Senin, 01 Juni 2009

Christian Gustav, Hidayah pada Secarik Kertas

Iqra...iqra...iqra... Begitu bunyi suara membisiki telinganya dalam mimpi. Bisikan misterius itu mengingatkannya pada kisah Nabi saat mendapat wahyu pertama di Gua Hira. Christian Gustav tidak menganggap mimpinya sekadar kembang tidur yang melenakan. Itulah awal dirinya menangkap cahaya Islam. Dan secarik kertas bertuliskan 'Islam agama hakiki', kian menguatkan tekadnya memilih Islam sebagai panduan hidupnya.

Ya Allah..
Tak bisa bibirku berkata
Hanya hati memuji namaMu
Pancaran jiwa
Terangi hidup yang lama hampa
Kalimat syahadat kugenggam

Dzikrullah dan shalawat riuh dalam senandung
Seiring tetes air mata
Jatuh hapuskan kekafiranku
20 November silam
empat tahun kini
Jiwa ragaku berselimut Muslim
Songsong hari jelang hidupku yang baru
Di sini, aku berharap sebuah akhir yang baik
Dari awal yang tak terkira.

Demikian puisi yang tergores dalam diary Christian Gustav yang berjudul 'Muslim', Di rumah kontrakan, menjelang zuhur itu, lelaki bermata sipit kelahiran 5 Januari 1982 ini mencurahkan kisahnya kepada Amanah tentang awal perjalanan hidupnya yang baru: memeluk agama Islam. Ditemani mamanya, Chris - panggilan akrabnya - dengan suara bergetar bercerita banyak tentang masa-masa sulitnya menghadapi ujian dan cobaan hidup.

Chris yang punya nama hijrah Muhammad Faaiz Hidayatullah, selain memiliki bakat menulis puisi, juga gemar berdeklamasi. Beberapa kali ia memenangkan lomba membaca puisi di berbagai event di Jakarta. Bakatnya menulis puisi sudah muncul sejak ia duduk di kelas IV SD. Beberapa karyanya sempat dimuat di majalah anak-anak Bobo. Ikuti penuturannya berikut ini.

Saya lahir dan dibesarkan oleh orangtua dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat Dari SD hingga SMP, saya mengecap pendidikan di sekolah Katolik. Hanya di SMEA saja, saya sekolah umum yang sebagian besar siswa dan gurunya beragama Islam. Di situ, saya mulai mengenal Islam dan teman-teman maupun dari sebagian guru. Selain beiajar, kebetulan saya Christian Gustav bersama mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, termasuk aktif di teater.

Sejak itu saya mulai mencintai dunia puisi. Entah bagaimana, hati saya tertarik pada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah ini yang disebut hidayah atau bukan. Yang pasti, ada sesuatu yang mendorong saya untuk mencoba menggali dan mengenai Islam lebih dekat lagi.

Waktu saya kelas II SMEA Tridaya, Jakarta Timur, pada suatu malam saya bermimpi pulang dari gereja, lalu masuk kamar. Di kamar, saya melihat sebuah Al Qur'an terletak di atas meja. Mulanya saya bertanya-tanya, ini kitab apa. Rasa ingin tahu mendorong saya membuka-buka isi kitab tersebut. Setelah saya lihat bacaannya, ternyata berbeda dengan kitab suci yang biasa saya baca.

Anehnya lagi, dalam mimpi itu saya mendengar suara entah dari mana datangnya, seperti hendak menuntun saya untuk membacanya. 'Sudah, baca saja'. Meski saya katakan, 'Saya tidak bisa baca,' suara misterius itu terus mendesak saya untuk membacanya. Setelah dituntun, akhirnya saya pun membacanya. Pokoknya, saya seperti qari atau orang yang sedang mengaji, yang melantunkan ayat-ayat suci dengan lagunya. Padahal, jujur, jangankan membaca, apalagi melantunkannya dengan lagu, mengenai huruf Arab saja, saya tidak mampu.

Begitu saya terbangun, saya tersadar bahwa itu hanya mimpi. Tapi mimpi yang bukan sembarang mimpi. Mimpi itu telah membuat sekujur tubuh saya berkeringat dingin, membuat hati saya cemas, tak nyaman, jadi pikiran dan selalu bertanya-tanya dalam batin. Hingga akhirnya saya berdoa dengan cara agama yang saya anut. Dalam hati saya berkata, kalau memang ini panggilan suci, saya siap mengikutinya.

Keesokan harinya, saya curhat habis pada guru agama di sekolah. Lucunya, guru yang pertama kali saya curhat adalah guru agama Islam, yaitu Pak Masduki, baru kemudian guru agama Katotik. Pak Masduki sendiri sebetulnya tahu, bahwa saya menganut agama Katolik. Kedua guru itu begitu tulus mendengar segala kisah mimpi saya yang mencemaskan dan mendebarkan tersebut. Tapi masing-masing guru agama itu memberikan penjelasan yang berbeda. Saya pun jadi makin bingung.

Suatu ketika, saat saya hendak keluar kelas untuk mengikuti pelajaran agama Katolik di kelas lain, saya merogoh laci meja - tempat saya menaruh tas - dengan maksud memeriksa apakah ada barang saya yang tertinggal. Tanpa sengaja saya menemukan secarik kertas (seperti sobekan), bertulisan Arab berikut terjemahannya; "Hanya Islamlah agama yang diridhoi Allah."

Saat itu pikiran saya makin cemas campur kalut. Degup jantung saya terasa makin kencang. Saya bertanya-tanya dalam hati, gerangan apa di balik ini semua. Inikah skenario Tuhan untuk menuntun saya kepada sebuah jalan kebenaran? Sobekan kertas 'misterius' itu membuat saya panasaran untuk mencari tahu tentang Islam.

Siang itu, saya kembali menemui Pak Masduki, seraya menceritakan apa yang baru saya alami. Pak Masduki bilang, "Chris, mungkin itu sudah panggilan. Bisa jadi itu hidayah. Tapi, itu terserah kamu. Untuk masuk Islam itu tidak ada paksaan. Apakah kamu tetap bertahan atau melepaskan akidah Katolik kamu, semua tergantung kamu. Jadi kamu sendiri yang memutuskannya."

Pada tanggal 20 November 1999, saat saya duduk di kelas III, tanpa ragu-ragu lagi saya resmi memeluk Islam. Pak Masduki sendiri yang membimbing saya mengucapkan kalimat syahadat, di masjid dekat sekolah. Teman-teman sekolah dan sebagian guru hadir menyaksikan saya men]adi seorang Muslim.

Saat itu saya tak kuasa menahan haru. Terlebih saat Pak Masduki memeluk saya, disusul oleh teman-teman yang lain. Jujur, tak pernah saya merasakan suasana seindah dan sebahagia ini. Dalam pelukan Pak Masduki dan teman-teman sekolah, air mata saya meleleh membasahi pipi. Usai syahadat, perasaan saya betul-betul plong. Ada sebuah kekuatan baru mengisi relung-relung kehidupan saya.

Mama Lebih Dulu

Sebelum Chris resmi memeluk Islam, ternyata mamanya lebih dulu sudah menjadi Muslimah empat tahun sebelumnya (1996). Selama itu mamanya tetap memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memeluk agama yang mereka yakini. Mamanya tidak ingin memaksakan anak-anaknya mengikuti langkahnya. Oleh karena itu hubungan antara sang mama dan anak-anaknya yang beragama Katolik tetap baik.

Menurut Chris, sebelum mamanya masuk Islam, orang-tuanya sudah bercerai. Chris bersama dua saudaranya ikut mamanya sedangkan tiga saudaranya yang lain ikut papa. Sekalipun berpisah, papanya tetap mengunjungi anak-anaknya yang diasuh oleh mama.

Chris tak menyangkal adanya peran mamanya membuat dia tertarik pada Islam. "Ketertarikan saya pada Islam juga saya rasakan bila memperhatikan mama sedang shalat. Wajah mama terlihat bersih dan bersinar, seperti ada pancaran cahaya yang merasuk di sekujur tubuhnya," akunya.

Secara diam-diam ia suka membuka-buka bacaan mamanya , tentang Islam. Ada beberapa buku Islam milik mamanya yang tersimpan di rak buku. Buku yang pertama kali dibacanya adalah Iqra. Selain itu, ia juga membaca buku Ahmad Deedat berjudul Mengungkap tentang Bibel (Versi Islam & Kristen). "Mama sendiri tidak tahu bahwa saya sebenarnya sedang mempelajari Islam, walau dengan sembunyi-sembunyi," tambahnya.

Dari kebiasaan dan hobinya membaca sejak kecil, ia terdorong melahap buku apa saja, termasuk mempelajari pelbagai agama. Akhirnya ia kian intensif mempelajari Islam lewat bacaan dan bertanya pada orang yang mengerti tentang Islam.

"Yang membuat tekad saya semakin mantap untuk memeluk I Islam, adalah ketika saya membaca dan mengkaji Al Qur'an Surat Al Ikhlas. Saya merasa kandungan ayat-ayat ini lebih rasional," katanya.

Saat ini, adik-adik Chris sudah menjadi Muslim, tinggal kakak sulungnya yang masih Katolik.

Menjual Kue Keliling

Betapa berat ujian yang dihadapi Chris dan mamanya memilih jalan hidupnya. Semula Chris hidup dengan ekonomi yang berkecukupan. Boleh dibilang berada, Terlebih papanya adalah seorang interior designer rumah tangga. Tapi sejak papanya mengalami musibah kecelakaan (tahun 1992), keadaan ekonomi keluarga dirasakan sangat sulit. Mari kita ikuti penuturan Chris selanjutnya:

Sejak Mama bercerai dengan papa, boleh dibilang membuat saya dan adik-adik saya hidup prihatin. Dulu ekonomi papa kuat. Bahkan keluarga papa banyak yang kaya. Saat masih jaya-jayanya, semua kebutuhan bisa terbeli bahkan saya sempat kuliah beberapa semester.

Sekarang saya, mama dan dua adik saya ngontrak di daerah Bekasi. Sedangkan sehari-hari mama membuat kue dan menjualnya ke warung-warung terdekat Demi tuntutan hidup, saya sendiri ikut membantu mama membuatkan kue.

Lingkungan tempat tinggal kami dikenal Islamnya kuat. Saat mama menjajakan kue keliling kampung, tak seorang pun yang menyentuh apalagi membeli kue buatan mama. Mereka enggan membeli karena mengira kue buatan mama bercampur barang haram. Maklum kami keturunan Cina. Saya bisa memahami, mereka belum tahu bahwa kami sudah Muslim.

Untunglah ada seorang yang baik hati membantu kami. KH Muhammad Saimin, yang dihormati masyarakat Ia membeli seluruh kue jajaan mama, lalu bersama istrinya membagi-bagikannya kepada orang kampung, sambil memberi informasi bahwa kami sudah menjadi Muslim. "Kue ini halal," kata Pak Saimin. Setelah itulah warga mulai mau membeli kue-kue mama.

Kini, saya tak bisa meneruskan kuliah lagi. Mau tak mau saya hanya mengandalkan ijazah SMEA (jurusan Akuntansi) untuk melamar kerja. Saya ingin sekali membantu mama dan adik-adik saya. Tapi, setiap kali saya melamar selalu ditolak karena fisik saya kurang sempurna. Saya merasakan diskriminasi dalam kehidupan saya.

Pernah saya menemui seorang di bagian personalia suatu perusahaan. Saat dia melihat kondisi fisik saya, dia langsung berkata. "Maaf, fisik kamu begini, jadi nggak bisa diterima."

Kata-kata itu saya rasakan seperti petir di siang bolong. Saya tak bias melupakan itu. Sampai kini saya masih merasakan minder karena fisik yang tidak sempurna. Tapi saya yakin Allah akan memberi jalan keluar yang terbaik untuk saya. Insya Allah.

Sementara ini, selain membantu mama membuat kue, setiap hari minggu saya diminta sekolah almameter saya untuk mengajar eks-school teater. Pernah saya aktif di sebuah 'Sanggar Bina Kharisma' pimpinan Karim Usman, mengumpulkan dan mengajari anak-anak jalanan membaca dan menulis.

Doakan saya dapat pekerjaan, untuk mengurangi beban hidup mama dan adik-adik saya. (amanahonline)


http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=421_0_4_0_C

1 komentar: