Kamis, 01 Maret 2012

Puspita Dewi Muliana : Suara Azan Menggetarkan Kalbu

SAYA dibesarkan dalam tradisi keluarga Kristen Katolik. Ayah saya Yohanes dan ibu bernama Lalan. Ayah menginginkan saya menjadi penganut Kristen yang taat, baik di rumah maupun di masyarakat dan sekolah. Ayah selalu mengedepankan nilai-nilai agama Kristen dalam kehidupan kami. Ayah juga menerapkan kedisiplinan dalam keluarga. Untuk masalah ini ayah sangat ketat. Setiap pulang sekolah, saya dan adik harus tetap berada dalam rumah. Boleh bergaul, asal jangan main-main, apalagi jika bermain dengan teman-teman non-Kristen.

Hal ini sangat diterapkan ayah, mengingat saya tinggal dan bersekolah di lingkungan yang mayoritas muslim. Ayah tidak menginginkan saya terlalu dekat dengan mereka. Ayah takut saya terpengaruh oleh ajaran agama mereka. Pokoknya, bagi ayah sekali Kristen tetap Kristen

Sikap ayah ini membuat saya heran. Dulu menurut saudara, ayah yang muslim, ayah adalah seorang penganut agama Islam. Karena cinta pada seorang wanita, yang kini menjadi ibu saya, ayah rela melepaskan akidah Islam untuk masuk ke agama Kristen Katolik.

Kini, saya tahu alasan ayah mengapa saya dididik dan diajarkan secara intens mengenai ajaran-ajaran Kristus. Ayah menginginkan saya dan adik menjadi penganut yang taat. Keinginan ini, menurut saya, dilandasi cintanya pada ibu.Terus terang, saya tidak suka dengan sikap ayah yang seperti itu.

Beragama, jika berdasarkan cinta, bukan karena iman adalah sikap beragama yang semu. Cinta, menurut saya adalah relatif. Iman bagi saya merupakan landasan atau fondasi. Sikap ayah ini menjadi bahan renungan saya. Saya tidak habis mengerti. Rasanya saya mulai kurang sreg dalam beragama seperti itu. Saya mulai berpikir untuk segera meninggalkan agama yang diajarkan ayah itu.

MENDENGAR AZAN
Keiginan untuk segera pindah keyakinan semakin menggebu. Mulanya saya tertarik dengan kumandang suara azan. Kalimat-kalimat yang dilantunkan melalui pengeras suara dari masjid dekat rumah, sangat menggetarkan hati saya. Bulu kuduk jadi merinding dan ada getaran aneh yang seakan akan memanggil saya untuk masuk ke agama Islam. Saya heran, mengapa ini bisa terjadi?

Padahal, suara itu dulu saya sering dengar dan tidak terjadi apa-apa. Saya tak tahu mengapa sekarang hati saya bergetar. Saya bingung. Kejadian inilah yang membuat saya merenung kembali.

Kejadian ini segera saya ceritakan kepada saudara saya yang muslim. Menurut saudara saya, suara azan yang dikumandangkan oleh muadzin merupakan tanda panggilan shalat bagi kaum muslimin. Setiap hari ada lima waktu yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Itu yang dinamakan shalat wajib. Selain shalat wajib, menurutnya, ada shalat sunnah.

Mengenai bergetarnya hati ini, saudara saya mengatakan bahwa itu tandanya saya sudah meresapi makna di balik kalimat kalimat azan itu. Artinya, saya sudah mendapatkan titik terang untuk segera menerima Islam. Mendengar itu, hati saya sangat gembira. Tanpa sadar air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Saya terdiam. Kemudian dalam hati saya berkata, "Terima kasih Tuhan. Engkau telah memberiku petunjuk "

Kejadian dan penjelasan saudara saya itu, saga simpan dalam hati. Saya sengaja tidak menceritakan kepada saudara maupun keluarga. Saya takut jika mereka tahu, apalagi ayah. Pastilah beliau akan memarahi saya habis-habisan. Bukan itu saja, mungkin saya akan diusir atau makin dikekang bergaul.

MASUK ISLAM
Lama saya pendam niatan untuk pindah agama. Makin lama saya simpan, makin menguat keinginan itu. Akhirnya, saya ceritakan juga pada teman-teman sekolah saya yang muslim. Pada awalnya mereka heran, saat saya duduk dalam kelas mengikuti pelajaran agama. Namun, mereka akhimya maklum akan keingintahuan saya akan agama Islam. Mereka juga tidak mengusir saya, tapi mendekati saya. Saya bahagia dapat mengikuti pelajaran itu. Terus terang, saya senang jika duduk dengan mereka sama-sama mengikuti pelajaran agama Islam.

Kemudian saya utarakan keinginan untuk pindah agama. Mereka kaget bercampur gembira. Oleh mereka, saya disarankan untuk segera menghadap guru agama. Saya terima saran itu. Melalui pengurus rohani Islam yang ada di sekolah, saya dipertemukan dengan guru agama. Pada beliau saya ceritakan keinginan saya itu. Pak guru agama sangat menyambut keinginan itu. Kepada guru agama di sekolah itulah, saya berkonsultasi keagamaan. Dari beliaulah, saya banyak mendapat penjelasan perihal agama Islam.

Setelah sekian lama berkonsultasi, akhimya pada tahun 1997, saya mantapkan diri untuk menjadi seorang muslimah. Proses pengislaman saya berlangsung di sekolah. Tepatnya, dimushalla sekolah. Di hadapan guru agama, teman-teman OSIS, dan pengurus rohis (sie rohani Islam), saya berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat.

Keislamam saya ini kembali saya tutup rapat rapat buat keluarga saya. Saya tidak ingin mereka tahu. Saya sengaja merahasiakan. Ada beberapa kalangan yang tahu, di antaranya teman-teman sekolah, guru agama, saudara saya yang muslim, dan pacar saya sendiri.

Karena masih rahasia, saya sendiri jadi kesulitan untuk beribadah. Untuk shalat saja, misalnya, saya harus sembunyi-sembunyi atau shalat di masjid yang jauh dari rumah. Atau pergi ke rumah saudara yang muslim untuk menumpang shalat. Tapi dengan cara begini, saya merasa bersyukur dapat beribadah. Saya bertekad untuk mempertahankan apa yang sudah saya pegang.

Saya bertekad untuk mempertahankan Islam apa pun yang terjadi. Islam memberi saya ketenangan dan ketenteraman batin. 'Untuk memantapkan keimanan, saya banyak membaca buku-buku agama Islam, walaupun hares sembunyi-sembunyi. Selain itu, saya juga mengikuti pengajian di sekolah dan berkonsultasi dengan guru agama. Bagi saya, mereka semua adalah saudara saya yang mengantarkan iman saya kepada agama Islam. Saya bersyukur dapat bersaudara dengan mereka. [http://www.mualaf.com]

http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.405.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890

Tidak ada komentar:

Posting Komentar