Minggu, 02 Mei 2010

Berawal Error Komputer, Berakhir dalam Tauhid

Siapa sangka kesalahan komputer adalah jalan pembuka bagi banyak orang untuk memeluk Islam. Kini, ia menghadap sang khaliq dengan membawa tauhid

BOCOM, Aminah Assilmi, mungkin sebagian orang ada yang belum mengenalnya. Ia adalah Presiden Internasional Union of Muslim Women, organisasi yang mengukir banyak prestasi di bawah kepemimpinannya. Aminah Assilmi telah meninggalkan saudara-saudaranya seiman pada 6 Maret 2010, dalam sebuah kecelakaan mobil di Newport, Tennesse, Amerika Serikat.

Perjalanannya menuju Islam cukup unik. Semuanya berawal dari kesalahan kecil sebuah komputer.

Ia dulu adalah seorang gadis jemaat Southern Baptist--aliran gereja Protestan terbesar di AS, seorang feminis radikal dan jurnalis penyiaran. Ia adalah seorang gadis yang bukan biasa-biasa saja, unggul di sekolah, mendapatkan beasiswa, menjalankan usahanya sendiri, bersaing dengan para profesional dan meraih penghargaan. Semua itu diraihnya ketika masih di bangku kuliah.

Satu hari, sebuah kesalahan komputer terjadi. Siapa sangka, hal itu membawanya kepada misi sebagai seorang Kristen dan mengubah jalan hidupnya secara keseluruhan.

Tahun 1975 untuk pertama kali komputer dipergunakan untuk proses pra-registrasi di kampusnya. Sebelum berangkat ke Oklahoma City untuk urusan bisnis, ia mendaftar ikut sebuah kelas dalam bidang terapi rekreasional. Perjalananan pulangnya tertunda, sehingga ia terlambat masuk kelas dua pekan. Mengejar pelajaran yang tertinggal bukan masalah baginya. Yang mengejutkan adalah, komputer mendatanya masuk dalam kelas teater, di mana siswa harus melakukan pertujukan di depan kelas. Ia adalah seorang gadis yang pemalu, jadi sangat panik membayangkan harus beraksi di depan teman-temannya.

Kelas tidak bisa dibatalkan, karena sudah terlambat. Membatalkan kelas juga bukan pilihan, karena sebagai penerima beasiswa nilai F berarti bahaya. Suaminya menyarankan agar Aminah menghadap dosen untuk mencari alternatif dalam kelas pertunjukan. Yakin dengan janji dosen yang akan membantunya, ia pun datang mengikuti kelas selanjutnya.

Tapi betapa terkejutnya ia, karena kelas dipenuhi dengan anak-anak Arab dan 'para penunggang unta'. Tak sanggup, ia pun pulang ke rumah dan memutuskan untuk tidak masuk kelas lagi. Tidak mungkin baginya untuk berada di tengah-tengah orang Arab. "Tidak mungkin saya duduk di kelas yang penuh dengan orang kafir!"

Suaminya tenang seperti biasa. Menurutnya, tuhan mereka pasti punya suatu rencana. Terlebih ada beasiswa yang jadi taruhannya.

Dua hari Aminah mengurung diri untuk berpikir, hingga akhirnya ia berkesimpulan mungkin itu adalah petunjuk dari tuhan, agar ia membimbing orang-orang Arab untuk memeluk Kristen.

Jadilah ia memiliki misi yang harus ditunaikan. Di kelas ia terus mendiskusikan ajaran Kristen dengan teman-teman Arab-nya. "Saya memulai dengan mengatakan bahwa mereka akan dibakar di neraka jika tidak menerima Yesus sebagai penyelamat. Mereka sangat sopan, tapi tidak pindah agama. Kemudian saya jelaskan betapa Yesus mencintai dan rela mati di tiang salib untuk menghapus dosa-dosa mereka."

Mereka masih juga belum berpaling, jadi diputuskannya untuk melakukan hal lain. "Saya memutuskan membaca kitab mereka, untuk menunjukkan bahwa Islam agama yang salah dan Muhammad bukan seorang nabi."

Atas permintaannya, salah seorang di antara mereka memberikan Al-Quran dan sebuah buku tentang Islam. Aminah lantas melakukan penelitian selama satu setengah tahun. Ia membaca Quran hingga tamat beserta lima belas buku Islam lainnya. Selama itu dia membuat catatan dan keberatan atas beberapa hal, yang akan digunakannya untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang salah.

Namun secara tidak sadar, ia perlahan berubah menjadi seseorang yang berbeda, dan suaminya memperhatikan hal itu. "Saya berubah, sedikit, tapi cukup membuat dirinya terusik. Biasanya kami pergi ke bar tiap Jumat dan Sabtu atau ke pesta. Dan saya tidak lagi mau pergi. Saya menjadi lebih pendiam dan menjauh."

Melihat perubahan yang terjadi, suaminya menyangka ia selingkuh, karena "bagi pria itulah yang membuat seorang wanita berubah." Puncaknya, ia diminta untuk meninggalkan rumah dan tinggal di apartemen yang berbeda.

"Pertama kali saya mulai mempelajari Islam, saya tidak berharap menemukan sesuatu yang saya perlukan atau inginkan untuk mengubah kehidupan pribadi. Tidak saya ketahui bahwa Islam akan mengubah kehidupan saya. Tidak ada orang yang pernah bisa meyakinkan bahwa akhirnya saya akan merasa damai dan mendapat curahan kasih sayang dan kebahagiaan karena Islam."

Ia terus mempelajari Islam, sambil tetap menjadi seorang Kristen yang taat.

Satu hari ada yang mengetuk pintu. Seorang pria dengan 'pakaian tidur dan taplak meja kotak-kotak merah di kepala' berdiri hadapannya. Namanya Abdul-Aziz Al-Syeikh, ia ditemani tiga orang pria lain yang berpakaian serupa.

Ia merasa sangat terhina karena pria-pria muslim itu datang dengan mengenakan 'baju tidur'. Lebih terkejut lagi ketika Al-Syeikh bilang dirinya ingin masuk Islam. Dijawabnya bahwa ia adalah seorang wanita Kristen yang taat dan tidak berencana sama sekali untuk menjadi muslim. Meskipun demikian, ia ingin bertanya tentang beberapa hal.

Aminah mempersilakan mereka masuk. Ia bertanya dan membuat catatan. "Saya tidak akan pernah melupakan namanya," katanya, seraya menyatakan bahwa Abdul-Aziz ternyata seorang yang sangat sabar dan lemah lembut perilakunya.

"Ia sangat sabar dan mendiskusikan setiap pertanyaan dengan saya. Ia tidak pernah membuat saya merasa konyol atau menyatakan bahwa pertanyaan saya bodoh."

"Dia bilang bahwa Allah menyuruh kita untuk mencari ilmu dan bertanya adalah salah satu jalan untuk meraihnya. Ketika ia menjelaskan sesuatu, rasanya seperti menyaksikan sekuntum mawar mengembang, lembar demi lembar hingga merekah sempurna. Ketika saya katakan tidak setuju atas sesuatu beserta alasannya, ia selalu berkata bahwa saya benar dalam satu hal. Lantas ia mengajak saya mengorek lebih dalam dari berbagai perspektif sehingga benar-benar paham."

Akhirnya pada 21 Mei 1977, gadis jemaat gereja Southern Baptist ini menyatakan, "Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya."

Perjalanan setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, seperti halnya mualaf lain, bukanlah perkara yang mudah. Aminah kehilangan segala yang dicintainya. Ia kehilangan hampir seluruh temannya, karena dianggap 'tidak menyenangkan lagi'. Ibunya tidak bisa menerima dan berharap itu hanyalah semangat membara yang akan segera padam. Saudara perempuannya yang ahli jiwa mengira ia gila. Ayahnya yang lemah lembut mengokang senjata dan siap untuk membunuhnya.

Tak lama kemudian ia pun mengenakan hijab. Pada hari yang sama ia kehilangan pekerjaannya.

Lengkap sudah. Ia hidup tanpa ayah, ibu, saudara, teman dan pekerjaan.

Jika dulu ia hanya hidup terpisah dengan suami, kini perceraian di depan mata. Di pengadilan ia harus membuat keputusan pahit dalam hidupnya; melepaskan Islam dan tidak akan kehilangan hak asuh atas anaknya atau tetap memegang Islam dan harus meninggalkan anak-anak.

"Itu adalah 20 menit yang paling menyakitkan dalam hidup saya." Bertambah pedih karena dokter telah memvonisnya tidak akan lagi bisa memiliki anak akibat komplikasi yang dideritanya.

"Saya berdoa melebihi dari yang biasanya ... Saya tahu, tidak ada tempat yang lebih aman bagi anak-anak saya daripada berada di tangan Allah. Jika saya mengingkari-Nya, maka di masa depan tidak mungkin bagi saya menunjukkan kepada mereka betapa menakjubkannya berada dekat dengan Allah."

Ia memutuskan melepaskan anak-anaknya, sepasang putra-putri kecilnya.

Mungkin udara Colorado terlalu tipis untuk sebuah keadilan, atau mungkin Allah mempunyai rencana lain yang lebih besar. Aminah balik melawan, ia mengangkat kasusnya ke media. Meskipun ia tidak mendapatkan hak asuh atas anaknya kembali, tapi perubahan besar dalam hukum di Colorado terjadi. Seseorang tidak lagi bisa ditolak hak asuhnya dengan alasan agama yang dianutnya.

Sungguh Allah Maha Pengasih, ia diberikan anugerah untuk mengukir sejarah dalam Islam. Ke mana pun ia pergi, banyak orang tersentuh dengan kata-katanya yang indah dan perilaku Islami setelah dirinya memeluk Islam.

Setelah memeluk Islam, ia berubah menjadi seseorang yang berbeda, jauh lebih baik. Begitu baiknya sehingga keluarga, teman dan kerabat yang dulu memusuhinya, mulai menghargai tindak-tanduknya dan agama yang membuatnya berubah elok sedemikian rupa.

Dalam berbagai kesempatan ia mengirim kartu ucapan untuk mereka, yang ditulisi kalimat-kalimat bijak dari ayat Al-Quran atau hadist, tanpa menyebutkan sumbernya. Beberapa waktu kemudian ia pun menuai benih yang ditanam.

Orang pertama yang menerima Islam adalah neneknya yang berusia lebih dari 100 tahun. Tak lama setelah masuk Islam sang nenek pun meninggal dunia.

"Pada hari ia mengucapkan syahadat, seluruh dosanya diampuni, dan amal-amal baiknya tetap dicatat. Sejenak setelah memeluk Islam ia meninggal dunia, saya tahu buku catatan amalnya berat di sisi kebaikan. Itu membuat saya dipenuhi suka cita!"

Selanjutnya yang menerima Islam adalah orang yang dulu ingin membunuhnya, ayah. Keislaman sang ayah mengingatkan dirinya pada kisah Umar bin Khattab.

Dua tahun setelah Aminah memeluk Islam, ibunya menelepon dan sangat menghargai keyakinannya yang baru. Dan ia berharap Aminah akan tetap memeluknya.

Beberapa tahun kemudian ibu meneleponnya lagi dan bertanya apa yang harus dilakukan seseorang jika ingin menjadi Muslim. Aminah menjawab bahwa ia harus percaya bahwa hanya ada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya.

"Kalau itu semua orang bodoh juga tahu. Tapi apa yang harus dilakukannya?" tanya ibunya lagi.

Dikatakan oleh Aminah, bahwa jika ibunya sudah percaya berarti ia sudah Muslim.

Ibunya lantas berkata, "OK .... baiklah. Tapi jangan bilang-bilang ayahmu dulu."

Ibunya tidak tahu bahwa suaminya (ayah tiri Aminah) telah menjadi muslim beberapa pekan sebelumnya. Dengan demikian mereka tinggal bersama selama beberapa tahun tanpa saling mengetahui bahwa pasangannya telah memeluk Islam.

Saudara perempuannya yang dulu berjuang memasukkan Aminah ke rumah sakit jiwa, akhirnya memeluk Islam.

Putra Aminah beranjak dewasa. Memasuki usia 21 tahun ia menelepon sang ibu dan berkata ingin menjadi muslim.

Enam belas tahun setelah perceraian, mantan suaminya juga memeluk Islam. Katanya, selama enam belas tahun ia mengamati Aminah dan ingin agar putri mereka memeluk agama yang sama seperti ibunya. Pria itu datang menemui dan meminta maaf atas apa yang pernah dilakukannya. Ia adalah pria yang sangat baik dan Aminah telah memaafkannya sejak dulu.

Mungkin hadiah terbesar baginya adalah apa yang ia terima selanjutnya. Aminah menikah dengan orang lain, dan meskipun dokter telah menyatakan ia tidak bisa punya anak lagi, Allah ternyata menganugerahinya seorang putra yang rupawan.

Jika Allah berkehendak memberikan rahmat kepada seseorang, maka siapa yang bisa mencegahnya? Maka putranya ia beri nama Barakah.

Ia yang dulu kehilangan pekerjaan, kini menjadi Presiden Persatuan Wanita Muslim Internasional. Ia berhasil melobi Kantor Pos Amerika Serikat untuk membuat perangko Idul Fitri dan berjuang agar hari raya itu menjadi hari libur nasional AS.

Pengorbanan yang dulu diberikan Aminah demi mempertahankan Islam seakan sudah terbalas.

"Kita semua pasti mati. Saya yakin bahwa kepedihan yang saya alami mengandung berkah."

Aminah pernah bercerita tentang seorang temannya penderita kanker yang meninggal pada pada usia 20-an, Kareem Al-Misawee. "Tak lama sebelum ia wafat, ia mengatakan kepada saya bahwa Allah benar-benar Maha Penyayang. Ia dalam penderitaan yang luar bisa dan memancarkan cinta Allah. Dia bilang, 'Allah berkehendak agar saya memasuki surga dengan buku catatan yang bersih'. Kematiannya membuat saya merenung. Ia mengajarkan saya tentang kasih sayang dan ampunan Allah."

Dan kini, Aminah Assilmi menyusul orang-orang yang dicintainya serta meninggalkan semua yang dikasihinya. Termasuk putranya yang dirawat di rumah sakit, akibat kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang dari New York untuk mengabarkan pesan tentang Islam. Selamat jalan Aminah.(Hidayatullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar