Kalau Anda bermukim di sekitar Jalan Fatmawati dan Cipete, pasti sudah mengenal Martabak Cahaya Super Bandung. Salah satu jajanan kuliner yang direkomendasikan beberapa blogger ini memang termasuk ramai dipadati pengunjung.
Kalau dilihat sekilas, martabak Cahaya Super Bandung tidak berbeda dengan martabak Bandung lainnya. Tapi yang membuat pengunjung ketagihan, adalah kulitnya yang garing dan renyah. Isinya yang berupa daging pun cukup banyak untuk ukuran martabak seharga Rp. 24.000 hingga Rp. 30.000 ini.
Layaknya para pebisnis lain, Jimmy Irawan Pangestu (62) memulai bisnisnya dari nol. Bedanya, ia benar-benar harus membangun usahanya ini seorang diri, bahkan tanpa restu orangtua sekalipun. Pasalnya, di usia 16 tahun Jimmy kabur dari rumah untuk menjadi seorang muallaf.
Sekarang Kakek dari empat cucu ini sudah dapat bernapas lega, karena jerih payahnya terbayar sudah. Usaha restoran dan martabaknya saat ini telah mampu memberi ia dan kelima anaknya, kehidupan yang cukup mapan.
Tak Ingin Jadi Gembel
"Kalau masuk Islam siap-siap jadi gembel, lho," begitulah yang diucapkan keluarga dan kakak-kakanya ketika Jimmy menyatakan ketertarikannya untuk masuk Islam. Terlahir di keluarga penganut Katolik, tentu tak mudah bagi mereka untuk menerima ketertarikan pemuda belia ini.
Pada halohalo.co.id, Jimmy mengaku tertarik untuk masuk Islam setelah mendengar kumandang adzan. "Saya juga tergugah dengan teman saya, karena meski bengal, ia tidak pernah melupakan shalat," kenangnya.
Meski ditentang keluarga, tapi tekadnya untuk menjadi muallaf sudah bulat. Jimmy bahkan rela kabur ke Jakarta meninggalkan rumah dan sekolahnya di Bandung, meski harus menjadi gembel dan merasakan kerasnya kehidupan di jalanan.
Selama masa 'pelariannya', Jimmy menyimpan tekad kuat untuk membuktikan pada keluarganya bahwa ia tak akan menjadi gembel. Karena itulah, ia pun bersedia diajak tinggal di pesantren di daerah Lebak, Banten, oleh temannya.
"Saya hampir jadi gembel di Jakarta, karena itu saya ikut 'mondok' saat diajak teman," kata pria kelahiran 1946 ini. Selesai mengenyam pendidikan di pesantren selama empat tahun, Jimmy kembali ke Jakarta dan kos di daerah Jembatan Lima.
"Tapi saya bayar kos cuma tiga bulan, selebihnya enggak bayar," tukasnya, tersenyum. Kok bisa? Tentu saja, sebab ia menikahi anak gadis si pemilik kos yang tertarik padanya. Meski menikah di usia terbilang muda, 23 tahun, Jimmy berusaha menghidupi istrinya dengan menjadi supir taksi selama tiga tahun.
Selain itu, ia pun sempat berbisnis jual beli motor dan mobil yang dirintis secara perlahan. Bahkan ia sempat memiliki sebuah show room mobil di daerah Pecenongan, Jakarta Pusat.
Bisnis Makanan Berbekal Resep
Saat Indonesia mengalami devaluasi di tahun 80-an, di mana pengguntingan mata uang membuat perekonomian Indonesia sempat kacau. Jimmy mulai berpikir untuk beralih ke bisnis lain, yang sekiranya lebih menguntungkan dibanding bisnis otomatif.
"Waktu itu baru terlintas di benak saya untuk banting setir ke usaha makanan," tukasnya. Ia pun ingat kembali pada seorang pengusaha restoran yang memberinya kartu nama dan petuah kalau bisnis yang menguntungkan, adalah bisnis makanan. "Karena kondisi sesusah apapun, manusia tetap butuh makan," tambahnya.
Maka datanglah Jimmy ke pengusaha yang ternyata pemilik restoran Cahaya Kota, yang sudah tak mengenali lagi Jimmy. Maklum saja, ia memberikan kartunya sekitar sepuluh tahun lalu.
"Sebetulnya dia lupa siapa saya, tapi ketika saya cerita dia lalu ingat dan baru 'ngeh'," tukas Jimmy. Hasilnya, ia pulang berbekal resep dari pengusaha tersebut.
Tapi resep itu tidak serta merta memberinya laba, sebab butuh dua tahun bagi Jimmy untuk mendalami usahanya. Mulai dari memilih lokasi, menyewa tempat, menyiapkan alat-alat, serta pegawai. Sebab selain martabak, ia pun membuka restoran.
Di tahun 1989, akhirnya Jimmy membuka usaha restoran dan Martabak yang diberi nama Cahaya Super Bandung yang mengambil lokasi di jalan Fatmawati yang saat itu harga sewa tanahnya masih Rp. 7,5 juta per tahun. "Sekarang sewanya seharga Rp. 65 juta setahun," akunya.
Ketika dibuka pertama kali, Jimmy baru mampu mempekerjakan tak lebih dari tujuh pegawai. "Buat di martabak dua orang, sedang di restoran lima orang: tukang masak, tukang potong, dua orang yang melayani tamu, dan tukang cuci satu orang," jelasnya.
Mensyukuri Anugerah
Kini nama Martabak Cahaya Super Bandung yang Jimmy bangun dengan modal Rp. 7,5 juta ini, sudah banyak dikenal masyarakat, bahkan menjadi salah satu tempat yang direkomendasikan pecinta jajanan.
Wajar bila kini Jimmy sudah bisa bernapas lega, sebab omset hariannya saja sudah bisa mencapai Rp. 2 juta. Bahkan khusus di hari-hari libur dan puasa yang cukup ramai, keuntungan yang bisa ia raup sebanyak Rp. 8 juta!
Tapi yang namanya berdagang, tentu ada ramai dan sepi. Tak terkecuali usaha yang dilakukan Jimmy. Tapi ia mengaku selalu bersyukur, meski dagangannya tengah sepi sekalipun.
"Rejeki itu anugerah Allah, sekecil apapun tetap anugerah. Makanya saya selalu bersyukur dengan apa yang bisa saya raih saat ini," paparnya.
Sebagai seorang muallaf, keimanan Jimmy justru makin menebal seiring dengan keinginannya untuk terus membuktikan diri ini. Bahkan saat istrinya masih hidup, ia rela tinggal berjauhan. Istri dan kelima anaknya bermukim di Bandung, sedang ia menjalankan restoran di Jakarta.
"Saya sendiri pulang ke Bandung biasanya sekali atau dua kali sebulan," akunya.
Sayangnya tujuh tahun yang lalu, tepatnya saat usia perkawinan Jimmy berusia 32 tahun, istrinya dipanggil menghadap Sang Kuasa. Padahal, saat itu anak-anaknya - Fran Setiawan, Nurjana, Nurmaya, Fredi dan Nurva - masih kecil-kecil.
Agar sang ayah tidak merasa kesepian, kini putra-putrinya yang tinggal di Bandung sudah meminta Jimmy untuk kembali menikah. Apalagi saat ini kelimanya sudah beranjak dewasa.
"Katanya biar bapak ada yang mengurus. Saya sih mau saja, cuma belum menemukan calon yang tepat," imbuh pria yang Desember mendatang akan menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci ini, sambil tersenyum.
halohalo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar