Namanya Yuri. Gadis berwajah Asia ini dulunya adalah penganut Katolik sejak lahir. Melalui beberapa kali diskusi, ia akhirnya kembali ke fitrah, memeluk Islam.
Ketika hadir pertama kali di Islamic Forum for non Muslims di Islamic Center of New York, gadis ini nampak lugu dan pemalu. Dia hanya diam, mengamati dan sesekali menganggukkan kepala. Senyumnya pun jarang terlihat. Mungkin karena pernah mendengar bahwa senyuman wanita di tempat umum bisa dianggap tidak etis. Yuri, itulah nama yang disebutkan di saat ditanya tentang namanya. “my parents are very strong Catholics” katanya suatu saat. “My father is Venezuelan, but my mother is an Irish origin”. Mungkin campuran itulah yang menjadikan Yuri lebih mirip gadis Asia.
Datang kedua kalinya, Yuri kini lebih agresif. Beberapa pertanyaan yangt diajukan sangat tajam dan mengena. Suatu kali dia menanyakan “if Muslims believe in Jesus and the Gospel, why don’t you guys accept him (Jesus) as Christians do”. Ketika saya jawab bahwa mengimaninya harus sesuai dengan Al-Qur’an dan bukan dengan apa yang disebutkan di Bible, dia berargumentasi “That for me means, you don’t really believe in the Bible that you claim”.
Dari pertemuan ke pertemuan, alhamdulillah, Yuri nampak serius dan banyak mengalami perubahan. Saya masih ingat, ketika pertama kali datang Yuri seperti tidak serius dan seolah acuh dengan ceramah yang disampaikan. Hingga suatu ketika, bersamaan dengan hari Paskah di kota New York, saya membahas kembali mengenai Isa A.S. Diskusi yang memakan waktu lebih 3 jam mengenai Isa itu ternyata awal perubahan drastis yang dialami oleh Yuri. Sejak itu, kerap kali meminta untuk direkomendasikan buku-buku yang dianggap “reliable” untuk dibaca.
Dua bulan terakhir Yuri nampak semakin bersemangat. Bahkan tidak jarang kini menyampaikan keragu-raguannya terhadap apa yang selama ini dia sebut sebagai “my father’s inheritance” (warisan ayah). Walhasil, seringkali dia sendiri mempertanyakan konsep-konsep dasar agama Katolik. Sebagai misal, suatu ketika ada pertanyaan dari seorang peserta tentang “Dosa asal dan karakter dasar manusia”. Menurutnya, secara umum manuswia itu cenderung untuk jahat. Kalau saja tidak ada “hukum” maka manusia akan lebih jahat dari binatang buas di hutan-hutan. Maka, dosa asal itu memang ada dan terbukti dari prilaku manusia.
Yuri yang sebenarnya pendiam itu segera menjawab: “What? I don’t think any rational human beings will accept that concept. From any human senses, that is simply irrational” katanya tegas tanpa penjelasan lebih jauh.
Saya seperti biasa, di saat diskusi sudah menghangat tinggal mengarahkan saja. Seolah moderator diskusi yang mengarahkan arah diskusi ke tujuan yang dinginkan. Tidak jarang memang diskusi-diskusi di kelas ini, khususnya jika telah menyentuh masalah-masalah teologis, menjadi panas. Tidak jarang pula, diskusi-diskusi panas inilah menjadi awal pijakan “introspeksi” bagi para peserta.
Yuri, yang hingga kini belum sempat saya tanyakan nama lengkapnya, sejak itu pula nampak seperti seorang Muslimah yang setiap saat siap membela berbagai miskonsepsi mengenai Islam. Saya masih ingat, seorang peserta lain mempertanyakan konsep kemurnian tauhid dalam Islam. Menurutnya, orang-orang Islam itu jika shalat dan tidak menghadap Mekah tidak diterima shalatnya. Menurutnya lagi, bangunan yang ada di Mekah (Ka’bah) itu dianggap oleh kaum Muslim sebagai sesuatu yang dihormati. “Isn’t it a kind of polytheism?” tanyanya.
Tiba-tiba saja Yuri yang pemalu itu mengangkat tangan dan mengatakan: “Don’t you know that Muslims do not worship any object beside God? That is a symbol of direction to God but Muslims do not worship it at all” jelasnya.
Demikianlah hari-hari Yuri bersama the Islamic Forum di Islamic Center of New York. Hingga pada awal bulan Mei ini, di mana bersamaan dengan persiapan “Matrimonial Match Makin” yang akan dilaksanakan di Jamaica Muslim Center dua minggu silam, saya mendedikasikan sebulan penuh (Mei) membicarakan mengenai “Perkawinan dalam Islam” dari berbagai sudut. Yuri yang masih belia itu ternyata punya perhatian besar terhadap keluarga dan konsep pernikahan itu. Sampai pada akhirnya, minggu kedua dari diskusi tentang nikah itu dia mengatakan “This is the most interesting to me. I was kind of confused about how will it be as a Muslim to marry”.
Alhamdulillah, tepat Sabtu keempat bulan Mei lalu, nampak Yuri tenang tapi sesekali memperlihatkan wajah yang sepertinya gusar. Diskusi yang biasanya memakan waktu sekitar 3 jam itu ternyata molor hingga 4 jam karena memang masalah yang didiskusikan adalah hak dan kewajiban suai isteri. Ternyata bagi kebanyakan peserta hal ini menarik karena asumsi mereka isteri selalu tunduk dan patuh kepada suami. Sebaliknya suami selalu berada pada posisi yang superior. Ternyata apa yang mereka dapat adalah sebaliknya, di mana Islam menempatkan suami dan isteri pada posisi yang “sederajat” sesuai kodrat masing-masing pihak.
Tapi yang paling menarik adalah konsep “poligami” versus pergaulan bebas di Amerika. Sedemikian serunya pembahasan ini hingga beberapa kali pihak security datang karena menyangka ada pertengkaran. Alhamdulillah, pada akhirnya semua pihak dapat memahami bagaimana sesungguhnya kedudukan poligami dalam Islam.
Yuri yang hari itu agak diam, hanya sesekali tersenyum jika mendengar argumentasi yang lucu. Hingga pada akhirnya kelas berakhir dan semua meninggalkan. Saya biasanya tidak langsung meninggalkan kelas, selain membenahi buku-buku rujukan, juga terkadang ada beberapa murid yang perlu konsultasi secara individu.
Tidak beberapa lama setelah kelas bubar, Yuri dengan nampak berlinang airmata dan malu-malu masuk kembali ditemani 3 orang temannya. Ketiganya adalah muallaf yang masuk Islam beberapa waktu lalu. Saya langsung tanya “what’s happening?” Teman-teman itu hampir serentak menjawab “she is ready, Imam Shamsi”. Saya tidak sadar tentang Yuri dan kembali bertanya “ready for what?”. Yuri yang kini duduk sambil mengusap airmata mengatakan “I can not delay this any more. I want to be a Muslim right now!” katanya mantap.
Saya pun memulai dengan kembali mengingatkan Yuri ketika pertama kali datang ke kelas. Bagaimana dia pemalu, nampak lugu, dan kelihatannya nampak sangat belia. Mendengar itu, Yuri hanya tersenyum sambil mengusap air mata.
Saya kemudian memulai menuntun Yuri bersyahadah: “Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah- wa-ash hadu anna Muhammadan Rasul Allah”. Dengan airmata berlinang diiringi pekik takbir teman-teman yang ada, Yuri secara resmi kembali ke pangkuan fitrah asalnya.
Saya hanya berpesan kepada Yuri bahwa “in fact this is the beginning of your journey. Be prepared and willing to sacrifice in the way to pursue the pleasure of your Creator”.
May Allah bless and strengthen you, Yuri!
New York, May 31, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar