Aminah Assilmi Saat menjadi pembaptis dari Oklahoma wanita ini mempelajari Islam untuk mengajak teman sekampusnya memeluk Kristen. Tapi yang terjadi kemudian sungguh jauh dari dugaan. Namanya Aminah Assilmi. Saat kuliah dia mengambil program studi pariwisata di sebuah perguruan tinggi di Amerika. Pertama kali dia bertemu orang Islam saat kuliah, tepatnya pada tahun pertama memasuki dunia akademik perkuliahan.
Saat perkuliahan berlangsung, Aminah biasanya duduk di barisan terdepan. Dia selalu mencatat dan mengingat penjelasan para dosen. Dia adalah peraih beberapa penghargaan di kampusnya, sebuah prestasi yang membuat namanya mudah diingat orang.
Aminah bukan orang yang mudah bergaul. Agak sulit baginya untuk memulai pembicaraan, terlebih menjadi pemecah keheningan. Aminah mau berbicara jika terpaksa.
Hanya kepada satu golongan saja dia sungguh merasa nyaman, dan mudah berinteraksi. “Anak-anak adalah sekumpulan orang yang membuat saya nyaman,” terangnya.
Kalau sudah bersama mereka, senyuman perempuan ini terlihat bagai bunga merekah di musim semi. Senyuman itu muncul bukan karena kesenangan materi, tapi karena sebuah kebahagiaan bercengkerama sekaligus mendidik makhluk Tuhan yang masih suci dari dosa pengotor hati.
Mungkin menjadi beban pikirannya juga jika selama ini dia sulit bergaul dengan teman-temannya. Entah dia merencanakan untuk menghilangkan kelemahannya itu atau tidak, yang jelas dia terpilih mengikuti drama teaterikal.
Tak sanggup rasanya meneruskan kegiatan ini. Bayangkan, berhadapan dengan sedikit orang saja Aminah sulit memulai pembicaraan, apalagi ketika berhadapan dengan ratusan atau ribuan orang yang menonton pentasnya.
“Sangat mengerikan,” kesannya, “di hadapan kelas saja saya tidak berani bertanya bagaimana caranya pergi ke panggung berhadapan dengan orang banyak?”
Sesampainya di rumah, dia keluhkan masalah itu kepada suaminya. Berdasarkan saran suaminya, Aminah perlu menjelaskan kepada gurunya tentang kekurangannya itu, dan mengganti kegiatan drama teaterikal dengan seni lukis.
Kali ini Aminah berani berhadapan dengan gurunya. Dan berhasil. Permintaan Aminah diterima. Hari berikutnya dia masuk kelas seni lukis dengan penuh bahagia. Tidak ada lagi yang menonton, yang melihat wajah Aminah hanya koas, kertas, atupun kain kanvas untuk melukis.
Ketika membuka pintu kelas perasaan gamang mulai menghantui pikirannya. Pada mulanya dia mengira pengikut kelas seni lukis adalah orang-orang sebangsanya, orang Amerika, atau kulit putih pada umumnya. Ternyata bukan. Kelas itu penuh dengan orang Arab Muslim. Aminah menganggap mereka “penunggang onta”
Dalam pikiran Aminah, orang-orang Muslim tidak bisa dipercaya. Mereka dianggap penipu dan selalu dibenci. Keinginan untuk melangkah masuk dia tahan. Pintu kelas ditutupnya dan kembali pulang. “Bagaimana bisa saya berkumpul dengan penyakit membahayakan, bisa tertular juga di kemudian hari,” ungkapnya mengenang isi hatinya saat itu.
Kembali dia melapor tentang kejadian itu kepada suaminya. Aminah bisa saja memutuskan langsung apa yang hendak dia perbuat kemudian, tetapi harus dipikirkan dulu, barangkali Tuhan punya maksud tertentu, begitu suaminya memberi saran.
Di samping itu, dia juga tidak mau menyia-nyiakan beasiswanya. Kalau disia-siakan, huruf F, abjad yang menggambarkan nilai terendah mahasiswa, akan merenggut beasiswanya.
Suatu ketika dia paksa dirinya masuk kelas. Dia masuk dan mengikuti kegiatan kelas. Di saat pengajar tidak ada dia berdiri di depan kelas, menjelaskan betapa cintanya Yesus kepada semua manusia. “Saking besar cintanya, dia korbankan dirinya untuk menebus dosa-dosa kalian semua,” ungkapnya. Yang harus dilakukan manusia kini hanyalah mengakui keyakinan itu di dalam lubuk hatinya.
Para pelajar Islam itu diam saja. Dengan penuh sopan – tanpa tindakan anarkhis sedikit pun – mereka menolak ajakan Aminah.
Tidak putus asa, kali lain Aminah mencoba membenarkan ajaran Yesus dengan meminjam argumentasi-argumentasi Islam. Dia pelajari al-Qur’an. Dia baca 15 buku Islam, salah satunya sahih Bukhari. Tanpa dia sadari, mempelajari ajaran Islam mengubah kesehariannya. Biasanya setiap Jumat dan Sabtu selalu pergi ke bar, atau ke sebuah pesta, bersama suami. Setelah mempelajari Islam tidak lagi. “Sedikit berubah memang, tapi cukup mengganggu suami saya,” ungkapnya.
Kepribadiannya pun ikut berubah. Aminah terlihat lebih sering tutup mulut dan menjaga jarak, tidak seperti biasanya. Karena merasa terganggu, sang suami meninggalkannya. Aminah pindah ke sebuah apartemen bersama anak-anaknya.
Di apartemen baru itu – suatu ketika – seseorang mengetuk pintu. Apartemen Aminah kedatangan seorang Muslim. Tamu itu bernama Abdul Aziz al-Syaikh. Sabar orangnya. Dalam berdiskusi tidak pernah menjatuhkan lawan bicara. Sang tamu bertanya apakah Aminah mempercayai keesaan Tuhan, dan mengakui kenabian Muhammad. Kedua jawabannya adalah iya.
“Selamat, Anda sudah menjadi seorang Muslim,” ungkap tamu itu. Aminah membantah. “Saya tidak ingin menjadi Muslim. Saya ini orang Kristen,” ungkapnya.
Terbayang dalam hati, dirinya tidak bisa menjadi Muslim. “Apa kata suamiku nanti jika aku Muslim. Bisa-bisa cerai nanti, dan keluargaku bisa mati,” keluhnya jika benar dia sudah menjadi Muslim.
Atas kekhawatiran Aminah, Abdul Aziz menjelaskan, untuk memahami pengetahuan, dan menggapai hirarki spiritual, seseorang itu ibarat menaiki tangga. Satu per satu anak tangga dipijak. Jika satu anak tangga saja diabaikan, maka berpotensi jatuh. Dan Syahadah adalah anak tangga pertama yang harus dipijak.
Pada bulan Mei 1977 – tanggal 21 tepatnya – Aminah mengucap Syahadah, memalingkan keyakinannya dari Kristen ke Islam. Masih ada keraguan yang dia terima. Meski bersyahadah, dia tidak mau memakai jilbab.
Memang benar, syahadah adalah pondasi awal yang kuat bagi bangunan pengetahuan spiritual, menjadi pintu awal menuju ridha Ilahi. Dan rasanya, semenjak mengucapkan syahadah, terbuka peluang Aminah menggapai keduanya.
Semenjak itu, Abdul Aziz sering datang ke rumahnya untuk berdialog. Kepada Aminah dia menjelaskan, ”Bertanya adalah salah satu cara menggapai pengetahuan.”
Semakin sering dia mempelajari Islam semakin dalam ilmu yang didapat. Aminah memutuskan untuk mengenakan jilbab. “Sudah lupa saya kapan pertama kali berjilbab,” ungkapnya, “itu saya lakukan begitu saja.”
Setelah sekian lama mempelajari Islam dia berkesan, pada mulanya tidak bermaksud menemukan apapun yang dia inginkan untuk hidupnya sekarang ini. “Kini aku menyadari Islam mengubah kehidupanku,” jelasnya, “dan tidak seorang pun meyakinkanku mencapai kedamaian, cinta, dan kesenangan karena Islam.
Berat terasa. Kehidupannya hanya sebatang kara, tinggal di lautan manusia tapi dianggap seperti bukan manusia. Aminah yang kini berjilbab dipandang sebagai makhluk teraneh di dunia. Dia bercerai dari suaminya. Anak-anaknya diasuh oleh suaminya, begitu pengadilan memutuskan, karena agama Aminah dianggap ancaman bagi perkembangan psikologi anak.
Hati Aminah sungguh terluka. Pikirannya terus merekam perpisahan dengan anak-anaknya, buah hati yang dia lahirkan dengan taruhan nyawa. Setelah buah hatinya pergi seluruh keluarganya ikut meninggalkan Aminah. Teman-temannya pun menghilang. Pekerjaan pun sirna.
Di tengah kesedihan itu, hanya seorang saja yang mau menemaninya. Hanya neneknya saja yang mau menampung. Dan ikut menjadi Muslim. Sayang tidak lama kemudian dia meninggal.
Dalam kesehariannya, Aminah selalu mempelajari Islam. Banyak perubahan terjadi di kemudian hari, dari sosok yang alergi tampil di depan publik menjadi seorang orator. Dia berceramah dari satu seminar ke seminar lainnya.
Beberapa tahun kemudian kesendiriannya mulai terobati. Sang Ibu yang menolaknya kini memanggilnya kembali, dan menyatakan ingin menjadi Muslim.
“Apa yang harus aku lakukan,” tanya sang ibu. Aminah dengan rendah hati menjawab, hanya dengan mengakui keesaan Tuhan dan mengakui Muhammad sebagai nabi.
“Itu saja?” ungkap sang ibu terkesima, betapa mudahnya menjadi seorang Muslim, “semua orang pun bisa mengetahui itu.” semenjak itu sang ibu memeluk Islam. “Tapi jangan kasih tahu ayahmu dulu ya,” pesannya.
Tidak lama kemudian diketahui, sang ayah rupanya sudah lebih dulu memeluk Islam. saudaranya juga demikian. Sang suami yang dulu menceraikannya juga ikut menjadi Muslim.
Sebuah pertemuan dengan sang suami terjadi. Di hadapan Aminah, sang suami meminta maaf atas kesalahannya. “Aku sudah memaafkanmu sejak dulu,” ungkap Aminah.
Kini Aminah tidak lagi sebatang kara. Keluarganya kini kembali dengan utuh. Anak pertamanya, Whittney, menyusul menjadi Muslim.
Bertahun-tahun berdakwah tanpa putus asa. Bukan tanpa hasil, di dunia saja dia sudah merasakan, betapa bahagianya kembali berkumpul bersama keluarga. Begitulah Aminah berjuang. Tiada yang dia yakini kecuali Islam, agama yang baginya patut dibela, dan diperjuangkan. (sabily.com/azzamudin.wordpress.com)
Saat perkuliahan berlangsung, Aminah biasanya duduk di barisan terdepan. Dia selalu mencatat dan mengingat penjelasan para dosen. Dia adalah peraih beberapa penghargaan di kampusnya, sebuah prestasi yang membuat namanya mudah diingat orang.
Aminah bukan orang yang mudah bergaul. Agak sulit baginya untuk memulai pembicaraan, terlebih menjadi pemecah keheningan. Aminah mau berbicara jika terpaksa.
Hanya kepada satu golongan saja dia sungguh merasa nyaman, dan mudah berinteraksi. “Anak-anak adalah sekumpulan orang yang membuat saya nyaman,” terangnya.
Kalau sudah bersama mereka, senyuman perempuan ini terlihat bagai bunga merekah di musim semi. Senyuman itu muncul bukan karena kesenangan materi, tapi karena sebuah kebahagiaan bercengkerama sekaligus mendidik makhluk Tuhan yang masih suci dari dosa pengotor hati.
Mungkin menjadi beban pikirannya juga jika selama ini dia sulit bergaul dengan teman-temannya. Entah dia merencanakan untuk menghilangkan kelemahannya itu atau tidak, yang jelas dia terpilih mengikuti drama teaterikal.
Tak sanggup rasanya meneruskan kegiatan ini. Bayangkan, berhadapan dengan sedikit orang saja Aminah sulit memulai pembicaraan, apalagi ketika berhadapan dengan ratusan atau ribuan orang yang menonton pentasnya.
“Sangat mengerikan,” kesannya, “di hadapan kelas saja saya tidak berani bertanya bagaimana caranya pergi ke panggung berhadapan dengan orang banyak?”
Sesampainya di rumah, dia keluhkan masalah itu kepada suaminya. Berdasarkan saran suaminya, Aminah perlu menjelaskan kepada gurunya tentang kekurangannya itu, dan mengganti kegiatan drama teaterikal dengan seni lukis.
Kali ini Aminah berani berhadapan dengan gurunya. Dan berhasil. Permintaan Aminah diterima. Hari berikutnya dia masuk kelas seni lukis dengan penuh bahagia. Tidak ada lagi yang menonton, yang melihat wajah Aminah hanya koas, kertas, atupun kain kanvas untuk melukis.
Ketika membuka pintu kelas perasaan gamang mulai menghantui pikirannya. Pada mulanya dia mengira pengikut kelas seni lukis adalah orang-orang sebangsanya, orang Amerika, atau kulit putih pada umumnya. Ternyata bukan. Kelas itu penuh dengan orang Arab Muslim. Aminah menganggap mereka “penunggang onta”
Dalam pikiran Aminah, orang-orang Muslim tidak bisa dipercaya. Mereka dianggap penipu dan selalu dibenci. Keinginan untuk melangkah masuk dia tahan. Pintu kelas ditutupnya dan kembali pulang. “Bagaimana bisa saya berkumpul dengan penyakit membahayakan, bisa tertular juga di kemudian hari,” ungkapnya mengenang isi hatinya saat itu.
Kembali dia melapor tentang kejadian itu kepada suaminya. Aminah bisa saja memutuskan langsung apa yang hendak dia perbuat kemudian, tetapi harus dipikirkan dulu, barangkali Tuhan punya maksud tertentu, begitu suaminya memberi saran.
Di samping itu, dia juga tidak mau menyia-nyiakan beasiswanya. Kalau disia-siakan, huruf F, abjad yang menggambarkan nilai terendah mahasiswa, akan merenggut beasiswanya.
Suatu ketika dia paksa dirinya masuk kelas. Dia masuk dan mengikuti kegiatan kelas. Di saat pengajar tidak ada dia berdiri di depan kelas, menjelaskan betapa cintanya Yesus kepada semua manusia. “Saking besar cintanya, dia korbankan dirinya untuk menebus dosa-dosa kalian semua,” ungkapnya. Yang harus dilakukan manusia kini hanyalah mengakui keyakinan itu di dalam lubuk hatinya.
Para pelajar Islam itu diam saja. Dengan penuh sopan – tanpa tindakan anarkhis sedikit pun – mereka menolak ajakan Aminah.
Tidak putus asa, kali lain Aminah mencoba membenarkan ajaran Yesus dengan meminjam argumentasi-argumentasi Islam. Dia pelajari al-Qur’an. Dia baca 15 buku Islam, salah satunya sahih Bukhari. Tanpa dia sadari, mempelajari ajaran Islam mengubah kesehariannya. Biasanya setiap Jumat dan Sabtu selalu pergi ke bar, atau ke sebuah pesta, bersama suami. Setelah mempelajari Islam tidak lagi. “Sedikit berubah memang, tapi cukup mengganggu suami saya,” ungkapnya.
Kepribadiannya pun ikut berubah. Aminah terlihat lebih sering tutup mulut dan menjaga jarak, tidak seperti biasanya. Karena merasa terganggu, sang suami meninggalkannya. Aminah pindah ke sebuah apartemen bersama anak-anaknya.
Di apartemen baru itu – suatu ketika – seseorang mengetuk pintu. Apartemen Aminah kedatangan seorang Muslim. Tamu itu bernama Abdul Aziz al-Syaikh. Sabar orangnya. Dalam berdiskusi tidak pernah menjatuhkan lawan bicara. Sang tamu bertanya apakah Aminah mempercayai keesaan Tuhan, dan mengakui kenabian Muhammad. Kedua jawabannya adalah iya.
“Selamat, Anda sudah menjadi seorang Muslim,” ungkap tamu itu. Aminah membantah. “Saya tidak ingin menjadi Muslim. Saya ini orang Kristen,” ungkapnya.
Terbayang dalam hati, dirinya tidak bisa menjadi Muslim. “Apa kata suamiku nanti jika aku Muslim. Bisa-bisa cerai nanti, dan keluargaku bisa mati,” keluhnya jika benar dia sudah menjadi Muslim.
Atas kekhawatiran Aminah, Abdul Aziz menjelaskan, untuk memahami pengetahuan, dan menggapai hirarki spiritual, seseorang itu ibarat menaiki tangga. Satu per satu anak tangga dipijak. Jika satu anak tangga saja diabaikan, maka berpotensi jatuh. Dan Syahadah adalah anak tangga pertama yang harus dipijak.
Pada bulan Mei 1977 – tanggal 21 tepatnya – Aminah mengucap Syahadah, memalingkan keyakinannya dari Kristen ke Islam. Masih ada keraguan yang dia terima. Meski bersyahadah, dia tidak mau memakai jilbab.
Memang benar, syahadah adalah pondasi awal yang kuat bagi bangunan pengetahuan spiritual, menjadi pintu awal menuju ridha Ilahi. Dan rasanya, semenjak mengucapkan syahadah, terbuka peluang Aminah menggapai keduanya.
Semenjak itu, Abdul Aziz sering datang ke rumahnya untuk berdialog. Kepada Aminah dia menjelaskan, ”Bertanya adalah salah satu cara menggapai pengetahuan.”
Semakin sering dia mempelajari Islam semakin dalam ilmu yang didapat. Aminah memutuskan untuk mengenakan jilbab. “Sudah lupa saya kapan pertama kali berjilbab,” ungkapnya, “itu saya lakukan begitu saja.”
Setelah sekian lama mempelajari Islam dia berkesan, pada mulanya tidak bermaksud menemukan apapun yang dia inginkan untuk hidupnya sekarang ini. “Kini aku menyadari Islam mengubah kehidupanku,” jelasnya, “dan tidak seorang pun meyakinkanku mencapai kedamaian, cinta, dan kesenangan karena Islam.
Berat terasa. Kehidupannya hanya sebatang kara, tinggal di lautan manusia tapi dianggap seperti bukan manusia. Aminah yang kini berjilbab dipandang sebagai makhluk teraneh di dunia. Dia bercerai dari suaminya. Anak-anaknya diasuh oleh suaminya, begitu pengadilan memutuskan, karena agama Aminah dianggap ancaman bagi perkembangan psikologi anak.
Hati Aminah sungguh terluka. Pikirannya terus merekam perpisahan dengan anak-anaknya, buah hati yang dia lahirkan dengan taruhan nyawa. Setelah buah hatinya pergi seluruh keluarganya ikut meninggalkan Aminah. Teman-temannya pun menghilang. Pekerjaan pun sirna.
Di tengah kesedihan itu, hanya seorang saja yang mau menemaninya. Hanya neneknya saja yang mau menampung. Dan ikut menjadi Muslim. Sayang tidak lama kemudian dia meninggal.
Dalam kesehariannya, Aminah selalu mempelajari Islam. Banyak perubahan terjadi di kemudian hari, dari sosok yang alergi tampil di depan publik menjadi seorang orator. Dia berceramah dari satu seminar ke seminar lainnya.
Beberapa tahun kemudian kesendiriannya mulai terobati. Sang Ibu yang menolaknya kini memanggilnya kembali, dan menyatakan ingin menjadi Muslim.
“Apa yang harus aku lakukan,” tanya sang ibu. Aminah dengan rendah hati menjawab, hanya dengan mengakui keesaan Tuhan dan mengakui Muhammad sebagai nabi.
“Itu saja?” ungkap sang ibu terkesima, betapa mudahnya menjadi seorang Muslim, “semua orang pun bisa mengetahui itu.” semenjak itu sang ibu memeluk Islam. “Tapi jangan kasih tahu ayahmu dulu ya,” pesannya.
Tidak lama kemudian diketahui, sang ayah rupanya sudah lebih dulu memeluk Islam. saudaranya juga demikian. Sang suami yang dulu menceraikannya juga ikut menjadi Muslim.
Sebuah pertemuan dengan sang suami terjadi. Di hadapan Aminah, sang suami meminta maaf atas kesalahannya. “Aku sudah memaafkanmu sejak dulu,” ungkap Aminah.
Kini Aminah tidak lagi sebatang kara. Keluarganya kini kembali dengan utuh. Anak pertamanya, Whittney, menyusul menjadi Muslim.
Bertahun-tahun berdakwah tanpa putus asa. Bukan tanpa hasil, di dunia saja dia sudah merasakan, betapa bahagianya kembali berkumpul bersama keluarga. Begitulah Aminah berjuang. Tiada yang dia yakini kecuali Islam, agama yang baginya patut dibela, dan diperjuangkan. (sabily.com/azzamudin.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar