''Tuhan itu siapa dan seperti apa sih , Ma? Tuhan kita siapa? Apa bedanya Tuhan dengan Allah?'' Pertanyaan kritis itu meluncur begitu saja dari mulut seorang bocah berusia enam tahun, Aria Desti Kristiana. Semua pertanyaan bocah perempuan ini hanya dijawab dengan satu kalimat, ''Tuhan itu yang kita sembah,'' ujar sang bunda seraya menunjuk kepada sesosok patung laki-laki di kayu salib yang berada di altar gereja.
Tentu saja, jawaban mamanya itu membuat gadis cilik ini tak puas. Bukannya berhenti dengan jawaban itu, malah sebaliknya ia semakin berusaha mencari jawaban yang bisa mengantarkannya pada kebenaran hakikat Tuhan sebagai pencipta.
Bahkan, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. ''Katanya Tuhan itu yang menciptakan kita. Lalu, bagaimana sebuah patung yang tidak bisa bergerak dan disalib bisa menciptakan semua yang ada di dunia ini,'' ujar Desti sapaan akrabnya yang kini berusia 18 tahun saat ditemui Republika akhir pekan lalu di Jakarta.
Pertanyaan lainnya yang kerap muncul dalam benaknya adalah ''Mengapa Tuhan yang mesti disembah harus disalib? Kenapa Tuhan harus dirupakan dalam sebuah patung? Bukankah patung itu tidak memberi manfaat?'' Pertanyaan ini tak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan dirinya.
Meski dilahirkan dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga pemeluk Kristiani yang taat, untuk urusan pendidikan, kedua orang tua Desti tak pernah mengarahkan gadis kelahiran Jakarta, 9 Desember 1991 ini ke sekolah khusus pemeluk Kristen. Oleh kedua orang tuanya, Desti justru disekolahkan di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) umum.
Ketika bersekolah inilah untuk pertama kalinya Desti bersentuhan dengan agama Islam. ''Karena aku bersekolah di sekolah umum, jadi pendidikan agama yang diperoleh justru pelajaran agama Islam. Itu aku dapatkan pada saat di TK dan SD,'' paparnya.
Saat duduk di bangku TK, kata dia, oleh gurunya ia sudah dibiasakan untuk mengucapkan kata Bismillah sebelum makan. Begitu juga, dalam menyebut nama Tuhan dengan sebutan Allah SWT. Dari sini, mulai muncul kebingungan dalam dirinya mengenai konsep ajaran agama dan ketuhanan yang ia anut selama ini. ''Saat itu, aku bingung kenapa beda sekali antara ajaran agama saya (dulu) dengan yang diajarkan oleh guru di TK,'' ungkapnya.
Menurut Desti, kedua orang tuanya menganut agama Kristen, namun berasal dari beberapa aliran. Ada yang Pantekosta, Kharismatik (ibu), Katholik (nenek), dan Protestan (bapak). Perbedaan ini semakin membuatnya bingung. Apalagi, ketika ia mendapatkan pendidikan agama Islam di TK dan SD, yang hanya fokus menyebut Tuhan dengan sebutan Allah SWT.
Karena itu, ia makin tertarik dengan ajaran agama yang diajarkan oleh guru di sekolahnya. Ketika duduk di bangku SD, ia mulai mempelajari lebih jauh mengenai ajaran Islam. Tidak hanya di sekolah, keinginan untuk mempelajari ajaran Islam juga ia lakukan dengan cara mengikuti pengajian di daerah tempat tinggalnya.
Berikrar syahadat
Suatu ketika, salah seorang guru mengajinya bertanya kepada Desti, apa benar ia ingin ikut mengaji. Pertanyaan tersebut dijawabnya dengan satu kata, ''Ya.'' Kemudian, oleh sang guru, Desti dan teman-temannya diminta untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Peristiwa tersebut terjadi saat ia baru menginjak bangku kelas satu SD. Dan, sejak saat itulah anak pertama dari dua bersaudara ini berkomitmen untuk meninggalkan semua ajaran agama lamanya, Kristen Pantekosta, untuk kemudian menjalankan ajaran Islam.
''Memang prosesnya tidak seperti orang Kristen lainnya yang masuk Islam. Karena, bisa dibilang baca kalimat syahadatnya tidak secara resmi,'' ungkapnya. Dari situ, kemudian ia mulai belajar mengenai cara shalat dengan mengikuti gerakan teman-temannya. Tidak hanya shalat, ia juga mulai belajar untuk berpuasa ketika sudah duduk di bangku kelas 3 SD.
Kendati sudah memeluk Islam, setiap akhir pekan, Desti tetap datang ke gereja dan mengikuti kegiatan sekolah minggu. Hal tersebut, kata dia, karena adanya paksaan dari kedua orang tuanya. Tidak hanya memaksa dia untuk ikut kebaktian di gereja, tetapi kedua orang tuanya juga kerap memarahi serta melarang dirinya untuk melaksanakan shalat dan pergi mengaji ke masjid. Sikap kedua orang tuanya ini hanya bisa ia tanggapi dengan cara menangis.
''Tetapi, untuk urusan puasa, alhamdulillah mereka mau ngebangunin aku untuk sahur. Dan, kebetulan nenekku yang beragama Kristen Katolik kadang menjalankan puasa setiap Senin dan Kamis,'' tambah Desti.Baru ketika ia naik ke jenjang kelas 5 SD, kedua orang tuanya mulai bisa menerima keislamannya. Kedua orang tuanya tidak pernah lagi memaksanya untuk pergi ke gereja setiap akhir pekan serta tidak lagi melarang dirinya untuk melaksanakan shalat dan mengaji.
Meski demikian, pertentangan masih kerap mewarnai hubungan Desti dengan kedua orang tuanya. Pertentangan tersebut, menurutnya, muncul manakala dirinya melakukan suatu kesalahan.''Misalnya, kalau saya berbuat kesalahan, mereka selalu menyinggung-nyinggung soal agama Islam. Karena saya tipe orang yang tidak mau menerima begitu saja dan watak yang keras, saya katakan ke mereka apa bedanya pada saat saya ketika masih memeluk agama yang lama,'' sindirnya.
Tak hanya dari orang tuanya, menurut Desti, pertentangan serupa juga kerap ia dapatkan dari pihak keluarganya yang lain, seperti nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya. Kendati demikian, ia tetap menjaga hubungan kekeluargaan dengan sanak saudaranya ini. ''Pada saat Natal, aku tetap ikut ngumpul . Tapi, tidak ikut mengucapkan.''
Namun, ia bersyukur karena masih memiliki seorang adik perempuan, Friday Veronica Florencia, yang bersama-sama dengannya memutuskan untuk memeluk agama Islam di usia kanak-kanak. Di samping juga, teman-teman sepermainannya yang kebanyakan beragama Islam.
Beasiswa gereja
Keinginan orang tuanya untuk mengembalikannya ke agama yang lama, masih terus dilakukan hingga Desti memasuki jenjang SMA. Pada saat ia memutuskan untuk mengenakan jilbab ketika duduk di bangku kelas satu SMA, sang bunda meresponsnya dengan mengatakan bahwa jilbab itu tidak penting dan diwajibkan.
Begitu juga, ketika selepas lulus SMA, ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Saat mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ia ditawari beasiswa dari gereja oleh kedua orang tuanya. Tawaran beasiswa tersebut kemudian ia tolak. ''Beasiswanya ini bukan hanya untuk jenjang S1, tetapi sampai ke jenjang apa pun yang saya mau. Namun, dengan syarat saya harus mau mengabdi di gereja itu,'' ungkapnya.
Untuk memperkokoh keimanan dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam, Desti aktif dalam kegiatan Rohis (Rohani Islam--Red) yang ada di lingkungan tempat ia bersekolah. ''Alhamdulillah semua rintangan tersebut bisa dilalui dengan baik,'' ujar mahasiswi semester dua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ini.
Kini, di usianya yang ke-18, Desti merasa menjadi orang yang paling beruntung. Walaupun dijuluki sebagai anak 'hilang' oleh keluarga, Desti merasakan kebahagiaan yang tiada tara karena Allah SWT sudah memberikan hidayah kepadanya hingga hari ini untuk menjalankan semua itu.
Meski mengakui kadang kala masih suka lalai dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, ia berharap ke depannya bisa menjalankan semua perintah Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Ia juga berharap kelak hidayah yang ia dan sang adik peroleh juga akan didapatkan oleh kedua orang tuanya.''Saya ingin sekali mereka bisa melihat mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena menurut saya, saat ini mereka bukan berada di jalan yang benar,'' ujarnya. dia
Biodata
Nama : Aria Desti Kristiana
TTL : Jakarta, 9 Desember 1991
Masuk Islam : Sejak Kelas 1 SD (Tahun 1997)
Aktivitas :
- Kuliah pada Jurusan Bahasa & Sastra Arab di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) semester II
- Aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan
http://www.republika.co.id/node/41137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar