Kamis, 25 Oktober 2012

PERJALANAN IBU DEWI KE ISLAM : AKHIRNYA KUTEMUKAN KEBENARAN

Saya terlahir dari keluarga Nasrani. Ayah saya yang tadinya muslim pun menjadi nasrani ketika menikah dengan seorang wanita kristen ibu saya. Keluarga saya termasuk kristen militan yang menuntut anak-anaknya untuk turut dalam misi penginjilan. Misi yang pertama dilakukan saat kita pindah di Lombok, itu sekitar tahun 1997.

Hidup itu tiada henti bertanya akan segala sesuatu. Tapi dalam Kristen, ketika benak penuh pertanyaan hal janggal, tak satupun terjawab kecuali dengan jawaban, “Ya” lalu kemudian “Amen”, kemudian “Amen” dan “Amen”.

Saya mengalaminya pertama kali saat saya SMP. Pada saat itu, hati kecil saya bertanya-tanya dan mulut saya pun melontarkannya. “Yesus itu Tuhan, kan? Sedangkan Tuhan itu Maha Segalanya, tapi kenapa mata manusia mampu menangkapnya? “, tanya saya ke guru di sekolah Katolik tempat saya belajar.

Pertanyaan-pertanyaan tak berhenti begitu saja. Saya juga menanyakan tentang kenapa Yesus muncul dalam berbagai versi dan wajah. Ada versi yang berwajah Barat, Nigeria, Indonesia bahkan India. Tapi tetap saja tak ada jawaban yang memuaskan. Bahkan bisa dibilang tak pernah ada jawaban.

Sementara, hati kecil tetap tak mau berhenti berontak. Hingga saya menginjak dewasa, saya tetap tak bisa memasukkan dalam kotak nalar benak saya, tentang apa yang namanya misi penginjilan yang mengajak orang-orang beragama di luar Kristen agar masuk Kristen. Bahkan, saya pernah menolak untuk jadi penginjil. Di dalam Kristen, ada ajaran, “Jadilah kau pengail orang, kalau turutku (Tuhan Yesus)”. Saya lalu berdalih, bukan menentang ajaran ini, tapi menentang tafsiran bahwa mengailnya juga di kolam yang sudah terbentuk sementara lautan luas masih belum tunduk. Debat saya akan verse ini pun sia-sia. Saya masih harus tetap menjalankan ini semua mengkristenkan orang yang sudah beragama. Menjadi misionaris.

Saat hati bergejolak penuh pertanyaan, saat itu juga hati kagum dengan ketaatan orang-orang Islam yang berbondong-bondong ke masjid ketika ada panggilan Adzan. Ketika kita terlelap dalam tidur, mereka sudah bangun untuk mendirikan shalat menemui Tuhannya. Kemudian saya mulai bertanya-tanya tentang apa itu Tuhan?, Apa itu roh kudus?.

Masalah Trinitas pun tak luput saya tanyakan kepada seorang pendeta. Bahwa 3 dalam satu itu tidak mungkin. Bahwa sangat aneh ketika Tuhan menjelma dalam bentuk manusia, tapi masih ada lagi Tuhan di atas sana. Ini sama halnya ada 3 Tuhan. Meskipun Pendeta itu mengajariku beranalog bahwa Trinitas itu seperti menggambarkan seorang ayah. Bisa jadi, ayah itu adalah seorang ayah, seorang pekerja kantoran sekaligus ketua RT. Jika seorang ayah berada di tempat dan waktu yang berbeda maka ia akan menjadi orang yang berbeda. Padahal Tuhan tidak terikat waktu dan tempat. Itu semua tidak masuk akal, bentakku pada diri sendiri. “Kamu memang keras kepala! ”, kata orang tua saya ketika saya mulai berdalih macam-macam tentang Trinitas. Sejak saat itu pula saya merasa bahwa saya memang beda.

Saya tertarik pada Islam sekitar tahun 1997. Saat itu saya bertemu seseorang yang mengubah imej saya tentang Islam dan pengikutnya. Bahwa tidak semua orang Islam itu manusia rendahan dan bodoh yang Tuhannya tuli karena butuh Adzan yang teriak-teriak untuk bisa mendengar. Bukan secara kebetulan saya bertemu dengannya. Ia menjelaskan Islam dengan alasan yang lebih masuk akal dari seorang pendeta yang tidak bisa menjelaskan masalah Trinitas hal paling mendasar dan utama dalam Kristen.

Dia menjelaskan bahwa kita sekarang hidup di era Muhammad, yang mana era Yesus (era Isa dalam Islam-red) sudah selesai dan diperbarui agar bisa relevan sepanjang masa hingga sekarang ini. Ia mengatakan bahwa akan sangat lucu karena kita tidak akan diterima dalam segala hal jika hidup dalam era yang salah. Perkataannya itu membuatku berpikir dan merenung setelah ia pula membuat saya tertegun dengan ajakan untuk menikahinya.

Bahkan Natal tahun 1998 saya sudah tidak lagi fokus dengan agama Kristen saya. Benak selalu menjerit,

“Tuhan..., dimana engkau? Kemana ketentraman saya sekarang ini? Kenapa saya jadi bimbang? ”

Bahkan ketika saya mendapat insiden kecil saat mobil yang saya kendarai tidak beres, saya sempat berpikir,


“Kalau saya tadi mati, saya akan pergi kemana? Saya sudah bukan lagi Kristen karena tidak pernah ke Gereja, tidak baca doa, tidak pula baca Injil. Di Islam? Padahal saya belum Islam. Saya belum percaya dengan Islam. Saya mati akan kemana? “ Saat itu pula, Adzan maghrib terdengar mengiringi pertanyaan dalam hati kecil.

Saya ingat, saat itu bulan Januari, saya berdoa dengan sungguh-sungguh. Mohon petunjuk agar mampu menyingkap kebenaran dengan doa dan kesungguhan. Kemudian, di malam ketiga saya melihat sosok wicaksana duduk dengan baju putih bersih di depan saya.

Bayangan ini terlihat beberapa kali hingga saya mengkonsultasikan kepada seorang kawan HMI tentang hal ini. Awalnya dia tidak percaya dan sempat curiga jangan-jangan ini sekedar permainan. Tapi ketika melihat kesungguhan diri saya, dia malah menganjurkan saya ke Masjid Nur Hidayah untuk menceritakan lagi hidayah yang saya dapat ke seorang ustadzah. Saya masuk Islam di Februari, dan Juni 1999 adalah bulan dimana saya menikah dengan pria yang mengenalkan saya dengan Islam.

Beberapa tahun berselang, suami saya mendadak sakit dan akhirnya pergi menemui Allah SWT, tepatnya tanggal 18 Agustus 2003. Ketika itu, saya sangat pilu, sedih dan sendirian dalam menghadapi itu semua. Sejak perceraian dengan suami saya yang pertama, anak saya ikut dengan orang tua saya di Lombok. Saya ingin agar dia balik ke Solo dan hidup bersama saya dalam Islam. Tapi yang saya dapat hanyalah, “Kalau kamu tidak mau balik ke Kristen, maka segala yang telah saya berikan padamu adalah hutang, dan kamu harus mengembalikannya segera!” Anak saya disandera, dan saya dibebani dengan hutang yang seharusnya tidak saya bayar.

Alhamdulillah, saya bisa membayar sejumlah uang yang diminta orang tua saya, berkat bantuan seorang Ustadz - dosen perguruan tinggi Islam ternama di Solo dan beberapa rekan yang tergabung dalam Forum Arimatea. Tapi, anak saya tidak dikembalikan kepada saya.

Anak saya malah datang lewat telepon, di suatu malam bulan Ramadhan dan bertanya, “Mama berat ke Islam atau berat anak?” Saya terperanjat kaget. Saya katakan kalau saya memilih Islam. Dan ia menjawabnya lagi dengan jawaban yang menyayat, “Ohh, jadi Mama itu orang yang tega terhadap anaknya, dan memilih Islam daripada anak.” Setelah mengulangi pertanyaan yang sama dan mendapat jawaban yang sama pula dari diri saya, maka ia memutuskan hubungan anak dan ibu diantara kami berdua. Telepon ditutup dengan kata-kata terakhirnya, “Semoga Ibu Dewi (bukan panggilan “Mama” yang selama ini ia memanggil ke saya) bahagia dengan agamanya yang baru itu! ”

Malam itu saya menangis. Kesedihan bercampur dengan rasa lega dan gelo. Kenapa anak semata wayang yang tadinya ingin saya kembalikan ke Islam, kini lepas dari tangan saya. Saya malam itu hanya bisa berkata, “Jangankan lepas dari kamu, Nak. Kehilangan nyawa pun mama siap. Kamu, harta benda, buat mama itu tidak ada apa-apanya.” Saya masuk Islam karena saya melihat kebenaran di dalamnya.
Ibu Dewi mengatakan bahwa keimanan itu seperti emas yang membutuhkan proses dan ujian yang akan ditempa sebelum menjadi perhiasan berharga. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari perjalanan rohani Ibu Dewi dan perjuangannya menegakkan Islam yang mengingatkan kita akan perjuangan orang-orang terdahulu. [Na/fosmil ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar