Minggu, 01 November 2009

Steve A Johnson, mantan pendeta, warga Amerika Serikat

Steve A Johnson kecil memiliki hobbi duduk-duduk dibawah pohon besar di belakang ladang orang tuanya di Amerika Serikat sambil menatap mega. Tanpa disadarinya pemandangan indah yang selalu membuat dirinya takjub ini meninggalkan bekas yang mendalam di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Tuhanlah yang menciptakannya karena orang tuanya memang mengajarkannya demikian. Ketakjuban ini membuat dirinya berjanji kepada diri sendiri bahwa ia akan selalu memuja-Nya. Tampaknya janji inilah yang selanjutnya membuat dirinya senantiasa dalam pengembaraan rohani selama 20 tahun terakhir.

Steve memang tidak seperti teman-teman kecilnya yang lebih suka bermain dan bersenda gurau dari pada berpikir dan belajar. Bahkan ketika suatu ketika ia mengalami kecelakaan dan harus diopname di sebuah rumah sakit, patung Yesus Kristus disalib yang terpampang di dinding membuatnya merasa betapa besar pengorbanan-Nya demi membela penderitaan manusia. Padahal ketika itu ia sendiri sedang luka parah.

Hari-hari selanjutnya, Steve makin terobsesi ingin menjadi pendakwah agar seluruh manusia mau memuja-Nya. Iapun memutuskan menjadi pendeta walaupun ia merasa bahwa untuk tidak menikah adalah hal yang berat. Namun apa arti semua ini dibanding penderitaan-Nya, begitu pikirnya. Rasa kemanusiaan Steve makin lama makin tinggi hingga akhirnya ia memohon kepada pihak geraja agar mengizinkannya mengambil kuliah kedokteran.

Sejak itu Stevepun bergelut dengan berbagai ilmu kedokteran seperti anatomi, biologi, kimia, mikrobiologi dan sebagainya. Akibatnya ia kehilangan waktu untuk mempelajari filsafat maupun teologi. Meskipun begitu setiap hari ia memaksakan dirinya untuk bisa berdoa walaupun hanya sekedarnya. Namun makin hari ia makin merasa tertekan dan mulai merasa bahwa keimanannya berkurang. Sementara ia juga mulai menyadari bahwa ia tidak menyukai ilmu kedokteran. Maka Stevepun mulai terbiasa minum minuman beralkohol dan menenggak obat-obatan. Ia merasa agamanya tidak sanggup membantunya menenangkan hatinya.

Akhirnya Steve menyerah. Ia berkata jujur kepada gereja bahwa ilmu kedokteran tidak cocok baginya. Yang ia inginkan ialah belajar filsafat dan teologi. Dua tahun berikutnya kemudian dihabiskannya untuk berdakwah mengajarkan doktrin Kristen bahwa semua manusia adalah Tuhan dan bahwa semua manusia menanggung dosa begitu mereka dilahirkan. Ia terus berjuang agar dirinya menjadi seorang yang pasrah sementara minuman dan obat-obatan tetap menemaninya dengan setia.

Tahun berikutnya gereja mengirimnya ke Roma untuk belajar teologi sesuai keinginannya. Ia beberapa kali berpindah universitas karena merasa tidak cocok. Roma. Lovain hingga Toronto dijajalnya. Namun ia tidak kunjung terpuaskan padahal berbagai penghargaan dan beasiswa diterimanya. Ironisnya, hatinya justru semakin terasa hampa. Konflik batin menyerangnya. Ia sungguh merasa sulit mengimani apa yang seharusnya diyakininya. Padahal ia adalah seorang pendeta yang telah sangat mendalami ilmunya. Namun demikian ia berusaha keras untuk terus tekun berdoa agar keimanannya tidak goyah.

Suatu hari secara tidak sengaja Steve berkenalan dengan seorang anak muda asal Abu Dhabi bernama Ismail Hassan Said. Ia seorang Muslim. Karena sering berjumpa, akhirnya mereka bersahabat bahkan tinggal sepemondokan. Steve memperhatikan bahwa setiap datang waktu shalat Ismail selalu segera shalat. Ismail tidak pernah membicarakan agamanya kecuali bila Steve menanyakannya. Hal ini rupanya malah membuat Steve penasaran.

Iapun segera mencari tahu tentang ajaran Islam dengan mengikuti kajian-kajian yang diadakan masjid di kota dimana ia tinggal. Namun puncaknya adalah ketika Ismail memberinya buku terjemahan hadis Qudsi. Dalam pengakuannya ia bercerita bahwa ia seolah-olah dibenturkan oleh bongkahan besar es hingga membuat sekujur tubuhnya menggigil sampai ke kedalaman sukmanya akibat keindahan dan kekuatan sesuatu yang dicari dan dirindukannya selama hayatnya.

” Sejak detik itu aku tidak kuasa makan dan tidur. Kata-kata dalam hadis itu terus berdengung dan berdentam dalam rongga kepalaku”, akunya.

Tanpa dapat dibendung lebih lama lagi, Steve akhirnya segera menuju masjid dan mengikrarkan keislamannya. ” Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”. Perlahan kepalanya berhenti berdengung, kebekuan jiwanya meleleh dan sukmanya terasa damai. Steve merasakan kebahagiaan yang sulit diuraikan dengan kata-kata, kebahagiaan yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang dunia dapat berikan. Selanjutnya Steve benar-benar merasakan keindahan shalat dan persaudaraan Islam hingga suatu ketika ia kembali merasakan benturan hebat.

Steve difitnah bahwa ia adalah seorang mata-mata gereja yang menyusup kedalam masjid. Akibatnya iapun dijauhi dan dimusuhi saudara-saudara seimannya yang baru. Sebaliknya beberapa teman dan saudara barunya tersebut malah memanfaatkan namanya untuk mencari sensasi murahan demi sejumlah uang. Kesedihannya makin diperparah lagi dengan adanya vonis dokter bahwa ia menderita kanker ganas yang belum ada obatnya. Dokter menganjurkannya untuk banyak beristirahat dan tidak berpikir yang terlalu berat. Steve benar-benar terpukul atas kejadian beruntun yang menimpanya tersebut. ” Sanggupkah aku menjalani sisa hidup ini dengan menjadi seorang Muslim ?”, tanyanya sedih.

Dalam keadaan seperti itulah tiba-tiba ingatan Steve kembali kepada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika itu ia sedang berada di sebuah biara yang terletak di pegunungan Pensylvania. Teman-temannya sesama pendeta telah lelap tertidur. Dengan mengenakkan jubah hitamnya, Steve memasuki gereja dan dengan khusuk ia berkata lirih : ” Tuhan, aku tak tahu kemana harus berpaling. Aku mengasihi-Mu. Aku ingin mengabdikan hidupku untuk-Mu tetapi bagaimana? Bagaimana? Anugerahilah aku kedamaian-Mu, tunjukkanlah aku ke jalan-Mu”.

Steve tersentak. Rupanya inilah jawaban permintaannya 7 tahun lalu. ” Terima-kasih, Ya Allah ya Tuhanku. Telah Kau tunjukkan jalan itu. Terima kasih atas kesabaran dan kasih-sayang-Mu dalam membimbingku menuju kebenaran yang hakiki ini”, bisiknya terisak. Dipeluknya Qurannya erat-erat. Islam adalah anugerah dari-Nya yang takkan pernah dilepasnya untuk selamanya. Ingatannya melayang kepada masa kanak-kanaknya dimana ia dulu sering menatap mega dengan penuh kekaguman. Rupanya fitrah itu telah ada jauh dalam hati sanubarinya sejak puluhan tahun yang lalu namun fitrah tersebut harus dicarinya dengan penuh perjuangan.

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda : “Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang-tuanyalah yang membuat anak manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Jakarta, 27/5/2009.

Vien AM.

Sumber : ” Santri-santri Bule ” oleh Prof. DR.Deddy Mulyana, MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar