Senin, 01 Maret 2010

Karima: Pemikiran dan Intuisi Terdalam Tak Terpisah

Wanita berusia 39 tahun itu mengucap syahadah pada 20 September 1991 silam. Jika orang lain memberitahunya 5 tahun sebelum itu agar memeluk islam, ia tidak akan pernah percaya. Sungguh menurut pengakuan Karima Slack Razi, bimbingan Allah begitu halus namun konsisten, hingga kini ia melihat seluruh hidupnya menuju momen tersebut.

Ia mengaku sulit untuk meringkas faktor pasti yang membawa ke Islam, karena itu sebuah perjalanan, proses yang berlangsung tiga tahun. Tiga tahun tersebut baginya sangat luar biasa menggembirakan sekaligus melelahkan.

Presepsi Karima atas dirinya dan dunia berubah dramatis. Beberapa keyakinan tervalidasi, yang lain lenyap. Ada beberapa saat ia takut kehilangan diri sendiri, di lain waktu ia tahu jalan ini adalah takdirnya dan ia menerimanya. Melalui tahun-tahun tersebut, serangkaian aspek Islam begitu menggelitik Karima. Perlahan dan bertahap, pembelajaran wanita mengarahkan menuju hari dimana ia mengikrarkan keimanan, syahadah.

Sebelum perkenalan dengan Islam, ia sendiri menyadari memiliki kekurangan dan perlu kebutuhan spiritual lebih di dalam hidup. Namun, sebelumnya tidak ada yang terlihat dapat diterima dan dapat ia raih.

Karima dibesarkan oleh orang tua sebagai sekular yang humanis. Moral adalah utama namun tidak diembel-embeli spritual atau keberadaan Tuhan.

Agama dominan di negaranya, Kristen, terlihat membebani seseorang terlalu banyak dosa. Ia sendiri mengaku tidak begitu akrab dengan agama lain. Namun ia bisa katakan, ia merasakan ada kekosongan spiritual.

Ia mengawali perjalanan spiritual dengan belajar berbagai agama secara mendalam. Hanya saja Karima mengaku terlalu nyaman dengan hidupnya kala itu. Ia berasal dari keluarga yang mendukung dan penuh cinta dan juga memiliki teman-teman menarik yang senantiasa mendorong maju.

Secara keseluruhan Karima boleh dibilang menikmati kuliah di universitas dan sukses dalam studi. Di sanalah kesempatan bertemu berbagai macam muslim yang mengawali studinya tentang Islam.

Sharif adalah Muslim pertama yang menggelitik wanita tersebut. Ia seorang pria paruh baya yang bekerja di program tutorial untuk sikap afirmatif yang baru ia masuki. Ia menerangkan meski gaji yang ia peroleh sedikit, kesenangan yang ia dapat dari mengajar para siswa merupakan honor yang ia butuhkan.

Ia berbicara pelan dan tulus. Kebahagiannya yang tertangkap oleh Karima, terasa lebih dari kata-kata. Saat itu adalah 1987.

Ketika Karima mulai bertemu lebih banyak Muslim, ia disergap tidak hanya oleh kedamaian dari dalam, namun juga kekuatan keyakinan mereka. Jiwa-jiwa lembut itu, menurut penuturan Karima kontras dengan kekerasan, citra gender yang sering ia presepsikan tentang Islam.

Lalu ia bertemu Imran, teman Muslim adik lelakinya, yang ia sadari segera adalah tipe pria yang ingin ia nikahi. Ia cerdas, sopan, mandiri, dan terlihat damai dengan dirinya sendiri.

Ketika mereka setuju ada potensi menikah, Karima mulai serius mempelajari islami. Awalnya ia tak ingin menjadi Muslim, hanya terdorong untuk mempelajari agamanya karena Imran berkata dengan jelas, jika ia ingin membesarkan anak-anaknya sebagai Muslim.

Respon Karima saat itu adalah, "Jika mereka menjadi selemah lembut dirimu, dan anak-anak yang tenang maka saya tidak masalah dengan itu. Namun saya merasa perlu belajar Islam terlebih dulu,"

Sebagai retropeksi, Karima menyadari tertarik dengan ketenangan dari dalam diri Imran karena ia merasakan kurang memiliki ketenangan dan kedamaian dari dalam. Ada rongga di dalam yang tidak sepenuhnya terpuaskan dengan kesuksesan akademi dan hubungan antar manusia.

Namun di titik itu Karima tidak pernah terlintas tertarik Islam. Ia cenderung melihat sebagai pengejaran intelektual. Presepsi itu sangat pas dengan kehidupan akademiknya yang serba terkontrol.

Bacaan awalan Karima berputar tentang wanita di Islam karena ia menyebut dirinya feminis. Ia berpikir Islam menindas wanita. Di dalam studi Kajian Wanita, Karima telah mendengar wanita Muslim yang tidak diijinkan meninggalkan rumah dan dipaksa untuk menutupi kepala.

Tentu saja Karima melihat jilbab saat itu sebagai alat pria untuk menindas ketimbang ekspresi penghormatan terhadap diri sendiri dan harga diri. Apa yang Karima temukan dalam bacaan ternyata mengejutkannya.

Islam tidak menindas wanita, namun sebaliknya membebaskan mereka, memberi mereka hak bahkan di abad ke-6 lalu, hak yang kita peroleh di aban ini, hak untuk memiliki properti, hak untuk memiliki properti dan kesejahteraan dan menjaganya atas namanya setelah menikah, hak untuk memilih, dan hak untuk bercerai.

Penyadaran atas itu tidak dengan mudah datang...ia bersikeras di setiap langkah. Namun di sana selalu ada jawaban atas pertanyaanya. Mengapa ada poligami? Itu hanya diijinkan ketika seorang pria mampu memperlakukan keempat istrinya dengan adil, bahkan itu pun tak dianjurkan.

Hanya saja itu diijinkan--saat itu dalam sejarah--ketika ada lebih banyak wanita dari pria, terutama saat perang, dan sehingga wanita tidak sampai tertutup kemungkinan berhubungan dan memiliki anak. Itu hanyalah satu dari beberapa banyak pertanyaan yang membutktikan jika wanita di Islam diberi hak penuh sebagai individu dalam masyarakat.

Tapi semua penemuan itu tak lantas menghapus ketakutannya. Tahun berikut adalah perubahan emosional yang sangat intens. Setelah menyelesaikan kuliah master Kajian Amerika Latin pada musim panas 1989, Karima memutuskan mengambil satu tahun sebagai dosen pengganti.

Itu memungkinkan dirinya menghabiskan waktu untuk mempelajari Islam. Banyak hal yang i baca tentang Islam masuk di akal, meski saat itu tidak cocok terhadap pandangan pribadinya tentang dunia.

Karima selalu menganggap agama sekedar penopang kecil dan kompensasi pelarian.

"Namun itukah kebenaran sesungguhnya? Sebab sering kali agama memicu penindasan dan perang, lalu bagaimana ia bisa melihat diri saya menikah dengan pria yang mengikuti satu agama terbesar di dunia?", tutur Karima mengungkapkan kegelisahannya.

Setiap minggu ia selalu ditohok dengan cerita baru di berita, radio atau koran tentang penindasan terhadap wanita Muslim. Dapatkah saya menerima itu, seorang feminis mempertimbangkan menikah dalam masyarakat semacam itu?

Ia berkernyit. Orang-orang berbicara tentangnya dengan nada cemas di belakang. Hanya dalam beberapa bulan, dunia aman Karima selama 24 tahun berubah naik turun. Ia tak lagi merasa tahu mana yang benar, mana yang salah. Semua yang hitam dan putih menjadi abu-abu.

Namun sesuatu membuat Karima terus berjalan, dan itu lebih dari sekedar keinginan untuk menikahi Imran. Setiap waktu, ia mengaku dapat saya meninggalkan studinya tentang Islam dan diterima kembali di lingkaran feminis, teman-teman sosialis, dan di tangan-tangan penuh cinta keluarganya.

Ketika orang-orang tersebut tidak pernah meninggalkan Karima, mereka menghantuinya dengan pengaruh. Ia pun khawatir dengan apa yang akan mereka utarakan atau pikirkan, terutama sejak ia selalu menilai dirinya melalui pandangan mata mereka. Karima menutup diri. Ia berbicara hanya dengan keluarga dan orang-orang yang ia tahu tidak akan menghakimi dirinya. Dan ia terus membaca.


Saati itu ia mengaku tidak lagi soal tertarik atau tidak tertarik dengan kajian Islam, melainkan sedang berjuang dengan identitas sendiri. Hingga ia membuat banyak tulisan riset sukses. Karima, sebagai mahasiswa cerdas, tahu bagaimana melakukan penelitian dan mendukung thesis.

Namun ia merasa karakternya tidak pernah dipertaruhkan. Untuk pertama kali, ia sadar jika ia selalu menulis untuk menyenangkan orang lain.

Kini Karima mulai menulis untuk keinginan dan dorongan spirit saya. Itu menakutkan. Meski ia tahu pasti keluarga dan teman-teman mencintainya, mereka tidak dapat memberi jawaban. Ia tidak lagi menginginkan mencari dukungan mereka.

Imran sebaliknya, selalu ada untuk menjawab pertanyaanya. Karima mengaggumi kesabaran dan keyakinannya yakni semua akan berubah menjadi yang terbaik. Tapi ia tidak ingin pula menggantungkan kepadanya karena takut, ia mungkin melakukan ini untuk pria bukan untuk dirinya sendiri.

Saat itu Karima mengaku merasa tidak memiliki apa-apa dan tak ada satupun untuk bergantung. Sendiri, takut dan dipenuhi keraguan diri, ia tetap membaca.

Setelah keingintahuannya terhadap wanita Islam terpuaskan ia dikejutkan dengan hasil, mulai membaca kehidupan Nabi Muhammad, dan membaca Al Qur'an.

Ketika membaca ia mulai mempertanyakan keyakin awal jika Nabi Muhammad adalah semata-mata pemimpin, ternyata ia lebih dari itu. Bahkan di puncak suksesnya ketika ia bisa saja menikmati kesejahteraan melimpah, ia menolak memiliki lebih dari sahabatnya yang termiskin di Islam.

Secara perlahan Karima membaca Al Qur'an lebih dalam, dan bertanya, "Dapatkah manusia mampu sedemikian halus hanya dengan membaca buku? Lebih jauh tentu ada alat untuk membimbing Nabi seperti ia membimbing manusia. Tidak mungkin Nabi membimbing dirinya sendiri,"

Semakin jauh, ia tidak lagi merasakan membaca Al Qur'an sebagai aktivitas intelektual melainkan lebih dan lebih pergulatan pribadi. Ada saat dimana ia mengaku menolak semua kata dan menemukan satu cara untuk mengutuknya.

Namun ketika Karima masuk ke sebuah ayat, kata-kata didalamnya terasa berbicara langsung pada saya. ".Allah tidak akan membebani manusia lebih dari kemampuannya (QS 2:286)"

"Inilah awal saya mulai mengalami perubahan dan keraguan dari dalam. Meski saya masih belum percaya Allah saat itu, tapi saya merasa beban saya terangkat," akunya.

Karima terus menyimpan ketakutan ketika belajar islam. Akankah ia masih dekat dengan keluarga ketika menjadi Muslim? Akankah ia berakhir dalam pernikahan penuh penindasan? Akankah ia masih punya "pikiran terbuka"?

Ia meyakini humanisme sekuler adalah pendekatan paling "berpikiran-terbuka". Secara perlahan ia menyadari humanisme sekuler lebih kepada ideologi, dogma pula, sebagaimana Islam.

"Saya menyadari pula setiap orang memiliki ideologinya sendiri, dan saya secara sadar harus memilih untuk diri sendiri. Saya merasa harus mempercayai intelektual saya sendiri, dan membuat keputusan dengan reaksi negatif yang harus saya pikul dari teman-teman 'progresif' dan 'pikiran-terbuka' saya," papar Karima panjang lebar.

Dalam masa itu, Ia mulai menyimpan segala sesuatu dalam diri, ia menjadi bebas secara intelektual dibanding kapan pun dalam hidup.

Dua setengah tahun kemudian, ia selesai membaca Al Qur'an, dan sangat gembira dengan deskripsi alamiah dan sering kali diyakinkan oleh kebijaksanaan di dalamnya.

Ia mempelajari kehidupan Nabi Muhammad dan puas dengan kesadaran bahwa Islam memahami jika pria dan wanita berbeda namun seimbang.

Karima juga menemukan jika Islam memberi keseimbangan murni tidak hanya pada pria dan wanita, tetapi seluruh ras dan kelas sosial, dan dinilai berdasar tingkat ketakwaan. Dan ia pun mulai memperoleh kepercayaan diri terhadap diri dan keputusannya.

Hingga saya tiba pada pertanyaan kritis terakhir: Apakah saya percaya pada satu Tuhan? Ini adalah dasar menjadi Muslim. Setelah puas memenuhi rasa ingin tahu atas aturan dan sejarah terkait Islam, saya akhirnya sampai pada pertanyaan penting itu, esenis menjadi seorang Muslim.

"Apakah saya...benar-benar menempatkan kepercayaan terhadap keberdaan lebih tinggi? Dapatkah saya menghapus pendekatan humanis sekuler dalam hidup?" ungkap Karima menuturkan pemikiraannya saat itu.

"Dua kali saya memutuskan untuk mengucapkan syahadat dan lalu berganti pikiran keesokan hari," ujar Karima lagi.

Satu siang, ia bahkan bersujud dan menempelkan kening ke lantai, seperti Muslim lakukan yang ia sering lihat, dan ia meminta bimbingan.

Ia mengaku damai dalam posisi itu. "Mungkin saat itu saya seorang Muslim di dalam hati, namun ketika berdiri, pikiran saya tidak siap untuk secara resmi mengucap syahadat," tuturnya.

Setelah peristiwa tersebut, beberapa minggu berlalu, Ia memulai pekerjaan baru, mengajar sekolah menengah atas.

Hari-hari berjalan sangat cepat, kegiatan mengajar, disiplin dan tugas-tugas untuk dikoreksi.

"Ketika hari saya berjalan begitu cepat, saya tiba-tiba tertohok, saya tak ingin melewati dunia ini tanpa mengikrarkan keyakinan saya terhadap Allah," kata Karima.

Secara intelektual, Ia merasa memahami jika bukti-bukti pada kehidupan Nabi Muhammad dan Al Qur'an terlalu lengkap dan utuh untuk disangkal. Dan saat itu, Karima juga siap di dalam hati untuk Islam.

"Saya telah menghabiskan hidup saya lama untuk mencari kebenaran di mana hati sejalan dengan otak, aksi dengan pikiran, intelektual dengan emosi. Saya temukan realitas itu dalam Islam," ujar Karima

Realitas itu mendatangkan kepercayaan diri sekaligus kebebasan intelektual. Beberapa hari kemudian Karima mengambil ikrar syahadat kedua. Ia menulis dalam jurnal jika akhirnya ia temukan Islam, validasi pemikiran dan intuisi terdalam di dirinya./berbagaisumber/itz

http://www.republika.co.id/node/51799

Tidak ada komentar:

Posting Komentar