Saya lahir di Jakarta, 17 Juni 1970. Saya dibesarkan di lingkungan penganut Katolik. Sejak kecil, saya diperkenalkan dengan ajaran agama itu. Saya pun sekolah di SD Katolik. Namun, saat duduk di bangku sekolah lanjut pertama {SMP), saya mulai bergaul dengan teman-teman yang beragama Islam. Mereka sangat baik dan toleran. Sikap mereka ini membuat saya dekat dengan mereka.
Secara perlahan-perlahan, saya memperhatikan ajaran agama dan tata cara ibadah mereka. Sepertinya ada perasaan yang menarik saya untuk terus mengikuti ajaran agama yang mereka anut. Dengan sengaja saya ikut pelajaran mereka. Teman-teman saya yang beragama Islam tidak keberatan. Bahkan, mereka senang. Lambat laun saya mulai meninggalkan pelajaran agama Kristen yang diberikan setiap hari Jumat. Entah mengapa itu bisa terjadi. Dan, saya begitu senang mengikuti pelajaran agama Islam.
Saya masih mengikuti pelajaran agama Islam sampai saya duduk di kelas dua SMP. Ketika pelajaran itu, saya oleh guru disuruh membaca surah dalam Al-Qur'an. Saya bingung. Saya terdiam. Guru itu terus menyuruh saya membaca ayat suci itu. Sambil terputus-putus karena saya diajari oleh teman di balik kaca-saya mencoba membaca ayat suci itu.
"Kamu tidak bisa baca Al-Qur'an, Lina?" tanya guru agama. Saya diam. Akhirnya, guru itu tahu mengapa saya membaca terputus-putus. Guru itu segera menegur teman yang mengajari saya. "Kamu ngapain di situ?" tegur pak guru. Teman saya menjawab bahwa dia sedang membantu saya membaca Al-Qur'an.
"Memangnya Lina tidak mengaji?" tanya pak guru lagi. "Tidak," jawab saya spontan. Kemudian, guru itu pun bertanya apa agama saya yang sebenarnya. Saya menjawab, Katolik. Guru itu heran mengapa saya ikut pelajaran agarna Islam, sedangkan saya beragam Katolik.
Saya segera menyadari bahwa saya belum Islam. Tapi saya begitu senang mengikuti pelajaran itu. Saya mohon agar saya tetap diizinkan mengikuti pelajaran agama Islam. Lambat laun pengetahuan saya tentang Islam makin dalam. Artinya, saya mulai meninggalkan ajaran agama saya sendiri. Saya malas mengikuti pelajaran agama Kristen setiap hari Jumat.
Untuk dapat mengikuti pelajaran agama Islam, saya minta kepada teman saya untuk membantu mengajarkan saya mengaji Al-Qur'an. Mereka sangat senang. Dengan agak malu, saya mulai belajar dari dasar atau dari alif-ba-ta. Saya menangis, sudah sebesar ini baru belajar alif-alifan. Namun, saya sadar bahwa ini adalah permulaan bagi saya untuk menggapai Islam.
Bukan belajar mengaji saja yang saya lakukan, tetapi saya juga belajar tata cara ibadah, berwudhu, dan shalat. Teman-teman saya terus mengajari, walaupun saya tidak tahu makna dari ibadah itu. Saya begitu senang melakukannya.
Setelah diajari tata cara ibadah itu, saya berpikir bahwa agama Islam itu sangat menekankan kebersihan dan kesucian Bagai mana tidak, sebelum kita melakukan shalat atau menghadap Tuhan (Allah), kita diharuskan untuk bersuci, baik dari hadas kecil maupun hadas besar. Sungguh hal yang menakjubkan. Ini tidak ada dalam tata cara ibadah agama saya: Katolik.
Mimpi disuruh Shalat
Suatu malam, saya bermimpi. Dalam mimpi itu, saya dituntun dan disuruh mengambil air wudhu dan shalat oleh seorang bapak dan ibu yang tidak saya kenal. Untuk melakukan shalat, saya diberinya mukena. Pada tangan kanan saya diberikan Al-Qur'an serta tasbih yang dikalungi pada tangan itu juga. Jari-jemari tangan saya digenggam erat oleh mereka. Saya bertambah bingung. Saya berpikir ibadah ini sangat berbeda dengan ibadah agama Katolik.
Pagi harinya, saya ceritakan mimpi itu kepada ibu saya. Setelah mendengar cerita itu, ibu bertanya apakah saya ingin masuk Islam? Saya pun mengiyakan. Tekad saya sudah bulat. Akhirnya, ibu mengatakan agar saya harus membulatkan tekad untuk pindah keyakinan. Katanya, itu hak saya karena saya sudah dewasa dan bebas menentukan pilihan dalam agama.
Niat untuk pindah keyakinan sudah bulat. Keluarga saya tidak menghalangi niat saya. Bahkan, mereka menyuruh saya memanggil guru mengaji ke rumah Saat pengajian dilakukan, mereka ikut mendengarkan. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas taufik dan hidayah-Nya, kami sekeluarga akhirnya masuk Islam.
Upacara pengislaman kami sekeluarga berlangsung tepat dua hari menjelang Ramadhan. Pengislaman diri dan keluarga saya dilakukan di rumah dengan dibimbing oleh seorang ustadz. Saya bersuka cita dan gembira karena niat saya sudah terkabul. Dan, bahkan diikuti oleh keluarga saya.
Dengan menjadi seorang muslimah, saya yakin Islam adalah agama yang benar dan baik. Dalam agama Islam saya yakin bahwa apa yang saya minta selalu dikabulkan oleh Allah.
Saya punya kenangan yang membuat saya yakin bahwa Allah itu selalu mendengar doa hamba-Nya. Suatu ketika, saat saya berangkat kuliah, hujan turun deras. Saya nekat akan menerobosnya karena saat itu akan ujian. Saya nekat sambil terus berdoa. Alhamdulillah, doa yang saya baca walaupun hanya bahasa Indonesia, ternyata didengar oleh Allah. Hujan pun seketika langsung berhenti.
Setiap menjelang ujian, saya berdoa agar dapat nilai baik. Alhamdulillah, doa saya terkabul. Sejak saat itu, saya yakin bahwa doa kaum muslimin selalu didengar oleh Allah.
Saya begitu senang menjalankan semua perintah yang diajarkan oleh agama Islam. Puasa, shalat, baik sunnah maupun wajib--adalah ibadah rutin saya. Puasa di tahun pertama keislaman saya sangat berkesan. Saya begitu menikmati ibadah puasa itu.
Untuk mendalami Islam, saya mengikuti berbagai pengajian. Khusus hari Minggu pagi, saya pergi mengaji ke Majelis Taklim Ahad pagi di Masjid Al-A'raf T.B. Walisongo. Setiap mendengar ceramah agama, hati saya bagitu tersentuh, tenteram, dan tenang. Siraman rohani itulah yang menjadi makanan jiwa saya.
Setelah menjadi seorang muslimah, terkadang saya suka membandingkan dengan agama saya yang dulu. Jika di Katolik, saya hanya satu kali dalam satu minggu berdoa di gereja. Tapi, dalam Islam saya bisa lima kali dalam setiap harinya. Dan, itu bisa dilakukan di mana saja. Sebab, masjid dan mushalla ada di mana-mana. Tidak seperti gereja.
Saya bersyukur menjadi seorang muslimah. Selain mudah beribadah, saya juga mendapat saudara baru yang seakidah dan seagama. Saya bertekad untuk terus memegang ajaran agama Islam dan mergalankan semua perintah agama. Saya yakin Allah selalu mengabulkan permohonan dan doa hambaNya.
Mimpi yang menyuruh saga berwudhu dan shalat serta ikut pelajaran agama Islam di sekolah merupakan rahmat yang patut saya syukuri. Sebab, keduanya mengantarkan saya kepada agama yang bertauhid; yang mengajarkan kebaikan dan kebenaran. (Maulana/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com
http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=5294_0_4_0_M
Senin, 01 Juni 2009
Anna Marcelina : Mimpi Mendengar La Ilaha IllAllah
Sebuah Pengakuan ex. Aktivis Militan Gereja
Mimpi ternyata bukan sekedar kembang tidur. Melalui mimpi, Anna Marcelina, mantan aktivis gereja dapat memilih jalan hidupnya yang hakiki. Ia beralih ke Islam meski menghadapi ancaman yang tak ringan.
Di sebuah aula, tempat pembinaan muallaf, Anna Marcelina akhirnya bersedia diwawancarai Amanah, padahal sebelumnya ia sempat mengkhawatirkan keselamatan diri dan keluarganya dari ancaman orang yang tidak senang dengan perpindahan agamanya ke Islam. Maklum, Anna baru setahun menjadi seorang muallaf. Terlebih, ia dulunya sempat menjadi seorang aktivis gereja yang tergolong fanatik dan militan. Ia sudah mengkristenkan beberapa Muslim. Kini ia merasa berdosa, dan ingin menebus kesalahannya di masa lalu dengan jalan bertaubat kepada Allah yang Maha Pengasih. Berikut penuturan Anna di kediamannya di bilangan Kampung Bugis, Jakarta Utara
Saya anak kelima dari tujuh bersaudara, iahir daiam keluarga Kristen (Protestan) yang tergolong fanatik. Semula mama saya seorang Muslimah, tapi kemudian masuk Kristen karena desakan ekonomi. Mama lebih mengorbankan akidahnya ketimbang harus berpisah dengan ayah.
Yang saya ketahui tentang keluarga mama hingga saat ini, mereka masih mempertahankan agama Islam, hanya mama saja yang tergoda pindah agama menjadi Kristiani, mengikuti ayah.
Setelah ayah meninggal dunia, mama saya kurang menjalani agamanya yang baru sebagai Kristiani. Suatu ketika, saya menegur, kenapa mama tak pernah berdoa dan ikut kebaktian. Tapi teguran saya itu tak digubris oleh mama.
Seiring perjalanan waktu, saya menikah dengan seorang laki-laki Muslim. Sebagai istri, saya bertekad untuk tetap mempertahankan iman Kristiani saya. Dan suami saya pun tetap pada akidah Islamnya. Meski berbeda akidah, saya tetap menghormati suami, begitu pula suami saya tidak memaksa saya pindah agama. Saya tahu, daiam Islam, tidak ada paksaan dalam beragama. Bagiku agamaku bagimu agamamu. Prinsip itu diikuuti oleh suami saya.
Memang dulu, saya menikah dengan cara Islam. Tapi saya tidak menjadikan itu sebagai jalan untuk menjadi seorang Musilmah. Selama mengarungi rumah tangga yang baru seumur jagung, suami saya banyak membimbing saya dengan kesabaran dan kelembutan. Padahal, jujur saja, saya sempat 'berpikir untuk mengkristen dia, termasuk mengkristenkan saudara ibu saya. Tapi pikiran itu selaiu gagal untuk diwujudkan.
Sebelum menikah, saya adalah seorang aktivis gereja di Bandung. Boleh dibilang, saya bukan sekadar penganut Kristen biasa. Saya tergolong seorang yang militan kata teman-teman di gereja saya punya kharisma. Entahlah. Yang jelas, saya sering mengajak dan menyampaikan kebenaran Kristen. Bahkan ketika saya masih kuliah, saya sempat mendirikan persekutuan doa dan kebaktian di kampus. Padahai sebelumnya tak pernah ada kegiatan kerohanian Kristen.
Lebih dari itu, saya bahkan pernah mengkristenkan dua orang Muslim, yang kebetulan dari golongan yang kurang educated. Tanpa melalui diskusi atau debat, cukup saya memberi pengertian tentang ajaran kaslh terhadap sesama. Dengan kata lain, saya menggunakan cara-cara yang halus dan lebih menggunakan pendekatan yang simpatik. Berbeda dengan lapisan masyarakat yang educated, mereka harus dihadapi melalui perdebatan lebih dulu. Alhasil saya dapat merangkul beberapa Muslim lainnya.
Dalam dakwah Kristen dikenal istilah "Jadilah penjala ikan." Ikan itu adalah manusia, dan kitalah yang menjalanya. Ketika, sudah menjadikan diri sebagai penjaia ikan, maka harus ada follow-upnya. Sebagai penjala ikan, saya belum sampai menggunakan uang atau materi untuk mengajak mereka yang Muslim. Saya hanya menggunakan pendekatan yang lebih persuasif.
Lagipula, saya bukanlah seorang missionaris. Saya hanya jadi pengikut saya. Artinya, saya memang beium menjadi seorang misionaris dalam pengertian sesungguhnya, yang menyampaikan ajaran Kasih Kristus ke penjuru dunia, mulai dari kota hingga daerah terpencil. Sejauh itu, saya hanya menyampaikan firman Allah, dan mengajarkan nyanyian puji-pujian saja.
Mimpi Mendengar La Ilaha Illallah
Asli, sejak saya Iahir, saya tidak pernah mengenal apalagi mencari tahu tentang Islam. Meskipun mama saya awalnya Muslimah, saya tak ingin menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Itu, mungkin, karena saya seorang Kristen fanatik.
Lalu, apa yang membuat saya ingin memeluk Islam? Kedengarannya sepele, Suatu malam saya bermimpi dikelilingi oleh ibu-ibu berbusana Muslim - mengenakan jilbab putih bersih dan menggenggam tasbih seraya melafazkan La Ilaha Illallah. Gemuruh suara itu membuat hati saya bergetar dan membuat saya terisak-isak. Saat terbangun, saya pun bertanya-tanya tentang takwil mimpi saya semalam, terutama kalimat La Ilaha Illallah. Setelah saya mencari tahu, ternyata saya baru memahami, bahwa kalimat tauhid itu bermakna Tiada Tuhan Selain Allah.
Entah kenapa. saya yang dikenal sebagai seorang Kristiani yang fanatik, merasa yakin bahwa mimpi itu bukan sembarang mimpi atau bukan sekadar kembang tidur. Anehnya, saya langsung percaya. Dalam hati kecil saya, ini seperti petunjuk dan jalan terang bagi saya.
Kalau ditanya, kenapa saya langsung percaya? Karena memang, saya selalu meyakini setiap mimpi sebagai firasat dan petunjuk dari Yang Kuasa. Boleh dibiiang, saya punya kelebihan untuk menjadikan mimpi saya sebagai petunjuk. Sebelumnya, pernah saya bermimpi adik saya sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Anehnya, mimpi saya itu selalu menjadi kenyataan. Waktunya pun berlangsung cepat Maiamnya bermimpi, esoknya betul-betul terjadi. Bahkan jauh sebeiumya, saya pernah bermimpi saudara saya meninggal, esok harinya benar-benar terjadi. Umumnya, seseorang yang bermimpi sekitar pukul 2.00 pagi hingga menjelang Subuh, biasanya akan menjadi kenyataan. Karena pada saat itu, bukan sekedar mimpi tapi sebuah firasat yang sangat kuat.
Setelah mimpi yang pertama, kegelisahan saya semakin bertambah ketika saya mendengar adzan Subuh berkumandang. Saya merasakan keanehan. Setiap kail saya mendengar adzan Subuh, pasti saya terbangun dan tidur saya. Padahal, sebelumnya saya selalu bangun agak siang, saat matahari mulai meninggi.
Untuk-kedua kalinya, saya lagi-lagi bermimpi, seseorang berlutut (bersujud) dengan mengenakan sorban putih. Kemudian orang itu berdoa: "Semoga kamu meraih kebahagiaan di dunia yang sekarang dan kebahagiaan di akhirat kelak."
Setelah mimpi berturut-turut, saya tak kuat menyimpannya sendiri. Saya menceritakannya kepada suami saya. Suami saya agak surprise dan mendengarnya dengan penuh perhatian. Akhirnya, tahun 2004, saya memutuskan untuk masuk Islam. Saya diislamkan dr sebuah pulau terpencil di luar Jawa. Sejak saya menjadi Muslimah, saya berganti nama menjadi Siti Masitoh.
Saya teringat, ketika pertama kali shalat, hati saya terasa bergetar. Apalagi jika ayat-ayat Tuhan diperdengarkan, hati saya pun semakin bertambah bergetar. Masa transisi dari Kristen menuju Islam, saya rasakan ujian yang sangat berat Di samping berpisah dengan keluarga, silaturahim terputus, saya juga mendapat kesulitan ekonomi. Hingga suatu malam, saya memohon dan bermunajat kepada Allah, agar Allah memberi kemudahan dan menguatkan kesabaran saya. Alhasil, doa saya langsung dijawab Allah, betul-betul instan. Sebagai seorang guru, saya belum menerima gaji bulan. Padahal, uang saya ketika itu tinggal Rp. 15,000, sementara tanggal 30 masih jauh. Mengandalkan suami, tentu tidak mungkin, mengingat suami saya berprofesi sebagai wiraswasta kecil-kecilan.
Begitu saya shalat Tahajud dan bermunajat kepada Allah dengan penuh kesungguhan, tanpa diduga saya menerima telepon dari teman segereja saya dulu yang sedang berada di Arab Saudi untuk mentransfer uang sebesar Rp 1 juta. Saat itu, saya bertambah yakin, Allah sungguh Maha Hidup. Dia tahu kegelisahan dan penderitaan hambaNya. Padahai kawan saya itu belum tahu, bahwa saya sudah menjadi seorang Muslimah.
Pasrah pada Allah
Setahun berjalan menjadi Muslimah, saya sering mengenang dosa-dosa yang telah saya perbuat di masa lalu. Dalam kesendirian, di tengah malam yang sunyi, jiwa saya merintih, air mata ini tak mampu lagi saya bendung. Sedih, kalau saya ingat bahwa saya dulu bukan orang baik, apalagi sempat mengkristen beberapa orang Islam. Ingin sekali, saya menebus dosa-dosa saya, meski saya harus memulai hidup ini dari nol lagi. Apa pun yang terjadi, saya serahkan seluruh hidup saya kepada Allah. Saya hanya ingin mendapat ampunan dan ridhaNya.
Terakhir, saya ingat, saya sempat pamit pada ibu saya. Terus terang, hanya ibu yang tahu dengan keislaman saya. Sementara saudara-saudara saya yang lain belum mengetahui. Sejak saya menikah, hubungan saya dengan saudara-saudara yang lain terputus. Saya memang berusaha menyembunyikan keislaman saya. Saya khawatir dengan keselamatan diri saya dan keluarga saya. Karena saya tahu, keluarga dari pihak kakak-kakak saya adalah orang-orang keras. Mereka tidak segan-segan mendecerai saya, kalau tahu saya memeluk Islam. Tapi, bagi saya, kebenaran itu harus diungkapkan, jangan disembunyikan. Hanya Allah Ian, sebaik-baik Pelindung.
Banyak hal yang saya dapatkan setelah masuk Islam. Selain rasa ketenangan, saya juga menilai Islam adalah agama yang mengutamakan disiplin. Setiap saya bangun malam untuk shaiat Tahajud, saya merasa dekat dengan Tuhan. Terlebih, saat Subuh, saya selalu berjamaah dengan suami. Kemantapan iman saya semakin kokoh, ketika saya mengikuti workshop ESQ pimpinan Ary Ginanjar. Dengan pelatihan itu, iman saya seperti di-ces kembali. (amanahonline)
Dituturkan kembali oleh Adhes SS
http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=2001_0_4_0_M
Mimpi ternyata bukan sekedar kembang tidur. Melalui mimpi, Anna Marcelina, mantan aktivis gereja dapat memilih jalan hidupnya yang hakiki. Ia beralih ke Islam meski menghadapi ancaman yang tak ringan.
Di sebuah aula, tempat pembinaan muallaf, Anna Marcelina akhirnya bersedia diwawancarai Amanah, padahal sebelumnya ia sempat mengkhawatirkan keselamatan diri dan keluarganya dari ancaman orang yang tidak senang dengan perpindahan agamanya ke Islam. Maklum, Anna baru setahun menjadi seorang muallaf. Terlebih, ia dulunya sempat menjadi seorang aktivis gereja yang tergolong fanatik dan militan. Ia sudah mengkristenkan beberapa Muslim. Kini ia merasa berdosa, dan ingin menebus kesalahannya di masa lalu dengan jalan bertaubat kepada Allah yang Maha Pengasih. Berikut penuturan Anna di kediamannya di bilangan Kampung Bugis, Jakarta Utara
Saya anak kelima dari tujuh bersaudara, iahir daiam keluarga Kristen (Protestan) yang tergolong fanatik. Semula mama saya seorang Muslimah, tapi kemudian masuk Kristen karena desakan ekonomi. Mama lebih mengorbankan akidahnya ketimbang harus berpisah dengan ayah.
Yang saya ketahui tentang keluarga mama hingga saat ini, mereka masih mempertahankan agama Islam, hanya mama saja yang tergoda pindah agama menjadi Kristiani, mengikuti ayah.
Setelah ayah meninggal dunia, mama saya kurang menjalani agamanya yang baru sebagai Kristiani. Suatu ketika, saya menegur, kenapa mama tak pernah berdoa dan ikut kebaktian. Tapi teguran saya itu tak digubris oleh mama.
Seiring perjalanan waktu, saya menikah dengan seorang laki-laki Muslim. Sebagai istri, saya bertekad untuk tetap mempertahankan iman Kristiani saya. Dan suami saya pun tetap pada akidah Islamnya. Meski berbeda akidah, saya tetap menghormati suami, begitu pula suami saya tidak memaksa saya pindah agama. Saya tahu, daiam Islam, tidak ada paksaan dalam beragama. Bagiku agamaku bagimu agamamu. Prinsip itu diikuuti oleh suami saya.
Memang dulu, saya menikah dengan cara Islam. Tapi saya tidak menjadikan itu sebagai jalan untuk menjadi seorang Musilmah. Selama mengarungi rumah tangga yang baru seumur jagung, suami saya banyak membimbing saya dengan kesabaran dan kelembutan. Padahal, jujur saja, saya sempat 'berpikir untuk mengkristen dia, termasuk mengkristenkan saudara ibu saya. Tapi pikiran itu selaiu gagal untuk diwujudkan.
Sebelum menikah, saya adalah seorang aktivis gereja di Bandung. Boleh dibilang, saya bukan sekadar penganut Kristen biasa. Saya tergolong seorang yang militan kata teman-teman di gereja saya punya kharisma. Entahlah. Yang jelas, saya sering mengajak dan menyampaikan kebenaran Kristen. Bahkan ketika saya masih kuliah, saya sempat mendirikan persekutuan doa dan kebaktian di kampus. Padahai sebelumnya tak pernah ada kegiatan kerohanian Kristen.
Lebih dari itu, saya bahkan pernah mengkristenkan dua orang Muslim, yang kebetulan dari golongan yang kurang educated. Tanpa melalui diskusi atau debat, cukup saya memberi pengertian tentang ajaran kaslh terhadap sesama. Dengan kata lain, saya menggunakan cara-cara yang halus dan lebih menggunakan pendekatan yang simpatik. Berbeda dengan lapisan masyarakat yang educated, mereka harus dihadapi melalui perdebatan lebih dulu. Alhasil saya dapat merangkul beberapa Muslim lainnya.
Dalam dakwah Kristen dikenal istilah "Jadilah penjala ikan." Ikan itu adalah manusia, dan kitalah yang menjalanya. Ketika, sudah menjadikan diri sebagai penjaia ikan, maka harus ada follow-upnya. Sebagai penjala ikan, saya belum sampai menggunakan uang atau materi untuk mengajak mereka yang Muslim. Saya hanya menggunakan pendekatan yang lebih persuasif.
Lagipula, saya bukanlah seorang missionaris. Saya hanya jadi pengikut saya. Artinya, saya memang beium menjadi seorang misionaris dalam pengertian sesungguhnya, yang menyampaikan ajaran Kasih Kristus ke penjuru dunia, mulai dari kota hingga daerah terpencil. Sejauh itu, saya hanya menyampaikan firman Allah, dan mengajarkan nyanyian puji-pujian saja.
Mimpi Mendengar La Ilaha Illallah
Asli, sejak saya Iahir, saya tidak pernah mengenal apalagi mencari tahu tentang Islam. Meskipun mama saya awalnya Muslimah, saya tak ingin menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Itu, mungkin, karena saya seorang Kristen fanatik.
Lalu, apa yang membuat saya ingin memeluk Islam? Kedengarannya sepele, Suatu malam saya bermimpi dikelilingi oleh ibu-ibu berbusana Muslim - mengenakan jilbab putih bersih dan menggenggam tasbih seraya melafazkan La Ilaha Illallah. Gemuruh suara itu membuat hati saya bergetar dan membuat saya terisak-isak. Saat terbangun, saya pun bertanya-tanya tentang takwil mimpi saya semalam, terutama kalimat La Ilaha Illallah. Setelah saya mencari tahu, ternyata saya baru memahami, bahwa kalimat tauhid itu bermakna Tiada Tuhan Selain Allah.
Entah kenapa. saya yang dikenal sebagai seorang Kristiani yang fanatik, merasa yakin bahwa mimpi itu bukan sembarang mimpi atau bukan sekadar kembang tidur. Anehnya, saya langsung percaya. Dalam hati kecil saya, ini seperti petunjuk dan jalan terang bagi saya.
Kalau ditanya, kenapa saya langsung percaya? Karena memang, saya selalu meyakini setiap mimpi sebagai firasat dan petunjuk dari Yang Kuasa. Boleh dibiiang, saya punya kelebihan untuk menjadikan mimpi saya sebagai petunjuk. Sebelumnya, pernah saya bermimpi adik saya sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Anehnya, mimpi saya itu selalu menjadi kenyataan. Waktunya pun berlangsung cepat Maiamnya bermimpi, esoknya betul-betul terjadi. Bahkan jauh sebeiumya, saya pernah bermimpi saudara saya meninggal, esok harinya benar-benar terjadi. Umumnya, seseorang yang bermimpi sekitar pukul 2.00 pagi hingga menjelang Subuh, biasanya akan menjadi kenyataan. Karena pada saat itu, bukan sekedar mimpi tapi sebuah firasat yang sangat kuat.
Setelah mimpi yang pertama, kegelisahan saya semakin bertambah ketika saya mendengar adzan Subuh berkumandang. Saya merasakan keanehan. Setiap kail saya mendengar adzan Subuh, pasti saya terbangun dan tidur saya. Padahal, sebelumnya saya selalu bangun agak siang, saat matahari mulai meninggi.
Untuk-kedua kalinya, saya lagi-lagi bermimpi, seseorang berlutut (bersujud) dengan mengenakan sorban putih. Kemudian orang itu berdoa: "Semoga kamu meraih kebahagiaan di dunia yang sekarang dan kebahagiaan di akhirat kelak."
Setelah mimpi berturut-turut, saya tak kuat menyimpannya sendiri. Saya menceritakannya kepada suami saya. Suami saya agak surprise dan mendengarnya dengan penuh perhatian. Akhirnya, tahun 2004, saya memutuskan untuk masuk Islam. Saya diislamkan dr sebuah pulau terpencil di luar Jawa. Sejak saya menjadi Muslimah, saya berganti nama menjadi Siti Masitoh.
Saya teringat, ketika pertama kali shalat, hati saya terasa bergetar. Apalagi jika ayat-ayat Tuhan diperdengarkan, hati saya pun semakin bertambah bergetar. Masa transisi dari Kristen menuju Islam, saya rasakan ujian yang sangat berat Di samping berpisah dengan keluarga, silaturahim terputus, saya juga mendapat kesulitan ekonomi. Hingga suatu malam, saya memohon dan bermunajat kepada Allah, agar Allah memberi kemudahan dan menguatkan kesabaran saya. Alhasil, doa saya langsung dijawab Allah, betul-betul instan. Sebagai seorang guru, saya belum menerima gaji bulan. Padahal, uang saya ketika itu tinggal Rp. 15,000, sementara tanggal 30 masih jauh. Mengandalkan suami, tentu tidak mungkin, mengingat suami saya berprofesi sebagai wiraswasta kecil-kecilan.
Begitu saya shalat Tahajud dan bermunajat kepada Allah dengan penuh kesungguhan, tanpa diduga saya menerima telepon dari teman segereja saya dulu yang sedang berada di Arab Saudi untuk mentransfer uang sebesar Rp 1 juta. Saat itu, saya bertambah yakin, Allah sungguh Maha Hidup. Dia tahu kegelisahan dan penderitaan hambaNya. Padahai kawan saya itu belum tahu, bahwa saya sudah menjadi seorang Muslimah.
Pasrah pada Allah
Setahun berjalan menjadi Muslimah, saya sering mengenang dosa-dosa yang telah saya perbuat di masa lalu. Dalam kesendirian, di tengah malam yang sunyi, jiwa saya merintih, air mata ini tak mampu lagi saya bendung. Sedih, kalau saya ingat bahwa saya dulu bukan orang baik, apalagi sempat mengkristen beberapa orang Islam. Ingin sekali, saya menebus dosa-dosa saya, meski saya harus memulai hidup ini dari nol lagi. Apa pun yang terjadi, saya serahkan seluruh hidup saya kepada Allah. Saya hanya ingin mendapat ampunan dan ridhaNya.
Terakhir, saya ingat, saya sempat pamit pada ibu saya. Terus terang, hanya ibu yang tahu dengan keislaman saya. Sementara saudara-saudara saya yang lain belum mengetahui. Sejak saya menikah, hubungan saya dengan saudara-saudara yang lain terputus. Saya memang berusaha menyembunyikan keislaman saya. Saya khawatir dengan keselamatan diri saya dan keluarga saya. Karena saya tahu, keluarga dari pihak kakak-kakak saya adalah orang-orang keras. Mereka tidak segan-segan mendecerai saya, kalau tahu saya memeluk Islam. Tapi, bagi saya, kebenaran itu harus diungkapkan, jangan disembunyikan. Hanya Allah Ian, sebaik-baik Pelindung.
Banyak hal yang saya dapatkan setelah masuk Islam. Selain rasa ketenangan, saya juga menilai Islam adalah agama yang mengutamakan disiplin. Setiap saya bangun malam untuk shaiat Tahajud, saya merasa dekat dengan Tuhan. Terlebih, saat Subuh, saya selalu berjamaah dengan suami. Kemantapan iman saya semakin kokoh, ketika saya mengikuti workshop ESQ pimpinan Ary Ginanjar. Dengan pelatihan itu, iman saya seperti di-ces kembali. (amanahonline)
Dituturkan kembali oleh Adhes SS
http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=2001_0_4_0_M
Christian Gustav, Hidayah pada Secarik Kertas
Iqra...iqra...iqra... Begitu bunyi suara membisiki telinganya dalam mimpi. Bisikan misterius itu mengingatkannya pada kisah Nabi saat mendapat wahyu pertama di Gua Hira. Christian Gustav tidak menganggap mimpinya sekadar kembang tidur yang melenakan. Itulah awal dirinya menangkap cahaya Islam. Dan secarik kertas bertuliskan 'Islam agama hakiki', kian menguatkan tekadnya memilih Islam sebagai panduan hidupnya.
Ya Allah..
Tak bisa bibirku berkata
Hanya hati memuji namaMu
Pancaran jiwa
Terangi hidup yang lama hampa
Kalimat syahadat kugenggam
Dzikrullah dan shalawat riuh dalam senandung
Seiring tetes air mata
Jatuh hapuskan kekafiranku
20 November silam
empat tahun kini
Jiwa ragaku berselimut Muslim
Songsong hari jelang hidupku yang baru
Di sini, aku berharap sebuah akhir yang baik
Dari awal yang tak terkira.
Demikian puisi yang tergores dalam diary Christian Gustav yang berjudul 'Muslim', Di rumah kontrakan, menjelang zuhur itu, lelaki bermata sipit kelahiran 5 Januari 1982 ini mencurahkan kisahnya kepada Amanah tentang awal perjalanan hidupnya yang baru: memeluk agama Islam. Ditemani mamanya, Chris - panggilan akrabnya - dengan suara bergetar bercerita banyak tentang masa-masa sulitnya menghadapi ujian dan cobaan hidup.
Chris yang punya nama hijrah Muhammad Faaiz Hidayatullah, selain memiliki bakat menulis puisi, juga gemar berdeklamasi. Beberapa kali ia memenangkan lomba membaca puisi di berbagai event di Jakarta. Bakatnya menulis puisi sudah muncul sejak ia duduk di kelas IV SD. Beberapa karyanya sempat dimuat di majalah anak-anak Bobo. Ikuti penuturannya berikut ini.
Saya lahir dan dibesarkan oleh orangtua dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat Dari SD hingga SMP, saya mengecap pendidikan di sekolah Katolik. Hanya di SMEA saja, saya sekolah umum yang sebagian besar siswa dan gurunya beragama Islam. Di situ, saya mulai mengenal Islam dan teman-teman maupun dari sebagian guru. Selain beiajar, kebetulan saya Christian Gustav bersama mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, termasuk aktif di teater.
Sejak itu saya mulai mencintai dunia puisi. Entah bagaimana, hati saya tertarik pada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah ini yang disebut hidayah atau bukan. Yang pasti, ada sesuatu yang mendorong saya untuk mencoba menggali dan mengenai Islam lebih dekat lagi.
Waktu saya kelas II SMEA Tridaya, Jakarta Timur, pada suatu malam saya bermimpi pulang dari gereja, lalu masuk kamar. Di kamar, saya melihat sebuah Al Qur'an terletak di atas meja. Mulanya saya bertanya-tanya, ini kitab apa. Rasa ingin tahu mendorong saya membuka-buka isi kitab tersebut. Setelah saya lihat bacaannya, ternyata berbeda dengan kitab suci yang biasa saya baca.
Anehnya lagi, dalam mimpi itu saya mendengar suara entah dari mana datangnya, seperti hendak menuntun saya untuk membacanya. 'Sudah, baca saja'. Meski saya katakan, 'Saya tidak bisa baca,' suara misterius itu terus mendesak saya untuk membacanya. Setelah dituntun, akhirnya saya pun membacanya. Pokoknya, saya seperti qari atau orang yang sedang mengaji, yang melantunkan ayat-ayat suci dengan lagunya. Padahal, jujur, jangankan membaca, apalagi melantunkannya dengan lagu, mengenai huruf Arab saja, saya tidak mampu.
Begitu saya terbangun, saya tersadar bahwa itu hanya mimpi. Tapi mimpi yang bukan sembarang mimpi. Mimpi itu telah membuat sekujur tubuh saya berkeringat dingin, membuat hati saya cemas, tak nyaman, jadi pikiran dan selalu bertanya-tanya dalam batin. Hingga akhirnya saya berdoa dengan cara agama yang saya anut. Dalam hati saya berkata, kalau memang ini panggilan suci, saya siap mengikutinya.
Keesokan harinya, saya curhat habis pada guru agama di sekolah. Lucunya, guru yang pertama kali saya curhat adalah guru agama Islam, yaitu Pak Masduki, baru kemudian guru agama Katotik. Pak Masduki sendiri sebetulnya tahu, bahwa saya menganut agama Katolik. Kedua guru itu begitu tulus mendengar segala kisah mimpi saya yang mencemaskan dan mendebarkan tersebut. Tapi masing-masing guru agama itu memberikan penjelasan yang berbeda. Saya pun jadi makin bingung.
Suatu ketika, saat saya hendak keluar kelas untuk mengikuti pelajaran agama Katolik di kelas lain, saya merogoh laci meja - tempat saya menaruh tas - dengan maksud memeriksa apakah ada barang saya yang tertinggal. Tanpa sengaja saya menemukan secarik kertas (seperti sobekan), bertulisan Arab berikut terjemahannya; "Hanya Islamlah agama yang diridhoi Allah."
Saat itu pikiran saya makin cemas campur kalut. Degup jantung saya terasa makin kencang. Saya bertanya-tanya dalam hati, gerangan apa di balik ini semua. Inikah skenario Tuhan untuk menuntun saya kepada sebuah jalan kebenaran? Sobekan kertas 'misterius' itu membuat saya panasaran untuk mencari tahu tentang Islam.
Siang itu, saya kembali menemui Pak Masduki, seraya menceritakan apa yang baru saya alami. Pak Masduki bilang, "Chris, mungkin itu sudah panggilan. Bisa jadi itu hidayah. Tapi, itu terserah kamu. Untuk masuk Islam itu tidak ada paksaan. Apakah kamu tetap bertahan atau melepaskan akidah Katolik kamu, semua tergantung kamu. Jadi kamu sendiri yang memutuskannya."
Pada tanggal 20 November 1999, saat saya duduk di kelas III, tanpa ragu-ragu lagi saya resmi memeluk Islam. Pak Masduki sendiri yang membimbing saya mengucapkan kalimat syahadat, di masjid dekat sekolah. Teman-teman sekolah dan sebagian guru hadir menyaksikan saya men]adi seorang Muslim.
Saat itu saya tak kuasa menahan haru. Terlebih saat Pak Masduki memeluk saya, disusul oleh teman-teman yang lain. Jujur, tak pernah saya merasakan suasana seindah dan sebahagia ini. Dalam pelukan Pak Masduki dan teman-teman sekolah, air mata saya meleleh membasahi pipi. Usai syahadat, perasaan saya betul-betul plong. Ada sebuah kekuatan baru mengisi relung-relung kehidupan saya.
Mama Lebih Dulu
Sebelum Chris resmi memeluk Islam, ternyata mamanya lebih dulu sudah menjadi Muslimah empat tahun sebelumnya (1996). Selama itu mamanya tetap memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memeluk agama yang mereka yakini. Mamanya tidak ingin memaksakan anak-anaknya mengikuti langkahnya. Oleh karena itu hubungan antara sang mama dan anak-anaknya yang beragama Katolik tetap baik.
Menurut Chris, sebelum mamanya masuk Islam, orang-tuanya sudah bercerai. Chris bersama dua saudaranya ikut mamanya sedangkan tiga saudaranya yang lain ikut papa. Sekalipun berpisah, papanya tetap mengunjungi anak-anaknya yang diasuh oleh mama.
Chris tak menyangkal adanya peran mamanya membuat dia tertarik pada Islam. "Ketertarikan saya pada Islam juga saya rasakan bila memperhatikan mama sedang shalat. Wajah mama terlihat bersih dan bersinar, seperti ada pancaran cahaya yang merasuk di sekujur tubuhnya," akunya.
Secara diam-diam ia suka membuka-buka bacaan mamanya , tentang Islam. Ada beberapa buku Islam milik mamanya yang tersimpan di rak buku. Buku yang pertama kali dibacanya adalah Iqra. Selain itu, ia juga membaca buku Ahmad Deedat berjudul Mengungkap tentang Bibel (Versi Islam & Kristen). "Mama sendiri tidak tahu bahwa saya sebenarnya sedang mempelajari Islam, walau dengan sembunyi-sembunyi," tambahnya.
Dari kebiasaan dan hobinya membaca sejak kecil, ia terdorong melahap buku apa saja, termasuk mempelajari pelbagai agama. Akhirnya ia kian intensif mempelajari Islam lewat bacaan dan bertanya pada orang yang mengerti tentang Islam.
"Yang membuat tekad saya semakin mantap untuk memeluk I Islam, adalah ketika saya membaca dan mengkaji Al Qur'an Surat Al Ikhlas. Saya merasa kandungan ayat-ayat ini lebih rasional," katanya.
Saat ini, adik-adik Chris sudah menjadi Muslim, tinggal kakak sulungnya yang masih Katolik.
Menjual Kue Keliling
Betapa berat ujian yang dihadapi Chris dan mamanya memilih jalan hidupnya. Semula Chris hidup dengan ekonomi yang berkecukupan. Boleh dibilang berada, Terlebih papanya adalah seorang interior designer rumah tangga. Tapi sejak papanya mengalami musibah kecelakaan (tahun 1992), keadaan ekonomi keluarga dirasakan sangat sulit. Mari kita ikuti penuturan Chris selanjutnya:
Sejak Mama bercerai dengan papa, boleh dibilang membuat saya dan adik-adik saya hidup prihatin. Dulu ekonomi papa kuat. Bahkan keluarga papa banyak yang kaya. Saat masih jaya-jayanya, semua kebutuhan bisa terbeli bahkan saya sempat kuliah beberapa semester.
Sekarang saya, mama dan dua adik saya ngontrak di daerah Bekasi. Sedangkan sehari-hari mama membuat kue dan menjualnya ke warung-warung terdekat Demi tuntutan hidup, saya sendiri ikut membantu mama membuatkan kue.
Lingkungan tempat tinggal kami dikenal Islamnya kuat. Saat mama menjajakan kue keliling kampung, tak seorang pun yang menyentuh apalagi membeli kue buatan mama. Mereka enggan membeli karena mengira kue buatan mama bercampur barang haram. Maklum kami keturunan Cina. Saya bisa memahami, mereka belum tahu bahwa kami sudah Muslim.
Untunglah ada seorang yang baik hati membantu kami. KH Muhammad Saimin, yang dihormati masyarakat Ia membeli seluruh kue jajaan mama, lalu bersama istrinya membagi-bagikannya kepada orang kampung, sambil memberi informasi bahwa kami sudah menjadi Muslim. "Kue ini halal," kata Pak Saimin. Setelah itulah warga mulai mau membeli kue-kue mama.
Kini, saya tak bisa meneruskan kuliah lagi. Mau tak mau saya hanya mengandalkan ijazah SMEA (jurusan Akuntansi) untuk melamar kerja. Saya ingin sekali membantu mama dan adik-adik saya. Tapi, setiap kali saya melamar selalu ditolak karena fisik saya kurang sempurna. Saya merasakan diskriminasi dalam kehidupan saya.
Pernah saya menemui seorang di bagian personalia suatu perusahaan. Saat dia melihat kondisi fisik saya, dia langsung berkata. "Maaf, fisik kamu begini, jadi nggak bisa diterima."
Kata-kata itu saya rasakan seperti petir di siang bolong. Saya tak bias melupakan itu. Sampai kini saya masih merasakan minder karena fisik yang tidak sempurna. Tapi saya yakin Allah akan memberi jalan keluar yang terbaik untuk saya. Insya Allah.
Sementara ini, selain membantu mama membuat kue, setiap hari minggu saya diminta sekolah almameter saya untuk mengajar eks-school teater. Pernah saya aktif di sebuah 'Sanggar Bina Kharisma' pimpinan Karim Usman, mengumpulkan dan mengajari anak-anak jalanan membaca dan menulis.
Doakan saya dapat pekerjaan, untuk mengurangi beban hidup mama dan adik-adik saya. (amanahonline)
http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=421_0_4_0_C
Ya Allah..
Tak bisa bibirku berkata
Hanya hati memuji namaMu
Pancaran jiwa
Terangi hidup yang lama hampa
Kalimat syahadat kugenggam
Dzikrullah dan shalawat riuh dalam senandung
Seiring tetes air mata
Jatuh hapuskan kekafiranku
20 November silam
empat tahun kini
Jiwa ragaku berselimut Muslim
Songsong hari jelang hidupku yang baru
Di sini, aku berharap sebuah akhir yang baik
Dari awal yang tak terkira.
Demikian puisi yang tergores dalam diary Christian Gustav yang berjudul 'Muslim', Di rumah kontrakan, menjelang zuhur itu, lelaki bermata sipit kelahiran 5 Januari 1982 ini mencurahkan kisahnya kepada Amanah tentang awal perjalanan hidupnya yang baru: memeluk agama Islam. Ditemani mamanya, Chris - panggilan akrabnya - dengan suara bergetar bercerita banyak tentang masa-masa sulitnya menghadapi ujian dan cobaan hidup.
Chris yang punya nama hijrah Muhammad Faaiz Hidayatullah, selain memiliki bakat menulis puisi, juga gemar berdeklamasi. Beberapa kali ia memenangkan lomba membaca puisi di berbagai event di Jakarta. Bakatnya menulis puisi sudah muncul sejak ia duduk di kelas IV SD. Beberapa karyanya sempat dimuat di majalah anak-anak Bobo. Ikuti penuturannya berikut ini.
Saya lahir dan dibesarkan oleh orangtua dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat Dari SD hingga SMP, saya mengecap pendidikan di sekolah Katolik. Hanya di SMEA saja, saya sekolah umum yang sebagian besar siswa dan gurunya beragama Islam. Di situ, saya mulai mengenal Islam dan teman-teman maupun dari sebagian guru. Selain beiajar, kebetulan saya Christian Gustav bersama mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, termasuk aktif di teater.
Sejak itu saya mulai mencintai dunia puisi. Entah bagaimana, hati saya tertarik pada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah ini yang disebut hidayah atau bukan. Yang pasti, ada sesuatu yang mendorong saya untuk mencoba menggali dan mengenai Islam lebih dekat lagi.
Waktu saya kelas II SMEA Tridaya, Jakarta Timur, pada suatu malam saya bermimpi pulang dari gereja, lalu masuk kamar. Di kamar, saya melihat sebuah Al Qur'an terletak di atas meja. Mulanya saya bertanya-tanya, ini kitab apa. Rasa ingin tahu mendorong saya membuka-buka isi kitab tersebut. Setelah saya lihat bacaannya, ternyata berbeda dengan kitab suci yang biasa saya baca.
Anehnya lagi, dalam mimpi itu saya mendengar suara entah dari mana datangnya, seperti hendak menuntun saya untuk membacanya. 'Sudah, baca saja'. Meski saya katakan, 'Saya tidak bisa baca,' suara misterius itu terus mendesak saya untuk membacanya. Setelah dituntun, akhirnya saya pun membacanya. Pokoknya, saya seperti qari atau orang yang sedang mengaji, yang melantunkan ayat-ayat suci dengan lagunya. Padahal, jujur, jangankan membaca, apalagi melantunkannya dengan lagu, mengenai huruf Arab saja, saya tidak mampu.
Begitu saya terbangun, saya tersadar bahwa itu hanya mimpi. Tapi mimpi yang bukan sembarang mimpi. Mimpi itu telah membuat sekujur tubuh saya berkeringat dingin, membuat hati saya cemas, tak nyaman, jadi pikiran dan selalu bertanya-tanya dalam batin. Hingga akhirnya saya berdoa dengan cara agama yang saya anut. Dalam hati saya berkata, kalau memang ini panggilan suci, saya siap mengikutinya.
Keesokan harinya, saya curhat habis pada guru agama di sekolah. Lucunya, guru yang pertama kali saya curhat adalah guru agama Islam, yaitu Pak Masduki, baru kemudian guru agama Katotik. Pak Masduki sendiri sebetulnya tahu, bahwa saya menganut agama Katolik. Kedua guru itu begitu tulus mendengar segala kisah mimpi saya yang mencemaskan dan mendebarkan tersebut. Tapi masing-masing guru agama itu memberikan penjelasan yang berbeda. Saya pun jadi makin bingung.
Suatu ketika, saat saya hendak keluar kelas untuk mengikuti pelajaran agama Katolik di kelas lain, saya merogoh laci meja - tempat saya menaruh tas - dengan maksud memeriksa apakah ada barang saya yang tertinggal. Tanpa sengaja saya menemukan secarik kertas (seperti sobekan), bertulisan Arab berikut terjemahannya; "Hanya Islamlah agama yang diridhoi Allah."
Saat itu pikiran saya makin cemas campur kalut. Degup jantung saya terasa makin kencang. Saya bertanya-tanya dalam hati, gerangan apa di balik ini semua. Inikah skenario Tuhan untuk menuntun saya kepada sebuah jalan kebenaran? Sobekan kertas 'misterius' itu membuat saya panasaran untuk mencari tahu tentang Islam.
Siang itu, saya kembali menemui Pak Masduki, seraya menceritakan apa yang baru saya alami. Pak Masduki bilang, "Chris, mungkin itu sudah panggilan. Bisa jadi itu hidayah. Tapi, itu terserah kamu. Untuk masuk Islam itu tidak ada paksaan. Apakah kamu tetap bertahan atau melepaskan akidah Katolik kamu, semua tergantung kamu. Jadi kamu sendiri yang memutuskannya."
Pada tanggal 20 November 1999, saat saya duduk di kelas III, tanpa ragu-ragu lagi saya resmi memeluk Islam. Pak Masduki sendiri yang membimbing saya mengucapkan kalimat syahadat, di masjid dekat sekolah. Teman-teman sekolah dan sebagian guru hadir menyaksikan saya men]adi seorang Muslim.
Saat itu saya tak kuasa menahan haru. Terlebih saat Pak Masduki memeluk saya, disusul oleh teman-teman yang lain. Jujur, tak pernah saya merasakan suasana seindah dan sebahagia ini. Dalam pelukan Pak Masduki dan teman-teman sekolah, air mata saya meleleh membasahi pipi. Usai syahadat, perasaan saya betul-betul plong. Ada sebuah kekuatan baru mengisi relung-relung kehidupan saya.
Mama Lebih Dulu
Sebelum Chris resmi memeluk Islam, ternyata mamanya lebih dulu sudah menjadi Muslimah empat tahun sebelumnya (1996). Selama itu mamanya tetap memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memeluk agama yang mereka yakini. Mamanya tidak ingin memaksakan anak-anaknya mengikuti langkahnya. Oleh karena itu hubungan antara sang mama dan anak-anaknya yang beragama Katolik tetap baik.
Menurut Chris, sebelum mamanya masuk Islam, orang-tuanya sudah bercerai. Chris bersama dua saudaranya ikut mamanya sedangkan tiga saudaranya yang lain ikut papa. Sekalipun berpisah, papanya tetap mengunjungi anak-anaknya yang diasuh oleh mama.
Chris tak menyangkal adanya peran mamanya membuat dia tertarik pada Islam. "Ketertarikan saya pada Islam juga saya rasakan bila memperhatikan mama sedang shalat. Wajah mama terlihat bersih dan bersinar, seperti ada pancaran cahaya yang merasuk di sekujur tubuhnya," akunya.
Secara diam-diam ia suka membuka-buka bacaan mamanya , tentang Islam. Ada beberapa buku Islam milik mamanya yang tersimpan di rak buku. Buku yang pertama kali dibacanya adalah Iqra. Selain itu, ia juga membaca buku Ahmad Deedat berjudul Mengungkap tentang Bibel (Versi Islam & Kristen). "Mama sendiri tidak tahu bahwa saya sebenarnya sedang mempelajari Islam, walau dengan sembunyi-sembunyi," tambahnya.
Dari kebiasaan dan hobinya membaca sejak kecil, ia terdorong melahap buku apa saja, termasuk mempelajari pelbagai agama. Akhirnya ia kian intensif mempelajari Islam lewat bacaan dan bertanya pada orang yang mengerti tentang Islam.
"Yang membuat tekad saya semakin mantap untuk memeluk I Islam, adalah ketika saya membaca dan mengkaji Al Qur'an Surat Al Ikhlas. Saya merasa kandungan ayat-ayat ini lebih rasional," katanya.
Saat ini, adik-adik Chris sudah menjadi Muslim, tinggal kakak sulungnya yang masih Katolik.
Menjual Kue Keliling
Betapa berat ujian yang dihadapi Chris dan mamanya memilih jalan hidupnya. Semula Chris hidup dengan ekonomi yang berkecukupan. Boleh dibilang berada, Terlebih papanya adalah seorang interior designer rumah tangga. Tapi sejak papanya mengalami musibah kecelakaan (tahun 1992), keadaan ekonomi keluarga dirasakan sangat sulit. Mari kita ikuti penuturan Chris selanjutnya:
Sejak Mama bercerai dengan papa, boleh dibilang membuat saya dan adik-adik saya hidup prihatin. Dulu ekonomi papa kuat. Bahkan keluarga papa banyak yang kaya. Saat masih jaya-jayanya, semua kebutuhan bisa terbeli bahkan saya sempat kuliah beberapa semester.
Sekarang saya, mama dan dua adik saya ngontrak di daerah Bekasi. Sedangkan sehari-hari mama membuat kue dan menjualnya ke warung-warung terdekat Demi tuntutan hidup, saya sendiri ikut membantu mama membuatkan kue.
Lingkungan tempat tinggal kami dikenal Islamnya kuat. Saat mama menjajakan kue keliling kampung, tak seorang pun yang menyentuh apalagi membeli kue buatan mama. Mereka enggan membeli karena mengira kue buatan mama bercampur barang haram. Maklum kami keturunan Cina. Saya bisa memahami, mereka belum tahu bahwa kami sudah Muslim.
Untunglah ada seorang yang baik hati membantu kami. KH Muhammad Saimin, yang dihormati masyarakat Ia membeli seluruh kue jajaan mama, lalu bersama istrinya membagi-bagikannya kepada orang kampung, sambil memberi informasi bahwa kami sudah menjadi Muslim. "Kue ini halal," kata Pak Saimin. Setelah itulah warga mulai mau membeli kue-kue mama.
Kini, saya tak bisa meneruskan kuliah lagi. Mau tak mau saya hanya mengandalkan ijazah SMEA (jurusan Akuntansi) untuk melamar kerja. Saya ingin sekali membantu mama dan adik-adik saya. Tapi, setiap kali saya melamar selalu ditolak karena fisik saya kurang sempurna. Saya merasakan diskriminasi dalam kehidupan saya.
Pernah saya menemui seorang di bagian personalia suatu perusahaan. Saat dia melihat kondisi fisik saya, dia langsung berkata. "Maaf, fisik kamu begini, jadi nggak bisa diterima."
Kata-kata itu saya rasakan seperti petir di siang bolong. Saya tak bias melupakan itu. Sampai kini saya masih merasakan minder karena fisik yang tidak sempurna. Tapi saya yakin Allah akan memberi jalan keluar yang terbaik untuk saya. Insya Allah.
Sementara ini, selain membantu mama membuat kue, setiap hari minggu saya diminta sekolah almameter saya untuk mengajar eks-school teater. Pernah saya aktif di sebuah 'Sanggar Bina Kharisma' pimpinan Karim Usman, mengumpulkan dan mengajari anak-anak jalanan membaca dan menulis.
Doakan saya dapat pekerjaan, untuk mengurangi beban hidup mama dan adik-adik saya. (amanahonline)
http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=421_0_4_0_C
Paquita Wijaya : Karena Rangkaian Keajaiban
Paquita Wijaya, itulah namaku. Sejak lahir aku memeluk agama Kristen Protestan. Kesempatan pernah mengenyam pendidikan Barat di Parsons School of Design New York, membuat cara berpikirku sangat rasional. Apalagi aku dibesarkan dalam kultur keluarga yang demokratis. Termasuk dalam menyikapi agama. Namun setelah rasioku ditundukkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan Allah itu benar ada, aku pun bersyahadat dan masuk Islam.
Sudah lama aku tertarik dengan Islam. Kupikir, ini agama yang paling rasional. Perlahan, aku tertarik dengan ritual Islam yang dijalankan Tanteku, seorang muslimah yang sempat tinggal bersama keluargaku. Tapi hingga suatu saat aku suting di pulau Nias, Sumatera Utara, aku belum juga memeluk Islam.
Inilah awalnya....
Pulau Nias tiap hari diguyur hujan lebat, disertai angin dan badai. Dua bulan tim kami terperangkap di pulau itu. Tak ada pesawat yang berani terbang di tengah cuaca buruk. Padahal, aku harus segera ke Jakarta.
Kepada teman-teman aku bilang, "Kalau hujannya berhenti, aku akan sholat." Pernyataan itu muncul spontan. Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca langsung cerah.
Akupun bisa tiba di Jakarta tanpa kesulitan. Walaupun aku berulang-ulang ditunjukkan 'sesuatu' yang sebelumnya tidak kupercayai, toh aku tidak langsung masuk Islam. Rasioku berkata, "Bukankah semua itu terjadi karena kebetulan saja." Hari-hari pun berjalan lagi. Membuat musik, mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta rutinitas lainnya. Namun sejak itu aku kerap memimpikan hal yang menurutku aneh. Misalnya aku mimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah temanku yang sudah meninggal.
Meski aku mengenalnya dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling seram, aku mimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat apa-apa. Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata.
Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh mengusir mimpi buruk. "Surat apa yang kamu hafal?" tanya mereka, sambil menyebut beberapa nama surat dari Al-Quran. Kujawab, "Kecuali Al-Fatihah, tak ada yang lain." Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sungguh, sejak saat itu aku tak mimpi aneh-aneh lagi.
Lain waktu aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku. Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, dalam mimpi itu seperti ada yang menggerakkanku untuk sholat, hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah sholat, aku jadi mempunyai kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya.
Akhirnya aku sampai pada suatu perasaan kekeringan hati. Dalam agamaku saat itu, aku tak merasakan suatu spirit. Katakanlah keimanan. Aku teringat saat-saat aku mengikuti tanteku berpuasa di bulan Ramadhan, saat itu aku masih seorang Kristen. Tapi pengalaman batin yang kurasakan sungguh istimewa.
Demikian pula pengalaman batin yang kurasakan saat pelan-pelan aku mulai lancar melafalkan Al Fatihah, karena kerap menyaksikan Tanteku menunaikan Sholat. Aku pun sampai pada kesimpulan yang bulat. Iman Islam inilah yang mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini menyirami jiwaku.
Dua tahun kujalani proses perenungan itu, akhirnya aku mengikrarkan keIslamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari. Di hadapan seorang ustadz, kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak mengalami kesulitan.
Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu, aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubalighah di Solo.
Semula orang tuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku, yang kebetulan seorang muslim. Demi menjaga niat keIslamanku, aku putus dengan pacarku ini. Hingga akhirnya aku menikah dengan seorang muslim lainnya. Ia pun rajin beribadah. Melihat dia sholat, rasanya hati ini senang tak terperi. Aku bangga memilih dan dipilih menjadi muslimah. [pesantren.net]
http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=2015_0_4_0_C
Sudah lama aku tertarik dengan Islam. Kupikir, ini agama yang paling rasional. Perlahan, aku tertarik dengan ritual Islam yang dijalankan Tanteku, seorang muslimah yang sempat tinggal bersama keluargaku. Tapi hingga suatu saat aku suting di pulau Nias, Sumatera Utara, aku belum juga memeluk Islam.
Inilah awalnya....
Pulau Nias tiap hari diguyur hujan lebat, disertai angin dan badai. Dua bulan tim kami terperangkap di pulau itu. Tak ada pesawat yang berani terbang di tengah cuaca buruk. Padahal, aku harus segera ke Jakarta.
Kepada teman-teman aku bilang, "Kalau hujannya berhenti, aku akan sholat." Pernyataan itu muncul spontan. Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca langsung cerah.
Akupun bisa tiba di Jakarta tanpa kesulitan. Walaupun aku berulang-ulang ditunjukkan 'sesuatu' yang sebelumnya tidak kupercayai, toh aku tidak langsung masuk Islam. Rasioku berkata, "Bukankah semua itu terjadi karena kebetulan saja." Hari-hari pun berjalan lagi. Membuat musik, mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta rutinitas lainnya. Namun sejak itu aku kerap memimpikan hal yang menurutku aneh. Misalnya aku mimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah temanku yang sudah meninggal.
Meski aku mengenalnya dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling seram, aku mimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat apa-apa. Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata.
Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh mengusir mimpi buruk. "Surat apa yang kamu hafal?" tanya mereka, sambil menyebut beberapa nama surat dari Al-Quran. Kujawab, "Kecuali Al-Fatihah, tak ada yang lain." Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sungguh, sejak saat itu aku tak mimpi aneh-aneh lagi.
Lain waktu aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku. Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, dalam mimpi itu seperti ada yang menggerakkanku untuk sholat, hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah sholat, aku jadi mempunyai kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya.
Akhirnya aku sampai pada suatu perasaan kekeringan hati. Dalam agamaku saat itu, aku tak merasakan suatu spirit. Katakanlah keimanan. Aku teringat saat-saat aku mengikuti tanteku berpuasa di bulan Ramadhan, saat itu aku masih seorang Kristen. Tapi pengalaman batin yang kurasakan sungguh istimewa.
Demikian pula pengalaman batin yang kurasakan saat pelan-pelan aku mulai lancar melafalkan Al Fatihah, karena kerap menyaksikan Tanteku menunaikan Sholat. Aku pun sampai pada kesimpulan yang bulat. Iman Islam inilah yang mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini menyirami jiwaku.
Dua tahun kujalani proses perenungan itu, akhirnya aku mengikrarkan keIslamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari. Di hadapan seorang ustadz, kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak mengalami kesulitan.
Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu, aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubalighah di Solo.
Semula orang tuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku, yang kebetulan seorang muslim. Demi menjaga niat keIslamanku, aku putus dengan pacarku ini. Hingga akhirnya aku menikah dengan seorang muslim lainnya. Ia pun rajin beribadah. Melihat dia sholat, rasanya hati ini senang tak terperi. Aku bangga memilih dan dipilih menjadi muslimah. [pesantren.net]
http://www.swaramuslim.net/islam/more.php?id=2015_0_4_0_C
Ajaran Agama Islam Mencakup Segala Aspek dalam Kehidupan
Abdul Latif Abdullah, adalah seorang Amerika pemeluk agama Kristen Protestan sebelum memeluk Islam. Namanya yang sekarang adalah nama Islam yang ia pilih setelah mengucapkan dua kalimat syahadat pada tanggal 30 Juli 1999, sebelumnya ia bernama Steven Krauss. Ketertarikan Krauss pada Islam dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di sebuah universitas di New York City pada tahun 1998. Ketika itu, ia bukanlah seorang pemeluk Kristen yang taat. Menurutnya, agama Kristen Protestan yang ia peluk sudah tidak relevan lagi dengan jaman sekarang.
"Saya sukar menemukan apapun dalam agama itu yang bisa saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kekecewaan saya terhadap ajaran Kristen membuat saya menutup diri dengan hal-hal yang diklaim sebagai agama yang terorganisir, karena menurut asumsi saya semua agama semacam itu sama saja paling tidak dalam hal tidak aplikatif dan tidak bermanfaatnya agama-agama seperti itu. Oleh sebab itu, saya lebih berminat dengan apa yang diistilahkan sebagai spiritualitas tapi bukan agama," papar Abdul Latif mengisahkan masa lalunya.
Ia mengaku sulit menerima tentang konsep ketuhanan dan konsep tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam ajaran Kristen, yang menurutnya ganjil. Dalam filosofis Kristen, ungkap Abdul Latif, hubungan antara manusia dengan Tuhan lewat perantara yaitu Yesus, padahal Yesus manusia juga cuma memiliki kelebihan sebagai utusan Tuhan.
"Filosofis hubungan manusia dengan Tuhan yang sulit dan tidak jelas itu membuat saya mencari sesuatu yang bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Mengapa dalam Kristen saya tidak bisa berdoa langsung pada Tuhan? Mengapa setiap berdoa saya harus mengawali dan mengakhirinya dengan menyebut 'atas nama bapak, dan putera dan roh kudus'? Mengapa Tuhan yang Maha harus mengambil bentuk sebagai seorang laki-laki yaitu Yesus, mengapa Tuhan merasa perlu melakukan hal seperti itu?" ujar Abdul Latif.
"Itu cuma sebagian pertanyaan yang tidak mampu saya pecahkan. Saya menginginkan pendekatan yang jelas bersifat langsung dalam sebuah ajaran agama, yang benar-benar memberikan tuntunan pada kehidupan saya dan bukan cuma dogma yang tidak jelas alasannya," sambungnya.
Ketika masih menjadi mahasiswa, Abdul Latif punya teman sekamar orang Yahudi yang mempelajari Pencak Silat, ilmu bela diri tradisional. Setiap pulang latihan pencak silat dari padepokan yang dipimpin oleh seorang asal Malaysia, ahabatnya itu selalu bercerita tentang keunikan dan kekayaan dimensi spiritual dalam pencak silat. Abdul Latif tertarik dengan cerita sahabatnya itu dan berniat untuk mengetahui pencak silat lebih dalam. Suatu pagi di hari Sabtu, tanggal 28 Februari 1998, ia pun ikut ke tempat latihan pencak silat dan bertemu dengan guru pencak silatnya bernama Sulaiman, seorang Muslim Malaysia. Saat itu, ia tak menyadari bahwa momen itulah yang akan mengantarnya mengenal agama Islam dan menjadi seorang Muslim.
Sejak itu, Abdul Latif banyak menghabiskan waktunya berlatih pencak silat dan belajar Islam dari Sulaiman, gurunya yang sering ia panggil Cikgu (panggilan untuk seorang guru). Ia dan teman sekamarnya yang orang Yahudi itu juga sering berkunjung ke rumah Sulaiman, untuk menggali lebih banyak ilmu pencak silat dan tentu saja tentang agama Islam.
"Orientasi saya terhadap Islam sangat kuat. Ketika saya mempelajarinya, saya seperti sedang menjalankannya. Karena saya belajar di rumah guru saya, hadir di tengah Muslim yang taat membuat saya selalu dikelilingi oleh suara, penglihatan dan praktek-praktek agama Islam. Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Ketika Anda berada dalam lingkungan Islam, Anda tidak bisa memisahkannya dari kehidupan sehari-hari."
"Tidak seperti ajaran Kristen yang memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan umatnya untuk mengintegrasikan ibadah pada Tuhan dengan semua perbuatan kita. Bersama guru saya, saya langsung merasakan dan mengalami kehidupan yang islami dan menyaksikan sendiri bagaimana Islam bisa membentuk cara hidup seseorang secara keseluruhan," papar Abdul Latif menceritakan pengalamannya pertama kali mengenal dan belajar Islam.
Sebagai orang yang ketika itu menjalani kehidupan yang liberal, Abdul Latif mengaku juga menemui banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Apalagi ketika itu ia antipati dengan segala hal yang bersifat dogmatis, tak peduli asalnya darimana. Seiring dengan perjalanan waktu dan pehamannya tentang Islam makin meningkat, Abdul Latif pelan-pelan melihat bahwa apa yang ia anggap sebagai dogma agama merupakan sebuah gaya hidup yang sebenarnya yang diajarkan Sang Pencipta untuk umatnya. Dan ia menemukannya dalam ajaran Islam.
Abdul Latif akhirnya memutuskan menjadi seorang Muslim dan mengucapkan dua kalimat syahadat pada 30 Juli 1998, atau lima bulan setelah ia datang ke tempat latihan pencak silat dan belajar tentang Islam dengan guru pencak silatnya. Tapi sebelum mengambil keputusan itu, Abdul Latif benar-benar mengeksplorasi dirinya sendiri apakah ia serius untuk masuk Islam. Dua hal penting yang ia tegaskan dalam dirinya adalah pertanyaan tentang gaya hidup masyarakat Amerika dimana ia dibesarkan dulu yang mengukur kebahagiaan hanya berdasarkan pada apa yang kita punya dan apa yang mampu kita beli serta pertanyaan seputar agama apa yang ia inginkan berperan dalam kehidupannya.
Ketika belajar dan akhirnya memeluk Islam, Abdul Latif menyadari betapa menyejukannya cara hidup yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan bahwa semua yang kita lakukan harus bertujuan untuk beribadah pada Allah. Islam bukan agama yang bisa dirasionalisasikan seperti agama Kristen dan Yudaisme. Islam memberikan jalan dan petunjuk yang jelas bagi penganutnya untuk diikuti berupa al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. (ln/iol)
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5628-steven-krauss--sulit-menerima-tentang-konsep-ketuhanan-kristen
"Saya sukar menemukan apapun dalam agama itu yang bisa saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kekecewaan saya terhadap ajaran Kristen membuat saya menutup diri dengan hal-hal yang diklaim sebagai agama yang terorganisir, karena menurut asumsi saya semua agama semacam itu sama saja paling tidak dalam hal tidak aplikatif dan tidak bermanfaatnya agama-agama seperti itu. Oleh sebab itu, saya lebih berminat dengan apa yang diistilahkan sebagai spiritualitas tapi bukan agama," papar Abdul Latif mengisahkan masa lalunya.
Ia mengaku sulit menerima tentang konsep ketuhanan dan konsep tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam ajaran Kristen, yang menurutnya ganjil. Dalam filosofis Kristen, ungkap Abdul Latif, hubungan antara manusia dengan Tuhan lewat perantara yaitu Yesus, padahal Yesus manusia juga cuma memiliki kelebihan sebagai utusan Tuhan.
"Filosofis hubungan manusia dengan Tuhan yang sulit dan tidak jelas itu membuat saya mencari sesuatu yang bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Mengapa dalam Kristen saya tidak bisa berdoa langsung pada Tuhan? Mengapa setiap berdoa saya harus mengawali dan mengakhirinya dengan menyebut 'atas nama bapak, dan putera dan roh kudus'? Mengapa Tuhan yang Maha harus mengambil bentuk sebagai seorang laki-laki yaitu Yesus, mengapa Tuhan merasa perlu melakukan hal seperti itu?" ujar Abdul Latif.
"Itu cuma sebagian pertanyaan yang tidak mampu saya pecahkan. Saya menginginkan pendekatan yang jelas bersifat langsung dalam sebuah ajaran agama, yang benar-benar memberikan tuntunan pada kehidupan saya dan bukan cuma dogma yang tidak jelas alasannya," sambungnya.
Ketika masih menjadi mahasiswa, Abdul Latif punya teman sekamar orang Yahudi yang mempelajari Pencak Silat, ilmu bela diri tradisional. Setiap pulang latihan pencak silat dari padepokan yang dipimpin oleh seorang asal Malaysia, ahabatnya itu selalu bercerita tentang keunikan dan kekayaan dimensi spiritual dalam pencak silat. Abdul Latif tertarik dengan cerita sahabatnya itu dan berniat untuk mengetahui pencak silat lebih dalam. Suatu pagi di hari Sabtu, tanggal 28 Februari 1998, ia pun ikut ke tempat latihan pencak silat dan bertemu dengan guru pencak silatnya bernama Sulaiman, seorang Muslim Malaysia. Saat itu, ia tak menyadari bahwa momen itulah yang akan mengantarnya mengenal agama Islam dan menjadi seorang Muslim.
Sejak itu, Abdul Latif banyak menghabiskan waktunya berlatih pencak silat dan belajar Islam dari Sulaiman, gurunya yang sering ia panggil Cikgu (panggilan untuk seorang guru). Ia dan teman sekamarnya yang orang Yahudi itu juga sering berkunjung ke rumah Sulaiman, untuk menggali lebih banyak ilmu pencak silat dan tentu saja tentang agama Islam.
"Orientasi saya terhadap Islam sangat kuat. Ketika saya mempelajarinya, saya seperti sedang menjalankannya. Karena saya belajar di rumah guru saya, hadir di tengah Muslim yang taat membuat saya selalu dikelilingi oleh suara, penglihatan dan praktek-praktek agama Islam. Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Ketika Anda berada dalam lingkungan Islam, Anda tidak bisa memisahkannya dari kehidupan sehari-hari."
"Tidak seperti ajaran Kristen yang memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan umatnya untuk mengintegrasikan ibadah pada Tuhan dengan semua perbuatan kita. Bersama guru saya, saya langsung merasakan dan mengalami kehidupan yang islami dan menyaksikan sendiri bagaimana Islam bisa membentuk cara hidup seseorang secara keseluruhan," papar Abdul Latif menceritakan pengalamannya pertama kali mengenal dan belajar Islam.
Sebagai orang yang ketika itu menjalani kehidupan yang liberal, Abdul Latif mengaku juga menemui banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Apalagi ketika itu ia antipati dengan segala hal yang bersifat dogmatis, tak peduli asalnya darimana. Seiring dengan perjalanan waktu dan pehamannya tentang Islam makin meningkat, Abdul Latif pelan-pelan melihat bahwa apa yang ia anggap sebagai dogma agama merupakan sebuah gaya hidup yang sebenarnya yang diajarkan Sang Pencipta untuk umatnya. Dan ia menemukannya dalam ajaran Islam.
Abdul Latif akhirnya memutuskan menjadi seorang Muslim dan mengucapkan dua kalimat syahadat pada 30 Juli 1998, atau lima bulan setelah ia datang ke tempat latihan pencak silat dan belajar tentang Islam dengan guru pencak silatnya. Tapi sebelum mengambil keputusan itu, Abdul Latif benar-benar mengeksplorasi dirinya sendiri apakah ia serius untuk masuk Islam. Dua hal penting yang ia tegaskan dalam dirinya adalah pertanyaan tentang gaya hidup masyarakat Amerika dimana ia dibesarkan dulu yang mengukur kebahagiaan hanya berdasarkan pada apa yang kita punya dan apa yang mampu kita beli serta pertanyaan seputar agama apa yang ia inginkan berperan dalam kehidupannya.
Ketika belajar dan akhirnya memeluk Islam, Abdul Latif menyadari betapa menyejukannya cara hidup yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan bahwa semua yang kita lakukan harus bertujuan untuk beribadah pada Allah. Islam bukan agama yang bisa dirasionalisasikan seperti agama Kristen dan Yudaisme. Islam memberikan jalan dan petunjuk yang jelas bagi penganutnya untuk diikuti berupa al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. (ln/iol)
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5628-steven-krauss--sulit-menerima-tentang-konsep-ketuhanan-kristen
Para Cendikiawan Kristen Mengakui Bahwa Alkitab Bukan Kitab Suci Yang Sempurna,
Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.
Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertama kalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun'im dari Thailand. "Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah," kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun'im.
Jamilah pun mengundang Mun'im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun'im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah "Muslim" dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun'im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun '70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
"Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam," ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. "Saya cuma ingin menemukan kebenaran," kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
"Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai," tukas Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika. (ln/readingislam/iol)
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5639-cibercita-cita-menjadi-pendeta-malah-masuk-islam
Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertama kalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun'im dari Thailand. "Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah," kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun'im.
Jamilah pun mengundang Mun'im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun'im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah "Muslim" dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun'im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun '70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
"Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam," ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. "Saya cuma ingin menemukan kebenaran," kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
"Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai," tukas Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika. (ln/readingislam/iol)
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5639-cibercita-cita-menjadi-pendeta-malah-masuk-islam
Karena Konsep Trinitas tidak Masuk Akal Sehat
Kathryn Bouchard dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang moderat. Kedua orangtuanya adalah guru sekolah Katolik. Hubungan antar keluarga mereka terbilang akrab satu sama lain. Kathryn yang asal Kanada menghabiskan masa remajanya di London dan Ontario.
Seperti penganut Katolik lainnya, ia pergi ke gereja setiap hari minggu, sekolah di sekolah Katolik hingga ke jenjang universitas. Kathyrn kuliah di Brescia University College, sebuah perguruan tinggi Kristen khusus perempuan yang berafiliasi dengan Universitas Western Ontario.
"Meski saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, orangtua mendorong saya untuk berteman dengan beragam orang dari berbagai latar belakang dan boleh menanyakan apa saja berkaitan dengan kehidupan dan agama," kata Kathryn.
Konsep Trinitas Yang Tak Masuk Akal
Ia mulai mempelajari agama-agama dalam usia yang relatif masih mudah ketika ia berusia 16 atau 17 tahun dan masih duduk di sekolah menengah. Kathryn mengatakan, ia tidak mau menjadi bagian dari sebuah agama hanya karena ia sudah menganut agama itu sejak ia dilahirkan. Itulah sebabnya, Kathryn tidak sungkan mempelajari beragam agama mulai dari Hindu, Budha sampai Yudaisme. Ketika itu, ia hanya sedikt saja mengeksplorasi agama Islam.
Alasan Kathryn mempelajari beragam agama, salah satunya karena banyak hal dalam ajaran Katolik yang tidak dipahami Kathryn. "Kami sering kedatangan pendeta di sekolah dan kami melakukan pengakuan dosa. Saya pernah bertanya pada seorang pendeta,'Saya betul-betul tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya," tutur Kathryn.
Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang konsep Trinitas dalam agama Kristen, hingga ia di bangku kuliah dan mempelajari berbagai ilmu di seminari dan mempelajari teologi agama Katolik.
"Jika saya menanyakan tentang Trinitas, mereka akan menjawab 'ayah dan ibumu saling mencintai, ketika mereka memiliki anak, itu seperti tiga dalam satu dengan identitas berbeda'. Jadi, banyak sekali analogi yang diberikan untuk menjelaskan bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan dan menjadi anak Tuhan dan menjadi dirinya sendiri. Saya pikir banyak penganut Kristen yang menerima konsep ini tanpa memahaminya, " ujar Kathryn.
Ia lalu menanyakan konsep Trinitas ke beberapa temannya dan ia mendapat jawaban bahwa konsep Trinitas ada dan ditetapkan sebagai dasar kepercayaan dalam agama Kristen setelah Yesus wafat. Sebuah jawaban yang mengejutkan Kathryn, karena itu artinya semua dasar dalam ajaran Kristen adalah ciptaan manusia. Yesus semasa hidupnya tidak pernah bilang dirinya adalah anak Tuhan dan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya Tuhan.
"Saya membaca Gospel Mathias pertama dan dalam Gospel itu Yesus tidak direferensikan sebagai anak Tuhan, tapi anak seorang manusia. Tapi dalam Gospel yang ditulis setelah Yesus wafat, banyak sekali disebutkan bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Dan disebutkan pula bahwa ada alasan politis dibalik argumen konsep Trinitas," papar Kathryn.
Ia melanjutkan,"Saya juga menemukan bahwa Yesus berdoa dan memohon pertolongan pada Tuhan. Jika Yesus minta pertolongan pada Tuhan, lalu bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan. Ini tidak masuk akal buat saya."
Mengenal Islam
Setelah menyelesaikan studinya di Ontario, Kathryn pindah ke Montreal dan di kota ini ia bertemu dengan banyak Muslim dari berbagai latar belakang mulai dari Eropa, Afrika dan Karibia. Keberagaman ini membuka mata Kathryn bahwa pemeluk Islam ternyata berasal dari berbagai latar belakang kebangsaaan. Fakta ini mendorongnya untuk lebih banyak belajar tentang Muslim dan latar belakang mereka.
Kathryn mulai membaca banyak referensi tentang Islam. Tapi ia menemukan bahwa contoh-contoh ekstrim tentang Islam di internet sehingga ia sempat berkomentar "Saya tidak mau menjadi bagian dari agama ini (Islam)." Oleh sang ayah, Kathryn disuruh terus membaca karena menurut sang ayah, dalam banyak hal sering terjadi salah penafsiran.
Kathryn pun melanjutkan pencariannya tentang Islam. Ia bergabung dengan situs "Muslimahs", sebuah situs internasional yang beranggotakan para Muslimah maupun para mualaf dari berbagai negara. Dari situs inilah ia banyak belajar dan bertanya tentang Islam.
Kathryn mengatakan banyak hal yang ingin ia ketahui tentang ajaran Islam. Misalnya, apa saja persamaan dan perbedaan ajaran Islam dan Kristen, bagaimana posisi Yesus dalam Islam, siapa Nabi Muhammad, masalah poligami dan berbagai isu Islam yang muncul pasca serangan 11 September 2001 di AS.
Selama kuliah di Montreal, Kathryn belajar banyak hal tentang Islam. Ketika ia pulang ke London, orangtuanya mengira bahwa Kathryn hanya rindu kembali ke rumah dan bukan untuk memperdalam minatnya pada Islam. Kathryn lalu membeli al-Quran dan buku-buku hadist. Pada ayahnya, ia bilang bahwa al-Quran bukan buatan manusia, ketika membaca al-Quran sepertinya Tuhan sedang bicara pada kita.
"Anda merasa bahwa ada juga kebenaran yang ditulis dalam alkitab, tapi Anda tidak akan merasa bahwa itu semua tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Sedangkan al-Quran, Anda akan merasakan kebenaran yang sesungguhnya," ujar Kathryn.
"Saya juga menemukan banyak ilmu pengetahuan yang sudah lebih dulu diungkap oleh al-Quran dan baru muncul kemudian dalam kehidupan manusia. Saya pikir, al-Quran diturunkan pada manusia dengan tingkat emosional dan logis. Islam mendorong umatnya untuk berpikir dan mencari ilmu," sambung Kathryn.
Kathryn pun mulai belajar salat, datang ke ceramah-ceramah agama dan mengontak masjid terdekat untuk mencari informasi apakah masjid itu punya program untuk orang-orang sepertinya dirinya, yang berminat pada agama Islam.
"Pertama kali saya masuk ke masjid, saya menangis. Saya merasakan ada energi yang begitu besar yang tidak saya rasakan ketika saya ke gerejat," kisah Kathryn yang kemudian belajar membaca al-Quran di masjid itu. Ia terus belajar dan bergaul dengan para warga Muslim. Sedikit demi sedikit, Kathryn bisa mengubah gaya hidupnya.
Ditanya apakah orangtuanya keberatan dengan perubahan dirinya. Kathryn mengaku butuh waktu cukup panjang untuk meyakinkan orangtuanya bahwa ia tidak menjauh dari keluarganya jika memeluk Islam.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Kathryn mengungkapkan bahwa ia sendiri tidak pernah menyangka akhirnya memutuskan masuk Islam dan itu semua terjadi begitu saja. Saat itu, di bulan Juni tahun 2008, seperti biasanya ia datang ke pengajian mingguan di sebuah Islamic Center. Ia sama sekali berniat mengucapkan dua kalimat syahadat hari itu. Tapi ketika ia tiba di gedung Islamic Center, banyak sekali orang-orang yang telah ia kenal hadir.
Hari itu, tema pengajian adalah umrah. Banyak anak-anak muda Muslim yang datang dan menceritakan pengalaman mereka ikut umrah serta bagaimana hidup mereka berubah setelah umrah. Pengajian dibimbing oleh Dr Munir El-Kassem. Saat Dr El-Kassem bertanya apakah ada diantara para hadirin yang ingin mengajukan pertanyaan, Kathryn dengan spontan mengangkat tangan dan berkata,"Bisakah saya mengucapkan syahadat?" Kathryn sempat kaget sendiri dengan pertanyaan itu karena ia merasa tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja, spontan.
"Seketika ruangan menjadi sunyi dan saya pikir Dr El-Kassem juga terkejut. Saya memang mengenakan kerudung setiap kali datang pengajian sebagai bentuk penghormatan saya pada Islam. Dr El-Kassem lalu meminta saya maju ke depan dan menceritakan di depan hadirin bagaimana saya bisa sampai pada Islam," tutur Kathryn.
Kathryn mengaku gemetar ketika mengucapkan dua kalimat syahadat. "Tapi saya merasa hati saya begitu lapang, penuh dengan cahaya ibarat sebuah pintu hati yang terbuka. Saya mereka sudah mengambil jalan yang benar," ungkap Kathryn.
Itulah hari bersejarah bagi Kathryn, hari dimana ia memulai kehidupan sebagai seorang Muslimah. Tahun pertama menjalankan puasa di bulan Ramadhan, diakui Kathryn sangat berat. Namun ia merasa bahagia setelah menjadi seorang Muslim. Kathryn mengaku hidupnyan lebih teratur, disiplin dan sehat karena ia tidak lagi makan daging babi dan minum minuman beralkohol. Kathryn juga mengatakan bahwa ia kini tahu apa sebenarnya tujuan dan mau kemana arah hidupnya. (ln/iol/readislam)
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5641-kathryn-konsep-trinitas-tak-masuk-akal
Seperti penganut Katolik lainnya, ia pergi ke gereja setiap hari minggu, sekolah di sekolah Katolik hingga ke jenjang universitas. Kathyrn kuliah di Brescia University College, sebuah perguruan tinggi Kristen khusus perempuan yang berafiliasi dengan Universitas Western Ontario.
"Meski saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, orangtua mendorong saya untuk berteman dengan beragam orang dari berbagai latar belakang dan boleh menanyakan apa saja berkaitan dengan kehidupan dan agama," kata Kathryn.
Konsep Trinitas Yang Tak Masuk Akal
Ia mulai mempelajari agama-agama dalam usia yang relatif masih mudah ketika ia berusia 16 atau 17 tahun dan masih duduk di sekolah menengah. Kathryn mengatakan, ia tidak mau menjadi bagian dari sebuah agama hanya karena ia sudah menganut agama itu sejak ia dilahirkan. Itulah sebabnya, Kathryn tidak sungkan mempelajari beragam agama mulai dari Hindu, Budha sampai Yudaisme. Ketika itu, ia hanya sedikt saja mengeksplorasi agama Islam.
Alasan Kathryn mempelajari beragam agama, salah satunya karena banyak hal dalam ajaran Katolik yang tidak dipahami Kathryn. "Kami sering kedatangan pendeta di sekolah dan kami melakukan pengakuan dosa. Saya pernah bertanya pada seorang pendeta,'Saya betul-betul tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya," tutur Kathryn.
Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang konsep Trinitas dalam agama Kristen, hingga ia di bangku kuliah dan mempelajari berbagai ilmu di seminari dan mempelajari teologi agama Katolik.
"Jika saya menanyakan tentang Trinitas, mereka akan menjawab 'ayah dan ibumu saling mencintai, ketika mereka memiliki anak, itu seperti tiga dalam satu dengan identitas berbeda'. Jadi, banyak sekali analogi yang diberikan untuk menjelaskan bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan dan menjadi anak Tuhan dan menjadi dirinya sendiri. Saya pikir banyak penganut Kristen yang menerima konsep ini tanpa memahaminya, " ujar Kathryn.
Ia lalu menanyakan konsep Trinitas ke beberapa temannya dan ia mendapat jawaban bahwa konsep Trinitas ada dan ditetapkan sebagai dasar kepercayaan dalam agama Kristen setelah Yesus wafat. Sebuah jawaban yang mengejutkan Kathryn, karena itu artinya semua dasar dalam ajaran Kristen adalah ciptaan manusia. Yesus semasa hidupnya tidak pernah bilang dirinya adalah anak Tuhan dan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya Tuhan.
"Saya membaca Gospel Mathias pertama dan dalam Gospel itu Yesus tidak direferensikan sebagai anak Tuhan, tapi anak seorang manusia. Tapi dalam Gospel yang ditulis setelah Yesus wafat, banyak sekali disebutkan bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Dan disebutkan pula bahwa ada alasan politis dibalik argumen konsep Trinitas," papar Kathryn.
Ia melanjutkan,"Saya juga menemukan bahwa Yesus berdoa dan memohon pertolongan pada Tuhan. Jika Yesus minta pertolongan pada Tuhan, lalu bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan. Ini tidak masuk akal buat saya."
Mengenal Islam
Setelah menyelesaikan studinya di Ontario, Kathryn pindah ke Montreal dan di kota ini ia bertemu dengan banyak Muslim dari berbagai latar belakang mulai dari Eropa, Afrika dan Karibia. Keberagaman ini membuka mata Kathryn bahwa pemeluk Islam ternyata berasal dari berbagai latar belakang kebangsaaan. Fakta ini mendorongnya untuk lebih banyak belajar tentang Muslim dan latar belakang mereka.
Kathryn mulai membaca banyak referensi tentang Islam. Tapi ia menemukan bahwa contoh-contoh ekstrim tentang Islam di internet sehingga ia sempat berkomentar "Saya tidak mau menjadi bagian dari agama ini (Islam)." Oleh sang ayah, Kathryn disuruh terus membaca karena menurut sang ayah, dalam banyak hal sering terjadi salah penafsiran.
Kathryn pun melanjutkan pencariannya tentang Islam. Ia bergabung dengan situs "Muslimahs", sebuah situs internasional yang beranggotakan para Muslimah maupun para mualaf dari berbagai negara. Dari situs inilah ia banyak belajar dan bertanya tentang Islam.
Kathryn mengatakan banyak hal yang ingin ia ketahui tentang ajaran Islam. Misalnya, apa saja persamaan dan perbedaan ajaran Islam dan Kristen, bagaimana posisi Yesus dalam Islam, siapa Nabi Muhammad, masalah poligami dan berbagai isu Islam yang muncul pasca serangan 11 September 2001 di AS.
Selama kuliah di Montreal, Kathryn belajar banyak hal tentang Islam. Ketika ia pulang ke London, orangtuanya mengira bahwa Kathryn hanya rindu kembali ke rumah dan bukan untuk memperdalam minatnya pada Islam. Kathryn lalu membeli al-Quran dan buku-buku hadist. Pada ayahnya, ia bilang bahwa al-Quran bukan buatan manusia, ketika membaca al-Quran sepertinya Tuhan sedang bicara pada kita.
"Anda merasa bahwa ada juga kebenaran yang ditulis dalam alkitab, tapi Anda tidak akan merasa bahwa itu semua tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Sedangkan al-Quran, Anda akan merasakan kebenaran yang sesungguhnya," ujar Kathryn.
"Saya juga menemukan banyak ilmu pengetahuan yang sudah lebih dulu diungkap oleh al-Quran dan baru muncul kemudian dalam kehidupan manusia. Saya pikir, al-Quran diturunkan pada manusia dengan tingkat emosional dan logis. Islam mendorong umatnya untuk berpikir dan mencari ilmu," sambung Kathryn.
Kathryn pun mulai belajar salat, datang ke ceramah-ceramah agama dan mengontak masjid terdekat untuk mencari informasi apakah masjid itu punya program untuk orang-orang sepertinya dirinya, yang berminat pada agama Islam.
"Pertama kali saya masuk ke masjid, saya menangis. Saya merasakan ada energi yang begitu besar yang tidak saya rasakan ketika saya ke gerejat," kisah Kathryn yang kemudian belajar membaca al-Quran di masjid itu. Ia terus belajar dan bergaul dengan para warga Muslim. Sedikit demi sedikit, Kathryn bisa mengubah gaya hidupnya.
Ditanya apakah orangtuanya keberatan dengan perubahan dirinya. Kathryn mengaku butuh waktu cukup panjang untuk meyakinkan orangtuanya bahwa ia tidak menjauh dari keluarganya jika memeluk Islam.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Kathryn mengungkapkan bahwa ia sendiri tidak pernah menyangka akhirnya memutuskan masuk Islam dan itu semua terjadi begitu saja. Saat itu, di bulan Juni tahun 2008, seperti biasanya ia datang ke pengajian mingguan di sebuah Islamic Center. Ia sama sekali berniat mengucapkan dua kalimat syahadat hari itu. Tapi ketika ia tiba di gedung Islamic Center, banyak sekali orang-orang yang telah ia kenal hadir.
Hari itu, tema pengajian adalah umrah. Banyak anak-anak muda Muslim yang datang dan menceritakan pengalaman mereka ikut umrah serta bagaimana hidup mereka berubah setelah umrah. Pengajian dibimbing oleh Dr Munir El-Kassem. Saat Dr El-Kassem bertanya apakah ada diantara para hadirin yang ingin mengajukan pertanyaan, Kathryn dengan spontan mengangkat tangan dan berkata,"Bisakah saya mengucapkan syahadat?" Kathryn sempat kaget sendiri dengan pertanyaan itu karena ia merasa tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja, spontan.
"Seketika ruangan menjadi sunyi dan saya pikir Dr El-Kassem juga terkejut. Saya memang mengenakan kerudung setiap kali datang pengajian sebagai bentuk penghormatan saya pada Islam. Dr El-Kassem lalu meminta saya maju ke depan dan menceritakan di depan hadirin bagaimana saya bisa sampai pada Islam," tutur Kathryn.
Kathryn mengaku gemetar ketika mengucapkan dua kalimat syahadat. "Tapi saya merasa hati saya begitu lapang, penuh dengan cahaya ibarat sebuah pintu hati yang terbuka. Saya mereka sudah mengambil jalan yang benar," ungkap Kathryn.
Itulah hari bersejarah bagi Kathryn, hari dimana ia memulai kehidupan sebagai seorang Muslimah. Tahun pertama menjalankan puasa di bulan Ramadhan, diakui Kathryn sangat berat. Namun ia merasa bahagia setelah menjadi seorang Muslim. Kathryn mengaku hidupnyan lebih teratur, disiplin dan sehat karena ia tidak lagi makan daging babi dan minum minuman beralkohol. Kathryn juga mengatakan bahwa ia kini tahu apa sebenarnya tujuan dan mau kemana arah hidupnya. (ln/iol/readislam)
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5641-kathryn-konsep-trinitas-tak-masuk-akal
Ki Manteb Makin Mantap dengan Islam
Nama Ki Manteb agaknya identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan wayang kulit. Ia termasuk dalang yang digandrungi dan laris. Jadwal pentasnya padat. Berikut ini kisah perjalanan spiritulnya dalam mencari kebahagiaan yang hakiki. Terus terang, saya mendapatkan dorongan untuk masuk Islam dari Gatot Tetuki, anak saya yang kedua dari istri kedua. Dahulu saya beragama Budha. Sebelumnya saya tidak mau masuk Islam, karena menurut saya agama itu berat. Saya tidak mau ikut-ikutan. Apakah untuk menjadi seorang muslim itu harus keturunan? Menurut saya, menjadi muslim itu harus diusahakan.
Demikianlah, saya harus banyak menimbang. Barulah ketika usai menghitankan Gatot dan ia minta diberangkatkan umrah, hati saya mulai tersentuh. Itu saya anggap sebagai panggilan Allah. Saya seperti diingatkan dan dibangunkan dari tidur panjang. Langsung saja, ajakan Gatot saya terima. Sesudah itu, saya mempersiapkan diri untuk masuk Islam.
Pada hari yang telah ditetapkan, saya mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggal saya. Mereka saya minta menjadi saksi upacara pengislaman saya.
Kemudian sesuai ajakan Gatot, saya melaksanakan umrah pada September 1995. Alhamdulillah, pada bulan April/Mei 1996, saya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak manfaat yang saya peroleh dari pengalaman-pengalaman tersebut. Semua itu, menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian diri.
Kejadian Aneh
Waktu beribadah haji, saya mengalami suatu kejadian sangat aneh. Sesampai di Mekah dan akan kembali ke Madinah, sesudah tawaf wada' saya ingin sekali mencium Hajar Aswad. Tetapi, mana mungkin? Padang Mina sudah menjadi lautan manusia yang tumplek menjadi satu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arap ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearah saya. Setelah saya hampiri, anak kecil itu mengucapkan, "Ahlan...ahlan..."(selamat datang, selamat datang, red.).
Seperti ada tarikan kuat, saya berjalan mengikutinya. Anak itu berjalan merunduk karena banyak orang. Oleh anak kecil itu, saya seperti ditunjukkan jalan. Belok kanan-kiri dan akhirnya pas tiba di Hajar Aswad. Alhamdulillah, saya dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Saya menangis disitu. Saya bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil itu.
Beberapa saat kemudian saya teringat pada anak itu. Saya ingat masih mengantongi uang 50 real. Saya berniat memeberikan uang tersebut kepada anak kecil tadi. Tetapi begitu saya tengok, anak kecil tadi sudah tidak ada. Kalau lari tidak mungkin. Sampai kini, siapa dan ke mana perginya anak kecil tadi masih menjadi misteri.
Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan dengan siapa pun tetap baik. Demikian pula dengan para pengrawit (penabuh gamelan, red) rombongan wayang kulit. Sebagian besar pengrawit sudah beragama Islam. Tinggal 3 orang yang belum Islam. Dalah hal ini, saya mempersilahkan saja sesuai dengan keyakinan mereka. Sebab, dalam memeluk Islam tidak boleh ada paksaan.
Merasa Tenteram
Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, saya selalu merasa waswas. "Aku nek ra payu, piye?" Saya kalau sudah tidak laku lagi, bagaimana? Begitu perasaan saya ketika itu.
Alhamdulillah, sekarang perasaan itu sudah tidak ada lagi. Saya berusaha taat shalat. Hasilnya, saya menjadi lebih dapat mengendalikan diri. Saya menjadi selalu berpikir positif ke pada Allah. Kalau memang sudah tidak ada rezeki lagi buat saya, tentu Allah sudah memanggil saya. Mengapa harus bingung? Intinya, pikiran sudah sumeleh. Alhamdulillah, keluarga saya sudah Islam semua.
Setelah masuk Islam, saya merasakan hasilnya. Keluarga semakin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar. Tidak ada suasana saling mencurigai. Itu yang saya rasakan dalam memeluk agama yang baru saya anut itu.
Beberapa kali saya diminta mengisi pengajian oleh masyarakat. Semampunya saya penuhi. Bukan bermaksud menggurui, tetapi itu kewajiban seorang muslim. Dalam pengajian, saya hanya menceritakan sejarah hidup saya yang dulu tidak karu-karuan, mbejujak.
Alhamdulillah, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejak saya, yaitu masuk Islam. Ketika berlangsung pengajian, ada jamaan yang bertanya, apa kalau ceramah saya mendapatkan uang saku? Dengan jujur saya jawab tidak. Sebab, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang.
Setelah menjadi muslim, saya harus lebih banyak belajar dalam mendalami Islam. Dalam hal ini, dirumah saya di Karang anyar, setiap bulan sekali saya selalu mendatangkan mubalig, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang lainnya, untuk memberikan pengajian kepada masyarakat. Setelah itu, saya teruskan dengan pentas wayang yang selalu saya sisipi dengan pesan-pesan dakwah. Saya memang terobsesi oleh metode dakwah Wali Songo yang menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah. [M. Ali M.E/Albaz]
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/71-ki-mantep-sudharsono--sudah-mantap-dalam-islam
Demikianlah, saya harus banyak menimbang. Barulah ketika usai menghitankan Gatot dan ia minta diberangkatkan umrah, hati saya mulai tersentuh. Itu saya anggap sebagai panggilan Allah. Saya seperti diingatkan dan dibangunkan dari tidur panjang. Langsung saja, ajakan Gatot saya terima. Sesudah itu, saya mempersiapkan diri untuk masuk Islam.
Pada hari yang telah ditetapkan, saya mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggal saya. Mereka saya minta menjadi saksi upacara pengislaman saya.
Kemudian sesuai ajakan Gatot, saya melaksanakan umrah pada September 1995. Alhamdulillah, pada bulan April/Mei 1996, saya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak manfaat yang saya peroleh dari pengalaman-pengalaman tersebut. Semua itu, menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian diri.
Kejadian Aneh
Waktu beribadah haji, saya mengalami suatu kejadian sangat aneh. Sesampai di Mekah dan akan kembali ke Madinah, sesudah tawaf wada' saya ingin sekali mencium Hajar Aswad. Tetapi, mana mungkin? Padang Mina sudah menjadi lautan manusia yang tumplek menjadi satu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arap ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearah saya. Setelah saya hampiri, anak kecil itu mengucapkan, "Ahlan...ahlan..."(selamat datang, selamat datang, red.).
Seperti ada tarikan kuat, saya berjalan mengikutinya. Anak itu berjalan merunduk karena banyak orang. Oleh anak kecil itu, saya seperti ditunjukkan jalan. Belok kanan-kiri dan akhirnya pas tiba di Hajar Aswad. Alhamdulillah, saya dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Saya menangis disitu. Saya bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil itu.
Beberapa saat kemudian saya teringat pada anak itu. Saya ingat masih mengantongi uang 50 real. Saya berniat memeberikan uang tersebut kepada anak kecil tadi. Tetapi begitu saya tengok, anak kecil tadi sudah tidak ada. Kalau lari tidak mungkin. Sampai kini, siapa dan ke mana perginya anak kecil tadi masih menjadi misteri.
Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan dengan siapa pun tetap baik. Demikian pula dengan para pengrawit (penabuh gamelan, red) rombongan wayang kulit. Sebagian besar pengrawit sudah beragama Islam. Tinggal 3 orang yang belum Islam. Dalah hal ini, saya mempersilahkan saja sesuai dengan keyakinan mereka. Sebab, dalam memeluk Islam tidak boleh ada paksaan.
Merasa Tenteram
Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, saya selalu merasa waswas. "Aku nek ra payu, piye?" Saya kalau sudah tidak laku lagi, bagaimana? Begitu perasaan saya ketika itu.
Alhamdulillah, sekarang perasaan itu sudah tidak ada lagi. Saya berusaha taat shalat. Hasilnya, saya menjadi lebih dapat mengendalikan diri. Saya menjadi selalu berpikir positif ke pada Allah. Kalau memang sudah tidak ada rezeki lagi buat saya, tentu Allah sudah memanggil saya. Mengapa harus bingung? Intinya, pikiran sudah sumeleh. Alhamdulillah, keluarga saya sudah Islam semua.
Setelah masuk Islam, saya merasakan hasilnya. Keluarga semakin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar. Tidak ada suasana saling mencurigai. Itu yang saya rasakan dalam memeluk agama yang baru saya anut itu.
Beberapa kali saya diminta mengisi pengajian oleh masyarakat. Semampunya saya penuhi. Bukan bermaksud menggurui, tetapi itu kewajiban seorang muslim. Dalam pengajian, saya hanya menceritakan sejarah hidup saya yang dulu tidak karu-karuan, mbejujak.
Alhamdulillah, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejak saya, yaitu masuk Islam. Ketika berlangsung pengajian, ada jamaan yang bertanya, apa kalau ceramah saya mendapatkan uang saku? Dengan jujur saya jawab tidak. Sebab, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang.
Setelah menjadi muslim, saya harus lebih banyak belajar dalam mendalami Islam. Dalam hal ini, dirumah saya di Karang anyar, setiap bulan sekali saya selalu mendatangkan mubalig, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang lainnya, untuk memberikan pengajian kepada masyarakat. Setelah itu, saya teruskan dengan pentas wayang yang selalu saya sisipi dengan pesan-pesan dakwah. Saya memang terobsesi oleh metode dakwah Wali Songo yang menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah. [M. Ali M.E/Albaz]
http://mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-rohaniawan/71-ki-mantep-sudharsono--sudah-mantap-dalam-islam
Langganan:
Postingan (Atom)