untuk memenuhi panggilannya, jilbab yang sedang kupakai aku lepas. Aku berani melepasnya karena di dalam ruangan itu tidak ada siapa-siapa, kecuali bapak.

Aku masukkan jilbab ke dalam kantong celana panjang yang sedang kukenakan. Melihat aku datang tanpa jilbab, bapak tersenyum. Itulah kali terakhir dimana aku bisa melihat senyum bapak. Bapak telah menyusul ibu kandungku yang sudah wafat beberapa waktu lalu.

Aku sedih, karena mereka meninggal tidak dalam keadaan Islam. Aku sering memohon kepada Allah agar mereka diselamatkan dari siksa neraka. Meskipun aku tahu doa seorang muslim tidak akan sampai kepada mereka yang nonmuslim. Aku yakin, Allah Paling Tahu tentang segala sesuatu yang tidak tersingkap oleh mata manusia. Tidak hampir setahun dari kematian bapak, suamiku pun menyusul. Alhamdulillah, ia meninggal dalam keadaan Islam.

Kedatangan Majelis Gereja
Setelah masuk Islam, otomatis ajaran dan tata cara ibadahku berubah. Dari yang awalnya tidak mampu baca doa, kini sudah lancar baca al-Qur’an. Dari yang mulanya aktif di organisasi rumah tangga gereja (baca: semacam majlis ta’lim ibu-ibu gereja), kini kebiasaan itu berubah pula. Dari yang awalnya aktif mengikuti latihan kidung-kidung jemaat, aku kini malah berbalik aktif di pengajian-pengajian.

Mungkin karena keislamanku belum diketahui banyak orang, Majelis Gereja, sekelompok orang yang berada lebih rendah dari pastur, mendatangiku suatu hari. Mereka ingin mengundangku datang ke acara kebaktian. “Maaf Bu, saya sudah pindah agama,” kataku menjelaskan.

Wanita itu marah. Berbagai omongan yang tidak enak didengar keluar dari mulutnya. “Saya dan warga gereja akan mendoakan ibu agar bisa kembali,” katanya sambil berlalu pergi. Sampai sekarang aku tidak dihubungi lagi. Allah sudah memutuskan Islam menjadi jalan hidupku.

Bukan hanya wanita tadi, salah seorang adikku yang keyakinan Kristennya sangat kuat berkata, “Masih percaya nggak adanya Yesus?” Ia bertanya dengan nada cukup tinggi. Tapi aku tidak mau mengungkit keyakinan lamaku. Lagi pula aku tidak ingin cekcok dengannya. “Itu masa lalu saya,” jawabku singkat.

Adikku yang lain pernah mengundangku untuk datang ke acara pesta yang digelarnya. Tapi aku bilang, aku akan datang dengan pakaian muslimah. “Nggak apa-apa Kak,” katanya.

Sesampainya di sana, di luar dugaanku, mereka semua menaruh hormat padaku. Padahal acara pesta waktu itu di aula gereja. Tidak seperti yang ada dalam benakku sebelumnya, para pendeta-pendeta yang hadir di sana, tidak satu pun yang mencemooh. “Ini halal lho Bu,” kata seorang pastur waktu menawariku makanan.

Sayangnya aku tahu kalau pastur yang satu ini ingin menjebakku. Ia menawariku daging babi yang sudah dibumbui. Bagi orang yang tidak biasa makan babi, maka akan sulit mengenalinya. Aku tidak mungkin terkecoh dengan rasa dan aroma babi, hidangan yang ditawarkan pastur itu.

Ajaran Islam Membawa Ketenangan
Pertama kali mempelajari Islam, mata hatiku langsung terbuka. Ajaran Islam lebih menyentuh dan masuk akal. Apalagi kalau kita mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah sampai saat ini aku sekeluarga masih ditetapkan dalam Islam. Semoga aku makin istiqamah dan meninggal dalam keadaan muslimah.

Sebagai orang yang baru masuk Islam, tentu aku ingin membaca kitab suci al-Qur’an sebagai kitab suci baruku. Aku coba mempelajarinya. Pertama, aku coba menghafal huruf hijaiyah. Dalam waktu dua hari, alhamdulillah aku dapat menghafalnya.

Setelah itu baru aku coba membaca al-Qur’an dengan cara mendengarkan kaset Juz Amma. Lalu aku minta Riki, anakku yang sudah pandai baca al-Qur’an, mendengarkan bacaanku. Wawasan tentang al-Qur’an terus aku tambah dengan berkuliah di sebuah perguruan khusus al-Qur’an di bilangan condet.

Sedikit demi sedikit aku terus baca dan pelajari kandungan al-Qur’an. Dan aku pun tertarik untuk mencoba membandingkan antara isi al-Kitab dengan al-Qur’an. Ternyata, apa yang ada dalam al-Kitab, seperti kisah Nabi Isa, dalam al-Qur’an pun ditulis. Tapi sebaliknya, yang ada dalam al-Qur’an, seperti kisah tentang Nabi Muhammad, tidak dijelaskan dalam al-Kitab. Selain itu, ajaran yang termuat dalam al-Qur’an pun lebih mengena dan jelas.

Ingin Naik Haji
Aku dekat dengan seorang teman. Kebetulan dia senang bertahajud. Dia menyarankanku untuk shalat tahajud. Menurutnya, bila kita sedang mendapat masalah, maka kita akan mendapat ketenangan. Karena di dalam shalat itu ada kekuatan. Terbukti, sampai saat ini, jika ada masalah yang menggangguku, bisa teratasi.

Namun, bukan berarti shalat tahajud dilaksanakan jika sedang kesusahan. Sebaiknya kita lakukan setiap malam. Awalnya memang terasa berat. Lama-lama toh bisa, jika kita mampu membiasakannya. Bahkan setelah terbiasa menjalankan, hari-hariku terasa ringan, seperti tiada beban. Semalam saja tidak bertahajud, rasanya ada yang kurang.

Insya Allah, jika Allah masih memberi kesempatan hidup, bulan besok aku berumur 50 tahun. Di usiaku yang setengah abad ini, aku selalu berdoa supaya aku bisa naik haji. Semoga Allah mengabulkan permohonanku. Walaupun sulit mewujudkannya, namun jika Allah menghendaki, pasti akan terwujud. Karena ada teman yang tidak punya apa-apa tapi bisa naik haji. Amien. (H/Foto: Gepeng).

Sumber : Majalah Hidayah Mei 2004, hal. 38-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar