Kamis, 01 Maret 2012

Anakku Dirampas karena "Aku Memilih Islam"

Kalau bukan karena kemurahan Allah, sudah gila aku menghadapi liku-liku perjalanan nasib. Murka keluarga, cacian sanak kerabat, cemoohan teman, memberondongku tanpa ampun. Bak anjing kurapan pembuat onar, ali disiksa sadis. Bahkan selembar selembar nyawa ini nyaris hilang. Muaranya satu, karena aku masuk Islam.

Mulanya memang aku seorang Katolik taat. Orangtuaku pimpinan dewan gereja. Mereka terpandang dan sangat dosegani. Bukan status sosialnya saja yg membuat pamor tersohor, tapi juga kekayaan yang kami miliki. Banyak orang menjuluki kami tuan tanah. Gemilang kemewahan membuat pribadiku keras hati. Apa saja mauku selalu ingin dituruti. Tapi, lama lama hatiku meradang. Tanpa tahu penyebabnya, aku kerap dilanda perasaan resah. Bosan. Tidak bersemangat.

Persaan tak karuan itu kontan berpengaruh pada seluruh kegiatanku. AKu jadi suka bolos sekolah dan malas kegereja, Sampai guru dan teman teman mencapku anak nakal. Padahal sebenarnya aku sering menyendiri. Ingin mencari jati diri.

Hingga suatu saat, aku disadarkan pada sebuah takdi yang harus kuterima. Aku seringkali didatangi mimpi mimpi aneh. Keanehan mimpi itulah yang akhirnya membuat perubahan besar dalam hidupku.

HIDAYAH LEWAT MIMPI
Lelaki paruh baya berbaju dan bersorban putih dengan selendang hijau tiba tiba muncul dalam mimpiku. Dia menanti dipertigaan jalan yang biasa kulewati menuju gereja. "Nak, jalan kamu bukan kesitu!" tegurnya. Lalu dia tunjukkan sebuah jalan lurus yang bercahaya. Setiap kali mau melangkah, ada telapak tangan bertuliskan Lafaz Allah.

Ugh.. untung cuma mimpi. Sebagai orang Katolik, aku khawatir dengan mimpi ini. Namun ternyata malam malam berikutnya, mimpi yang sama terulang lagi. Sejak saat itulah aku dilanda perasaan aneh. Semacam dis-orientasi. Aku enggan bersekolah. Ke gereja pun tidak sama sekali. Anehnya aku malah penasaran terus mengenal Islam.

Mimpi senada terus mendatangi selama setahun lebih. Bahkan suatu ketika, setiap mau tidur, di dalam kamarku sering kudengar orang sholawatan, qasidahan, serta segala ritual lain yang biasa dikerjakan umat Islam. Penasaran, lalu kutanyakan pada orang seisi rumah, apakah mereka mendengar seperti yang kudengar. Ternyata tidak. Malah ketika kuceritakan mimpi-mimpi anehku, mereka mengatakan bahwa mungkin leluhurku yang beragama Islam sedang kangen padakui.

Aku tak digubris. Sementara mimpi anehku datang lagi. Kali ini aku dikasih jubah putih. "Pak, saya kan Katolik, bagaimana mungkin saya Shalat?" tanyaku. Lelaki itu lalu mengajakku ketanah lapang. Disana banyak sekali orang berpakaian serba putih. Oleh lelaki itu aku diajarkan membaca Al-Qur'an, dituntun mengucapkan Dua Kalimat Syahadat. Herannya dengan pasrah kurelakan diriku melakukan semua itu.

"Pegang tongkat ini nak, bimbing orang-orang itu pergi Haji!", pesanya. Hatiku dilanda ketakutan luar biasa. Tak lama kudengar azan. Badanku bergetar menggigil. Setelah azan, dalam mimpi itu kubaca surah Yaasin.

Apa sebenarnya maka mimpi itu? Dalam mimpi aku diajarkan membaca Al-Qur'an, begitu terjaga benar benar bisa kubuktikan bahwa aku bisa. Subhanallah... Hatiku yang lusuh kontan terang.

Ada perasaan pedih jika aku meninggalkan shalat. Sementara kalau tidak kegereja, hati ini biasa biasa saja. Perasaanku kini gampang melunak, mudah tersentuh, padahal sebelumnya sangat egois. Hati jadi lembut. Mengapa bisa hanya dengan mempelajari buku-buku Islam aku berubah seperti ini? Sekonyong konyong aku menjadi pribadi penuh santun dan menghormati orang lain.

BABAK AWAL PENYIKSAAN ITU
Sejak itu kudalami Islam. Kubeli buku buku tuntunan ibadah, beberapa kaset ceramah K.H. Zainudin MZ yang waktu itu jadi trend, serta sebuah jilbab. Tentu saja kegiatan baru itu ini kulakukan tanpa sepengetahuan keluarga. Aku sangat menikmatinya. Maka lama-kelamaan sudah bisa kulaksanakan sholat, puasa, bahkan berjilbab.


Syahdan aku menjadi muslim sebelum aku benar-benar sah sebagai seorang muslim. Inikah hidayah itu?

Interesku akan jilbab ini memicu tindakan yang lumayan ekstrim. Alu sering datang ke mesjid layaknya seorang muslimah. Aku ingin bertanya pada orang-orang disana tentang tata cara gerakan sholat. Aku tahu tindakan ku bakal menuai resiko besar. Kalau sampai penyemaranku sampai terbongkar, aku pasti dibunuh.


Tapi kawan, tidak bisa kugambarkan perasaan ini ketika aku telah mengenal Islam. Ketika aku membawa AL-Qur'an, Tasbih, Yaasin, hatiku tenang. Relung hatiku syahdu.

Untuk mempelajari Islam lebih lanjut, kudatangi sanak kerabat yang muslim. "Bisa gila aku kalau sampai tidak bisa masuk Islam, kak!" kataku kepada mereka. Malangnya, reaksi mereka diluar dugaanku. Tak satupun yang percaya bahwa aku ingin masuk Islam. Mungkin karena keluargaku termasuk keluarga Katolik berpengaruh, mereka tak mau ambil resiko jika harus menampungku.

Serapat rapat bangkai ditutup pasti akan tercium juga. Saat pembagian raport, 'aktivitas baruku' akhirnya terbongkar. Pasalnya pihak sekolah memberitahu orangtuaku bahwa aku nunggak bayar SPP berbulan-bulan. Belum lagi aku sering bolos sekolah. Aku di interogasi. Aku bersikukuh tidak menceritakan aktivitasku yang sedang mendalami Islam.

Hingga suatu ketika aku berpapasan dengan teman kakakku dijalan. Dia mengamatiku penuh selidik. Sebab waktu itu aku sedang berjilbab. Jujur aku gugup. Takut ketahuan. Ternyata benar firasatku. Saat tiba dirumah, aku langsung babak belur dihantam oleh kakakku yang kebetulan seorang tentara.

Masya Allah. Inilah awal petaka itu. Seperti orang kesurupan , tubuhku dihujani pukulan dan tendangan. Aku roboh. Sepatu laras dengan tubuh besarnya menginjak tubuhku yang tak berdaya. Dari ujung rambut sampai kaki. Oh Tuhan. Sakit sekali. Darah bereceran. Aku pingsan. Bibirku robek. Badanku biru lebam.

Celakanya tidak satupun yang mau melindungiku. Malah mereka menggeledah kamarku. Mereka temukan semua "simpananku", Al-Qur'an, buku-buku tuntunan ibadah, tasbih, sajadah. Mendapatkan itu semua, kakakku yang kejam makin blingsatan menyiksaku.

Allahui Akbar. Tubuhku tak kuat lagi. Tapi hei, anehnya nyaliku ini sama sekali tak ciut. Semakin keras sikasaan menimpaku, semakin aku merasa punya kekuatan.

"Ananda ingin masuk Isam..." pintaku lirih dengan suara parau."Gila kamu! Sinting!! Otakmu sudah tidak waras!! teriak saudara saudaraku. Bak pencuri yang tertangkap basah, aku jadi bulan bulanan. Yaa Allah! Tolong aku!

MALAIKAT PENOLONG
Mereka menduga aku dipengaruhi oleh seseorang. Untuk anak sebayaku yang sedang ranum begini, jejaka mudalah yang jadi sasaran curiga mereka. Dikiranya aku sedang menjalin kasih dengan seorang pemuda muslim. Padahal pacaranpun aku tidak pernah.

Sejak peristiwa itu aku dikurung. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, mereka menegorku, Pukulan bak suguhan makanan. Dalam satu minggu, kadang lebih dari 20 kali kakakku menyiksaku. Tapi masya Allah, semakin aku ditekan begitu, keinginanku masuk Islam malah semakin kuat. Ketenangan dan kedamaian yang kutemukan dalam Islam membuatku mudah berbesar hati.

Satu satunya cara agar aku lepas dari cengkeraman keluarga adalah keluar dari rumah. Kuutarakan pada keluarga bahwa aku ingin melamar kerja disebuah perusahaan besar. Padahal yang terpikir olehku adalah melamar jadi pembantu. Entah kenapa mereka membiarkan aku melenggang.

Jauh dari rumah kurasakan kebebasan nyata. Tapi aku belum juga melaksanakan niatku untuk masuk Islam. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang pria. Dia seorang Intel. Kayaknya bertemu kawan lama, kuceritakan keinginanku masuk Islam dan penyiksaan keluarga.

Dia sangat terkejut. Sadar akan bahaya yang mengintaiku setiap saat, dia menawarkanku untuk pergi kekapmpung halamannya. Disana aku ditempatkan disebuah pondok pesantren. Dan atas bombingan tokoh agama setempat akhirnya aku dibimbing mengucapkan Dua Kalimat Syahadat.

MEREKA MERAMPAS ANAKKU
Rupanya lelaki yang menolong itu ditakdirkan Allah menjadi suamiku. Beberapa bulan kemudian kami menikah. Dan tak lama kami dikaruniai anak. Aku hamil. Melihat kebahagiaan ini, menyarankan agar aku silaturahmi mengunjungi orang tua dan sanak keluargaku. Mungkin dengan kehadiran anakku nanti hati mereka lunak.

Aku pulang seorang diri karena suami sedang ditugaskan keluar daerah. Begitu sampai dirumah, ternyata drama penyiksaan itu kembali disuguhkan. Aku dikurung hingga waktu melahirkan. Kondisiku yang berbadan dua ternyata tidak mengibakan hati mereka. Bahkan ketika aku berhasil melahirkan, anakku langsung direbut.

Kawan, hati ibu mana yang rela dipisahkan dari anaknya. Tak boleh aku berdekatan dengan anakku. Bahkan untuk menyusui sekalipun. Selama aku tidak mau ke gereja tak akan ada kesempatan menimang anakku.

"Apa kamu bisa besarkan anak padahal kamu kere!" Begitu jawaban saudara saudaraku jika aku meminta anakku. Hatiku remuk redam.

Mereka kembali mengejekku, menertawakanku. "Rasain, siapa suruh masuk Islam!" Kesalahan sedikit yang kubuat selalu dijadikan senjata oleh mereka untuk mengintimidasiku. Bahkan saat anggota keluarga yang lain yang melakukan kesalahan, tetap kesalahan dituduhkan padaku. Mereka ciptakan jarak, sepertinya aku ini tak pantas berada ditengah tengah mereka.

Sampai suatu ketika ada kesempatan untuk kali kedua, aku kembali berhasil kabur. Walau harus kutinggalkan anakku. Kelak jika Allah mengizinkan aku akan menjemputnya.

Saat itu sedang ramai ramainya orang mendaftarkan diri sebagai TKW. AKu ikut mendaftar dengan harapan bisa dibawa pihak perusahaan pergi jauh.

SUAMI SELINGKUH
Aku kembali ke kampung halaman suamiku. Namun mertuaku kecewa karena tak bisa melihat cucunya. Sementara suami yang sedang tugas di rantau tak juga kembali. Malah kudengar kabar suamiku selingkuh. Aku berusaha sabar. Apapun yang terjadi. Alhamdulillah, akhirnya rumah tangga kami selamat. Bahkan tak berapa lama kami dikarunai beberapa anak.

Namun itu tak lama. Suamiku kambuh lagi. Bahkan lebih parah. Dia jarang pulang. Sering menginap dirumah kos wanita simpanannya. Padahal aku sedang hamil lagi. Ya Allah, semoga ujian ini menjadi jalan agar kau tambah sayang padaku!.

Aku jalani kehidupan rumah tangga seperti biasa. Aku berusaha tak mau tahu walaupun tahu. Namun aku tak mau dibuat bimbang, apakah suami menceraikanku atau tidak. Akhirnya, kutemui suami ditempat simpanannya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kudapati suami sedang tidak berbaju dengan perempuan itu. Dan teganya dia mengusirku sambil menjatuhkan talak.

Sempat kupikir, mungkin suami begini karena aku tak kerja (lantaran hamil). Memang penghasilanku cukup lumayan. Bahkan dari hasil kerja kerasku bisa kubangun rumah, beli kendaraan, tanah, ternak sampai menyekolahkan saudara-saudara iparku.

Aku tetap ingin mempertahankan rumah tanggaku. Subhanallah. Allah Maha Mendengar. Suamiku sadar kembali. Tapi inipun tak lama. Suamiku selingkuh lagi. Parahnya kini dia jadi tukang pukul. Tidak ada ujung pangkalnya, dia sering memukuliku. Dia tidak mau menyentuhku. Bahkan dengan tegas dia mau tinggal dengan simpanannya. Yang sangat menyakitkan, dia membawa anak anak kerumah kontrakan itu.

Dihadapkan pada persoalan sebesar in, beruntung kepalaku tetap dingin. Perasaanku tetap tenang. Tidak mudah tersulut emosi. Aku sendiri heran, mengapa aku bisa sekuat ini.
Ketika kuputuskan mendatangi suamiku, rasa cemburu dan amarah bisa kutekan. Malangnya, dia malah menjatuhkan talak, memaki dan menempelengku.

Yang kusesalkan, ulah suamiku kali ini didukung bapak mertua dan saudara-saudaranya. bahkan bapak mertua rela menceraikan ibu mertuaku gara-gara ibu mmebelaku.

Suamiku semakin gila. Kini dia berani membawa simpannnya kerumah. Bahkan berbuat mesum dikamar. Kutemukan suami sedang berzinah. Seketika itu juga aku pingsan. Dan disaat aku tak sadar, mereka sedang siap-siap kabur. Menyadari situasi yang membahayakan anaknya, bapak mertua membantu kabur sambil membawa anak-anakku. Aku heran, kenapa mertua mendukung anaknya dalam kemaksiatan?

Begitu siuman muka dan badanku dihantam ketembok. Sampai bibirku sobek. Saat itu juga dia jatuhkan talak tiga. Aku berusaha mengiba agar dia jangan menceraikanku. Namun ia menjawabnya dengan tendangan. Ya Allah, kuabdikan diri ini untuk mereka, suami dan keluarganya. Karena kuanggap orangtuaku telah tiada. Namun tak satupun peghargaan diberikan atas pengorbananku.

Tak kusangka tanpa sepengetahuanku rumah dan harta bendaku telah dibalik nama atasnama suami dan nama saudara saudaranya. Aku diusir. Setelah sebelumnya mereka mengeroyokku. Semua pintu rumah ditutup. AKu dicekik. Aku megap megap teriak minta tolong. Oh teganya mereka melakukan ini, padahal aku sedang hamil lagi. Mirisnya mertuaku tak percaya. Ia menuduhku bahwa itu bukan janin cucunya.

Aku bingung mau kemana. Untuk beberapa saat aku hidup dari belas kasihan orang lain. Hingga akhirnya aku lari kepondok pesantren.

Tak berapa lama kudengar kabar suami meninggal. Ia tewas tertembak saat sedang bertugas. Allah memisahkan kami saat kami belum berbaikan. Tapi sudah kuikhlaskan semua kelakuannya. Tidak ada kebencian sedikitpun terhadap dia. Kuanggap dia sedang tersesat dan harus dibimbing. Akupun berusaha berpikir positif. Kalau dia hidup hanya akan terus menerus berbuat dosa, lebih baik dia diambil Allah.

Masa melahirkan semakin dekat. Aku tak ingin merepotkan orang lain. Termasuk pihak pesantren. Dengan berbagai pertimbangan, kucoba telpon kerumah. Tak diduga respon mereka baik. Bukan seperti yang kubayangkan. Mereka berjanji tidak akan menyiksaku jika aku pulang.

LEPAS DARI MULUT HARIMAU, KEMBALI KE MULUT BUAYA
Sambutan hangat benar-benar kurasakan saat kakiku kembali menginjak rumah. Terima kasih, ya Allah, mereka tulus menerimaku. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi belum genap sebulan, penyiksaan gila itu terulang lagi. Bahkan kini lebih sadis.

Aku tidak diberi makan, Kalaupun dusuguhi makanan, makanan itu makanan haram, seperti daging babi atau anjing. Dua anakku telah berhasil dibaptis. Sementara yang belum terus dibiasakan ke gereja.

Aku berusaha mencuri kesempatan bercengkrama dengan anak anak. "Kakak dan adik saya nggak, sama mama?" tanyaku. Mereka mengangguk. AKu mewanti wanti. "Ingat ya nak, apa yang sedang kita lakukan disini adalah pura-pura. Pura pura kristen. Inga ya nak, kita ini orang Islam, sayang. Insya Allah, Allah selamatkan kita".

Pilu tak tertahankan. Aku merasa sebatangkara. Tiada teman curhat. Aku ingin tumpahkan semua beban ini pada Allah. "Ya Allah... ingin sekali kugenggam tanganMU..". "Kenapa aku tidak dilahirkan dalam keadaan Islam saja!"

YA ALLAH TOLONG KAMI
Kabur sedari dulu kurencanakan. Tapi penjagaan ketat membuatku tak berkutik. Lagi pula aku bingung mau kabur kemana? Tetapi kalau tidak lari mereka akan membaptis anak anakku. Aku khawatir akidah anak anak akan terkikis.

"Allahu Akbar.. Dia yang Maha Mendengar dan Melihat" membukakan jalan. Sehari sebelum dibaptis, hujan besar terus menerus. Dari pagi kemalam, hingga pagi lagi. Semua penghuni rumah terlelap. Biasanya mereka tidur diruang tengah sambil mengelilingi anak anakku. Tapi malam itu mereka masuk kamar masing masing.

Kuajak anakku tiga orang. Sementara yang dua tidak bisa. Tak mungkin mereka kubawa lari semua, berjalan selama berkilo-kilo menuju kerumah saudaraku yang Islam. Sayangnya tidak satupun yang mau menerima kami, karena mereka tahu kondisi pengawasan terhadapku semakin gawat. Mereka takut keluargaku yang terpandang dan punya pengaruh besar itu mengamuk.

Yang bisa mereka lakukan hanya memberi sumbangan ala kadarnya. Saat itu juga terkumpul dana 300 ribu rupiah. Aku disuruh kerumah saudara yang ada di pulau seberang.

Maka malam itu juga kami ke dermaga. Malangnya kapal baru berlayar dua hari lagi. Oh jadi selama itu kami harus bermalam di dermaga.

Perasaan haru dan bersalah tak bisa kututupi melihat ketiga buah hatiku. Yang kelas kelas 3 & 1 SD, serta yang berumur 1.5 tahun. Kami bertahan hidup dengan makan seadanya. Beruntung kedua anakku yang bersekolah sudah biasa puasa, sehingga dua bungkus nasi sudah cukup untuk makan sehari.

Pelarianku kepulau seberang ini ternyata tak bisa bertahan lama. Kabar tentang keluargaku yang tahu akan keberadaanku membuat saudaraku dipulau itu panik. Mereka tahu dari daftar nama penumpang. Apa susahnya bagi kakakku tang tentara itu menyelidiki keberadaanku??

Akhirnya kuputuskan untuk kembali kerumah mertua. Apapun resikonya. Yang terpenting bagiku saat itu adalah menyelamatkan aqidah anak-anakku. Meski mertua kejam kepadaku, tapi tidak kepada cucu-cucunya.

Adapun pekerjaanku disebuah LSM Internasional kini sudah berakhir. Rupanya atasanku dekat dengan tanteku yang Katolik. Bosku membujuk agar aku kembali lagi ke Katolik. Aku ditawari rumah mewah dengan wilayah domisili dibeberapa negara hebat didunia. Bahkan dia akan membuat asuransi pendidikan buat anak-anakku agar dapat bersekolah sampai level tertinggi.

Biarlah kesengsaraan menggelayutiku. Toh kedua tangan dan kakiku masih berfungsi. AKu akan cari kerja lagi. Aku ingin dapat tempat tinggal agar cepat bisa berkumpul dengan anak-anakku.

Nun jauh dilubuk dasar hatiku terselip perasaan rindu dapa orang tuaku. Demi Allah, aku masih menyayangi mereka meski aku disisihkan dan disampakkan. Yang aku inginkan hanyalah pengertian mereka akan keputusanku memilih islam.

Pernah kucuci kaki kedua orangtuaku dan kuminum air basuhannya. Tapi mereka bergeming. Dan akupun sama. Tak sejengkalpum kuubah pendirianku dan kembali keagama lama. Walau harus kehilangan segala-galanya, aku rela. Tapi aku tak rela jika Islam tercerabut dariku dan aku meninggal dalam keadaan murtad, tanpa menyebut nama Allah, tanpa zikir Laa Ilaaha Illa Allah... Aku tidak rela

http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.405.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890

Air Mata Ramadhan Aisyah-San

Oleh Lizsa Anggraeny

Wanita setengah baya itu kembali menyusut air mata disela hidangan tajil berbuka puasa. "Ramadhan to iu to watashi no namida ga ippai detekuru tsuki (Ramadhan adalah bulan air mata saya banyak keluar), " ungkap seorang mualaf Filipina, yang biasa dipanggil Aisyah-san. Terlihat sesekali matanya yang berkaca-kaca menerawang, seolah tengah membayangkan satu masa. Ramadhan kali ini adalah tahun ke-4 baginya, setelah memeluk Islam.

Terlahir sebagai penganut agama Katholik, menjadikannya penginjil yang taat. Setelah menikah dengan orang Jepang dan tinggal di negeri sakura, ia makin menikmati perannya sebagai penginjil di salah satu tempat ibadah. Setiap minggu atau hari libur, ia memiliki tugas mengetuk pintu rumah-rumah untuk memberi seruan tentang ajaran agamanya. Hingga suatu hari, ditahun ke-12 pernikahannya, ia dikejutkan oleh berita bahwa kakak perempuannya telah memeluk agama Islam. Sebuah aib bagi keluarganya yang dikenal sebagai penginjil.

Berbekal rasa dendam dan kesal, ia segera memutuskan pulang ke Filipina untuk mengajak sang kakak agar kembali mempercayai ajaran agamanya. Pertemuan terjadi, berbagai khotbah, seruan dan ajakan tegas Ia lontarkan. Namun sang kakak tak bergeming, terlihat tenang, sampai akhirnya menjulurkan tangan dengan satu buku tebal. "Jika ada waktu, tolong dibaca, buku ini namanya Al-Qur`an, " hanya satu kalimat yang terlontar dari sang kakak.

Singkat cerita, Aisyah-san - yang saat itu masih menggunakan nama Katholik – mulai penasaran dan mencoba membaca Al-Qur`an dalam terjemahan bahasa Inggris. Ada getaran aneh saat membacanya. Semakin dibaca, semakin Ia dibuat seolah menangis oleh kalimat-kalimat yang tersusun indah dalam Al-Qur`an. Hingga tak lama hidayah itu datang. Aisyah bersama suaminya yang orang Jepang serta putranya yang masih berumur 10 tahunan mengikrarkan dua kalimat syahadat.

Kembali ke Jepang sebagai muslim, cobaan datang. Perusaahan suaminya tiba-tiba bangkrut, rumah yang ditempatinya terpaksa harus dijual, suami masuk rumah sakit hingga tak ada penghasilan, tabungan semakin lama semakin menipis hingga ia harus ikut berperan menopang kehidupan keluarga dengan bekerja di sebuah pabrik. Teman sesama penginjil mulai mencibir dengan kata-kata "Miskin karena berIslam!" Aisyah terseok dalam keteguhan. Berusaha menyakinkan hati bahwa inilah saatnya ia membuktikan kekuatan imannya. Ia tak ingin kalah dalam cobaan.

Hinga waktu bergulir dan Ramadhan pun menyapa setiap muslim di antero bumi manapun, termasuk Aisyah-san sang mualaf. Kali pertama berpuasa, Aisyah-san dibuatnya menangis. Tidak, bukan mengangis karena menahan beratnya lapar dan haus. Tapi menangis karena keharuan. Dalam puasa, Ia seolah merasakan bahwa dirinya tak sendirian, masih banyak orang lain yang mengalami ujian lebih berat dari dirinya. Orang-orang yang diuji dengan kemiskinan sampai sulit untuk memperoleh sandang, pangan dan papan. Aisyah-san menangis karena kebahagiaan. Bahagia bisa mendapatkan hidayah dari agama yang sangat menyantuni para fakir miskin. Hingga ada satu bulan istimewa yaitu Ramadhan, khusus untuk melatih merasakan keadaan mereka yang hidupnya serba kekurangan, berbagi sama rasa. Setiap Ramadhan menyapa, air matanya tak bisa terbendung oleh tangisan bahagia, terharu dan bahkan syahdu.

Begitupun tahun ke-4 Ramadhan kali ini, mata Aisyah-san masih selalu terlihat menangis. Tidak hanya karena tangisan keharuan dan kebahagiaan dapat merasakan Ramadhan - bulan senasib sepenanggungnya - tapi juga tangisan akan kekhawatiran. Khawatir akan amal-amalnya dalam berpuasa dihinggapi hal-hal yang justru mengugurkan ibadah puasa. Tangisan karena ketakutan akan dosa-dosa yang mungkin belum terampuni. Tangisan karena ibadah-ibadah sunah ataupun qiyamul lail yang tidak sempurna. Tangisan karena belum fasihnya dalam bertadarus Al-Qur`an. Tangisan berupa rasa kehilangan akan berpisah dengan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi. Serta tangisan akan sebuah kerinduan. "Masih bisakan tahun depan merasakan Ramadhan lagi?"

Air mata Ramadhan Aisyah-san, merupakan tangisan seorang hamba yang ingin lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ramadhan baginya adalah salah satu masa uji coba atas kesungguhannya memeluk Islam. Bulan untuk memperdalam keimanan di tengah berbagai cobaan hidup selama menjalani kehidupanya di negeri sakura. Bulan pembuktian cintanya pada Sang Kekasih sejati, Allah SWT. Insya Allah.

27 Ramadhan 1428 Kisah dari Kita Ayase: aishliz. Multiply. Com

Puspita Dewi Muliana : Suara Azan Menggetarkan Kalbu

SAYA dibesarkan dalam tradisi keluarga Kristen Katolik. Ayah saya Yohanes dan ibu bernama Lalan. Ayah menginginkan saya menjadi penganut Kristen yang taat, baik di rumah maupun di masyarakat dan sekolah. Ayah selalu mengedepankan nilai-nilai agama Kristen dalam kehidupan kami. Ayah juga menerapkan kedisiplinan dalam keluarga. Untuk masalah ini ayah sangat ketat. Setiap pulang sekolah, saya dan adik harus tetap berada dalam rumah. Boleh bergaul, asal jangan main-main, apalagi jika bermain dengan teman-teman non-Kristen.

Hal ini sangat diterapkan ayah, mengingat saya tinggal dan bersekolah di lingkungan yang mayoritas muslim. Ayah tidak menginginkan saya terlalu dekat dengan mereka. Ayah takut saya terpengaruh oleh ajaran agama mereka. Pokoknya, bagi ayah sekali Kristen tetap Kristen

Sikap ayah ini membuat saya heran. Dulu menurut saudara, ayah yang muslim, ayah adalah seorang penganut agama Islam. Karena cinta pada seorang wanita, yang kini menjadi ibu saya, ayah rela melepaskan akidah Islam untuk masuk ke agama Kristen Katolik.

Kini, saya tahu alasan ayah mengapa saya dididik dan diajarkan secara intens mengenai ajaran-ajaran Kristus. Ayah menginginkan saya dan adik menjadi penganut yang taat. Keinginan ini, menurut saya, dilandasi cintanya pada ibu.Terus terang, saya tidak suka dengan sikap ayah yang seperti itu.

Beragama, jika berdasarkan cinta, bukan karena iman adalah sikap beragama yang semu. Cinta, menurut saya adalah relatif. Iman bagi saya merupakan landasan atau fondasi. Sikap ayah ini menjadi bahan renungan saya. Saya tidak habis mengerti. Rasanya saya mulai kurang sreg dalam beragama seperti itu. Saya mulai berpikir untuk segera meninggalkan agama yang diajarkan ayah itu.

MENDENGAR AZAN
Keiginan untuk segera pindah keyakinan semakin menggebu. Mulanya saya tertarik dengan kumandang suara azan. Kalimat-kalimat yang dilantunkan melalui pengeras suara dari masjid dekat rumah, sangat menggetarkan hati saya. Bulu kuduk jadi merinding dan ada getaran aneh yang seakan akan memanggil saya untuk masuk ke agama Islam. Saya heran, mengapa ini bisa terjadi?

Padahal, suara itu dulu saya sering dengar dan tidak terjadi apa-apa. Saya tak tahu mengapa sekarang hati saya bergetar. Saya bingung. Kejadian inilah yang membuat saya merenung kembali.

Kejadian ini segera saya ceritakan kepada saudara saya yang muslim. Menurut saudara saya, suara azan yang dikumandangkan oleh muadzin merupakan tanda panggilan shalat bagi kaum muslimin. Setiap hari ada lima waktu yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Itu yang dinamakan shalat wajib. Selain shalat wajib, menurutnya, ada shalat sunnah.

Mengenai bergetarnya hati ini, saudara saya mengatakan bahwa itu tandanya saya sudah meresapi makna di balik kalimat kalimat azan itu. Artinya, saya sudah mendapatkan titik terang untuk segera menerima Islam. Mendengar itu, hati saya sangat gembira. Tanpa sadar air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Saya terdiam. Kemudian dalam hati saya berkata, "Terima kasih Tuhan. Engkau telah memberiku petunjuk "

Kejadian dan penjelasan saudara saya itu, saga simpan dalam hati. Saya sengaja tidak menceritakan kepada saudara maupun keluarga. Saya takut jika mereka tahu, apalagi ayah. Pastilah beliau akan memarahi saya habis-habisan. Bukan itu saja, mungkin saya akan diusir atau makin dikekang bergaul.

MASUK ISLAM
Lama saya pendam niatan untuk pindah agama. Makin lama saya simpan, makin menguat keinginan itu. Akhirnya, saya ceritakan juga pada teman-teman sekolah saya yang muslim. Pada awalnya mereka heran, saat saya duduk dalam kelas mengikuti pelajaran agama. Namun, mereka akhimya maklum akan keingintahuan saya akan agama Islam. Mereka juga tidak mengusir saya, tapi mendekati saya. Saya bahagia dapat mengikuti pelajaran itu. Terus terang, saya senang jika duduk dengan mereka sama-sama mengikuti pelajaran agama Islam.

Kemudian saya utarakan keinginan untuk pindah agama. Mereka kaget bercampur gembira. Oleh mereka, saya disarankan untuk segera menghadap guru agama. Saya terima saran itu. Melalui pengurus rohani Islam yang ada di sekolah, saya dipertemukan dengan guru agama. Pada beliau saya ceritakan keinginan saya itu. Pak guru agama sangat menyambut keinginan itu. Kepada guru agama di sekolah itulah, saya berkonsultasi keagamaan. Dari beliaulah, saya banyak mendapat penjelasan perihal agama Islam.

Setelah sekian lama berkonsultasi, akhimya pada tahun 1997, saya mantapkan diri untuk menjadi seorang muslimah. Proses pengislaman saya berlangsung di sekolah. Tepatnya, dimushalla sekolah. Di hadapan guru agama, teman-teman OSIS, dan pengurus rohis (sie rohani Islam), saya berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat.

Keislamam saya ini kembali saya tutup rapat rapat buat keluarga saya. Saya tidak ingin mereka tahu. Saya sengaja merahasiakan. Ada beberapa kalangan yang tahu, di antaranya teman-teman sekolah, guru agama, saudara saya yang muslim, dan pacar saya sendiri.

Karena masih rahasia, saya sendiri jadi kesulitan untuk beribadah. Untuk shalat saja, misalnya, saya harus sembunyi-sembunyi atau shalat di masjid yang jauh dari rumah. Atau pergi ke rumah saudara yang muslim untuk menumpang shalat. Tapi dengan cara begini, saya merasa bersyukur dapat beribadah. Saya bertekad untuk mempertahankan apa yang sudah saya pegang.

Saya bertekad untuk mempertahankan Islam apa pun yang terjadi. Islam memberi saya ketenangan dan ketenteraman batin. 'Untuk memantapkan keimanan, saya banyak membaca buku-buku agama Islam, walaupun hares sembunyi-sembunyi. Selain itu, saya juga mengikuti pengajian di sekolah dan berkonsultasi dengan guru agama. Bagi saya, mereka semua adalah saudara saya yang mengantarkan iman saya kepada agama Islam. Saya bersyukur dapat bersaudara dengan mereka. [http://www.mualaf.com]

http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.405.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890

Elizabeth Heny Widiastuti : Tertarik Konsep Ketuhanan

Hidayah Allah memang tidak bisa diduga kapan dan bagaimana datangnya. Seperti yang dialami Heny Widiastuti ini. Setelah melalui perdebatan batin yang panjang, akhirnya Heny mengikrarkan diri menjadi seorang muslimah. Berikut penuturannya kepada M. Yunan Muzakki, wartawan NURANi di Semarang.

TAK henti-hentinya aku berucap syukur kepada Allah SWT. Semua itu karena kini aku telah menjadi seorang muslimah sejati. Sungguh tujuan hidup yang telah lama aku impikan. Namaku Heny Widiastuti yang terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Tiga puluh empat tahun yang lalu aku dilahirkan dari sebuah keluarga penganut agama Katholik yang taat di daerah Perumahan Tlogosari, Semarang. Sejak kecil aku tumbuh dan berkembang dengan doktrin agama Katholik. Bahkan, doktrin yang tertanam kuat tersebut membuatku berpikiran negatif tentang Islam.

Aku beranggapan, Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan. Anggapan itu bertambah subur saat aku mengenyam pendidikan formal Kristen mulai dari TK sampai SMA. Baru setelah aku kuliah di Stikubank, alam pikiran kolotku tentang Islam mulai terbuka lebar. Aku pun mulai tersadar dan mulai berpikir serius tentang apa yang selama ini merisaukan hati. Jujur, aku merasakan sebuah dorongan kuat dari hati nurani untuk menjadi seorang mualaf. Entah dari mana niatan itu datang, namun seringkali mengganggu pikiranku.

KONSEP KEESAAN ISLAM
Selanjutnya secara diam-diam aku mulai belajar tentang agama Islam. Bermula dengan membaca Alquran terjemahan yang aku pinjam dari rekan kerjaku, Budi Wahyono, yang kini menjadi suamiku. Dari Alquran tersebut aku mulai tahu tentang ajaran Islam yang sesungguhnya. Terlebih setelah membacanya, anggapan “miring” terhadap Islam yang sebelumnya tertanam kuat di otakku menjadi menghilang berganti dengan ketakjuban. Terutama dengan konsep Keesaan Tuhan.

Dalam Islam hanya mengenal satu Tuhan yang wajib disembah, yakni Allah SWT. Konsep Keesaan Tuhan tersebut tidak aku temukan dalam agamaku sebelumnya yang mengenal adanya trinitas. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa citra jelek dalam Islam itu bukan karena ajarannya yang salah, tetapi lebih kepada kejahatan individu yang tidak memahami Islam secara sempurna. Ketakjuban itu menggiringku untuk menjadi seorang mualaf.

Dengan segala persiapan mental yang kuat, aku menemui seorang ustad untuk membimbingku. Selang beberapa waktu berikutnya akhirnya aku benar-benar mantap untuk bersyahadat. Namun, niatan itu tidak segera terwujud. Saat akan disyahadatkan, ustad tersebut memberikan “wejangan” mengenai agama Islam. Semua dijelaskan mulai dari sejarah Nabi Muhammad mendapatkan wahyu sampai perkembangan Islam terkini. Di akhir wejangan tersebut, ustad bertanya kepadaku, “Apakah kamu benar-benar mantap masuk Islam tanpa ada paksaan?”

Mendapatkan pertanyaan itu, ketekatanku yang semula penuh kini mulai berkurang, saat itu juga aku mulai sangsi apakah keputusan ini memang yang terbaik bagiku. Akhirnya malam itu aku menyerah, aku masih belum siap untuk menjadi mualaf. Aku pun kembali lagi ke rumah dan beraktivitas layaknya tidak pernah terjadi apa-apa dengan batinku.

MASUK ISLAM
Beberapa waktu kemudian, kegundahan hatiku mulai menggangu konsentrasiku. Kucoba mengungkapkan kegundahanku kepada Mas Budi. Kami pun semakin akrab, aku merasa nyaman dengannya yang tak mempedulikan status agamaku saat itu. Kami pun akhirnya membina hubungan lebih serius. Suatu saat aku berkata kepada Mas Budi ingin sekali menjadi seorang muslimah sejati. Keinginan itu langsung direspon baik olehnya, ia terlihat sangat bahagia dengan niatku itu. Atas inisiatif dari Mas Budi, akhirnya kami datang ke masjid raya baiturrahman Semarang untuk berkonsultasi masalah agama.

Hari semakin hari, niatku makin bulat dan akhinya pada tanggal 20 Maret 2007, aku resmi menjadi mualaf. Dengan dibimbing KH Muslim Nur Aziz, aku mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Raya

Baiturrahman Semarang. Orangtuaku semula kaget dengan keputusanku. Namun akhirnya mereka tak mempersalahkannya. Alhamdulillah, mereka hanya berpesan bahwa agama jangan dibuat mainan, jika aku telah meyakini Islam maka mereka menyuruhku agar menjalani ajaran Islam dengan benar dan setulus hati. Kebahagiaanku semakin bertambah setelah beberapa bulan berikutnya, tepatnya tanggal 12 Mei 2007, aku dipersunting Mas Budi menjadi istrinya. Selanjutnya hari-hari kami sangat bahagia, suamiku membimbingku dalam ibadah. Kami mulai membiasakan diri salat berjamaah di rumah, Mas Budi sebagai imam salat sedangkan aku makmumnya. Jika ada sesuatu yang kurang mengerti dalam Islam, suamiku senantiasa memberikan pengarahan kepadaku. Bahkan kini aku sudah banyak hafal surat-surat pendek dalam Alquran dan beberapa amalan doa sehari-hari. Doaku yang selalu kupanjatkan adalah memohon ampunan dosa atas apa yang aku lakukan selama berpuluh-puluh tahun ini. Juga semoga rumah tangga kami langgeng menjadi keluarga yang sakinah, Amin. 04/yun/tabloidnurani.com

http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.375.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890

Chrisye : Dari Kristen Menuju Agama Kebenaran Islam

Chrisye : Suatu Perjalanan Spiritual

Sebetulnya ada hal yang sudah mengusik saya, jauh sebelum bertemu Yanti. Yakni, krisis keimanan saya. Di tengah kesibukan saya bermusik, sebetulnya saya merasakan kesepian yang misterius. Saya seperti merindukan sesuatu yang tidak bisa saya gambarkan bentuknya. Diam-diam saya menekuni agama Islam, hingga suatu saat saya menjadi sangat yakin. Saya ingin memeluk Islam.''

Usianya masih belia, masih SD. Setiap bersiap-siap berangkat sekolah, suara penyanyi seperti Frank Sinatra, Bing Crosby, Nat King Cole, atau Dean Martin yang diputar dari piringan hitam bergema di telinganya. Lantunan lagu-lagu penyanyi itu bak magnet yang menggetarkan hatinya. Diam-diam, pandangan anak kecil itu melayang, jauh. Dia membayangkan sang penyanyi pujaannya berada di atas panggung, disaksikan ribuan penonton. Larut dalam khayalan kerap membuatnya terlambat mandi. Tidak jarang dia mesti terbirit-birit berangkat ke sekolah. Peristiwa serupa terjadi hampir setiap hari.

Usia remaja, dentuman musik yang berirama kian menggetarkan hatinya. Sekali tempo, ia diajak oleh ayah dan ibunya ke sebuah restoran di kawasan Tanjung Priok. Rumah makan itu menyuguhkan musik Hawaii. Ia betah berjam-jam memperhatikan grup band itu memainkan alat musik. `'Ternyata musik bukan hanya indah didengar, tapi juga asyik dimainkan,'' kata dia membatin.

Kisah lebih 30 tahun perjalanan karier musik pria kelahiran Jakarta, 16 September 1949, ini tertuang dalam buku Chrisye, Sebuah Memoar Musikal. Diluncurkan Sabtu, 17 Februari 2007, buku itu disusun oleh Alberthiene Endah berdasarkan penuturan Chrisye selama Chrisye menjalani masa penyembuhan dari sakit kankernya. Adalah Alex Kumara, teman SMA Chrisye, yang menggagas penerbitan buku ini. `'Harapannya, ketika mengingat masa-masa yang lalu, paling tidak meringankan bebannya,'' kata Alex Kumara, CEO ANTV itu.

Chrisye menyabet berbagai penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri, seperti BASF Awards, Golden Record, atau HDX Awards. Ia juga memenangi MTV Video Music Award Asia Viewer's Choice Award 1998 yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat.

Anak Menteng

Lahir dengan nama Christian Rahadi, Chrisye kecil tinggal di kawasan Menteng. Dia bertetangga dengan keluarga Nasution yang gemar musik. Di saat Chrisye tergila-gila pada musik dengan belajar memainkan gitar secara otodidak, anak-anak Nasution (Keenan Nasution bersaudara) membentuk grup band, Sabda Nada. Alat musik mereka canggih di era itu, dibeli Ponco Sutowo di luar negeri. Mereka berlatih setiap sore di teras. Bagi Chrisye, ini hiburan dahsyat yang tak pernah ia lewatkan.

Dalam buku itu juga disebutkan, suatu kali pemain bas Sabda Nada sakit. Gauri, saudara Keenan, mendatanginya, sembari berseru, `'Chrisye, pemain bas kami sakit. Lu bisa gantikan? Soalnya kita dapat kerjaan banyak.'' Jelas saja Chrisye mengangguk, meski masih meragukan kemampuannya. Ikut berlatih, mereka cocok. `'Kamu latihan terus, ya,'' kata Gauri.

Belakangan Sabda Nada berganti nama Gibsy, atas usulan Ponco. Dari Ponco pula membawa grup band ini pentas di New York. `'Lu mau ikut kan? Kita dapat kerjaan nih, kontrak setahun manggung di sana,'' kata Ponco. Chrisye tertegun.

Kalimat Ponco seperti mimpi yang sangat muluk. Saat bersamaan ia sedih. Saat itu ia masih terdaftar sebagai mahasiswa Akademi Perhotelan Trisakti dan di Teknik Arsitektur UKI. Persoalannya, `'Bagaimana menyampaikan ke Papi?'' Lauren Rahadi, ayahnya, memang tidak melarang Chrisye bermain musik. Tapi, ayahnya tak ingin ia menjadikan musik sebagai profesi dan sandaran hidup.

Tawaran ke New York menempatkan Chrisye pada posisi sulit. `'Inilah titik yang luar biasa penting dalam sejarah karier saya,'' kata Chrisye, seperti ditulis buku itu. Sampai teman-temannya berangkat, pilihan belum ia tetapkan. Pergulatan batin itu akhirnya sampai ke telinga ayahnya.

'Benar kamu ingin ke New York?''
Chrisye mengangguk.
`'Kuliah?''
`'Saya tidak punya minat di situ, Pi.''
`'Masa depan kamu?''
`'Musik.''

Perang dingin terjadi, sampai suatu siang ayahnya menghampiri, `'Chris, kalau kamu mantap, berangkatlah.''

Chrisye memeluk ayahnya. `'Saya tahu pasti, itu keputusan yang tidak mudah bagi Papi. Saya paham, Papi melakukan manuver mahadahsyat dalam cara berpikirnya tentang masa depan saya.'' Saat itu, 1973, Ponco mengantar Chrisye ke New York, menemui teman-temannya yang berangkat lebih awal.

Akhir 1973 kembali ke Indonesia, tahun berikutnya berangkat lagi ke New York untuk masa setahun dengan tim yang berubah. Ada Abadi Soesman, Dimas Wahab, Rony Makasutji, dan Broery Marantika. Nama grup bukan lagi Gibsy, tapi The Pro's.

Jadi penyanyi

Guruh Sukarno Putra mendorongnya sebagai penyanyi ketika putra mantan presiden pertama RI itu membuat album menggabungkan musik Barat dengan tradisional Indonesia. Saat Radio Prambors menyelenggarakan Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR), akhir 1976, Chrisye menyanyikan lagu 'Lilin-lilin Kecil' karya James F Sundah. Masuk dapur rekaman, lagu itu digemari banyak orang. Tawaran panggung solo berdatangan. Chrisye menjadi penyanyi terkenal.

Ketenaran saja tidak cukup membuatnya yakin bisa menghidupi sebuah keluarga. Tapi, rasa takut itu terkikis oleh seorang wanita, GF Damayanti Noor akrab disapa Yanti salah satu personel kelompok musik Noor Bersaudara.

'Saya melihat daya tarik Yanti ketika dia bekerja menjadi sekretaris Guruh,'' kata dia menuturkan.

Saat yakin ingin menikah dengan Yanti, ada satu yang menjadi penghalang: agama. Chrisye Kristen, Yanti Islam. Soal ini, Chrisye berujar, 'Sebetulnya ada hal yang sudah mengusik saya, jauh sebelum bertemu Yanti. Yakni, krisis keimanan saya. Di tengah kesibukan saya bermusik, sebetulnya saya merasakan kesepian yang misterius. Saya seperti merindukan sesuatu yang tidak bisa saya gambarkan bentuknya. Diam-diam saya menekuni agama Islam, hingga suatu saat saya menjadi sangat yakin. Saya ingin memeluk Islam.''

Keinginan itu ia pendam. Ia tak berani mengungkapkan, apalagi kepada orang tuanya. 'Saya pernah menangis semalaman karena memikirkan ini,'' kata dia. Susah-payah ia mengumpulkan keberanian menyampaikan ke ayahnya. Tak ia nyana, `'Papi memegang perkataannya dulu. Bahwa ia hanya dititipi anak oleh Tuhan. `Semua berpulang pada kamu'.''

Jadilah Chrisye mualaf, bersama Yanti. Kini telah dikaruniai empat anak: Pasha, Risty, Masha, Nissa. Dalam buku itu, Chrisye menulis, ''Setelah menjadi mualaf, 1982, proses pendewasaan saya terus berjalan. Tahun 1990-an, saya lebih banyak meluangkan waktu mendalami agama. Buat saya, spritualitas memberikan lebih dari sekadar memiliki agama karena spritualitas memberikan rasa aman, tenteram, dan jalan. Saya merasakan hidup dan karier saya bergulir pada tujuan yang jelas berkat pendalaman spritualitas yang sama jalani.''

Cobaan akhirnya datang juga. Agustus 2005, Chrisye harus beristirahat akibat penyakit kanker paru-paru yang dideritanya. Setelah menjalani kemoterapi enam kali di Singapura, dia masih sempat menjadi bintang tamu grup band anak muda. Di tengah masa penyembuhan itulah lahir ide menuliskan perjalanan musiknya, sebuah memoar musikal. bur (RioL)

Memoar Musikal dari Chrisye
Chrisye sangat bersemangat menceritakan perjalanan karier musiknya.
image''Kondisi fisik Mas Chrisye dalam dua minggu terakhir memburuk sehingga tidak bisa hadir dalam peluncuran buku ini,'' kata Yanti, istri dari penyanyi yang pernah melejit namanya lewat lagu 'Badai Pasti Berlalu' itu, di Jakarta, Sabtu (17/2) sore.

Chrisye telah lama menderita sakit kanker, dan selama ini telah menjalani kemoterapi. Maka, peluncuran buku buku Chrisye, Sebuah Memoar Musikal, yang disusun Chrisye dan Alberthiene Endah, tanpa kehadiran sang legendaris itu.

Dalam acara jumpa pers Sabtu sore itu, Yanti mengatakan semula Chrisye berhasrat hadir, tapi kondisi kesehatannya tak memungkinannya pergi. Hadi dalam jumpa pers itu antara lain Guruh Sukarno Putra dan Alex Komara.

Menurut Yanti, buku Chrisye, Sebuah Memoar Musikal lahir dari keinginan sang legendaris itu untuk menularkan ilmu dan pengalaman yang diperoleh sepanjang karier bermusiknya selama sekitar tiga dekade. Menurut Yanti, dalam buku yang ditulis oleh Alberthiene Endah itu, ada banyak hal yang patut diketahui para musisi muda. ''Mas Chrisye tak ingin menyimpannya sendiri,'' ujar dia.

Suatu ketika, dalam kondisi sudah sakit, Alex Komara, CEO Anteve yang juga sahabat Chrisye, membujuk Chrisye agar bersedia menulis biografinya. Tapi, Chrisye enggan. Setelah sekitar dua bulan, Alex membujuk lagi, akhirnya Chrisye menyatakan bersedia.

Alberthiene, mengungkapkan buku Chrisye, Sebuah Memoar Musikal tidak hanya bertutur tentang kehidupan pribadi Chrisye. Buku ini juga berisikan perjalanan hidup dan karier bermusik Chrisye. Ia menyusun buku itu melalui proses wawancara dalam periode Mei-November 2006. Setiap kali wawancara dibutuhkan waktu hingga dua jam. Chrisye sangat bersemangat menceritakan perjalanan karier musiknya. Padahal, untuk menerima tamu, Chrisye biasanya hanya bertahan setengah jam.

''Buku itu adalah sesuatu yang ajaib, karena Chrisye adalah sosok yang introvet dan moody. Apalagi saat ini ia sedang sakit. Tetapi, semangatnya yang luar biasa membuat buku ini terwujud,'' kata Alberthiene. Albrethiene menyatakan, buku ini bukanlah buku iografi. ''Benang merahnya adalah musik. Dia banyak bercerita tentang bagaimana dia bermusik,'' ujar Alberthiene.

Buku ini digarap dengan proses yang berbeda dengan proses penyusunan buku Krisdayanti, Ram Punjabi, dan Dwi Ria Latifa, yang ia tulis lebih dulu. Dalam wawancara dengan Chrisye, ia tidak menggunakan daftar pertanyaan --hal yang ia lakukan pada Krisdayanti, Ram Punjabi, dan Dwi Ria Latifa. ''Semuanya mengalir dan terus berupaya agar Chrisye mau banyak bercerita,'' ujar dia.

Pertemuan demi pertemuan dengan Chrisye tidak berjalan sesuai jadwal yang telah disusun. Jika Chrisye dalam kondisi mood untuk bercerita, Chrisye lantas mengirim pesan singkat dan meminta Alberthiene segera datang.

''Menghadapi Chrisye dengan kondisi sekarang, saya seolah menjadi separuh jurnalis, separuh psikiater, sebab bertanya kepada Chrisye dalam kondisi sakit tentu tidak mudah,'' kata Alberthiene, yang juga pemimpin redaksi majalah Prodo itu.

Peluncuran buku Chrisye dilakukan pada Sabtu malam, berbarengan dengan gelaran malam amal yang dimeriahkan sejumlah penyanyi ternama, seperti Vina Panduwinata, Harvey Malaiholo, Yovie Widianto, Glenn Fredly, dan Heidi Yunus. Dana yang berhasil digalang dalam amal itu akan digunakan untuk pengobatan Chrisye. n ant/bur (RioL)

http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.375.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890

Herman Halim (d/h Lim Xiao Ming), Mualaf dari Bank Maspion

Allah memang berhak untuk membuka hati siapa saja untuk menerima ajaran Islam secara kaffah. Begitu juga dengan Herman Halim, Presdir Bank Maspion ini terbuka hatinya dan memutuskan untuk menjadi Muslim. “Saya masuk Islam Tanggal 27 Agustus. Saya bersyahadat di Masjid Ceng Hoo Surabaya dan disaksikan oleh banyak orang,” tuturnya kepada NURANI saat ditemui di kantornya.

Ketertarikan Herman Halim akan Islam memang berangkat dari perenungan panjang. Namun, ia mengaku lebih banyak dipengaruhi Andrew anak keduanya.

Herman menerangkan bahwa saat dirinya bersyahadat, ia tidak disertai dengan keluarganya. “Saya berangkat ke sana sendiri. Untungnya, teman saya di PITI Masjid Ceng Hoo banyak. Jadi sudah dipersiapkan. Bahkan Pak Ali Markus, memberikan selamat ketika saya sudah bersyahadat,” terangnya sambil tersenyum.

Saat ditanya tentang tanggapan keluarga ketika dirinya menjadi Muslim, Herman Halim menerangkan bahwa pihak keluarga sebenarnya mengkritik, namun tidak berani secara frontal. “Setahu saya, mereka hanya berani mengkritik atau menyindir. Mereka tidak berani bertanya secara frontal. Mungkin karena saya saudara tertua. Jadi mereka segan dengan saya,” ungkapnya.

Ditanya soal ketertarikannya kepada Islam, pemilik nama Lim Xiao Ming ini mengatakan bahwa dirinya mengenal Islam sejak enam tahun lalu, dari kesukaannya membaca buku-buku agama. “Saya memang senang membaca segala buku agama, mulai dari agama Budha, Kong Hucu, Kristen, dan Islam,” terangnya.

Ayah dua anak ini mengatakan bahwa dari kesukaannya membaca buku-buku agama inilah dia mulai menyerap intisari dari agama. “Dari pembacaan dan perenungan semua intisari agama yang saya serap, bahwa semua agama itu benar dan mengajarkan kebaikan (namanya juga mualaf – amanah). Cuma penyampaiannya bermacam-macam,’ terangnya

Setelah merenung sekian lama, akhirnya pimpinan Bank Maspion ini memilih Islam menjadi keyakinannya setelah ia memeluk agama Kristen. “Saya melihat Islam adalah agama terakhir, dan ia mengambil dari semua intisari agamayang telah ada. Sehingga ajaran Islam begitu lugas dan mudah diserap secara kaidah,” terangnya.

Ketika ditanya tentang latar belakang agama keluarga Herman Halim, ia menjelaskan bahwa keluarganya memeluk beberapa agama. “Dalam keluarga saya tidak fanatik memeluk satu agama. Saya dulu agamanya Kristen. Sedangkan saudara saya ada yang Budha ada juga yang Kong Hucu. Malah, istri saya beragama Budha,” terangnya.

Sikap inilah yang dipegang teguh Herman Halim dalam membentuk karakter keluarganya. Bahkan soal menganut agama, ia tidak pernah memaksakan kepada kedua anaknya. “Anak saya, saya bebaskan dalam memilih agama. Saya tidak pernah melarang hal itu,” ujarnya.

Terpengaruh Anak
Ketertarikan Herman Halim akan Islam memang berangkat dari perenungan panjang. Namun, ia mengaku lebih banyak dipengaruhi Andrew anak keduanya. Awalnya Herman Halim keget dan menanyakan tentang keinginan anak keduanya memeluk agama Islam. Namun, Andrew bisa meyakinkan ayah dan keluarganya tentang niatnya menjadi Muslim.

“Apa perbedaannya dengan agama yang kamu yakini selama ini ?” tanya Herman Halim kepada Andrew saat itu. “Saya pernah mencoba memeluk beberapa agama. Namun Islamlah yang membuat saya lebih tenang dan pas. Dan saya bisa lebih gampang menangkap ajaran Islam daripada yang lain,” ujar Herman yang menirukan pendapat Andrew.

Dari diskusi antara anak dan ayah inilah, Herman terus mencari dan mencari jawaban atas argumen yang dikemukakan oleh Andrew. “Saya mengenal Islam lebih banyak setelah Andrew menerangkan kepada saya dan keluarga tentang ajaran Islam sesungguhnya,” ujarnya.

“Saya juga heran, padahal ia sejak kecil sudah ada di Australia. Namun ia begitu kuat saat menerangkan tentang bagaimana ajaran Islam,” tambahnya. Herman menerangkan, dalam menjelaskan agama Islam, Andrew Halim ini membawa Al Quran dan Injil. “Ia membandingkan antara ayat per ayat. Bahkan, beberapa dari paman dan bibinya tidak bisa menyela dan menjawab pertanyaan Andrew,” terangnya.

Dari pertemuan antara Andrew dan keluarga yang juga dihadiri oleh Herman Halim itulah akhirnya wacana tentang kebenaran Islam mulai terungkap. “Sejak itu saya jadi tekun belajar Islam. Saya baca Al Quran yang terjemahan dari Bahasa Inggris dan Tionghoa. Saya terus mencari apa yang dikatakan Andrew,” terangnya.

Menurut Herman Halim, Andrew bukan tipe orang yang mudah percaya dengan sesuatu. “Andrew itu, untuk percaya dan yakin biasanya sudah melalui penelitian dan perbandingan antara baik dan buruknya,” terangnya.

Makanya, Herman Halim yakin bahwa apa yang diyakini anaknya adalah suatu kebenaran yang pasti. “Saat saya beritahu saya menjadi Muslim, ia begitu senang. Ia menyebut lafal Allahu Akbar berulang-ulang. Ia begitu senang saya masuk Islam,” paparnya.

Lebih Tenang
Herman Halim saat ini mengaku lebih tenang batinnya setelah mengucapkan dua kalimat Syahadat. “Pertama kali saya melaksanakan salat, hati saya rasanya tenteram dan damai. Tidak pernah saya merasakan hal seperti ini sebelumnya. Meski saya tidak fasih cara melafalkan Arabnya, namun saya tahu arti Bahasa Indonesianya,” paparnya sembari memejamkan mata.

“Saat shalat hati saya damai, sehingga bisa melepas kejenuhan dan stres saat bekerja. Saya lebih mantap dalam mengerjakan tugas-tugas kerja,” tambahnya.

Yang paling menarik bagi bagi pemilik nama asli Lim Xiao Ming ini dalam mempelajari Islam adalah cara menghafal bacaan salat. “Kalau salatnya sih sudah bisa dipelajari. Tapi kalau melafalkannya, ini saya masih kaku. Butuh waktu yang banyak,” ujarnya. “Kalau lupa bacaannya, bukunya saya baca, lalu saya kembalikan lagi. Lucu pokoknya kalau melihat saya belajar salat,” tambahnya sambil tertawa.

Namun, Bapak dari Albert Halim dan Andrew Halim ini tidak menyerah. Ia bertekad untuk bisa melafalkan bacaan Al Quran serta belajar membaca Al Quran. “Saya berencana mendatangkan guru privat Bahasa Arab. Dan saya ingin sekali bisa melafalkan bacaan salat,” niatnya. (Tabloid NURANI)

http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.360.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890

Yusuf 'Roger' Maramis, Dari Evangelis Menjadi Dai

Dilahirkan dengan menyandang nama besar Maramis, kehidupan yang dilalui oleh Roger Maramis sangatlah unik dan penuh tantangan. Ia merupakan keponakan dari tokoh nasionalis Kristen asal Manado dan mantan menteri keuangan Republik Indonesia yang pertama, yaitu Alexander Andris Maramis atau biasa dikenal dengan Mr AA Maramis.

Ayahnya bernama Bernardus Maramis dan merupakan adik bungsu dari AA Maramis sementara ibunya bernama Lili Amelia. Seperti keluarga yang bermarga Maramis lainnya, Roger dilahirkan dalam lingkungan Kristen yang taat.

Bahkan Ia menjadi seorang evangelis (penginjil) yang tugas utamanya melakukan ksristenisasi dengan sasaran umat Islam. Namun, hidayah dari Allah SWT akhirnya menyadarkannya. Secara mengejutkan, Roger akhirnya masuk Islam setelah berhasil mengkristenkan 99 orang Islam.

Setelah memeluk agama Islam, namanya pun diganti dengan Yusuf Syahbudin Maramis. Ia pun enggan dipanggil dengan Roger dan meminta kepada Republika memanggilnya Yusuf saja.

Yusuf dilahirkan di Malang, 26 Juni 1964. Seperti keluarga Maramis lainnya, Dahulu, dia sangat taat menjalankan ibadah Kristen. Ia kemudian masuk sekolah teologi di Bandung. Lulus dari sekolah teologi, ia kemudian menjadi seorang penginjil. Tugasnya adalah masuk ke daerah-daerah di mana banyak umat Islam namun secara ekonomi kehidupan mereka melarat. Dengan berkedok membantu secara ekonomi, Yusuf kemudian melancarkan jurus-jurusnya sebagai penginjil.

Berbagai daerah di Indonesia pernah dimasukinya. Berkat usahanya, menurut pengakuannya, sekitar 99 orang Islam berhasil dikristenkannya. ''Dari tadinya melarat, saya bantu sampai kaya. Jadi mereka pun tidak berdaya ketika saya baptis,'' ujarnya kepada Republika pekan lalu.

Namun seiring dengan kegiatannya sebagi penginjil, Yusuf selalu merenung untuk mencari kebenaran hakiki. Ia pun sering bertanya-tanya kenapa hanya orang Islam yang dijadikan target kristenisasi. Ada apa dengan Islam. Dalam hati kecilnya Ia mengakui bahwa tindakannya melakukan kristenisasi adalah tindakan yang curang. ''Saya kemudian melakukan doa malam agar ditunjukkan mana yang benar apakah Bibel atau Alquran,'' ujarnya menceritakan perenungan batinnya.

Pada fase perenungan itu, Yusuf mengaku dilanda kebingungan. ''Saya bingung, umat Kristen menuding umat Islam sebagai kafir. Begitu juga umat Islam menuding umat Kristen yang kafir,'' katanya.

Perenungan dan doanya kemudian menghasilkan sebuah pengalaman gaib pada suatu malam sekitar 1987-an. Antara sadar dan tidak, Yusuf melihat sebuah sinar masuk ke kamar tidurnya dan menerangi kamarnya dengan sangat terang dan belum pernah dialaminya seumur hidupnya.

Yusuf pun menceritakan bahwa dari kedua sinar tersebut muncul dua kitab yaitu Bibel dan Alquran. ''Namun sinar dari Alquran lebih terang dan akhirnya menutupi sinar yang keluar dari Bibel,'' katanya. Ia kemudian bertanya-tanya apakah ini petunjuk dari Tuhan kepadanya atas pergolakan batin yang dialaminya saat itu.

Kemudian secara ajaib, Alquran yang dilihatnya itu tiba-tiba terbuka pada surat Ali Imran ayat 19 yang berbunyi, ''Sesungguhnya agama yang paling mulia di sisi Allah adalah Islam''. ''Saya belum yakin apakah itu mimpi atau nyata,'' katanya. Akhirnya dengan kesibukannya sebagai penginjil, pikirannya beralih dari pengalaman itu. Namun ia tidak lupa sama sekali dengan pengalamannya itu.

Lima tahun kemudian, tepatnya 8 September 1992, Yusuf mengaku mengalami lagi kejadian tersebut dengan alur yang hampir persis sama. Dan ketika terjaga, ia yakin bahwa itu merupakan hidayah dari Allah SWT. Akhirnya ia bertekad untuk meyakini Islam sebagai agama yang benar. ''Allah telah mendengar doa saya,'' ujarnya.

Sejak saat itu, Yusuf mulai sering ke masjid untuk belajar tata cara shalat. Lama kelamaan Ia menguasai cara melakukan shalat. Selama setahun kemudian, ia telah menjalankan ibadah shalat meskipun belum mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda memeluk Islam. ''Saya berpendapat waktu itu apabila telah shalat berarti telah Islam. Sebab kalimat syahadat terucap secara langsung ketika shalat,'' ujarnya. Namun para ustadz di masjid tempat dirinya biasanya shalat, menganjurkannya untuk meresmikan masuknya ke dalam Islam dengan ikrar dua kalimat syahadat.

Alkisah, Yusuf pun menuruti anjuran para ustadz itu. Pada 25 September 1993, akhirnya Yusuf mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di Masjid Cut Meutia, Menteng Raya, Jakarta Pusat, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ikrarnya itu disaksikan sekitar dua ribu jamaah masjid dan dibimbing oleh Ustadz Abdul Aziz.

Sebenarnya, sebelum memeluk Islam, Yusuf sering berdialog dengan KH Abdullah Wasian, seorang ulama di Surabaya. Ia mengaku ingin mengajak ulama itu untuk pindah ke agama Kristen. Namun yang terjadi bukan sang kiai yang terpengaruh justru Yusuflah yang terpengaruh oleh argumen-argumen sang kiai. Dalam dialog mengenai kandungan Bibel dan Alquran, Yusuf mengaku selalu kalah argumen. ''Akhirnya saya semakin akrab dengan beliau dan ingin mendalami Islam secara sunguh-sungguh,'' ungkapnya.

Mengetahui dirinya masuk Islam, pihak keluarganya sangat berang. Bahkan ibunya sendiri sudah menganggapnya tidak ada dan tidak mau mengakui Yusuf sebagai anaknya. Sementara ayah kandungnya sudah meninggal pada 1980-an. Pihak gereja pun turun tangan dan membujuknya untuk kembali kepada agamanya dulu. Namun keyakinan Yusuf tidak berubah lagi.

Meskipun keluarga tidak melakukan intimidasi secara fisik, secara psikologis Yusuf merasa ditekan. Lontaran-lontaran kekecewaan dari keluarganya memaksanya keluar dari rumahnya. Teman-teman dekatnya pun melakukan teror lisan dan fitnah bahwa setelah masuk Islam, dirinya tidak mendapat ketenangan.

Sampai klimaksnya, Yusuf mengalami teror secara fisik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan keputusannya masuk Islam awal tahun ini. Namun Yusuf enggan membesarkan kasus ini karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusuhan berbau SARA.

Kini, Yusuf melakukan kegiatan dakwah selain sebagai penulis di Tabloid Jumat . Ia pun sedang menulis buku dengan judul Kilas Balik Tragedi Berdarah di Bumi Halmahera. Ia berharap bukunya itu dapat terbit tahun ini juga sebagai media dakwah.

Hari-harinya kini diisi dengan misi dakwah Islam agar kaum muslimin terhindar dari praktik-praktik yang dulu dijalankannya sebagai evangelis. ''Umat Islam harus bersatu dan benar-benar mengamalkan konsep ukhuwah Islamiyah,'' ujarnya. ''Jangan biarkan saudara kita melarat karena itu akan menjadi sasaran empuk pemurtadan!'' (RioL/2002)

http://groups.google.dj/group/masjid_annahl/browse_thread/thread/d0cbfaf79f3ca909/8db170f4211f38b1

Kisah Deanne dari Australia

Seringkali ketika orang bertanya kepadaku. “bagaimana kamu bisa jadi beragama Islam?”, aku menarik nafas dalam-dalam dan menceritakan versi pendek bagaimana aku menjadi muslim. Aku tidak menganggap Isla, sebagai sesuatu yang kutemukan tiba-tiba, walaupun rasanya seperti itu waktu aku menemukannya, tapi perjumpaanku dengan Islam adalah suatu saat dimana aku diberi petunjuk secara bertahap melalui pengalaman-pengalaman berbeda.

Aku lahir tahun 1978 di Australia, aku dibesarkan sebagai seorang kristen. Sebagai seorang anak, aku dulu selalu menunggu-nunggu untuk hadir ke gereja dan masuk sekolah minggu. Keluargaku tidak keras dalam hal agama –Bible tidak pernah dibaca di luar gereja, doa tidak pernah dibaca sebelum makan. Simpelnya, agama bukanlah hal yang penting dalam hidup kami. Saat aku tambah dewasa aku ingat kalau aku merasa aneh jika anggota keluarga yang lain memilih tidak hadir ke gereja. Maka, untuk beberapa tahun berikutnya aku berangkat ke gereja sendirian.
Saat aku sekolah dasar, pelajaran agama diberikan seminggu sekali. Saat aku tidak masuk, aku menunggu-nunggu pelajaran itu. Belajar agama adalah hal yang menarik, sesuatu yang kupercaya punya peranan penting, namun aku tidak tahu apakah itu.

Saat sekolah menengah, kami tidak diberi pelajaran agama. Aku merasa sedikit kehilangan karena waktu itu aku mulai membaca Bible sendirian. Aku membacanya karena tertarik saja. Aku percaya Tuhan ada, tapi bukan seperti yang biasa diterangkan di gereja. Tentang masalah trinitas, kuharap aku bisa memahaminya seiring kedewasaanku tumbuh. Ada banyak hal yang membingungkanku. Aku membaca Bible dan mengikutinya, kemudian menjsadi bingung dan berpikir mungkin terlalu banyak yang harus kupahami.

Aku merasa tidak nyaman hidup dengan budaya Australia. Aku tidak habis pikir tentang minum alkohol atau punya banyak pacar. Aku selaliu merasa tertekan dan kadang menangis memikir bahwa aku tumbuh dewasa di tengah buaya seperti ini. Keluargaku sering pergi ke luar negeri dan aku berpikir dengan pergi ke luar negerimungkin aku bisa menemukan negara di mana aku bisa hidup nyaman dan tak merasa tertekan. Setelah 3 minggu di jepang sebagai peserta pertukaran pelajar, aku memutuskan bahwa aku ingin ke sana lagi dalam jangka waktu lama. Pada akhir tahun sekolah menengah, aku diterima untuk meneruskan sekolah di Jepang.
Sebelum aku meninggalkan Australia, aku sedang melewati satu tahap religiusku. Aku sering mencoba menyembunytikan tahap ini dari orang tuaku. Untuk beberapa alasan, aku pikir mereka akan menertawaiku karena aku membaca bible. Malam sebelum aku terbang ke Jepang, koperku sudah kuisi, namun aku tak tidur sampai orangtuaku tertidur hingga aku bisa mengambil Bible diam-diam dan memasukkan ke koperku.
Hidupku di Jepang tidak berakhir dengan pengalaman menyenangkan. Aku bertemu masalah demi masalah. Waktu itu sungguh sulit. Usiaku 17 tahun dan aku mendapat pelajaran berharga tahun itu. Aku tahu apapun kesulitan itu, Tuhan tahu hikmah segala hal yang setiap orang lakukan. Aku selalu percaya bahwa saat-saat terberat kita tidaklah untuk menghentikan kita, tapi untuk membantu kita tumbuh dewasa.

Aku menghadiri pertemuan gadis Budha di Jepang. Mulanya, aku tak merasa nyaman menghadiri pertemuan ini. Aku mencoba menghindari hadir pada mulanya, tapi kemudian aku putuskan bahwa aku tak harus sama sekali mengikuti mereka. Saat aku berdoa, aku berdoa kepada Tuhan yang sama dengan yang dulu akju berdoa kepada-Nya, satu-satunya sesembahan. Saat aku mencoba untuk menggali Buddha lebih jauh kutemukan jalan buntu. Aku bahkan bertanya kepada seorang guru Jepang. Ia sering ke Amerika dan ia berkata bahwa jika di Jepang, ia orang Buddha dan jika di Amerika, ia seorang Kristen.

Dalam banyak hal aku mengambil dari Agama dan filsafat spiritual dan membentuknya menjadi sebuah agamaku sendiri. Agamaku kunamai sebagai agama Deanne. Kukumpulkan perkataan-perkataan filosof, kubaca buku filsafat dan tetap memegang kepercayaan kristiani yang bisakupahami. Aku merasa aku terus-menerus mencari kebenaran.

Ketikka aku kembali ke Australia dari Jepang, aku menjadi dekat dengan seorang gadis yang biasa berangkat sekolah denganku. Ia adalah seseorang yang selalu kuanggap sebagai teman baik. Aku sadar bahwa ia gadis yang berbeda. Mungkin ini karena aku telah berubah banyak di Jepang, atau mungkin karena aku belajar bahwa diterima secara sosial dan jadi populer tidaklah penting karena orang-orang yang membuat penilaian seperti itu tidak selalu orang yang beres moralnya. Aku menolak untuk berubah hanya agar jadi cocok dengan orang lain. Aku merasa bahwa aku telah mnemukan diriku yang sebenarnya dengan kehilangan sesuatu yang kuanggap penting.

Gadis yang jadi dekat denganku adalah seorang muslim. Satu malam kami duduk berbicara tentang agama, terutama bagimana kita percaya pada Tuhan. Ia yang paling sering bertanya, tentang bagaimana anggapanku sebenarnya terhadap siapa itu Tuhan. Aku menikmati diskusi itu. Saat kami pulang, ia membaca buku berjudul 40 hadits Qudsi. Ia membacakan beberapa kepadaku dan tentu membuatku tertarik. Aku meminjamnya sehingga aku bisa membacanya juga. Membaca buku itu dalam beberapa hal cukup menakutkanku. Bagiku, contoh Islam dapat ditemukan di berita TV. Sungguh, aku pikir, hadits-hadits itu hanyalah bagian baik dari Islam, tapi bagian buruknya juga ada di situ.

Dari situ, aku kembali ke kuliahku dan aku tidak bisa mendapatkan buku-buku lagi dari temanku sehingga aku mulai mencari di Internet. Aku telah bertemu dengan beberapa muslim lewat chatting. Mereka kuanggap sebagai teman-temanku juga tapi kupikir mereka tak akan memberitahuku hal yang sebenarnya tentang Islam. Aku pikir mereka hanya akan memberitahu bagian-bagian baik dari Islam. Walaupun demikian aku banyak bertanya. Aku masih ingat bertanya kepada seorang pria muslim apakah ia percaya pada malaikat. Malaikat merupakan bagian dari agama Deanneku dan aku memang tidak percaya kalau seorang pria Muslim akan percaya terhadap keberadaan malaikat. Pengetahuanku yang terbatas dan bodoh tentang pria Muslim adalah mereka memukul Istri-istri mereka, membunuh bayi-bayi wanita dan menjadi teroris pada waktu luang mereka. Orang yang demikian mungkin tak percaya dengan malaikat, begitu pikirku. Tentu saja aku terkjut saat ia berkata, “tentu, aku percaya kepada malaikat”. Dari situlah aku tertarik untuk mengetahui apa yang Muslim percayai.

Proses belajarku tentang Islam lewat Internet berlanjut lewat chatting da mencetak homepage. Aku tak bercerita kepada siapapun bahwa aku sedng belajar tentang Islam, bahkan tidak kepada sahabatku. Pertama, karena aku tidak Ingin mereka bercerita hanya bagian baik dari Islam, dan kemudian bahkan ketika aku sadar bahwa aku tidak bisa menemukan bagian buruk Islam, aku tak ingin mereka berharap agar aku masuk Islam. Aku ingin keputusan ini murni keputusanku sendiri-tanpa tekanan.

Keputusan yang kumaksud akhirnya bukanlah benar-benar suatu keputusan. Aku sering ditanya, “apa yang membuatmu memutuskan untuk menjadi seorang muslim?” Tapui ketika sesuatu yang bersih dan logis seperti Islam diletakkan dihadapanmu, maka tak ada pilihan lain. Bukannya aku ingin mengatakan bahwa keputusan untuk mengucapkan syahadat adalah mudah. Banyak hal yang membuatku berhenti pada mulanya. Pertama, aku tidak berpikir bahwa aku sudah tahu cukup tentang Islam, tapi ini bukanlah masalah karena aku tak akan pernah menemukan keburukan Islam. Aku lalu sadar bahwa mengucapkan syahadat bukanlah langkah terakhir, tapi malah langkah pertama. Insya Allah, selama hidupku aku akan terus Belajar. Hal lain yang mrembuatku ragu adalah mengubah ’makna’ kata Islam dari seluruh hal buruk yang kukaitkan padanya. Aku selalu berpikir bahwa aku tak mungkin menjadi muslim!

Oktober 1997, sahabatku datang menemaniku mengucapkan syahadat di sebuah Islamic Center di Melbourne. Aku tetap takut pada saat itu, tapi saat salah seorang akhwat ceramah tentang akidah, dan mentalku naik, aku tahu tak ada yang harus kulakukan selain mengucapkannya lewat llisanku.
Akhirnya, kuruntuhkan tembok mental yang telah membuatku berhenti. Aku harus menirukan lafal arab dari akhwat itu. Dengan kata pertamanya, aku menangis Aku tidak bisa menerangkan perasaanku. Sahabatku duduk disisiku agak belakang. Aku tak menyadari ia juga menangis. Aku rasakan banyak kekuatan di sekelilingku dan pada kalimah itu, tapi aku merasa diriku begitu lemah.


Kadang aku berpikir, keluargaku bertanya-tanya apakah ini hanya fase yang kualui dalam hidupku, sebagaimana fase hidupku yang lain seperti dulu fase vegetarianku. Masih banyak yang harus kupelajari. Tapi satu hal yang kuingin orang-orang tahu bahwa aku mengetahui. Alhamdulillah, Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia. Semakin banyak Anda pelajari, Insya Allah, semakin banyak kau jumpai keindahan dalam Islam.


Dikutip dari majalah Elfata No. 7 vol.6 2006

Cerita Ibrahim

Ibrahim, seorang remaja dari Pennsylvania, AS, masuk Islam pada umur 17 tahun. Kesulitan dirinya menerima paham Yesus sebagai Tuhan mengantarnya kepada Islam.

Suatu hari yang berarti akan datang pada kehidupan setiap orang, atau paling tidak, aku berharap, ia akan datang, ketika mereka menyadari bahwa merekan tidak hanya harus percaya apa yang mereka percayai, apapun itu, tapi keluar dan mengumumkan kepada dunia. Untunglah, waktu itu datang segera padaku. Aku berumur 17 Tahun, dan Islam adalah agamaku yang kumumkan kepada dunia.

Aku dibesarkan dalam Agama Katolik. Aku pergi ke sekolah katolik minggu, bernama CCD, tapi pandangan katolik terhadap Tuhan tidak pernah menjadi peranan penting dalam masa kecilku. Sekolah minggu hanyalah rutinitas pada hari minggu. Bagaimanapun juga, aku mulai menikmati misa sekitar kelas 7. hal itu membuatku merasa enak untuk melakukan perbuatan yang benar. Aku adalah orang yang agak memegang masalah moral, tapu aku tak pernah secara sungguh-sungguh belajar akidah Katolik. Aku hanya tahu bahwa aku merasa baik saat berdoa kepada Penciptaku.

Aku dulu benar-benar suka agama Katolik., tapi aku selalu memandang orang-orang katolik bersama Yesus sedang beribadah kepada Tuhan, bukannya kami dulu sedang beribadah kepada Tukan dan kepada Yesus sebagai satu kesatuan. Aku melihat Yesus sebagai teladan bagiku dalam hal bagaimana menjadi pengikut yang baik dan hamba Tuhan yang baik, bukan sebagai Tuhan itu sendiri.

Sebelum aku masuk ke kelas 8, pada musim gugur 1999, aku belajar banyak tentang agama Katolik. Gereja Katolik mempunyai banyak pandangan tentang Yesus. Tak ada yang serupa pandanganku bahwa ‘Tuhan Yang Maha Esa sedang kuibadahi dengan Yesus sebagai teladan’. Ini seperti mereka baru saja membuka kaleng pengawet, kebingungan yang tidak logis, dan mereka mencoba memaksaku untuk menelannya. Ini tidak benar.


Aku tetap mengikuti gereja Katolik, dan tetap bersenbahyang. Tapi aku bicara kepada banyak orang di gereja tentang perasaanku bahwa Yesus bukanlah Tuhan tapi tidak lebih dari seorang nabi, seorang teladan. Mereka bilang kepadaku bahwa aku harus menerimanya sebagai Tuhan dan sebagai sebuah pengorbanan, dan seterusnya dan seterusnya. Aku tidak menerima kepercayaan ini. Aku mencoba mampercayainya tapi aku merasa Tuhan menyembunyikan sesuatu untuk kemaslahatanku. Di luar sana ada hal yang lebih baik bagiku. Aku terus mengikuti gereja.

Suatu hari di pertengahan Desember 1999, tanpa alasan yang dapat kuingat aku mulai membaca tentang Islam di Ensiklopedia. Aku ongat aku membuat daftar kata yang bercetak tebal di entri Islam di sebuah buku tua terbitan 1964, GrolierWorld Book, yamg kutemukan di lemari dindingku, dan mempelajarinya. Untuk beberapa alasan, aku terkesan dengan agama ini, dan inilahsemua hal tentang Tuhan dan inilah semua yang kupercaya dalam hidupku, semua ada disini.

Sebelumnya, aku telah menrima bahwa tidak ada kepercayaan seperti yang aku rasakan dalam diriku. Tapi kemudian, aku terkesan bahwa aku menemukan agama ini. Aku menemukan bahwa kepercayaanku dulu ternyata punya nama, dan punya jutaan pemeluk lainnya!

Tanpa sebelumnya pernah membaca AlQur’an atau bicara kepada muslim yang lain, aku mngucapkan syahadah pada 31 Desember 1999. Sembari bulan-bulan berlalu, aku belajar banyak.Aku melwati banyak periode kebingungan, bahagia, ragu, dan kekaguman. Islam membawaku pada perjalanan yang mencerahkan tentang diriku, orang lain, dan Tuhan.

Perubahanku berjalan lambat. Aku masih mengikuti misa lima bulan sejak aku mengubah agamaku. Tiap aku mengikuti, aku merasa semakin jauh dan jauh dari jemaat gereja, tapi kurasa semakin dekat dan dekat kepada Tuhan dan nabi Isa.

Selama Ramadhan 2001, waktu puasa keduaku, aku pergi ke perpustakaan selama jam makan siang. Adalah baik bagiku melakukannya daripada duduk-duduk bersama teman-tmanku, karena tugas-tugasku bisa selesai di perpustakaan. Aku bersumpah, rankingku naik. Aku mulai bicara dengan satu-satunya muslim lain di sekolahku, John. Kami bicara tentang Islam semakin banyak setiap hari. Ia adalah seorang saudara yang mngagumkan dan ia membawaku ke masjid pada jum’at terakhir Ramadhan. Mengunjungi masjid adalah hal terbaik yang pernak terjadi dalam hidupku.

Tuhan benar-benar menjawab doaku waktu itu. Aku pikir aku akan gugup tapi ternyata tidak sama sekali. Pergi kemasjid adalah hal alami yang pernah kulakukan dalam hidupku. Aku merasa di rumah. Aku menyadri sesuatu sebelum meninggalkan masjid. Ketika aku duduk di lantai, berdoa kepada Allah, aku menyadari ruang itu penuh dengan orang lain tapi it’s okay. Ketahuilah, dirumah saat seseorang menanyaiku apa yang aku kerjakan, aku tidak pernah berkata aku sedang shalat. Aku tidak pernah mengaku kepada siapapun. Ini terlalu aneh. Tapi di masjid, aku shalat menghadap Allah di shaf bersama muslim-muslim lainnya dan aku menikmati hal ini. Lebih baik dari baik! Aku merasa aman. Ini adalah saat paling merdeka sejak aku menerima Allah dalam hatiku pada tahun baru dua tahun lalu.

Aku tidak pernah memberitahu orangtuaku tentang keislamanku. Bahkan kenyataannya, aku tidak merencanakan untuk memberitahu kedua orangtuaku.petunjuk palin berarti yang kuberikan terjadi sekitar jam 1 pagi pada 16 desember 2001, ketika aku kahirnya mengatakan kepada ayahku bahwa aku akan pergi ke masjid di pagi hari dengan seorang teman ketika ayahku bertanya kepadaku kenapa aku menset alarm.

Ia mengatakan kepadaku bahwa ia tidak sabar menungguku pergi dari rumah, bagaimana kcewanya dia denganku dan bagaimana bodohnya diriku dengan pilihanku. Aku tak pernah memberitahu mereka secara langsung karena menurutku lebih baik mengungkapkan keislamanku sedikit demi sedikit; aku tak ingin mengejutkan keluargaku. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan ayahku jika ia tahu bahwa aku benar-bnar mengamalkan Islam.

Tampaknya, ia membenci keberanianku memplajari agama ini, yang ia pikir belajar agama itulah yang selama ini seluruhnya kulalukan. Aku mengerti bahwa ayahku adalah seorang yang depresi, karena itu aku tak membanrahnya dalam hal ini. Maksudku, ini adalah salahnya sendiri nberpikirbahwa dirinya begitu pandai sehingga ia pikir dirinya tak butuh Tuhan. Pemikiran seperti itulah yang membuatnya begitu depresif. Tapi aku tah berpikir bahwa ayahku menyadari betapa kerasnya hati seseorang ketika kau menolak kebutuhan manusiawi akan hubungan dengan penciptamu. Ia tidak tahu apa yang sedang ia masuki.

Ibuku tak tahu bahwa aku seorang muslim, tapi setidaknya ia tak menunjukkan kemarahannya padaku ketika aku pergi ke masjid. Ia kcewa dengan hal ini tapi ia tidak pernah memberitahuku betapa aku telah mengecewakannya, paling tidak.. Sebagaimana perintah Allah, aku tetap meneruskan berbakti pada orangtuaku selama mereka tidak berusaha memurtadkanku. Hal terbaikyang kulakukan untuk ereka adalah menjadi contoh baik sehingga suatu hari nanti, Insya Allah, mereka dapat tahu bahwa ada jalam hidup yang baik daripada hidup dngan menolak Tuhan.

Aku belum pernah ke timur tengah, tapi aku mempelajari Islam tiapm hari. Aku membaca banyak di Internet, dan diskusi banyak dengan muslim lain di intrenet dan lewat telepon jga. Aku telah bertemu beberpa orang di Internet yang sungguh baik yang mengajariku banyak tentang kehidupan, Islam, dan Allah.

Sekarang, aku adalah muslim dan tak pernah akan berubah Insya Allah. Aku bersyukur pada Allah bahwa aku telah dapat melewati banyak masa-masa keraguan. Ketika aku mengingat kembali aku tahu bahwa bukannya Allah meninggalkanku tapi Allah mengingatkanku waktu itu untuk bertanya ada diriku sendiri seberapa cintaku kepada-Nya dan apakah aku akan memutuskan untuk memahamia agamaku. Satu minggu penuh tangis, depresi, doa, banyak membaca, dan mengabaikan hal lainnya dalam hidupku mungkin kedengaran ekstrim, tapi imbalannya, mengetahui banyak tentang diri-Mu, Tuhan, dan hubungan dengan-Mu, adalah lebih berharga daripada harta benda duniawi. Melalui pembelajaranku terhadap Islam aku mendapatkan hadiah yang paling berharga dari Allah, Islam. Aku telah mendengar orang Kristen berkata bahwa dengan agama Kristen kamu dapat menemukan Tuhan dalam hubungan pribadi. Dalam Islam, hubungan kita dengan Allah adalah lebih dalam dari itu. Allah bersamaku setiap waktu, menjagaku, mengajariku, melindungiku, memberiku hidayah, membuatku merasa nyaman. Alhamdulillah terhadap nikmat Islam.

Islam telah berbuat banyak kepadaku. Lebih dari yang kukira. Setiap hari, hal ini semakin baik. Aku meninggalkan hidupku yang dulu sekedar coba dan salah menuju petunjuk, dan sekarang aku tahu pilihan terbaik apa yang harus kubuat. Dari pencarian siapa diriku dan menghabiskan diriku dalam kebingungan, aku mendapatkan petunjuk. Aku tak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkapkannya. Allah menyingkapkan kepadaku apakah hidup ini. Aku tak perlu menebak-nebak lagi.

Itulah yang telah aku lalui-yang Allah berikan kepadaku- itulah aku. Dan inilah pengumumanku kepada dunia. Islam adalah lebih dari yang kau kira. Tapi jangan hanya kau dengar, pelajarilah ia.

Dikutip dari majalah Elfata No. 5 vol.6 2006

Mahmud Gunnar Erikson (Sweden)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi Rasul-Nya yang mulia. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah satu-satunya, tanpa sekutu, dan Saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan Utusan-Nya.

Hubungan saya dengan Islam untuk pertama kali dimulai sejak lima tahun yang lalu. Seorang sahabat baik saya telah membacakan Kitab Suci Al-Qur'an karena beberapa alasan. Saya tidak akan melupakan Kitab Suci ini yang oleh sahabat saya telah diberitahukan sebahagian isinya. Kemudian saya berusaha untuk mendapatkan terjemahannya dalam bahasa Swedia. Saya telah berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari sahabat .saya itu, dan mulailah saya membacanya. Dan karena saya mendapatkannya sebagai pinjaman dari sebuah perpustakaan umum, maka saya tidak dapat memegangnya lebih dari dua minggu. Karena itulah maka saya terpaksa meminjamnya kembali berulang-ulang, dan setiap kali saya membacanya, bentambahlah keyakinan saya bahwa isi Al-Qur'an itu benar, sampai pada suatu hari bulan Nopember tahun 1950 saya memutuskan untuk memeluk agama Islam.

Satu atau dua tahun telah berlalu dalam keadaan saya sebagai penganut Islam, tapi tidak lebih dari itu. Sampai pada suatu hari saya datang ke perpustakaan umum pusat di Stockholm. Saya teringat kembali bahwa saya seorang Muslim. Lalu saya berusaha mencari perpustakaan yang menyimpan buku-buku tentang agama Muhammad s.a.w. Saya bergembira ketika saya mendapatkan satu di antaranya, lalu saya meminjamnya sebentar dan saya membacanya dengan penuh perhatian bersama terjemahan Al-Qur'an dari Muhammad Ali. Sekarang saya menjadi lebih yakin tentang kebenaran Islam, dan sejak itulah saya mulai melaksanakannya dalam praktek.

Kemudian dalam satu kesempatan, saya menggabungkan diri dengan Jema'ah Islam Swedia, dan saya melakukan Sembahyang 'Id untuk pertama kalinya di Stockholm pada tahun 1952. Inilah posisi saya ketika saya pergi ke Inggris, tepat beberapa minggu sebelum hari 'Idul-Fithry tahun 1372 H. Pada liari pertama saya sampai di sana, saya pergi ke Mesjid Woking, di mana saya dianjurkan supaya mengumumkan ke-Islaman saya pada hari raya 'Id. Dan hal itu telah saya laksanakan.

Sesungguhnya apa yang mengagumkan saya dalam Islam dan tidak habis-habisnya mengagumkan saya, ialah ajarannya yang rasional. Islam tidak akan minta kepada anda supaya mempercayai sesuatu sebelum anda mengerti dan mengetahui sebab-sebabnya. Al-Qur'an telah memberikan contoh-contoh kepada kita mengenai adanya Allah secara tidak berlebih dan memang tidak bisa dilebih-lebihkan.

Segi lainnya dalam Islam yang mengagumkan saya, ialah sifatya yang menyeluruh meliputi segala pelosok dunia dan segala bangsa. Al-Qur'an tidak menyebut Allah itu sebagai Tuhannya bangsa Arab atau bangsa lain tertentu. Tidak! Bahkan tidak juga Islam menyebutkan Allah sebagai Tuhan dunia ini, akan tetapi Tuhannya seluruh alam (Rabbul-'alamin). Sedangkan Kitab Suci yang lain menyebutnya sebagai "Tuhan Bani Israil" dan sebagainya. Lebih dari itu, malah Islam memerintahkan supaya kita beriman kepada semua Rasul, baik yang tertulis dalam Al-Qur'an maupun yang tidak.

Akhirnya saya telah menemukan dalam kitab-kitab wahyu yang terdahulu beberapa keterangan yang banyak sekali tanpa keraguan tentang akan diutusnya Muhammad s.a.w. Dalam hal ini, Al-Qur'an menyatakan:

Hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku buat kamu, dan Aku rela Islam sebagai agama kamu. -- Al-Maaidah 3.
Dan:

Sesungguhnya agama yang diridlai Allah ialah Islam --. Ali Imran 19.

--------------------------------------------------------------------------------
Mengapa Kami Memilih Islam Oleh Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar Affandie
Cetakan Ketiga 1981 Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung

Abdullah Uemura (Jepang)

Dalam soal iman, Islam meletakkan titik berat pada ke-Esaan Allah s.w.t., kebangkitan dari alam kubur, kehidupan di akhirat dan perhitungan amal atau hisab, disamping segala sesuatu yang penting atau berguna untuk kemaslahatan hidup. Boleh dikatakan bahwa kebiasaan dan ketekunan dalam mencari keridlaan Allah s.w.t. itu dalam kenyataannya merupakan inti dari pada ajaran-ajaran Islam. Dan dalam pencarian saya akan kebenaran, ternyata saya menemukannya dalam Islam.

Agama Kristen, atau lebih tegas Injil-Injilnya yang kita dapati sekarang itu tidak lagi sebersih pada waktu diturunkannya dari Allah s.w.t. Dia telah mengalami perubahan berkali-kali. Dengan demikian, maka tidaklah mungkin bisa dikatakan bahwa agama Kristen itu masih asli. Sedangkan Al-Qur'anul-Karim diturunkan dari Allah s.w.t. dan selalu tetap seperti keadaannya semula, tanpa penggantian atau perubahan sedikitpun. Agama Kristen yang sampai kepada kita, tidak lagi dalam bentuk yang diturunkan dari Allah s.w.t. Dia hanya terdiri dari beberapa kalimat fatwa Jesus Kristus dan biografmya, dan kedudukan Kristus itu dalam agama Kristen sama seperti kedudukan Hadits dalam agama Islam. Dengan demikian, maka apa yang diwahyukan Allah dalam agama Kristen itu tidak langsung sampai kepada kita seperti halnya dalam agama Islam.

Yang paling kacau dalam agama Kristen ialah ajaran Trinitas yang wajib diimani tanpa dapat dimengerti permasalahannya, karena tidak ada tafsirannya yang bisa diterima oleh akal pikiran. Disamping itu ada yang paling mengejutkan, yaitu bahwa pembebasan orang-orang yang berdosa itu ialah kematian yang abadi yang didalamnya termasuk orang-orang yang bukan Kristen, karena mereka itu dalam pandangan Kristen adalah orang-orang yang berdosa, karena mereka tidak percaya kepada ajaran-ajaran Kristen. Dan kalau orang-orang yang berdosa itu yakin atas abadinya kematian mereka, tentulah reaksi alaminya mereka akan tergelimang dalam segala keburukan dan kesenangan sekedar untuk memuaskan hawa nafsu mereka sebelum sampainya ajal, sebab kematian itu dalam pandangan mereka adalah penghabisan untuk selama-lamanya.

Agama Buddha Mahayana Jepang adalah campuran antara agama Buddha Ortodox dan agama Buddha primitif. Buddha Mahayana serupa dengan Brahmana, dan ajaran-ajarannya jelas menunjukkan keingkarannya kepada Tuhan, karena Buddha tidak mengakui jiwa abadi atau Tuhan. Sedangkan agama Brahmans, walaupun dalam hal keingkarannya kepada Tuhan sudah jelas, tapi para pengikutnya tidak tahu hakikat Brahma yang sebenarnya. Mereka berusaha untuk meletakkannya dalam pengertian philosofis, dan dalam usahanya ini serta dalam penyelidikan mereka tentang hakikat kebenaran melalui penglihatan dan pendengaran, mereka tetap lebih suka menyembah makhluk ciptaan Tuhan, dari pada menyembah Tuhan itu sendiri. Hanya Islam-lah satu-satunya agama yang menunjuki kita kepada Allah s.w.t., Tuhan Yang Hidup, Yang Memiliki segala urusan dan segala kekuasaan, yang bersih dari kebutuhan akan tempat, Yang tidak Melahirkan tidak dilahirkan, Yang memiliki Kerajaan di langit tujuh dan di bumi, Yang semua makhluk hanya tunduk kepada-Nya, hanya kepada-Nya semua makhluk pada takut, dan hanya kepada-Nyalah semua makhluk tunduk dan menyerah.

Agama Shinto7 di Jepang kekurangan nilai keutamaan, karena Shintoisme itu tidak mementingkan akhlak atau moral secara khusus. Dalam Shintoisme, tuhan itu banyak, persis agama berhala yang membolehkan penyembahan beberapa patung berhala.

Islamlah satu-satunya jawaban terhadap jeritan jiwa yang mencari jalan hidup yang rasional dan kebenaran.

Catatan kaki:

7 Agama Shinto tersiar di Jepang sampai tahun 1945. Sesudah itu padam.

--------------------------------------------------------------------------------
Mengapa Kami Memilih Islam Oleh Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar Affandie
Cetakan Ketiga 1981Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung

T.H. McBarkli (Irlandia)

Saya hidup dalam lingkungan para penganut aliran Protestan, dan sejak kecil saya merasa tidak puas dengan ajaran-ajaran ke-Kristenan. Maka sesudah saya masuk universitas, keraguan saya itu menjadi kenyataan, sebab agama Kristen --seperti yang saya lihat-- sedikit sekali artinya, atau bahkan bukan apa-apa buat saya. Dalam keputusasaan saya untuk menemukan kepercayaan yang mengandung segala nilai yang saya cita-citakan, saya telah mencoba memberi kepuasan kepada jiwa saya dengan cara menggambarkan suatu kepercayaan yang tidak begitu jelas memancar dari dalam jiwa saya.

Pada suatu hari saya mendapat sebuah buku yang berjudul 'Islam and Civilization.' Belum selesai saya membaca buku itu, sudah ternyata bagi saya bahwa aliran yang ditunjukkan oleh buku itu hampir semuanya mengandung apa yang telah saya khayalkan mengenai kepercayaan.

Toleransi Islam bertentangan dengan fanatisme aliran-aliran Kristen, ilmu pengetahuan dan kemajuan negeri-negeri Islam pada abad pertengahan berlawanan dengan kebodohan dan khurafat yang merajai negeri-negeri lain pada waktu yang sama, dan teori logis dari Islam mengenai pembalasan atau hukuman terhadap segala amal perbuatan manusia merupakan tantangan terhadap teori penebusan dosa manusia yang diajarkan oleh Kristen. Semua itu merupakan soal-soal yang meyakinkan saya.

Akhirnya saya yakin atas kebenaran ajaran Islam yang luas meliputi seluruh alam kemanusiaan, untuk yang kaya dan yang miskin secara sama rata, bisa dan mampu melenyapkan segala rintangan yang ada antara segala aliran dan warna kulit.


--------------------------------------------------------------------------------
Mengapa Kami Memilih Islam Oleh Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar Affandie
Cetakan Ketiga 1981 Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung