Kamis, 01 April 2010

Aku Tinggalkan Anak-anakku Demi Islam

Meski pedih, ia hancurkan rasa cinta kepada dua putranya tersayang, karena Kavita lebih memilih cintanya kepada Islam

Namaku dulu adalah Kavita, dan nama panggilanku Poonam. Setelah memeluk Islam, aku bernama Nur Fatima. Usiaku 30-an tahun. Tapi aku merasa baru berumur lima tahun, karena pengetahuanku tentang Islam tidak melebihi pengetahuan anak usia 5 tahun.

Aku dulu bersekolah di Mumbai, di sebuah sekolah yang cukup besar khusus untuk anak-anak dari keluarga bangsawan. Kemudian aku melanjutkan pendidikan ke Universitas Cambridge. Setelah menyelesaikan program master, aku mengambil banyak kursus komputer.

Aku menyesal, banyak gelar duniawi yang sudah diraih, tapi aku belum melakukan apapun untuk kehidupan akhirat. Sekarang aku ingin melakukan sesuatu untuk akhiratku.

Lingkungan tempat aku dibesarkan, adalah lingkungan Hindu ekstrimis yang sangat membenci Islam. Keluargaku bagian dari dari organisasi Hindu garis keras, Shiv Sena.

Aku menikah di Mumbai, dan memiliki dua orang putra. Bersama suami dan anak-anak, kami kemudian pindah ke Bahrain.

Aku memeluk Islam setelah menikah, tapi aku sudah tidak meyukai menyembah dewa-dewa pujaanku sejak aku beranjak dewasa. Aku ingat, suatu hari aku membuang sesembahanku ke kamar mandi. Ketika ibu menegur aku, kukatakan padanya bahwa benda-benda itu tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Jadi mengapa kita meminta berkah dari mereka, menyembah mereka. Apa yang bisa mereka berikan kepada kita?

Ada sebuah ritual di keluarga kami, jika seorang gadis sudah menikah, maka ia membasuh kaki suaminya, lalu meminum air basuhannya. Tapi aku menolak melakukan hal itu sejak hari pertama menikah. Karena itu aku dimarahi habis-habisan.

Ketika masih sendiri aku pernah mengikuti sekolah pendidikan guru, dan aku suka mengendarai mobil sendirian. Aku kadang mengunjungi sebuah Islamic Center terdekat. Di sana, aku mendengarkan pembicaraan orang, dan akhirnya mengetahui bahwa orang Islam tidak menyembah dewa.

Mereka tidak mencari karunia dari seseorang yang lain. Mereka tidak punya Baghawan. Aku suka cara pandang mereka. Pada akhirnya aku mengetahui, yang mereka sembah ternyata adalah Allah, Yang Mengurus segala sesuatu.

Aku terkesan sekali dengan shalat. Awalnya aku tidak tahu itu adalah cara orang Islam berdoa. Yang aku tahu orang Islam sering melakukannya. Dulu kusangka itu semacam olahraga. Aku baru mengetahui gerakan itu dinamakan shalat ketika mulai mengunjungi Islamic Center.

Aku sering bermimpi setiap kali tidur. Aku melihat ada sebuah ruangan persegi empat. Mimpi itu selalu mengganggu tidurku dan membuat aku terbangun dalam keadaan berkeringat. Ruangan yang sama selalu muncul dalam mimpi ketika aku tidur kembali.

Setelah menikah aku pindah ke Bahrain, tempat yang membantu aku memahami Islam dengan lebih baik. Karena itu adalah sebuah negara Muslim, maka aku dikelilingi oleh tetangga Muslim. Aku berteman dengan seorang Muslimah. Ia jarang mengunjungiku, tapi aku sering mengunjunginya.

Suatu hari ia melarang aku mengunjungi rumahnya, karena waktu itu bulan Ramadhan, bulan untuk beribadah. “Ibadahku terganggu karena kamu berkunjung ke rumah,” begitu katanya.

Aku sangat ingin tahu tentang ibadah ritual yang dilakukan orang Islam. Oleh karena itu aku memintanya untuk tidak melarangku berkunjung ke rumahnya. Aku berkata, “Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku hanya akan melihat apa yang kamu lakukan. Aku tidak akan berkata apapun, dan hanya akan mendengar apa yang kamu baca.” Maka ia pun tidak melarangku berkunjung ke rumahnya.

Ketika aku melihatnya sedang beribadah, aku tertarik untuk menirukannya. Kemudian aku bertanya padanya tentang “gerak badan” itu. Ia memberitahu, itu namanya shalat. Dan buku yang selalu ia baca, adalah kitab suci Al-Quran.

Aku berharap bisa melakukan semua yang ia lakukan. Aku pulang ke rumah dan mengunci diri dalam kamar. Aku meniru semua apa yang dilakukan temanku secara diam-diam, meskipun aku tidak tahu banyak mengenai hal itu.

Suatu hari aku lupa mengunci kamar dan melakukan shalat, ketika itu suamiku masuk. Ia bertanya, apa yang aku lakukan. Aku bilang, “Aku melakukan shalat.” Ia pun berkata, “Apakah kamu masih waras? Kamu tahu apa yang kamu katakan?”

Awalnya aku ragu. Mataku terpejam dan ketakutan. Tapi tiba-tiba, aku merasa ada sebuah kekuatan besar dalam diriku, yang membuat aku berani untuk menghadapi situasi saat itu. Aku berkata bahwa aku sudah memeluk agama Islam, dan karena itu aku melakukan shalat.

Suamiku berseru, “Apa?! Apa kamu bilang? Coba kamu katakan sekali lagi?” Aku mengulangi ucapanku, sambil memberi tekanan, “Ya! Aku masuk Islam.” Mendengar hal itu ia langsung memukuli aku.

Kakakku mendengar suara ribut-ribut dan mendatangi kami. Ia berusaha menyelamatkan aku. Tapi, ketika suamiku menceritakan semuanya, ia pun maju dan ikut memukuli aku.

Aku berusaha menghentikannya dengan berkata, “Kamu tidak perlu ikut campur. Aku tahu apa yang baik dan apa yang buruk buatku. Aku telah memilih jalanku.”

Mendengar perkataanku itu, suamiku semakin naik pitam. Ia menyiksaku sedemikian rupa hingga aku tidak sadarkan diri.

Ketika itu semua terjadi, kedua putraku berada di rumah. Saat itu putra pertamaku berusia 9 tahun dan adiknya 8 tahun.

Tapi setelah peristiwa itu, aku tidak diperbolehkan bertemu siapapun. Aku dikurung dalam sebuah ruangan. Meskipun sebenarnya belum benar-benar memeluk Islam, tapi aku selalu mengatakan bahwa aku telah masuk Islam.

Suatu malam, ketika aku masih dikurung, putra sulungku datang dan menangis dalam pelukanku. Aku bertanya, kemana anggota keluarga yang lain. Ia bilang mereka semua pergi mengunjungi sebuah acara. Tak ada seorang pun di rumah. (Malam itu ada sebuah festival keagamaan).

Putraku minta agar aku kabur dari rumah, karena keluargaku akan membunuhku. Aku katakan padanya, bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi. Mereka tidak akan menyakiti aku. Dan kukatakan pada putraku, agar ia menjaga dirinya sendiri dan juga adiknya.

Tapi ia terus memaksa dan memohon agar aku meninggalkan rumah. Aku berusaha membuatnya mengerti, jika aku pergi maka aku tidak bisa bertemu dirinya dan adiknya. Namun ia menjawab, aku akan bisa menemui mereka jika aku masih hidup. “Pergilah mama, mereka akan membunuhmu,” katanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Aku tak bisa melupakan peristiwa itu, ketika putra pertamaku membangunkan adiknya dan berkata, “Bangunlah. Mama akan pergi meninggalkan rumah. Temuilah ia sekarang, karena kita tidak tahu apakah kita akan berjumpa lagi dengannya atau tidak.”

Itu pertama kali si bungsu melihatku setelah kami tak jumpa sekian lama. Ia mengusap-usap matanya ketika melihatku. Ketika aku mendekatinya, ia pun memelukku dan menangis tersedu-sedu. Anak-anak mungkin sudah mengetahui semuanya. Ia hanya berkata, “Mama akan pergi?” Aku hanya mengangguk, dan meyakinkannya jika kami akan bertemu lagi.

Aku merasa meremukkan cinta seorang ibu dengan kakiku. Di satu tangan aku menggenggam cinta anak-anakku, dan di tangan lain aku menggenggam cintaku pada Islam yang akan menggantikannya. Aku merintih dan memeluk erat anak-anakku. Aku berusaha menghancurkan cintaku pada mereka.

Luka-lukaku masih segar, aku tidak bisa berjalan. Namun aku berusaha untuk melakukannya.

Kedua putraku menyaksikan kepergianku malam itu, di malam yang gelap dan dingin. Mereka melambaikan tangan sambil menangis di pintu gerbang.

Aku tidak bisa melupakan saat-saat itu. Setiap kali aku mengingatnya, aku teringat orang-orang yang telah meninggalkan rumah dan keluarga mereka demi untuk Islam.

Setelah meninggalkan rumah, aku langsung menuju ke kantor polisi. Masalahku saat itu, mereka tidak mengerti bahasaku. Untungnya, seorang di antara mereka bisa berbahasa Inggris.

Saat itu aku sulit bernapas dan tidak bisa bicara karena gemetaran. Aku memintanya agar mengizinkanku beristirahat sampai aku bisa memulihkan keadaanku.

Tak lama kemudian aku pun pulih. Aku katakan padanya kalau aku meninggalkan rumah dan ingin memeluk Islam. Aku ragu-ragu untuk menceritakan semua kejadian yang sebenarnya. Namun polisi itu berusaha menenangkanku dan berkata bahwa ia seorang Muslim, ia akan membantuku semaksimal mungkin. Kemudian aku diajak pulang ke rumahnya dan diberi tempat menginap di sana.

Pagi harinya, suamiku mendatangi kantor polisi meminta bantuan. Ia mengatakan bahwa istrinya telah diculik. Tapi kemudian dikatakan kepadanya bahwa istrinya tidak diculik. Istrinya datang sendiri ke kantor polisi. Karena ia ingin memeluk Islam, maka suaminya tidak lagi memiliki hubungan dengannya karena berbeda agama. Jadi istrinya tidak boleh pergi dengannya.

Suamiku memaksa, dan mulai mengancam. Tapi aku sendiri menolak untuk pergi bersamanya. Aku mengatakan bahwa ia boleh mengambil semua perhiasanku, tabungan, dan rumah milikku. Tapi aku tidak akan pergi dengannya.

Awalnya ia tidak menyerah. Namun, karena melihat kegigihanku menolaknya, ia pun minta dibuatkan pernyataan tertulis bahwa ia mendapatkan semua harta bendaku.

Polisi yang menolongku berkata bahwa sekarang keluargaku tidak bisa menyakitiku lagi, dan aku bisa memeluk Islam. Aku berterima kasih padanya, lalu pergi ke rumah sakit, karena seluruh badanku penuh dengan luka.

Aku tinggal beberapa hari di rumah sakit. Suatu hari seorang dokter bertanya, “Dari mana asalmu? Tidak ada seorang anggota keluarga pun yang datang menjengukmu ke rumah sakit.” Aku diam, tidak menjawab. Sebab aku meninggalkan rumah karena mencari satu hal. Dan sekarang aku tidak memiliki rumah atau keluarga. Yang aku miliki hanya Islam.

Polisi Muslim yang menolongku, ia memanggilku sebagai seorang saudara perempuan. Dan ketika aku berada di rumahnya, ia memperlakukanku seperti saudara kandungnya. Ia telah memberiku tempat berteduh di malam yang dingin, ketika aku kehilangan seluruh keluargaku. Aku tidak akan pernah melupakan jasanya.

Dan ketika aku berada di rumah sakit, aku bingung. Apa selanjutnya yang harus aku lakukan? Kemana aku harus mencari tempat berlindung yang aman.

Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung pergi ke Islamic Center. Saat itu tidak ada seorang pun, hanya ada seorang bapak tua yang sepertinya tinggal di sana. Aku menemuinya, dan kukatakan maksud kedatanganku. Sejenak ia merasa ragu, lalu berkata, “Nak, sari ini bukanlah pakaian seorang Muslimah. Pergi dan pakailah kerudung, tutupilah dirimu sebagaimana orang Muslim.”

Aku mempunyai sisa uang yang kubawa ketika meninggalkan kantor polisi. Kubeli seperangkat pakaian dengan uang itu, lalu kembali ke Islamic Center.

Pak tua itu mengajariku cara berwudhu. Setelah aku berwudhu, ia membawaku ke sebuah ruangan. Ketika memasuki ruangan itu, aku melihat sebuah gambar tergantung di dinding. Aku terdiam, karena aku melihat ruangan seperti yang ada dalam mimpiku. Seketika aku berseru, “Ini yang sering aku lihat dalam mimpiku. Yang selalu mengganggu tidurku.”

Pak tua tersenyum, ia berkata bahwa itu adalah rumah Allah. Muslim dari seluruh penjuru dunia datang ke rumah itu untuk melakukan haji dan umrah. Namanya Baitullah. Aku terkejut mengetahuinya. Aku pun bertanya, “Apakah Allah tinggal di sebuah rumah?” Ia menjawab, pertanyaan-pertanyaanku dengan senyum dan penuh perhatian. Sepertinya ia tahu banyak tentang Islam.

Aku tidak mengalami kesulitan berbicara dengannya. Ia menjelaskan setiap hal dalam bahasa ibuku. Aku merasakan kebahagiaan yang aneh saat itu.

Ia membimbingku mengucapkan syahadat. Kemudian menjelaskan tentang Muslim dan Islam. Setelah itu aku merasa tidak takut dan juga tidak ada beban dalam pikiranku. Aku merasa diriku sangat cerah. Rasanya seperti berenang di tempat kotor, lalu pindah ke dalam air yang jernih.

Pengelola Islamic Center itu mengangkatku sebagai anak, dan membawaku pulang ke rumahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikahkah aku dengan seorang Muslim. Keinginan pertamaku saat itu adalah melihat rumah Allah. Lalu aku pun pergi melakukan umrah.

Setelah aku memeluk Islam, aku tidak pernah kembali ke India, dan aku pun tidak ingin pergi ke sana. Keluargaku mempunyai hubungan dengan organisasi-organisasi politik dan Hindu di sana. Mereka bahkan telah menawarkan sejumlah uang untuk kepalaku.

Dulu aku diberitahu bahwa mujahidin adalah orang-orang yang suka menindas. Dan mereka sering melakukan penindasan melewati batas. Kami dibuat agar membenci mujahidin. Tapi sekarang aku telah mendapatkan kebenaran, dan aku mencintai mereka. Kuucapkan doa untuk mujahidin dalam setiap shalatku.

Aku juga berdoa kepada Allah, jika Ia mengaruniaiku dengan anak-anak laki-laki, aku akan sangat bahagia jika melihat mereka ada dalam barisan para mujahid. Aku akan mempersembahkan mereka untuk kejayaan Islam. Insya Allah.[di/iw/www.hidayatullah.com]

http://www.gaulislam.com/aku-tinggalkan-anak-anakku-demi-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar