Jennifer Fayed merasakan perkawinannya suram. Ia melihat tak ada ambisi pada suaminya yang pengangguran, yang telah dinikahinya tiga tahun. Ia mendapati dirinya hamil, sementara dua anaknya yang masih kecil belum bisa lepas dari pengawasan.
Jennifer, yang berusia 21 tahun dan masih kuliah, mulai merenungi tujuan hidupnya di dunia. Pikiran itu menggantung di benaknya: “Pasti ada alasan atas keberadaan saya.”
Orang tuanya baru saja pindah ke Republik Dominika, sebuah negara kecil di Karibia. Ia merasa ditinggalkan, kendati punya suami dan dua orang anak. Ini lantaran selama ini ia merasa orang tua lah yang menjadi panutan baginya, yang menjadi dasar bagi siapa dirinya dan akan menjadi siapa ia berjuang.
Kala itu ia sedang tertidur saat mendapat telepon panik dari ibu mertuanya yang berteriak “Ada pesawat jatuh, pesawat jatuh di Manhattan.” Jennifer bertanya bingung, “Apa, apa yang Ibu bicarakan!” Ia menyalakan televisi dan melihat menara kedua World Trade Center (WTC) dihantam pesawat.
“Saya shock! Siapa yang bisa melakukannya, siapa yang sanggup melakukan kekejian ini?” ujar Jennifer. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. “Apakah ini mimpi?” Ia berharap ini hanyalah sebuah film. “Ayo katakana ini hanya film,” katanya dalam hati.
Ia baru saja mengunjungi WTC sehari sebelumnya. Ia melihat ini sebagai bukti bahwa belum saatnya dia mati. Ia merasa belum mencapai tujuan dalam hidup. “Saya tak tahu apa tujuan itu, tapi ini bukanlah saatnya bagi saya.”
Hari itu Manhattan dilanda chaos. Jennifer tak tahu hari itu menjadi awal perubahan drastis yang akan terjadi dalam hidupnya.
Tak beberapa lama setelah serangan 11 September, Jennifer terbang mengunjungi orang tuanya di Republik Dominika. Saat itu kehamilannya berusia satu bulan. Suaminya telah mengetahui kehamilannya.
Ia berpikir bagaimana memberi tahu kehamilan ini kepada orang tuanya. Maklum, anak pertamanya adalah hasil hubungan di luar nikah, yang membuatnya terpaksa menikah guna menutupi aib. Well, katanya dalam hati, saya akan memikirkannya di Karibia nanti.
Ia terbang menggunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587. Ia merasa begitu cepat terbang setelah serangan WTC. Keamanan di bandara sangat ketat, dan orang-orang di pesawat berdoa, beberapa bahkan tak lepas berdoa sepanjang penerbangan. “Saya mulai tertawa dalam hati. Jika kami akan mati, maka itu takdir kami.”
Jennifer terus memikirkan kehamilannya. Ia sebenarnya tak ingin kehamilan ini. Selain tak direncanakan, ini berarti mulut ketiga untuk diberi makan, sementara ia sudah kewalahan menghidupi dua orang anak, apalagi tiga.
Ia begitu bingung. Ia menghabiskan waktu bersama orangtuanya mencoba memberitahu mereka tentang jabang bayi. Ia merasa tak sanggup memberi tahu mereka, bahwa putri tertua mereka kembali mengecewakan mereka.
Karenanya, Jennifer memutuskan untuk aborsi dan tak ada yang perlu tahu dirinya hamil. “Solusi yang gampang,” pikirnya dalam hati. Namun, di sisi lain, ia berasal dari keluarga Kristen yang taat, yang memandang aborsi adalah sesuatu yang tabu dan dosa.
Ia kembali ke New York dari Karibia, dan membuat janjian dengan klinik Planned Parenthood untuk mulai melakukan aborsi. Ia bertanya apakah bisa menggunakan pil untuk aborsi ini.
Betapa kecewanya Jennifer bahwa dirinya harus menjalani aborsi penuh karena tenggat untuk melakukan aborsi dengan pil sudah terlewati satu pekan. Ia sangat depresi. “Saya berkata dalam hati, Oh Tuhan, mereka akan mengangkat bayi ini dari perut saya. Apa yang telah saya lakukan?” Ia tak tahu apakah sanggup melalui ini semua.
Ia memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, tidak menggunakan Rosario atau pergi ke gereja. Untuk pertama kali, ia akan berdoa langsung kepada Tuhan layaknya teman. Ia merasa Tuhan harus menolongnya. Tuhan adalah tumpuan terakhir.
“Saya menangis sambil terus memohon. Oh Tuhan tolonglah, saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya ingin bayi ini, tapi pernikahan saya sedang guncang, dan kami tak punya uang untuk menghadirkan seorang bayi lagi ke dunia ini. Saya percayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tolonglah, jika Tuhan menghendaki saya memiliki bayi ini, saya akan menerimanya. Dan, jika kehendak Tuhan untuk mengakhiri kehamilan ini, saya juga akan menerimanya.”
“Saya memasrahkan penderitaan ini kepada Tuhan. Tuhan yang saya sembah dengan cara saya sendiri, bukan dengan cara yang diajarkan kepada saya. Tuhan, yang bagi saya tak punya pendamping, tak punya anak, hanya sesuatu yang saya tahu telah menciptakan saya,” kata Jennifer. Ia kehabisan akal memikirkan kehamilannya.
Hari-hari berlalu, Jennifer sedang menyaksikan televisi saat sebuah siaran berita menginterupsi acara. “Oh tidak. Tidak serangan teroris lagi,” katanya. Sebuah pesawat kembali jatuh di New York, kali ini di kawasan Queen, daerah asal Jennifer. Ia khawatir ini kembali ulah teroris. Ia terheran-heran mendengar nomor penerbangan dan tujuan pesawaat tersebut. Pesawat naas itu American Airlines dengan nomor penerbangan 587 tujuan Republik Dominika. Ya, pesawat yang ditumpanginya sepekan lalu. Rasa dingin menjalar di punggungnya.
Jennifer terpaku. Ia membayangkan bisa saja dirinya yang ada dalam pesawat itu. Ia merasa ini pertanda dari Tuhan. Ini bukan pertama kali dalam kurang dari sebulan ia begitu dekat dengan kematian. “Tuhan mencoba mengatakan sesuatu.”
Sepekan setelah permohonannya kepada Tuhan, Jennifer mulai merasakan keram. Keram ini berbeda dengan yang biasa dirasakan pada trimester pertama kehamilan. Ia mengacuhkannya, bukan masalah besar.
Hari berlalu, rasa keram itu semakin parah, dan perdarahan pun mulai terjadi. Ia begitu takut. “Apakah saya keguguran?” Ia bergegas ke rumah sakit dan menjalani istirahat (bed rest) ketat.
Pulang ke rumah, Jennifer masih harus beristirahat di tempat tidur kendati rasa keram mulai berkurang. Saat tertidur, ia merasakan sakit luar biasa. Ia merasakan sesuatu keluar. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya pergi ke kamar mandi dan menemukan segumpal daging keluar.” Jennifer keguguran di usia kehamilan dua bulan. Saat kembali ke rumah sakit, pihak rumah sakit memastikan ia telah keguguran. Padahal, keesokan harinya, ia dijadwalkan oleh Planned Parenthood untuk menjalani proses aborsi, pada 15 Oktober 2001.
“Ini seakan tidak nyata. Apakah ini keajaiban dari Tuhan? Apakah Tuhan menjawab doa saya. Saya merasa Tuhan memberitahu bahwa kehidupan saya akan berubah. Akan berubah seperti apa? Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan kuliah dan saya tidak bisa bertahan lebih lama dengan suami yang tak ingin kerja dan tak punya ambisi dalam hidup.” Jennifer akhirnya memutuskan untuk bercerai dari suami pertamanya.
Di lingkungannya, New York, Jennifer menyaksikan betapa buruknya perlakuan terhadap Muslim. Perlakuan ini terjadi begitu cepat setelah serangan 11 September. Setiap hari selalu ada berita yang melaporkan tentang kejahatan karena kebencian terhadap Muslim. “Sungguh mengerikan. Saya menyaksikan langsung orang-orang pindah berjalan di trotoar seberang jalan hanya karena mengira ada Muslim. Bisnis Muslim sepi. Tak ada yang ingin membeli dari toko Muslim. Di jalan, orang-orang berteriak kepada Muslim, Pergi ke negaramu, Teroris, Taliban!!”
“Mengapa orang-orang mengatakan kata-kata ini kepada orang-orang yang tak bersalah? Saya sepakat pelaku serangan adalah orang yang kejam, tapi kenapa menyalahkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan serangan?”
Dari sinilah muncul ketertarikannya. Jennifer mulai penasaran apa yang diyakini oleh Muslim. Ketertarikannya semakin besar setiap hari. Ia kemudian mendaftar untuk mengikuti sebuah acara di kampus. Di sana ia bertemu Muslim dan melontarkan berbagai pertanyaan tentang Islam. “Mengapa Anda mengenakan jilbab? Siapa yang Anda yakini? Siapa itu Muhammad yang sering Anda bicarakan?”
“Beberapa orang punya jawaban, namun sebagian besar tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan saya. Kebanyakan wanita Muslim yang saya tahu tak mengenakan jilbab dan mengatakan ini pilihan, dan mengatakan tak memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam.” Jennifer merasa tak ada orang yang mampu memberikannya jawaban. Sehingga, ia berpaling ke internet untuk mencari jawaban. Di sana lah ia mengetahui tentang Islam.
“Saya tak percaya bahwa Tuhan telah mengutus nabi lainnya setelah Yesus. Saya tahu Tuhan tak akan menciptakan saya dan semua orang di dunia tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami. Mengapa kami di sini? Mengapa orang-orang selalu mengatakan Tuhan itu tritunggal, dan ini hanya menguatkan apa yang saya percayai sejak berusia 14 tahun bahwa Tuhan itu satu tanpa pendamping.”
“Saya mencari kebenaran atas semua pertanyaan saya dan Islam menjawab semuanya. Muhammad adalah nabi yang luar biasa. Ia adalah nabi terakhir, yang terakhir diutus Tuhan untuk menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita.”
Jennifer memutuskan untuk menggali lebih jauh tentang Nabi Muhammad. “Apakah ia manusia sungguhan? Apakah dia benar-benar ada?” Jennifer terkejut mengetahui Nabi Muhammad adalah manusia sungguhan. Bukan saja Muhammad adalah seorang nabi yang menyampaikan wahyu, namun seluruh hidupnya telah terdokumentasikan. “Saya takjub, inilah agama saya,” pikirnya. “Keyakinan yang selama bertahun-tahun saya cari, yang disebut Islam,” katanya.
Jennifer mengikuti tarawih Ramadhan pada musim gugur 2002, meski ia belum masuk Islam. Saat itu masjid penuh oleh jamaah. “Tak seperti keuskupan yang hanya dihadiri satu jenis ras atau kebangsaan di sebuah gereja khusus, masjid dipenuhi berbagai orang dari berbagai spektrum. Mereka sangat akrab dan selalu mengatakan Assalamualaikum,” ia mengisahkan. Ia tak tahu apa artinya itu. Ia hanya mengangguk malu.
“Saatnya melaksanakan sholat. Ini sholat pertama saya seperti seorang Muslim,” katanya. Ia sebenarnya tak tahu apa mereka lakukan. Namun, seorang temannya mengatakan ‘ikuti saja apa yang mereka lakukan’. Jadi, itulah yang ia lakukan.
Jennifer berkomat-kamit meniru jamaah lainnya. Ia juga ikut bersujud, tanpa tahu maksud dan alasannya. “Saya menikmatinya. Saya kagum bahwa semua Muslim menghadap Kabah di saat yang sama setiap shalat, tak peduli dari belahan bumi mana mereka berasal. Kami tak punya ini di Kristen, sama sekali tak punya,” paparnya.
Saat itu ia mengenakan jilbab untuk menghormati para jamaah. Ia tak tahu bagaimana cara mengenakan jilbab. Jadi, ia membeli dua helai selendang (scarf) yang ia pasang sekenanya. “Saya merasa anggun dan hangat saat mengenakan jilbab. Saya bisa berjalan di jalanan tanpa dipandang sebagai obyek seksual. Orang-orang memang menatap saya, tapi saya tak peduli.”
Pulang dari masjid pada hari itu, ia bertekad untuk mengenakan jilbab setiap saat. “Orang-orang terus mengatakan bahwa saya tak perlu mengenakan jilbab karena saya bukan seorang Muslim. Saya hanya berkomentar ini keputusan saya dan ini bukan urusan mereka. Saat mengenakan jilbab, ada perasaan aman, perasaan hangat dalam hati, bahwa saya mengikuti perintah Tuhan. Saya tak peduli terhadap tatapan dan komentar negatif dari orang-orang.”
Jennifer merasa belum melakukan cukup. Ia pun melakukan puasa dalam beberapa hari di bulan Ramadhan. Lalu, ia berpikir bagaimana mengatakan ini semua kepada orang tuanya.
Saat orang tuanya datang dari Republik Dominika, Jennifer tengah serius mempertimbangkan untuk mengucap syahadat. “Hanya saja, saya tak tahu bagaimana memberi tahu keluarga saya, terutama ibu saya karena ia sangat cerewet kepada saya. Saya telah mengenakan jilbab, jadi saya tak bisa melepaskannya hanya karena mempertimbangkan perasaan ibu saya, karena kewajiban saya adalah kepada Allah, lalu baru kepada orang tua,” ungkapnya.
Sebagai awal, Jennifer memberitahu adiknya, Catherine, yang lima tahun lebih muda. Ia ingin melihat reaksi Catherine, yang mungkin akan sama dengan reaksi orang tuanya. Ia memanggil Catherine dan berkata, “Hey Catherine, saya melakukan sesuatu.”
Adiknya tak terkejut. Maklum, Jennifer memang biasa melakukan sesuatu di luar norma. “Apa yang kamu lakukan kali ini Jennifer?”
Jennifer mengatakan dirinya sedang mempertimbangkan masuk Islam, dan ia kini telah mengenakan jilbab. Catherine tertawa kencang. “Ia mengatakan kini saya benar-benar telah ‘melakukannya’ dan orang tua kami akan ‘membunuh’ saya. Ia juga mengatakan tak percaya saya kini salah satu dari teroris itu.”
Namun, Catherine segera menyambung kalimatnya, “Kamu kakak saya dan saya menyayangi kamu tak peduli apa agama yang kamu anut.” “Ia juga mengatakan bahwa orang tua kami akan mengamuk,” ujar Jennifer. Tak berhenti di situ, Catherine lantas mengatakan “Jangan beri tahu ayah dan ibu tanpa saya ada di sana, jadi saya bisa mentertawakan kamu.” Jennifer tahu adiknya hanya bercanda.
Jennifer akhirnya memberanikan diri memberi tahu orangtuanya. “Ayah saya bisa menerimanya. Saya pikir kebanyakan pria akan bisa menerimanya jika hal itu berarti sang anak akan menutupi tubuhnya.”
Namun, ibunya sangat marah dan shock. “Dia terus meyakinkan saya bahwa saya salah langkah dan Islam bukan agama yang tepat. Satu yang yang paling memberatkannya adalah saya mengenakan jilbab.”
Butuh dua pekan bagi ibunya untuk kembali tenang. “Tak lama mereka ahirnya bisa menerima. Bagaimanapun, ibu saya terus mengatakan bahwa ini hanyalah sementara, sebuah tahapan, dan saya akan kembali tersadar,” ungkap Jennifer. Sepekan berselang, Jennifer akhirnya memutuskan untuk mengucap syahadat.
Hari itu, Jumat pertama Januari, Jennifer bangun pagi dengan perasaan membuncah. Ini dia hari H, hari dimana ia akan mengucap syahadat. Ia lalu mandi dan mengejar kereta untuk pergi ke masjid guna mengucap syahadat.
Di masjid, ia menemui imam dan mengatakan ingin mengucap syahadat. Sang imam menatapnya dengan senyuman dan mengatakan “Anda yakin, ini yang benar-benar Anda kehendaki?” Dengan semangat Jennifer menjawab “Ya, ya, ini keputusan saya.”
“Maka, di hari itu, seluruh saudara seiman, laki-laki dan perempuan, bergabung untuk menyaksikan saya masuk Islam,” kata Jennifer. “Hari itu, begitu banyak orang mengucap selamat dan mengatakan kepada saya jika saya membutuhkan apa pun, mereka akan membantu saya. Saya begitu beruntung. Di sini lah saya bersama keluarga baru, sebuah keluarga yang anggotanya berasal dari seluruh belahan bumi.”
“Pada Jumat malam itu saat saya tidur, malam pertama saya sebagai Muslim, saya mengalami mimpi terindah, sebuah karunia. Saya berada di sebuah lembah yang dipenuhi rerumputan hijau nan indah. Perbukitannya begitu indah, tak pernah saya lihat sepanjang hidup, dan saya berjalan di sana menuju seorang pria. Dia juga berjalan ke arah saya, dia mengenakan galabiya putih. Wajahnya samar, tak mirip wajah manusia yang sebenarnya, namun terang seperti matahari. Saya merasa begitu hangat dan aman. Dia memegang tangan saya dan kami berjalan bersama ke arah sebuah batu melingkar yang besar. Di batu itu ia duduk dan saya duduk di rumput. Ia kemudian mengatakan kepada saya ‘Selamat datang ke Islam’.”
Saat terbangun, Jennifer merasakan perasaan yang begitu indah dalam hatinya. “Saya pikir inilah Rasul. Ia datang untuk menyambut saya masuk Islam. Saya kemudian mendapati bahwa itu bukan Nabi Muhammad, tapi salah satu malaikat Allah yang telah menyambut saya, karena malaikat tak memiliki wajah manusia, namun wajahnya samar (blur).”
Jennifer merasa sangat spesial sejak hari itu. “Sebuah malaikat, malaikat Allah datang untuk menyambut saya kepada agama Allah, agama saya. Agama yang begitu saya dambakan sejak kecil. Islam adalah agama yang sebenarnya.”
Jennifer Fayed kini menjadi penulis yang tingal di Carolina Utara, AS. Berbagai tulisannya telah menginspirasi banyak orang. Ia memiliki gelar di bisnis pemasaran, dan anggota aktif Muslimah Writers Alliance.
wow
BalasHapus