R. Erna R.S., Aktivis Gereja Protestan
Banyak jalan yang bisa dilalui kalau Allah sudah memberi hidayah. Seperti yang dialami R Erna RS, seorang wanita yang aktif dalam kegiatan gereja. Sebagai putri pentolan Kristen Protestan di daerahnya, wajar bila Erna juga mengikuti jejak sang ayah. Namun, hidayah Allah mampu membuka pintu hatinya. Berikut liku-liku kisahnya menemukan Islam.
SEBENARNYA saya dilahirkan dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Kedua orang tua saya adalah orang yang sangat tekun menjalankan ibadah, baik ke gereja maupun ibadah yang diadakan di lingkungan masyarakat. Berkat ketelatenannya itu, ayah saya dipercaya memimpin gereja di suatu distrik atau wilayah di tempat tinggal kami. Tak heran, jika kami -anak-anaknya- mengikuti jejak beliau, aktif di lingkungan yang sarat dengan aktivitas kerohanian itu.
Tentu saja, sebagai anak tertua, saya lebih menonjol dalam bidang kerohanian. Sejak kecil, saya biasa mengikuti Sekolah Mingguan. Saya selalu menjadi panutan bagi yang lain. Saya selalu terpilih sebagai duta atau wakil teman-teman dari gereja untuk mengikuti pertandingan atau perlombaan-perlombaan yang diadakan gereja secara rutin setiap tahun.
Hingga dewasa dan sampai saya pindah ke kota Jakarta, kemampuan saya dalam berorganisasi di bidang kerohanian di lingkungan gereja maupun kantor-sangat diperhitungkan. Di sini, saya pun selalu dipercaya memegang kepengurusan.
Walaupun banyak kegiatan yang saya ikuti di gereja, bahkan sampai menyita waktu, baik malam maupun siang hari, sejauh itu saya hanya senang dan gembira pada saat kegiatan itu berlangsung. Tetapi jika kegiatan itu berakhir, maka yang tinggal hanyalah penat, bosan, dan capek.
MERASA RESAH
Demikianlah kehidupan rutinitas saya yang selalu monoton tanpa ada perasaan lega atau bahagia, sehingga ada rasa rindu menanti kegiatan kegiatan gereja lainnya.
Karena hal-hal ini tidak membuat saya merasa berarti, suatu ketika saya coba-coba non-aktif dari kegiatan, namun tidak ada bedanya. Maksudnya, meskipun saya tidak aktif, tetapi kerinduan ingin kembali bergabung dengan teman-teman atau kegiatan gereja, sama sekali tidak ada. Karena hal inilah, saya mulai berpikir dan koreksi diri mengenai masa depan saya. Apakah saya bisa hidup tanpa arah yang pasti?
Sehingga, pada suatu waktu saya tertegun dan merenungi hidup, mengapa kehidupan saya hanya sebatas senang-senang sementara, tanpa ada kedamaian atau kebahagiaan dalam sanubari.
Sampai suatu hari terjadi peristiwa yang tidak mungkin saya lupakan sepanjang hidup saya. Saya pergi meninggalkan rumah (pada waktu itu saya tinggal bersama paman). Saya melakukannya karena ada hal yang tidak bisa saya terima atas perlakuan keluarga paman kepada saya. Selanjutnya, saya mengontrak rumah sendiri.
Pada saat seperti itu, tak satu pun teman-teman seiman menolong saya. Mereka malah mencemooh saya dengan praduga yang tidak berujung pangkal. Tapi, saya merasa bahagia di saat saya jauh dari keluarga, saya menemukan suatu contoh yang arif di lingkungan tempat tinggal saya yang baru dengan warganya yang mayoritas beragama Islam.
TERTARIK SALAM
Di sini, kaum muslimin setiap bertemu atau berkunjung tidak lupa mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum." Sepengetahuan saya, pengucapan salam yang menjadi wajib bagi seorang muslim itu, tidak dikenal di lingkungan Kristen. Bagi umat Kristen tidak ada salam khas yang wajib diucapkan jika saling bertemu.
Selain itu, masalah kebersihan dan kesucian bagi umat Islam sangatlah dijunjung tinggi. Maksudnya, meskipun kita sedang kotor (bagi wanita haid) itu tidak menjadi masalah untuk masuk ke dalam gereja menjalankan ibadah dan memegang Alkitab. Saya pun tidak pernah mendengar yang namanya bersuci atau hadas.
Maka dari sanalah saya mulai tertarik mempelajari agama Islam, walaupun secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh orang lain, terutama oleh adik saya yang kebetulan tinggal bersama saya. Ternyata, sepandai-pandainya saya menyimpan niat, toh akhirnya tercium juga oleh adik saya. Terjadilah percekcokan. Meskipun demikian, saya tidak menyerah.
Saya mulai belajar menjalankan ibadah salat, meskipun saya belum masuk agama yang saya pelajari ini. Sampai akhirnya teman saya mengusulkan agar saya berdialog tentang agama Islam dan Kristen, untuk lebih membuka wawasan saya mengenai agama Islam. Setelah melakukan dialog itu, rasanya tempat saya yang hakiki, memang di agama islam.
MASUK ISLAM
Ternyata, teman saya mengetahui kegundahan saya itu. la pun menyarankan jika sudah mantap, masuklah ke agama Islam. Jangan setengah-setengah. Berkat bantuannya, saya diantar ke Pondok Masjid Pondok Duta, Cimanggis. Pada tanggal 10 September 1994 setelah shalat magrib, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, disaksikan anggota remaja Masjid Pondok Duta, karena bertepatan dengan pengajian remaja.
Alhamdulillah, sejak saat itu saya merasa seperti baru dilahirkan dan hidup ini terasa berarti, ditambah petuah pak ustad dan teman-teman remaja masjid. Dan yang paling saya kagumi, ada seorang ibu yang menghadiahkan saya benda berharga yang belum pemah saya miliki. Dan sampai sekarang ibu itu adalah figur yang saya kagumi. Saya ingin seperti beliau yang selalu bertindak sabar dan arif.
Sejak itu kehidupan saya berubah dan yang drastis adalah sikap keluarga dan teman-teman di lingkungan kerja saya. Mereka mengucapkan tuduhan-tuduhan yang sangat menyakitkan dan bahkan sampai teror pun datang. Tapi meskipun demikian, berkat pertolongan Allah SWT dan doa teman-teman seiman, teror dan tuduhan pun berangsur-angsur hilang seiring bergulirnya waktu.
Alhamdulillah, setelah saya menjadi muslimah, ridha Allah tak henti-hentinya datang. Saya diberi jodoh, dan kini telah dikarunia dua orang anak, putra dan putri. Semoga mereka menjadi anak yang saleh dan salehah. Amin.
Sumber : Nurani 258 (08-14 Desember 2005)
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.165.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Banyak jalan yang bisa dilalui kalau Allah sudah memberi hidayah. Seperti yang dialami R Erna RS, seorang wanita yang aktif dalam kegiatan gereja. Sebagai putri pentolan Kristen Protestan di daerahnya, wajar bila Erna juga mengikuti jejak sang ayah. Namun, hidayah Allah mampu membuka pintu hatinya. Berikut liku-liku kisahnya menemukan Islam.
SEBENARNYA saya dilahirkan dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Kedua orang tua saya adalah orang yang sangat tekun menjalankan ibadah, baik ke gereja maupun ibadah yang diadakan di lingkungan masyarakat. Berkat ketelatenannya itu, ayah saya dipercaya memimpin gereja di suatu distrik atau wilayah di tempat tinggal kami. Tak heran, jika kami -anak-anaknya- mengikuti jejak beliau, aktif di lingkungan yang sarat dengan aktivitas kerohanian itu.
Tentu saja, sebagai anak tertua, saya lebih menonjol dalam bidang kerohanian. Sejak kecil, saya biasa mengikuti Sekolah Mingguan. Saya selalu menjadi panutan bagi yang lain. Saya selalu terpilih sebagai duta atau wakil teman-teman dari gereja untuk mengikuti pertandingan atau perlombaan-perlombaan yang diadakan gereja secara rutin setiap tahun.
Hingga dewasa dan sampai saya pindah ke kota Jakarta, kemampuan saya dalam berorganisasi di bidang kerohanian di lingkungan gereja maupun kantor-sangat diperhitungkan. Di sini, saya pun selalu dipercaya memegang kepengurusan.
Walaupun banyak kegiatan yang saya ikuti di gereja, bahkan sampai menyita waktu, baik malam maupun siang hari, sejauh itu saya hanya senang dan gembira pada saat kegiatan itu berlangsung. Tetapi jika kegiatan itu berakhir, maka yang tinggal hanyalah penat, bosan, dan capek.
MERASA RESAH
Demikianlah kehidupan rutinitas saya yang selalu monoton tanpa ada perasaan lega atau bahagia, sehingga ada rasa rindu menanti kegiatan kegiatan gereja lainnya.
Karena hal-hal ini tidak membuat saya merasa berarti, suatu ketika saya coba-coba non-aktif dari kegiatan, namun tidak ada bedanya. Maksudnya, meskipun saya tidak aktif, tetapi kerinduan ingin kembali bergabung dengan teman-teman atau kegiatan gereja, sama sekali tidak ada. Karena hal inilah, saya mulai berpikir dan koreksi diri mengenai masa depan saya. Apakah saya bisa hidup tanpa arah yang pasti?
Sehingga, pada suatu waktu saya tertegun dan merenungi hidup, mengapa kehidupan saya hanya sebatas senang-senang sementara, tanpa ada kedamaian atau kebahagiaan dalam sanubari.
Sampai suatu hari terjadi peristiwa yang tidak mungkin saya lupakan sepanjang hidup saya. Saya pergi meninggalkan rumah (pada waktu itu saya tinggal bersama paman). Saya melakukannya karena ada hal yang tidak bisa saya terima atas perlakuan keluarga paman kepada saya. Selanjutnya, saya mengontrak rumah sendiri.
Pada saat seperti itu, tak satu pun teman-teman seiman menolong saya. Mereka malah mencemooh saya dengan praduga yang tidak berujung pangkal. Tapi, saya merasa bahagia di saat saya jauh dari keluarga, saya menemukan suatu contoh yang arif di lingkungan tempat tinggal saya yang baru dengan warganya yang mayoritas beragama Islam.
TERTARIK SALAM
Di sini, kaum muslimin setiap bertemu atau berkunjung tidak lupa mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum." Sepengetahuan saya, pengucapan salam yang menjadi wajib bagi seorang muslim itu, tidak dikenal di lingkungan Kristen. Bagi umat Kristen tidak ada salam khas yang wajib diucapkan jika saling bertemu.
Selain itu, masalah kebersihan dan kesucian bagi umat Islam sangatlah dijunjung tinggi. Maksudnya, meskipun kita sedang kotor (bagi wanita haid) itu tidak menjadi masalah untuk masuk ke dalam gereja menjalankan ibadah dan memegang Alkitab. Saya pun tidak pernah mendengar yang namanya bersuci atau hadas.
Maka dari sanalah saya mulai tertarik mempelajari agama Islam, walaupun secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh orang lain, terutama oleh adik saya yang kebetulan tinggal bersama saya. Ternyata, sepandai-pandainya saya menyimpan niat, toh akhirnya tercium juga oleh adik saya. Terjadilah percekcokan. Meskipun demikian, saya tidak menyerah.
Saya mulai belajar menjalankan ibadah salat, meskipun saya belum masuk agama yang saya pelajari ini. Sampai akhirnya teman saya mengusulkan agar saya berdialog tentang agama Islam dan Kristen, untuk lebih membuka wawasan saya mengenai agama Islam. Setelah melakukan dialog itu, rasanya tempat saya yang hakiki, memang di agama islam.
MASUK ISLAM
Ternyata, teman saya mengetahui kegundahan saya itu. la pun menyarankan jika sudah mantap, masuklah ke agama Islam. Jangan setengah-setengah. Berkat bantuannya, saya diantar ke Pondok Masjid Pondok Duta, Cimanggis. Pada tanggal 10 September 1994 setelah shalat magrib, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, disaksikan anggota remaja Masjid Pondok Duta, karena bertepatan dengan pengajian remaja.
Alhamdulillah, sejak saat itu saya merasa seperti baru dilahirkan dan hidup ini terasa berarti, ditambah petuah pak ustad dan teman-teman remaja masjid. Dan yang paling saya kagumi, ada seorang ibu yang menghadiahkan saya benda berharga yang belum pemah saya miliki. Dan sampai sekarang ibu itu adalah figur yang saya kagumi. Saya ingin seperti beliau yang selalu bertindak sabar dan arif.
Sejak itu kehidupan saya berubah dan yang drastis adalah sikap keluarga dan teman-teman di lingkungan kerja saya. Mereka mengucapkan tuduhan-tuduhan yang sangat menyakitkan dan bahkan sampai teror pun datang. Tapi meskipun demikian, berkat pertolongan Allah SWT dan doa teman-teman seiman, teror dan tuduhan pun berangsur-angsur hilang seiring bergulirnya waktu.
Alhamdulillah, setelah saya menjadi muslimah, ridha Allah tak henti-hentinya datang. Saya diberi jodoh, dan kini telah dikarunia dua orang anak, putra dan putri. Semoga mereka menjadi anak yang saleh dan salehah. Amin.
Sumber : Nurani 258 (08-14 Desember 2005)
http://myquran.org/forum/index.php/topic,853.165.html?PHPSESSID=ubdfi8jvk3cse15blo37b55890
Tidak ada komentar:
Posting Komentar