Dulu, Bilal Philips pernah dijuluki "Dewa Gitar" di negerinya, Kanada. Kini, ia justru menyerukan agar kaum Muslim sesedikit mungkin mendengarkan petikan gitar, karena "terlalu banyak musik akan menutup hati dari seruan Allah."
Philips menyatakan, larangan itu bukan hanya untuk gitar, tapi semua aliran musik. "Hati yang diisi dengan musik tidak akan memiliki ruang untuk kata-kata Tuhan," tulisnya dalam bukunya, Contemporary Issues. Buku ini membahas persoalan-persoalan aktual umat islam, mulai dari perkawinan anak di bawah umur, pemukulan istri, poligami, dan membunuh kaum murtad, hingga homoseksualitas.
Philips berpendapat, Islam tidak melarang semua musik. Namun, musik yang dianjurkan adalah yang dinyanyikan kaum pria dan anak perempuan belum dewasa. Lagu-lagunya pun berisi konten yang dapat diterima umum. "Instrumen senar sebaiknya dihindari," ia melanjutkan.
Philips adalah imigran asal Jamaika. Masuk ke Kanada di usia 11 tahun, ia mengambil pendidikan gitar. Ia bermain di klub malam selama belajar di Universitas Simon Fraser di British Columbia. Namanya makin terdongkrak setelah itu.
Di puncak kepopulerannya, jiwanya gelisah. Ia memutuskan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk musik negerinya dan menyusul sang ayah yang juga tenaga ahli di Canadian Colombo Plan berpindah ke Malaysia, menjadi penasihat menteri pendidikan. Di negeri jiran itu, ia dikenal sebagai "Jimi Hendrix dari Sabah".
Tapi setelah memeluk Islam pada tahun 1972, ia meletakkan gitarnya untuk selamanya. Dalam biografi di situs web ia mengatakan, "ketika saya menjadi seorang Muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan hal ini dan menyerah baik secara profesional maupun pribadi."Bagi banyak orang, musik menjadi sumber hiburan dan harapan dari Allah. Musik membawa mereka untuk sementara, seperti obat. "Quran, kata-kata Allah yang penuh dengan bimbingan, juga bisa memainkan peran itu."
***
Dalam bukunya, ia juga mengatakan wanita dewasa dilarang untuk bernyanyi. "Pria lebih mudah terangsang daripada perempuan sebagai telah sepenuhnya didokumentasikan oleh studi klinis Masters dan Johnson. "
Tetapi Institut Islam Toronto mengatakan pada situs webnya yang banyak sarjana tidak setuju dengan penafsiran itu, dan mempertimbangkan musik diperbolehkan asalkan tidak mengandung "sensual, menduakan Tuhan, atau tema tidak etis dan pesan subliminal.
"Jadi untuk mengatakan bahwa semua musik dilarang dalam Islam tampaknya tidak tepat. Islam menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang," tulis situs ini.
Sohail Raza, juru bicara Kongres Muslim Kanada, mengatakan klaim bahwa Islam tidak mengijinkan musik adalah "benar-benar tak berdasar" dan benar-benar merupakan upaya untuk mencegah imigran Muslim dari integrasi ke dalam masyarakat Kanada.
"Ini adalah orang-orang yang memiliki keengganan untuk sukacita," kata Raza. "Kami memiliki situasi yang sangat menyedihkan dimana orang-orang seperti Philips yang membawa hal-hal dalam Islam yang benar-benar tidak benar, dan menumbuhsuburkan Islamophobia."
Philips, yang memiliki gelar dari Universitas Islam Madinah dan Universitas Riyadh, dan mendirikan Universitas Islam Online, tinggal di Qatar tapi tetap menjadi pembicara konferensi yang populer di Kanada. Dia memberikan kuliah tentang "musik dan kencan" di sebuah masjid Toronto April lalu.
Dalam video online-nya, mantan musisi panggilan musik kecanduan jahat. "Intinya adalah bahwa jika musik itu bermanfaat, maka musisi akan menunjukkan manfaat yang dalam hidup mereka," katanya dalam sebuah video YouTube.
"Apa yang Anda lihat justru adalah bahwa beberapa elemen yang paling korup masyarakat yang ditemukan di antara para musisi. Obat-obatan, penyimpangan dan homoseksualitas, hal ini jenis dan semua korupsi yang ada di sana, orang bunuh diri, "katanya. "Kenyataannya adalah bahwa hal itu sebenarnya tidak membawa sisi, jahat gelap yang memproduksi jenis korupsi antara mereka sendiri dan, pada akhirnya, berakhir sampai merusak elemen masyarakat."
Sumber : republika/dailymail; http://muallaf-online.blogspot.com/2011/02/mualaf-bilal-philips-mantan-dewa-gitar.html
Minggu, 08 Mei 2011
Knud Valdemar, Mualaf Denmark yang Melawan Penjajahan Italia
Knud Valdemar Gylding Holmboe lahir pada 22 April 1902, sebagai anak tertua dari keluarga pedagang yang terpandang di kota Horsens, Denmark. Sejak remaja, Knud sudah tertarik dengan ilmu filsafat dan agama dan dalam usia muda, Knud sudah bekerja sebagai wartawan magang dan menulis untuk sejumlah koran lokal di Denmark.
Pada usia 20 tahun, Knud menyatakan memeluk agama Katolik dan tinggal di sebuah seminari di Clairvaux, Prancis. Dengan cepat ia membaur dalam kehidupan biara dan ingin memperdalam ilmu agamanya ke tempat lain. Tahun 1924, ia pun pergi ke Maroko dan di negara inilah ia malah mengenal Islam.
Knud sering menemui seorang syaikh di sebuah masjid kecil di kawasan pegunungan di negara itu. Dari pertemuan-pertemuan itu, Knud menyadari bahwa hatinya terpaut pada Islam. Setahun kemudian, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pulang ke Denmark, Knud menerbitkan buku pertamanya "Poems" berisi tulisan-tulisannya tentang kematian, kehidupan, keyakinan dan gurun pasir. Tak lama setelah buku pertama, Knud menerbitkan buku tentang pengalamannya selama tinggal di Maroko berjudul "Between the Devil and The Deep Sea – a dash by plane to seething Morocco”.
Tahun 1925, Knud melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mulai dari Suriah, Palestina, Yordania, Irak dan Persia. Ia menyaksikan sendiri pertikaian politik di Baghdad dan Palestina, yang menjadi cikal bakal ketidakstabilan situasi Timur Tengah hingga sekarang.
Setelah Timur Tengah, pada tahun 1927, ia mengunjungi kawasan Balkan bersama isterinya yang baru dinikahinya. Di Albania, ia menyaksikan bagaimana orang-orang Italia menindas komunitas Muslim. Knud menulis dan mengirimkan banyak artikel serta foto apa yang ia saksikan di Albania ke media massa di Denmark. Salah satunya yang memicu kontroversial adalah artikel Knud tentang tindakan penguasa Italia menggantung seorang pendeta Katolik terkemuka Albania. Cerita itu menyebar ke seluruh Eropa dan membuat otoritas Italia marah besar.
Saat kembali ke Denmark, Knud mencoba keberuntungannya dengan menjadi editor di sebuah koran lokal. Tapi kesulitan ekonomi membuatnya memilih meninggalkan Denmark. Bersama istrinya, Nora dan puterinya, Aisha, Knud pindah ke Maroko. Knud juga mengganti namanya menjadi Ali Ahmed El Gheseiri, yang merupakan terjemahan bebas nama asli Knud ke dalam bahasa Arab.
Ikut Jihad Melawan Italia
Tahun 1930, Knud melakukan perjalanan yang membuatnya menjadi terkenal. Dengan menggunakan mobil Chevrolet Model 1929 dari Maroko melintasi gurun Sahara menuju Mesir. Saat melewati Libya, Knud lagi-lagi menyaksikan perlakun buruk penguasa Italia yang saat itu menjajah Libya, terhadap masyarakat Muslim di negeri itu. Orang-orang Italia itu menggantung, mengeksekusi, menyerang, menyiksa penduduk Muslim serta merusak sumber nafkah mereka sehingga penduduk Muslim di Libya hidup dalam kemiskinan.. Knud menulis dan mengambil foto-foto apa yang disaksikannya di Libya.
Pengusa Italia di Libya tidak tinggal diam. Mereka menangkap Knud di kota Derna dan mengusir Knud dari Libya. Sejak itu, Knud memutuskan untuk bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat Libya yang dipimpin oleh Syaikh Omar Al-Mokhtar.
Knud tetap melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Di negeri Piramida itu, ia berjuang keras meyakinkan masyarakat Muslim di Mesir untuk membantu jihad muslim Libya melawan penjajahan Italia. Knud sedang bersiap-siap membawa bantuan dengan karavan ke kota Al-Kufra, Libya, ketika duta besar Italia untuk Mesir meminta otoritas Inggris dan Mesir menangkap dan menjebloskan Knud ke penjara. Sebulan lamanya ia mendekam di penjara, lalu dipulangkan dengan kapal laut ke negara asalnya, Denmark.
Di Denmark, Knud menuliskan kekejaman penjajahan Italia di Libya dalam bukunya “Desert Encounter", yang dengan cepat menjadi buku terlaris di Denmark dan beberapa negara Eropa lainnya, serta di AS. Di Italia, buku itu dinyatakan terlarang hingga tahun 2004. Pemerintah Italia menghabiskan dana ribuan dollar untuk melakukan kampanye hitam terhadap buku Knud tersebut dan memanfaatkan media massa di Italia untuk membantah semua tulisan-tulisan Knud tentang kejahatan perang Italia di Libya.
Tahun 1931, Knud kembali melakukan perjalanan. Kali ini ia berencana ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, ia menyempatkan diri bertemu dengan para pemimpin dan tokoh perlawanan Libya yang diasingkan ke Turki, Yordania dan Suriah. Saat berada di Suriah, masyarakat Arab sedang melakukan demonstrasi besar-besaran di depan kantor konsulat Italia di Damaskus. Lagi-lagi Knud diusir dari Suriah. Knud boleh masuk ke Yordania dan melanjutkan perjalanannya ke Mekkah, setelah kantor konsulat Denmark di Istanbul menyampaikan proters keras atas perlakuan terhadap Knud.
Dibunuh Saat Menuju Mekkah
Pemerintah Italia masih menyimpan rasa khawatir terhadap Knud. Mereka takut Knud akan menyerukan jihad melawan Italia sesampainya di Mekkah. Untuk itu, Italia melakukan berbagai cara untuk mencegah Knud agar tak sampai ke Mekkah. Knud mengalami berbagai macam percobaan pembunuhan ketika masih berada di Amman, Yordania. Namun Knud tetap pada rencananya semula untuk pergi ke Mekkah. Ia membeli seekor unta dan melanjutkan perjalanannya ke Aqaba. Di sini, ia harus menunggu izin masuk ke wilayah Kerajaan Saudi.
Tanggal 11 Oktober 1931, Knud meninggalkan untanya di dekat perbatasan Saudi. Ia konon sedang bermalam di dekat oasis Haql ketika sekelompok suku Arab Badui mendatanginya. Suku di Saudi itu dikenal sebagai sekutu orang-orang Italia yang menguasai wilayah itu. Mereka menyuruh Knud untuk melanjutkan perjalanan sendirian dan di tengah jalan antara Al-Haql dan Humayda, Knud diserang dan disergap. Tapi malam itu juga, Knud berhasil meloloskan diri, ia berenang menjauhi bibir pantai. Saat kelelahan dan terdapar di sebuah pesisir pantai, suku Arab Badui menemukan Knud dan langsung menembaknya hingga tewas. Usia Knud saat itu baru 29 tahun. Jenazahnya dikubur di dekat pantai.
Petugas perbatasan Yordania Arif Saleem berusaha mengejar seorang syaikh, pemimpin kelompok yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan terhadap Knud. Saleem berhasil menangkapnya di wilayah Aqaba dan menginterogasinya selama beberapa jam. Tapi atas perintah komandan pasukan Inggris John Glubb, syaikh itu akhirnya dibebaskan. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar bahwa sejumlah anggota suku yang membunuh Knud, melakukan bunuh diri massal ketika tentara-tentara yang setia dengan Raja Ibnu Saud menghancurkan kamp-kamp mereka.
Tulisan, buku-buku dan foto-foto karya Knud menjadi warisan bersejarah yang sangat penting. Setelah Perang Dunia II usai, Italia diseret ke pengadilan internasional, tapi masyarakat Muslim di Libya tidak pernah menerima kompensasi atas kekejaman yang dilakukan pemerintah Italia selama menjajah Libya. Jenazah Knud juga tidak pernah dipulangkan ke Denmark.
sumber : eramuslim; http://muallaf-online.blogspot.com/2011/03/knud-valdemar-mualaf-asal-denmark-yang.html
Pada usia 20 tahun, Knud menyatakan memeluk agama Katolik dan tinggal di sebuah seminari di Clairvaux, Prancis. Dengan cepat ia membaur dalam kehidupan biara dan ingin memperdalam ilmu agamanya ke tempat lain. Tahun 1924, ia pun pergi ke Maroko dan di negara inilah ia malah mengenal Islam.
Knud sering menemui seorang syaikh di sebuah masjid kecil di kawasan pegunungan di negara itu. Dari pertemuan-pertemuan itu, Knud menyadari bahwa hatinya terpaut pada Islam. Setahun kemudian, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pulang ke Denmark, Knud menerbitkan buku pertamanya "Poems" berisi tulisan-tulisannya tentang kematian, kehidupan, keyakinan dan gurun pasir. Tak lama setelah buku pertama, Knud menerbitkan buku tentang pengalamannya selama tinggal di Maroko berjudul "Between the Devil and The Deep Sea – a dash by plane to seething Morocco”.
Tahun 1925, Knud melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mulai dari Suriah, Palestina, Yordania, Irak dan Persia. Ia menyaksikan sendiri pertikaian politik di Baghdad dan Palestina, yang menjadi cikal bakal ketidakstabilan situasi Timur Tengah hingga sekarang.
Setelah Timur Tengah, pada tahun 1927, ia mengunjungi kawasan Balkan bersama isterinya yang baru dinikahinya. Di Albania, ia menyaksikan bagaimana orang-orang Italia menindas komunitas Muslim. Knud menulis dan mengirimkan banyak artikel serta foto apa yang ia saksikan di Albania ke media massa di Denmark. Salah satunya yang memicu kontroversial adalah artikel Knud tentang tindakan penguasa Italia menggantung seorang pendeta Katolik terkemuka Albania. Cerita itu menyebar ke seluruh Eropa dan membuat otoritas Italia marah besar.
Saat kembali ke Denmark, Knud mencoba keberuntungannya dengan menjadi editor di sebuah koran lokal. Tapi kesulitan ekonomi membuatnya memilih meninggalkan Denmark. Bersama istrinya, Nora dan puterinya, Aisha, Knud pindah ke Maroko. Knud juga mengganti namanya menjadi Ali Ahmed El Gheseiri, yang merupakan terjemahan bebas nama asli Knud ke dalam bahasa Arab.
Ikut Jihad Melawan Italia
Tahun 1930, Knud melakukan perjalanan yang membuatnya menjadi terkenal. Dengan menggunakan mobil Chevrolet Model 1929 dari Maroko melintasi gurun Sahara menuju Mesir. Saat melewati Libya, Knud lagi-lagi menyaksikan perlakun buruk penguasa Italia yang saat itu menjajah Libya, terhadap masyarakat Muslim di negeri itu. Orang-orang Italia itu menggantung, mengeksekusi, menyerang, menyiksa penduduk Muslim serta merusak sumber nafkah mereka sehingga penduduk Muslim di Libya hidup dalam kemiskinan.. Knud menulis dan mengambil foto-foto apa yang disaksikannya di Libya.
Pengusa Italia di Libya tidak tinggal diam. Mereka menangkap Knud di kota Derna dan mengusir Knud dari Libya. Sejak itu, Knud memutuskan untuk bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat Libya yang dipimpin oleh Syaikh Omar Al-Mokhtar.
Knud tetap melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Di negeri Piramida itu, ia berjuang keras meyakinkan masyarakat Muslim di Mesir untuk membantu jihad muslim Libya melawan penjajahan Italia. Knud sedang bersiap-siap membawa bantuan dengan karavan ke kota Al-Kufra, Libya, ketika duta besar Italia untuk Mesir meminta otoritas Inggris dan Mesir menangkap dan menjebloskan Knud ke penjara. Sebulan lamanya ia mendekam di penjara, lalu dipulangkan dengan kapal laut ke negara asalnya, Denmark.
Di Denmark, Knud menuliskan kekejaman penjajahan Italia di Libya dalam bukunya “Desert Encounter", yang dengan cepat menjadi buku terlaris di Denmark dan beberapa negara Eropa lainnya, serta di AS. Di Italia, buku itu dinyatakan terlarang hingga tahun 2004. Pemerintah Italia menghabiskan dana ribuan dollar untuk melakukan kampanye hitam terhadap buku Knud tersebut dan memanfaatkan media massa di Italia untuk membantah semua tulisan-tulisan Knud tentang kejahatan perang Italia di Libya.
Tahun 1931, Knud kembali melakukan perjalanan. Kali ini ia berencana ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, ia menyempatkan diri bertemu dengan para pemimpin dan tokoh perlawanan Libya yang diasingkan ke Turki, Yordania dan Suriah. Saat berada di Suriah, masyarakat Arab sedang melakukan demonstrasi besar-besaran di depan kantor konsulat Italia di Damaskus. Lagi-lagi Knud diusir dari Suriah. Knud boleh masuk ke Yordania dan melanjutkan perjalanannya ke Mekkah, setelah kantor konsulat Denmark di Istanbul menyampaikan proters keras atas perlakuan terhadap Knud.
Dibunuh Saat Menuju Mekkah
Pemerintah Italia masih menyimpan rasa khawatir terhadap Knud. Mereka takut Knud akan menyerukan jihad melawan Italia sesampainya di Mekkah. Untuk itu, Italia melakukan berbagai cara untuk mencegah Knud agar tak sampai ke Mekkah. Knud mengalami berbagai macam percobaan pembunuhan ketika masih berada di Amman, Yordania. Namun Knud tetap pada rencananya semula untuk pergi ke Mekkah. Ia membeli seekor unta dan melanjutkan perjalanannya ke Aqaba. Di sini, ia harus menunggu izin masuk ke wilayah Kerajaan Saudi.
Tanggal 11 Oktober 1931, Knud meninggalkan untanya di dekat perbatasan Saudi. Ia konon sedang bermalam di dekat oasis Haql ketika sekelompok suku Arab Badui mendatanginya. Suku di Saudi itu dikenal sebagai sekutu orang-orang Italia yang menguasai wilayah itu. Mereka menyuruh Knud untuk melanjutkan perjalanan sendirian dan di tengah jalan antara Al-Haql dan Humayda, Knud diserang dan disergap. Tapi malam itu juga, Knud berhasil meloloskan diri, ia berenang menjauhi bibir pantai. Saat kelelahan dan terdapar di sebuah pesisir pantai, suku Arab Badui menemukan Knud dan langsung menembaknya hingga tewas. Usia Knud saat itu baru 29 tahun. Jenazahnya dikubur di dekat pantai.
Petugas perbatasan Yordania Arif Saleem berusaha mengejar seorang syaikh, pemimpin kelompok yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan terhadap Knud. Saleem berhasil menangkapnya di wilayah Aqaba dan menginterogasinya selama beberapa jam. Tapi atas perintah komandan pasukan Inggris John Glubb, syaikh itu akhirnya dibebaskan. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar bahwa sejumlah anggota suku yang membunuh Knud, melakukan bunuh diri massal ketika tentara-tentara yang setia dengan Raja Ibnu Saud menghancurkan kamp-kamp mereka.
Tulisan, buku-buku dan foto-foto karya Knud menjadi warisan bersejarah yang sangat penting. Setelah Perang Dunia II usai, Italia diseret ke pengadilan internasional, tapi masyarakat Muslim di Libya tidak pernah menerima kompensasi atas kekejaman yang dilakukan pemerintah Italia selama menjajah Libya. Jenazah Knud juga tidak pernah dipulangkan ke Denmark.
sumber : eramuslim; http://muallaf-online.blogspot.com/2011/03/knud-valdemar-mualaf-asal-denmark-yang.html
Jimmy
Saya terlahir dari keluarga chines yang memiliki semua fasilitas hidup yang berkecukupan. Keluarga besar saya dari agama budha. Di sewatu hari saya coba untuk ke gereja dan orang tua saya pun ikut ke gereja di sana lah kami memutuskan untuk berpindah agama keristen. Tetapi kakek saya dan semua paman paman saya mulai menjahui keluarga saya . kita pun tetap tidak memperdulikan nya dan akhir nya kita tetap memilih agama yang kita yakini. dan saya pun sering ke gereja untuk beribadah. Tetapi saya tidak pernah merasakan sebuah ketenangan dalam hidup saya dan saya pun mencoba untuk ke gereja lain di gereja yang saya masuk juga sama saja saya tidak mendapatkan jawaban setelah itu pun saya mencoba ke gereja katolik tetapi hasil nya sama saja.
Di sana lah saya mulai merasakan semua ke jenuhan dalam hidup saya . pada sewaktu saat saya membaca sebuah brosur dari sebuah mesjid yang di tulis bahwa tuhan tidak di peranakkan dan tidak memperanakan saya pun menjadi sangat bingung dengan ada nya surat itu. Tetapi di ke bingungan saya itu kenapa saya tertarik dengan kata kata ini dan di sana lah saya mulai mencari tau apa arti nya ini semua saya pun tidak pernah lagi ke gereja saya mulai suka dengan suara adzan saya pun mencoba untuk ke mesjid di sana saya cuma bisa berdiri memandangi orang orang yang sholat . tetapi saya merasakan sebuah ketenangan yang sangat besar dalam hati kecil saya . dan saya pun mulai bertanya Tanya kepada teman saya yang beragama islam tersebut dan dia menjelaskan tentang agama nya itu dan saya pun sangat tertarik dengan semua penjelasan dia tentang agama islam.
Pada sewaktu hari adik saya masuk ke dalam kamar saya di sana dia menemukan beberapa selebaran dari mesjid di kamar saya dia pun bercerita kepada orangtua saya setelah semua mendengarkan cerita adik saya. Dan semua nya berfikir saya sudah menjadi seorang muslim saya pun di tentang sama semua keluarga, saya di kucilkan saya di usir dari rumah akhir nya saya pun memberani kan diri untuk di islamkan setelah itu saya sangat kecewa kenapa setelah saya di islam kan saya tambah susah semua pekerjaan saya hilang semua fasilitas saya hilang .
Pada waktu itu juga saya bertemu dengan seorang jamaah dan di sana saya pun bertanya kepada dia kenapa hidup saya semakin susah setelah saya menjadi seorang islam dia pun bertanya apa yang berbeda pada kamu belum menjadi islam dan setelah kamu menjadi islam. Yang saya ucapkan saat itu juga saya merasa lebih tenang di dalam hati saya . dan dia pun berkata semua yang kamu miliki fasilitas pekerjaan tidak bisa membayar sebuah ketenangan yang di berikan dari Allah.
Seiring dengan waktu berjalan saya di arahkan oleh seorang Mualaf yang saya temui di sebuah Masjid untuk ke sebuah satu yayasan tersebut yaitu di Yayasan Bina Insan Mualaf yang beralamat di Jalan Radio Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan, dan di sana saya pun di terima dengan baik layak nya seperti keluarga sendiri. saya pun di arahkan ke pekerjaan yang saya inginkan. dan di sanalah saya mulai mendapatkan jawaban dalam hidup saya ternyata dari ujian hidup yang di berikan kepada saya ada satu hal yang tidak pernah saya bayangkan ternyata begitu indah hidup di dalam agama islam ini.
Dan sejak bulan Februari 2011 saya mencoba untuk hidup bermandiri, saya mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Bina Insan Mualaf kerna selama ini telah banyak membantu saya.
Di sana lah saya mulai merasakan semua ke jenuhan dalam hidup saya . pada sewaktu saat saya membaca sebuah brosur dari sebuah mesjid yang di tulis bahwa tuhan tidak di peranakkan dan tidak memperanakan saya pun menjadi sangat bingung dengan ada nya surat itu. Tetapi di ke bingungan saya itu kenapa saya tertarik dengan kata kata ini dan di sana lah saya mulai mencari tau apa arti nya ini semua saya pun tidak pernah lagi ke gereja saya mulai suka dengan suara adzan saya pun mencoba untuk ke mesjid di sana saya cuma bisa berdiri memandangi orang orang yang sholat . tetapi saya merasakan sebuah ketenangan yang sangat besar dalam hati kecil saya . dan saya pun mulai bertanya Tanya kepada teman saya yang beragama islam tersebut dan dia menjelaskan tentang agama nya itu dan saya pun sangat tertarik dengan semua penjelasan dia tentang agama islam.
Pada sewaktu hari adik saya masuk ke dalam kamar saya di sana dia menemukan beberapa selebaran dari mesjid di kamar saya dia pun bercerita kepada orangtua saya setelah semua mendengarkan cerita adik saya. Dan semua nya berfikir saya sudah menjadi seorang muslim saya pun di tentang sama semua keluarga, saya di kucilkan saya di usir dari rumah akhir nya saya pun memberani kan diri untuk di islamkan setelah itu saya sangat kecewa kenapa setelah saya di islam kan saya tambah susah semua pekerjaan saya hilang semua fasilitas saya hilang .
Pada waktu itu juga saya bertemu dengan seorang jamaah dan di sana saya pun bertanya kepada dia kenapa hidup saya semakin susah setelah saya menjadi seorang islam dia pun bertanya apa yang berbeda pada kamu belum menjadi islam dan setelah kamu menjadi islam. Yang saya ucapkan saat itu juga saya merasa lebih tenang di dalam hati saya . dan dia pun berkata semua yang kamu miliki fasilitas pekerjaan tidak bisa membayar sebuah ketenangan yang di berikan dari Allah.
Seiring dengan waktu berjalan saya di arahkan oleh seorang Mualaf yang saya temui di sebuah Masjid untuk ke sebuah satu yayasan tersebut yaitu di Yayasan Bina Insan Mualaf yang beralamat di Jalan Radio Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan, dan di sana saya pun di terima dengan baik layak nya seperti keluarga sendiri. saya pun di arahkan ke pekerjaan yang saya inginkan. dan di sanalah saya mulai mendapatkan jawaban dalam hidup saya ternyata dari ujian hidup yang di berikan kepada saya ada satu hal yang tidak pernah saya bayangkan ternyata begitu indah hidup di dalam agama islam ini.
Dan sejak bulan Februari 2011 saya mencoba untuk hidup bermandiri, saya mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Bina Insan Mualaf kerna selama ini telah banyak membantu saya.
Kisah Annas
Abdullah Anas, umur 19 tahun, lahir dan dibesarkan di Medan dalam keluarga Kristen Protestan. Ayahnya seorang pendeta, sehingga dari kecil ia tumbuh dalam keluarga agamis. Anas dan kedua kakaknya sangat rajin manjalankan ibadah ke gereja.
Gereja tempat ia beribadah membagi 2 waktu bagi jemaahnya dalam sehari, dan dalam sehari pula ia pergi ke sana. "Tujuan saya untuk dapat benar-benar mendapatkan ilmunya ” tutur anak ke 3 dari 4 bersaudara ini
Tapi, selain sangat taat dengan keyakinan Protestannya, ia rupanya juga tertarik dengan agama lain, yaitu Islam. “Sejak duduk di bangku SMP saya suka mengamati kegiatan teman-teman saya beragama Islam, saya tertarik dengan acara-acara yang ada, seperti hari raya kurban, Isra Mi’raj, bulan Ramadhan dan sebagainya” tutur nya
Dorongan besar untuk mengetahui Islam lebih dalam kian dirasakan Anas di bangku SMA. Hingga ia memutuskan mengikuti dua pelajaran agama, Kristen dan Islam sekaligus di sekolah.
“Memang dulu guru sempat tidak mengizinkan saya mengikuti dua mata pelajaran agama, tetapi setelah saya berbicara dengan guru agama Islam dan menceritakan ketertarikan itu, saya diperbolehkan mengikuti dua-duanya," tutur Anas.
Dengan mempelajari kedua agama itu pengetahuannya tentang Islam semakin luas dan hatinya mulai memiliki kecenderungan. Tapi Annas tidak ingin gegabah. Ia berpikir pula risiko ke depan.
“Saya tahu, keinginan saya untuk masuk Islam sangat besar. Tapi kalau saya nekad dan terburu-buru pindah agama ayah saya pasti sangat marah dan tidak menutup kemungkinan sekolah saya akan terlantar," ungkapnya.
“Jadi saya lebih memilih memendam keinginan itu sampai saya lulus sekolah dan benar-benar yakin dan sanggup menerima apapun yang akan terjadi nanti” lanjutnya. Meski menunda niat menjadi Muslim, Anas tak lantas menunda mencari pengetahuan tentang Islam.
Berpisah jalan dengan sang ayah
Ketika lulus SMA, Anas beserta ayahnya pindah sementara ke Jakarta, karena sang ayah akan menjalankan pelayanan di salah satu gereja di ibu kota. Anas yang sudah lulus SMA saat itu sudah terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Nasional di Jurusan Hukum.
Selama ayahnya sibuk dengan pelayanan digereja, Anas juga sibuk belajar tentang Islam lebih mendalam. Hingga akhirnya, tepat di bulan Agustus, 2010, Anas mendatangi Masjid Cut Meutia di kawasan Menteng untuk mengikrakan syahadat.
“Saat itu pulang kuliah, saya nekad datang ke masjid dan minta untuk di-Islamkan. Setelah bercerita panjang lebar kepada pengurus masjid, mereka bersedia mengislamkan saya," katanya. Anas mengaku, perasaannya kala itu itu bercampur aduk.
“Saya sadar, begitu ayah tahu, maka ia akan marah besar. Tapi bagaimanapun, saya harus menceritakan bahwa saya sudah menjadi muslim” lanjutnya.
Begitu memeluk Islam, Anas kembali kerumah. Ia menceritakan semuanya kepada ayahnya. Seperti yang telah ia duga ayahnya begitu murka dan tidak menerima keputusannya. Saat itu juga, Anas disuruh angkat kaki tanpa membawa barang-barangnya.
“Namanya juga pendeta, tidak sudi kalau anaknya berpindah Agama. Saat itu saya hanya menggunakan baju yang melekat di tubuh, sepatu dan tas. Handphone pun diminta oleh ayah”
“Kebetulan saya memegang dua handphone dan saya hanya mengembalikan satu pada ayah, dengan alasan yang satu lagi rusak dan sedang diperbaiki. Saya tau ponsel itu akan berguna bagi saya.” lanjutnya
Pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa dirasa Anas sangat beresiko. Sebelum benar-benar pergi jauh Anas berhasil mengambil Ijazahnya diam-diam dengan pemikiran itu dapat menolongnya kelak.
"Saya tidak punya keluarga di Jakarta, seandainya adapun mereka tidak akan mau menampung saya. Jadi saya harus sanggup menjalani hari-hari sendirian” kenangnya.
Berhari-hari Anas melalui hidup tanpa kejelasan. Semua fasilitas telah ditarik kembali. Karena tak ada pasokan uang untuk biaya kuliah status Anas sebagai mahasiswa tak lagi melekat.
Kehidupan Keras
Untuk menyambung hidupnya ia menjual ponsel--yang semula ia beli seharga dua juta--dengan harga empat ratus ribu. Anas juga sempat bekerja menjadi seorang kuli panggul di Pasar Kramat Jati.
“Saya tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Merasakan dinginnya angin malam, merasakan pedihnya hidup dijalan. Ini perjalanan hidup terbesar saya” tuturnya. Hidup berpindah-pindah ia alami. Bukan hanya sehari dua hari, melainkan sampai berbulan-bulan.
Lambat laun Anas merasa hidupnya kian tak terarah. Ia pun memutuskan mendatangi salah satu masjid besar, niatnya untuk memproleh pelajaran mengenai Islam lebih dalam. Namun sangat mengecewakan, jangankan mendapat ilmu, diperbolehkan masukpun tidak.
“Saat itu saya datang dengan keadaan seadanya, baju saya kotor dan keadaan saya sangat lusuh," kenang Anas. "Ketika akan memasuki pekarangan masjid, ada salah seorang bapak menggunakan kopiah mengatakan bahwa saya tidak boleh masuk masjid karena pakaian yang kotor”
“Saya mengatakan pada orang tersebut agar mau mengajarkan saya tentang Islam, tetapi ia menolak dan langsung pergi," katanya. Saat itu ia sangat kecewa dan putus asa. "Bagaimana tidak? Seorang muslim saja tidak mau membagi ilmunya untuk orang yang baru masuk Islam seperti saya ini.”
Mengaku putus asa, Anas memilih jalan pintas. Anas pergi ke Gereja dan bertemu pendeta. Ia menceritakan kisahnya, termasuk mengapa ia diusir dan mengaku menyesal. Pendeta itu dengan sangat antusias menawarkan segala kemudahan bagi Anas.
“Setelah mendengar cerita saya, pendeta itu menanyakan segala macam kebutuhan saya, bahkan ia akan memberikan segalanya agar saya mau kembali ke agama sebelumnya. Saat itu saya hanya bilang ingin makan, pendeta itu pun memberikan uang Rp 20.000 dan mengharapkan saya kembali ke gereja itu setelah makan," tutur Anas.
Menemukan 'Rumah'
Entah mengapa setelah mendapatkan uang, Anas malah berpikir pergi ke warung internet (warnet). "Di sana saya mencari tempat khusus menampung orang-orang yang baru menjadi seorang muslim seperti saya, dan saya menemukan alamat sebuah yayasan di daerah Jagakarsa”
Dengan tekad menggebu-gebu, Anas mendatangi tempat tersebut, dengan harapan bertemu orang-orang yang bisa membantunya. “Saat itu posisi saya di Kramat Jati, sedangkan posisi yayasan tersebut di Jagakarsa. Karena uang yang diberikan pendeta tersebut sudah terpakai untuk makan dan membayar warnet saya memutuskan untuk berjalan kaki. Butuh waktu dua hari bagi saya untuk menemukan alamat itu.”
Kini Anas sudah memiliki kelurga baru, di Yayasan Bina Insan Mualaf. Itulah tempat yang ia temukan di internet, di mana ia mengaku merasakan indahnya Islam, indahnya berbagi dan keakraban.
“Memang terdengar aneh, ayah saya seorang pendeta, saya pun termasuk orang yang aktif dalam kegiatan agama saya sebelumnya," ujarnya mengenang kisahnya. Tapi ia menganggap itulah hidayah Allah. "Mungkin karena saya yang benar-benar memahami kitab saya dulu, sehingga membuat saya mencari kitab suci yang sesungguhnya, mencari agama yang benar dan saya temukan itu dalam Islam. Hanya orang-orang cerdaslah yang mengetahui kebenaran ajaran Agama Islam."
Kini Anas mengaku dibina oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya. Ia belajar bacaan shalat dan juga belajar mengaji. Saat ini ia sedang mempelajari surat-surat pendek, yang menurutnya agak sulit, tetapi ia mengaku terus berusaha.
“Kalau boleh dibilang, Islam itu bagi saya hanya dua kata, lengkap dan sempurna. Komplit semua ajarannya dan semua diajarkan dalam Islam karena itu ini agama yang sempurna.” ujarnya.
Anas berharap semua muslim dimanapun dapat lebih memperhatikan Mualaf seperti dirinya. Ia menanggap dirinya masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan agar dapat menjadi seorang muslim yang sesungguhnya.
http://www.bmuallaf.com/2011/03/kisah-annas.html
Gereja tempat ia beribadah membagi 2 waktu bagi jemaahnya dalam sehari, dan dalam sehari pula ia pergi ke sana. "Tujuan saya untuk dapat benar-benar mendapatkan ilmunya ” tutur anak ke 3 dari 4 bersaudara ini
Tapi, selain sangat taat dengan keyakinan Protestannya, ia rupanya juga tertarik dengan agama lain, yaitu Islam. “Sejak duduk di bangku SMP saya suka mengamati kegiatan teman-teman saya beragama Islam, saya tertarik dengan acara-acara yang ada, seperti hari raya kurban, Isra Mi’raj, bulan Ramadhan dan sebagainya” tutur nya
Dorongan besar untuk mengetahui Islam lebih dalam kian dirasakan Anas di bangku SMA. Hingga ia memutuskan mengikuti dua pelajaran agama, Kristen dan Islam sekaligus di sekolah.
“Memang dulu guru sempat tidak mengizinkan saya mengikuti dua mata pelajaran agama, tetapi setelah saya berbicara dengan guru agama Islam dan menceritakan ketertarikan itu, saya diperbolehkan mengikuti dua-duanya," tutur Anas.
Dengan mempelajari kedua agama itu pengetahuannya tentang Islam semakin luas dan hatinya mulai memiliki kecenderungan. Tapi Annas tidak ingin gegabah. Ia berpikir pula risiko ke depan.
“Saya tahu, keinginan saya untuk masuk Islam sangat besar. Tapi kalau saya nekad dan terburu-buru pindah agama ayah saya pasti sangat marah dan tidak menutup kemungkinan sekolah saya akan terlantar," ungkapnya.
“Jadi saya lebih memilih memendam keinginan itu sampai saya lulus sekolah dan benar-benar yakin dan sanggup menerima apapun yang akan terjadi nanti” lanjutnya. Meski menunda niat menjadi Muslim, Anas tak lantas menunda mencari pengetahuan tentang Islam.
Berpisah jalan dengan sang ayah
Ketika lulus SMA, Anas beserta ayahnya pindah sementara ke Jakarta, karena sang ayah akan menjalankan pelayanan di salah satu gereja di ibu kota. Anas yang sudah lulus SMA saat itu sudah terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Nasional di Jurusan Hukum.
Selama ayahnya sibuk dengan pelayanan digereja, Anas juga sibuk belajar tentang Islam lebih mendalam. Hingga akhirnya, tepat di bulan Agustus, 2010, Anas mendatangi Masjid Cut Meutia di kawasan Menteng untuk mengikrakan syahadat.
“Saat itu pulang kuliah, saya nekad datang ke masjid dan minta untuk di-Islamkan. Setelah bercerita panjang lebar kepada pengurus masjid, mereka bersedia mengislamkan saya," katanya. Anas mengaku, perasaannya kala itu itu bercampur aduk.
“Saya sadar, begitu ayah tahu, maka ia akan marah besar. Tapi bagaimanapun, saya harus menceritakan bahwa saya sudah menjadi muslim” lanjutnya.
Begitu memeluk Islam, Anas kembali kerumah. Ia menceritakan semuanya kepada ayahnya. Seperti yang telah ia duga ayahnya begitu murka dan tidak menerima keputusannya. Saat itu juga, Anas disuruh angkat kaki tanpa membawa barang-barangnya.
“Namanya juga pendeta, tidak sudi kalau anaknya berpindah Agama. Saat itu saya hanya menggunakan baju yang melekat di tubuh, sepatu dan tas. Handphone pun diminta oleh ayah”
“Kebetulan saya memegang dua handphone dan saya hanya mengembalikan satu pada ayah, dengan alasan yang satu lagi rusak dan sedang diperbaiki. Saya tau ponsel itu akan berguna bagi saya.” lanjutnya
Pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa dirasa Anas sangat beresiko. Sebelum benar-benar pergi jauh Anas berhasil mengambil Ijazahnya diam-diam dengan pemikiran itu dapat menolongnya kelak.
"Saya tidak punya keluarga di Jakarta, seandainya adapun mereka tidak akan mau menampung saya. Jadi saya harus sanggup menjalani hari-hari sendirian” kenangnya.
Berhari-hari Anas melalui hidup tanpa kejelasan. Semua fasilitas telah ditarik kembali. Karena tak ada pasokan uang untuk biaya kuliah status Anas sebagai mahasiswa tak lagi melekat.
Kehidupan Keras
Untuk menyambung hidupnya ia menjual ponsel--yang semula ia beli seharga dua juta--dengan harga empat ratus ribu. Anas juga sempat bekerja menjadi seorang kuli panggul di Pasar Kramat Jati.
“Saya tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Merasakan dinginnya angin malam, merasakan pedihnya hidup dijalan. Ini perjalanan hidup terbesar saya” tuturnya. Hidup berpindah-pindah ia alami. Bukan hanya sehari dua hari, melainkan sampai berbulan-bulan.
Lambat laun Anas merasa hidupnya kian tak terarah. Ia pun memutuskan mendatangi salah satu masjid besar, niatnya untuk memproleh pelajaran mengenai Islam lebih dalam. Namun sangat mengecewakan, jangankan mendapat ilmu, diperbolehkan masukpun tidak.
“Saat itu saya datang dengan keadaan seadanya, baju saya kotor dan keadaan saya sangat lusuh," kenang Anas. "Ketika akan memasuki pekarangan masjid, ada salah seorang bapak menggunakan kopiah mengatakan bahwa saya tidak boleh masuk masjid karena pakaian yang kotor”
“Saya mengatakan pada orang tersebut agar mau mengajarkan saya tentang Islam, tetapi ia menolak dan langsung pergi," katanya. Saat itu ia sangat kecewa dan putus asa. "Bagaimana tidak? Seorang muslim saja tidak mau membagi ilmunya untuk orang yang baru masuk Islam seperti saya ini.”
Mengaku putus asa, Anas memilih jalan pintas. Anas pergi ke Gereja dan bertemu pendeta. Ia menceritakan kisahnya, termasuk mengapa ia diusir dan mengaku menyesal. Pendeta itu dengan sangat antusias menawarkan segala kemudahan bagi Anas.
“Setelah mendengar cerita saya, pendeta itu menanyakan segala macam kebutuhan saya, bahkan ia akan memberikan segalanya agar saya mau kembali ke agama sebelumnya. Saat itu saya hanya bilang ingin makan, pendeta itu pun memberikan uang Rp 20.000 dan mengharapkan saya kembali ke gereja itu setelah makan," tutur Anas.
Menemukan 'Rumah'
Entah mengapa setelah mendapatkan uang, Anas malah berpikir pergi ke warung internet (warnet). "Di sana saya mencari tempat khusus menampung orang-orang yang baru menjadi seorang muslim seperti saya, dan saya menemukan alamat sebuah yayasan di daerah Jagakarsa”
Dengan tekad menggebu-gebu, Anas mendatangi tempat tersebut, dengan harapan bertemu orang-orang yang bisa membantunya. “Saat itu posisi saya di Kramat Jati, sedangkan posisi yayasan tersebut di Jagakarsa. Karena uang yang diberikan pendeta tersebut sudah terpakai untuk makan dan membayar warnet saya memutuskan untuk berjalan kaki. Butuh waktu dua hari bagi saya untuk menemukan alamat itu.”
Kini Anas sudah memiliki kelurga baru, di Yayasan Bina Insan Mualaf. Itulah tempat yang ia temukan di internet, di mana ia mengaku merasakan indahnya Islam, indahnya berbagi dan keakraban.
“Memang terdengar aneh, ayah saya seorang pendeta, saya pun termasuk orang yang aktif dalam kegiatan agama saya sebelumnya," ujarnya mengenang kisahnya. Tapi ia menganggap itulah hidayah Allah. "Mungkin karena saya yang benar-benar memahami kitab saya dulu, sehingga membuat saya mencari kitab suci yang sesungguhnya, mencari agama yang benar dan saya temukan itu dalam Islam. Hanya orang-orang cerdaslah yang mengetahui kebenaran ajaran Agama Islam."
Kini Anas mengaku dibina oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya. Ia belajar bacaan shalat dan juga belajar mengaji. Saat ini ia sedang mempelajari surat-surat pendek, yang menurutnya agak sulit, tetapi ia mengaku terus berusaha.
“Kalau boleh dibilang, Islam itu bagi saya hanya dua kata, lengkap dan sempurna. Komplit semua ajarannya dan semua diajarkan dalam Islam karena itu ini agama yang sempurna.” ujarnya.
Anas berharap semua muslim dimanapun dapat lebih memperhatikan Mualaf seperti dirinya. Ia menanggap dirinya masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan agar dapat menjadi seorang muslim yang sesungguhnya.
http://www.bmuallaf.com/2011/03/kisah-annas.html
Selasa, 03 Mei 2011
Dari Forum Penghujat Islam Kini Akhinya Memilih Jadi Mualaf
Bertahun-tahun yang lalu, William Junaedi menganggap semua agama sama, yang membedakan hanyalah nama-nama Nabi sebagai utusan Tuhan. Namun kelak, pandangan itu berubah sepenuhnya ketika ia mulai bergaul dengan internet.
Pada tahun 2008, lelaki berdarah Cina-Betawi itu berhenti dari tempat kerjanya. Ia membeli sebuah komputer dan melanggan internet.
"Ketika sedang menganggur, sehari-hari saya hanya bermain internet. Browsing sana-sini, mencari tahu segala hal yang belum saya ketahui," tutur Wiliam.
Hingga suatu hari ia menemukan satu laman yaitu forum kumpulan orang non-Muslim. Dalam forum itu, mereka menjelek-jelekan agama Islam.
Beberapa minggu William aktif memantau forum tersebut. Isinya hanyalah hujatan dan caci maki terhadap agama Islam. Penghuni forum itu menampilkan diri seolah-olah mengetahui dan paham betul mengenai sejarah Islam, Al-quran beserta hadist yang menurut mereka sangat tidak masuk akal.
Ketika membaca postingan penuh hujatan terhadap Islam, William menggeleng-gelengkan kepala. "Apa benar yang mereka bicarakan? Saya pun menjadi semakin penasaran ingin mengetahui kebenarannya.” lanjut pria berusia 29 tahun itu.
Akal sehat William tak bisa menerima komentar-komentar kasar dari anggota forum yang ia nilai sangat mengintimidasi dan melecehkan. William pun melakukan pencarian. Saat itu ia mendapat info alamat email sebuah live chat perdebatan mengenai Islam. Ternyata di sana jauh lebih parah.
Salah satu admin live chat, tutur William, mengatakan mereka telah menemukan satu hadist yang menceritakan bahwa Nabi dulu pernah melakukan perbuatan asusila terhadap Abu Sofyan saat masih kecil, "Disebutkan pula bahwa Nabi pernah tidur dengan mayat. Kami memperdebatkan itu semua," kata si bungsu dari 5 bersaudara ini.
Satu tahun lebih William mengikuti debat di live chat. Berbarengan dengan itu, toko milik kakaknya bangkrut. William beserta keluarga akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta. Berbeda saat memantau forum non-Muslim, kali ini kata-kata di live-chat itu merasuk ke hatinya.
Ketika pindah ke Jakarta, William berada dalam fase ‘kebencian tingkat tinggi’ terhadap Islam. Sampai-sampai ia selalu berdebat dengan kakak iparnya yang Muslim.
“Setiap hari saya mendebat kakak ipar saya, mengapa Islam begini? Mengapa Islam begitu?. Kakak ipar William, menurut dia, sampai terlihat dilema dan kesulitan dengan kelakuannya yang selalu mendebatnya tiada henti.
Namun William berhenti juga mendebatkan Islam dan memilih memelajari Kristen yang sudah lama ia anut. Ia berharap dengan mengetahui Kristen lebih dalam ia dapat menemukan jawaban atas semua kebenaran Tuhan. Tetapi, William mengaku tak mendapat apapun.
“Awalnya saya ingin memperdalam ilmu agama saya, tetapi apa yang saya peroleh? Semua nihil. Saya tidak mendapat jawaban yang masuk akal dari agama saya sebelumnya," ujar William. "Saat membaca alkitab saya hanya merasa seperti membaca novel, tidak ada yang spesial” ungkap William.
Kebimbangan dengan agamanya justru mendorong William mencari tahu Islam lebih lanjut. Dj sisi lain ia juga tertarik dengan Muslimah berjilbab dan mengunduh foto-foto wanita berkerudung serta menyimpannya dalam satu folder. Keisengannya itu ternyata diketahui oleh kakak iparnya.
“Saat itu kakak ipar saya bongkar-bongkar komputer, dia menemukan folder koleksi foto wanita berkerudung yang saya miliki," tutur William. Kontan kakak ipar William pun menanyakan perihal itu kepadanya. "Tapi saat itu saya membantahnya," kenang William
Ketika mengingat forum ‘non-Muslim’, William terbersit untuk mencari forum Muslim. Ia menemukan satu chatt room khusus pemeluk Islam, bernama ‘café Islam’. Di dalam forum itu ia banyak bertanya mengenai agama Islam. Hingga William memutuskan bertemu salah satu anggota chatt room untuk berbagi langsung.
“Berbeda dengan forum non-Muslim yang saya temukan sebelumnya, di ‘café Islam’ tidak ada makian kasar untuk agama non-muslim” cerita William
Pertemuan William dengan salah satu anggota ‘café Islam’ membuatnya terkesan. Anggota itu juga memberikan sebuah buku kepada William, berjudul “Saksikan Aku Sebagai Muslim”.
“Saya senang dengan pertemuan itu, berbincang dengan orang Islam yang membuat saya semakin tertarik dengan Islam," akunya "Ditambah lagi, dia memberikan saya buku. Walaupun pada saat itu saya kebingungan menyimpannya. Karena takut ketahuan orang di rumah” tutur William.
Usai pertemuan itu William kian intens mendalami Islam, hingga muncul keinginan untuk memeluk Islam. Dorongan itu kian kuat ketika ia--yang mulai sering melamun di atas rumahnya--mendengar suara orang mengaji. Di kuping William, suara itu terdengar merdu. Saat itu pula terbesit di benak William untuk berdoa kepada Allah.
“Suara lantunan ayat Al Qur'an itu terdengar sangat berirama dan enak sekali di dengarnya," ungkap William. Ia tak pernah mendengar semacam itu di agamanya." Saya pun langsung berdoa dalam hati ‘ya Tuhan, kalau memang ini Agama yang benar dan merupakan karuniamu tolong dekatkan aku dengan Islam, jika bukan maka jauhkanlah” kenang William
Beberapa waktu setelah itu, William membuat sebuah akun Facebook, di sana ia bergabung dengan group ‘Mualaf Indonesia’. Lagi-lagi ia banyak menanyakan mengenai Islam dan mengutarakan keinginannya untuk memeluk Islam
“Awalnya saya berpikir, lucu juga kalau muka Cina seperti saya pakai kopiah. Tapi ternyata di Mualaf Indonesia banyak orang-orang seperti saya (Cina-red) dan mereka memeluk Islam. Saya jadi tak merasa asing,” tuturnya
Keinginan William masuk Islam mendapat sambutan hangat dari anggota grup Mualaf Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 13 September 2009, William di-Islamkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan melakukan khitan pada 5 November 2009.
Resmi menjadi Muslim, William menceritakan keputusan besar itu kepada orang tua. Saat itu, ibu William marah besar dan mogok bicara dengan William. Sementara ayahnya lebih membebaskan William memilih.
“Mama tidak mau bicara sama saya, terlihat sekali kalau mama kecewa," tutur William. Ayahnya tidak melarang, karena ayah William rupanya pernah menjadi seorang muslim. "Tetapi lantaran tidak ada yang membimbingnya akhirnya ia menjadi murtad” kata William
William mengaku berat ketika keputusannya tidak disetujui oleh sang ibu. Tapi William tak berputus asa. Saat hubungan dengan ibunya menegang, William mengambil wudhu dan berdoa kepada Allah agar membukakan pintu hati ibunya.
Doa yang dipanjatkan William ternyata dijabahi Allah. Hanya dua hari berselang, ibunya tak sanggup lagi mogok bicara dengannya. Akhirnya ibu dan anak itu pun berbicara dari hati ke hati dan ibunya pun menerima keputusan William.
“Setelah mama bisa menerima saya sebagai seorang muslim saya menjadi lega, meski banyak teman-teman saya yang juga keturunan Cina mengucilkan dan memutuskan silaturahmi dengan saya.” ujar William Walaupun ada yang tak menyukai keputusan William, tak lantas mengendurkan semangatnya untuk mempelajari Islam.
Setelah memeluk agama Islam, William kian merasakan kedekatan Allah terhadap dirinya. Ia mengaku menjadi Muslim itu nikmat. “Yang paling luar biasa, ketika shalat berjamaah dimasjid. Semua orang Muslim, mulai pedagang, pegawai bahkan pejabatpun shalat berdampingan tanpa ada perbedaan,” ujar William
Tak lama setelah ia menjadi Muslim, ia merasa kian mendapat banyak berkah. William mendapat panggilan kerja di salah satu SMA Negeri di Jakarta sebagai guru bahasa Inggris.
“Memang Allah tak pernah tidur, ia akan menolong setiap umatnya yang membutuhkannya. Kita hanya perlu berdoa dan bersabar. Sama seperti saya yang harus berdoa dan bersabar demi menemukan agama yang benar” tuturnya.
Saat ini William terus mempelajari Islam. Ditemani salah satu rekan kerjanya, William aktif mengikuti kegiatan pengajian yang ada di masjid-masjid.
http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/03/sebelumnya-aktif-di-forum-penghujat.html
Pada tahun 2008, lelaki berdarah Cina-Betawi itu berhenti dari tempat kerjanya. Ia membeli sebuah komputer dan melanggan internet.
"Ketika sedang menganggur, sehari-hari saya hanya bermain internet. Browsing sana-sini, mencari tahu segala hal yang belum saya ketahui," tutur Wiliam.
Hingga suatu hari ia menemukan satu laman yaitu forum kumpulan orang non-Muslim. Dalam forum itu, mereka menjelek-jelekan agama Islam.
Beberapa minggu William aktif memantau forum tersebut. Isinya hanyalah hujatan dan caci maki terhadap agama Islam. Penghuni forum itu menampilkan diri seolah-olah mengetahui dan paham betul mengenai sejarah Islam, Al-quran beserta hadist yang menurut mereka sangat tidak masuk akal.
Ketika membaca postingan penuh hujatan terhadap Islam, William menggeleng-gelengkan kepala. "Apa benar yang mereka bicarakan? Saya pun menjadi semakin penasaran ingin mengetahui kebenarannya.” lanjut pria berusia 29 tahun itu.
Akal sehat William tak bisa menerima komentar-komentar kasar dari anggota forum yang ia nilai sangat mengintimidasi dan melecehkan. William pun melakukan pencarian. Saat itu ia mendapat info alamat email sebuah live chat perdebatan mengenai Islam. Ternyata di sana jauh lebih parah.
Salah satu admin live chat, tutur William, mengatakan mereka telah menemukan satu hadist yang menceritakan bahwa Nabi dulu pernah melakukan perbuatan asusila terhadap Abu Sofyan saat masih kecil, "Disebutkan pula bahwa Nabi pernah tidur dengan mayat. Kami memperdebatkan itu semua," kata si bungsu dari 5 bersaudara ini.
Satu tahun lebih William mengikuti debat di live chat. Berbarengan dengan itu, toko milik kakaknya bangkrut. William beserta keluarga akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta. Berbeda saat memantau forum non-Muslim, kali ini kata-kata di live-chat itu merasuk ke hatinya.
Ketika pindah ke Jakarta, William berada dalam fase ‘kebencian tingkat tinggi’ terhadap Islam. Sampai-sampai ia selalu berdebat dengan kakak iparnya yang Muslim.
“Setiap hari saya mendebat kakak ipar saya, mengapa Islam begini? Mengapa Islam begitu?. Kakak ipar William, menurut dia, sampai terlihat dilema dan kesulitan dengan kelakuannya yang selalu mendebatnya tiada henti.
Namun William berhenti juga mendebatkan Islam dan memilih memelajari Kristen yang sudah lama ia anut. Ia berharap dengan mengetahui Kristen lebih dalam ia dapat menemukan jawaban atas semua kebenaran Tuhan. Tetapi, William mengaku tak mendapat apapun.
“Awalnya saya ingin memperdalam ilmu agama saya, tetapi apa yang saya peroleh? Semua nihil. Saya tidak mendapat jawaban yang masuk akal dari agama saya sebelumnya," ujar William. "Saat membaca alkitab saya hanya merasa seperti membaca novel, tidak ada yang spesial” ungkap William.
Kebimbangan dengan agamanya justru mendorong William mencari tahu Islam lebih lanjut. Dj sisi lain ia juga tertarik dengan Muslimah berjilbab dan mengunduh foto-foto wanita berkerudung serta menyimpannya dalam satu folder. Keisengannya itu ternyata diketahui oleh kakak iparnya.
“Saat itu kakak ipar saya bongkar-bongkar komputer, dia menemukan folder koleksi foto wanita berkerudung yang saya miliki," tutur William. Kontan kakak ipar William pun menanyakan perihal itu kepadanya. "Tapi saat itu saya membantahnya," kenang William
Ketika mengingat forum ‘non-Muslim’, William terbersit untuk mencari forum Muslim. Ia menemukan satu chatt room khusus pemeluk Islam, bernama ‘café Islam’. Di dalam forum itu ia banyak bertanya mengenai agama Islam. Hingga William memutuskan bertemu salah satu anggota chatt room untuk berbagi langsung.
“Berbeda dengan forum non-Muslim yang saya temukan sebelumnya, di ‘café Islam’ tidak ada makian kasar untuk agama non-muslim” cerita William
Pertemuan William dengan salah satu anggota ‘café Islam’ membuatnya terkesan. Anggota itu juga memberikan sebuah buku kepada William, berjudul “Saksikan Aku Sebagai Muslim”.
“Saya senang dengan pertemuan itu, berbincang dengan orang Islam yang membuat saya semakin tertarik dengan Islam," akunya "Ditambah lagi, dia memberikan saya buku. Walaupun pada saat itu saya kebingungan menyimpannya. Karena takut ketahuan orang di rumah” tutur William.
Usai pertemuan itu William kian intens mendalami Islam, hingga muncul keinginan untuk memeluk Islam. Dorongan itu kian kuat ketika ia--yang mulai sering melamun di atas rumahnya--mendengar suara orang mengaji. Di kuping William, suara itu terdengar merdu. Saat itu pula terbesit di benak William untuk berdoa kepada Allah.
“Suara lantunan ayat Al Qur'an itu terdengar sangat berirama dan enak sekali di dengarnya," ungkap William. Ia tak pernah mendengar semacam itu di agamanya." Saya pun langsung berdoa dalam hati ‘ya Tuhan, kalau memang ini Agama yang benar dan merupakan karuniamu tolong dekatkan aku dengan Islam, jika bukan maka jauhkanlah” kenang William
Beberapa waktu setelah itu, William membuat sebuah akun Facebook, di sana ia bergabung dengan group ‘Mualaf Indonesia’. Lagi-lagi ia banyak menanyakan mengenai Islam dan mengutarakan keinginannya untuk memeluk Islam
“Awalnya saya berpikir, lucu juga kalau muka Cina seperti saya pakai kopiah. Tapi ternyata di Mualaf Indonesia banyak orang-orang seperti saya (Cina-red) dan mereka memeluk Islam. Saya jadi tak merasa asing,” tuturnya
Keinginan William masuk Islam mendapat sambutan hangat dari anggota grup Mualaf Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 13 September 2009, William di-Islamkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan melakukan khitan pada 5 November 2009.
Resmi menjadi Muslim, William menceritakan keputusan besar itu kepada orang tua. Saat itu, ibu William marah besar dan mogok bicara dengan William. Sementara ayahnya lebih membebaskan William memilih.
“Mama tidak mau bicara sama saya, terlihat sekali kalau mama kecewa," tutur William. Ayahnya tidak melarang, karena ayah William rupanya pernah menjadi seorang muslim. "Tetapi lantaran tidak ada yang membimbingnya akhirnya ia menjadi murtad” kata William
William mengaku berat ketika keputusannya tidak disetujui oleh sang ibu. Tapi William tak berputus asa. Saat hubungan dengan ibunya menegang, William mengambil wudhu dan berdoa kepada Allah agar membukakan pintu hati ibunya.
Doa yang dipanjatkan William ternyata dijabahi Allah. Hanya dua hari berselang, ibunya tak sanggup lagi mogok bicara dengannya. Akhirnya ibu dan anak itu pun berbicara dari hati ke hati dan ibunya pun menerima keputusan William.
“Setelah mama bisa menerima saya sebagai seorang muslim saya menjadi lega, meski banyak teman-teman saya yang juga keturunan Cina mengucilkan dan memutuskan silaturahmi dengan saya.” ujar William Walaupun ada yang tak menyukai keputusan William, tak lantas mengendurkan semangatnya untuk mempelajari Islam.
Setelah memeluk agama Islam, William kian merasakan kedekatan Allah terhadap dirinya. Ia mengaku menjadi Muslim itu nikmat. “Yang paling luar biasa, ketika shalat berjamaah dimasjid. Semua orang Muslim, mulai pedagang, pegawai bahkan pejabatpun shalat berdampingan tanpa ada perbedaan,” ujar William
Tak lama setelah ia menjadi Muslim, ia merasa kian mendapat banyak berkah. William mendapat panggilan kerja di salah satu SMA Negeri di Jakarta sebagai guru bahasa Inggris.
“Memang Allah tak pernah tidur, ia akan menolong setiap umatnya yang membutuhkannya. Kita hanya perlu berdoa dan bersabar. Sama seperti saya yang harus berdoa dan bersabar demi menemukan agama yang benar” tuturnya.
Saat ini William terus mempelajari Islam. Ditemani salah satu rekan kerjanya, William aktif mengikuti kegiatan pengajian yang ada di masjid-masjid.
http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/03/sebelumnya-aktif-di-forum-penghujat.html
Terpesona dengan Ajaran Islam, Profesor Keturunan Yahudi bersyahadat
Sebut saja namanya Khadija, nama yang digunakannya setelah masuk Islam. Ia seorang profesor keturunan Yahudi yang menemukan cahaya Islam setelah menyaksikan kematian seorang sutradara bernama Tony Richardson akibat penyakit AIDS. Khadija mengagumi Richardson sebagai sutradara panggung drama yang profesional, brilian dan diakui kalangan seniman internasional.
Kehidupan Richardson sebagai homoseks menularkannya penyakit AIDS yang mematikan. Dari situlah Khadija mulai memikirkan gaya hidup masyarakat Barat dan masyarakat Amerika terutama dalam masalah moralitas. Khadija pun mulai melirik ajaran Islam.
Khadija memulainya dengan mempelajari sejarah Islam. Sebagai seorang Yahudi, ia masih mengingat sejarah nenek moyangnya, Yahudi Spanyol yang hidup di tengah masyarakat Muslim dan terusir pada masa inkuisisi pada tahun 1942. Khadija mempelajari bagaimana kekhalifahan Turki Ustmani memperlakukan para pengungsi Yahudi dengan cara yang manusiawi pada masa pengusiran orang-orang Yahudi dari daratan Eropa.
"Allah membimbing saya dalam belajar dan saya belajar Islam dari banyak tokoh seperti Imam Siddiqi dari South Bay Islamic Association, Hussein Rahima dan kakak angkat saya, Maria Abidin, seorang muslim orang Amerika asli dan bekerja sebagai penulis di majalah SBIA, IQRA," kisah Khadija mengawali ceritanya sebelum menjadi seorang muslim.
Saat melakukan riset tentang Islam, Khadija mewawancarai seorang pemilik toko daging halal di sebuah distrik di San Francisco. Di toko itu ia bertemu dengan seorang pembeli, perempuan berjilbab yang kemudian sangat mempengaruhinya dalam memahami ajaran Islam. Khadija terkesan dengan perilaku perempuan itu yang lembut dan ramah, apalagi perempuan berjilbab itu ternyata menguasai empat bahasa asing.
"Kecerdasannya, membuat saya merasa terbebas dari sikap arogan dan memberikan kesan mendalam di masa-masa awal saya mempelajari bagaimana Islam bisa mempengaruhi perilaku manusia," ujar Khadija.
"Riset yang saya lakukan membuat saya tahu lebih banyak tentang Islam dari sekedar sekumpulan fakta, bahwa Islam adalah agama yang hidup. Saya belajar bagaimana kaum Muslimin memperlakukan diri mereka sendiri dengan penuh martabat dan kebaikan sehingga bisa mengangkat mereka dari kekerasan dan perbudakan di Amerika ..."
"Saya belajar bahwa lelaki dan perempuan Muslim bisa saling mendukung keberadaan masing-masing, tanpa harus merusak keduanya secara verbal maupun fisik. Saya juga belajar bahwa busana yang pantas menunjukkan semangat spiritualitas dan mengangkat derajat mereka sebagai manusia," papar Khadija.
Kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang dialami Khadija selama ini, sebagai perempuan yang hidup di tengah budaya masyarakat Amerika. Seperti perempuan Amerika pada umumnya, ia ibarat hidup di tengah perbudakan seksual. Sejak usia dini, Khadija belajar bahwa masyarakat AS pada umumnya menilai manusia semata-mata dari penampilan luarnya saja sehingga banyak remaja, baik perempuan maupun laki-laki yang putus asa karena merasa tidak diterima oleh teman sebayanya.
Setelah mengetahui lebih banyak tentang Islam dan bergaul dengan beberapa muslim Amerika, Khadija makin mencintai dan menghormati Islam. "Saya mendukung dan mengagumi Islam karena Islam memberikan hak yang sama dalam masalah pendidikan untuk laki-laki dan perempuan, menghormati hak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan ajaran tentang cara berbusana yang pantas serta aturan Islam tentang perkawinan," tukas Khadija.
"Islam mengajarkan untuk menghargadi diri kita sendiri sebagai makhluk ciptaanNya yang dianugerahi kemampuan untuk bertanggung jawab dalam hubungan kita dengan orang lain. Lewat salat dan zakat, serta komitmen keimanan dan pendidikan, jika kita mengikuti jalan Islam, kita memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anak yang akan terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi," sambungnya.
Dalam perjalanannya memeluk Islam, Khadija aktif di organisasi AMILA (American Muslims Intent on Learning and Activism) dan ikut mengelola situs organisasi itu. Khadija dengan jujur mengakui bahwa komunitas Muslim adalah komunitas yang mengagumkan. "Islam memberi petunjuk pada kita agar terhindar dari api neraka," kata Khadija.
Khadija pun bertekad bulat untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. "Sang Pencipta dikenal dengan banyak nama. Rahmat-Nya kita rasakan dan kehadiran-Nya dimanifestasikan dengan cinta, toleransi dan kasih sayang yang hadir di tengah kehidupan masyarakat," tandas Khadija. (ln/oi/eramuslim)
Kehidupan Richardson sebagai homoseks menularkannya penyakit AIDS yang mematikan. Dari situlah Khadija mulai memikirkan gaya hidup masyarakat Barat dan masyarakat Amerika terutama dalam masalah moralitas. Khadija pun mulai melirik ajaran Islam.
Khadija memulainya dengan mempelajari sejarah Islam. Sebagai seorang Yahudi, ia masih mengingat sejarah nenek moyangnya, Yahudi Spanyol yang hidup di tengah masyarakat Muslim dan terusir pada masa inkuisisi pada tahun 1942. Khadija mempelajari bagaimana kekhalifahan Turki Ustmani memperlakukan para pengungsi Yahudi dengan cara yang manusiawi pada masa pengusiran orang-orang Yahudi dari daratan Eropa.
"Allah membimbing saya dalam belajar dan saya belajar Islam dari banyak tokoh seperti Imam Siddiqi dari South Bay Islamic Association, Hussein Rahima dan kakak angkat saya, Maria Abidin, seorang muslim orang Amerika asli dan bekerja sebagai penulis di majalah SBIA, IQRA," kisah Khadija mengawali ceritanya sebelum menjadi seorang muslim.
Saat melakukan riset tentang Islam, Khadija mewawancarai seorang pemilik toko daging halal di sebuah distrik di San Francisco. Di toko itu ia bertemu dengan seorang pembeli, perempuan berjilbab yang kemudian sangat mempengaruhinya dalam memahami ajaran Islam. Khadija terkesan dengan perilaku perempuan itu yang lembut dan ramah, apalagi perempuan berjilbab itu ternyata menguasai empat bahasa asing.
"Kecerdasannya, membuat saya merasa terbebas dari sikap arogan dan memberikan kesan mendalam di masa-masa awal saya mempelajari bagaimana Islam bisa mempengaruhi perilaku manusia," ujar Khadija.
"Riset yang saya lakukan membuat saya tahu lebih banyak tentang Islam dari sekedar sekumpulan fakta, bahwa Islam adalah agama yang hidup. Saya belajar bagaimana kaum Muslimin memperlakukan diri mereka sendiri dengan penuh martabat dan kebaikan sehingga bisa mengangkat mereka dari kekerasan dan perbudakan di Amerika ..."
"Saya belajar bahwa lelaki dan perempuan Muslim bisa saling mendukung keberadaan masing-masing, tanpa harus merusak keduanya secara verbal maupun fisik. Saya juga belajar bahwa busana yang pantas menunjukkan semangat spiritualitas dan mengangkat derajat mereka sebagai manusia," papar Khadija.
Kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang dialami Khadija selama ini, sebagai perempuan yang hidup di tengah budaya masyarakat Amerika. Seperti perempuan Amerika pada umumnya, ia ibarat hidup di tengah perbudakan seksual. Sejak usia dini, Khadija belajar bahwa masyarakat AS pada umumnya menilai manusia semata-mata dari penampilan luarnya saja sehingga banyak remaja, baik perempuan maupun laki-laki yang putus asa karena merasa tidak diterima oleh teman sebayanya.
Setelah mengetahui lebih banyak tentang Islam dan bergaul dengan beberapa muslim Amerika, Khadija makin mencintai dan menghormati Islam. "Saya mendukung dan mengagumi Islam karena Islam memberikan hak yang sama dalam masalah pendidikan untuk laki-laki dan perempuan, menghormati hak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan ajaran tentang cara berbusana yang pantas serta aturan Islam tentang perkawinan," tukas Khadija.
"Islam mengajarkan untuk menghargadi diri kita sendiri sebagai makhluk ciptaanNya yang dianugerahi kemampuan untuk bertanggung jawab dalam hubungan kita dengan orang lain. Lewat salat dan zakat, serta komitmen keimanan dan pendidikan, jika kita mengikuti jalan Islam, kita memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anak yang akan terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi," sambungnya.
Dalam perjalanannya memeluk Islam, Khadija aktif di organisasi AMILA (American Muslims Intent on Learning and Activism) dan ikut mengelola situs organisasi itu. Khadija dengan jujur mengakui bahwa komunitas Muslim adalah komunitas yang mengagumkan. "Islam memberi petunjuk pada kita agar terhindar dari api neraka," kata Khadija.
Khadija pun bertekad bulat untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. "Sang Pencipta dikenal dengan banyak nama. Rahmat-Nya kita rasakan dan kehadiran-Nya dimanifestasikan dengan cinta, toleransi dan kasih sayang yang hadir di tengah kehidupan masyarakat," tandas Khadija. (ln/oi/eramuslim)
Perjalanan Rohani David Saphiro Yahudi Rusia
Secara etnis, Michael David Saphiro adalah keturunan Yahudi Rusia. Perjalanannya mencari Tuhan sudah dimulai sejak ia berusia 19 tahun. Ia mengaku pada masa itu ia membatasi dirinya dengan logika Sains. "Ya, saya dicuci otak dengan itu," ungkapnya.
Keyakinan Saphiro terhadap Tuhan tidak pasti. Tujuan hidupnya saat itu ialah menjadi bintang rock terkenal. "Saya tinggal di sebuah apartemen di Pasadena dan bekerja sebagai sekretaris. Memang menggelikan saya tahu," tuturnya.
Suatu malam ia pergi ke dapur dan berpapasan dengan temannya berkulit hitam. "Saya masih ingat bertanya padanya, 'Bisakah saya simpan vodka ini dalam kulkas malam ini?'. Kami berjabat tangan kemudian pergi tidur. Tapi justru setelah itu hidup saya berubah drastis," kata Saphiro.
Si teman kulit hitam tadi, seorang Muslim, adalah Muslim pertama yang pernah dikenal Saphiro. Didorong rasa ingin tahu luar biasa, Saphiro mengajak si teman mengobrol tentang keyakinannya. "Saya penasaran, apa itu, saya dengar tentang beribadah 5 kali sehari, juga tentang perang suci. Siapakah itu lelaki yang bernama Muhammad?" tuturnya.
Saat mengobrol ia ditemani oleh teman sekamarnya, penganut Kristiani, Wade. "Bertiga kami melakukan sesi dialog antara Yahudi, Kristen dan Muslim. Dalam obrolan itu kami menemukan banyak perbedaan sekaligus banyak persamaan," kata Saphiro.
Ketertarikan Shaphiro bergeser, yang semua berkutat seputar seks, obat-obatan dan pesta, ke pencarian serius terhadap kebenaran. Sebuah pencarianya yang menurut dia harus diselesaikan menyeluruh. "Ini pencarian terhadap Tuhan dan pencarian bagaimana untuk mengikuti-Nya," ungkap Saphiro.
Dalam perncarian itu Shapiro bertanya pada dirinya, "Oke mulai dari yang sederhana, beberapa Tuhan yang kamu pikir ada di luar sana?". Saat itu ia meyakini hanya satu.
"Tuhan yang lebih dari satu, terbagi-bagi tentu lebih lemah dari pada hanya satu Tuhan. Saya berpikir, bagaimana bila satu Tuhan tidak sepakat dengan Tuhan lain, pasti ada argumen dan pertikaian. Maka, satu tuhan adalah pilihan sadar saya," imbuhnya.
Begitu ia membuka pikiran terhadap kemungkinan keberadaan Tuhan ia mulai menganalisa berbagai macam keyakinan, mulai atheis hingga theisme. "Sesuatu yang mengarahkan saya kepada pilihan kedua adalah sebuah kutipan, 'Setiap desain memiliki desainer. Dengan kalimat itu dalam benak, akhirnya saya selalu bangun dan sadar bahwa Tuhan ada. Saya tidak dapat menjelaskan mengapa. Saya hanya merasa seperti itu."
Penemuan baru itu menimbulkan kegairah dalam diri Saphiro. Saat itu pula ia mengaku muncul rasa tanggung jawab untuk mengikuti kehendak Sang Pencipta. "Langkah berikut saya adalah memasuki dunia agama," ungkapnya.
Kembali Saphiro menanyai dirinya sendiri. "Di mana saya harus memulai. Kenyataannya ada ribuan di luar saya. Saya mesti mengeliminasi dan menyempitkan kepada sedikit pilihan," tuturnya. Awalnya ia pun bertanya bagaimana melakukan hal itu.
"Saat itu ada pemahaman yang masuk dalam benak saya, 'temukan agama yang bersifat monotheis'. Saya pikir, bukankah itu masuk akal karena saya percaya hanya ada satu Tuhan."
Ia pun melewati Budhaisme dan Hinduisme karena ia menganggap keyakinan tersebut politeisme. Sementara agama utama yang saat itu ia pandang memiliki pandangan Monotheis adalah Yahudi, Kristen dan Islam. "Karena saya keturunan Yahudi, saya pun memulai dengan Yudaisme. Satu Tuhan, nabi yang sama, 10 perintah, Taurat dan jiwa Yahudi.
Saat melakukan pendalaman ada gagasan dalam Yudaisme yang mengganggunya. Gagasan itu berbunyi 'Jika seseorang terlahir sebagai Yahudi, maka ia memiliki jiwa Yahudi dan mereka harus mengikuti Yudaisme. "Tunggu dulu, di bagian itu saya merasa itu ide diskriminasi. Bukan sesuatu yang universal,"
"Jadi apakah benar Tuhan membuat jiwa Yahudi, jiwa Kristen, jiwa Hindu atau jiwa Hindu? Saya pikir semua orang diciptakan sederajat. Jadi apakah karena seseorang terlahir dalam agama itu berarti derajat Tuhan tetap di sana meski si penganut melakukan kesalahan. Saya tidak sepakat dengan itu," tutur Saphiro.
Satu lagi yang mengganggu Saphiro adalah tidak ada konsep ketat mengenai neraka dalam Yudaisme. "Mengapa harus baik? mengapa itu bukan dosa? Saya tidak punya rasa takut terhadap hukuman, lalu mengapa saya harus menjaga moral?"
Usai mendalami Yudaisme, ia menuju pemahaman Kristen. Lagi-lagi ia terganggu dengan konsep trinitas, satu tuhan, satu bapa, satu anak dan ruh kudus. "Aduh tolong jelaskan bagaimana semua ini bisa menjadi satu Tuhan. Jadi bagaimana anda dapat meyakini hanya satu Tuhan bila yang ada pembagian seperti ini,"
Penjelasan demi penjelasan, pertanyaan demi pertanyaan, perbandingan demi perbandingan, analogi dan sebagainya tak mampu membuat Saphiro memahami konsep trinitas.
Hingga ia pun memasuki perjalanan berikut, mengkaji Islam. Islam berarti penyerahan diri. Keyakinan utama yang dipahami Saphiro dalam Islam adalah satu Tuhan, beribadah kepda Tuhan lima kali sehari, mewajibkan memberi 2,5 persen dari harta setiap tahun sebagai zakat, berpuasa saat Ramadhan--demi membuat seseorang lebih dekat kepada Tuhan dan menghargai sesama manusia dan kelima melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji bagi yang mampu.
Sejauh itu Saphiro tidak menemukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. "Tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan logika saya di sini," ungkapnya.
Al Quran, sejauh yang ia tahu saat itu adalah kitab dengan kebijakan tanpa batasan waktu dan kisah-kisah penuh keajaiban yang menarik. "Banyak fakta ilmiah yang baru terungkap saat ini telah dinyatakan 1400 tahun sebelumnya dalam buku ini," ujarnya.
"Saat itu Islam telah melewati pertanyaan awal saya tentang agama satu tuhan. Namun saya ingin tahu lebih lanjut apakah agama ini universal? Apakah ia sejalan dengan sains? Saya menemukan banyak ayat di Al Qur'an yang berada di satu koridor dengan ilmu pengetahuan dan teknologi," tutur Saphiro.
Semakin banyak Saphiro menemukan fakta-fata yang ia nilai logis saat mengkaji agama tersebut, ada satu hal yang mulai sangat menarik perhatiannya yakni nama "Islam" itu sendiri. "Ini nama dari agama ini, saya menemukan ia ditulis berulang kali dalam Al Qur'an".
Ia pun mengingat riset yang ia lakukan sebelumnya. "Saya tidak mengingat satu pun kata 'Yudaisme' dalam perjanjian lama atau 'Kristiani' dalam Perjanjian Baru. Ini adalah hal besar," ujarnya.
Ia menyadari mengapa tak bisa menemukan nama sebenarnya agama tersebut di dalam kedua kitab tadi, karena memang tidak ada nama dalam kitab-kitab tersebut. Ia pun memahami Yudaisme merupkan bentukan kata Yuda-isme dan Kristiani tentu berasal dari "Kristus dan pengikutnya"
"Jadi inikah Yuda? atau Judah?" tanya Saphiro pada diriny. Nama itu sejauh yang diketahui Saphiro adalah pemimpin suku Hebrews ketika Tuhan menurunkan firmannya kepada manusia. "Jadi apa mungkin agama dinamai nama orang?" ujarnya.
Begitu pula ketika ia berpikir tentang Kristiani, yang berasal dari nama Yesus Kristus. "Apa mungkin kita dapat mendeduksi nama agama dari orang-orang dengan melekatkan isme dan -anity," ungkap Saphiro. Terlebih lagi nama-nama tersebut tidak diungkap dalam kitab mereka, inilah yang membuat ia berpikir itu sangat aneh.
"Coba jika saya berjualan dan saya berkata "Apakah kamu mau membeli ini_______? Tentu orang akan bertanya, Apa ini_____namanya? Tentu saya tidak akan bisa menjual sebuah barang tanpa sebuah nama,"
Saat itu Saphiro meyakini nama adalah hal mendasar di mana manusia bisa mengidentifikasi objek, baik fisik maupun non fisik. "Jika agama harus dipraktekan dan disebarkan kepada setiap manusia di muka bumi, bukankah seharusnya ia memiliki nama?
Ia juga menekankan, nama itu seharusnya diberikan langsung oleh Tuhan, bukan bentukan manusia. "Ya itulah maksud saya. Nama Kristiani dan Yudaisme tidak tertulis dalam kitab suci mereka. Manusia yang menamainya, bukan Tuhan," kata Saphiro menyimpulkan.
"Gagasan bahwa Tuhan menghendaki sebuah agama diikuti oleh manusia tanpa memberi nama, sangat mustahil bagi otak saya untuk menerima," ujarnya. "Di titik itu, baik Kristen dan Yahudi kehilangan kredibilitas murni dalam logika dan agama sepenuhnya, setidaknya itu dalam prespektif saya," papar Saphiro.
Ia menemukan Islam adalah satu-satunya agama yang mengusung nama asli agama dalam kitab sucinya. "Itu bermakna besar bagi saya," ungkap Saphiro. "Saya menyadari saya akan mengikuti Islam, lalu saya pun menjadi Muslim. Saya menemukan kebenaran dan saya merasa keluar dari kegelapan menuju cahaya."[Republika]
Keyakinan Saphiro terhadap Tuhan tidak pasti. Tujuan hidupnya saat itu ialah menjadi bintang rock terkenal. "Saya tinggal di sebuah apartemen di Pasadena dan bekerja sebagai sekretaris. Memang menggelikan saya tahu," tuturnya.
Suatu malam ia pergi ke dapur dan berpapasan dengan temannya berkulit hitam. "Saya masih ingat bertanya padanya, 'Bisakah saya simpan vodka ini dalam kulkas malam ini?'. Kami berjabat tangan kemudian pergi tidur. Tapi justru setelah itu hidup saya berubah drastis," kata Saphiro.
Si teman kulit hitam tadi, seorang Muslim, adalah Muslim pertama yang pernah dikenal Saphiro. Didorong rasa ingin tahu luar biasa, Saphiro mengajak si teman mengobrol tentang keyakinannya. "Saya penasaran, apa itu, saya dengar tentang beribadah 5 kali sehari, juga tentang perang suci. Siapakah itu lelaki yang bernama Muhammad?" tuturnya.
Saat mengobrol ia ditemani oleh teman sekamarnya, penganut Kristiani, Wade. "Bertiga kami melakukan sesi dialog antara Yahudi, Kristen dan Muslim. Dalam obrolan itu kami menemukan banyak perbedaan sekaligus banyak persamaan," kata Saphiro.
Ketertarikan Shaphiro bergeser, yang semua berkutat seputar seks, obat-obatan dan pesta, ke pencarian serius terhadap kebenaran. Sebuah pencarianya yang menurut dia harus diselesaikan menyeluruh. "Ini pencarian terhadap Tuhan dan pencarian bagaimana untuk mengikuti-Nya," ungkap Saphiro.
Dalam perncarian itu Shapiro bertanya pada dirinya, "Oke mulai dari yang sederhana, beberapa Tuhan yang kamu pikir ada di luar sana?". Saat itu ia meyakini hanya satu.
"Tuhan yang lebih dari satu, terbagi-bagi tentu lebih lemah dari pada hanya satu Tuhan. Saya berpikir, bagaimana bila satu Tuhan tidak sepakat dengan Tuhan lain, pasti ada argumen dan pertikaian. Maka, satu tuhan adalah pilihan sadar saya," imbuhnya.
Begitu ia membuka pikiran terhadap kemungkinan keberadaan Tuhan ia mulai menganalisa berbagai macam keyakinan, mulai atheis hingga theisme. "Sesuatu yang mengarahkan saya kepada pilihan kedua adalah sebuah kutipan, 'Setiap desain memiliki desainer. Dengan kalimat itu dalam benak, akhirnya saya selalu bangun dan sadar bahwa Tuhan ada. Saya tidak dapat menjelaskan mengapa. Saya hanya merasa seperti itu."
Penemuan baru itu menimbulkan kegairah dalam diri Saphiro. Saat itu pula ia mengaku muncul rasa tanggung jawab untuk mengikuti kehendak Sang Pencipta. "Langkah berikut saya adalah memasuki dunia agama," ungkapnya.
Kembali Saphiro menanyai dirinya sendiri. "Di mana saya harus memulai. Kenyataannya ada ribuan di luar saya. Saya mesti mengeliminasi dan menyempitkan kepada sedikit pilihan," tuturnya. Awalnya ia pun bertanya bagaimana melakukan hal itu.
"Saat itu ada pemahaman yang masuk dalam benak saya, 'temukan agama yang bersifat monotheis'. Saya pikir, bukankah itu masuk akal karena saya percaya hanya ada satu Tuhan."
Ia pun melewati Budhaisme dan Hinduisme karena ia menganggap keyakinan tersebut politeisme. Sementara agama utama yang saat itu ia pandang memiliki pandangan Monotheis adalah Yahudi, Kristen dan Islam. "Karena saya keturunan Yahudi, saya pun memulai dengan Yudaisme. Satu Tuhan, nabi yang sama, 10 perintah, Taurat dan jiwa Yahudi.
Saat melakukan pendalaman ada gagasan dalam Yudaisme yang mengganggunya. Gagasan itu berbunyi 'Jika seseorang terlahir sebagai Yahudi, maka ia memiliki jiwa Yahudi dan mereka harus mengikuti Yudaisme. "Tunggu dulu, di bagian itu saya merasa itu ide diskriminasi. Bukan sesuatu yang universal,"
"Jadi apakah benar Tuhan membuat jiwa Yahudi, jiwa Kristen, jiwa Hindu atau jiwa Hindu? Saya pikir semua orang diciptakan sederajat. Jadi apakah karena seseorang terlahir dalam agama itu berarti derajat Tuhan tetap di sana meski si penganut melakukan kesalahan. Saya tidak sepakat dengan itu," tutur Saphiro.
Satu lagi yang mengganggu Saphiro adalah tidak ada konsep ketat mengenai neraka dalam Yudaisme. "Mengapa harus baik? mengapa itu bukan dosa? Saya tidak punya rasa takut terhadap hukuman, lalu mengapa saya harus menjaga moral?"
Usai mendalami Yudaisme, ia menuju pemahaman Kristen. Lagi-lagi ia terganggu dengan konsep trinitas, satu tuhan, satu bapa, satu anak dan ruh kudus. "Aduh tolong jelaskan bagaimana semua ini bisa menjadi satu Tuhan. Jadi bagaimana anda dapat meyakini hanya satu Tuhan bila yang ada pembagian seperti ini,"
Penjelasan demi penjelasan, pertanyaan demi pertanyaan, perbandingan demi perbandingan, analogi dan sebagainya tak mampu membuat Saphiro memahami konsep trinitas.
Hingga ia pun memasuki perjalanan berikut, mengkaji Islam. Islam berarti penyerahan diri. Keyakinan utama yang dipahami Saphiro dalam Islam adalah satu Tuhan, beribadah kepda Tuhan lima kali sehari, mewajibkan memberi 2,5 persen dari harta setiap tahun sebagai zakat, berpuasa saat Ramadhan--demi membuat seseorang lebih dekat kepada Tuhan dan menghargai sesama manusia dan kelima melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji bagi yang mampu.
Sejauh itu Saphiro tidak menemukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. "Tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan logika saya di sini," ungkapnya.
Al Quran, sejauh yang ia tahu saat itu adalah kitab dengan kebijakan tanpa batasan waktu dan kisah-kisah penuh keajaiban yang menarik. "Banyak fakta ilmiah yang baru terungkap saat ini telah dinyatakan 1400 tahun sebelumnya dalam buku ini," ujarnya.
"Saat itu Islam telah melewati pertanyaan awal saya tentang agama satu tuhan. Namun saya ingin tahu lebih lanjut apakah agama ini universal? Apakah ia sejalan dengan sains? Saya menemukan banyak ayat di Al Qur'an yang berada di satu koridor dengan ilmu pengetahuan dan teknologi," tutur Saphiro.
Semakin banyak Saphiro menemukan fakta-fata yang ia nilai logis saat mengkaji agama tersebut, ada satu hal yang mulai sangat menarik perhatiannya yakni nama "Islam" itu sendiri. "Ini nama dari agama ini, saya menemukan ia ditulis berulang kali dalam Al Qur'an".
Ia pun mengingat riset yang ia lakukan sebelumnya. "Saya tidak mengingat satu pun kata 'Yudaisme' dalam perjanjian lama atau 'Kristiani' dalam Perjanjian Baru. Ini adalah hal besar," ujarnya.
Ia menyadari mengapa tak bisa menemukan nama sebenarnya agama tersebut di dalam kedua kitab tadi, karena memang tidak ada nama dalam kitab-kitab tersebut. Ia pun memahami Yudaisme merupkan bentukan kata Yuda-isme dan Kristiani tentu berasal dari "Kristus dan pengikutnya"
"Jadi inikah Yuda? atau Judah?" tanya Saphiro pada diriny. Nama itu sejauh yang diketahui Saphiro adalah pemimpin suku Hebrews ketika Tuhan menurunkan firmannya kepada manusia. "Jadi apa mungkin agama dinamai nama orang?" ujarnya.
Begitu pula ketika ia berpikir tentang Kristiani, yang berasal dari nama Yesus Kristus. "Apa mungkin kita dapat mendeduksi nama agama dari orang-orang dengan melekatkan isme dan -anity," ungkap Saphiro. Terlebih lagi nama-nama tersebut tidak diungkap dalam kitab mereka, inilah yang membuat ia berpikir itu sangat aneh.
"Coba jika saya berjualan dan saya berkata "Apakah kamu mau membeli ini_______? Tentu orang akan bertanya, Apa ini_____namanya? Tentu saya tidak akan bisa menjual sebuah barang tanpa sebuah nama,"
Saat itu Saphiro meyakini nama adalah hal mendasar di mana manusia bisa mengidentifikasi objek, baik fisik maupun non fisik. "Jika agama harus dipraktekan dan disebarkan kepada setiap manusia di muka bumi, bukankah seharusnya ia memiliki nama?
Ia juga menekankan, nama itu seharusnya diberikan langsung oleh Tuhan, bukan bentukan manusia. "Ya itulah maksud saya. Nama Kristiani dan Yudaisme tidak tertulis dalam kitab suci mereka. Manusia yang menamainya, bukan Tuhan," kata Saphiro menyimpulkan.
"Gagasan bahwa Tuhan menghendaki sebuah agama diikuti oleh manusia tanpa memberi nama, sangat mustahil bagi otak saya untuk menerima," ujarnya. "Di titik itu, baik Kristen dan Yahudi kehilangan kredibilitas murni dalam logika dan agama sepenuhnya, setidaknya itu dalam prespektif saya," papar Saphiro.
Ia menemukan Islam adalah satu-satunya agama yang mengusung nama asli agama dalam kitab sucinya. "Itu bermakna besar bagi saya," ungkap Saphiro. "Saya menyadari saya akan mengikuti Islam, lalu saya pun menjadi Muslim. Saya menemukan kebenaran dan saya merasa keluar dari kegelapan menuju cahaya."[Republika]
Saya Bangga menjadi Seorang Muslim
Awal tahun 2002, Karen Bujairami sedang terburu-buru menuju ruang kuliah akuntansi. Ia baru saja pindah tempat tinggal dan hari itu adalah hari pertamanya di kelas yang baru. Sebagai orang baru, ia belum punya kenalan dan belum terbiasa dengan tempat kuliahnya.
Sekitar 15 menit kuliah berjalan, seorang gadis masuk ke ruang kuliah, ia terlambat datang ke kelas. Karena tidak terlalu memperhatikan gadis itu, sampai akhirnya ia mengenalnya sebagai Fatima, seorang muslimah asal Lebanon dan berjilbab.
Hari itu, Karen akan mengikuti mata kuliah kedua. Ia melihat Fatima saat masuk kelas dan hatinya tiba-tiba merasa "terikat" dengan gadis muslim itu. Karen lalu bertanya apakah ia boleh duduk di sebelah Fatima. Itulah awal persahabatan Karen dan Fatima. Mereka berdua sangat akrab seolah tak bisa terpisahkan, sehingga para dosen kerap mengomentari mereka dan bertanya apakah mereka berdua bersaudara kandung.
Kala itu, Karen masih memeluk agama Kristen, tapi ia tertarik untuk mempelajari agama Islam yang dianut Fatima. "Fatima selalu menjawab keingintahuan saya dan matanya selalu memancarkan semangat ketika bicara tentang Islam. Hal itu membuat saya kagum, karena saya sendiri tidak terlalu bersemangat dengan agama saya sendiri," kata Karen.
Ia mengaku sering terlibat perdebatan sengit dengan Fatima saat membahas masalah agama. Perdebatan itu kadang berakhir dengan kemarahan Karen, karena ia tidak mampu memberikan jawaban atau memberikan argumen dalam banyak topik pembicaraan. Karen juga kadang merasa kesal sendiri karena ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat terkait agama Kristen, agamanya sendiri.
"Saya sangat menghormati Fatima. Saya masih ingat ketika melihat Fatima berwudu dan salat lima waktu sehari, tetap berjilbab di tengah musim panas dan tidak pernah menyebut-nyebut dirinya sedang berpuasa saat bulan Ramadan. Sedangkan saya, berusaha keras untuk bisa rajin gereja setiap minggu, meski saya merasa sebagai penganut Kristen yang taat," ujar Karen.
Karen mengungkapkan, meski agama mereka berbeda, ia dan Fatima punya banyak kesamaan dalam banyak hal. Karen misalnya, tidak pernah berkumpul dengan teman-teman lelakinya, tidak suka mengenakan pakaian yang agak "terbuka" dan itu membuat Fatima merasa nyaman berteman dengan Karen.
Mimpi Itu
Suatu hari, Karen dan Fatima sedang berjalan berdua di kampus, menuju ke tempat mereka biasa menikmati makan siang. Mereka berdua sudah sering melakukannya, tapi hari itu, Karen merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya, di awal tahun sebelum ia memulai kuliahnya di kampus itu.
Dalam mimpinya, Karen berjalan bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan jilbab. Gadis berjilbab itu berjalan di sisi kanannya. Karen melihat area yang ia lewati saat berjalan dengan gadis itu dalam mimpinya, sama persis dengan area yang ia lihat sekarang, saat berjalan dengan Fatima.
"Orang biasanya tidak terlalu menaruh perhatian pada mimpi, tapi apa yang terjadi hari itu membuat saya syok. Saya menghentikan langkah dan berkata pada Fatima 'Oh Tuhan, Oh Tuhan. Saya pernah melihat ini semua dalam mimpi-mimpi saya dulu'," imbuh Karen.
Saat itu, Karen tidak pernah teman seorang muslim, atau bergaul dengan Muslim. Bermimpi tentang muslim sungguh aneh buat Karen. Tapi apa yang ia lihat dalam mimpinya, benar-benar sama dengan apa yang terjadi siang itu, saat ia berjalan di kampus bersama Fatima.
"Orang mungkin berpikir itu cuma mimpi, siapa yang peduli. Tapi saya meyakini, mimpi itu murni petunjuk dari Tuhan dan atas kehendakNya, persahabatan saya dengan Fatima adalah sebuah perkenalan saya dengan Islam," ujar Karen.
Sejak hari itu, dengan alasan yang Karen sendiri tidak memahaminya, ia makin tertarik dan lebih tertarik lagi pada Islam. Karen mulai banyak melontarkan pertanyaan tentang Islam, dan makin kehilangan kehilangan keyakinannya pada agamanya sendiri. Karen memegang teguh prinsip hidupnya, jika ia ragu dengan agamanya sendiri, maka ia harus mencari jawaban atas keraguannya itu dan pasti ada sesuatu yang salah dengan agama yang membuatnya ragu.
Karen lalu mendapat sebuah DVD dari Fatima, DVD Syaikh Ahmad Deedat yang berdebat dengan sejumlah pendeta Kristen. Setelah menyaksikan DVD itu, Karen menyadari bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang benar, karena para pendeta Kristen yang ia lihat di DVD itu tidak bisa memberikan jawaban meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar ajaran Kristen, yang selama ini diyakini Karen sebagai agamanya.
Waktu itu, Karen hidup bersama dengan mantan pacarnya yang juga seorang Kristiani yang taat. Lelaki itu mencoba menenangkan Karen dan menuding Fatima sudah menyuci otak Karen dengan ajaran Islam. Karen yang masih bingung, mendatangi Fatima keesokan harinya dan mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan soal agama lagi.
"Fatima merespon perkataan saya dengan tenang. Ia mengatakan, 'Kewajiban saya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, jika kamu tidak mau menerimanya, itu adalah pilihanmu. Tapi saya sudah melakukan kewajiban saya. Jadi, di hari Kiamat nanti, kamu tidak menuduh bahwa saya tidak menyampaikan pesan Islam itu," tutur Karen menirukan jawaban Fatima.
Hidayah yang Indah
Tahun berganti tahun, Karen dan Fatima tetap bersahabat baik. Karen mulai sering menghabiskan waktunya bersama keluarga Fatima. Melihat sikap dan perilaku keluarga Fatima, apresiasi Karen terhadap Islam makin bertambah.
"Saya senang menghabiskan waktu dengan keluarga Fatima. Mereka tidak minum minuman keras, tidak melakukan hal-hal yang haram. Saya merasa itulah masa-masa terbaik sepanjang hidup saya. Selama delapan tahun, saya melewati banyak tahapan dan saya meyakini, ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah ujian-Nya untuk menunjukkan dan membimbing saya pada jalan Islam," tukas Karen.
Tahap pertama, kata Karen, adalah ketidaktahuannya, ia menolak semua agama, termasuk Kristen atau Islam. Ia tidak mau menerima ajaran apapun dari kedua agama itu. Tahap kedua, merupakan tahap pemberontakannya. "Saya mulai berontak, melawan orang-orang yang saya cintai dan menyerahkan diri pada hasutan-hasutan setan," ujar Karen.
Tahap pemberontakan itu mencapai puncaknya pada tahun 2008, yang ia sebut sebagai tahun terburuk. Karena mengalami banyak masalah dan ia berjuang untuk mengatasinya sendiri. Kehidupan Karen mencapai titik terendah. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang sudah terjalin selama 7 tahun, pekerjaannya kacau, kehilangan teman yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang buruk dan hubungan dengan keluarganya juga jadi memburuk. Saat itu, Karen sembunyi dari Fatima. Karen merasa bersalah dan ia tidak mau sahabatnya itu kecewa melihat perilaku buruknya.
Tahap ketiga kehidupan Karen adalah tahap "terbangun dari tidur'. Karen bertemu dengan seorang muslim lagi, yang berani memaksanya untuk menghentikan perilaku buruknya. Bagi Karen, apa yang dilakukan muslim itu sedikit kasar, tapi saat itu Karen tidak mau mendengar nasehat siapa pun. Ia bersyukur akhirnya ada orang yang bisa "memaksa" dan "mengontrol" dirinya sehingga ia bisa keluar dari kehidupannya yang kacau.
"Di hari saya menyaksikan DVD Ahmad Deedat, saya sudah tahu bahwa saya akan menjadi seorang muslim. Saya cuma perlu tekad yang bulat untuk menuju arah yang benar. Tuhan bekerja dengan caranya yang terbaik. Dia menunjukkan Islam pada saya delapan tahun yang lalu, ketika saya pertama kalinya bermimpi tentang seorang muslimah berjilbab yang kemudian menjadi sahabat baik saya ..."
"Dia menunjukan pada saya bagaimana rasanya tidak percaya dengan apapun. Dia menunjukkan pada saya, seperti apa rasanya menjalani gaya hidup yang haram, dan sekarang ia menunjukkan pada saya, bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang halal dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari kehidupan yang halal itu," papar Karen.
Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 2009, Karen mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh ayahnya dan sahabatnya, Fatima. "Alhamdulillah, saya bangga menjadi seorang muslim," tandas Karen Bujairami. (ln/oi/eramuslim)
http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/04/karen-bujairami-alhamdulillah-saya.html
Sekitar 15 menit kuliah berjalan, seorang gadis masuk ke ruang kuliah, ia terlambat datang ke kelas. Karena tidak terlalu memperhatikan gadis itu, sampai akhirnya ia mengenalnya sebagai Fatima, seorang muslimah asal Lebanon dan berjilbab.
Hari itu, Karen akan mengikuti mata kuliah kedua. Ia melihat Fatima saat masuk kelas dan hatinya tiba-tiba merasa "terikat" dengan gadis muslim itu. Karen lalu bertanya apakah ia boleh duduk di sebelah Fatima. Itulah awal persahabatan Karen dan Fatima. Mereka berdua sangat akrab seolah tak bisa terpisahkan, sehingga para dosen kerap mengomentari mereka dan bertanya apakah mereka berdua bersaudara kandung.
Kala itu, Karen masih memeluk agama Kristen, tapi ia tertarik untuk mempelajari agama Islam yang dianut Fatima. "Fatima selalu menjawab keingintahuan saya dan matanya selalu memancarkan semangat ketika bicara tentang Islam. Hal itu membuat saya kagum, karena saya sendiri tidak terlalu bersemangat dengan agama saya sendiri," kata Karen.
Ia mengaku sering terlibat perdebatan sengit dengan Fatima saat membahas masalah agama. Perdebatan itu kadang berakhir dengan kemarahan Karen, karena ia tidak mampu memberikan jawaban atau memberikan argumen dalam banyak topik pembicaraan. Karen juga kadang merasa kesal sendiri karena ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat terkait agama Kristen, agamanya sendiri.
"Saya sangat menghormati Fatima. Saya masih ingat ketika melihat Fatima berwudu dan salat lima waktu sehari, tetap berjilbab di tengah musim panas dan tidak pernah menyebut-nyebut dirinya sedang berpuasa saat bulan Ramadan. Sedangkan saya, berusaha keras untuk bisa rajin gereja setiap minggu, meski saya merasa sebagai penganut Kristen yang taat," ujar Karen.
Karen mengungkapkan, meski agama mereka berbeda, ia dan Fatima punya banyak kesamaan dalam banyak hal. Karen misalnya, tidak pernah berkumpul dengan teman-teman lelakinya, tidak suka mengenakan pakaian yang agak "terbuka" dan itu membuat Fatima merasa nyaman berteman dengan Karen.
Mimpi Itu
Suatu hari, Karen dan Fatima sedang berjalan berdua di kampus, menuju ke tempat mereka biasa menikmati makan siang. Mereka berdua sudah sering melakukannya, tapi hari itu, Karen merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya, di awal tahun sebelum ia memulai kuliahnya di kampus itu.
Dalam mimpinya, Karen berjalan bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan jilbab. Gadis berjilbab itu berjalan di sisi kanannya. Karen melihat area yang ia lewati saat berjalan dengan gadis itu dalam mimpinya, sama persis dengan area yang ia lihat sekarang, saat berjalan dengan Fatima.
"Orang biasanya tidak terlalu menaruh perhatian pada mimpi, tapi apa yang terjadi hari itu membuat saya syok. Saya menghentikan langkah dan berkata pada Fatima 'Oh Tuhan, Oh Tuhan. Saya pernah melihat ini semua dalam mimpi-mimpi saya dulu'," imbuh Karen.
Saat itu, Karen tidak pernah teman seorang muslim, atau bergaul dengan Muslim. Bermimpi tentang muslim sungguh aneh buat Karen. Tapi apa yang ia lihat dalam mimpinya, benar-benar sama dengan apa yang terjadi siang itu, saat ia berjalan di kampus bersama Fatima.
"Orang mungkin berpikir itu cuma mimpi, siapa yang peduli. Tapi saya meyakini, mimpi itu murni petunjuk dari Tuhan dan atas kehendakNya, persahabatan saya dengan Fatima adalah sebuah perkenalan saya dengan Islam," ujar Karen.
Sejak hari itu, dengan alasan yang Karen sendiri tidak memahaminya, ia makin tertarik dan lebih tertarik lagi pada Islam. Karen mulai banyak melontarkan pertanyaan tentang Islam, dan makin kehilangan kehilangan keyakinannya pada agamanya sendiri. Karen memegang teguh prinsip hidupnya, jika ia ragu dengan agamanya sendiri, maka ia harus mencari jawaban atas keraguannya itu dan pasti ada sesuatu yang salah dengan agama yang membuatnya ragu.
Karen lalu mendapat sebuah DVD dari Fatima, DVD Syaikh Ahmad Deedat yang berdebat dengan sejumlah pendeta Kristen. Setelah menyaksikan DVD itu, Karen menyadari bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang benar, karena para pendeta Kristen yang ia lihat di DVD itu tidak bisa memberikan jawaban meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar ajaran Kristen, yang selama ini diyakini Karen sebagai agamanya.
Waktu itu, Karen hidup bersama dengan mantan pacarnya yang juga seorang Kristiani yang taat. Lelaki itu mencoba menenangkan Karen dan menuding Fatima sudah menyuci otak Karen dengan ajaran Islam. Karen yang masih bingung, mendatangi Fatima keesokan harinya dan mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan soal agama lagi.
"Fatima merespon perkataan saya dengan tenang. Ia mengatakan, 'Kewajiban saya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, jika kamu tidak mau menerimanya, itu adalah pilihanmu. Tapi saya sudah melakukan kewajiban saya. Jadi, di hari Kiamat nanti, kamu tidak menuduh bahwa saya tidak menyampaikan pesan Islam itu," tutur Karen menirukan jawaban Fatima.
Hidayah yang Indah
Tahun berganti tahun, Karen dan Fatima tetap bersahabat baik. Karen mulai sering menghabiskan waktunya bersama keluarga Fatima. Melihat sikap dan perilaku keluarga Fatima, apresiasi Karen terhadap Islam makin bertambah.
"Saya senang menghabiskan waktu dengan keluarga Fatima. Mereka tidak minum minuman keras, tidak melakukan hal-hal yang haram. Saya merasa itulah masa-masa terbaik sepanjang hidup saya. Selama delapan tahun, saya melewati banyak tahapan dan saya meyakini, ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah ujian-Nya untuk menunjukkan dan membimbing saya pada jalan Islam," tukas Karen.
Tahap pertama, kata Karen, adalah ketidaktahuannya, ia menolak semua agama, termasuk Kristen atau Islam. Ia tidak mau menerima ajaran apapun dari kedua agama itu. Tahap kedua, merupakan tahap pemberontakannya. "Saya mulai berontak, melawan orang-orang yang saya cintai dan menyerahkan diri pada hasutan-hasutan setan," ujar Karen.
Tahap pemberontakan itu mencapai puncaknya pada tahun 2008, yang ia sebut sebagai tahun terburuk. Karena mengalami banyak masalah dan ia berjuang untuk mengatasinya sendiri. Kehidupan Karen mencapai titik terendah. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang sudah terjalin selama 7 tahun, pekerjaannya kacau, kehilangan teman yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang buruk dan hubungan dengan keluarganya juga jadi memburuk. Saat itu, Karen sembunyi dari Fatima. Karen merasa bersalah dan ia tidak mau sahabatnya itu kecewa melihat perilaku buruknya.
Tahap ketiga kehidupan Karen adalah tahap "terbangun dari tidur'. Karen bertemu dengan seorang muslim lagi, yang berani memaksanya untuk menghentikan perilaku buruknya. Bagi Karen, apa yang dilakukan muslim itu sedikit kasar, tapi saat itu Karen tidak mau mendengar nasehat siapa pun. Ia bersyukur akhirnya ada orang yang bisa "memaksa" dan "mengontrol" dirinya sehingga ia bisa keluar dari kehidupannya yang kacau.
"Di hari saya menyaksikan DVD Ahmad Deedat, saya sudah tahu bahwa saya akan menjadi seorang muslim. Saya cuma perlu tekad yang bulat untuk menuju arah yang benar. Tuhan bekerja dengan caranya yang terbaik. Dia menunjukkan Islam pada saya delapan tahun yang lalu, ketika saya pertama kalinya bermimpi tentang seorang muslimah berjilbab yang kemudian menjadi sahabat baik saya ..."
"Dia menunjukan pada saya bagaimana rasanya tidak percaya dengan apapun. Dia menunjukkan pada saya, seperti apa rasanya menjalani gaya hidup yang haram, dan sekarang ia menunjukkan pada saya, bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang halal dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari kehidupan yang halal itu," papar Karen.
Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 2009, Karen mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh ayahnya dan sahabatnya, Fatima. "Alhamdulillah, saya bangga menjadi seorang muslim," tandas Karen Bujairami. (ln/oi/eramuslim)
http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/04/karen-bujairami-alhamdulillah-saya.html
Konsep Pengampunan Dalam Islam Sungguh Masuk Akal
"Saya menjadi Muslim sebab ada banyak alasan baik, namun yang terpenting, saya ingin dekat dengan Tuhan dan menerima pengampunan dan penyelamatan abadi," tulis Ismail Abu Adam di akun YouTube miliknya. Padahal jauh sebelum menyatakan itu, Ismail yang awalnya penganut Kristen taat, ingin melakukan misi penginjilan ke komunitas Muslim yang selama ini ia pikir harus diselamatkan.
"Saya lahir besar sebagai Kristen. Tetapi dasar saya adalah Katholik Roma," kata Ismail. "Saya selalu meyakini Yesus adalah Tuhan dan saya berikan hidup saya kepadanya," tuturnya.
Ismail meyakini Yesus adalah penyelamat dan ia juga mempercayai peristiwa kematian, penyaliban hingga kebangkitan Yesus. "Juga konsep dosa asal, seratus persen semua itu saya yakini sebagai kata-kata tuhan," ungkap Ismail.
Sebagai penganut taat, ia pergi ke gereja setiap minggu dan aktif dalam kegiatan peribadatan. Bahkan ia kerap mengkotbahi teman-temanya dan mengajak mereka yang beberbeda keyakinan untuk mempercayai agama yang ia anut.
Pada awal usia 20-an, Ismail mulai tertarik melebarkan kotbah ke umat Muslim. "Saya besar, tinggal di Amerika Utara. Di sana saya sangat jarang bertemu Muslim, yang ada hanyalah kaukasia dan kristen, jadi saya ingin menyakskan Kristen bisa disebarkan ke komunitas Muslim," ujarnya.
Sebelum benar-benar turun ke lapangan dan bersentuhan langsung dengan Muslim, Ismail memutuskan mengawali dari dunia maya. Ia mencoba mencari celah bagaimana Kristen bisa disebarkan lewat media tersebut.
Ketika menelusuri internet itulah ia menemukan dan menyaksikan video yang ia anggap menarik; debat antara seorang Muslim dan penginjil. Muslim itu dari Afrika Selatan bernama Ahmad Deedat. Lewat debat, Ismael menyadari bila ia sangat paham injil. "Ia selalu menang dan mampu mematahkan serta membuat sanggahan jitu terhadap penginjil dari setiap aspek," tutur Ismael.
"Ia mematahkan argumen bahwa dosa asal itu tidak ada, bahwa Kristen bukan kata-kata Tuhan, serta menunjukkan bahwa Kristen adalah doktrin yang salah karena dibuat oleh intepretasi selip, sudah mengalami fabrikasi, modifikasi ditambah dan juga dikurangi oleh penulisnya," kata Ismail lagi.
Dedat, menurut Ismail, juga menyinggung doktrin trinitas, kebangkitan, penyaliban. "Terasa betul argumen lawan (penginjil-red) sangat lemah dan mudah dipatahkan. Harus saya akui, jujur saya tidak suka Ahmad Deedat saat itu," ungkap Ismail.
Ia bahkan frustasi dengan pembicara dari kubu Kristen. "Ia memegang gelar PhD di bidang teologi Kristen, tapi ia tak bisa mematahkan balik argumen Ahmad Deedat yang hanya bicara sendiri dan hanya didukung oleh Al Qur'an."
Saat itu Ismael berpikir Deedat tentu menggunakan Injil untuk membantah doktrin Kristen. Ia pun tergugah untuk mempelajari Kristen lebih lanjut dengan semangat kelak ia akan membantah argumen-argumen Ahmad Deedat.
Ismael mengaku tipe orang dengan pemikiran skeptis. "Saya sulit percaya dan meyakini sesuatu jadi saya perlu memelajari dan menyelediki sendiri untuk memahami dan meyakini sesuatu," ujarnya.
Saat memutuskan untuk lebih mendalami Kristen ia memilih dari prespektif Islam. "Sebelumnya saya tak pernah melakukan itu, memelajari Kristen dari prespektif selain Kristen dan Deedat benar-benar mengonfrontasi pemahaman saya," ungkap Ismail.
Ismail pun mengkaji Injil dan doktrin Kristen dari Islam. Ia memelajari keabadian, konsep trinitas, penyaliban Yesus, konsep juru selamat hingga kebangkitan, dosa asal. "Apakah benar injil adalah kata-kata tuhan," tuturnya.
Ketika mendalami Al Qur'an Ismail menyadari bahwa argumen Deedat ternyata benar. "Saya tiba-tiba merasa berada di jalan yang salah. Kristen bukanlah kata-kata Tuhan. Ini benar-benar sebuah tamparan keras bagi saya" kata Ismail.
"Saya telah menganut Kristen bertahun-tahun, saya lahir sebagai Kristen dan menjadi seorang Katholik selama 20 tahun, tiba-tiba semua yang saya yakini berbalik dari atas ke bawah. Tentu ini merupakan guncangan besar," tuturnya.
Saat itu belum timbul keinginan Ismail untuk menjadi Muslim. "Yang saya inginkan saat itu mengetahui secara mendasar kebenaran sesungguhnya," ungkapnya.
Islam pun mulai ia pejalari. Dari sana ia memahami Muslim hanya mempercayai satu tuhan dalam konsep bernama tauhid. Monoteisme, itulah kesimpulan yang ia peroleh dari agama Islam. "Mereka memanggil tuhan dengan Allah, mereka percaya Yesus adalah nabi, seorang messiah yang mengabarkan kebenaran saat dibangkitkan lagi, itu juga keyakinan besar yang saya anut," kata Ismail.
Lebih dalam mengkaji, Ismael menemukan konsep pengampunan dan penyelamatan Tuhan. Ia memahami pengampunan dalam Islam diperoleh dengan cara beriman kepada Tuhan, melakukan ajaran-Nya dan berbuat kebaikan sebagai wujud iman.
Ismail juga mengetahui bahwa Muslim mempercayai ada nabi setelah Isa yakni Muhammad. "Mereka meyakini itu sebagai kata-kata Tuhan dan semua ada dalam kitab yakni Al Qur'an," ujarnya. "Ini sesuatu yang baru bagi saya. Saya pernah tahu Islam, tapi tidak mendetail."
Saat itu Ismail mengaku mulai muncul rasa suka terhadap Islam. "Muslim mempercayai keberadaan Yesus. Bagi saya itu adalah sebuah tautan antara Islam dan Kristen dan itu membuat saya merasa nyaman. Saya seperti menemukan batu pijakan," tutur Ismael.
Begitu mengetahui bagaimana Muslim meyakini Tuhannnya, bagaimana Nabi diutus membawa pesan, Ismail merasa dilahirkan untuk mempercayai itu. Ia pun memutuskan pergi ke masjid. "Saat itu saya pindah ke kota kecil dan di kota itu ada sebuah masjid. Saya ketuk pintunya dan berkata saya ingin berbicara dengan seseorang tentang Islam," tutur Ismail.
Setelah itu Ismail rutin meyambangi masjid tersebut saban minggu untuk berdiskusi dengan seorang imam di sana. Sang imam memberinya buku-buku bacaan tentang Islam dan juga biografi Rasul Muhammad. saw. "Ia meladeni dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya," kata Ismail.
Hingga suatu hari, sang Imam berkata kepadanya "Saya tidak ingin kamu menjadi Muslim kecuali kamu benar-benar yakin dengan agama ini." Mendengar itu Ismael lagi-lagi mengaku terkejut. "Selama saya menjadi Kristen saya selalu bertemu kotbah dan juga berkotbah untuk mengajak seseorang menjadi Kristen. Setiap Kristen selalu mencoba mempengaruhi seseorang menjadi Kristen," tuturnya. "Hampir tidak mungkin Kristen berkata, 'Saya tidak ingin kamu menjadi Kristen kecual kamu yakin dan kembalilah kepada saya jika kamu sudah yakin'."
Ismail justru tertantang dengan ucapan sang imam. Apakah ini memang jalan sesungguhnya? "Ini justru menggelitik saya untuk mengetahui apakah Islam itu memang yang benar, yang harus diyakini? Sungguh tak ada yang memaksa saya untuk menjadi Muslim," tuturnya. "Saya melihat dalam Islam terdapat kebenaran dan itu tampak jelas sebagai cara hidup yang diinginkan Tuhan bagi saya," ujarnya.
Ketika Ismail mengingat Injil kembali, justru ia menemukan fakta Yesus yang diyakini sebagai tuhan tak pernah mengklaim dirinya adalah tuhan dan menyeru pengikutnya untuk menyembahnya. Membandingkan lebih jauh lagi, dalam Al Qur'an, Ismail menemukan janji pengampunan Allah akan diberikan bagi orang yang beriman, namun di Injil, kata 'janji' itu tak ada.
"Pengampunan dan penyelamatan diberikan Allah karena Ia mencintaimu, karena engkau bertobat, beriman kepadanya dan melakukan apa yang ia kehendaki. Itu sungguh jelas dan sederhana," kata Ismail. Sementara di Kristen, menurut Ismail, penyelamatan cukup sulit bagi pemeluknya.
"Pertama anda harus meyakini dahulu peristiwa pembunuhan kejam dan penyaliban seseorang yang tak berdosa, di mana darah ditumpahkan demi menyelamatkan dosa anda. Anda diciptakan dengan dosa asal. Tuhan menempatkan diri anda di dunia bersama dosa dalam hati atau jiwa anda. Semua itu justru tidak mencerminkan keadilan Tuhan," paparnya.
Ismail menilai pengampunan dan penyelamatan di Islam lebih masuk akal. "Pengampunan adalah milik Tuhan, pemberian Tuhan karena cinta, karena kita meminta kepada-Nya, karena kita meyakini-Nya," ujarnya. "Memang di Injil juga ada kata-kata yang mengandung kebenaran. Tetapi Islam lebih superior dan secara logika benar. Bagi saya itu sangat mengagumkan," imbuhnya.
Padahal selama ini Ismail selalu membayangkan Islam sebagai agama kekerasan, seperti menganjurkan pembunuhan. "Tapi ketika saya membaca Al Qur'an saya menemukan banyak ketenangan, kalimat mengandung kedamaian, kesunyian dan pencerahan. Karena itulah saya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.
Kini Ismael meyakini Allah adalah tuhannya dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada-Nya. "Ia adalah raja sekaligus penyelamat saya di dunia dan akhirat. Dengan ini saya pun meyakini Yesus membenarkan ajaran Yesus sebagai seorang Muslim," ujarnya.
Saat ini Ismael mengambil disiplin Kajian Islam di perguruan tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir ia telah bepergian ke enam negara bermayoritas Muslim dan membaca puluhan buku-buku tentang Islam dan Perbandingan Agama. Ia bahkan sudah cukup fasih untuk berbincang dalam Bahasa Arab. Dalam akun YouTube-nya Ismail menulis, "Saya mencintai Allah karena Ia yang pertama kali mencintai saya."
"Saya lahir besar sebagai Kristen. Tetapi dasar saya adalah Katholik Roma," kata Ismail. "Saya selalu meyakini Yesus adalah Tuhan dan saya berikan hidup saya kepadanya," tuturnya.
Ismail meyakini Yesus adalah penyelamat dan ia juga mempercayai peristiwa kematian, penyaliban hingga kebangkitan Yesus. "Juga konsep dosa asal, seratus persen semua itu saya yakini sebagai kata-kata tuhan," ungkap Ismail.
Sebagai penganut taat, ia pergi ke gereja setiap minggu dan aktif dalam kegiatan peribadatan. Bahkan ia kerap mengkotbahi teman-temanya dan mengajak mereka yang beberbeda keyakinan untuk mempercayai agama yang ia anut.
Pada awal usia 20-an, Ismail mulai tertarik melebarkan kotbah ke umat Muslim. "Saya besar, tinggal di Amerika Utara. Di sana saya sangat jarang bertemu Muslim, yang ada hanyalah kaukasia dan kristen, jadi saya ingin menyakskan Kristen bisa disebarkan ke komunitas Muslim," ujarnya.
Sebelum benar-benar turun ke lapangan dan bersentuhan langsung dengan Muslim, Ismail memutuskan mengawali dari dunia maya. Ia mencoba mencari celah bagaimana Kristen bisa disebarkan lewat media tersebut.
Ketika menelusuri internet itulah ia menemukan dan menyaksikan video yang ia anggap menarik; debat antara seorang Muslim dan penginjil. Muslim itu dari Afrika Selatan bernama Ahmad Deedat. Lewat debat, Ismael menyadari bila ia sangat paham injil. "Ia selalu menang dan mampu mematahkan serta membuat sanggahan jitu terhadap penginjil dari setiap aspek," tutur Ismael.
"Ia mematahkan argumen bahwa dosa asal itu tidak ada, bahwa Kristen bukan kata-kata Tuhan, serta menunjukkan bahwa Kristen adalah doktrin yang salah karena dibuat oleh intepretasi selip, sudah mengalami fabrikasi, modifikasi ditambah dan juga dikurangi oleh penulisnya," kata Ismail lagi.
Dedat, menurut Ismail, juga menyinggung doktrin trinitas, kebangkitan, penyaliban. "Terasa betul argumen lawan (penginjil-red) sangat lemah dan mudah dipatahkan. Harus saya akui, jujur saya tidak suka Ahmad Deedat saat itu," ungkap Ismail.
Ia bahkan frustasi dengan pembicara dari kubu Kristen. "Ia memegang gelar PhD di bidang teologi Kristen, tapi ia tak bisa mematahkan balik argumen Ahmad Deedat yang hanya bicara sendiri dan hanya didukung oleh Al Qur'an."
Saat itu Ismael berpikir Deedat tentu menggunakan Injil untuk membantah doktrin Kristen. Ia pun tergugah untuk mempelajari Kristen lebih lanjut dengan semangat kelak ia akan membantah argumen-argumen Ahmad Deedat.
Ismael mengaku tipe orang dengan pemikiran skeptis. "Saya sulit percaya dan meyakini sesuatu jadi saya perlu memelajari dan menyelediki sendiri untuk memahami dan meyakini sesuatu," ujarnya.
Saat memutuskan untuk lebih mendalami Kristen ia memilih dari prespektif Islam. "Sebelumnya saya tak pernah melakukan itu, memelajari Kristen dari prespektif selain Kristen dan Deedat benar-benar mengonfrontasi pemahaman saya," ungkap Ismail.
Ismail pun mengkaji Injil dan doktrin Kristen dari Islam. Ia memelajari keabadian, konsep trinitas, penyaliban Yesus, konsep juru selamat hingga kebangkitan, dosa asal. "Apakah benar injil adalah kata-kata tuhan," tuturnya.
Ketika mendalami Al Qur'an Ismail menyadari bahwa argumen Deedat ternyata benar. "Saya tiba-tiba merasa berada di jalan yang salah. Kristen bukanlah kata-kata Tuhan. Ini benar-benar sebuah tamparan keras bagi saya" kata Ismail.
"Saya telah menganut Kristen bertahun-tahun, saya lahir sebagai Kristen dan menjadi seorang Katholik selama 20 tahun, tiba-tiba semua yang saya yakini berbalik dari atas ke bawah. Tentu ini merupakan guncangan besar," tuturnya.
Saat itu belum timbul keinginan Ismail untuk menjadi Muslim. "Yang saya inginkan saat itu mengetahui secara mendasar kebenaran sesungguhnya," ungkapnya.
Islam pun mulai ia pejalari. Dari sana ia memahami Muslim hanya mempercayai satu tuhan dalam konsep bernama tauhid. Monoteisme, itulah kesimpulan yang ia peroleh dari agama Islam. "Mereka memanggil tuhan dengan Allah, mereka percaya Yesus adalah nabi, seorang messiah yang mengabarkan kebenaran saat dibangkitkan lagi, itu juga keyakinan besar yang saya anut," kata Ismail.
Lebih dalam mengkaji, Ismael menemukan konsep pengampunan dan penyelamatan Tuhan. Ia memahami pengampunan dalam Islam diperoleh dengan cara beriman kepada Tuhan, melakukan ajaran-Nya dan berbuat kebaikan sebagai wujud iman.
Ismail juga mengetahui bahwa Muslim mempercayai ada nabi setelah Isa yakni Muhammad. "Mereka meyakini itu sebagai kata-kata Tuhan dan semua ada dalam kitab yakni Al Qur'an," ujarnya. "Ini sesuatu yang baru bagi saya. Saya pernah tahu Islam, tapi tidak mendetail."
Saat itu Ismail mengaku mulai muncul rasa suka terhadap Islam. "Muslim mempercayai keberadaan Yesus. Bagi saya itu adalah sebuah tautan antara Islam dan Kristen dan itu membuat saya merasa nyaman. Saya seperti menemukan batu pijakan," tutur Ismael.
Begitu mengetahui bagaimana Muslim meyakini Tuhannnya, bagaimana Nabi diutus membawa pesan, Ismail merasa dilahirkan untuk mempercayai itu. Ia pun memutuskan pergi ke masjid. "Saat itu saya pindah ke kota kecil dan di kota itu ada sebuah masjid. Saya ketuk pintunya dan berkata saya ingin berbicara dengan seseorang tentang Islam," tutur Ismail.
Setelah itu Ismail rutin meyambangi masjid tersebut saban minggu untuk berdiskusi dengan seorang imam di sana. Sang imam memberinya buku-buku bacaan tentang Islam dan juga biografi Rasul Muhammad. saw. "Ia meladeni dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya," kata Ismail.
Hingga suatu hari, sang Imam berkata kepadanya "Saya tidak ingin kamu menjadi Muslim kecuali kamu benar-benar yakin dengan agama ini." Mendengar itu Ismael lagi-lagi mengaku terkejut. "Selama saya menjadi Kristen saya selalu bertemu kotbah dan juga berkotbah untuk mengajak seseorang menjadi Kristen. Setiap Kristen selalu mencoba mempengaruhi seseorang menjadi Kristen," tuturnya. "Hampir tidak mungkin Kristen berkata, 'Saya tidak ingin kamu menjadi Kristen kecual kamu yakin dan kembalilah kepada saya jika kamu sudah yakin'."
Ismail justru tertantang dengan ucapan sang imam. Apakah ini memang jalan sesungguhnya? "Ini justru menggelitik saya untuk mengetahui apakah Islam itu memang yang benar, yang harus diyakini? Sungguh tak ada yang memaksa saya untuk menjadi Muslim," tuturnya. "Saya melihat dalam Islam terdapat kebenaran dan itu tampak jelas sebagai cara hidup yang diinginkan Tuhan bagi saya," ujarnya.
Ketika Ismail mengingat Injil kembali, justru ia menemukan fakta Yesus yang diyakini sebagai tuhan tak pernah mengklaim dirinya adalah tuhan dan menyeru pengikutnya untuk menyembahnya. Membandingkan lebih jauh lagi, dalam Al Qur'an, Ismail menemukan janji pengampunan Allah akan diberikan bagi orang yang beriman, namun di Injil, kata 'janji' itu tak ada.
"Pengampunan dan penyelamatan diberikan Allah karena Ia mencintaimu, karena engkau bertobat, beriman kepadanya dan melakukan apa yang ia kehendaki. Itu sungguh jelas dan sederhana," kata Ismail. Sementara di Kristen, menurut Ismail, penyelamatan cukup sulit bagi pemeluknya.
"Pertama anda harus meyakini dahulu peristiwa pembunuhan kejam dan penyaliban seseorang yang tak berdosa, di mana darah ditumpahkan demi menyelamatkan dosa anda. Anda diciptakan dengan dosa asal. Tuhan menempatkan diri anda di dunia bersama dosa dalam hati atau jiwa anda. Semua itu justru tidak mencerminkan keadilan Tuhan," paparnya.
Ismail menilai pengampunan dan penyelamatan di Islam lebih masuk akal. "Pengampunan adalah milik Tuhan, pemberian Tuhan karena cinta, karena kita meminta kepada-Nya, karena kita meyakini-Nya," ujarnya. "Memang di Injil juga ada kata-kata yang mengandung kebenaran. Tetapi Islam lebih superior dan secara logika benar. Bagi saya itu sangat mengagumkan," imbuhnya.
Padahal selama ini Ismail selalu membayangkan Islam sebagai agama kekerasan, seperti menganjurkan pembunuhan. "Tapi ketika saya membaca Al Qur'an saya menemukan banyak ketenangan, kalimat mengandung kedamaian, kesunyian dan pencerahan. Karena itulah saya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.
Kini Ismael meyakini Allah adalah tuhannya dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada-Nya. "Ia adalah raja sekaligus penyelamat saya di dunia dan akhirat. Dengan ini saya pun meyakini Yesus membenarkan ajaran Yesus sebagai seorang Muslim," ujarnya.
Saat ini Ismael mengambil disiplin Kajian Islam di perguruan tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir ia telah bepergian ke enam negara bermayoritas Muslim dan membaca puluhan buku-buku tentang Islam dan Perbandingan Agama. Ia bahkan sudah cukup fasih untuk berbincang dalam Bahasa Arab. Dalam akun YouTube-nya Ismail menulis, "Saya mencintai Allah karena Ia yang pertama kali mencintai saya."
Memilih Islam setelah Merenungi Tujuan Hidup
Jennifer Fayed merasakan perkawinannya suram. Ia melihat tak ada ambisi pada suaminya yang pengangguran, yang telah dinikahinya tiga tahun. Ia mendapati dirinya hamil, sementara dua anaknya yang masih kecil belum bisa lepas dari pengawasan.
Jennifer, yang berusia 21 tahun dan masih kuliah, mulai merenungi tujuan hidupnya di dunia. Pikiran itu menggantung di benaknya: “Pasti ada alasan atas keberadaan saya.”
Orang tuanya baru saja pindah ke Republik Dominika, sebuah negara kecil di Karibia. Ia merasa ditinggalkan, kendati punya suami dan dua orang anak. Ini lantaran selama ini ia merasa orang tua lah yang menjadi panutan baginya, yang menjadi dasar bagi siapa dirinya dan akan menjadi siapa ia berjuang.
Kala itu ia sedang tertidur saat mendapat telepon panik dari ibu mertuanya yang berteriak “Ada pesawat jatuh, pesawat jatuh di Manhattan.” Jennifer bertanya bingung, “Apa, apa yang Ibu bicarakan!” Ia menyalakan televisi dan melihat menara kedua World Trade Center (WTC) dihantam pesawat.
“Saya shock! Siapa yang bisa melakukannya, siapa yang sanggup melakukan kekejian ini?” ujar Jennifer. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. “Apakah ini mimpi?” Ia berharap ini hanyalah sebuah film. “Ayo katakana ini hanya film,” katanya dalam hati.
Ia baru saja mengunjungi WTC sehari sebelumnya. Ia melihat ini sebagai bukti bahwa belum saatnya dia mati. Ia merasa belum mencapai tujuan dalam hidup. “Saya tak tahu apa tujuan itu, tapi ini bukanlah saatnya bagi saya.”
Hari itu Manhattan dilanda chaos. Jennifer tak tahu hari itu menjadi awal perubahan drastis yang akan terjadi dalam hidupnya.
Tak beberapa lama setelah serangan 11 September, Jennifer terbang mengunjungi orang tuanya di Republik Dominika. Saat itu kehamilannya berusia satu bulan. Suaminya telah mengetahui kehamilannya.
Ia berpikir bagaimana memberi tahu kehamilan ini kepada orang tuanya. Maklum, anak pertamanya adalah hasil hubungan di luar nikah, yang membuatnya terpaksa menikah guna menutupi aib. Well, katanya dalam hati, saya akan memikirkannya di Karibia nanti.
Ia terbang menggunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587. Ia merasa begitu cepat terbang setelah serangan WTC. Keamanan di bandara sangat ketat, dan orang-orang di pesawat berdoa, beberapa bahkan tak lepas berdoa sepanjang penerbangan. “Saya mulai tertawa dalam hati. Jika kami akan mati, maka itu takdir kami.”
Jennifer terus memikirkan kehamilannya. Ia sebenarnya tak ingin kehamilan ini. Selain tak direncanakan, ini berarti mulut ketiga untuk diberi makan, sementara ia sudah kewalahan menghidupi dua orang anak, apalagi tiga.
Ia begitu bingung. Ia menghabiskan waktu bersama orangtuanya mencoba memberitahu mereka tentang jabang bayi. Ia merasa tak sanggup memberi tahu mereka, bahwa putri tertua mereka kembali mengecewakan mereka.
Karenanya, Jennifer memutuskan untuk aborsi dan tak ada yang perlu tahu dirinya hamil. “Solusi yang gampang,” pikirnya dalam hati. Namun, di sisi lain, ia berasal dari keluarga Kristen yang taat, yang memandang aborsi adalah sesuatu yang tabu dan dosa.
Ia kembali ke New York dari Karibia, dan membuat janjian dengan klinik Planned Parenthood untuk mulai melakukan aborsi. Ia bertanya apakah bisa menggunakan pil untuk aborsi ini.
Betapa kecewanya Jennifer bahwa dirinya harus menjalani aborsi penuh karena tenggat untuk melakukan aborsi dengan pil sudah terlewati satu pekan. Ia sangat depresi. “Saya berkata dalam hati, Oh Tuhan, mereka akan mengangkat bayi ini dari perut saya. Apa yang telah saya lakukan?” Ia tak tahu apakah sanggup melalui ini semua.
Ia memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, tidak menggunakan Rosario atau pergi ke gereja. Untuk pertama kali, ia akan berdoa langsung kepada Tuhan layaknya teman. Ia merasa Tuhan harus menolongnya. Tuhan adalah tumpuan terakhir.
“Saya menangis sambil terus memohon. Oh Tuhan tolonglah, saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya ingin bayi ini, tapi pernikahan saya sedang guncang, dan kami tak punya uang untuk menghadirkan seorang bayi lagi ke dunia ini. Saya percayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tolonglah, jika Tuhan menghendaki saya memiliki bayi ini, saya akan menerimanya. Dan, jika kehendak Tuhan untuk mengakhiri kehamilan ini, saya juga akan menerimanya.”
“Saya memasrahkan penderitaan ini kepada Tuhan. Tuhan yang saya sembah dengan cara saya sendiri, bukan dengan cara yang diajarkan kepada saya. Tuhan, yang bagi saya tak punya pendamping, tak punya anak, hanya sesuatu yang saya tahu telah menciptakan saya,” kata Jennifer. Ia kehabisan akal memikirkan kehamilannya.
Hari-hari berlalu, Jennifer sedang menyaksikan televisi saat sebuah siaran berita menginterupsi acara. “Oh tidak. Tidak serangan teroris lagi,” katanya. Sebuah pesawat kembali jatuh di New York, kali ini di kawasan Queen, daerah asal Jennifer. Ia khawatir ini kembali ulah teroris. Ia terheran-heran mendengar nomor penerbangan dan tujuan pesawaat tersebut. Pesawat naas itu American Airlines dengan nomor penerbangan 587 tujuan Republik Dominika. Ya, pesawat yang ditumpanginya sepekan lalu. Rasa dingin menjalar di punggungnya.
Jennifer terpaku. Ia membayangkan bisa saja dirinya yang ada dalam pesawat itu. Ia merasa ini pertanda dari Tuhan. Ini bukan pertama kali dalam kurang dari sebulan ia begitu dekat dengan kematian. “Tuhan mencoba mengatakan sesuatu.”
Sepekan setelah permohonannya kepada Tuhan, Jennifer mulai merasakan keram. Keram ini berbeda dengan yang biasa dirasakan pada trimester pertama kehamilan. Ia mengacuhkannya, bukan masalah besar.
Hari berlalu, rasa keram itu semakin parah, dan perdarahan pun mulai terjadi. Ia begitu takut. “Apakah saya keguguran?” Ia bergegas ke rumah sakit dan menjalani istirahat (bed rest) ketat.
Pulang ke rumah, Jennifer masih harus beristirahat di tempat tidur kendati rasa keram mulai berkurang. Saat tertidur, ia merasakan sakit luar biasa. Ia merasakan sesuatu keluar. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya pergi ke kamar mandi dan menemukan segumpal daging keluar.” Jennifer keguguran di usia kehamilan dua bulan. Saat kembali ke rumah sakit, pihak rumah sakit memastikan ia telah keguguran. Padahal, keesokan harinya, ia dijadwalkan oleh Planned Parenthood untuk menjalani proses aborsi, pada 15 Oktober 2001.
“Ini seakan tidak nyata. Apakah ini keajaiban dari Tuhan? Apakah Tuhan menjawab doa saya. Saya merasa Tuhan memberitahu bahwa kehidupan saya akan berubah. Akan berubah seperti apa? Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan kuliah dan saya tidak bisa bertahan lebih lama dengan suami yang tak ingin kerja dan tak punya ambisi dalam hidup.” Jennifer akhirnya memutuskan untuk bercerai dari suami pertamanya.
Di lingkungannya, New York, Jennifer menyaksikan betapa buruknya perlakuan terhadap Muslim. Perlakuan ini terjadi begitu cepat setelah serangan 11 September. Setiap hari selalu ada berita yang melaporkan tentang kejahatan karena kebencian terhadap Muslim. “Sungguh mengerikan. Saya menyaksikan langsung orang-orang pindah berjalan di trotoar seberang jalan hanya karena mengira ada Muslim. Bisnis Muslim sepi. Tak ada yang ingin membeli dari toko Muslim. Di jalan, orang-orang berteriak kepada Muslim, Pergi ke negaramu, Teroris, Taliban!!”
“Mengapa orang-orang mengatakan kata-kata ini kepada orang-orang yang tak bersalah? Saya sepakat pelaku serangan adalah orang yang kejam, tapi kenapa menyalahkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan serangan?”
Dari sinilah muncul ketertarikannya. Jennifer mulai penasaran apa yang diyakini oleh Muslim. Ketertarikannya semakin besar setiap hari. Ia kemudian mendaftar untuk mengikuti sebuah acara di kampus. Di sana ia bertemu Muslim dan melontarkan berbagai pertanyaan tentang Islam. “Mengapa Anda mengenakan jilbab? Siapa yang Anda yakini? Siapa itu Muhammad yang sering Anda bicarakan?”
“Beberapa orang punya jawaban, namun sebagian besar tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan saya. Kebanyakan wanita Muslim yang saya tahu tak mengenakan jilbab dan mengatakan ini pilihan, dan mengatakan tak memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam.” Jennifer merasa tak ada orang yang mampu memberikannya jawaban. Sehingga, ia berpaling ke internet untuk mencari jawaban. Di sana lah ia mengetahui tentang Islam.
“Saya tak percaya bahwa Tuhan telah mengutus nabi lainnya setelah Yesus. Saya tahu Tuhan tak akan menciptakan saya dan semua orang di dunia tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami. Mengapa kami di sini? Mengapa orang-orang selalu mengatakan Tuhan itu tritunggal, dan ini hanya menguatkan apa yang saya percayai sejak berusia 14 tahun bahwa Tuhan itu satu tanpa pendamping.”
“Saya mencari kebenaran atas semua pertanyaan saya dan Islam menjawab semuanya. Muhammad adalah nabi yang luar biasa. Ia adalah nabi terakhir, yang terakhir diutus Tuhan untuk menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita.”
Jennifer memutuskan untuk menggali lebih jauh tentang Nabi Muhammad. “Apakah ia manusia sungguhan? Apakah dia benar-benar ada?” Jennifer terkejut mengetahui Nabi Muhammad adalah manusia sungguhan. Bukan saja Muhammad adalah seorang nabi yang menyampaikan wahyu, namun seluruh hidupnya telah terdokumentasikan. “Saya takjub, inilah agama saya,” pikirnya. “Keyakinan yang selama bertahun-tahun saya cari, yang disebut Islam,” katanya.
Jennifer mengikuti tarawih Ramadhan pada musim gugur 2002, meski ia belum masuk Islam. Saat itu masjid penuh oleh jamaah. “Tak seperti keuskupan yang hanya dihadiri satu jenis ras atau kebangsaan di sebuah gereja khusus, masjid dipenuhi berbagai orang dari berbagai spektrum. Mereka sangat akrab dan selalu mengatakan Assalamualaikum,” ia mengisahkan. Ia tak tahu apa artinya itu. Ia hanya mengangguk malu.
“Saatnya melaksanakan sholat. Ini sholat pertama saya seperti seorang Muslim,” katanya. Ia sebenarnya tak tahu apa mereka lakukan. Namun, seorang temannya mengatakan ‘ikuti saja apa yang mereka lakukan’. Jadi, itulah yang ia lakukan.
Jennifer berkomat-kamit meniru jamaah lainnya. Ia juga ikut bersujud, tanpa tahu maksud dan alasannya. “Saya menikmatinya. Saya kagum bahwa semua Muslim menghadap Kabah di saat yang sama setiap shalat, tak peduli dari belahan bumi mana mereka berasal. Kami tak punya ini di Kristen, sama sekali tak punya,” paparnya.
Saat itu ia mengenakan jilbab untuk menghormati para jamaah. Ia tak tahu bagaimana cara mengenakan jilbab. Jadi, ia membeli dua helai selendang (scarf) yang ia pasang sekenanya. “Saya merasa anggun dan hangat saat mengenakan jilbab. Saya bisa berjalan di jalanan tanpa dipandang sebagai obyek seksual. Orang-orang memang menatap saya, tapi saya tak peduli.”
Pulang dari masjid pada hari itu, ia bertekad untuk mengenakan jilbab setiap saat. “Orang-orang terus mengatakan bahwa saya tak perlu mengenakan jilbab karena saya bukan seorang Muslim. Saya hanya berkomentar ini keputusan saya dan ini bukan urusan mereka. Saat mengenakan jilbab, ada perasaan aman, perasaan hangat dalam hati, bahwa saya mengikuti perintah Tuhan. Saya tak peduli terhadap tatapan dan komentar negatif dari orang-orang.”
Jennifer merasa belum melakukan cukup. Ia pun melakukan puasa dalam beberapa hari di bulan Ramadhan. Lalu, ia berpikir bagaimana mengatakan ini semua kepada orang tuanya.
Saat orang tuanya datang dari Republik Dominika, Jennifer tengah serius mempertimbangkan untuk mengucap syahadat. “Hanya saja, saya tak tahu bagaimana memberi tahu keluarga saya, terutama ibu saya karena ia sangat cerewet kepada saya. Saya telah mengenakan jilbab, jadi saya tak bisa melepaskannya hanya karena mempertimbangkan perasaan ibu saya, karena kewajiban saya adalah kepada Allah, lalu baru kepada orang tua,” ungkapnya.
Sebagai awal, Jennifer memberitahu adiknya, Catherine, yang lima tahun lebih muda. Ia ingin melihat reaksi Catherine, yang mungkin akan sama dengan reaksi orang tuanya. Ia memanggil Catherine dan berkata, “Hey Catherine, saya melakukan sesuatu.”
Adiknya tak terkejut. Maklum, Jennifer memang biasa melakukan sesuatu di luar norma. “Apa yang kamu lakukan kali ini Jennifer?”
Jennifer mengatakan dirinya sedang mempertimbangkan masuk Islam, dan ia kini telah mengenakan jilbab. Catherine tertawa kencang. “Ia mengatakan kini saya benar-benar telah ‘melakukannya’ dan orang tua kami akan ‘membunuh’ saya. Ia juga mengatakan tak percaya saya kini salah satu dari teroris itu.”
Namun, Catherine segera menyambung kalimatnya, “Kamu kakak saya dan saya menyayangi kamu tak peduli apa agama yang kamu anut.” “Ia juga mengatakan bahwa orang tua kami akan mengamuk,” ujar Jennifer. Tak berhenti di situ, Catherine lantas mengatakan “Jangan beri tahu ayah dan ibu tanpa saya ada di sana, jadi saya bisa mentertawakan kamu.” Jennifer tahu adiknya hanya bercanda.
Jennifer akhirnya memberanikan diri memberi tahu orangtuanya. “Ayah saya bisa menerimanya. Saya pikir kebanyakan pria akan bisa menerimanya jika hal itu berarti sang anak akan menutupi tubuhnya.”
Namun, ibunya sangat marah dan shock. “Dia terus meyakinkan saya bahwa saya salah langkah dan Islam bukan agama yang tepat. Satu yang yang paling memberatkannya adalah saya mengenakan jilbab.”
Butuh dua pekan bagi ibunya untuk kembali tenang. “Tak lama mereka ahirnya bisa menerima. Bagaimanapun, ibu saya terus mengatakan bahwa ini hanyalah sementara, sebuah tahapan, dan saya akan kembali tersadar,” ungkap Jennifer. Sepekan berselang, Jennifer akhirnya memutuskan untuk mengucap syahadat.
Hari itu, Jumat pertama Januari, Jennifer bangun pagi dengan perasaan membuncah. Ini dia hari H, hari dimana ia akan mengucap syahadat. Ia lalu mandi dan mengejar kereta untuk pergi ke masjid guna mengucap syahadat.
Di masjid, ia menemui imam dan mengatakan ingin mengucap syahadat. Sang imam menatapnya dengan senyuman dan mengatakan “Anda yakin, ini yang benar-benar Anda kehendaki?” Dengan semangat Jennifer menjawab “Ya, ya, ini keputusan saya.”
“Maka, di hari itu, seluruh saudara seiman, laki-laki dan perempuan, bergabung untuk menyaksikan saya masuk Islam,” kata Jennifer. “Hari itu, begitu banyak orang mengucap selamat dan mengatakan kepada saya jika saya membutuhkan apa pun, mereka akan membantu saya. Saya begitu beruntung. Di sini lah saya bersama keluarga baru, sebuah keluarga yang anggotanya berasal dari seluruh belahan bumi.”
“Pada Jumat malam itu saat saya tidur, malam pertama saya sebagai Muslim, saya mengalami mimpi terindah, sebuah karunia. Saya berada di sebuah lembah yang dipenuhi rerumputan hijau nan indah. Perbukitannya begitu indah, tak pernah saya lihat sepanjang hidup, dan saya berjalan di sana menuju seorang pria. Dia juga berjalan ke arah saya, dia mengenakan galabiya putih. Wajahnya samar, tak mirip wajah manusia yang sebenarnya, namun terang seperti matahari. Saya merasa begitu hangat dan aman. Dia memegang tangan saya dan kami berjalan bersama ke arah sebuah batu melingkar yang besar. Di batu itu ia duduk dan saya duduk di rumput. Ia kemudian mengatakan kepada saya ‘Selamat datang ke Islam’.”
Saat terbangun, Jennifer merasakan perasaan yang begitu indah dalam hatinya. “Saya pikir inilah Rasul. Ia datang untuk menyambut saya masuk Islam. Saya kemudian mendapati bahwa itu bukan Nabi Muhammad, tapi salah satu malaikat Allah yang telah menyambut saya, karena malaikat tak memiliki wajah manusia, namun wajahnya samar (blur).”
Jennifer merasa sangat spesial sejak hari itu. “Sebuah malaikat, malaikat Allah datang untuk menyambut saya kepada agama Allah, agama saya. Agama yang begitu saya dambakan sejak kecil. Islam adalah agama yang sebenarnya.”
Jennifer Fayed kini menjadi penulis yang tingal di Carolina Utara, AS. Berbagai tulisannya telah menginspirasi banyak orang. Ia memiliki gelar di bisnis pemasaran, dan anggota aktif Muslimah Writers Alliance.
Jennifer, yang berusia 21 tahun dan masih kuliah, mulai merenungi tujuan hidupnya di dunia. Pikiran itu menggantung di benaknya: “Pasti ada alasan atas keberadaan saya.”
Orang tuanya baru saja pindah ke Republik Dominika, sebuah negara kecil di Karibia. Ia merasa ditinggalkan, kendati punya suami dan dua orang anak. Ini lantaran selama ini ia merasa orang tua lah yang menjadi panutan baginya, yang menjadi dasar bagi siapa dirinya dan akan menjadi siapa ia berjuang.
Kala itu ia sedang tertidur saat mendapat telepon panik dari ibu mertuanya yang berteriak “Ada pesawat jatuh, pesawat jatuh di Manhattan.” Jennifer bertanya bingung, “Apa, apa yang Ibu bicarakan!” Ia menyalakan televisi dan melihat menara kedua World Trade Center (WTC) dihantam pesawat.
“Saya shock! Siapa yang bisa melakukannya, siapa yang sanggup melakukan kekejian ini?” ujar Jennifer. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. “Apakah ini mimpi?” Ia berharap ini hanyalah sebuah film. “Ayo katakana ini hanya film,” katanya dalam hati.
Ia baru saja mengunjungi WTC sehari sebelumnya. Ia melihat ini sebagai bukti bahwa belum saatnya dia mati. Ia merasa belum mencapai tujuan dalam hidup. “Saya tak tahu apa tujuan itu, tapi ini bukanlah saatnya bagi saya.”
Hari itu Manhattan dilanda chaos. Jennifer tak tahu hari itu menjadi awal perubahan drastis yang akan terjadi dalam hidupnya.
Tak beberapa lama setelah serangan 11 September, Jennifer terbang mengunjungi orang tuanya di Republik Dominika. Saat itu kehamilannya berusia satu bulan. Suaminya telah mengetahui kehamilannya.
Ia berpikir bagaimana memberi tahu kehamilan ini kepada orang tuanya. Maklum, anak pertamanya adalah hasil hubungan di luar nikah, yang membuatnya terpaksa menikah guna menutupi aib. Well, katanya dalam hati, saya akan memikirkannya di Karibia nanti.
Ia terbang menggunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587. Ia merasa begitu cepat terbang setelah serangan WTC. Keamanan di bandara sangat ketat, dan orang-orang di pesawat berdoa, beberapa bahkan tak lepas berdoa sepanjang penerbangan. “Saya mulai tertawa dalam hati. Jika kami akan mati, maka itu takdir kami.”
Jennifer terus memikirkan kehamilannya. Ia sebenarnya tak ingin kehamilan ini. Selain tak direncanakan, ini berarti mulut ketiga untuk diberi makan, sementara ia sudah kewalahan menghidupi dua orang anak, apalagi tiga.
Ia begitu bingung. Ia menghabiskan waktu bersama orangtuanya mencoba memberitahu mereka tentang jabang bayi. Ia merasa tak sanggup memberi tahu mereka, bahwa putri tertua mereka kembali mengecewakan mereka.
Karenanya, Jennifer memutuskan untuk aborsi dan tak ada yang perlu tahu dirinya hamil. “Solusi yang gampang,” pikirnya dalam hati. Namun, di sisi lain, ia berasal dari keluarga Kristen yang taat, yang memandang aborsi adalah sesuatu yang tabu dan dosa.
Ia kembali ke New York dari Karibia, dan membuat janjian dengan klinik Planned Parenthood untuk mulai melakukan aborsi. Ia bertanya apakah bisa menggunakan pil untuk aborsi ini.
Betapa kecewanya Jennifer bahwa dirinya harus menjalani aborsi penuh karena tenggat untuk melakukan aborsi dengan pil sudah terlewati satu pekan. Ia sangat depresi. “Saya berkata dalam hati, Oh Tuhan, mereka akan mengangkat bayi ini dari perut saya. Apa yang telah saya lakukan?” Ia tak tahu apakah sanggup melalui ini semua.
Ia memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, tidak menggunakan Rosario atau pergi ke gereja. Untuk pertama kali, ia akan berdoa langsung kepada Tuhan layaknya teman. Ia merasa Tuhan harus menolongnya. Tuhan adalah tumpuan terakhir.
“Saya menangis sambil terus memohon. Oh Tuhan tolonglah, saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya ingin bayi ini, tapi pernikahan saya sedang guncang, dan kami tak punya uang untuk menghadirkan seorang bayi lagi ke dunia ini. Saya percayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tolonglah, jika Tuhan menghendaki saya memiliki bayi ini, saya akan menerimanya. Dan, jika kehendak Tuhan untuk mengakhiri kehamilan ini, saya juga akan menerimanya.”
“Saya memasrahkan penderitaan ini kepada Tuhan. Tuhan yang saya sembah dengan cara saya sendiri, bukan dengan cara yang diajarkan kepada saya. Tuhan, yang bagi saya tak punya pendamping, tak punya anak, hanya sesuatu yang saya tahu telah menciptakan saya,” kata Jennifer. Ia kehabisan akal memikirkan kehamilannya.
Hari-hari berlalu, Jennifer sedang menyaksikan televisi saat sebuah siaran berita menginterupsi acara. “Oh tidak. Tidak serangan teroris lagi,” katanya. Sebuah pesawat kembali jatuh di New York, kali ini di kawasan Queen, daerah asal Jennifer. Ia khawatir ini kembali ulah teroris. Ia terheran-heran mendengar nomor penerbangan dan tujuan pesawaat tersebut. Pesawat naas itu American Airlines dengan nomor penerbangan 587 tujuan Republik Dominika. Ya, pesawat yang ditumpanginya sepekan lalu. Rasa dingin menjalar di punggungnya.
Jennifer terpaku. Ia membayangkan bisa saja dirinya yang ada dalam pesawat itu. Ia merasa ini pertanda dari Tuhan. Ini bukan pertama kali dalam kurang dari sebulan ia begitu dekat dengan kematian. “Tuhan mencoba mengatakan sesuatu.”
Sepekan setelah permohonannya kepada Tuhan, Jennifer mulai merasakan keram. Keram ini berbeda dengan yang biasa dirasakan pada trimester pertama kehamilan. Ia mengacuhkannya, bukan masalah besar.
Hari berlalu, rasa keram itu semakin parah, dan perdarahan pun mulai terjadi. Ia begitu takut. “Apakah saya keguguran?” Ia bergegas ke rumah sakit dan menjalani istirahat (bed rest) ketat.
Pulang ke rumah, Jennifer masih harus beristirahat di tempat tidur kendati rasa keram mulai berkurang. Saat tertidur, ia merasakan sakit luar biasa. Ia merasakan sesuatu keluar. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya pergi ke kamar mandi dan menemukan segumpal daging keluar.” Jennifer keguguran di usia kehamilan dua bulan. Saat kembali ke rumah sakit, pihak rumah sakit memastikan ia telah keguguran. Padahal, keesokan harinya, ia dijadwalkan oleh Planned Parenthood untuk menjalani proses aborsi, pada 15 Oktober 2001.
“Ini seakan tidak nyata. Apakah ini keajaiban dari Tuhan? Apakah Tuhan menjawab doa saya. Saya merasa Tuhan memberitahu bahwa kehidupan saya akan berubah. Akan berubah seperti apa? Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan kuliah dan saya tidak bisa bertahan lebih lama dengan suami yang tak ingin kerja dan tak punya ambisi dalam hidup.” Jennifer akhirnya memutuskan untuk bercerai dari suami pertamanya.
Di lingkungannya, New York, Jennifer menyaksikan betapa buruknya perlakuan terhadap Muslim. Perlakuan ini terjadi begitu cepat setelah serangan 11 September. Setiap hari selalu ada berita yang melaporkan tentang kejahatan karena kebencian terhadap Muslim. “Sungguh mengerikan. Saya menyaksikan langsung orang-orang pindah berjalan di trotoar seberang jalan hanya karena mengira ada Muslim. Bisnis Muslim sepi. Tak ada yang ingin membeli dari toko Muslim. Di jalan, orang-orang berteriak kepada Muslim, Pergi ke negaramu, Teroris, Taliban!!”
“Mengapa orang-orang mengatakan kata-kata ini kepada orang-orang yang tak bersalah? Saya sepakat pelaku serangan adalah orang yang kejam, tapi kenapa menyalahkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan serangan?”
Dari sinilah muncul ketertarikannya. Jennifer mulai penasaran apa yang diyakini oleh Muslim. Ketertarikannya semakin besar setiap hari. Ia kemudian mendaftar untuk mengikuti sebuah acara di kampus. Di sana ia bertemu Muslim dan melontarkan berbagai pertanyaan tentang Islam. “Mengapa Anda mengenakan jilbab? Siapa yang Anda yakini? Siapa itu Muhammad yang sering Anda bicarakan?”
“Beberapa orang punya jawaban, namun sebagian besar tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan saya. Kebanyakan wanita Muslim yang saya tahu tak mengenakan jilbab dan mengatakan ini pilihan, dan mengatakan tak memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam.” Jennifer merasa tak ada orang yang mampu memberikannya jawaban. Sehingga, ia berpaling ke internet untuk mencari jawaban. Di sana lah ia mengetahui tentang Islam.
“Saya tak percaya bahwa Tuhan telah mengutus nabi lainnya setelah Yesus. Saya tahu Tuhan tak akan menciptakan saya dan semua orang di dunia tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami. Mengapa kami di sini? Mengapa orang-orang selalu mengatakan Tuhan itu tritunggal, dan ini hanya menguatkan apa yang saya percayai sejak berusia 14 tahun bahwa Tuhan itu satu tanpa pendamping.”
“Saya mencari kebenaran atas semua pertanyaan saya dan Islam menjawab semuanya. Muhammad adalah nabi yang luar biasa. Ia adalah nabi terakhir, yang terakhir diutus Tuhan untuk menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita.”
Jennifer memutuskan untuk menggali lebih jauh tentang Nabi Muhammad. “Apakah ia manusia sungguhan? Apakah dia benar-benar ada?” Jennifer terkejut mengetahui Nabi Muhammad adalah manusia sungguhan. Bukan saja Muhammad adalah seorang nabi yang menyampaikan wahyu, namun seluruh hidupnya telah terdokumentasikan. “Saya takjub, inilah agama saya,” pikirnya. “Keyakinan yang selama bertahun-tahun saya cari, yang disebut Islam,” katanya.
Jennifer mengikuti tarawih Ramadhan pada musim gugur 2002, meski ia belum masuk Islam. Saat itu masjid penuh oleh jamaah. “Tak seperti keuskupan yang hanya dihadiri satu jenis ras atau kebangsaan di sebuah gereja khusus, masjid dipenuhi berbagai orang dari berbagai spektrum. Mereka sangat akrab dan selalu mengatakan Assalamualaikum,” ia mengisahkan. Ia tak tahu apa artinya itu. Ia hanya mengangguk malu.
“Saatnya melaksanakan sholat. Ini sholat pertama saya seperti seorang Muslim,” katanya. Ia sebenarnya tak tahu apa mereka lakukan. Namun, seorang temannya mengatakan ‘ikuti saja apa yang mereka lakukan’. Jadi, itulah yang ia lakukan.
Jennifer berkomat-kamit meniru jamaah lainnya. Ia juga ikut bersujud, tanpa tahu maksud dan alasannya. “Saya menikmatinya. Saya kagum bahwa semua Muslim menghadap Kabah di saat yang sama setiap shalat, tak peduli dari belahan bumi mana mereka berasal. Kami tak punya ini di Kristen, sama sekali tak punya,” paparnya.
Saat itu ia mengenakan jilbab untuk menghormati para jamaah. Ia tak tahu bagaimana cara mengenakan jilbab. Jadi, ia membeli dua helai selendang (scarf) yang ia pasang sekenanya. “Saya merasa anggun dan hangat saat mengenakan jilbab. Saya bisa berjalan di jalanan tanpa dipandang sebagai obyek seksual. Orang-orang memang menatap saya, tapi saya tak peduli.”
Pulang dari masjid pada hari itu, ia bertekad untuk mengenakan jilbab setiap saat. “Orang-orang terus mengatakan bahwa saya tak perlu mengenakan jilbab karena saya bukan seorang Muslim. Saya hanya berkomentar ini keputusan saya dan ini bukan urusan mereka. Saat mengenakan jilbab, ada perasaan aman, perasaan hangat dalam hati, bahwa saya mengikuti perintah Tuhan. Saya tak peduli terhadap tatapan dan komentar negatif dari orang-orang.”
Jennifer merasa belum melakukan cukup. Ia pun melakukan puasa dalam beberapa hari di bulan Ramadhan. Lalu, ia berpikir bagaimana mengatakan ini semua kepada orang tuanya.
Saat orang tuanya datang dari Republik Dominika, Jennifer tengah serius mempertimbangkan untuk mengucap syahadat. “Hanya saja, saya tak tahu bagaimana memberi tahu keluarga saya, terutama ibu saya karena ia sangat cerewet kepada saya. Saya telah mengenakan jilbab, jadi saya tak bisa melepaskannya hanya karena mempertimbangkan perasaan ibu saya, karena kewajiban saya adalah kepada Allah, lalu baru kepada orang tua,” ungkapnya.
Sebagai awal, Jennifer memberitahu adiknya, Catherine, yang lima tahun lebih muda. Ia ingin melihat reaksi Catherine, yang mungkin akan sama dengan reaksi orang tuanya. Ia memanggil Catherine dan berkata, “Hey Catherine, saya melakukan sesuatu.”
Adiknya tak terkejut. Maklum, Jennifer memang biasa melakukan sesuatu di luar norma. “Apa yang kamu lakukan kali ini Jennifer?”
Jennifer mengatakan dirinya sedang mempertimbangkan masuk Islam, dan ia kini telah mengenakan jilbab. Catherine tertawa kencang. “Ia mengatakan kini saya benar-benar telah ‘melakukannya’ dan orang tua kami akan ‘membunuh’ saya. Ia juga mengatakan tak percaya saya kini salah satu dari teroris itu.”
Namun, Catherine segera menyambung kalimatnya, “Kamu kakak saya dan saya menyayangi kamu tak peduli apa agama yang kamu anut.” “Ia juga mengatakan bahwa orang tua kami akan mengamuk,” ujar Jennifer. Tak berhenti di situ, Catherine lantas mengatakan “Jangan beri tahu ayah dan ibu tanpa saya ada di sana, jadi saya bisa mentertawakan kamu.” Jennifer tahu adiknya hanya bercanda.
Jennifer akhirnya memberanikan diri memberi tahu orangtuanya. “Ayah saya bisa menerimanya. Saya pikir kebanyakan pria akan bisa menerimanya jika hal itu berarti sang anak akan menutupi tubuhnya.”
Namun, ibunya sangat marah dan shock. “Dia terus meyakinkan saya bahwa saya salah langkah dan Islam bukan agama yang tepat. Satu yang yang paling memberatkannya adalah saya mengenakan jilbab.”
Butuh dua pekan bagi ibunya untuk kembali tenang. “Tak lama mereka ahirnya bisa menerima. Bagaimanapun, ibu saya terus mengatakan bahwa ini hanyalah sementara, sebuah tahapan, dan saya akan kembali tersadar,” ungkap Jennifer. Sepekan berselang, Jennifer akhirnya memutuskan untuk mengucap syahadat.
Hari itu, Jumat pertama Januari, Jennifer bangun pagi dengan perasaan membuncah. Ini dia hari H, hari dimana ia akan mengucap syahadat. Ia lalu mandi dan mengejar kereta untuk pergi ke masjid guna mengucap syahadat.
Di masjid, ia menemui imam dan mengatakan ingin mengucap syahadat. Sang imam menatapnya dengan senyuman dan mengatakan “Anda yakin, ini yang benar-benar Anda kehendaki?” Dengan semangat Jennifer menjawab “Ya, ya, ini keputusan saya.”
“Maka, di hari itu, seluruh saudara seiman, laki-laki dan perempuan, bergabung untuk menyaksikan saya masuk Islam,” kata Jennifer. “Hari itu, begitu banyak orang mengucap selamat dan mengatakan kepada saya jika saya membutuhkan apa pun, mereka akan membantu saya. Saya begitu beruntung. Di sini lah saya bersama keluarga baru, sebuah keluarga yang anggotanya berasal dari seluruh belahan bumi.”
“Pada Jumat malam itu saat saya tidur, malam pertama saya sebagai Muslim, saya mengalami mimpi terindah, sebuah karunia. Saya berada di sebuah lembah yang dipenuhi rerumputan hijau nan indah. Perbukitannya begitu indah, tak pernah saya lihat sepanjang hidup, dan saya berjalan di sana menuju seorang pria. Dia juga berjalan ke arah saya, dia mengenakan galabiya putih. Wajahnya samar, tak mirip wajah manusia yang sebenarnya, namun terang seperti matahari. Saya merasa begitu hangat dan aman. Dia memegang tangan saya dan kami berjalan bersama ke arah sebuah batu melingkar yang besar. Di batu itu ia duduk dan saya duduk di rumput. Ia kemudian mengatakan kepada saya ‘Selamat datang ke Islam’.”
Saat terbangun, Jennifer merasakan perasaan yang begitu indah dalam hatinya. “Saya pikir inilah Rasul. Ia datang untuk menyambut saya masuk Islam. Saya kemudian mendapati bahwa itu bukan Nabi Muhammad, tapi salah satu malaikat Allah yang telah menyambut saya, karena malaikat tak memiliki wajah manusia, namun wajahnya samar (blur).”
Jennifer merasa sangat spesial sejak hari itu. “Sebuah malaikat, malaikat Allah datang untuk menyambut saya kepada agama Allah, agama saya. Agama yang begitu saya dambakan sejak kecil. Islam adalah agama yang sebenarnya.”
Jennifer Fayed kini menjadi penulis yang tingal di Carolina Utara, AS. Berbagai tulisannya telah menginspirasi banyak orang. Ia memiliki gelar di bisnis pemasaran, dan anggota aktif Muslimah Writers Alliance.
Kisah Madame Fatima yang Mendapatkan Hidayah Unik
Kisah Madame Fatima Mil Davidson mendapatkan hidayah Islam terbilang unik. Seperti sebuah keajaiban, cahaya Islam itu menyentuhnya saat ia baru saja masuk ke kehidupan biara. Waktu itu ia memang sudah berniat untuk menjadi biarawati.
Saat ini Madame Fatima menjabat sebagai Menteri Pembangunan Sosial dan Pemerintah Lokal, Republik Trinidad dan Tobago, sebuah negara kepulauan di kawasan Laut Karibia bagian selatan. Pada majalah berbahasa Arab Men-bar-al-Islam di Kairo, ia menceritakan awal mula menemukan Islam dan bagaimana akhirnya ia menjadi seorang Muslimah.
"Saya membantah keras cerita yang mengatakan bahwa saya masuk Islam pada tahun 1975 dengan tidak mengakui ajaran Kristen. Sungguh, saya tidak bisa memahami dan menjelaskan apa yang saya alami. Saya akan mengajak Anda kembali ke tanggal 9 Maret 1950, hari yang sudah ditetapkan buat saya untuk masuk biara. Ketika saya bangun pagi di hari itu , saya merasa mendengar suara yang menyebutkan kalimat 'Allahu Akbar, Allahu Akbar', suara itu terngiang-ngiang di telinga saya dan membuat seluruh tubuh dan hati saya bergetar," kata menteri yang sebelum masuk Islam bernama Model Donafamik Davidson.
"Saya tidak begitu tahu, itu apa. Tapi hari itu saya menolak masuk ke biara. Setelah itu, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari petunjuk Tuhan, sampai akhirnya saya menemukan Al-Quran dengan terjemahannya. Lalu, dengan mudah saya menaruh kepercayaan pada terjemahan Al-Quran yang saya baca," sambungnya.
Secara kebetulan, Madame Fatima kemudian bertemu dengan seorang cendikiawan muslim asal Pakistan Maulana Siddiq dan ulama dari India Syaikh Ansari. Ia terlibat pembicaraan yang mendalam dengan kedua ulama itu, tentang budi pekerti dan apa yang dirasakan dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan detil yang diajukan Madame Fatima, hingga kedua ulama berseru, "Alhamdulillah, Anda seorang muslim ! Anda sekarang seorang muslim. Bacalah apa yang Anda sukai, masuklah ke masjid dan berdoa. Kami siap menerima Anda, kapanpun Anda merasa ingin belajar apapun."
Madame Fatima merasa gembira dengan respon kedua ulama tersebut. "Saya bahagia. Setelah hari itu, saya merasa hati saya dilimpahi dengan keimanan dan rasa cinta serta kebanggaan terhadap Nabi Muhammad Saw," ujarnya.
Meski demikian, Madame Fatima mengaku baru secara resmi memeluk Islam sekitar tahun 1975. "Sampai sekarang, sudah 36 tahun saya menjadi seorang muslim. Sejak saya mendengar suara misterius yang menggetarkan kalbu, dan lalu saya menolak masuk biara. Hati saya sudah memproklamirkan Allahu Akbar," tukasnya.
"Saya menjadi gadis pertama dari komunitas kulit berwarna yang masuk ke masjid. Dan ini mendorong banyak remaja muslimah untuk juga datang ke masjid-masjid untuk salat, khususnya ke Masjid Anjuman Jami' Sanatal yang didirikan oleh ulama besar Dr. Syaik Ansari di kota Francis di Trinidad. Masjid itu sekarang dipimpin oleh Al-Haj Shafiq Muhammad," tutur Madame Fatima.
Ia juga menceritakan bahwa warga di lingkungannya masih berpikir bahwa Islam adalah agama orang India, yang memiliki ajaran dari beragam kepercayaan dan agama. "Dalam perkembangannya, di kalangan warga pribumi, kebanyakan yang berasal dari Afrika, makin banyak yang memeluk Islam. Rasio warga muslim meningkat hingga 13 persen dari total penduduk Republik Trinidad dan Tobago. Selebihnya, 31 persen penduduk negara ini beragama Kristen, 27 persen beragama Protestan, 6 persen pemeluk agama Hindu dan 23 persen pemeluk keyakinan lainnya, " papar Madame Fatima.
Lalu, apakah keislamannya membawa dampak pada pekerjaannya sebagai salah satu pejabat di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim? Menjawab pertanyaan ini, Madame Fatima menjawab, "Islam mengajarkan kita untuk ikhlas dan efisien dalam menjalankan pekerjaan dan saya mempraktekkan ajaran Islam dengan tulus ..."
"Saya tidak berbohong, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi saya. Saya berusaha menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, semampu saya dan dengan kesadaran diri yang kuat. Jadi, dampak keislaman saya pada pekerjaan, tidak lain hanyalah semua pekerjaan saya berjalan baik dan penuh rahmat. Mantan perdana menteri bahkan menganjurkan saya untuk berkunjung ke Mesir, tempat sekolah Islam terkenal Al-Azhar dan salah satu pusat peradaban. Dia suka membicarakan Islam juga," ujar Madame Fatima.
Ia sungguh beruntung, karena perdana menteri yang sekarang menjabat, mengizinkannya berkunjung ke Mesir terkait tugasnya sebagai menteri pembangunan sosial dan pemerintahan lokal. "Perdana Menteri juga menganjurkan saya mengunjungi Al-Azhar dan Mahkamah Tinggi Agama Islam," imbuhnya.
Madame Fatima beberapa kali berpartisipasi dalam pemilu parlemen dan sukses. Ia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Ia menjadi teladan sebagai seorang muslim yang mampu menunjukkan kemampuannya di bidang politik.
"Hal penting yang harus Anda ketahui, Republik Trinidad dan Tobago memberikan hari libur resmi pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Komunitas Muslim bebas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, baik di rumah maupun di masjid-masjid," jelas Madame Fatima.
Sebagai bagian dari umat Islam, ia menyerukan dunia Islam untuk bersatu dibawah bendera Islam agar posisi dunia Islam dan kaum Muslimin menjadi kuat. "Allah Yang Mahabesar telah membimbing saya ke jalan Islam dan saya berdoa padaNya untuk membimbing umat Islam ke arah persaudaraan dan perdamaian, agar umat Islam menjadi masyarakat terbaik di masa kini, dan sudah menjadi inspirasi bagi umat manusia," tandas Madame Fatima. (ln/SP/eramuslim)
Saat ini Madame Fatima menjabat sebagai Menteri Pembangunan Sosial dan Pemerintah Lokal, Republik Trinidad dan Tobago, sebuah negara kepulauan di kawasan Laut Karibia bagian selatan. Pada majalah berbahasa Arab Men-bar-al-Islam di Kairo, ia menceritakan awal mula menemukan Islam dan bagaimana akhirnya ia menjadi seorang Muslimah.
"Saya membantah keras cerita yang mengatakan bahwa saya masuk Islam pada tahun 1975 dengan tidak mengakui ajaran Kristen. Sungguh, saya tidak bisa memahami dan menjelaskan apa yang saya alami. Saya akan mengajak Anda kembali ke tanggal 9 Maret 1950, hari yang sudah ditetapkan buat saya untuk masuk biara. Ketika saya bangun pagi di hari itu , saya merasa mendengar suara yang menyebutkan kalimat 'Allahu Akbar, Allahu Akbar', suara itu terngiang-ngiang di telinga saya dan membuat seluruh tubuh dan hati saya bergetar," kata menteri yang sebelum masuk Islam bernama Model Donafamik Davidson.
"Saya tidak begitu tahu, itu apa. Tapi hari itu saya menolak masuk ke biara. Setelah itu, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari petunjuk Tuhan, sampai akhirnya saya menemukan Al-Quran dengan terjemahannya. Lalu, dengan mudah saya menaruh kepercayaan pada terjemahan Al-Quran yang saya baca," sambungnya.
Secara kebetulan, Madame Fatima kemudian bertemu dengan seorang cendikiawan muslim asal Pakistan Maulana Siddiq dan ulama dari India Syaikh Ansari. Ia terlibat pembicaraan yang mendalam dengan kedua ulama itu, tentang budi pekerti dan apa yang dirasakan dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan detil yang diajukan Madame Fatima, hingga kedua ulama berseru, "Alhamdulillah, Anda seorang muslim ! Anda sekarang seorang muslim. Bacalah apa yang Anda sukai, masuklah ke masjid dan berdoa. Kami siap menerima Anda, kapanpun Anda merasa ingin belajar apapun."
Madame Fatima merasa gembira dengan respon kedua ulama tersebut. "Saya bahagia. Setelah hari itu, saya merasa hati saya dilimpahi dengan keimanan dan rasa cinta serta kebanggaan terhadap Nabi Muhammad Saw," ujarnya.
Meski demikian, Madame Fatima mengaku baru secara resmi memeluk Islam sekitar tahun 1975. "Sampai sekarang, sudah 36 tahun saya menjadi seorang muslim. Sejak saya mendengar suara misterius yang menggetarkan kalbu, dan lalu saya menolak masuk biara. Hati saya sudah memproklamirkan Allahu Akbar," tukasnya.
"Saya menjadi gadis pertama dari komunitas kulit berwarna yang masuk ke masjid. Dan ini mendorong banyak remaja muslimah untuk juga datang ke masjid-masjid untuk salat, khususnya ke Masjid Anjuman Jami' Sanatal yang didirikan oleh ulama besar Dr. Syaik Ansari di kota Francis di Trinidad. Masjid itu sekarang dipimpin oleh Al-Haj Shafiq Muhammad," tutur Madame Fatima.
Ia juga menceritakan bahwa warga di lingkungannya masih berpikir bahwa Islam adalah agama orang India, yang memiliki ajaran dari beragam kepercayaan dan agama. "Dalam perkembangannya, di kalangan warga pribumi, kebanyakan yang berasal dari Afrika, makin banyak yang memeluk Islam. Rasio warga muslim meningkat hingga 13 persen dari total penduduk Republik Trinidad dan Tobago. Selebihnya, 31 persen penduduk negara ini beragama Kristen, 27 persen beragama Protestan, 6 persen pemeluk agama Hindu dan 23 persen pemeluk keyakinan lainnya, " papar Madame Fatima.
Lalu, apakah keislamannya membawa dampak pada pekerjaannya sebagai salah satu pejabat di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim? Menjawab pertanyaan ini, Madame Fatima menjawab, "Islam mengajarkan kita untuk ikhlas dan efisien dalam menjalankan pekerjaan dan saya mempraktekkan ajaran Islam dengan tulus ..."
"Saya tidak berbohong, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi saya. Saya berusaha menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, semampu saya dan dengan kesadaran diri yang kuat. Jadi, dampak keislaman saya pada pekerjaan, tidak lain hanyalah semua pekerjaan saya berjalan baik dan penuh rahmat. Mantan perdana menteri bahkan menganjurkan saya untuk berkunjung ke Mesir, tempat sekolah Islam terkenal Al-Azhar dan salah satu pusat peradaban. Dia suka membicarakan Islam juga," ujar Madame Fatima.
Ia sungguh beruntung, karena perdana menteri yang sekarang menjabat, mengizinkannya berkunjung ke Mesir terkait tugasnya sebagai menteri pembangunan sosial dan pemerintahan lokal. "Perdana Menteri juga menganjurkan saya mengunjungi Al-Azhar dan Mahkamah Tinggi Agama Islam," imbuhnya.
Madame Fatima beberapa kali berpartisipasi dalam pemilu parlemen dan sukses. Ia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Ia menjadi teladan sebagai seorang muslim yang mampu menunjukkan kemampuannya di bidang politik.
"Hal penting yang harus Anda ketahui, Republik Trinidad dan Tobago memberikan hari libur resmi pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Komunitas Muslim bebas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, baik di rumah maupun di masjid-masjid," jelas Madame Fatima.
Sebagai bagian dari umat Islam, ia menyerukan dunia Islam untuk bersatu dibawah bendera Islam agar posisi dunia Islam dan kaum Muslimin menjadi kuat. "Allah Yang Mahabesar telah membimbing saya ke jalan Islam dan saya berdoa padaNya untuk membimbing umat Islam ke arah persaudaraan dan perdamaian, agar umat Islam menjadi masyarakat terbaik di masa kini, dan sudah menjadi inspirasi bagi umat manusia," tandas Madame Fatima. (ln/SP/eramuslim)
Akhir Dari Pencarian Ruben
Kisah pencarian Abu Bakar Ruben dimulai sejak ia berada di bangku kuliah. Saat itu ia ditimpa banyak masalah. Teman dekatnya meninggal karena kecanduan narkoba. Orangtuanya bercerai dan ia mengalami kesulitan keuangan.
"Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?" tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi katarsis bagi Ruben untuk melirik agama.
Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. "Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristen, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis," ungkap Ruben.
Agama pertama yang ia coba pelajari adalah Kristen. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. "Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung apa artinya," tutur Ruben.
"Mereka kemudian bilang bahwa Tuhan mencintai saya." Ruben keheranan. "Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan saya punya anjing dia tidak tidak mencintai saya," tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan tipe orang yang bisa diandalkan, meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.
Tak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. "Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata 'Oh jawabannya ini saudaraku' sambil beropini," tutur Ruben.
"Setiap kali mereka menjawab mereka beropini, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristen," katanya. Padahal, lanjutnya, itu belum termasuk perbedaan dalam gereja.
Antara satu pendeta dengan pendeta lain bisa memiliki intepretasi berbeda dan saling mengklaim satu sama lain. "Injil satu rasa tapi intepretasi bermacam dan setiap orang bisa melakukan, itu sangat membingungkan," ujarnya.
Berikutnya ia melakukan persentuhan dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut keyakinan tersebut saat bekerja paruh waktu. "Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah." Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. "Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logis dan sulit untuk dipahami."
Menginvestigasi lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. "Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi karena itu saya juga mencoba mencari tahu apa itu Yahudi,' tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.
Hingga suatu saat ia bertemu temanya yang beragama Kristen. "Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?" kata Ruben menirukan ucapan si teman. Ia menjawab semua, mulai Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang bisa menarik hatinya.
Si teman bertanya lagi, "Bagaimana dengan Islam?". Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemooh, "Apa, Islam? Buat apa saya mengivestigasi agama terorisme? Itu gila."
Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. "Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakan saya, yang jelas saya mengenakan sepatu, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu," tutur Ruben.
Begitu masuk masjid, Ruben merasa cemas. "Saya berpikir 'Aduh saya bakal mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang terlihat," tuturnya. Ketika itu seorang pria Timur Tengah berperawakan besar dengan cambang tebal mengenakan abaya mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.
Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. "Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu," kata Ruben.
Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur'an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.
"Itu benar-benar menghentak saya," kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut, mengapat menggunakan hijab, mengapa memiliki istri empat. "Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur'an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid," tutur Ruben.
"Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini," ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, "Saya ingin tahu tentang opini anda tentang ini, tentang aturan itu." Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, "Saya tidak mungkin dan tidak boleh beropini tentang Firman Tuhan".
"Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat," ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. "Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya."
Ia memandang Al Qur'an tak hanya benar tetapi juga logis dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur'an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang dibuahi hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.
"Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan," ujarnya. Butuh enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan pembenaran lain untuk menguatkan keputusannya. "Saya sudah siap melakukan lompatan besar, tapi ingin satu dorongan saja, tak perlu besar, kecil pun cukup," tuturnya.
Untuk itu ia bahkan melakukan dialog Tuhan. "Ayolah Allah satu saja," ujarnya menirukan ucapannya sendiri saat itu. Ia duduk diam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. "Terus terang sangat kecewa. 'Aduh Engkau melewatkan satu kesempatan'" ujar Ruben saat itu kepada Tuhan.
Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. "Aduh tolong jangan kecewakan aku lagi. Saya lagi-lagi sungguh kecewa." tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 16:12)
Membaca ayat itu Ruben tersadar. "Betapa arogannya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mau. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua," tutur Ruben.
Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. "Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid." Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.
Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Sangat belepotan, pemandu saya bilang 'Asyhadu' saya jawab "As, apa?" sampai berulang kali. Menggelikan." kenang Ruben.
Si pemandu menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan syahadat dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak bisa diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.
Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. "Saya merasa ringan," ujarnya. Ia mengira saat itu akan mendapat sambutan teriakan dan takbir 'Allahu Akbar' dari jamaah pria yang berada dalam masjid. "Tapi ternyata tidak, satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita," tutur Ruben berkelakar.
"Tapi itu peristiwa sangat berharga dan tidak bisa saya lupakan. Saya bahagia karena saat itu juga saya mendapat banyak saudara."
Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. "Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memanggul AK 47 dan memegang granat," selorohnya. "Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka (orangtua-red) melihat perubahan itu." tutur Ruben.
Penasaran, ayahnya pun ikut membaca Al Qur'an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. "Kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya dan bisa diminta tolong,'kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. "Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini."[Republika]
"Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?" tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi katarsis bagi Ruben untuk melirik agama.
Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. "Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristen, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis," ungkap Ruben.
Agama pertama yang ia coba pelajari adalah Kristen. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. "Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung apa artinya," tutur Ruben.
"Mereka kemudian bilang bahwa Tuhan mencintai saya." Ruben keheranan. "Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan saya punya anjing dia tidak tidak mencintai saya," tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan tipe orang yang bisa diandalkan, meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.
Tak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. "Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata 'Oh jawabannya ini saudaraku' sambil beropini," tutur Ruben.
"Setiap kali mereka menjawab mereka beropini, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristen," katanya. Padahal, lanjutnya, itu belum termasuk perbedaan dalam gereja.
Antara satu pendeta dengan pendeta lain bisa memiliki intepretasi berbeda dan saling mengklaim satu sama lain. "Injil satu rasa tapi intepretasi bermacam dan setiap orang bisa melakukan, itu sangat membingungkan," ujarnya.
Berikutnya ia melakukan persentuhan dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut keyakinan tersebut saat bekerja paruh waktu. "Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah." Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. "Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logis dan sulit untuk dipahami."
Menginvestigasi lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. "Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi karena itu saya juga mencoba mencari tahu apa itu Yahudi,' tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.
Hingga suatu saat ia bertemu temanya yang beragama Kristen. "Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?" kata Ruben menirukan ucapan si teman. Ia menjawab semua, mulai Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang bisa menarik hatinya.
Si teman bertanya lagi, "Bagaimana dengan Islam?". Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemooh, "Apa, Islam? Buat apa saya mengivestigasi agama terorisme? Itu gila."
Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. "Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakan saya, yang jelas saya mengenakan sepatu, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu," tutur Ruben.
Begitu masuk masjid, Ruben merasa cemas. "Saya berpikir 'Aduh saya bakal mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang terlihat," tuturnya. Ketika itu seorang pria Timur Tengah berperawakan besar dengan cambang tebal mengenakan abaya mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.
Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. "Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu," kata Ruben.
Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur'an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.
"Itu benar-benar menghentak saya," kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut, mengapat menggunakan hijab, mengapa memiliki istri empat. "Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur'an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid," tutur Ruben.
"Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini," ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, "Saya ingin tahu tentang opini anda tentang ini, tentang aturan itu." Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, "Saya tidak mungkin dan tidak boleh beropini tentang Firman Tuhan".
"Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat," ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. "Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya."
Ia memandang Al Qur'an tak hanya benar tetapi juga logis dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur'an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang dibuahi hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.
"Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan," ujarnya. Butuh enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan pembenaran lain untuk menguatkan keputusannya. "Saya sudah siap melakukan lompatan besar, tapi ingin satu dorongan saja, tak perlu besar, kecil pun cukup," tuturnya.
Untuk itu ia bahkan melakukan dialog Tuhan. "Ayolah Allah satu saja," ujarnya menirukan ucapannya sendiri saat itu. Ia duduk diam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. "Terus terang sangat kecewa. 'Aduh Engkau melewatkan satu kesempatan'" ujar Ruben saat itu kepada Tuhan.
Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. "Aduh tolong jangan kecewakan aku lagi. Saya lagi-lagi sungguh kecewa." tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 16:12)
Membaca ayat itu Ruben tersadar. "Betapa arogannya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mau. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua," tutur Ruben.
Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. "Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid." Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.
Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Sangat belepotan, pemandu saya bilang 'Asyhadu' saya jawab "As, apa?" sampai berulang kali. Menggelikan." kenang Ruben.
Si pemandu menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan syahadat dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak bisa diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.
Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. "Saya merasa ringan," ujarnya. Ia mengira saat itu akan mendapat sambutan teriakan dan takbir 'Allahu Akbar' dari jamaah pria yang berada dalam masjid. "Tapi ternyata tidak, satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita," tutur Ruben berkelakar.
"Tapi itu peristiwa sangat berharga dan tidak bisa saya lupakan. Saya bahagia karena saat itu juga saya mendapat banyak saudara."
Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. "Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memanggul AK 47 dan memegang granat," selorohnya. "Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka (orangtua-red) melihat perubahan itu." tutur Ruben.
Penasaran, ayahnya pun ikut membaca Al Qur'an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. "Kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya dan bisa diminta tolong,'kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. "Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini."[Republika]
Langganan:
Postingan (Atom)