Dalam sebuah majelis tafakur di Bandung, suasana menjadi hening saat seorang jamaah, Valerie Erawan, menyampaikan pendapatnya. Semula, ia lancar bicara mengenai pandangannya terkait aturan Allah SWT dalam Alquran. Saat pembicaraannya sampai pada persoalan doa dan hidayah, suaranya tersendat. Tak terdengar kata yang diucapkannya, isakanlah yang meluncur dari bibirnya.
Suasana pun menjadi "biru" oleh keharuan akibat isakan tertahan Valerie. ''Semula saya berpikir bahwa saya tak mungkin mendoakan keluarga besar saya agar mendapat hidayah dan masuk Islam. Tapi kemudian saya sadari, tugas kita adalah berdoa, dan Allah akan mengabulkan doa kita dengan cara-Nya,'' ujar ibu tiga anak ini di sela isakannya.
Jadi, sambung perempuan yang sudah memutuskan untuk mengenakan kerudung sejak 1998 ini, ia tak akan berhenti meminta kepada Yang Mahakuasa agar orang tua dan saudara-saudaranya sekandung mendapat hidayah dan memeluk agama yang paling sempurna ini. ''Saya sangat berharap kedua orang tua saya bisa memeluk agama Islam,'' katanya setelah pulih dari keharuan.
Perempuan yang lahir di Poitiers, Perancis, 11 Mei 1971 ini memutuskan untuk memeluk agama Islam, beberapa bulan setelah ia menikah dengan seorang pria Muslim Indonesia, Dr Ing Dadang Furqon Erawan. Sewaktu bayi, Valerie dibaptis, karena orang tuanya penganut Katholik yang cukup taat. Dalam aturan yang ada di agama Katholik, seorang bayi yang baru lahir memang harus 'disucikan'.
Hingga usia 12 tahun, Valerie rajin belajar agamanya. ''Saya berkumpul dengan teman-teman seagama dan ikut misa. Saya percaya ada Tuhan, dan suka berdoa sebelum tidur,'' papar ibu rumah tangga yang juga mengelola home industry yoghurt di Bandung ini. Namun, ketika usianya memasuki remaja, Valerie mulai terserang oleh keraguan mengenai keyakinannya. Ia pun mulai bertukar pikiran dengan teman-temannya yang kebetulan tidak percaya adanya Tuhan. Selama beberapa tahun selanjutnya, Valerie pun sempat jauh dari agama yang dianutnya.
Kondisi ini diperparah dengan tidak lancarnya komunikasi dengan orang tuanya. ''Umur 14 sampai 17 tahun adalah masa hidup saya yang paling sulit karena saya tidak punya pegangan kuat dan arah yang jelas. Saya 'mencoba-coba' apa aja yang saya temukan,'' ungkap perempuan yang hobi membaca, jalan kaki, dan membuat kerajinan untuk anak-anaknya. Saat usianya 17 tahun, Valerie bertemu dengan calon suaminya yang beragama Islam. Lewat Dadang, Valerie berkenalan dengan keluarga-keluarga lain yang beragama Islam. Yang paling menarik perhatiannya kala itu adalah kesabaran para Muslim/Muslimah, terutama dalam bersikap kepada anak-anaknya.
Hal tersebut, aku Valerie, agak berbeda dengan suasana di rumahnya dan dialaminya selama ini. Kesan baik itu membuatnya mulai belajar agama Islam melalui buku-buku berbahasa Perancis. ''Waktu itu saya mendapat kesulitan untuk mengikuti acara di masjid karena bahasa dominan yang dipakai adalah bahasa Arab,'' kata ibu dari Hugo Fathurrahman Erawan (13 tahun), Laura Nuraida Erawan (11), Emilie Nuraida Erawan (7), dan Mathys Fathurrahim Erawan (5) ini.
Menjelang pernikahan, Valerie yang saat itu berusia 19 tahun mengaku sempat bimbang apakah akan masuk Islam atau tidak. Ia mengaku khawatir masuk Islam hanya karena menikah saja, bukan karena keyakinan yang mantap. ''Tapi Alhamdulillah beberapa bulan kemudian saya jadi masuk Islam,'' ungkapnya. Valerie pun kemudian belajar berbagai ritual ibadah dari suaminya. Keberadaan suaminya di Perancis ketika itu adalah dalam rangka tugas belajar (S1, S2, dan S3) dari IPTN (saat ini bernama PT Dirgantara Indonesia).
Ketika usianya 25 tahun, suami Valerie menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Maka, keluarga yang sudah dikarunia anak itu pun berpindah ke Bandung. Di negeri ini, dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, Valerie tak mengalami kendala berarti untuk belajar agama. Banyak pihak yang menawarinya untuk mempelajari agama secara lebih mendalam. Yang justru menjadi persoalan adalah bahasa. Ia pun kemudian belajar bahasa Indoensia dulu, sembari mempelajari huruf hijaiyah. ''Saya belajar Iqro, seperti anak TK,'' kenangnya sembari tersenyum.
Kendala lain yang dihadapinya adalah perasaan malu saat harus bergabung dengan ibu-ibu pengajian yang sudah pandai dan lancar membaca Alquran.''Saya merasa belajar seperti siput, artinya dapat ilmu sedikit demi sedikit, tapi masih sangat kurang rasanya,'' ungkap perempuan yang kerap menjadi pengajar di CCF Bandung untuk kursus Bahasa Perancis ini.
Selama mengikuti pengajian itu, Valerie merasa kurang berkembang. Biasanya, kata dia, materi pengajian yang disampaikan hampir selalu sama dari waktu ke waktu, sehingga topik lain jarang muncul. Di sisi lain, sambung dia, para peserta pengajian hanya menjadi pendengar yang pasif. Sejak satu tahun silam, Valerie dipertemukan Allah SWT dengan sebuah kelompok tafakur yang digelar Yayasan Syamsi Dhuha -- sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang sosial terutama membantu para penderita penyakit Lupus dan low vision. Setiap Jumat pagi, di sekretariat yayasan yang berlokasi di Jl Sekeloa, digelar kegiatan rutin tafakuran dengan moderator Ibu Rita Permadi.
Valerie merasa cocok dengan metode yang diterapkan. Yaitu diskusi dan sharing mengenai berbagai topik yang berhubungan dengan ayat-ayat Alquran sekaligus penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. ''Di sini (dalam kelompok tafakuran tersebut, Red), baru saya mendapat ilmu yang saya perlu. Di sini, saya ditanya, menurut Valerie, bagaimana? Kalau sudah punya pendapat, saya bisa menyampaikan, dan kadang-kadang, akan merasa sendiri kalau saya keliru. Di sini, boleh setuju atau tidak, tapi harus berusaha untuk menyampaikan pikiran kita. Di sini saya tidak merasa ikut-ikutan. Saya merasakan, tafakur sudah menjadi kebutuhan saya,'' ujarnya memaparkan.
Diungkapkan Valerie, saat mengikuti tafakuran, ia merasa seperti kembali ke masa remaja. Kala itu, ia mendiskusikan dan merenungkan berbagai topik. Perbedaannya, sambung dia, sekarang ada pedomannya, yaitu Alquran.''Mendapat ilmu yang membuat berubah perbuatan saya, bukan hanya teori, membuat saya berpikir tentang yang telah disampaikan karena masih harus diinterpretasi sesuai kepribadian saya,'' cetus perempuan yang pada awal masuk Islam merasa sangat kesulitan untuk melaksanakan shalat yang berbahasa Arab dan lima waktu.
Dengan pemahaman itu, Valerie pun bisa berdakwah kepada orang lain mengenai Islam. Karena saat ini ia kian merasakan manfaat ajaran Islam yang luas, komplet dan aplikatif sekaligus kian yakin bahwa ini adalah agama sempurna yang dibawa Nabi Muhammad SAW, ia pun mendoakan agar orang tua dan saudara-saudara kandungnya pun mendapat hidayah dari Allah SAW.
''Karena saya benar-benar mulai merasakan hebatnya manfaat beragama Islam, saya mulai mendoakan keluarga saya supaya mereka juga mendapat hidayah dari Allah SWT,'' katanya yang tak mampu menahan sedih jika mengingat orang tuanya yang hingga kini masih meyakini agama lamanya. kutipan: "Saya berharap kedua orang tua saya bisa masuk Islam. Saya tak akan lelah berdoa."
(Harian Republika Online ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar