Senin, 01 Maret 2010
Ethel Mae Blizzard: 29 Tahun Menemukan Islam
Ethel Mae Blizzard, sekarang tinggal di San Diego, California, AS, melakukan pencarian selama 29 tahun untuk memastikan agama apa yang pas untuknya. Sejak kecil hingga usia 16 tahun, Mae dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menganut agama Mormon. Tapi pada usia 18 tahun, ia tidak lagi mempercayai ajaran agamanya itu dan mulai berfikir bahwa ada Tuhan di luar sana, di suatu tempat.
Dimulailah perjalanan panjang Mae untuk mencari agama yang ia yakini paling benar. Mae pun mempelajari beragam agama mulai dari yudaisme, agama Baptis, sekte Advent Hari Ketujuh, Kesaksisan Yehovah, Katolik dan berbagai sekte dalam agama Kristen. Tapi tak satu pun yang menyentuh hatinya. Mae menyerah dan berharap akan menemukan apa yang ia cari suatu hari nanti.
Suatu hari, Mae mencoba mencari pasangan hidup lewat internet dan ia bertemu dengan seorang perempuan di sebuah situs jodoh. Perempuan itu mengenalkan Mae dengan sahabatnya, seorang pria. Tiga bulan Mae menjalin hubungan lewat dunia maya dengan lelaki yang dikenalkan perempuan tadi, keduanya lalu memutuskan untuk menikah. Masalahnya, pria tadi seorang Muslim dan Mae seorang Kristiani.
Mae sempat bingung ke si pria menanyakannya apakah ia mau menikah di masjid. Seumur hidup Mae tidak pernah datang ke masjid. Mae lalu bertanya pada temannya yang asal Turki dan diberitahu tentang Masjid Abu Bakar. Mae pun datang ke masjid itu untuk bertemu dengan imamnya, meski saat itu Mae sendiri tidak paham apa itu imam masjid.
Saat Mae datang ke masjid, bertepatan dengan waktu salat dan ia bertemu dengan Imam Taha. Mae sempat bicara dengan Imam Taha tentang Islam. Imam Taha menyuruh Mae datang lagi ke masjid jika masih ingin tahu banyak tentang Islam. Di luar itu, Mae juga mengunjungi sahabatnya yang asal Turki dan menanyakan beberapa hal tentang Islam dan Muslim. Waktu itu, Mae masih berpikir bahwa Muslim adalah agama. Tapi sahabatnya meluruskan, bahwa Muslim bukan agama, tapi Islam-lah yang agama sedangkan pemeluk Islam disebut Muslim.
Ketika Mae bertanya tentang Allah, sahabatnya menjawab bahwa "Allah adalah Tuhan" yang membuat Mae terkejut. Mae mengaku baru tahu bahwa orang Islam juga percaya tuhan.
"Sahabat saya itu juga menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang damai, begitu pula umat Islam, tidak seperti yang diberitakan media, ujar Mae.
Mae kemudian direkomendasikan untuk bertemu dengan Syaikh Saad jika ingin banyak menanyakan tentang agama Islam dan pernikahahan dalam Islam. Baru beberapa minggu kemudian, Mae bisa bertemu Syaikh Saad karena Mae sempat mengalami kecelakaan mobil dan tidak ada yang bisa mengantarnya untuk menemui Syaikh Saad.
Akhirnya, sahabat Mae bernama Juli mengantarnya ke Masjid Al-Ribat tempat Syaik Saad berada. Mae berbincang tentang berbagai hal tentang Islam dengan Syaikh Saad selama kurang lebih tiga jam, termasuk situasi Muslim pasca serangan 11 September 2001. Di akhir pertemuan, Syaikh Saad memberi Mae sebuah Al-Quran dengan terjemahan bahasa Inggris serta buku-buku tentang Islam.
Ketika pulang, Mae sempat berpikir bahwa Syaikh Saad tidak sopan karena tidak mau berjabat tangan dengannya. Namun Syaikh menjelaskan mengapa Muslim antara laki-laki dan perempuan tidak berjabatan tangan dan Mae menerima penjelasan Syaikh yang menurutnya masuk akal.
Menjadi Muslim Amerika
Berminggu-minggu Mae membaca buku-buku dan terjemahan Al-Quran yang diberikan Syaikh Saad. Mae sempat menangis saat membaca buku The Religion of Truth. Setelah membaca buku itu, Mae menulis di halaman 20 buku itu "Saya percaya". Ketika itu tanggal 8 Juni 2007, Mae membulatkan tekad untuk menjadi seorang Muslim.
Tanggal 23 Juni malam, ia datang ke masjid dan menanyakan dimana ia bisa mengucapkan dua kalimat syahadat. Malam itu juga, Mae bersyahadat disaksikan sejumlah muslimah yang hadir di masjid itu.
Mae beruntung karena seluruh keluarganya menerimanya menjadi seorang Muslim, kecuali sepupu-sepupunya yang begitu kuat menganut agama Mormon. Mereka sama sekali tidak senang mendengar kabar Mae masuk Islam dan menuding Mae menolak Yesus sebagai juru selamatnya.
Mae dan sepupu-sepupunya itu sempat tidak berkomunikasi beberapa waktu, sampai suatu hari salah seorang sepupu perempuannya mengucapkan selamat hari paskah padanya lewat email. Mae membalas email itu dengan mengirim tiga fotonya yang sudah mengenakan jilbab dan menyertakan informasi tentang Islam. Mae meminta sepupunya itu untuk mengerti bahwa ia sekarang sudah menjadi seorang Muslim.
Selain sepupunya, sahabat Mae bernama Christine juga menjauhi Mae setelah tahu Mae memeluk Islam. Mae pernah mengundang Christine untuk makan malam merayakan ulang tahun Mae. Tapi sahabatnya itu bertanya; "Apakah engkau masih menjalankan apa yang dilakukan Muslim? Mae menjawab "Ya". Christine lalu berjanji akan menghubungi Mae apakah ia akan makan malam bersama Mae. Tapi Christine tidak pernah menghubungi Mae kembali.
Pernah suatu kali, salah seorang tetangga Mae mengotori mobil Mae dengan lipstick berwarna merah ketika mereka melihat Mae mengenakan abaya dan jilbab. Meski demikian, Mae menegaskan bahwa ia akan teguh memeluk Islam, agama yang kini ia yakini setelah melakukan pencarian panjang selama 29 tahun. (ln/iol)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/ethel-mae-blizzard-29-tahun-menemukan-islam.htm
Molly Carlson Sembunyi-Sembunyi Menjalankan Ibadah Puasa Ramadan
Bulan Ramadan tahun 2005, Molly Carlson baru tujuh bulan menjadi seorang muslimah. Saat itu ia masih tinggal bersama ibunya dan belum punya keberanian untuk menceritakan keislamannya. Jadilah Ramadan tahun 2005 itu menjadi Ramadan tak terlupakan bagi Molly, karena ia harus sembunyi-sembunyi berpuasa karena khawatir ketahuan sang ibu.
"Waktu itu saya sudah bekerja dengan jam kerja penuh sehingga saya bisa berpuasa saat tidak berada di rumah. Saya memberitahu boss saya bahwa saya berpuasa beserta alasanya. Saat jam makan siang, saya menyelinap ke ruang salat dan mendengarkan ceramah agama dan berusaha melupakan betapa hausnya saya siang itu," ungkap Molly mengenang puasa Ramadan pertamanya.
Hal yang paling berat bagi Molly adalah saat sahur, karena ia harus mencari alasan yang rasional bagi ibunya mengapa ia harus bangun jam empat dinihari, memasak dan makan kecuali ia harus menjelaskan bahwa ia sedang berpuasa Ramadan sebagai seorang muslim.
Untuk menghindari pertanyaan ibunya, Molly akhirnya membeli persediaan air galon, roti, selai kacang dan kue kering oatmeal. Makanan-makanan itu ia bungkus dalam satu kantong plastik besar dan ia sembunyikan di kolong tempat tidurnya.
"Saya memasang alarm agar terbangun pada waktu sahur. Begitu alarm berbunyi, saya membuka makanan-makanan itu, memakannya. Saat waktu subuh, saya ke kamar mandi untuk wudhu. Semuanya saya lakukan pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan ibu saya," tutur Molly.
"Tapi beberapa kali ibu saya bangun dan memergoki saya. Dan saya berusaha meyakinkannya dengan mengatakan bahwa saya agak susah tidur malam itu," sambungnya.
Saat berada di kantor, Molly tidak menemui kendala berarti saat menjalankan ibadah puasa. Petang hari, saat waktu berbuka, Molly bersama beberapa temannya berbuka puasa di masjid dan menunaikan salat tarawihnya di masjid itu. Persoalan kembali datang saat hari libur pada akhir pekan.
"Ibu saya akan memperhatikan mengapa saya tidak makan siang dan tidak mau sarapan pagi bersamanya. Pernah dua kali saya terpaksa membatalkan puasa karena keluarga kami mengadakan perayaan dan saya tidak bisa menghindar," ujar Molly.
"Tapi Allah Maha Tahu dan Maha Penyayang. Di bulan Ramadan, saya sering menghabiskan hari-hari saya dengan satu keluarga asal Pakistan. Hubungan kami sudah dekat, mereka sangat baik dan memberikan semangat pada saya seperti anak perempuan mereka sendiri," ungkap Molly.
Hari terus berganti. Tak terasa, bulan Ramadan sudah memasuki 10 hari terakhir. Ketika itu Molly harus mengantarkan ibunya ke rumah sakit untuk menjalani pembedahan rutin. Di dalam kendaraan sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Molly gelisah untuk segera menceritakan pada ibunya bahwa sekarang ia seorang muslim. Molly takut sesuatu yang buruk menimpa ibunya saat menjalani operasi dan ibunya tidak pernah tahu puterinya sudah pindah agama ke Islam, sesuatu yang penting diketahui sang ibu.
Molly akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya dalam perjalanan itu. Tapi di luar dugaan, sebelum Molly sempat mengatakan apapun, ibunya tiba-tiba berkata,"Tak perlu menceritakannya padaku, kamu seorang muslim bukan?" tanya sang ibu.
Molly syok mendengarnya. Ibunya mengatakan bahwa dirinya sudah menduga bahwa Molly sudah masuk Islam. Meski tidak terlalu menyukainya, Ibu Molly menyatakan menghormati keputusan itu dan akan tetap mencintai Molly sebagai puterinya.
"Sejak hari itu, ibu menjadi segalanya buat saya. Ia mendukung semua keputusan saya dan selalu berada di samping saya dalam situasi apapun," ujar Molly bahagia.
Sepuluh hari terakhir Ramadan dijalani Molly dengan lebih mudah. Ia tak perlu sembunyi-sembunyi lagi saat sahur. Kadang sang ibu ikut membantu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa Molly. Pada hari raya Idul Fitri, ibunya juga menyampaikan ucapa selamat.
"Butuh waktu beberapa tahun buat saya untuk memberitahu seluruh keluarga bahwa saya seorang muslim. Syukurlah mereka semua menerimanya dengan terbuka. Pada akhirnya, orang yang bagi saya paling penting mengetahui saya seorang muslim adalah ibu saya," tandas Molly.(ln/iol)
"Waktu itu saya sudah bekerja dengan jam kerja penuh sehingga saya bisa berpuasa saat tidak berada di rumah. Saya memberitahu boss saya bahwa saya berpuasa beserta alasanya. Saat jam makan siang, saya menyelinap ke ruang salat dan mendengarkan ceramah agama dan berusaha melupakan betapa hausnya saya siang itu," ungkap Molly mengenang puasa Ramadan pertamanya.
Hal yang paling berat bagi Molly adalah saat sahur, karena ia harus mencari alasan yang rasional bagi ibunya mengapa ia harus bangun jam empat dinihari, memasak dan makan kecuali ia harus menjelaskan bahwa ia sedang berpuasa Ramadan sebagai seorang muslim.
Untuk menghindari pertanyaan ibunya, Molly akhirnya membeli persediaan air galon, roti, selai kacang dan kue kering oatmeal. Makanan-makanan itu ia bungkus dalam satu kantong plastik besar dan ia sembunyikan di kolong tempat tidurnya.
"Saya memasang alarm agar terbangun pada waktu sahur. Begitu alarm berbunyi, saya membuka makanan-makanan itu, memakannya. Saat waktu subuh, saya ke kamar mandi untuk wudhu. Semuanya saya lakukan pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan ibu saya," tutur Molly.
"Tapi beberapa kali ibu saya bangun dan memergoki saya. Dan saya berusaha meyakinkannya dengan mengatakan bahwa saya agak susah tidur malam itu," sambungnya.
Saat berada di kantor, Molly tidak menemui kendala berarti saat menjalankan ibadah puasa. Petang hari, saat waktu berbuka, Molly bersama beberapa temannya berbuka puasa di masjid dan menunaikan salat tarawihnya di masjid itu. Persoalan kembali datang saat hari libur pada akhir pekan.
"Ibu saya akan memperhatikan mengapa saya tidak makan siang dan tidak mau sarapan pagi bersamanya. Pernah dua kali saya terpaksa membatalkan puasa karena keluarga kami mengadakan perayaan dan saya tidak bisa menghindar," ujar Molly.
"Tapi Allah Maha Tahu dan Maha Penyayang. Di bulan Ramadan, saya sering menghabiskan hari-hari saya dengan satu keluarga asal Pakistan. Hubungan kami sudah dekat, mereka sangat baik dan memberikan semangat pada saya seperti anak perempuan mereka sendiri," ungkap Molly.
Hari terus berganti. Tak terasa, bulan Ramadan sudah memasuki 10 hari terakhir. Ketika itu Molly harus mengantarkan ibunya ke rumah sakit untuk menjalani pembedahan rutin. Di dalam kendaraan sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Molly gelisah untuk segera menceritakan pada ibunya bahwa sekarang ia seorang muslim. Molly takut sesuatu yang buruk menimpa ibunya saat menjalani operasi dan ibunya tidak pernah tahu puterinya sudah pindah agama ke Islam, sesuatu yang penting diketahui sang ibu.
Molly akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya dalam perjalanan itu. Tapi di luar dugaan, sebelum Molly sempat mengatakan apapun, ibunya tiba-tiba berkata,"Tak perlu menceritakannya padaku, kamu seorang muslim bukan?" tanya sang ibu.
Molly syok mendengarnya. Ibunya mengatakan bahwa dirinya sudah menduga bahwa Molly sudah masuk Islam. Meski tidak terlalu menyukainya, Ibu Molly menyatakan menghormati keputusan itu dan akan tetap mencintai Molly sebagai puterinya.
"Sejak hari itu, ibu menjadi segalanya buat saya. Ia mendukung semua keputusan saya dan selalu berada di samping saya dalam situasi apapun," ujar Molly bahagia.
Sepuluh hari terakhir Ramadan dijalani Molly dengan lebih mudah. Ia tak perlu sembunyi-sembunyi lagi saat sahur. Kadang sang ibu ikut membantu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa Molly. Pada hari raya Idul Fitri, ibunya juga menyampaikan ucapa selamat.
"Butuh waktu beberapa tahun buat saya untuk memberitahu seluruh keluarga bahwa saya seorang muslim. Syukurlah mereka semua menerimanya dengan terbuka. Pada akhirnya, orang yang bagi saya paling penting mengetahui saya seorang muslim adalah ibu saya," tandas Molly.(ln/iol)
Tina Styliandou: Saya Dididik Untuk Membenci Islam
Tina Styliandou, seorang perempuan Yunani yang sejak kecil hidup di lingkungan kelurga yang membenci Islam. Bahkan ia mendapatkan pendidikan yang memdoktrin orang untuk membenci Islam. Tapi hidayah Allah Swt menjauhkan hati Tina dari perasaan benci itu dan Tina malah menjadi seorang Muslim.
Menurut Tina, kebencian terhadap Muslim dalam lingkungan keluarganya berakar dari sejarah masa lalu. Ayah Tina dan keluarganya menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya di Istanbul, Turki. Mereka adalah keluarga penganut Kristen Ortodoks, berpendidikan dan kaya. Seperti umumnya penganut Kristen Ortodoks yang tinggal di negeri-negeri Muslim, mereka sangat memegang teguh ajaran agamanya.
Situasinya berubah total ketika pemerintah Turki membuat kebijakan untuk mengusir penduduk Turki asal Yunani dan merampas seluruh harta benda, rumah dan bisnis mereka. Keluarga ayah Tina pun pulang ke Yunani dengan tangan kosong. "Itulah yang dilakukan Muslim Turki terhadap orang-orang Yunani", peristiwa itu tertanam kuat di benak mereka dan menjadi pemicu kebencian terhadap Islam dan Muslim.
Pengalaman serupa yang juga menimbulkan kebencian terhadap Muslim di lingkungan keluarga ibu Tina. Pada masa itu, keluarga ibunya tinggal di sebuah wilayah di Yunani yang berbatasan dengan Turki. Lalu terjadi serangan yang dilakukan oleh pasukan Turki ke wilayah tersebut. Pasukan Turki, menurut cerita ibunya, membakar rumah-rumah warga Yunani dan mereka harus mengungsi untuk menyelamatkan diri. Sejak itulah tumbuh kebencian terhadap Muslim, khususnya Muslim Turki.
Turki memang pernah menduduki Yunani selama hampir 400 tahun. "Dan kami diajarkan untuk percaya bahwa Islam bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Yunani. Orang-orang Turki adalah Muslim dan kejahatan mereka dianggap sebagai refleksi dari agama mereka," ujar Tina.
Tak heran, ketika marak karikatur dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad Saw beberapa waktu lalu, penghinaan dan pelecehan itu menjadi bagian dari mata pelajaran dan ujian di sekolah Tina. "Selama beratus-ratus tahun, buku sejarah dan agama kami mengajarkan untuk membenci dan mengolok-olok agama Islam," ungkap Tina.
Tina mengatakan,"Dalam buku-buku kami, Islami bukan agama dan Muhammad bukan nabi. Muhammad hanya seorang pemimpin yang sangat cerdas dan seorang politisi yang menggabungkan hukum dan aturan-aturan dalam keyakinan orang Yahudi dan Kristen, kemudian menambahkannya dengan ide-idenya sendiri dan menaklukkan dunia."
"Di sekolah, kami diajarkan untuk mengolok-olok Nabi Muhammad, para isteri dan sahabat-sahabatnya," sambung Tina.
Meski demikian, Tina menyatakan bahwa saat ini tidak orang Yunani yang masih mempercayai ajaran semacam itu. "Alhamdulillah, Allah melindungi hati saya. Banyak orang-orang Yunani lainnya yang berhasil melepaskan diri dari kepercayaan yang diwariskan agama Kristen Ortodoks, yang dibebankan pada pundak mereka. Dengan kehendak Allah, mata, hati dan telinga mereka telah terbuka untuk melihat bahwa Islam adalah agama yang benar yang diturunkan oleh Allah. Dan Muhammad adalah seorang Nabi, Nabi terakhir dari seluruh Nabi," papar Tina.
Tina bersyukur karena tidak sulit baginya untuk memeluk Islam, karena kedua orangtua Tina sendiri bukanlah penganut Kristen Ortodoks yang relijius. "Mereka jarang beribadah dan hanya ke gereka jika ada pemakaman atau acara pernikahan," kata Tina.
Ia menambahkan, "Ayah saya jauh dari agamanya, karena ia hampir setiap hari menyaksikan penyelewangan yang dilakukan para pendeta. Bagaimana mereka bisa ceramah soal Tuhan dan ketuhanan, jika pada saat yang sama mereka mencuri uang gereja untuk membeli villa, mobil Mercedes dan melakukan homokseksualitas di kalangan mereka?Ayah saya jadi muak dan memutuskan untuk jadi ateis."
Menurut Tina, dalam kekristenan, menjadi seorang pendeta adalah profesi yang menguntungkan. Para pendeta yang korup memicu anak-anak muda Kristen menjauh dari agama Kristen dan mereka mencari keyakinan yang lain. Termasuk Tina yang kala itu masih remaja.
Menjadi Seorang Muslim
Tina mengaku sejak remaja ia sudah merasa tidak puas dan tidak percaya lagi dengan ajaran Kristen. Tina percaya Tuhan itu ada, ia mencintai Tuhan dan takut pada Tuhan. Tapi ajaran Kristen membuatnya bingung. Tina pun mulai melakukan pencarian, tapi tidak pernah melirik agama Islam. "Mungkin karena latar belakang lingkungan saya yang membenci Islam," tukasnya.
Hidayah itu datang dari seorang lelaki Muslim yang kemudian menikah dengan Tina. Suaminya menjawab semua pertanyaan Tina tentang agama Islam tanpa merendahkan agama yang dipeluk Tina sejak lahir. "Suami saya juga tidak pernah menekan saya atau menyuruh saya pindah agama," aku Tina.
Tiga tahun menjalani pernikahan, Tina belajar banyak tentang Islam, membaca Al-Quran dan buku-buku agama. Wawasannya tentang ketuhanan mulai terbuka, bahwa tidak ada konsep trinitas dalam Islam dan bahwa Yesus bukan Tuhan. Muslim meyakini bahwa Tuhan itu satu dan Yesus adalah seorang Nabi. Keyakinan itu yang mendorong Tina mengucapkan dua kalimat syahadat untuk menjadi seorang Muslim.
"Selama bertahun-tahun saya merahasiakan keislaman saya dari orang tua, keluarga dan teman-teman saya. Saya dan suami tinggal di Yunani dan berusaha ibadah sesuai ajaran Islam meski sangat sulit karena dii tempat tinggal saya, tidak ada masjid dan tidak akses untuk belajar Islam. Ia juga tidak pernah menjumpai orang salat atau mengenakan jilbab, " tutur Tina.
Yang ada, kata Tina, hanya sejumlah imigran Muslim yang datang ke Yunani untuk mengembangkan bisnis. Tapi mereka sudah terpengaruh oleh budaya dan gaya hidup Barat dan tidak lagi menjalankan ajaran Islam.
"Saya dan suami melaksanakan salat dan puasa dengan mengandalkan kalender. Kami tidak pernah mendengar adzan di sini dan tidak ada komunitas Muslim yang bisa memberikan dukungan moril pada kami. Lama kelamaan, kami merasakan adanya penurunan dari sisi keimanan. Bisa dibayangkan, saya seorang mualaf tanpa dasar-dasar pengetahuan tentang Islam yang memadai," ujar Tina.
Oleh sebab itu, Tina dan suaminya memutuskan pindah ke salah satu negara Muslim ketika anak perempuannya lahir. "Kami ingin menyelamatkan puteri dan jiwa kami. Kami tidak ingin puteri kami hidup di lingkungan budaya Barat dimana ia harus berjuang untuk mempertahankan identitasnya sebagai Muslim atau bahkan identitasnya itu hilang sama sekali," papar Tina. (ln/readislam)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/tina-styliandou-saya-dididik-untuk-membenci-islam.htm
Menurut Tina, kebencian terhadap Muslim dalam lingkungan keluarganya berakar dari sejarah masa lalu. Ayah Tina dan keluarganya menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya di Istanbul, Turki. Mereka adalah keluarga penganut Kristen Ortodoks, berpendidikan dan kaya. Seperti umumnya penganut Kristen Ortodoks yang tinggal di negeri-negeri Muslim, mereka sangat memegang teguh ajaran agamanya.
Situasinya berubah total ketika pemerintah Turki membuat kebijakan untuk mengusir penduduk Turki asal Yunani dan merampas seluruh harta benda, rumah dan bisnis mereka. Keluarga ayah Tina pun pulang ke Yunani dengan tangan kosong. "Itulah yang dilakukan Muslim Turki terhadap orang-orang Yunani", peristiwa itu tertanam kuat di benak mereka dan menjadi pemicu kebencian terhadap Islam dan Muslim.
Pengalaman serupa yang juga menimbulkan kebencian terhadap Muslim di lingkungan keluarga ibu Tina. Pada masa itu, keluarga ibunya tinggal di sebuah wilayah di Yunani yang berbatasan dengan Turki. Lalu terjadi serangan yang dilakukan oleh pasukan Turki ke wilayah tersebut. Pasukan Turki, menurut cerita ibunya, membakar rumah-rumah warga Yunani dan mereka harus mengungsi untuk menyelamatkan diri. Sejak itulah tumbuh kebencian terhadap Muslim, khususnya Muslim Turki.
Turki memang pernah menduduki Yunani selama hampir 400 tahun. "Dan kami diajarkan untuk percaya bahwa Islam bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Yunani. Orang-orang Turki adalah Muslim dan kejahatan mereka dianggap sebagai refleksi dari agama mereka," ujar Tina.
Tak heran, ketika marak karikatur dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad Saw beberapa waktu lalu, penghinaan dan pelecehan itu menjadi bagian dari mata pelajaran dan ujian di sekolah Tina. "Selama beratus-ratus tahun, buku sejarah dan agama kami mengajarkan untuk membenci dan mengolok-olok agama Islam," ungkap Tina.
Tina mengatakan,"Dalam buku-buku kami, Islami bukan agama dan Muhammad bukan nabi. Muhammad hanya seorang pemimpin yang sangat cerdas dan seorang politisi yang menggabungkan hukum dan aturan-aturan dalam keyakinan orang Yahudi dan Kristen, kemudian menambahkannya dengan ide-idenya sendiri dan menaklukkan dunia."
"Di sekolah, kami diajarkan untuk mengolok-olok Nabi Muhammad, para isteri dan sahabat-sahabatnya," sambung Tina.
Meski demikian, Tina menyatakan bahwa saat ini tidak orang Yunani yang masih mempercayai ajaran semacam itu. "Alhamdulillah, Allah melindungi hati saya. Banyak orang-orang Yunani lainnya yang berhasil melepaskan diri dari kepercayaan yang diwariskan agama Kristen Ortodoks, yang dibebankan pada pundak mereka. Dengan kehendak Allah, mata, hati dan telinga mereka telah terbuka untuk melihat bahwa Islam adalah agama yang benar yang diturunkan oleh Allah. Dan Muhammad adalah seorang Nabi, Nabi terakhir dari seluruh Nabi," papar Tina.
Tina bersyukur karena tidak sulit baginya untuk memeluk Islam, karena kedua orangtua Tina sendiri bukanlah penganut Kristen Ortodoks yang relijius. "Mereka jarang beribadah dan hanya ke gereka jika ada pemakaman atau acara pernikahan," kata Tina.
Ia menambahkan, "Ayah saya jauh dari agamanya, karena ia hampir setiap hari menyaksikan penyelewangan yang dilakukan para pendeta. Bagaimana mereka bisa ceramah soal Tuhan dan ketuhanan, jika pada saat yang sama mereka mencuri uang gereja untuk membeli villa, mobil Mercedes dan melakukan homokseksualitas di kalangan mereka?Ayah saya jadi muak dan memutuskan untuk jadi ateis."
Menurut Tina, dalam kekristenan, menjadi seorang pendeta adalah profesi yang menguntungkan. Para pendeta yang korup memicu anak-anak muda Kristen menjauh dari agama Kristen dan mereka mencari keyakinan yang lain. Termasuk Tina yang kala itu masih remaja.
Menjadi Seorang Muslim
Tina mengaku sejak remaja ia sudah merasa tidak puas dan tidak percaya lagi dengan ajaran Kristen. Tina percaya Tuhan itu ada, ia mencintai Tuhan dan takut pada Tuhan. Tapi ajaran Kristen membuatnya bingung. Tina pun mulai melakukan pencarian, tapi tidak pernah melirik agama Islam. "Mungkin karena latar belakang lingkungan saya yang membenci Islam," tukasnya.
Hidayah itu datang dari seorang lelaki Muslim yang kemudian menikah dengan Tina. Suaminya menjawab semua pertanyaan Tina tentang agama Islam tanpa merendahkan agama yang dipeluk Tina sejak lahir. "Suami saya juga tidak pernah menekan saya atau menyuruh saya pindah agama," aku Tina.
Tiga tahun menjalani pernikahan, Tina belajar banyak tentang Islam, membaca Al-Quran dan buku-buku agama. Wawasannya tentang ketuhanan mulai terbuka, bahwa tidak ada konsep trinitas dalam Islam dan bahwa Yesus bukan Tuhan. Muslim meyakini bahwa Tuhan itu satu dan Yesus adalah seorang Nabi. Keyakinan itu yang mendorong Tina mengucapkan dua kalimat syahadat untuk menjadi seorang Muslim.
"Selama bertahun-tahun saya merahasiakan keislaman saya dari orang tua, keluarga dan teman-teman saya. Saya dan suami tinggal di Yunani dan berusaha ibadah sesuai ajaran Islam meski sangat sulit karena dii tempat tinggal saya, tidak ada masjid dan tidak akses untuk belajar Islam. Ia juga tidak pernah menjumpai orang salat atau mengenakan jilbab, " tutur Tina.
Yang ada, kata Tina, hanya sejumlah imigran Muslim yang datang ke Yunani untuk mengembangkan bisnis. Tapi mereka sudah terpengaruh oleh budaya dan gaya hidup Barat dan tidak lagi menjalankan ajaran Islam.
"Saya dan suami melaksanakan salat dan puasa dengan mengandalkan kalender. Kami tidak pernah mendengar adzan di sini dan tidak ada komunitas Muslim yang bisa memberikan dukungan moril pada kami. Lama kelamaan, kami merasakan adanya penurunan dari sisi keimanan. Bisa dibayangkan, saya seorang mualaf tanpa dasar-dasar pengetahuan tentang Islam yang memadai," ujar Tina.
Oleh sebab itu, Tina dan suaminya memutuskan pindah ke salah satu negara Muslim ketika anak perempuannya lahir. "Kami ingin menyelamatkan puteri dan jiwa kami. Kami tidak ingin puteri kami hidup di lingkungan budaya Barat dimana ia harus berjuang untuk mempertahankan identitasnya sebagai Muslim atau bahkan identitasnya itu hilang sama sekali," papar Tina. (ln/readislam)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/tina-styliandou-saya-dididik-untuk-membenci-islam.htm
Tarik Preston: Namaku Membawaku ke Islam
Cerita Tarik Preston masuk Islam tergolong unik. Ia bersyahadat pada tahun 1988 dalam usia yang relatif masih muda, 19 tahun. Menurut Tarik, perjalanannya menjadi seorang muslim bukan cerita yang panjang, tapi perjalanan bagaimana Allah Swt terus menuntunnya menjadi seorang muslim setelah masuk Islam, justeru menjadi kisah-kisah yang penuh inspirasi buatnya.
Semuanya berawal dari namanya yang berbau nama Islam, yaitu Tarik, meski ia seorang non-Muslim. "Saya diberi nama Tarik sejak lahir. Di era tahun 60-an, 70-an bahkan 80-an menjadi hal yang biasa bagi para orangtua di Amerika memberi nama anaknya dengan nama khas Afrika. Dalam banyak kasus, mereka memilih nama Afrika yang sebenarnya nama islami dan itulah yang terjadi pada saya," tutur Preston.
Sebelum menjadi muslim, ia sering bertemu dengan orang yang juga bernama Tarik atau orang yang paham makna nama Tarik. Orang-orang itu, kata Preston, akan bertanya "kamu tahu apa arti namamu?". Ketika itu Tarik dengan bangga menjawab arti namanya seperti yang diceritakan kedua orangtuanya, "bintang yang menyebarkan cahaya terang". Setelah menjadi seorang muslim, Preston kadang menambahkan cerita dibalik namanya dengan kisah Tariq bin Ziyad. tokoh muslim yang berhasil menaklukan Spanyol.
Tarik Preston memilih jurusan biologi saat sekolah menengah karena ia bercita-cita ingin menjadi dokter. Dan di tahun-tahun pertama menjadi mahasiswa kedokteran, ia mulai membaca Alkitab, tapi ia menemukan ajaran-ajaran Kristen yang menurutnya tidak masuk akal.
Saat liburan musim semi, Preston berdiskusi dengan neneknya tentang teologi. Meski seorang Kristiani, pernyataan neneknya membuat Preston takjub. "Dia bilang, 'aku menyembah tuhan dan bukan menyembah Yesus, karena aku merasa lebih aman menyembah tuhan'," ujar Preston menirukan pernyataan neneknya. Sejak kecil Preston memang dekat dengan neneknya itu.
Sejak perbincangan itu, kata Preston, kebiasaannya berdoa setiap malam tidak lagi dilakukan atas nama Yesus, tapi ia memanjatkan doannya langsung atas nama tuhan.
Suatu hari, Preston sedang berjalan menuju kampus ketika berjumpa dengan seorang juniornya yang ia tahu sudah memeluk agama Islam. Juniornya itu menyapa Preston dengan ucapa "assalamua'alaikum". Bagi Preston yang tumbuh dewasa di kawasan Chicago di era tahun 70-an, kata "assalamua'alaikum" bukan kata yang asing buatnya. Maka ia menjawab salam itu dengan ucapan "wa'alaikumsalam".
Juniornya itu kemudian bertanya apakah Preston seorang Muslim. Ia menjawab "bukan" dan mengatakan bahwa ia seorang penganut 'persekutuan metodis". Dan juniornya berkata, "Oh! saya kira kamu seorang muslim karena namamu Tarik."
Tak lama setelah pertemuan itu. Preston berjumpa lagi dengan juniornya itu di satu mata kuliah dan ia berusaha menjelaskan tentang Islam pada Preston dan beberapa teman sekelas. "Dia masih sangat muda dan baru sedikit tahu tentang Islam. Tapi ia memperingatkan kami tentang bahayanya menyembah Yesus," tutur Preston mengingat perbincangan itu.
Musim panas pun tiba. Preston mengisi liburan dengan bekerja sebagai telemarketer dimana ia bertemu dengan seorang muslim bernama Ahmed. Ahmed juga seorang mualaf asal Puerto Rico. Pertama kali bertemu, Preston bertanya pada Ahmed, "Apakah kamu seorang muslim?"
Ahmed menjawab, "Ya, Tarik. Kamu?
"Saya bukan muslim. Saya penganut persekutuan metodis," ujar Preston.
Ahmed tersenyum dan berkata,"Dengan nama Tarik, kamu seharusnya seorang muslim."
Dan selanjutnya, dari Ahmed, Preston tahu tentang apa itu agama tauhid dan Preston mengaku terkesan dengan konsep Islam tentang keesaan Tuhan. Suatu ketika saat diundang ke rumah Ahmed, Preston kagum melihat betapa Ahmed sangat memuliakan kitab suci Al-Quran dan Preston bertanya apakah ia boleh meminjam Al-Quran itu.
Ahmed awalnya terlihat enggan dan beralasan bahwa ia cuma punya satu Al-Quran. Tapi Ahmed akhirnya mengijinkan dengan permintaan agar Preston benar-benar menghormati Al-Quran, menjaganya agar tetap bersih dan disimpan ditempat yang layak.
"Saya tidak sabar ingin segera membaca Al-Quran itu," imbuh Preston.
Dua minggu kemudian, Preston mengundang Ahmed ke rumahnya dan kembali berdiskusi tentang Islam. Saat itu Preston mengatakan pada Ahmed bahwa ia meyakini Al-Quran sebagai kebenaran dan ia ingin menjadi seorang muslim.
Akhirnya, keesokan harinya, Preston dan Ahmed berangkat ke Islamic Center di Washington D.C. Di sanalah, Preston mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim.
Berkat rahmat Allah Swt, beberapa tahun kemudian, Preston mendapatkan kesempatan untuk belajar tentang Islam di Universitas Islam di kota Madinah, Arab Saudi dimana ia mendapatkan gelar sarjana di bidang bahasa Arab dan ilmu hadist.
"Saya berharap, cerita bagaimana saya memeluk Islam bisa mendorong non-muslim lainnya untuk hijrah ke agama Islam. Saya juga berharap kisah saya ini mendorong saudara-saudara saya sesama muslim untuk terus menyebarkan kebenaran pesan-pesan Islam, baik dengan perkataan maupun perbuatan," tukas Tarik Preston menutup kisahnya. (ln/readislam)
Semuanya berawal dari namanya yang berbau nama Islam, yaitu Tarik, meski ia seorang non-Muslim. "Saya diberi nama Tarik sejak lahir. Di era tahun 60-an, 70-an bahkan 80-an menjadi hal yang biasa bagi para orangtua di Amerika memberi nama anaknya dengan nama khas Afrika. Dalam banyak kasus, mereka memilih nama Afrika yang sebenarnya nama islami dan itulah yang terjadi pada saya," tutur Preston.
Sebelum menjadi muslim, ia sering bertemu dengan orang yang juga bernama Tarik atau orang yang paham makna nama Tarik. Orang-orang itu, kata Preston, akan bertanya "kamu tahu apa arti namamu?". Ketika itu Tarik dengan bangga menjawab arti namanya seperti yang diceritakan kedua orangtuanya, "bintang yang menyebarkan cahaya terang". Setelah menjadi seorang muslim, Preston kadang menambahkan cerita dibalik namanya dengan kisah Tariq bin Ziyad. tokoh muslim yang berhasil menaklukan Spanyol.
Tarik Preston memilih jurusan biologi saat sekolah menengah karena ia bercita-cita ingin menjadi dokter. Dan di tahun-tahun pertama menjadi mahasiswa kedokteran, ia mulai membaca Alkitab, tapi ia menemukan ajaran-ajaran Kristen yang menurutnya tidak masuk akal.
Saat liburan musim semi, Preston berdiskusi dengan neneknya tentang teologi. Meski seorang Kristiani, pernyataan neneknya membuat Preston takjub. "Dia bilang, 'aku menyembah tuhan dan bukan menyembah Yesus, karena aku merasa lebih aman menyembah tuhan'," ujar Preston menirukan pernyataan neneknya. Sejak kecil Preston memang dekat dengan neneknya itu.
Sejak perbincangan itu, kata Preston, kebiasaannya berdoa setiap malam tidak lagi dilakukan atas nama Yesus, tapi ia memanjatkan doannya langsung atas nama tuhan.
Suatu hari, Preston sedang berjalan menuju kampus ketika berjumpa dengan seorang juniornya yang ia tahu sudah memeluk agama Islam. Juniornya itu menyapa Preston dengan ucapa "assalamua'alaikum". Bagi Preston yang tumbuh dewasa di kawasan Chicago di era tahun 70-an, kata "assalamua'alaikum" bukan kata yang asing buatnya. Maka ia menjawab salam itu dengan ucapan "wa'alaikumsalam".
Juniornya itu kemudian bertanya apakah Preston seorang Muslim. Ia menjawab "bukan" dan mengatakan bahwa ia seorang penganut 'persekutuan metodis". Dan juniornya berkata, "Oh! saya kira kamu seorang muslim karena namamu Tarik."
Tak lama setelah pertemuan itu. Preston berjumpa lagi dengan juniornya itu di satu mata kuliah dan ia berusaha menjelaskan tentang Islam pada Preston dan beberapa teman sekelas. "Dia masih sangat muda dan baru sedikit tahu tentang Islam. Tapi ia memperingatkan kami tentang bahayanya menyembah Yesus," tutur Preston mengingat perbincangan itu.
Musim panas pun tiba. Preston mengisi liburan dengan bekerja sebagai telemarketer dimana ia bertemu dengan seorang muslim bernama Ahmed. Ahmed juga seorang mualaf asal Puerto Rico. Pertama kali bertemu, Preston bertanya pada Ahmed, "Apakah kamu seorang muslim?"
Ahmed menjawab, "Ya, Tarik. Kamu?
"Saya bukan muslim. Saya penganut persekutuan metodis," ujar Preston.
Ahmed tersenyum dan berkata,"Dengan nama Tarik, kamu seharusnya seorang muslim."
Dan selanjutnya, dari Ahmed, Preston tahu tentang apa itu agama tauhid dan Preston mengaku terkesan dengan konsep Islam tentang keesaan Tuhan. Suatu ketika saat diundang ke rumah Ahmed, Preston kagum melihat betapa Ahmed sangat memuliakan kitab suci Al-Quran dan Preston bertanya apakah ia boleh meminjam Al-Quran itu.
Ahmed awalnya terlihat enggan dan beralasan bahwa ia cuma punya satu Al-Quran. Tapi Ahmed akhirnya mengijinkan dengan permintaan agar Preston benar-benar menghormati Al-Quran, menjaganya agar tetap bersih dan disimpan ditempat yang layak.
"Saya tidak sabar ingin segera membaca Al-Quran itu," imbuh Preston.
Dua minggu kemudian, Preston mengundang Ahmed ke rumahnya dan kembali berdiskusi tentang Islam. Saat itu Preston mengatakan pada Ahmed bahwa ia meyakini Al-Quran sebagai kebenaran dan ia ingin menjadi seorang muslim.
Akhirnya, keesokan harinya, Preston dan Ahmed berangkat ke Islamic Center di Washington D.C. Di sanalah, Preston mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim.
Berkat rahmat Allah Swt, beberapa tahun kemudian, Preston mendapatkan kesempatan untuk belajar tentang Islam di Universitas Islam di kota Madinah, Arab Saudi dimana ia mendapatkan gelar sarjana di bidang bahasa Arab dan ilmu hadist.
"Saya berharap, cerita bagaimana saya memeluk Islam bisa mendorong non-muslim lainnya untuk hijrah ke agama Islam. Saya juga berharap kisah saya ini mendorong saudara-saudara saya sesama muslim untuk terus menyebarkan kebenaran pesan-pesan Islam, baik dengan perkataan maupun perbuatan," tukas Tarik Preston menutup kisahnya. (ln/readislam)
"Ya, Saya Seorang Muslim, Nama Saya Nourdeen ..."
Nourdeen Wildeman bukan tipikal orang yang mau menceritakan ikhwal dirinya masuk Islam. Karena ia malas menjawab pertanyaan-pertanyaan standar seperti, bagaimana ia masuk Islam, mengapa ia masuk Islam, apa reaksi orang tua dan pertanyaan sejenis yang membuatnya bosan.
Ia bahkan mengaku sering "kaget" jika ada Muslim yang bertanya mengapa ia masuk Islam. Dan jawaban yang selalu ia ucapkan adalah,"Well, Islam adalah satu-satunya agama yang benar, ingat?". Tapi sesungguhnya, Wildeman mengaku ia sendiri tidak tahu mengapa memutuskan masuk Islam. Semuanya terjadi begitu saja ... bukan karena ia sedang gelisah mencari kehidupan yang sebenarnya atau sedang mencari Tuhan. Tapi keputusan besar itu berawal ketika ia pergi ke sebuah toko buku antara tahun 2003-2004.
"Saya masuk ke sebuah toko buku, tapi tidak tahu buku apa yang ingin saya beli. Waktu itu saya cuma ingin membaca, dan saya berminat pada buku-buku sejarah, filosofi dan sosiologi yang dijual di toko tersebut," tutur Wildeman mengawali kisahnya.
"Lalu ada sebuah buku berwarna hijau yang menarik perhatian saya, berjudul 'Islam; Values, Principles and Reality'. Saya pegang buku itu, saya lihat-lihat isinya, dan akhirnya saya menyadari bahwa saya cuma tahu sedikit tentang orang Islam tapi tidak tahu apa yang mereka yakini," sambungnya.
Wildeman memutuskan membeli buku itu, untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam, apalagi saat itu Islam dan Muslim sedang menjadi bahan pemberitaan media massa dan mempengaruhi masalah internasional di dalam dan di luar Belanda.
Wildeman yang asal Negeri Kincir Angin itu mengakui, sebelum belajar banyak tentang Islam, ia memiliki pandangan yang negatif tentang Islam. Ia pernah punya pemikiran, bagaimana seorang Muslim mengaku sebagai orang yang beragama tapi pada saat yang sama ia menindas isterinya sendiri. Wildeman juga mengaku tak habis pikir, mengapa umat Islam "menyembah" batu berbentuk kubus di Makkah (Ka'bah) padahal batu atau patung tidak punya kekuatan atau bisa membantu manusia. Ia juga menganggap Muslim tidak toleran dengan penganut agama lain.
Setelah buku pertama yang ia beli, Wildeman membaca buku-buku lainnya tentang Islam bertahun-tahun kemudian dan ia mengaku terkejut bahwa apa yang selama ini ia pikirkan adalah bagian dari ajaran Islam dan apa yang selama ini ia kritisi juga dikritisi dalam Islam.
"Saya menemukan dalam Islam bahwa Rasulullah Muhammad Saw berkata, ketaqwaan seseorang bisa terlihat dari bagaimana seseorang itu memperlakukan isterinya. Saya juga menemukan bahwa umat Islam tidak menyembah Ka'bah karena umat Islam justeru tidak boleh menyembah patung dan sejenisnya. Dan saya menemukan, peradaban Islam dalam seluruh sejarahnya, mencontohkan toleransi antar umat beragama," papar Wildeman.
Sayangnya, di lingkungan tempatnya tinggal tidak ada kegiatan dakwah Islam dimana ia bisa langsung berdialog dan bertanya tentang Islam. Pada bulan Ramadhan, Wildeman memutuskan untuk menemui rekan-rekan kerjanya yang Muslim dan mengatakan pada mereka bahwa ia akan ikut berpuasa. Wildeman juga membeli al-Quran dan mencari jadwal imsakiyah di internet.
Saya membawa susu dan kurma ke tempat kerja dan menjelaskan bahwa itu adalah sunnah Rasul. Saya belajar banyak saat bulan Ramadhan itu juga rekan-rekan Muslim lainnya. Kami melewati bulan Ramadhan dengan kegiatan yang menyenangkan. Dan saat idul fitri bagaimana hari pemakaman buat saya, tapi setelah itu semuanya kembali normal," ujar Wildeman menggambarkan kesedihannya saat Ramadan berakhir.
'Alhamdulillah, Akhirnya ...'
Usai Ramadan, Wildeman membayarkan zakatnya ke sebuah masjid. Itulah pertamakalinya ia bertemu dengan bendahara masjid yang menanyakan apakah ia seorang Muslim dan Wildeman menjawab bahwa ia bukan seorang Muslim tapi ia ikut puasa bulan Ramadan lalu.
Wildeman terus menggali informasi tentang Islam dari buku-buku, terutama yang ditulis dari kalangan non-Muslim seperti penulis Karen Amstrong. Wildeman merasakan, setiap pertanyaan yang muncul di kepalanya, selalu ia temukan jawaban yang meyakinkan dalam ajaran Islam.
Tak terasa, Ramadan kembali datang dan ia bertemu lagi dengan bendahara masjid yang sama ketika membayar zakat. Si bendahara bertanya lagi apakah saya sudah Muslim. "Saya menjawab "Belum. Tapi bukankah Anda bilang supaya saya tidak terburu-buru dan santai saja?" Si bendahara mengangguk sambil tersenyum.
Sejak mengenal Islam, Wildeman pelan-pelang menghentikan kebiasaannya minum minuman keras dan merokok. Saat liburan, Wildeman berkunjung ke Turki dan melihat-lihat bagian dalam masjid-masjid besar di negara itu. "Seiring bertambanya hari, saya makin merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan saya," tukasnya.
Lewat sebuah situs jejaring sosial yang populer di Belanda 'Hyves', Wildeman berkenalan dengan seorang muslimah mualaf. Ia lalu diundang makan malam dan bertemu dengan suami muslimah tadi, seorang Muslim yang taat kelahiran Mesir.
Sepanjang makan malam, mereka berdiskusi tentang Islam. Di pertemuan kedua, Wildeman belajar salat dari keluarga itu dan ketika istirahat sebentar. Suami muslimah tadi yang kemudian menjadi sahabatnya bertanya,"Nah, apakah kamu sudah siap melakukannya (salat)?"
"Ya, saya pikir saya siap," jawab Wildeman.
Ketika itu Wildeman merasa sudah menjadi seorang Muslim, cuma ia belum bersyahadat saja. Dua minggu setelah belajar salat, Wildeman beserta ayahnya dan sahabatnya itu mendatangi sebuah masjid. Imam masjid sudah diberitahu apa maksud kedatangannya.
Imam itu menuntut Wildeman untuk mengucapkan syahadat. Setelah itu membacakan doa untuk Wildeman yang hari itu resmi menjadi seorang Muslim. "Mendengar isi doa itu, saya seperti habis berlari bermil-mil dan sekarang sudah mencapai garis finish. Saya merasa tenang dan bahagia," ujar Wildeman yang diberi nama Islam, Nordeen.
Dan ketika ia mendatangi masjid yang biasa ia kunjungi untuk membayar zakat, ia bertemu lagi dengan bendahara masjid yang sama dan melontarkan pertanyaan serupa apakah ia sudah menjadi seorang Muslim.
Wildeman menjawab sambil tersentum,"Ya Pak, saya seorang Muslim dan nama saya Nourdeen."
Dan si bendaharawa dengan senang berkata,"Alhamdulillah, akhirnya ...". (ln/readislam)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/ya-saya-seorang-muslim-nama-saya-nourdeen.htm
Viviana Espin: Pengalaman Hidup Yang Pahit, Betul-Betul Membuat Saya Belajar
Viviana Espin, perempuan berusia 21 tahun asal Ekuador mengalami masa kanak-kanak yang berat. Keluarganya tidak bisa dibilang harmonis. Kesulitan ekonomi, ayah yang berperangai kasar dan ibu yang selalu menuruti saja apa kehendak suaminya, mempengaruhi perkembangan mental Espin dan saudara lelakinya.
Tapi berkat bimbingan ibunya yang mengajarkan banyak hal, Espin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sudah mulai sekolah pada usia 4 tahun di sebuah sekolah Katolik. Ibu mengirimnya ke sekolah itu karena mengingkan Espin menjadi anak yang taat pada ajaran agamanya, percaya pada Tuhan selain mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik. Ibunya selalu membanggakan di mana Espin sekolah di depan teman-temannya.
Di sekolah, Espin menjadi siswa yang paling muda usianya, sehingga sering menjadi sasaran perlakuan nakal teman sekelasnya. "Mereka menempelkan permen karet di rambut saya, mengambil barang-barang milik saya, melempar sepatu saya ke tempat sampah dan masih banyak lagi ...," tutur Espin mengenang masa kecilnya.
Ketika berusia 8 tahun, orang tua Espin bercerai, padahal ketika itu Espin baru saja mengalami peristiwa yang paling traumatis selama hidupnya. Tapi ia tidak bersedia mengungkapkan apa peristiwa traumatis itu. Espin jadi suka menyendiri di tempat tertutup dan ia mulai memikirkan hal-hal yang kadang ia tidak temukan jawabannya.
"Ibu saya menjadi lebih relijius, tapi ia terlalu mengontrol saya. Kadang menyenangkan, kadang tidak. Saya tumbuh dengan rasa takut, rasa tidak aman dan rasa ragu," ungkap Espin.
Selain suka menyendiri, Espin merasa nyaman ketika berada di tengah-tengah para biarawati. Ia merasa satu-satunya jalan keluar dari berbagai persoalan di rumahnya adalah mencari perlindungan ke "rumah Tuhan". Pada usia 12 tahun, Espin mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin tinggal di seminari bersama para biarawati dan menjadi salah satu dari mereka. Tapi ibunya tidak setuju Espin menjadi biarawati.
Karena ditentang sang ibu, Espin makin mendekatkan diri pada Tuhan dan lebih sering membaca Alkitab. Semakin jauh ia baca, semakin banyak hal dalam Alkitab yang menurut Espin tidak masuk akal, banyak kontradiksi dan ada ide-ide yang tidak lengkap dan tidak jelas. Espin lalu banyak membaca buku-buku tentang agama, sampai menelusuri dunia maya.
"Saya membaca tentang Yudaisme, Budha, agnostisisme, Hindu dan Kekristenan serta berbagai sekte dalam keagamaan. Semuanya tidak memuaskan akal sehatnya. Saya tidak tertarik membaca tentang Islam karena semua yang saya dengar tentang Islam cenderung negatif. Tapi akhirnya saya mencari-cari informasi tentang Islam sebagai opsi terakhir saya untuk berusaha menemukan jawaban yang logis dari pertanyaan-pertanyaan saya," papar Espin.
Tak Boleh Masuk Islam
Setelah mempelajari Islam, Espin merasa menemukan jawaban atas kejanggalan-kejanggalan di dalam Alkitab. "Islam lebih masuk akal dan menjawab pertanyaan saya tentang berapa Tuhan, tentang Yesus. Saya merasa akhirnya menemukan kebenaran, agama yang sebenarnya," tukas Espin.
"Saya tidak ingat, umur 17 tahun atau 18 tahun ketika saya bilang ke ibu bahwa saya ingin pindah agama dan menjadi seorang Muslim, bahwa saya ingin pergi ke Islamic Center dan belajar di sana. Ibu saya marah dan mengatakan bahwa hanya orang Kristen yang boleh tinggal di rumah dan jika saya serius ingin pindah agama, saya harus keluar rumah. Maka saya bilang kalau saya cuma bercanda agar ibu tidak membahas hal itu," tutur Espin.
"Ibu juga mengontak bibi saya yang kemudian membawa sebuah buku anti-Islam. Buku itu membuat saya takut dan ragu sehingga saya tidak memikirkan lagi ingin menjdi seorang Muslim. Tapi saya juga tidak mau kembali memeluk Kristen karena saya merasa tidak nyaman agama itu," sambung Espin.
Waktu pun berlalu. Ibu Espin berpindah agama menjadi seorang Evangelis setelah salah seorang paman Espin-kakak lelaki ibunya-yang menderita kanker mampu bertahan hidup hingga dua tahun padahal dokter memvonis usianya ketika itu tinggal satu minggu atau satu bulan lagi.
"Di hari ketika ibu saya memutuskan pindah keyakinan menjadi seorang Evangelis, saya berusaha bicara lagi padanya tentang Islam dan memintanya ikut saya ke Islamic Center untuk mendiskusikan tentang keraguan dan ketakutan dalam buku yang diberikan oleh bibi saya tentang Islam. Tak diduga, ibu lebih bersikap terbuka dan mau menerima ajakan saya. Tapi itu cuma sementara. Malamnya, ibu saya kembali menjadi seorang Evangelis yang fanatik dan rasanya sulit bagi saya untuk bicara Islam lagi padanya," keluh Espin.
Menjadi Muslimah
Beberapa bulan yang lalu, Espin bertemu dengan seorang lelaki Muslim asal Arab Saudi. Mereka saling jatuh cinta. Espin memutuskan meninggalkan rumah dan pergi ke Mesir untuk menemui lelaki itu dan menikah dengannya. Pergi ke Mesir dan menikah dengan lelaki yang baik dan mencintainya adalah dua mimpi besar Espin.
Setelah menikah di Mesir, Espin masih ragu apakah ia akan masuk Islam. Suaminya lalu mengenalkan Espin pada seorang perempuan yang sabar, taat dan kaya ilmu agamanya, bernama Raya. Raya-lah yang membantu Espin untuk menganalisa situasinya saat itu dan menjernihkan apa yang menjadi keraguan dan kesalahpengertian Espin tentang Islam.
"Akhirnya saya mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari Sabtu, 30 Agustus 2009. Saya mengucapkan syahadat karena saya yakin akan ke-esa-an Tuhan dan Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir. Tapi saya bilang bahwa saya akan mulai mempraktekkan Islam ketika saya merasa sudah siap. Mereka setuju," ujar Espin.
Tapi pada hari Senin, semuanya berubah dengan cepat. Saya melakukan kesalahan yang membuat saya pada posisi yang sangat sulit. "Suami saya menceraikan saya dan saya merasa dunia saya hancur luluh," kenang Espin.
Ia putus asa dan tak tahu harus minta tolong pada siapa kecuali pada Raya. Raya memberikan dukungan moril dan mengijinkan Espin tinggal di rumahnya dan memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Saya teringat perkataan ibu bahwa manusia tidak pernah belajar sampai terjadi hal yang buruk padanya. Perkataan itu benar. Persoalan saya dengan suami membuat saya merasa perlu mencari pertolongan pada Allah dan memohon ampunannya," imbuh Espin.
Sejak itu Espin mulai berubah. Ia mulai mengenakan busana muslimah dan berjilbab. Ia ingin membuktikan diri di hadapan Allah, pada lelaki yang dicintainya dan pada dirinya sendiri bahwa ia saya sudah mejadi orang yang baru sekarang.
"Alhamdulillah, suami saya memberikan harapan bahwa kami bisa bersama lagi. Saya ingin memperkuat iman dan memafkan diri saya sendiri. Mudah-mudahan di akhir tahun ini, Allah memberi saya kekuatan untuk menerima apa saja yang telah ditakdirkanNya untuk saya. Pengalaman hidup ini betul-betul membuat saya belajar," tegas Espin. (ln/readislam)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/pengalaman-hidup-yang-pahit-betul-betul-membuat-saya-belajar.htm
Kebencian itu Awal dari Hidayah
Ia marah dengan Islam. “Aku merasa agama dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ ujarnya
Oleh: M. Syamsi Ali
Rabu, 10 Pebruari, kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Aku sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi. Tapi entah apa, rasanya aku tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.
Aku segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat dzuhur dan asar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jama’ah meminta untuk menjama’ shalat. Setiba di Islamic Center aku segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.
Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, “Some one is waiting for you!”. “Let me do my sunnah and will be there!,” jawabku.
Setelah shalat sunnah, segera aku menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. “Hi, good morning!,” sapaku. “Good morning!,” jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. “Waiting for me?,” tanyaku sambil menjabat tangan. “Yes, and I am sorry to bother you at this early time,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor aku. Dengan berbasa-basi aku katakan “Wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini,” kataku. “Oh not at all!. We used to this kind of weather,” jawabnya.
“So, what I can do for you this morning,” tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa aku sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilahkan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik.
“Please do have your sit!,” kataku. “Thanks sir!,” jawabnya singkat.
Setelah duduk Aku ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya “what I can do for you this morning?.” Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke arahku dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. “I am here for….,’ seolah terhenti..”for some clarifications!,” jawabnya. Intinya, ia mengaku telah banyak membaca, mengamati dan belajar agama. "Harus jujur Aku tahu tentang hal itu banyak," jelasnya.
“That’s great!,” selaku. Dia mengaku, dari waktu ke waktu, pertanyaan tentang agamanya terus bertambah. Sementara perasaan terhadap Islam justru makin tumbuh.
Pria itu, merubah posisi duduknya dan bercerita. "Aku dulu sangat marah. Aku benar-benar membenci agama ini!, jelasnya. “Aku merasa agama dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ tambahnya dengan sangat serius. "Jadi, apa yang terjadi?, pancingku menyambung ceritanya.
Singkatnya, aku menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebenciannya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari tahu. Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan. Sekedar untuk diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah” dalam bahasa Arab. Kebenciannya yang amat sangat kepada Islam, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu dengan kalimat, “don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word)’, katanya sinis!.
Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan “Thank you for coming my friend!.”
Singkatnya, menurut dia lagi, sikap ramah si penjual makanan itu selalu teringat dalam pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ketidak inginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebenciannya kepada agama ini (Islam, red). "Itu benar-benar membuat saya marah kepada diri saya, namun di saat yang sama, saya benar-benar ingin tahu,” sambungnya.
“Awalnya, aku hanya googling beberapa informasi mengenai agama. Kemudian mendengarkan beberapa ceramah di Youtube (terutama ceramah Hamzah Yusuf), “ ujarnya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslim, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Syari’ah oleh John Esposito, dll.
"Semakin saya pelajari, semakin aku merasa menjadi curiga dan bingung,” akunya. “Tapi apakah Anda pernah berpikir sebelumnya, mengapa begitu?,” ujarku. “Saya tidak tahu, saya kira faktor media, katanya. Yang jelas, setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi film, ada-ada saja Muslim yang terkait. "Saya benar-benar tidak tahu dan bingung, apa yang sedang dipraktikkan orang-orang Islam ini?."
Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepadaku tentang “jurang besar” antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan apa yang disebutnya sebagai “kejahatan atas nama Islam.” “Dan demikian, aku pada pihak mana? Apakah suatu hari nanti aku akan menjadi seorang Muslim?, tanyanya pada dirinya sendiri.
Setelah selesai, aku kemudian memulai mengambil kendali. “Pertama, saya ucapkan selamat!,” kataku singkat. Tapi justu nampak bingung dengan ucapanku itu.
Segera aku sambung ‘You have been a real American!’. Dia tersenyum tapi masih belum paham.
“Kemarahan Anda dapat dimengerti,” kataku. Pertama-tama, karena Anda tidak tahu dan akan mencari serta bertanya tetang itu. Kedua, faktor media dan obat untuk itu adalah memperjelas. Dan saya pikir Anda melakukan yang kedua, “ tambahku
Aku mengajaknya mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah peperangan, terorisme, pembunuhan, pengrusakan, dari dulu hingga sekarang. Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam membangun peradaban manusia.
“Sepanjang sejarah manusia, apa yang Anda lihat sekarang ini tidaklah terlalu mengejutkan dan hal baru. Berapa banyak nyawa telah diambil, properti dihancurkan dan rumah rusak?,” tanyaku. "Dan dari awal Nabi Muhammad mengajarkan agama ini pada abad ke-7 di Arabia, hingga hari ini, berapa banyak perang dan pembunuhan yang telah melibatkan Muslim sebagai pelaku?,” pancingku lagi.
Dia nampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang aku berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan Nagasaki , dst. Berapa diantara mereka yang terbunuh, dan siapa yang melakukan? Peperangan di Iraq, berapa yang terbunuh ketika jet-jet Amerika mendrop boms di perkampungan- perkampungan? Siapa mayoritas tentara Amerika?
Kemudian, pernahkan dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, pengrusakan yang dilakukan oleh beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang dibenarkan oleh Islam? Dan benarkah bahwa memang motifnya karena memjuangkan Islam dan Muslims, atau karena memang Islam dan Muslim adalah jembatan menuju kepada ‘interest’ tertentu?, ceritaku panjang lebar.
Tak terasa, waktu adzan dhuhur telah tiba. “Sorry, that is what we call adzan or the call to pray,” jelasku. Aku diam sejenak, dia juga nampak diam mendengarkan adzan dari Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic Center. Suara tammatan Al-Azhar ini memang sangat indah.
Setelah adzan, aku kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita membicarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan sistemik kepada negara lain, dst.
“Dengan semua ini, dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa pembunuhan, terutama ketika kita sampai pada kehidupan dan warga sipil tak berdosa, adalah dibenarkan atas nama berjuang untuk keadilan,” lanjutku.
Tapi karena waktu sangat singkat, aku bertanya “Apa pendapatmu? Apakah ada hal yang membuat Anda berkeberatan?, " pancingku. Dia nampak diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.
“You are right!,” katanya singkat. "Aku sudah tidak adil untuk diri saya sendiri! Asosiasi saya terhadap Islam dan perilaku sebagian kaum Muslim benar-benar tidak adil.”
“You got the point, sir!”, jawabku singkat. “Sekarang, saya meminta izin sesaat untuk shalat.”
Tiba-tiba saja dia melihatku dengan sedikit serius. Kali ini tanpa senyum dan berkata “Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang Muslim?” tanyanya. “Are you serious?” tanyaku. “Yes!” , jawabnya singkat. “Follow me!”, ajakku.
Aku ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang shalat. Sambil menunggu waktu iqamah, aku menyampaikan kepadanya. "Apa yang akan saya lakukan adalah membawa Anda untuk menyatakan iman Anda yang baru dengan apa yang kita sebut syahadat. Dan itu adalah untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang layak untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya,” jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.
Sebelum iqamah dimulai aku ajak, Peter Scott, begitu nama pria tersebut, ke depan jama’ah dan menuntunnya mengucapkan “Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jama’ah shalat Dhuhr hari ini.
“Peter, Anda seorang Muslim sekarang, seperti orang lain di sini hari ini. Tidak ada diantara Anda yang kurang. Sebenarnya, Anda lebih baik dari kami karena Anda dipilih untuk menjadi, bukan hanya dilahirkan ke dalamnya dan mengikutinya,” jelasku sambil meminta untuk mengikuti gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.
Allahu Akbar! Semoga Peter selalu dijaga dan dijadikan pejuang di jalanNya!
[New York, 10 Pebruari 2010/www.hidayatullah.com]
Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York dan penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com
Preache Moss: Perjalanan Spiritual Seorang Komedian Muslim AS
Nama Preacher Moss sudah tidak asing lagi bagi publik AS umumnya dan komunitas Muslim khususnya, yang menggemari komedi. Moss adalah pendiri dari kelompok komedi "Allah Made Me Funny" dan membuatnya menjadi salah seorang komedian Muslim yang kerap membuat orang terpingkal-pingkal karena banyolan-banyolannya.
Salah satu banyolan Moss yang terkenal adalah ketika ia bercerita, "Jika mungkin dan dibolehkan, saya ingin mengganti nama saya dengan nama 'Allahu Akbar'. Saya membayangkan pasti akan hebat sekali ketika saya di bandara dan petugas bandara menyebut nama saya yang tertera di paspor 'Allahu Akbar'." Banyolan yang pasti membuat orang tersenyum. Tentu saja Moss tidak bermaksud melakukan penghinaan dengan humornya itu.
Moss mendapatkan inspirasi untuk humor-humornya dari pengalamannya sehari-sehari sebagai seorang Muslim dari kalangan warga kulit hitam di AS, dimana ia bergaul dengan banyak anak-anak jalanan di lingkungan tempat tinggalnya di Washington D.C. Sebelum memeluk Islam, Moss adalah seorang penganut Kristen dan dibesarkan dengan didikan Kristen oleh keluarganya. Munculnya gerakan Black Panther dan Nation of Islam dengan pemimpin-pemimpinnya, seperti Malcolm X, yang telah memberikan pengaruh besar bagi dirinya sebagai anak muda kulit hitam di AS ketika itu dan menjadi awal perkenalannya dengan Islam.
Moss masih mengingat dua kenangan besar dalam hidupnya, yang telah mendorongnya untuk mempelajari kekuatan dan keindahan Islam dari gerakan-gerakan hak asasi di AS. Ia menyebutnya sebagai "Islam protes" dan "Islam regular" atau Islam yang lahir dari Nation of Islam dan harga diri warga kulit hitam dengan Islam yang dibawa oleh para imigran dan generasi Muslim pertama di AS.
Kenangan pertama yang masih membekas di hati Moss adalah ketika ia menyaksikan bagaimana teman sekelasnya begitu taat menjalankan ibadahnya sebagai seorang Muslim, meski dalam kondisi dan situasi yang paling sulit. Hal itu membuat Moss sangat kagum dan menghormati sahabat Muslimnya itu.
Kenangan kedua yang menyentuh hati Moss adalah sahabatnya yang ia kenal di pergaulan anak jalanan di Washington D.C. Sahabat yang menurut Moss selalu dirundung masalah. Suatu hari ia mendengar kabar sahabatnya itu meninggal dunia. Moss dan beberapa teman datang ke rumah sahabatnya itu dan di kamar sahabatnya itu Moss melihat banyak buku-buku tentang Islam.
"Saya melihat ia memiliki sesuatu. Dia berada di jalan untuk menuju ke satu arah yang besar. Ia tahu sesuatu yang saya tidak tahu. Dan saya ingin sekali tahu lebih banyak tentang jalan itu," tutur Moss tentang sahabatnya.
Masuk Islam
Ditanya kapan tepatnya ia resmi menjadi seorang Muslim, Moss akan diam dan berusaha mengingat kembali masa-masa remajanya sampai ia menjadi seorang mahasiswa jurusan jurnalistik dan film di Universitas Marquette, Wisconsin.
Ia mengaku tidak ingat betul tanggal berapa ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Yang ia ingat, kejadiannya ketika ia masih kuliah dan ia belajar Islam dari banyak sumber. Waktu itu ia bekerja sebagai guru untuk anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan menjadi komedian. Perjalanannya hidup yang sebenarnya, kata Moss, ia alami setelah ia mengucapkan syadahat dan menjadi seorang Muslim.
"Selama masa kuliah, masuk Islam adalah sebuah pertempuran. Apakah saya akan mengikuti jalan ini atau saya tetap di jalan yang lama? Banyak sekali konflik dalam diri saya," kata Moss.
Moss terus mempelajari Islam dan banyak bergaul dengan orang lain yang juga mempelajari Islam. Ia akhirnya menemukan bahwa ajaran-ajaran dalam Al-Quran dan tradisi-tradisi yang dilakukan Rasulullah Muhammad Saw adalah benar dan mutlak. Ia bertemu dengan beragam orang saat mempelajari Islam, orang yang sangat membantunya samapai orang yang manipulatif.
"Ada kenyamanan dalam apa yang saya alami sebagai seorang individu, tetapi juga ada pencerahan atas apa yang saya harus lakukan untuk menumbuhkan budaya dan iman dalam diri saya. Rasanya mustahil akan ada "Allah Made Me Funny" jika saya tidak tidak belajar bagaimana untuk menumbuhkan budaya itu," ujar Moss.
Ia menegaskan, konsep "budaya keimanan" yang mendorongnya pada jalan Islam yang dipilihnya. "Saya menjumpai banyak orang, sebagian dari mereka sangat luas pengetahuannya, yang akan bisa bicara tentang tradisi Quran dan soal jalan dan kehidupan para nabi, tapi akhirnya hanya menemui jalan buntu karena mereka tidak cukup pandai untuk mengembangkan kebudayaan," papar Moss.
"Mereka cuma pandai bicara tentang kebudayaan ratusan tahun silam, tapi tidak bisa menirunya di era modern ini. Ada keseimbangan yang tidak wajar, dimana pengetahuan hanya menjadi satu-satunya nilai dalam hal ini. Yang saya temukan adalah, kondisi itu bertentangan dengan keseluruhan ide dari agama yang memprotes, yang seharusnya menginspirasi kita untuk tumbuh, melahirkan dan mengembangkan sebuah budaya dimana kita menjalankan keyakinan agama Islam kita dalam kehidupan saat ini," jelas Moss.
Ia mencontohkan, seorang Muslim mengkritiknya saat ia manggung di Philadelphia. Muslim itu mengatakan bahwa dalam Islam komedi itu haram, bid'ah dan Rasulullah Muhammad Saw melarang banyolan. Tapi setelah mengkritiknya, lelaki itu langsung pergi dengan mobilnya. Dan Moss yang keheranan cuma bisa bilang, "Anda ngomong apa sih, komedi itu bid'ah? Anda baru saja kabur dengan cara bid'ah."
Muslim di Hollywood
Menjadi seorang Muslim merupakan perjuangan bagi Moss, apalagi buat dirinya yang sangat menggemari dunia komedi dan sudah menjadi bagian dari industri hiburan. Moss berhenti mengajar, karena Hollywood 'memanggilnya'. Moss memberikan sebagian uang pensiun gurunya pada ibunya dan sebagian lagi ia gunakan untuk mengejar impiannya di dunia komedi.
Karirnya sebagai komedian menanjak seiring dengan reputasinya menulis skenario untuk sejumlah aktor dan komedian di Hollywood. Tapi menjadi seorang Muslim di Hollywood bukan hal yang mudah. Moss mengalami saat-saat penuh tekanan karena ia tidak boleh membuat banyolan-banyolan tentang perempuan atau topik-topilk yang akan dinilai sebagai anti-Muslim. Itulah sebabnya, Moss akhirnya memutuskan meninggalkan Hollywood dan memilih jalur solo karir.
Ia lalu membentuk group lawak dengan Muslim lainnya, yaitu Azhar Usman dan Azeem, kemudian ditambah dengan masuknya Mo Amer. Jadilah kelompok komedi "Allah Made Me Funny". Moss mengatakan bahwa ia ingin Muslim bisa mengekspresikan diri mereka.
"Setiap kali orang mendengarkan kami dan mereka Muslim, mereka akan bilang 'Dengar, orang-orang ini punya nilai-nilai," ujar Moss tentang harapannya pada Muslim lainnya.
Meski namanya sudah populer, seperti juga kelompok komedi lainnya, "Allah Made Me Funny" masih kesulitan jika ingin manggung di negeri-negeri Muslim seperti Arab Saudi atau Dubai. "Kami ingin menampilkan narasi yang baru dan berbeda tentang apa itu Muslim. Dan hal itu berat buat negara-negara dimana agama Islam berawal," ujar Moss.
Moss memahami hal itu. Ia mencontohkan pengalamannya sendiri, meski sudah lebih dari 20 tahun memeluk Islam, Moss mengaku masih terus dalam proses belajar. Ia tidak sungkan mengakui keimanannya di depan publik sebagai seorang Muslim, tanpa harus melepas nilai-nilai dalam dirinya.
Moss mengakui bahwa ia belum menjadi seorang Muslim yang baik. Tapi ia berharap bisa pensiun dari duna komedi dan akan memusatkan kehidupannya pada keluarga dan agamanya. "Saya ingin belajar bahasa Arab. Banyak sekali yang ingi saya baca. Tapi saya akan selalu memprotes, dan protes saya sekarang ditujukan untuk kaum Muslimin agar punya rasa memiliki terhadap agamnya," tukas Moss. (ln/iol)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/preache-moss-perjalanan-spiritual-seorang-komedian-muslim-as.htm
Asrin Surianto, Islam Menghargai Perbedaan
Dalam pemahaman sebagian warga Dayak, Islam telah memisahkan mereka dengan anggota keluarganya.
''Kalau kamu beragama Islam, kamu tidak akan pernah bersatu lagi dengan kami. Kalau kamu memilih Islam, kita berarti sudah bukan saudara kami lagi.''
Begitulah beberapa ungkapan warga Dayak, ketika melihat salah seorang anggota keluarganya memeluk agama Islam.
Ungkapan itu menjadi gambaran negatif yang terekam dalam benak hampir seluruh warga dayak, yang berada di pedalaman Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, terhadap umat Islam.
Pasalnya, Islam melarang umatnya memakan babi, tidak suka dengan sesuatu yang dianggap najis, dan saudaranya yang tidak seiman dengannya adalah kafir. Doktrin ini begitu dalam melekat di pemikiran orang Dayak Benuaq.
Kalimat dan ungkapan itu pula yang pernah dirasakan Asrin Surianto (35), salah seorang warga Dayak Benuaq, yang tinggal di Desa Dasaq, Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat (dahulunya wilayah ini masuk dalam Kabupaten Kutai. Setelah masa otonomi daerah, Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kutai Kartanegara), saat dirinya memeluk agama Islam.
Mengenal Islam
Saat itu, tahun 1983. Ayahnya yang bernama Gamas, memilih memeluk agama Islam. Namun demikian, ayahnya tak pernah memaksakan anak-anaknya mengikuti agama orang tuanya. Orang tuanya berpesan, pilihlah agama yang terbaik bagi diri mereka sendiri.
''Alhamdulillah, dari ketiga anak-anak bapak yang masih hidup, saya mengikuti jejak bapak,'' ujar Pembantu Dekan III Fakultas Agama Islam, Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Tenggarong.
Persentuhan ayahnya dengan Islam, jelas Asrin, karena ayahnya bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah di Desa Dasaq. ''Karena banyak bersentuhan dengan buku-buku pelajaran di sekolah, akhirnya Bapak memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Sebelumnya, keluarga kami menganut agama Kristen. Namun, hanya sekadarnya, tidak begitu mendalam. Kebanyakan masih mempercayai pada kehidupan di alam (Anismisme--Red),'' ujar Asrin mengisahkan awal mula persentuhannya dengan Islam.
Asrin menambahkan, kendati perkenalan orang tuanya pada agama Islam, namun sifatnya lebih pada pemahaman keagamaan yang ada kemiripan dengan kebiasaan orang dayak yang percaya pada Animisme. ''Ayah saya mengikuti paham tasawuf. Namun, pemahamannya hanya untuk kedigdayaan,'' terangnya.
Pun, hal yang sama juga dialami Asrin. Awalnya, ia tidak mempedulikan pada ajaran sebuah agama. Namun, rupanya berbagai kehidupan di masyarakat Dayak mengikuti ajaran Animisme, membuatnya harus berpikir untuk menemukan bentuk-bentuk kedamaian dalam hidupnya.
Asrin menceritakan, pada usia lima tahun, ibunya yang bernama Fati, meninggal dunia. Dan, dari sembilan bersaudara, hanya tiga yang masih hidup. Kondisi ekonomi yang sulit, membuat hidup suami Kustaniah ini selalu berpindah-pindah tempat dan pengasuhan. Dari paman yang satu pada paman yang lain.
Akhirnya, ketika masuk SD, ia pun mengikuti salah seorang pamannya yang berprofesi sebagai Gembala Sidang (Pendeta Muda). Dan, Asrin lalu dimasukkan ke sekolah Kristen. Ia pun menganut agama Kristen Protestan.
Dan, ketika duduk di bangku kelas lima SD, ia bersama kedua saudaranya dipanggil ayahnya. Ayahnya menyampaikan tentang perihal agama Islam, dan menyerahkan sepenuhnya pilihan anak-anaknya dalam masalah agama, apakah mau berislam atau tetap pada agama Kristen/Animisme.
''Akhirnya, berdasarkan pertimbangan sederhana, yakni ayah adalah orang saya anggap paling mengerti tentang kebajikan, pilihannya tentu adalah pilihan yang terbaik. Maka, saya pun ikut ayah saya,'' ujarnya.
Setelah lulus SD, kata Asrin, ayah memberikan beberapa buku bacaan ringan tentang perbedaan agama yang berjudul Dialog Masalah Ketuhanan Yesus antara Seorang Ulama dengan Seorang Pendeta.
''Buku tersebut mendorong keinginan saya untuk mengkaji lebih dalam tentang Islam,'' paparnya.
Akhirnya, pada 1990, orang tuanya mendaftarkan Asrin pada salah satu pesantren di Kota Tenggarong, tepatnya di Ponpes Ribathul Khail, Timbau, Tenggarong. ''Namun, belum sempat saya masuk sekolah, ayah saya meninggal dunia,'' kenangnya.
Kemudian, atas bantuan salah seorang pamannya, Asrin tetap melanjutkan pendidikan di MTs Ribtahul Khail dengan fasilitas bebas SPP dan BP3. ''Namun, untuk biaya hidup, saya harus berusaha sendiri,'' ujarnya.
Semangat itu terus dipertahankan dan sekolah harus tetap jalan. ''Menuntut pendidikan di MTs adalah amanah almarhum ayah. Alhamdulillah, tahun 1993, saya lulus MTs, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Ponpes Ribathul Khail, sampai akhirnya tamat tahun 1996,'' ujarnya.
Kendati mendapat keringanan dari pengasuh pondok pesantren, Asrin tetap ingin mandiri. Di sela-sela kesibukannya menuntut ilmu, ia pun harus membiayai dirinya sendiri. Ia tak mau selamanya bergantung pada orang lain. Dengan kemampuannya berceramah (pidato), ia berhasil menghidupi dirinya.
Asrin beruntung, kehidupan di pesantren memberikannya ketenangan hidup untuk belajar Islam lebih mendalam. Apalagi, di Pesantren Ribtahul Khail Timbau Tenggarong yang mengajarkan para santrinya mandiri, membuat Asrin makin kuat dalam menghadapi berbagai ujian dan rintangan.
Setelah lulus dari aliyah di pesantren inilah, Asrin kembali banyak bersentuhan dengan saudara-saudaranya warga Dayak Benuaq, di Desa Dasaq. ''Awalnya mereka sangat antipati terhadap Islam. Mereka memandang Islam sebagai agama yang memisahkan anggota keluarga mereka,'' terang Alumnus Fakultas Agama Islam, Unikarta ini.
Agama toleran
Dalam pandangan orang Dayak, orang Islam itu menjadi penyebab hilangnya kebersamaan dan persatuan anggota keluarga dayak. Sebab, begitu salah seorang anggota keluarganya memeluk Islam, mereka akan kesulitan berhubungan lagi.
''Sebab, dalam agama Islam, babi itu kan diharamkan. Sementara, banyak orang Dayak yang memelihara babi. Nah, karena suka makan babi, orang Dayak itu lalu dianggap najis. Dan, karena berbeda agama, mereka adalah kafir,'' ungkap Asrin atas pandangan orang Dayak tentang Islam.
Secara perlahan, Asrin pun menyampaikan nilai-nilai Islam sesuai dengan apa yang telah didapatkannya selama menuntut ilmu di pesantren. Asrin menyampaikan bahwa Islam tidak seperti yang mereka gambarkan. ''Islam itu justru cinta kebersamaan, saling menghargai, dan menghormati. Kendati berbeda agama, Islam menghormati perbedaan itu,'' kata Asrin kepada para warga Dayak dan anggota keluarganya yang masih menganut agama terdahulu.
Dan itu, lanjutnya, yang ia tunjukkan pada komunitas Dayak saat dirinya berada di kampung halaman. ''Saya datang pada setiap hajatan mereka. Namun, saya harus menjaga keyakinan saya. Saya tidak secara frontal menyinggung perasaan mereka yang berbeda keyakinan,'' ujarnya.
Dengan pendekatan yang baik, akhirnya Islam bisa diterima beberapa warga Dayak. ''Alhamdulillah, mereka tertarik dan ada sebagian yang masuk Islam. Saat ini, sekitar 50 orang warga Dayak di desa Dasaq, Muara Pahu, Kutai Barat, telah memilih Islam. Kami pun bergotong-royong membangun mushala untuk kegiatan ibadah,'' terang staf pengajar Fakultas Agama Islam, di Unikarta, Tenggarong.
Kini, Asrin harus terus berjuang mengajak saudara-saudaranya untuk memeluk Islam. Dengan pendidikan yang telah ditempuhnya, ia senantiasa berdakwah pada komunitasnya, membimbing serta menyeru warganya untuk menuju jalan yang lurus, yaitu agama Islam. -syahruddin el-fikri/taq
BIODATA :
Nama : H Asrin Surianto SAg
TTL : Dasaq, 7 September 1974
Suku : Dayak Benuaq
Nama Ayah : Gamas
Ibu : Fati
Kampung Asal : Desa Dasaq Kecamatan Muara Pahu Kabupaten Kutai Barat Kaltim
Agama Asal : Kristen Protestan/Animisme
Data Pendidikan
SDN 012 Dasaq lulus 1987
MTs PPKP Ribathul Khail Timbau Tenggarong 1993
MA PPKP Ribathul Khail Timbau Tenggarong 1996
Fakultas Agama Islam Jurusan Dakwah lulus 2001
Pengalaman Jabatan/Pekerjaan
Fungsional :
- Dosen Pengajar Fakultas Agama Islam Unikarta 2001 - sekarang
- Pembantu Dekan III Fak. Agama Islam Unikarta 2002 - 2004
- Pembantu Dekan II Fak. Agama Islam Unikarta 2004 - 2008
- Pembantu Dekan III Fak. Agama Islam Unikarta 2008 - sekarang
Struktural :
- Kepala KUA Kec. Kembang Janggut Depag Kukar 2004 - 2006
- Penyuluh Agama Islam Trampil Depag Kukar 2006 - sekarang
http://www.republika.co.id/node/53657
''Kalau kamu beragama Islam, kamu tidak akan pernah bersatu lagi dengan kami. Kalau kamu memilih Islam, kita berarti sudah bukan saudara kami lagi.''
Begitulah beberapa ungkapan warga Dayak, ketika melihat salah seorang anggota keluarganya memeluk agama Islam.
Ungkapan itu menjadi gambaran negatif yang terekam dalam benak hampir seluruh warga dayak, yang berada di pedalaman Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, terhadap umat Islam.
Pasalnya, Islam melarang umatnya memakan babi, tidak suka dengan sesuatu yang dianggap najis, dan saudaranya yang tidak seiman dengannya adalah kafir. Doktrin ini begitu dalam melekat di pemikiran orang Dayak Benuaq.
Kalimat dan ungkapan itu pula yang pernah dirasakan Asrin Surianto (35), salah seorang warga Dayak Benuaq, yang tinggal di Desa Dasaq, Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat (dahulunya wilayah ini masuk dalam Kabupaten Kutai. Setelah masa otonomi daerah, Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kutai Kartanegara), saat dirinya memeluk agama Islam.
Mengenal Islam
Saat itu, tahun 1983. Ayahnya yang bernama Gamas, memilih memeluk agama Islam. Namun demikian, ayahnya tak pernah memaksakan anak-anaknya mengikuti agama orang tuanya. Orang tuanya berpesan, pilihlah agama yang terbaik bagi diri mereka sendiri.
''Alhamdulillah, dari ketiga anak-anak bapak yang masih hidup, saya mengikuti jejak bapak,'' ujar Pembantu Dekan III Fakultas Agama Islam, Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Tenggarong.
Persentuhan ayahnya dengan Islam, jelas Asrin, karena ayahnya bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah di Desa Dasaq. ''Karena banyak bersentuhan dengan buku-buku pelajaran di sekolah, akhirnya Bapak memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Sebelumnya, keluarga kami menganut agama Kristen. Namun, hanya sekadarnya, tidak begitu mendalam. Kebanyakan masih mempercayai pada kehidupan di alam (Anismisme--Red),'' ujar Asrin mengisahkan awal mula persentuhannya dengan Islam.
Asrin menambahkan, kendati perkenalan orang tuanya pada agama Islam, namun sifatnya lebih pada pemahaman keagamaan yang ada kemiripan dengan kebiasaan orang dayak yang percaya pada Animisme. ''Ayah saya mengikuti paham tasawuf. Namun, pemahamannya hanya untuk kedigdayaan,'' terangnya.
Pun, hal yang sama juga dialami Asrin. Awalnya, ia tidak mempedulikan pada ajaran sebuah agama. Namun, rupanya berbagai kehidupan di masyarakat Dayak mengikuti ajaran Animisme, membuatnya harus berpikir untuk menemukan bentuk-bentuk kedamaian dalam hidupnya.
Asrin menceritakan, pada usia lima tahun, ibunya yang bernama Fati, meninggal dunia. Dan, dari sembilan bersaudara, hanya tiga yang masih hidup. Kondisi ekonomi yang sulit, membuat hidup suami Kustaniah ini selalu berpindah-pindah tempat dan pengasuhan. Dari paman yang satu pada paman yang lain.
Akhirnya, ketika masuk SD, ia pun mengikuti salah seorang pamannya yang berprofesi sebagai Gembala Sidang (Pendeta Muda). Dan, Asrin lalu dimasukkan ke sekolah Kristen. Ia pun menganut agama Kristen Protestan.
Dan, ketika duduk di bangku kelas lima SD, ia bersama kedua saudaranya dipanggil ayahnya. Ayahnya menyampaikan tentang perihal agama Islam, dan menyerahkan sepenuhnya pilihan anak-anaknya dalam masalah agama, apakah mau berislam atau tetap pada agama Kristen/Animisme.
''Akhirnya, berdasarkan pertimbangan sederhana, yakni ayah adalah orang saya anggap paling mengerti tentang kebajikan, pilihannya tentu adalah pilihan yang terbaik. Maka, saya pun ikut ayah saya,'' ujarnya.
Setelah lulus SD, kata Asrin, ayah memberikan beberapa buku bacaan ringan tentang perbedaan agama yang berjudul Dialog Masalah Ketuhanan Yesus antara Seorang Ulama dengan Seorang Pendeta.
''Buku tersebut mendorong keinginan saya untuk mengkaji lebih dalam tentang Islam,'' paparnya.
Akhirnya, pada 1990, orang tuanya mendaftarkan Asrin pada salah satu pesantren di Kota Tenggarong, tepatnya di Ponpes Ribathul Khail, Timbau, Tenggarong. ''Namun, belum sempat saya masuk sekolah, ayah saya meninggal dunia,'' kenangnya.
Kemudian, atas bantuan salah seorang pamannya, Asrin tetap melanjutkan pendidikan di MTs Ribtahul Khail dengan fasilitas bebas SPP dan BP3. ''Namun, untuk biaya hidup, saya harus berusaha sendiri,'' ujarnya.
Semangat itu terus dipertahankan dan sekolah harus tetap jalan. ''Menuntut pendidikan di MTs adalah amanah almarhum ayah. Alhamdulillah, tahun 1993, saya lulus MTs, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Ponpes Ribathul Khail, sampai akhirnya tamat tahun 1996,'' ujarnya.
Kendati mendapat keringanan dari pengasuh pondok pesantren, Asrin tetap ingin mandiri. Di sela-sela kesibukannya menuntut ilmu, ia pun harus membiayai dirinya sendiri. Ia tak mau selamanya bergantung pada orang lain. Dengan kemampuannya berceramah (pidato), ia berhasil menghidupi dirinya.
Asrin beruntung, kehidupan di pesantren memberikannya ketenangan hidup untuk belajar Islam lebih mendalam. Apalagi, di Pesantren Ribtahul Khail Timbau Tenggarong yang mengajarkan para santrinya mandiri, membuat Asrin makin kuat dalam menghadapi berbagai ujian dan rintangan.
Setelah lulus dari aliyah di pesantren inilah, Asrin kembali banyak bersentuhan dengan saudara-saudaranya warga Dayak Benuaq, di Desa Dasaq. ''Awalnya mereka sangat antipati terhadap Islam. Mereka memandang Islam sebagai agama yang memisahkan anggota keluarga mereka,'' terang Alumnus Fakultas Agama Islam, Unikarta ini.
Agama toleran
Dalam pandangan orang Dayak, orang Islam itu menjadi penyebab hilangnya kebersamaan dan persatuan anggota keluarga dayak. Sebab, begitu salah seorang anggota keluarganya memeluk Islam, mereka akan kesulitan berhubungan lagi.
''Sebab, dalam agama Islam, babi itu kan diharamkan. Sementara, banyak orang Dayak yang memelihara babi. Nah, karena suka makan babi, orang Dayak itu lalu dianggap najis. Dan, karena berbeda agama, mereka adalah kafir,'' ungkap Asrin atas pandangan orang Dayak tentang Islam.
Secara perlahan, Asrin pun menyampaikan nilai-nilai Islam sesuai dengan apa yang telah didapatkannya selama menuntut ilmu di pesantren. Asrin menyampaikan bahwa Islam tidak seperti yang mereka gambarkan. ''Islam itu justru cinta kebersamaan, saling menghargai, dan menghormati. Kendati berbeda agama, Islam menghormati perbedaan itu,'' kata Asrin kepada para warga Dayak dan anggota keluarganya yang masih menganut agama terdahulu.
Dan itu, lanjutnya, yang ia tunjukkan pada komunitas Dayak saat dirinya berada di kampung halaman. ''Saya datang pada setiap hajatan mereka. Namun, saya harus menjaga keyakinan saya. Saya tidak secara frontal menyinggung perasaan mereka yang berbeda keyakinan,'' ujarnya.
Dengan pendekatan yang baik, akhirnya Islam bisa diterima beberapa warga Dayak. ''Alhamdulillah, mereka tertarik dan ada sebagian yang masuk Islam. Saat ini, sekitar 50 orang warga Dayak di desa Dasaq, Muara Pahu, Kutai Barat, telah memilih Islam. Kami pun bergotong-royong membangun mushala untuk kegiatan ibadah,'' terang staf pengajar Fakultas Agama Islam, di Unikarta, Tenggarong.
Kini, Asrin harus terus berjuang mengajak saudara-saudaranya untuk memeluk Islam. Dengan pendidikan yang telah ditempuhnya, ia senantiasa berdakwah pada komunitasnya, membimbing serta menyeru warganya untuk menuju jalan yang lurus, yaitu agama Islam. -syahruddin el-fikri/taq
BIODATA :
Nama : H Asrin Surianto SAg
TTL : Dasaq, 7 September 1974
Suku : Dayak Benuaq
Nama Ayah : Gamas
Ibu : Fati
Kampung Asal : Desa Dasaq Kecamatan Muara Pahu Kabupaten Kutai Barat Kaltim
Agama Asal : Kristen Protestan/Animisme
Data Pendidikan
SDN 012 Dasaq lulus 1987
MTs PPKP Ribathul Khail Timbau Tenggarong 1993
MA PPKP Ribathul Khail Timbau Tenggarong 1996
Fakultas Agama Islam Jurusan Dakwah lulus 2001
Pengalaman Jabatan/Pekerjaan
Fungsional :
- Dosen Pengajar Fakultas Agama Islam Unikarta 2001 - sekarang
- Pembantu Dekan III Fak. Agama Islam Unikarta 2002 - 2004
- Pembantu Dekan II Fak. Agama Islam Unikarta 2004 - 2008
- Pembantu Dekan III Fak. Agama Islam Unikarta 2008 - sekarang
Struktural :
- Kepala KUA Kec. Kembang Janggut Depag Kukar 2004 - 2006
- Penyuluh Agama Islam Trampil Depag Kukar 2006 - sekarang
http://www.republika.co.id/node/53657
Naoko Kasai Kenal Islam dari Pergaulan
Seorang wartawan asal Jepang, Naoko Kasai, yakin terhadap Islam dan memilih Islam sebagai agamanya setelah dialog panjangnya dengan seorang mahasiswa asal Turki. Awal perkenalan dengan mahasiswa Turki terjadi saat ia berada di Universitas Tokyo. Saat itu ia hanya berbincang-bincang soal biasa.
Hampir setiap minggu mereka bertemu. Pembicaraan pun kian melebar ke hal-hal yang serius, salah satunya masalah agama.
Naluri sebagai wartawan membawa Naoko pada rasa keingintahuan yang kuat pada Islam . Naoko mengatakan, di negerinya sendiri Islam tidak begitu dikenal. Yang ada hanya Shinto sebagai kepercayaan dan Kristen sebagai agama. Itu pun tidak begitu taat dianut masyarakat.
Pada pertemuannya dengan mahasiswa Turki, Naoko meminta agar dirinya diceritakan banyak mengenai Islam yang sesungguhnya. Sebab, Naoko mengaku, dia dan kaum muda Jepang lainnya, sangat menggandrungi kebudayaan Amerika. Dari kebudayaan Amerika yang merasuk pada berbagai sektor kehidupan, tersebar informasi yang mengatakan bahwa agama Islam adalah agama kaum teroris dan masyarakat yang terbelakang.
Mahasiswa Turki itu bercerita tentang Tuhan, yang oleh umat Islam disebut Allah, dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, serta pokok-pokok ajaran Islam lainnya. "Apakah benar Tuhan itu ada?" tanya Naoko menggebu-gebu.
Mahasiswa Turki itu menjawab, "Tuhan itu ada." ungkap mahasiswa itu bernada meyakinkan. Sebagai seorang muslim, melaksanakan ibadah shalat menjadi kewajiban di mana pun sedang berada. Melalui mahasiswa Turki itu juga pandangan tentang Islam diluruskan.
Tertarik Kepada Islam
Cerita mahasiswa Turki itu membuat Naoko makin tertarik. Informasi mengenai agama lain pun kurang beredar, dan yang selalu mereka dengungkan adalah belajar, belajar, dan bekerja. Naoko kian teguh mempelajari Islam. Agama bukanlah hal yang pokok, ungkapnya.
Shinto, sebagai agama yang dianutnya sejak lahir, hanya sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jepang yang dijadikan kepercayaan negara. Oleh sebagian kaum tua Jepang, kepercayaan Shinto masih tetap hidup. Misalnya, ketika panen melimpah, mereka melakukan upacara untuk mengucapkan terima kasih pada Dewa Inori (dewa pertanian). Tapi kini, kepercayaan Shinto sudah dianggap kuno dan tergusur oleh kemajuan zaman.
Islam yang dituturkan oleh sahabat Turki-nya itu, telah menimbuikan rasa simpati dalam diri Naoko. Naoko kagum dan terkejut. Ia mengatakan Islam sudah mendunia (dianut oleh masyarakat dunia) dan Islam berbicara melintasi alam dunia (akhirat). Mulai saat itu dirinya gelisah dan tidak bisa tidur.
Akhirnya Naoko memutuskan untuk mengetahui tentang Islam lebih lanjut. Naoko mendatangi Islamic Center of Japan. Di sana Naoko membaca buku terjemahan dari bahasa Arab mengenai hal-hal yang mendasar dalam Islam, seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Oleh pengurus Islamic Center, Naoko diberi buku-buku secara gratis.
Pergaulannya dengan para pekerja asal Indonesia, yang rata-rata beragama Islam makin meningkatkan keyakinannya pada Islam. Pergaulan Naoko dengan para pekerja Indonesia inilah yang membuatnya mulai tertarik datang ke Indonesia. Naoko ingin tahu masyarakat Islam di Indonesia.
Masuk Islam
Alhamdulillah, taufik dan hidayah Allah itu akhirnya datang juga kepada Naoko. Pada bulan Mei 1997, di sebuah masjid di daerah Jakarta Timur, Naoko mengikrarkan diri menjadi seorang muslimah. Dirinya mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengganti nama menjadi Naoko Nani Kartika Sari.
Perihal keislamannya, sengaja tidak beritahukannya kepada Orang tua. Karena khawatir, informasi mengenai Islam yang negatif masih mempengaruhi keluarga besarnya.
Tapi akhirnya berita keislamannya diberitahu juga pada ibunya. Syukurlah, sikap ibunya tidak seperti yang diduga. Ibunya tidak terpengaruh pada informasi itu.
Setelah menjadi seorang muslimah, Naoko mulai belajar shalat dan ibadah lainnya. Pertama kali shalat, Naoko mengaku merasakan kedamaian dan ketenangan. Islam membuat jiwanya tenang dan damai.
Naoko menikah dengan warga negara Indonesia dan kini tinggal di Indonesia. Dari pernikahannya, Naoko mengakui tidak dapat belajar banyak mengenai Islam dari suaminya. Untuk mendalami ajaran Islam dengan segala aspeknya, Naoko belajar dari ibu angkatnya, Ibu Maini namanya.
Melalui Ibu Maini, Naoko dibimbing untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, shalat tarawih, dan shalat Idul Fitri, dan ibadah-ibadah lainnya. Rasa syukurnya amat besar, walau jauh dari tanah kelahiran.
Pengamalan nilai-nilai ibadah, mendapat bimbingan dari saudara-saudara seiman, membuat dirinya hidup nyaman dan tentram. Lewat pergaulan antarumat manusialah yang membuat mata batin Naoko terbuka dan menemukan Islam sebagai agama./cr1/berbagaisumber/itz
http://www.republika.co.id/node/55783
Hampir setiap minggu mereka bertemu. Pembicaraan pun kian melebar ke hal-hal yang serius, salah satunya masalah agama.
Naluri sebagai wartawan membawa Naoko pada rasa keingintahuan yang kuat pada Islam . Naoko mengatakan, di negerinya sendiri Islam tidak begitu dikenal. Yang ada hanya Shinto sebagai kepercayaan dan Kristen sebagai agama. Itu pun tidak begitu taat dianut masyarakat.
Pada pertemuannya dengan mahasiswa Turki, Naoko meminta agar dirinya diceritakan banyak mengenai Islam yang sesungguhnya. Sebab, Naoko mengaku, dia dan kaum muda Jepang lainnya, sangat menggandrungi kebudayaan Amerika. Dari kebudayaan Amerika yang merasuk pada berbagai sektor kehidupan, tersebar informasi yang mengatakan bahwa agama Islam adalah agama kaum teroris dan masyarakat yang terbelakang.
Mahasiswa Turki itu bercerita tentang Tuhan, yang oleh umat Islam disebut Allah, dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, serta pokok-pokok ajaran Islam lainnya. "Apakah benar Tuhan itu ada?" tanya Naoko menggebu-gebu.
Mahasiswa Turki itu menjawab, "Tuhan itu ada." ungkap mahasiswa itu bernada meyakinkan. Sebagai seorang muslim, melaksanakan ibadah shalat menjadi kewajiban di mana pun sedang berada. Melalui mahasiswa Turki itu juga pandangan tentang Islam diluruskan.
Tertarik Kepada Islam
Cerita mahasiswa Turki itu membuat Naoko makin tertarik. Informasi mengenai agama lain pun kurang beredar, dan yang selalu mereka dengungkan adalah belajar, belajar, dan bekerja. Naoko kian teguh mempelajari Islam. Agama bukanlah hal yang pokok, ungkapnya.
Shinto, sebagai agama yang dianutnya sejak lahir, hanya sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jepang yang dijadikan kepercayaan negara. Oleh sebagian kaum tua Jepang, kepercayaan Shinto masih tetap hidup. Misalnya, ketika panen melimpah, mereka melakukan upacara untuk mengucapkan terima kasih pada Dewa Inori (dewa pertanian). Tapi kini, kepercayaan Shinto sudah dianggap kuno dan tergusur oleh kemajuan zaman.
Islam yang dituturkan oleh sahabat Turki-nya itu, telah menimbuikan rasa simpati dalam diri Naoko. Naoko kagum dan terkejut. Ia mengatakan Islam sudah mendunia (dianut oleh masyarakat dunia) dan Islam berbicara melintasi alam dunia (akhirat). Mulai saat itu dirinya gelisah dan tidak bisa tidur.
Akhirnya Naoko memutuskan untuk mengetahui tentang Islam lebih lanjut. Naoko mendatangi Islamic Center of Japan. Di sana Naoko membaca buku terjemahan dari bahasa Arab mengenai hal-hal yang mendasar dalam Islam, seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Oleh pengurus Islamic Center, Naoko diberi buku-buku secara gratis.
Pergaulannya dengan para pekerja asal Indonesia, yang rata-rata beragama Islam makin meningkatkan keyakinannya pada Islam. Pergaulan Naoko dengan para pekerja Indonesia inilah yang membuatnya mulai tertarik datang ke Indonesia. Naoko ingin tahu masyarakat Islam di Indonesia.
Masuk Islam
Alhamdulillah, taufik dan hidayah Allah itu akhirnya datang juga kepada Naoko. Pada bulan Mei 1997, di sebuah masjid di daerah Jakarta Timur, Naoko mengikrarkan diri menjadi seorang muslimah. Dirinya mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengganti nama menjadi Naoko Nani Kartika Sari.
Perihal keislamannya, sengaja tidak beritahukannya kepada Orang tua. Karena khawatir, informasi mengenai Islam yang negatif masih mempengaruhi keluarga besarnya.
Tapi akhirnya berita keislamannya diberitahu juga pada ibunya. Syukurlah, sikap ibunya tidak seperti yang diduga. Ibunya tidak terpengaruh pada informasi itu.
Setelah menjadi seorang muslimah, Naoko mulai belajar shalat dan ibadah lainnya. Pertama kali shalat, Naoko mengaku merasakan kedamaian dan ketenangan. Islam membuat jiwanya tenang dan damai.
Naoko menikah dengan warga negara Indonesia dan kini tinggal di Indonesia. Dari pernikahannya, Naoko mengakui tidak dapat belajar banyak mengenai Islam dari suaminya. Untuk mendalami ajaran Islam dengan segala aspeknya, Naoko belajar dari ibu angkatnya, Ibu Maini namanya.
Melalui Ibu Maini, Naoko dibimbing untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, shalat tarawih, dan shalat Idul Fitri, dan ibadah-ibadah lainnya. Rasa syukurnya amat besar, walau jauh dari tanah kelahiran.
Pengamalan nilai-nilai ibadah, mendapat bimbingan dari saudara-saudara seiman, membuat dirinya hidup nyaman dan tentram. Lewat pergaulan antarumat manusialah yang membuat mata batin Naoko terbuka dan menemukan Islam sebagai agama./cr1/berbagaisumber/itz
http://www.republika.co.id/node/55783
Nourdeen Wildeman: Islam Agama Rasional
Nourdeen Wildeman, 26 tahun, adalah warga Belanda yang "resmi" masuk Islam pada 9 Desember 2007. Meskipun baru menjadi mualaf, ia telah aktif dalam dakwah Islam. Saat ini, ia sedang mempersiapkan peluncuran program dakwah yang sedang berlangsung dengan tema, "Temukan masjid yang menyajikan terbaik buat Anda."
Program tersebut bertujuan untuk mendata profil masjid-masjid di Belanda. Lewat program ini, diharapkan setiap Muslim dapat mengetahui segala hal tentang masjid; semua informasi yang berkenaan dengan setiap masjid.
Program ini menyajikan secara lengkap profil setiap masjid, seperti latar belakang etnisnya, alamat, kode pos, nomor telepon, alamat e-mail, gambar masjid, bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat, toko buku, kapasitas muat masjid untuk laki-laki dan perempuan, ketersediaan kamar mandi dan tempat wudlu baik untuk laki-laki atau perempuan, dan tak ketinggalan beberapa kondisi umum, seperti bangunan tua, tidak ada parkir, pelajaran khusus, kelengkapan, dan juga jadwal shalat sesuai dengan lokasi tertentu.
Awal Mengenal Islam
Nourdeen mengaku tidak tahu kapan persisnya ia benar-benar menjadi seorang Muslim. Perkenalannya dengan Islam dimulai empat atau lima tahun sebelum ia resmi mengucapakan dua kalimat syahadat. Semua dimulai dari keingintahuannya tentang Islam yang waktu itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan di media Eropa, pasca tragedi 11 September.
"Buku pertama yang saya baca tentang Islam sangat akademis dan sangat sulit dipahami. Karenanya saya memutuskan untuk mencari buku lain agar saya dapat lebih mudah memahami Islam, dan saya tetap membaca dan lebih banyak lagi," kenang Nourdeen.
"Setelah membaca banyak buku, saya menemukan bahwa Islam tidak seperti anggapan saya selama ini. Justru banyak ajaran Islam yang sesuai dengan apa yang saya percayai secara natural," tambahnya.
Menurut Nourdeen, Sebagian besar pencitraan media terhadap Islam sepenuhnya salah. Anggapan media Barat bahwa Islam adalah agama penindas hak perempuan merupakan kekeliruan besar. Islam juga bukan agama kekerasan dan teroris. Baginya, Islam bukan hanya agama damai namun juga agama yang menghormati akal.
"Saya menemukan Islam sebagai agama yang sangat rasional. Agama yang mendukung ilmu pengetahuan. Ia mendorong manusia untuk memahami dan menafakkuri segala sesuatu di sekitarnya. Sebuah agama yang mengajak umatnya untuk berfikir kritis," paparnya.
"Sebelum mendalami Islam, saya selalu berpikir bahwa menjadi seorang atheist mungkin lebih mudah dan enak, saya bisa bebas melakukan apa pun yang saya inginkan, namun hati kecil saya selalu mengkritik gaya hidup seperti itu, dan akhirnya saya mencapai kesadaran tentang Tuhan. Inilah kebenaran yang saya rasakan dalam Alquran dan hadis," akunya.
Respons Keluarga dan Lingkungan
Nourdeen lahir dan besar dalam keluarga dengan multikepercayaan, ayahnya seorang atheist, sementara ibunya penganut agamanya Kristen Protestan. Keputusannya untuk menjadi mualaf tidak mendapat penentangan yang berarti dari keluarganya.
Keinginan Nourdeen untuk menjadi Muslim memang tidak langsung ia ceritakan kepada kedua orangtuanya. Nourdeen hanya beruhasa memancing reaksi mereka dengan bertanya kepada mereka jika ia beralih ke agama lain seperti Islam, mereka menyatakan bahwa itu adalah pilihan hidupmu, selama tidak mengganggu siapa pun, ia bebas menentukannya.
Meskipun begitu ibu Nourdeen sempat menasihatinya bahwa menjadi Kristen itu lebih mudah. Nourdeen pun menjawab, "saya tidak sedang mencari agama yang paling mudah, tetapi palaing benar."
Berbeda dengan ibunya, ayahnya justru memberi dukungan penuh kepada keputusannya tersebut. "Saya sangat bahagiaakarena ayah bersedia mendampingi saya di saat saya mengucapkan dua kalimat syahadat, dan ini terekam oleh kamera video. Ia mendukung saya karena saya merupakan bagian dari dia, dan Islam akan menjadi bagian dari saya, maka dia akan menerima saya dengan keislaman saya," papar Nourdeen.
Kebebasan yang diberikan keluarganya ini diakui Nourdeen sebagai anugrah besar. Karena menurutnya, tak sedikit teman-teman mualaf yang menghadapi masalah yang cukup serius akibat dari penentangan pihak keluarga.
"Kenyataannya, memang banyak dari mualaf yang menghadapi masalah keluarga ketika mereka menyatakan diri sebagai Muslim. Rata-rata yang mengahadapi problem seperti ini adalah perempuan," ujarnya.
"Saya sangat menghormati perempuan di negara ini yang menjadi mualaf, karena kondisi yang mereka hadapi lebih sulit, belum lagi problem pakaian yang mereka kenakan. Bahkan ada yang diusir dari rumah mereka dan keluarga mereka tidak mau menerima mereka lagi. Karenanya, saya sangat beruntung, alhamdulillah, dengan keluarga saya.
Respons positif pun Nourdeen dapatkan dari atasan kerjanya. Setelah resmi menjadi Muslim, Nourdeen kemudian mengirim e-mail kepada atasannya untuk memberitahu atasanya tersebut bahwa ia telah menjadi seorang Muslim.
"Namun, alhamdulillah, saya tidak kena damprat. Justru saya mendapat bonus pada akhir tahun berdasarkan evaluasi kerja saya. Atasan saya mengatakan bahwa di samping saya memeliki kinerja yang baik, saya juga mampu membuat pilihan yang sulit ketika saya memilih menjadi seorang Muslim. Dia mengatakan bahwa saya memiliki keberanian untuk mengambil pilihan yang sulit di samping saya mampu bekerja dengan baik," paparnya.
Mendalami Islam
Setelah resmi masuk Islam, Nourdeen masih terus bersemangat dalam mempelajari Islam. Ia juga sering berdiskusi dengan umat Islam yang lebih senior, namun kegemarannya melahap buku-buku Islam justu menjadikannya lebih banyak tahu tentang Islam dibanding mereka.
"Saya membaca buku karangan Tariq Ramadan berjudul In the Footsteps of the Prophet (Jejak-jejak Nabi). Buku ini banyak membantu saya sebagai Muslim Eropa karena ditulis dengan cara yang cocok bagi orang Barat. Metode Arab dalam penulisan cerita berbeda dengan metode Barat, tetapi Tariq Ramadan mampu menyampaikan pesannya dengan menggunakan pendekatan Barat," ujar Nourdeen.
"Saat ini, saya juga mempelajari Alquran di Dar al-'Ilm di Belanda. Tempat ini menyediakan kajian Alquran secara menyeluruh dari A hingga Z berdasarkan Tafsir Ibnu Kathir," imbuhnya.
Menanggapi perkembangan isu keislaman dan perbedaan kultur dan kondisi antara Barat dan Timur, Nourdeen mengatakan bahwa beberapa fatwa yang dikeluarkan di banyak negara-negara Muslim tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan di negara-negara Muslim minoritas. Beberapa modifikasi harus dilakukan agar sesuai dengan kondisi Barat.-taq
http://www.republika.co.id/node/57297
Program tersebut bertujuan untuk mendata profil masjid-masjid di Belanda. Lewat program ini, diharapkan setiap Muslim dapat mengetahui segala hal tentang masjid; semua informasi yang berkenaan dengan setiap masjid.
Program ini menyajikan secara lengkap profil setiap masjid, seperti latar belakang etnisnya, alamat, kode pos, nomor telepon, alamat e-mail, gambar masjid, bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat, toko buku, kapasitas muat masjid untuk laki-laki dan perempuan, ketersediaan kamar mandi dan tempat wudlu baik untuk laki-laki atau perempuan, dan tak ketinggalan beberapa kondisi umum, seperti bangunan tua, tidak ada parkir, pelajaran khusus, kelengkapan, dan juga jadwal shalat sesuai dengan lokasi tertentu.
Awal Mengenal Islam
Nourdeen mengaku tidak tahu kapan persisnya ia benar-benar menjadi seorang Muslim. Perkenalannya dengan Islam dimulai empat atau lima tahun sebelum ia resmi mengucapakan dua kalimat syahadat. Semua dimulai dari keingintahuannya tentang Islam yang waktu itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan di media Eropa, pasca tragedi 11 September.
"Buku pertama yang saya baca tentang Islam sangat akademis dan sangat sulit dipahami. Karenanya saya memutuskan untuk mencari buku lain agar saya dapat lebih mudah memahami Islam, dan saya tetap membaca dan lebih banyak lagi," kenang Nourdeen.
"Setelah membaca banyak buku, saya menemukan bahwa Islam tidak seperti anggapan saya selama ini. Justru banyak ajaran Islam yang sesuai dengan apa yang saya percayai secara natural," tambahnya.
Menurut Nourdeen, Sebagian besar pencitraan media terhadap Islam sepenuhnya salah. Anggapan media Barat bahwa Islam adalah agama penindas hak perempuan merupakan kekeliruan besar. Islam juga bukan agama kekerasan dan teroris. Baginya, Islam bukan hanya agama damai namun juga agama yang menghormati akal.
"Saya menemukan Islam sebagai agama yang sangat rasional. Agama yang mendukung ilmu pengetahuan. Ia mendorong manusia untuk memahami dan menafakkuri segala sesuatu di sekitarnya. Sebuah agama yang mengajak umatnya untuk berfikir kritis," paparnya.
"Sebelum mendalami Islam, saya selalu berpikir bahwa menjadi seorang atheist mungkin lebih mudah dan enak, saya bisa bebas melakukan apa pun yang saya inginkan, namun hati kecil saya selalu mengkritik gaya hidup seperti itu, dan akhirnya saya mencapai kesadaran tentang Tuhan. Inilah kebenaran yang saya rasakan dalam Alquran dan hadis," akunya.
Respons Keluarga dan Lingkungan
Nourdeen lahir dan besar dalam keluarga dengan multikepercayaan, ayahnya seorang atheist, sementara ibunya penganut agamanya Kristen Protestan. Keputusannya untuk menjadi mualaf tidak mendapat penentangan yang berarti dari keluarganya.
Keinginan Nourdeen untuk menjadi Muslim memang tidak langsung ia ceritakan kepada kedua orangtuanya. Nourdeen hanya beruhasa memancing reaksi mereka dengan bertanya kepada mereka jika ia beralih ke agama lain seperti Islam, mereka menyatakan bahwa itu adalah pilihan hidupmu, selama tidak mengganggu siapa pun, ia bebas menentukannya.
Meskipun begitu ibu Nourdeen sempat menasihatinya bahwa menjadi Kristen itu lebih mudah. Nourdeen pun menjawab, "saya tidak sedang mencari agama yang paling mudah, tetapi palaing benar."
Berbeda dengan ibunya, ayahnya justru memberi dukungan penuh kepada keputusannya tersebut. "Saya sangat bahagiaakarena ayah bersedia mendampingi saya di saat saya mengucapkan dua kalimat syahadat, dan ini terekam oleh kamera video. Ia mendukung saya karena saya merupakan bagian dari dia, dan Islam akan menjadi bagian dari saya, maka dia akan menerima saya dengan keislaman saya," papar Nourdeen.
Kebebasan yang diberikan keluarganya ini diakui Nourdeen sebagai anugrah besar. Karena menurutnya, tak sedikit teman-teman mualaf yang menghadapi masalah yang cukup serius akibat dari penentangan pihak keluarga.
"Kenyataannya, memang banyak dari mualaf yang menghadapi masalah keluarga ketika mereka menyatakan diri sebagai Muslim. Rata-rata yang mengahadapi problem seperti ini adalah perempuan," ujarnya.
"Saya sangat menghormati perempuan di negara ini yang menjadi mualaf, karena kondisi yang mereka hadapi lebih sulit, belum lagi problem pakaian yang mereka kenakan. Bahkan ada yang diusir dari rumah mereka dan keluarga mereka tidak mau menerima mereka lagi. Karenanya, saya sangat beruntung, alhamdulillah, dengan keluarga saya.
Respons positif pun Nourdeen dapatkan dari atasan kerjanya. Setelah resmi menjadi Muslim, Nourdeen kemudian mengirim e-mail kepada atasannya untuk memberitahu atasanya tersebut bahwa ia telah menjadi seorang Muslim.
"Namun, alhamdulillah, saya tidak kena damprat. Justru saya mendapat bonus pada akhir tahun berdasarkan evaluasi kerja saya. Atasan saya mengatakan bahwa di samping saya memeliki kinerja yang baik, saya juga mampu membuat pilihan yang sulit ketika saya memilih menjadi seorang Muslim. Dia mengatakan bahwa saya memiliki keberanian untuk mengambil pilihan yang sulit di samping saya mampu bekerja dengan baik," paparnya.
Mendalami Islam
Setelah resmi masuk Islam, Nourdeen masih terus bersemangat dalam mempelajari Islam. Ia juga sering berdiskusi dengan umat Islam yang lebih senior, namun kegemarannya melahap buku-buku Islam justu menjadikannya lebih banyak tahu tentang Islam dibanding mereka.
"Saya membaca buku karangan Tariq Ramadan berjudul In the Footsteps of the Prophet (Jejak-jejak Nabi). Buku ini banyak membantu saya sebagai Muslim Eropa karena ditulis dengan cara yang cocok bagi orang Barat. Metode Arab dalam penulisan cerita berbeda dengan metode Barat, tetapi Tariq Ramadan mampu menyampaikan pesannya dengan menggunakan pendekatan Barat," ujar Nourdeen.
"Saat ini, saya juga mempelajari Alquran di Dar al-'Ilm di Belanda. Tempat ini menyediakan kajian Alquran secara menyeluruh dari A hingga Z berdasarkan Tafsir Ibnu Kathir," imbuhnya.
Menanggapi perkembangan isu keislaman dan perbedaan kultur dan kondisi antara Barat dan Timur, Nourdeen mengatakan bahwa beberapa fatwa yang dikeluarkan di banyak negara-negara Muslim tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan di negara-negara Muslim minoritas. Beberapa modifikasi harus dilakukan agar sesuai dengan kondisi Barat.-taq
http://www.republika.co.id/node/57297
Karima: Pemikiran dan Intuisi Terdalam Tak Terpisah
Wanita berusia 39 tahun itu mengucap syahadah pada 20 September 1991 silam. Jika orang lain memberitahunya 5 tahun sebelum itu agar memeluk islam, ia tidak akan pernah percaya. Sungguh menurut pengakuan Karima Slack Razi, bimbingan Allah begitu halus namun konsisten, hingga kini ia melihat seluruh hidupnya menuju momen tersebut.
Ia mengaku sulit untuk meringkas faktor pasti yang membawa ke Islam, karena itu sebuah perjalanan, proses yang berlangsung tiga tahun. Tiga tahun tersebut baginya sangat luar biasa menggembirakan sekaligus melelahkan.
Presepsi Karima atas dirinya dan dunia berubah dramatis. Beberapa keyakinan tervalidasi, yang lain lenyap. Ada beberapa saat ia takut kehilangan diri sendiri, di lain waktu ia tahu jalan ini adalah takdirnya dan ia menerimanya. Melalui tahun-tahun tersebut, serangkaian aspek Islam begitu menggelitik Karima. Perlahan dan bertahap, pembelajaran wanita mengarahkan menuju hari dimana ia mengikrarkan keimanan, syahadah.
Sebelum perkenalan dengan Islam, ia sendiri menyadari memiliki kekurangan dan perlu kebutuhan spiritual lebih di dalam hidup. Namun, sebelumnya tidak ada yang terlihat dapat diterima dan dapat ia raih.
Karima dibesarkan oleh orang tua sebagai sekular yang humanis. Moral adalah utama namun tidak diembel-embeli spritual atau keberadaan Tuhan.
Agama dominan di negaranya, Kristen, terlihat membebani seseorang terlalu banyak dosa. Ia sendiri mengaku tidak begitu akrab dengan agama lain. Namun ia bisa katakan, ia merasakan ada kekosongan spiritual.
Ia mengawali perjalanan spiritual dengan belajar berbagai agama secara mendalam. Hanya saja Karima mengaku terlalu nyaman dengan hidupnya kala itu. Ia berasal dari keluarga yang mendukung dan penuh cinta dan juga memiliki teman-teman menarik yang senantiasa mendorong maju.
Secara keseluruhan Karima boleh dibilang menikmati kuliah di universitas dan sukses dalam studi. Di sanalah kesempatan bertemu berbagai macam muslim yang mengawali studinya tentang Islam.
Sharif adalah Muslim pertama yang menggelitik wanita tersebut. Ia seorang pria paruh baya yang bekerja di program tutorial untuk sikap afirmatif yang baru ia masuki. Ia menerangkan meski gaji yang ia peroleh sedikit, kesenangan yang ia dapat dari mengajar para siswa merupakan honor yang ia butuhkan.
Ia berbicara pelan dan tulus. Kebahagiannya yang tertangkap oleh Karima, terasa lebih dari kata-kata. Saat itu adalah 1987.
Ketika Karima mulai bertemu lebih banyak Muslim, ia disergap tidak hanya oleh kedamaian dari dalam, namun juga kekuatan keyakinan mereka. Jiwa-jiwa lembut itu, menurut penuturan Karima kontras dengan kekerasan, citra gender yang sering ia presepsikan tentang Islam.
Lalu ia bertemu Imran, teman Muslim adik lelakinya, yang ia sadari segera adalah tipe pria yang ingin ia nikahi. Ia cerdas, sopan, mandiri, dan terlihat damai dengan dirinya sendiri.
Ketika mereka setuju ada potensi menikah, Karima mulai serius mempelajari islami. Awalnya ia tak ingin menjadi Muslim, hanya terdorong untuk mempelajari agamanya karena Imran berkata dengan jelas, jika ia ingin membesarkan anak-anaknya sebagai Muslim.
Respon Karima saat itu adalah, "Jika mereka menjadi selemah lembut dirimu, dan anak-anak yang tenang maka saya tidak masalah dengan itu. Namun saya merasa perlu belajar Islam terlebih dulu,"
Sebagai retropeksi, Karima menyadari tertarik dengan ketenangan dari dalam diri Imran karena ia merasakan kurang memiliki ketenangan dan kedamaian dari dalam. Ada rongga di dalam yang tidak sepenuhnya terpuaskan dengan kesuksesan akademi dan hubungan antar manusia.
Namun di titik itu Karima tidak pernah terlintas tertarik Islam. Ia cenderung melihat sebagai pengejaran intelektual. Presepsi itu sangat pas dengan kehidupan akademiknya yang serba terkontrol.
Bacaan awalan Karima berputar tentang wanita di Islam karena ia menyebut dirinya feminis. Ia berpikir Islam menindas wanita. Di dalam studi Kajian Wanita, Karima telah mendengar wanita Muslim yang tidak diijinkan meninggalkan rumah dan dipaksa untuk menutupi kepala.
Tentu saja Karima melihat jilbab saat itu sebagai alat pria untuk menindas ketimbang ekspresi penghormatan terhadap diri sendiri dan harga diri. Apa yang Karima temukan dalam bacaan ternyata mengejutkannya.
Islam tidak menindas wanita, namun sebaliknya membebaskan mereka, memberi mereka hak bahkan di abad ke-6 lalu, hak yang kita peroleh di aban ini, hak untuk memiliki properti, hak untuk memiliki properti dan kesejahteraan dan menjaganya atas namanya setelah menikah, hak untuk memilih, dan hak untuk bercerai.
Penyadaran atas itu tidak dengan mudah datang...ia bersikeras di setiap langkah. Namun di sana selalu ada jawaban atas pertanyaanya. Mengapa ada poligami? Itu hanya diijinkan ketika seorang pria mampu memperlakukan keempat istrinya dengan adil, bahkan itu pun tak dianjurkan.
Hanya saja itu diijinkan--saat itu dalam sejarah--ketika ada lebih banyak wanita dari pria, terutama saat perang, dan sehingga wanita tidak sampai tertutup kemungkinan berhubungan dan memiliki anak. Itu hanyalah satu dari beberapa banyak pertanyaan yang membutktikan jika wanita di Islam diberi hak penuh sebagai individu dalam masyarakat.
Tapi semua penemuan itu tak lantas menghapus ketakutannya. Tahun berikut adalah perubahan emosional yang sangat intens. Setelah menyelesaikan kuliah master Kajian Amerika Latin pada musim panas 1989, Karima memutuskan mengambil satu tahun sebagai dosen pengganti.
Itu memungkinkan dirinya menghabiskan waktu untuk mempelajari Islam. Banyak hal yang i baca tentang Islam masuk di akal, meski saat itu tidak cocok terhadap pandangan pribadinya tentang dunia.
Karima selalu menganggap agama sekedar penopang kecil dan kompensasi pelarian.
"Namun itukah kebenaran sesungguhnya? Sebab sering kali agama memicu penindasan dan perang, lalu bagaimana ia bisa melihat diri saya menikah dengan pria yang mengikuti satu agama terbesar di dunia?", tutur Karima mengungkapkan kegelisahannya.
Setiap minggu ia selalu ditohok dengan cerita baru di berita, radio atau koran tentang penindasan terhadap wanita Muslim. Dapatkah saya menerima itu, seorang feminis mempertimbangkan menikah dalam masyarakat semacam itu?
Ia berkernyit. Orang-orang berbicara tentangnya dengan nada cemas di belakang. Hanya dalam beberapa bulan, dunia aman Karima selama 24 tahun berubah naik turun. Ia tak lagi merasa tahu mana yang benar, mana yang salah. Semua yang hitam dan putih menjadi abu-abu.
Namun sesuatu membuat Karima terus berjalan, dan itu lebih dari sekedar keinginan untuk menikahi Imran. Setiap waktu, ia mengaku dapat saya meninggalkan studinya tentang Islam dan diterima kembali di lingkaran feminis, teman-teman sosialis, dan di tangan-tangan penuh cinta keluarganya.
Ketika orang-orang tersebut tidak pernah meninggalkan Karima, mereka menghantuinya dengan pengaruh. Ia pun khawatir dengan apa yang akan mereka utarakan atau pikirkan, terutama sejak ia selalu menilai dirinya melalui pandangan mata mereka. Karima menutup diri. Ia berbicara hanya dengan keluarga dan orang-orang yang ia tahu tidak akan menghakimi dirinya. Dan ia terus membaca.
Saati itu ia mengaku tidak lagi soal tertarik atau tidak tertarik dengan kajian Islam, melainkan sedang berjuang dengan identitas sendiri. Hingga ia membuat banyak tulisan riset sukses. Karima, sebagai mahasiswa cerdas, tahu bagaimana melakukan penelitian dan mendukung thesis.
Namun ia merasa karakternya tidak pernah dipertaruhkan. Untuk pertama kali, ia sadar jika ia selalu menulis untuk menyenangkan orang lain.
Kini Karima mulai menulis untuk keinginan dan dorongan spirit saya. Itu menakutkan. Meski ia tahu pasti keluarga dan teman-teman mencintainya, mereka tidak dapat memberi jawaban. Ia tidak lagi menginginkan mencari dukungan mereka.
Imran sebaliknya, selalu ada untuk menjawab pertanyaanya. Karima mengaggumi kesabaran dan keyakinannya yakni semua akan berubah menjadi yang terbaik. Tapi ia tidak ingin pula menggantungkan kepadanya karena takut, ia mungkin melakukan ini untuk pria bukan untuk dirinya sendiri.
Saat itu Karima mengaku merasa tidak memiliki apa-apa dan tak ada satupun untuk bergantung. Sendiri, takut dan dipenuhi keraguan diri, ia tetap membaca.
Setelah keingintahuannya terhadap wanita Islam terpuaskan ia dikejutkan dengan hasil, mulai membaca kehidupan Nabi Muhammad, dan membaca Al Qur'an.
Ketika membaca ia mulai mempertanyakan keyakin awal jika Nabi Muhammad adalah semata-mata pemimpin, ternyata ia lebih dari itu. Bahkan di puncak suksesnya ketika ia bisa saja menikmati kesejahteraan melimpah, ia menolak memiliki lebih dari sahabatnya yang termiskin di Islam.
Secara perlahan Karima membaca Al Qur'an lebih dalam, dan bertanya, "Dapatkah manusia mampu sedemikian halus hanya dengan membaca buku? Lebih jauh tentu ada alat untuk membimbing Nabi seperti ia membimbing manusia. Tidak mungkin Nabi membimbing dirinya sendiri,"
Semakin jauh, ia tidak lagi merasakan membaca Al Qur'an sebagai aktivitas intelektual melainkan lebih dan lebih pergulatan pribadi. Ada saat dimana ia mengaku menolak semua kata dan menemukan satu cara untuk mengutuknya.
Namun ketika Karima masuk ke sebuah ayat, kata-kata didalamnya terasa berbicara langsung pada saya. ".Allah tidak akan membebani manusia lebih dari kemampuannya (QS 2:286)"
"Inilah awal saya mulai mengalami perubahan dan keraguan dari dalam. Meski saya masih belum percaya Allah saat itu, tapi saya merasa beban saya terangkat," akunya.
Karima terus menyimpan ketakutan ketika belajar islam. Akankah ia masih dekat dengan keluarga ketika menjadi Muslim? Akankah ia berakhir dalam pernikahan penuh penindasan? Akankah ia masih punya "pikiran terbuka"?
Ia meyakini humanisme sekuler adalah pendekatan paling "berpikiran-terbuka". Secara perlahan ia menyadari humanisme sekuler lebih kepada ideologi, dogma pula, sebagaimana Islam.
"Saya menyadari pula setiap orang memiliki ideologinya sendiri, dan saya secara sadar harus memilih untuk diri sendiri. Saya merasa harus mempercayai intelektual saya sendiri, dan membuat keputusan dengan reaksi negatif yang harus saya pikul dari teman-teman 'progresif' dan 'pikiran-terbuka' saya," papar Karima panjang lebar.
Dalam masa itu, Ia mulai menyimpan segala sesuatu dalam diri, ia menjadi bebas secara intelektual dibanding kapan pun dalam hidup.
Dua setengah tahun kemudian, ia selesai membaca Al Qur'an, dan sangat gembira dengan deskripsi alamiah dan sering kali diyakinkan oleh kebijaksanaan di dalamnya.
Ia mempelajari kehidupan Nabi Muhammad dan puas dengan kesadaran bahwa Islam memahami jika pria dan wanita berbeda namun seimbang.
Karima juga menemukan jika Islam memberi keseimbangan murni tidak hanya pada pria dan wanita, tetapi seluruh ras dan kelas sosial, dan dinilai berdasar tingkat ketakwaan. Dan ia pun mulai memperoleh kepercayaan diri terhadap diri dan keputusannya.
Hingga saya tiba pada pertanyaan kritis terakhir: Apakah saya percaya pada satu Tuhan? Ini adalah dasar menjadi Muslim. Setelah puas memenuhi rasa ingin tahu atas aturan dan sejarah terkait Islam, saya akhirnya sampai pada pertanyaan penting itu, esenis menjadi seorang Muslim.
"Apakah saya...benar-benar menempatkan kepercayaan terhadap keberdaan lebih tinggi? Dapatkah saya menghapus pendekatan humanis sekuler dalam hidup?" ungkap Karima menuturkan pemikiraannya saat itu.
"Dua kali saya memutuskan untuk mengucapkan syahadat dan lalu berganti pikiran keesokan hari," ujar Karima lagi.
Satu siang, ia bahkan bersujud dan menempelkan kening ke lantai, seperti Muslim lakukan yang ia sering lihat, dan ia meminta bimbingan.
Ia mengaku damai dalam posisi itu. "Mungkin saat itu saya seorang Muslim di dalam hati, namun ketika berdiri, pikiran saya tidak siap untuk secara resmi mengucap syahadat," tuturnya.
Setelah peristiwa tersebut, beberapa minggu berlalu, Ia memulai pekerjaan baru, mengajar sekolah menengah atas.
Hari-hari berjalan sangat cepat, kegiatan mengajar, disiplin dan tugas-tugas untuk dikoreksi.
"Ketika hari saya berjalan begitu cepat, saya tiba-tiba tertohok, saya tak ingin melewati dunia ini tanpa mengikrarkan keyakinan saya terhadap Allah," kata Karima.
Secara intelektual, Ia merasa memahami jika bukti-bukti pada kehidupan Nabi Muhammad dan Al Qur'an terlalu lengkap dan utuh untuk disangkal. Dan saat itu, Karima juga siap di dalam hati untuk Islam.
"Saya telah menghabiskan hidup saya lama untuk mencari kebenaran di mana hati sejalan dengan otak, aksi dengan pikiran, intelektual dengan emosi. Saya temukan realitas itu dalam Islam," ujar Karima
Realitas itu mendatangkan kepercayaan diri sekaligus kebebasan intelektual. Beberapa hari kemudian Karima mengambil ikrar syahadat kedua. Ia menulis dalam jurnal jika akhirnya ia temukan Islam, validasi pemikiran dan intuisi terdalam di dirinya./berbagaisumber/itz
http://www.republika.co.id/node/51799
Ia mengaku sulit untuk meringkas faktor pasti yang membawa ke Islam, karena itu sebuah perjalanan, proses yang berlangsung tiga tahun. Tiga tahun tersebut baginya sangat luar biasa menggembirakan sekaligus melelahkan.
Presepsi Karima atas dirinya dan dunia berubah dramatis. Beberapa keyakinan tervalidasi, yang lain lenyap. Ada beberapa saat ia takut kehilangan diri sendiri, di lain waktu ia tahu jalan ini adalah takdirnya dan ia menerimanya. Melalui tahun-tahun tersebut, serangkaian aspek Islam begitu menggelitik Karima. Perlahan dan bertahap, pembelajaran wanita mengarahkan menuju hari dimana ia mengikrarkan keimanan, syahadah.
Sebelum perkenalan dengan Islam, ia sendiri menyadari memiliki kekurangan dan perlu kebutuhan spiritual lebih di dalam hidup. Namun, sebelumnya tidak ada yang terlihat dapat diterima dan dapat ia raih.
Karima dibesarkan oleh orang tua sebagai sekular yang humanis. Moral adalah utama namun tidak diembel-embeli spritual atau keberadaan Tuhan.
Agama dominan di negaranya, Kristen, terlihat membebani seseorang terlalu banyak dosa. Ia sendiri mengaku tidak begitu akrab dengan agama lain. Namun ia bisa katakan, ia merasakan ada kekosongan spiritual.
Ia mengawali perjalanan spiritual dengan belajar berbagai agama secara mendalam. Hanya saja Karima mengaku terlalu nyaman dengan hidupnya kala itu. Ia berasal dari keluarga yang mendukung dan penuh cinta dan juga memiliki teman-teman menarik yang senantiasa mendorong maju.
Secara keseluruhan Karima boleh dibilang menikmati kuliah di universitas dan sukses dalam studi. Di sanalah kesempatan bertemu berbagai macam muslim yang mengawali studinya tentang Islam.
Sharif adalah Muslim pertama yang menggelitik wanita tersebut. Ia seorang pria paruh baya yang bekerja di program tutorial untuk sikap afirmatif yang baru ia masuki. Ia menerangkan meski gaji yang ia peroleh sedikit, kesenangan yang ia dapat dari mengajar para siswa merupakan honor yang ia butuhkan.
Ia berbicara pelan dan tulus. Kebahagiannya yang tertangkap oleh Karima, terasa lebih dari kata-kata. Saat itu adalah 1987.
Ketika Karima mulai bertemu lebih banyak Muslim, ia disergap tidak hanya oleh kedamaian dari dalam, namun juga kekuatan keyakinan mereka. Jiwa-jiwa lembut itu, menurut penuturan Karima kontras dengan kekerasan, citra gender yang sering ia presepsikan tentang Islam.
Lalu ia bertemu Imran, teman Muslim adik lelakinya, yang ia sadari segera adalah tipe pria yang ingin ia nikahi. Ia cerdas, sopan, mandiri, dan terlihat damai dengan dirinya sendiri.
Ketika mereka setuju ada potensi menikah, Karima mulai serius mempelajari islami. Awalnya ia tak ingin menjadi Muslim, hanya terdorong untuk mempelajari agamanya karena Imran berkata dengan jelas, jika ia ingin membesarkan anak-anaknya sebagai Muslim.
Respon Karima saat itu adalah, "Jika mereka menjadi selemah lembut dirimu, dan anak-anak yang tenang maka saya tidak masalah dengan itu. Namun saya merasa perlu belajar Islam terlebih dulu,"
Sebagai retropeksi, Karima menyadari tertarik dengan ketenangan dari dalam diri Imran karena ia merasakan kurang memiliki ketenangan dan kedamaian dari dalam. Ada rongga di dalam yang tidak sepenuhnya terpuaskan dengan kesuksesan akademi dan hubungan antar manusia.
Namun di titik itu Karima tidak pernah terlintas tertarik Islam. Ia cenderung melihat sebagai pengejaran intelektual. Presepsi itu sangat pas dengan kehidupan akademiknya yang serba terkontrol.
Bacaan awalan Karima berputar tentang wanita di Islam karena ia menyebut dirinya feminis. Ia berpikir Islam menindas wanita. Di dalam studi Kajian Wanita, Karima telah mendengar wanita Muslim yang tidak diijinkan meninggalkan rumah dan dipaksa untuk menutupi kepala.
Tentu saja Karima melihat jilbab saat itu sebagai alat pria untuk menindas ketimbang ekspresi penghormatan terhadap diri sendiri dan harga diri. Apa yang Karima temukan dalam bacaan ternyata mengejutkannya.
Islam tidak menindas wanita, namun sebaliknya membebaskan mereka, memberi mereka hak bahkan di abad ke-6 lalu, hak yang kita peroleh di aban ini, hak untuk memiliki properti, hak untuk memiliki properti dan kesejahteraan dan menjaganya atas namanya setelah menikah, hak untuk memilih, dan hak untuk bercerai.
Penyadaran atas itu tidak dengan mudah datang...ia bersikeras di setiap langkah. Namun di sana selalu ada jawaban atas pertanyaanya. Mengapa ada poligami? Itu hanya diijinkan ketika seorang pria mampu memperlakukan keempat istrinya dengan adil, bahkan itu pun tak dianjurkan.
Hanya saja itu diijinkan--saat itu dalam sejarah--ketika ada lebih banyak wanita dari pria, terutama saat perang, dan sehingga wanita tidak sampai tertutup kemungkinan berhubungan dan memiliki anak. Itu hanyalah satu dari beberapa banyak pertanyaan yang membutktikan jika wanita di Islam diberi hak penuh sebagai individu dalam masyarakat.
Tapi semua penemuan itu tak lantas menghapus ketakutannya. Tahun berikut adalah perubahan emosional yang sangat intens. Setelah menyelesaikan kuliah master Kajian Amerika Latin pada musim panas 1989, Karima memutuskan mengambil satu tahun sebagai dosen pengganti.
Itu memungkinkan dirinya menghabiskan waktu untuk mempelajari Islam. Banyak hal yang i baca tentang Islam masuk di akal, meski saat itu tidak cocok terhadap pandangan pribadinya tentang dunia.
Karima selalu menganggap agama sekedar penopang kecil dan kompensasi pelarian.
"Namun itukah kebenaran sesungguhnya? Sebab sering kali agama memicu penindasan dan perang, lalu bagaimana ia bisa melihat diri saya menikah dengan pria yang mengikuti satu agama terbesar di dunia?", tutur Karima mengungkapkan kegelisahannya.
Setiap minggu ia selalu ditohok dengan cerita baru di berita, radio atau koran tentang penindasan terhadap wanita Muslim. Dapatkah saya menerima itu, seorang feminis mempertimbangkan menikah dalam masyarakat semacam itu?
Ia berkernyit. Orang-orang berbicara tentangnya dengan nada cemas di belakang. Hanya dalam beberapa bulan, dunia aman Karima selama 24 tahun berubah naik turun. Ia tak lagi merasa tahu mana yang benar, mana yang salah. Semua yang hitam dan putih menjadi abu-abu.
Namun sesuatu membuat Karima terus berjalan, dan itu lebih dari sekedar keinginan untuk menikahi Imran. Setiap waktu, ia mengaku dapat saya meninggalkan studinya tentang Islam dan diterima kembali di lingkaran feminis, teman-teman sosialis, dan di tangan-tangan penuh cinta keluarganya.
Ketika orang-orang tersebut tidak pernah meninggalkan Karima, mereka menghantuinya dengan pengaruh. Ia pun khawatir dengan apa yang akan mereka utarakan atau pikirkan, terutama sejak ia selalu menilai dirinya melalui pandangan mata mereka. Karima menutup diri. Ia berbicara hanya dengan keluarga dan orang-orang yang ia tahu tidak akan menghakimi dirinya. Dan ia terus membaca.
Saati itu ia mengaku tidak lagi soal tertarik atau tidak tertarik dengan kajian Islam, melainkan sedang berjuang dengan identitas sendiri. Hingga ia membuat banyak tulisan riset sukses. Karima, sebagai mahasiswa cerdas, tahu bagaimana melakukan penelitian dan mendukung thesis.
Namun ia merasa karakternya tidak pernah dipertaruhkan. Untuk pertama kali, ia sadar jika ia selalu menulis untuk menyenangkan orang lain.
Kini Karima mulai menulis untuk keinginan dan dorongan spirit saya. Itu menakutkan. Meski ia tahu pasti keluarga dan teman-teman mencintainya, mereka tidak dapat memberi jawaban. Ia tidak lagi menginginkan mencari dukungan mereka.
Imran sebaliknya, selalu ada untuk menjawab pertanyaanya. Karima mengaggumi kesabaran dan keyakinannya yakni semua akan berubah menjadi yang terbaik. Tapi ia tidak ingin pula menggantungkan kepadanya karena takut, ia mungkin melakukan ini untuk pria bukan untuk dirinya sendiri.
Saat itu Karima mengaku merasa tidak memiliki apa-apa dan tak ada satupun untuk bergantung. Sendiri, takut dan dipenuhi keraguan diri, ia tetap membaca.
Setelah keingintahuannya terhadap wanita Islam terpuaskan ia dikejutkan dengan hasil, mulai membaca kehidupan Nabi Muhammad, dan membaca Al Qur'an.
Ketika membaca ia mulai mempertanyakan keyakin awal jika Nabi Muhammad adalah semata-mata pemimpin, ternyata ia lebih dari itu. Bahkan di puncak suksesnya ketika ia bisa saja menikmati kesejahteraan melimpah, ia menolak memiliki lebih dari sahabatnya yang termiskin di Islam.
Secara perlahan Karima membaca Al Qur'an lebih dalam, dan bertanya, "Dapatkah manusia mampu sedemikian halus hanya dengan membaca buku? Lebih jauh tentu ada alat untuk membimbing Nabi seperti ia membimbing manusia. Tidak mungkin Nabi membimbing dirinya sendiri,"
Semakin jauh, ia tidak lagi merasakan membaca Al Qur'an sebagai aktivitas intelektual melainkan lebih dan lebih pergulatan pribadi. Ada saat dimana ia mengaku menolak semua kata dan menemukan satu cara untuk mengutuknya.
Namun ketika Karima masuk ke sebuah ayat, kata-kata didalamnya terasa berbicara langsung pada saya. ".Allah tidak akan membebani manusia lebih dari kemampuannya (QS 2:286)"
"Inilah awal saya mulai mengalami perubahan dan keraguan dari dalam. Meski saya masih belum percaya Allah saat itu, tapi saya merasa beban saya terangkat," akunya.
Karima terus menyimpan ketakutan ketika belajar islam. Akankah ia masih dekat dengan keluarga ketika menjadi Muslim? Akankah ia berakhir dalam pernikahan penuh penindasan? Akankah ia masih punya "pikiran terbuka"?
Ia meyakini humanisme sekuler adalah pendekatan paling "berpikiran-terbuka". Secara perlahan ia menyadari humanisme sekuler lebih kepada ideologi, dogma pula, sebagaimana Islam.
"Saya menyadari pula setiap orang memiliki ideologinya sendiri, dan saya secara sadar harus memilih untuk diri sendiri. Saya merasa harus mempercayai intelektual saya sendiri, dan membuat keputusan dengan reaksi negatif yang harus saya pikul dari teman-teman 'progresif' dan 'pikiran-terbuka' saya," papar Karima panjang lebar.
Dalam masa itu, Ia mulai menyimpan segala sesuatu dalam diri, ia menjadi bebas secara intelektual dibanding kapan pun dalam hidup.
Dua setengah tahun kemudian, ia selesai membaca Al Qur'an, dan sangat gembira dengan deskripsi alamiah dan sering kali diyakinkan oleh kebijaksanaan di dalamnya.
Ia mempelajari kehidupan Nabi Muhammad dan puas dengan kesadaran bahwa Islam memahami jika pria dan wanita berbeda namun seimbang.
Karima juga menemukan jika Islam memberi keseimbangan murni tidak hanya pada pria dan wanita, tetapi seluruh ras dan kelas sosial, dan dinilai berdasar tingkat ketakwaan. Dan ia pun mulai memperoleh kepercayaan diri terhadap diri dan keputusannya.
Hingga saya tiba pada pertanyaan kritis terakhir: Apakah saya percaya pada satu Tuhan? Ini adalah dasar menjadi Muslim. Setelah puas memenuhi rasa ingin tahu atas aturan dan sejarah terkait Islam, saya akhirnya sampai pada pertanyaan penting itu, esenis menjadi seorang Muslim.
"Apakah saya...benar-benar menempatkan kepercayaan terhadap keberdaan lebih tinggi? Dapatkah saya menghapus pendekatan humanis sekuler dalam hidup?" ungkap Karima menuturkan pemikiraannya saat itu.
"Dua kali saya memutuskan untuk mengucapkan syahadat dan lalu berganti pikiran keesokan hari," ujar Karima lagi.
Satu siang, ia bahkan bersujud dan menempelkan kening ke lantai, seperti Muslim lakukan yang ia sering lihat, dan ia meminta bimbingan.
Ia mengaku damai dalam posisi itu. "Mungkin saat itu saya seorang Muslim di dalam hati, namun ketika berdiri, pikiran saya tidak siap untuk secara resmi mengucap syahadat," tuturnya.
Setelah peristiwa tersebut, beberapa minggu berlalu, Ia memulai pekerjaan baru, mengajar sekolah menengah atas.
Hari-hari berjalan sangat cepat, kegiatan mengajar, disiplin dan tugas-tugas untuk dikoreksi.
"Ketika hari saya berjalan begitu cepat, saya tiba-tiba tertohok, saya tak ingin melewati dunia ini tanpa mengikrarkan keyakinan saya terhadap Allah," kata Karima.
Secara intelektual, Ia merasa memahami jika bukti-bukti pada kehidupan Nabi Muhammad dan Al Qur'an terlalu lengkap dan utuh untuk disangkal. Dan saat itu, Karima juga siap di dalam hati untuk Islam.
"Saya telah menghabiskan hidup saya lama untuk mencari kebenaran di mana hati sejalan dengan otak, aksi dengan pikiran, intelektual dengan emosi. Saya temukan realitas itu dalam Islam," ujar Karima
Realitas itu mendatangkan kepercayaan diri sekaligus kebebasan intelektual. Beberapa hari kemudian Karima mengambil ikrar syahadat kedua. Ia menulis dalam jurnal jika akhirnya ia temukan Islam, validasi pemikiran dan intuisi terdalam di dirinya./berbagaisumber/itz
http://www.republika.co.id/node/51799
Ibrahim Khalil, Misionaris Pendeta Koptik yang Bersyahadat
Ibrahim Khalil adalah mantan pendeta Koptik Mesir yang belajar Islam demi menemukan kesalahan. Namun hasilnya justru sebaliknya.
Al-Haj Ibrahim Khalil Ahmad, dulu bernama Ibrahim Khalil Philobus, Pendeta Koptik ( dari kata Kopt yakni suku kuno di Mesir) yang belajar teologi dan mendapat gelar master dari Universitas Princeton. Ia belajar Islam untuk menemukan celah menyerang sebagai ganti ia malah menerima islam bahkan bersama keempat putranya, salah satu kini menjadi guru besar di Sorbonne, Paris. Inilah cerita Ibrahim Khalil.
Ia lahir di Alexandria pada 13 Januari 1919 dan dikirim ke sekolah Misi Amerika hingga memperoleh sertifikat pendidikan menengah di sana.
Pada 1942 ia mendapat gelar diploma dari Assiut University, dan dimana ia memilih spesialisasi studi agama sebagai awal bergabung dengan Fakultas Teologi.
Menurut Ibrahim, bukanlah hal mudah untuk bergabung dengan fakultas, karena tidak ada satu kandidat dapat bergabung kecuali mendapat rekomendasi khusus dari gereja, dan juga ia harus melewati serangkaian tes sulit.
Saat itu Ibrahim mendapat rekomendasi dari Gereja Al-Attareen di Alexandria dan satu lagi dari Gereja Assembly of Lower Egypt setelah lulus banyak tes untuk mengetahui kualifikasinya untuk menjadi seorang yang benar-benar taat agama.
Lalu ia mendapat rekomendasi ketiga dari Gereja Persekutuan Snodus, termasuk para pendeta dari Sudan dan Mesir.
Snodus memberi kemudahan ia masuk Fakultas Teologi di 1944 sebagai siswa asrama. Di sana ia belajar langsung di tangan-tangan dosen Amerika dan Mesir hingga lulus pada 1948.
Ia seharusnya ditunjuk untuk meneruskan pendidikan di Jerusalem jika saja tidak ada pecah perang di Palestina pada tahun terebut. Ia pun akhirnya dikirim ke Asna, Mesir Atas. Pada tahun yang sama ia mendaftar untuk penggarapan thesis di Universitas Amerika, Kairo. Saat itu ia menulis tentang aktivitas misionari di kalangan Muslim.
"Perkenalan dengan Islam sendiri dimulai di Fakultas Teologi, dimana saya belajar Islam dan seluruh metode ibadahnya dimana melalui itu para siswa mampu mengguncang iman seorang Muslim dan menumbuhkan keraguan dalam pemahaman mereka terhadap keyakinanya," tutur Ibrahim.
Pada tahun 1952 ia mendapat gelar MA dari Princeton di USA dan ditunjuk sebagai dosen di Fakultas Teologi Assiut. Ia mengajarkan Islam di fakultas sesuai dengan pemahaman salah yang disebarkan oleh para misionari dan para penentangnya.
Selama periode itulah ia memutuskan untuk meluaskan studi Islam dan tidak hanya sekedar membaca buku-buku misionaris. "Saat itu saya cukup yakin dengan diri saya untuk membaca dari sudut pandang lain. Lalu saya mulai membaca literatur yang ditulis pengarang Muslim. Saya juga memutuskan untuk membaca Al Qur'an dan memahami artinya," aku Ibrahim panjang lebar.
"Hal itu didorong kecintaan saya terhadap pengetahuan dan digerakkan keinginan menambah lebih banyak bukti untuk menyerang Islam," imbuh Ibrahim.
Titik itulah yang justur mengubah Ibrahim. "Posisi saya mulai terguncang, dan saya mulai merasakan pergolakan kuat, dan saya tidak menemukan kesalahan di pada apapun yang pernah saya pelajari dan saya kotbahkan. Namun saya tidak berani menghadapi diri saya sendiri, dan mencoba mengatasi krisis internal itu dengan meneruskan pekerjaan," ungkapnya.
Kemudian pada 1954, ia dikirim ke Aswan sebagai sekretaris jenderal misi Jerman-Swiss. "Selama in posisi nyata saya hanyalah untuk misi berkotbah menentang Islam di Mesir Atas, terutama di kalangan Muslim," akunya.
Sementara di Aswan merupakan konferensi misionaris diselenggarakan di Hotel Catract, dan ia diberi kesempatan berbicara pada forum. "Hari itu saya berbicara terlalu banyak, mengucapkan semua, konsepsi salah menentang Islam berulang-ulang, dan pada akhir pidato, krisis internal itu tiba-tiba datang lagi dan saya mulai merevisi posisi saya," kata Ibrahim.
Ibrahim berkata, "Saya mulai bertanya pada diri sendiri, 'Mengapa saya harus melakukan semua itu ketika saya tahu pasti saya berbohong, karena itu semua bukan kebenaran? Saya meninggalkan konferensi sebelum berakhir dan pulang sendirian ke rumah,"
"Saya sepenuhnya terguncang. Saat berjalan melalui taman publik Firyal, saya mendengar sebuah ayat di Al Qur'an berbunyi 'Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (QS 72:1)
Lalu dilanjutkan dengan bunyi ayat berikut (QS 72:2) "(yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami,"
Ibrahim terdiam di tempat hingga ia mendengar lagi "Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), kami beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan. (QS 72:13)"
"Saya merasa dalam perasaan tenang luar biasa malam itu ketika pulang kerumah dan menghabiskan seluruh malam dengan diri saya membaca Al Quran di perpustakaan," ungkap Ibrahim.
Istrinya sempat menanyakan mengapa ia duduk sendirian semalaman. "Saya langsung memintanya untuk meninggalkan saya sendiri. Saya berhenti untuk beberapa lama, berpikir, dan bermeditasi ketika sampai pada ayat, "Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS 59:21)"
Juga ketika masuk ayat berikut "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani...karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri, (QS 5:82)
Ayat berikut, "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui: seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (QS 5:83)
Ibrahim juga menuturkan mengutip tiga ayat dari Al Qur'an yakni Surat Al A'raaf ayat 157-158.
Di malam yang sama secara dramatis Ibrahim menyimpulkan, "Saya mengambil keputusan akhir saya. Di pagi hari saya berbicara dengan istri yang dengannya saya memperoleh tiga anak lelaki dan satu orang putri,"
Namun tidak lama setelah ia merasa Ibrahim bertambah semakin menerima Islam dari yang ia takutkan ia meminta bantuan dari kepala misionari bernama Monsieur Shavits dari Switzerland. Dalam pandangan Ibrahim pria itu mempunyai kemampuan mempersuasi orang.
Ia bertanya pada Ibrahin tentang kebenaran berita itu. Ibrahim pun mengatakan terus terang apa yang ia inginkan dan Shavits berkata,
"Pertimbangkan dirimu keluar dari pekerjaan hingga kami menemukan apa yang menimpa dirimu,"
Ibrahim langsung menjawab," Ini pengundurang diri saya dari pekerjaan,"
Shavits meyakinkan Ibrahim untuk menunda itu namun Ibrahim bersikeras, dan Shavits pun memunculkan rumor Ibrahim telah gila. Ibrahim pun mesti menjalani serangkaian tes penuh tekanan hingga ia meninggalkan Aswan dan kembali ke Kairo.
Ketika di Kairo ia sempat dikenalkan dengan seorang guru besar Islam dihormati, Muhammad Abdul Moneim Al Jamal, yang membantunya menghadapi sidang mengerikan, dan Al Jamal melakukan itu tanpa mengetahui apapun cerita Ibrahim.
"Ketika Dr Jamal tahu saya telah mengundurkan diri dari pekerjaan di Aswan, dan saya menganggur, ia membantu saya mendapat pekerjaan di Perusahaan Alat Administrasi Standar di Kairo. Sehingga saya mapan kembali tak lama kemudian," ujarnya Ibrahim.
Hanya saja ia mengaku tidak bercerita pada istrinya tentang niat memeluk Islam, sehingga sang istri mengira Ibrahim telah melupakan segalanya dan tak lebih dari sekedar krisis keimanan yang tak lagi ada.
"Namun saya tahu pasti jika peralihan keyakinan saya membutuhkan bukti dan sejumlah langkah rumit panjang. Saat itu fakta yang terjadi adalah pertempuran dalam hati yang saya tunda untuk beberapa saat hingga saya benar-benar saya pahami setelah saya melengkapi studi perbandingan," tutur Ibrahim
Pada 25 Desember 1959 ia mengirimkan telegram kepada Dr Thompson, kepala Misionaris Amerika di Mesir memberi informasi jika ia akan memeluk Islam.
Setelah mengirim telegram masalah baru dimulai. Tak tanggung-tangguh tujuh rekan seperkuliahan sekaligus membujuknya membatalkan ikrar tersebut, namun Ibrahim bergeming.
Mereka bahkan mengancam akan memisahkannya dengan istrinya. Ibrahim menjawab, "Ia bebas untuk melakukan apa yang ia inginkan,". Mereka juga mengancam akan membunuhnya. Namun demi melihat sikat Ibrahim yang keras kepala, mereka meninggalkannya sendiri dan meminta teman lama Ibrahim yang juga teman seperkuliahan.
Sang teman sangat luar biasa keras mempengaruhi, dan menghina Ibrahim, yang dihina pun menjawab, "Kamu seharusnya menghina mereka yang melecehkan Tuhan dengan mendengarkan Al Qur'an dan mempercayai kebenaran yang kamu tahu tapi kau tolak,". Teman Ibrahim pun meninggalkannya setelah tahu semua upaya sia-sia belaka.
Pada bulan Januari 1960, Ibrahim pun resmi memeluk Islam.
Istri Ibrahim meninggalkannya dan mengambil semua perabot dalam rumah. "Namun semua anak saya menerima dan memeluk islam, yang paling antusias adalah putra pertama saya Isaac yang mengganti namanya menjadi Osman, anak kedua Joseph, dan yang ketiga Samuel mengganti nama menjadi Jamal, dan anak perempuan bernama Majida menjadi Najwa," tutur Ibrahim.
Ibrahim menulis dalam majalah La Monde, "Yang saya sesalkan istri saya meninggalkan rumah selama enam tahun, tapi kemudian setuju kembali pada 1966 tetap dengan agamanya. Saya menerima ini karena di Islam tidak ada paksaan dalam agama,"
"Saya berkata 'Saya tak ingin kamu peluk Islam karena saya, tapi hanya karena kamu yakin," lanjut Ibrahim dalam tulisan tersebut.
Akhirnya ketika ditanya apa hal yang membuat ia paling tertarik terhadap Islam, ia menjawab ia sangat menyukai sistem pengampunan dosa dalam Islam dan hubungan langsung antara Tuhan dan hambanya.
Namun diantara itu semua ia berkata "Saya terutama tertarik dengan konsep satu Tuhan, yang paling penting dalam Islam. Tuhan hanya satu dan tak ada yang menyerupai-Nya. Kepercayaan ini membuat saya menghamba kepada Tuhan saja, bukan yang lain. Penyerahan diri pada satu Tuhan membebaskan orang menyembah dan takut pada manusia, dan itulah kebebasan sesungguhnya,"./berbagaisumber/itz
http://www.republika.co.id/node/51532
Al-Haj Ibrahim Khalil Ahmad, dulu bernama Ibrahim Khalil Philobus, Pendeta Koptik ( dari kata Kopt yakni suku kuno di Mesir) yang belajar teologi dan mendapat gelar master dari Universitas Princeton. Ia belajar Islam untuk menemukan celah menyerang sebagai ganti ia malah menerima islam bahkan bersama keempat putranya, salah satu kini menjadi guru besar di Sorbonne, Paris. Inilah cerita Ibrahim Khalil.
Ia lahir di Alexandria pada 13 Januari 1919 dan dikirim ke sekolah Misi Amerika hingga memperoleh sertifikat pendidikan menengah di sana.
Pada 1942 ia mendapat gelar diploma dari Assiut University, dan dimana ia memilih spesialisasi studi agama sebagai awal bergabung dengan Fakultas Teologi.
Menurut Ibrahim, bukanlah hal mudah untuk bergabung dengan fakultas, karena tidak ada satu kandidat dapat bergabung kecuali mendapat rekomendasi khusus dari gereja, dan juga ia harus melewati serangkaian tes sulit.
Saat itu Ibrahim mendapat rekomendasi dari Gereja Al-Attareen di Alexandria dan satu lagi dari Gereja Assembly of Lower Egypt setelah lulus banyak tes untuk mengetahui kualifikasinya untuk menjadi seorang yang benar-benar taat agama.
Lalu ia mendapat rekomendasi ketiga dari Gereja Persekutuan Snodus, termasuk para pendeta dari Sudan dan Mesir.
Snodus memberi kemudahan ia masuk Fakultas Teologi di 1944 sebagai siswa asrama. Di sana ia belajar langsung di tangan-tangan dosen Amerika dan Mesir hingga lulus pada 1948.
Ia seharusnya ditunjuk untuk meneruskan pendidikan di Jerusalem jika saja tidak ada pecah perang di Palestina pada tahun terebut. Ia pun akhirnya dikirim ke Asna, Mesir Atas. Pada tahun yang sama ia mendaftar untuk penggarapan thesis di Universitas Amerika, Kairo. Saat itu ia menulis tentang aktivitas misionari di kalangan Muslim.
"Perkenalan dengan Islam sendiri dimulai di Fakultas Teologi, dimana saya belajar Islam dan seluruh metode ibadahnya dimana melalui itu para siswa mampu mengguncang iman seorang Muslim dan menumbuhkan keraguan dalam pemahaman mereka terhadap keyakinanya," tutur Ibrahim.
Pada tahun 1952 ia mendapat gelar MA dari Princeton di USA dan ditunjuk sebagai dosen di Fakultas Teologi Assiut. Ia mengajarkan Islam di fakultas sesuai dengan pemahaman salah yang disebarkan oleh para misionari dan para penentangnya.
Selama periode itulah ia memutuskan untuk meluaskan studi Islam dan tidak hanya sekedar membaca buku-buku misionaris. "Saat itu saya cukup yakin dengan diri saya untuk membaca dari sudut pandang lain. Lalu saya mulai membaca literatur yang ditulis pengarang Muslim. Saya juga memutuskan untuk membaca Al Qur'an dan memahami artinya," aku Ibrahim panjang lebar.
"Hal itu didorong kecintaan saya terhadap pengetahuan dan digerakkan keinginan menambah lebih banyak bukti untuk menyerang Islam," imbuh Ibrahim.
Titik itulah yang justur mengubah Ibrahim. "Posisi saya mulai terguncang, dan saya mulai merasakan pergolakan kuat, dan saya tidak menemukan kesalahan di pada apapun yang pernah saya pelajari dan saya kotbahkan. Namun saya tidak berani menghadapi diri saya sendiri, dan mencoba mengatasi krisis internal itu dengan meneruskan pekerjaan," ungkapnya.
Kemudian pada 1954, ia dikirim ke Aswan sebagai sekretaris jenderal misi Jerman-Swiss. "Selama in posisi nyata saya hanyalah untuk misi berkotbah menentang Islam di Mesir Atas, terutama di kalangan Muslim," akunya.
Sementara di Aswan merupakan konferensi misionaris diselenggarakan di Hotel Catract, dan ia diberi kesempatan berbicara pada forum. "Hari itu saya berbicara terlalu banyak, mengucapkan semua, konsepsi salah menentang Islam berulang-ulang, dan pada akhir pidato, krisis internal itu tiba-tiba datang lagi dan saya mulai merevisi posisi saya," kata Ibrahim.
Ibrahim berkata, "Saya mulai bertanya pada diri sendiri, 'Mengapa saya harus melakukan semua itu ketika saya tahu pasti saya berbohong, karena itu semua bukan kebenaran? Saya meninggalkan konferensi sebelum berakhir dan pulang sendirian ke rumah,"
"Saya sepenuhnya terguncang. Saat berjalan melalui taman publik Firyal, saya mendengar sebuah ayat di Al Qur'an berbunyi 'Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (QS 72:1)
Lalu dilanjutkan dengan bunyi ayat berikut (QS 72:2) "(yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami,"
Ibrahim terdiam di tempat hingga ia mendengar lagi "Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), kami beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan. (QS 72:13)"
"Saya merasa dalam perasaan tenang luar biasa malam itu ketika pulang kerumah dan menghabiskan seluruh malam dengan diri saya membaca Al Quran di perpustakaan," ungkap Ibrahim.
Istrinya sempat menanyakan mengapa ia duduk sendirian semalaman. "Saya langsung memintanya untuk meninggalkan saya sendiri. Saya berhenti untuk beberapa lama, berpikir, dan bermeditasi ketika sampai pada ayat, "Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS 59:21)"
Juga ketika masuk ayat berikut "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani...karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri, (QS 5:82)
Ayat berikut, "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui: seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (QS 5:83)
Ibrahim juga menuturkan mengutip tiga ayat dari Al Qur'an yakni Surat Al A'raaf ayat 157-158.
Di malam yang sama secara dramatis Ibrahim menyimpulkan, "Saya mengambil keputusan akhir saya. Di pagi hari saya berbicara dengan istri yang dengannya saya memperoleh tiga anak lelaki dan satu orang putri,"
Namun tidak lama setelah ia merasa Ibrahim bertambah semakin menerima Islam dari yang ia takutkan ia meminta bantuan dari kepala misionari bernama Monsieur Shavits dari Switzerland. Dalam pandangan Ibrahim pria itu mempunyai kemampuan mempersuasi orang.
Ia bertanya pada Ibrahin tentang kebenaran berita itu. Ibrahim pun mengatakan terus terang apa yang ia inginkan dan Shavits berkata,
"Pertimbangkan dirimu keluar dari pekerjaan hingga kami menemukan apa yang menimpa dirimu,"
Ibrahim langsung menjawab," Ini pengundurang diri saya dari pekerjaan,"
Shavits meyakinkan Ibrahim untuk menunda itu namun Ibrahim bersikeras, dan Shavits pun memunculkan rumor Ibrahim telah gila. Ibrahim pun mesti menjalani serangkaian tes penuh tekanan hingga ia meninggalkan Aswan dan kembali ke Kairo.
Ketika di Kairo ia sempat dikenalkan dengan seorang guru besar Islam dihormati, Muhammad Abdul Moneim Al Jamal, yang membantunya menghadapi sidang mengerikan, dan Al Jamal melakukan itu tanpa mengetahui apapun cerita Ibrahim.
"Ketika Dr Jamal tahu saya telah mengundurkan diri dari pekerjaan di Aswan, dan saya menganggur, ia membantu saya mendapat pekerjaan di Perusahaan Alat Administrasi Standar di Kairo. Sehingga saya mapan kembali tak lama kemudian," ujarnya Ibrahim.
Hanya saja ia mengaku tidak bercerita pada istrinya tentang niat memeluk Islam, sehingga sang istri mengira Ibrahim telah melupakan segalanya dan tak lebih dari sekedar krisis keimanan yang tak lagi ada.
"Namun saya tahu pasti jika peralihan keyakinan saya membutuhkan bukti dan sejumlah langkah rumit panjang. Saat itu fakta yang terjadi adalah pertempuran dalam hati yang saya tunda untuk beberapa saat hingga saya benar-benar saya pahami setelah saya melengkapi studi perbandingan," tutur Ibrahim
Pada 25 Desember 1959 ia mengirimkan telegram kepada Dr Thompson, kepala Misionaris Amerika di Mesir memberi informasi jika ia akan memeluk Islam.
Setelah mengirim telegram masalah baru dimulai. Tak tanggung-tangguh tujuh rekan seperkuliahan sekaligus membujuknya membatalkan ikrar tersebut, namun Ibrahim bergeming.
Mereka bahkan mengancam akan memisahkannya dengan istrinya. Ibrahim menjawab, "Ia bebas untuk melakukan apa yang ia inginkan,". Mereka juga mengancam akan membunuhnya. Namun demi melihat sikat Ibrahim yang keras kepala, mereka meninggalkannya sendiri dan meminta teman lama Ibrahim yang juga teman seperkuliahan.
Sang teman sangat luar biasa keras mempengaruhi, dan menghina Ibrahim, yang dihina pun menjawab, "Kamu seharusnya menghina mereka yang melecehkan Tuhan dengan mendengarkan Al Qur'an dan mempercayai kebenaran yang kamu tahu tapi kau tolak,". Teman Ibrahim pun meninggalkannya setelah tahu semua upaya sia-sia belaka.
Pada bulan Januari 1960, Ibrahim pun resmi memeluk Islam.
Istri Ibrahim meninggalkannya dan mengambil semua perabot dalam rumah. "Namun semua anak saya menerima dan memeluk islam, yang paling antusias adalah putra pertama saya Isaac yang mengganti namanya menjadi Osman, anak kedua Joseph, dan yang ketiga Samuel mengganti nama menjadi Jamal, dan anak perempuan bernama Majida menjadi Najwa," tutur Ibrahim.
Ibrahim menulis dalam majalah La Monde, "Yang saya sesalkan istri saya meninggalkan rumah selama enam tahun, tapi kemudian setuju kembali pada 1966 tetap dengan agamanya. Saya menerima ini karena di Islam tidak ada paksaan dalam agama,"
"Saya berkata 'Saya tak ingin kamu peluk Islam karena saya, tapi hanya karena kamu yakin," lanjut Ibrahim dalam tulisan tersebut.
Akhirnya ketika ditanya apa hal yang membuat ia paling tertarik terhadap Islam, ia menjawab ia sangat menyukai sistem pengampunan dosa dalam Islam dan hubungan langsung antara Tuhan dan hambanya.
Namun diantara itu semua ia berkata "Saya terutama tertarik dengan konsep satu Tuhan, yang paling penting dalam Islam. Tuhan hanya satu dan tak ada yang menyerupai-Nya. Kepercayaan ini membuat saya menghamba kepada Tuhan saja, bukan yang lain. Penyerahan diri pada satu Tuhan membebaskan orang menyembah dan takut pada manusia, dan itulah kebebasan sesungguhnya,"./berbagaisumber/itz
http://www.republika.co.id/node/51532
Langganan:
Postingan (Atom)