Setelah memeluk agama Islam, namanya menjadi Asiya Abdul Zahir. Kedua orangtuanya adalah pemeluk agama Budha, tapi ia lebih merasa sebagai seorang Kristiani karena ia sekolah di sekolah Kristen dan berada di lingkungan umat Kristiani.
“Saya selalu meyakini keberadaan satu-satunya Sang Pencipta, dimana semua yang ada sangat bergantung pada Sang Pencipta. Sejak usia 13 tahun, pada Sang Pencipta tunggal inilah, setiap hari saya berdoa dan memohon petunjuk,” kata Asiya menceritakan kehidupannya sebelum masuk Islam.
“Sayang, saat itu pengetahuan saya tentang Islam masih minim. Saya memandang Islam sebagai agama yang aneh, hanya untuk segelintir bangsa-bangsa yang masih terbelakang, yang kebanyakan berada di Timur Tengah, agama yang membatasi gaya hidup, khususnya bagi kaum perempuan,” sambungnya.
Asiya yang ketika itu belum mengenal Islam lebih dalam, menganggap Islam merendahkan kaum perempuan, perempuan dalam Islam diperlakukan sebagai budak, mengalami kekerasan fisik dan dipaksa untuk bersaing diantara empat perempuan untuk merebut kasih sayang suami (poligami) dan suami bisa melakukan apa saja terhadap istri-istrinya.
Asiya mengakui bahwa penilaiannya itu berdasarkan apa yang sering ia dengar saja dan beberapa program dokumenter yang pernah ia saksikan di televisi. Pandangannya mulai berubah ketika ia kuliah di perguruan tinggi dan berinteraksi dengan beberapa mahasiswa muslim dari berbagai latar belakang.
“Aneh, bahkan saya merasakan diri saya aneh, saya tertarik dengan mereka dan penasaran ingin mempelajari dan memahami agama mereka lebih jauh.”
“Saya perhatikan mereka sangat bahagia, saya terkesan dengan keterbukaan dan kehangatan mereka pada saya dan pada orang lain. Tapi yang lebih penting, saya terkesan dengan kebanggaan dan rasa memiliki terhadap agama yang selama ini selalu dikonotasikan dengan hal-hal negatif,” tutur Aisya.
Sedikit demi sedikit, ia merasa kagum pada Islam, dan melalui proses edukasi, ia penghormatanya terhadap agama Islam bertambah besar, bahkan jika dibandingkan dengan penghormatan terhadap agama Kristen yang selama ini ia kenal.
Asiya terkesima ketika menyadari kesalahan tentang pandangannya selama ini terhadap Islam, terutama panilaiannya yang salah tentang posisi perempuan dalam Islam. “Saya menyadari realita tentang gaya hidup Islami dan kebenaran terkait istilah yang diciptakan orang-orang Amerika tentang ‘fundamentalisme Islam’,” kata Asiya.
“Makin banyak literatur, tanda-tanda dan bukti yang diungkapkan pada saya, daya intelektualitas saya makin terstimulasi dan jiwa saya, merasakan kehangatan. Saya ingin tahu semuanya tentang Islam dan saya sudah merasakan persaudaraan dan rasa memiliki diantara orang-orang Islam,” tukasnya.
Asiya mengungkapkan, yang paling membuatnya terkesan pada Islam adalah, Islam adalah agama yang praktis dan bagaimana Islam memberikan mengatur kehidupan semua makhluk hidup. “Dan atas karunia Allah, saya akhirnya memahami kesalahan konsep teologi agama Kristen dan konsep yang sebelumnya saya terima tanpa pertanyaan,” tambah Asiya.
Klimaks dari itu semua terjadi pada 4 Agustus 1994. Di hadapan 20 saksi, Asiya mengucapkan dua kalimat syahadat dan secara resmi menjadi seorang muslim.
“Saya tidak akan pernah melupakan hari penuh rahmat itu, dan bagaimana hidup saya berubah drastis hanya dalam waktu satu tahun. Saya sering ditanya, bagaimana rasanya menjadi mualaf dan kesulitan apa yang saya hadapi. Meski saya tidak mau membicarakan masalah ini, saya tetap memberikan contoh apa saja kesulitan yang saya alami,” ujar Asiya.
Ia mengakui beratnya tantangan saat ia menjalani puasa saat Ramadan pertamanya. Belum lagi sikap keluarganya yang belum bisa menerima keislaman Asiya. Asiya sering menerima umpatan kasar bahkan ancaman dari keluarganya. Dalam berbagai kesempatan, Asiya juga mengalami teror, kamarnya diacak-acak, buku-bukunya banyak yang hilang secara misterius dan pesan-pesan sms berisi fitnah terhadapnya, yang dikirim ke teman-teman dan orangtua teman-teman Asiya.
“Jika saya ingin membaca, atau bicara di telepon, semuanya dilakukan dengan cara diam-diam. Begitu pula jika saya ingin pergi ke masjid atau tempat-tempat yang menggelar acara keislaman. Saya baru salat jika sudah memastikan tidak ada orang di sekitar saya, dan saya juga tidak bisa mengekspresikan kegembiraan saya saat Ramadan tiba, dan tidak berbagi kebahagiaan melihat teman-teman muslim yang sudah mengenakan jilbab,” tutur Asiya.
Tapi Asiya tidak menganggap semua itu sebagai penderitaan hidupnya, karena setelah memeluk Islam, Asiya merasakan kepuasan dan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/kisah-perempuan-budha-yang-memilih.html
Selasa, 02 Agustus 2011
Mengenal Islam Justru Setelah Menonton Film Penyaliban Yesus
Hidayah bisa datang kapan saja dan melalui medium apa saja. Siapa sangka, melalui film tentang peristiwa penyaliban Yesus Kristus, pemuda bernama Lianus Laiya, dipertemukan dengan Islam.
Lianus muda yang tengah dipersiapkan untuk menjadi biarawan atau pelayan gereja, terilhami sejumlah pertanyaan yang selanjutnya menuntut dia mengenal dan mendalami Islam. "Karena Allah berkhendak, saya pun mendapatkan hidayah dan diselamatkan saya oleh Allah SWT untuk menjadi seorang Muslim,” kata dia kepada Republika.co.id.
Lianus Laiya, lahir 25 Oktober 1981 di Nias, Sumatera Utara. Dia lahir di tengah keluarga Katholik yang taat. Sebagian dari keluarganya merupakan pendakwah. Karena itu, tak heran, sebagai anak lelaki tertua, oleh keluarganya, Lianus dipersiapkan untuk meneruskan tradisi keluarga sebagai penggiat gereja.
“Namun, Allah SWT memalingkan langkah saya untuk mendapatkan hidayah,” ungkap dia.
Lianus besar di daerah dimana Muslim hanya sedikit jumlahnya. Inilah yang membuat Lianus tidak pernah mengenal Islam. Bahkan bila bertemu dengan simbol-simbol Islam seperti pakaian Muslim, maka tak tanggung-tanggung bakal dia bakar.
Suatu hari, ia menonton film penyaliban Yesus Kristus. Saat mengikuti film itu, Lianus melihat adegan Yesus saat memasuki gereja, secara spontan Yesus mengangkat kedua tangannya sembari memberikan ceramah kepada para murid-muridnya. Pertanyaan segera mengemuka dalam diri Lianus.
“Mengapa agama saya dalam kehidupan sehari-hari tidak sama dengan apa yang dilakukan Yesus, Misalnya saja, dalam gereja, Yesus berdoa sembari menengadahkan kedua tangan, bukan bernyanyi,” tanya Lianus dalam hati.
Rasa penasaran iu semakin bertambah ketika Yesus hendak ditangkap. Dalam film itu, cerita Lianus, Yesus mengatakan akan datang yang menggantikannya. Pernyataan Yesusdirenungkan betul oleh Lianus. Lalu dia secara spontan bertanya kepada pastornya. “ Siapa yang akan menggantikan Yesus?” Lalu seketika pastor menjawab “Messiah”. “Lho, Yesus kan Messias juga?” tanyanya kembali.
“Saya pun tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti, setelah itu," ujarnya.
***
Setamat SMP, Lianus diboyong pamannya ke Medan, Sumatera Utara. Kepindahannya dari Nias ke Medan, Lianus membawa dirinya 3 bekal pertanyaan.
Pertama, mengapa cara beribadah agamanya tidak sesuai dengan Yesus.
Kedua, mengapa Tuhan bisa punya anak, lalu anak itu menjadi Tuhan dan kemudian meninggal.
Ketiga, selama di Medan, Dia sering mendengar rekaman dai kondang yang menceritakan kisah para Nabi mulai dari Nabi Adam hingga ke Muhammad SAW. “Kok Islam bisa punya cerita seperti itu. Saya tidak tahu,”katanya.
Di Medan, Lianus tinggal di dekat Masjid. Secara otomatis, dia selalu mendengarkan pengajian tiap sore. Lianus yang tengah menginjak bangku sekolah menengah begitu senang memperhatikan umat Islam tengah berwudhu.
Tanpa sadar, apa yang dia lihat itu mirip dengan adegan film yang pernah ia tonton. “Lho inikan yang saya lihat dari film tersebut. Saat itu, Nabi Musa AS meminta umatnya untuk membersihkan kaki, muka, tangan,” kenangnya.
Sejak itu, Lianus aktif mengikuti aktivitas masjid. Ia diterima dengan baik, kendati belum bersyahadat.
Perubahan Lianus dibaca sang paman. ia kemudian memboyong Lianus ke Riau.
Di Riau, Lianus bekerja di sebuah perusahan kertas. Selama di Riau, ia sempat melihat perilaku umat Islam yang tidak konsisten menjalankan ibadahnya. Dia pun memutuskan untuk tinggal dekat masjid. Lagi-lagi melalui masjid tersebut, Lianus mendengar kisah para nabi, termasuk Nabi Isa dan kisah Maryam.
Goncanglah keimanan Lianus. “Ketika saya merenung, ketika malam puncak. Saya tidak tidur. Saya pun minum terakhir kali. Setelah itu, saya niatkan diri untuk bertobat,” kenang Lianus.
Akhirnya, Lianus memutuskan untuk masuk ke dalam masjid. Kebetulan, ada salah seorang pemuda bernama Suryadi di sana. Ia menuntun Lianus pada Alquran. Oleh Yadi, Lianus diperlihatkan surat Al-Imran untuk menjawab pertanyaannya yang pertama dan kedua. Lalu, Yadi, memperlihatkan Alquran surat Al-Maidah untuk menjawab pertanyaannya yang ketiga. “Makin yakinlah saya, Alhamdulillah, saya bersujud kepada Allah SWT. Saya meminta disyahadatkan,” ungkap Lianus.
Dia pun dibimbing oleh Haji Amin dari Masjid Istiqomah mengucapkan dua kalimat syahadat lalu bergantilah nama menjadi Abdul Aziz Laiya.
Kabar Lianus masuk Islam segera terdengar oleh pamannya. Tak lama, orang tua Lianus mendengar kabar Keislaman Lianus. Keluarganya marah besar. Bahkan, sang paman tak segan memukul dan menendang dirinya. Lalu, oleh sang paman, dia dibawa kembali pada keluarganya. Oleh ayah dan ibunya, Lianus diancam tidak akan lagi diakui sebagai anak.
“Selama tiga bulan pertama memeluk Islam, saya menghadapi tendangan, pukulan, dan diceburkan ke kolam,” kata dia. Bahkan seorang pamannya menyiramnya dengan darah babi lalu dipaksa makan babi. Menurut sang paman, tindakan itu merupakan bagian dari ritual untuk mengembalikan Lianus kepada jalan yang benar.
"Dalam menghadapi tekanan bertubi, saya hanya bisa mengucapkan laa Illahalillah dan shalat," kata dia.
Saat itulah, Lianus merasa sendirian. Tidak ada yang membantu dirinya memperjuangkan Islam. “Terguncanglah saya saat itu,” kenang dia. Selama seminggu Lianus tidak shalat, seminggu itu pula iman Lianus babak belur; dirayu untuk kembali kepada ajaran agama sebelumnya.
Seorang Ustad bernama Sahabudin kemudian mendatangi dia dan memberikan nasihat. “Alhamdulillah, kembalilah saya kepada jalan Allah SWT,” ungkap dia.
Lianus kembali mendalami Islam. Dia kembali mengikuti berbagai majelis taklim yang digelar. Dia pun menjadi ketua remaja masjid di lingkungannya. Dia juga bertugas membimbing para mualaf . Lalu dipertemukanlah dia oleh Ustad Nababan, pengasuh pondok Pesantren Pembina Muallaf Annaba Center, Tangsel, Banten.
Lianus sempat kembali ke Nias lantaran menerima kabar bahwa ayahnya tengah sakit. Ia diminta kembali ke agama sebelumnya, agar sang ayah sembuh.
Ia menggeleng. "Dengan ilmu rukyah yang pas-pasan, hanya mengandalkan bacaan basmalah, surah al-Fatihah, al -Ikhlas, al-Alaq, dan ayat kursi. Subhanallah, ayah saya sembuh. Yang hadir menyaksikan kesembuhan ayah saya terkejut. Padahal waktu itu saya belum bisa baca Alquran, saya baru belajar mengaji," kenangnya.
Kini, Lianus merasakan ketenangan batin luar biasa dalam memeluk Islam. Dia merasa selalu dimudahkan dalam beraktivitas. “Ketika sedih, dengan berzikir, hilanglah kesedihan. Ketika tengah bermasalah, saya baca Alquran maka datanglah inspirasi,” kata dia. (republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/mengenal-islam-justru-setelah-menonton.html
Lianus muda yang tengah dipersiapkan untuk menjadi biarawan atau pelayan gereja, terilhami sejumlah pertanyaan yang selanjutnya menuntut dia mengenal dan mendalami Islam. "Karena Allah berkhendak, saya pun mendapatkan hidayah dan diselamatkan saya oleh Allah SWT untuk menjadi seorang Muslim,” kata dia kepada Republika.co.id.
Lianus Laiya, lahir 25 Oktober 1981 di Nias, Sumatera Utara. Dia lahir di tengah keluarga Katholik yang taat. Sebagian dari keluarganya merupakan pendakwah. Karena itu, tak heran, sebagai anak lelaki tertua, oleh keluarganya, Lianus dipersiapkan untuk meneruskan tradisi keluarga sebagai penggiat gereja.
“Namun, Allah SWT memalingkan langkah saya untuk mendapatkan hidayah,” ungkap dia.
Lianus besar di daerah dimana Muslim hanya sedikit jumlahnya. Inilah yang membuat Lianus tidak pernah mengenal Islam. Bahkan bila bertemu dengan simbol-simbol Islam seperti pakaian Muslim, maka tak tanggung-tanggung bakal dia bakar.
Suatu hari, ia menonton film penyaliban Yesus Kristus. Saat mengikuti film itu, Lianus melihat adegan Yesus saat memasuki gereja, secara spontan Yesus mengangkat kedua tangannya sembari memberikan ceramah kepada para murid-muridnya. Pertanyaan segera mengemuka dalam diri Lianus.
“Mengapa agama saya dalam kehidupan sehari-hari tidak sama dengan apa yang dilakukan Yesus, Misalnya saja, dalam gereja, Yesus berdoa sembari menengadahkan kedua tangan, bukan bernyanyi,” tanya Lianus dalam hati.
Rasa penasaran iu semakin bertambah ketika Yesus hendak ditangkap. Dalam film itu, cerita Lianus, Yesus mengatakan akan datang yang menggantikannya. Pernyataan Yesusdirenungkan betul oleh Lianus. Lalu dia secara spontan bertanya kepada pastornya. “ Siapa yang akan menggantikan Yesus?” Lalu seketika pastor menjawab “Messiah”. “Lho, Yesus kan Messias juga?” tanyanya kembali.
“Saya pun tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti, setelah itu," ujarnya.
***
Setamat SMP, Lianus diboyong pamannya ke Medan, Sumatera Utara. Kepindahannya dari Nias ke Medan, Lianus membawa dirinya 3 bekal pertanyaan.
Pertama, mengapa cara beribadah agamanya tidak sesuai dengan Yesus.
Kedua, mengapa Tuhan bisa punya anak, lalu anak itu menjadi Tuhan dan kemudian meninggal.
Ketiga, selama di Medan, Dia sering mendengar rekaman dai kondang yang menceritakan kisah para Nabi mulai dari Nabi Adam hingga ke Muhammad SAW. “Kok Islam bisa punya cerita seperti itu. Saya tidak tahu,”katanya.
Di Medan, Lianus tinggal di dekat Masjid. Secara otomatis, dia selalu mendengarkan pengajian tiap sore. Lianus yang tengah menginjak bangku sekolah menengah begitu senang memperhatikan umat Islam tengah berwudhu.
Tanpa sadar, apa yang dia lihat itu mirip dengan adegan film yang pernah ia tonton. “Lho inikan yang saya lihat dari film tersebut. Saat itu, Nabi Musa AS meminta umatnya untuk membersihkan kaki, muka, tangan,” kenangnya.
Sejak itu, Lianus aktif mengikuti aktivitas masjid. Ia diterima dengan baik, kendati belum bersyahadat.
Perubahan Lianus dibaca sang paman. ia kemudian memboyong Lianus ke Riau.
Di Riau, Lianus bekerja di sebuah perusahan kertas. Selama di Riau, ia sempat melihat perilaku umat Islam yang tidak konsisten menjalankan ibadahnya. Dia pun memutuskan untuk tinggal dekat masjid. Lagi-lagi melalui masjid tersebut, Lianus mendengar kisah para nabi, termasuk Nabi Isa dan kisah Maryam.
Goncanglah keimanan Lianus. “Ketika saya merenung, ketika malam puncak. Saya tidak tidur. Saya pun minum terakhir kali. Setelah itu, saya niatkan diri untuk bertobat,” kenang Lianus.
Akhirnya, Lianus memutuskan untuk masuk ke dalam masjid. Kebetulan, ada salah seorang pemuda bernama Suryadi di sana. Ia menuntun Lianus pada Alquran. Oleh Yadi, Lianus diperlihatkan surat Al-Imran untuk menjawab pertanyaannya yang pertama dan kedua. Lalu, Yadi, memperlihatkan Alquran surat Al-Maidah untuk menjawab pertanyaannya yang ketiga. “Makin yakinlah saya, Alhamdulillah, saya bersujud kepada Allah SWT. Saya meminta disyahadatkan,” ungkap Lianus.
Dia pun dibimbing oleh Haji Amin dari Masjid Istiqomah mengucapkan dua kalimat syahadat lalu bergantilah nama menjadi Abdul Aziz Laiya.
Kabar Lianus masuk Islam segera terdengar oleh pamannya. Tak lama, orang tua Lianus mendengar kabar Keislaman Lianus. Keluarganya marah besar. Bahkan, sang paman tak segan memukul dan menendang dirinya. Lalu, oleh sang paman, dia dibawa kembali pada keluarganya. Oleh ayah dan ibunya, Lianus diancam tidak akan lagi diakui sebagai anak.
“Selama tiga bulan pertama memeluk Islam, saya menghadapi tendangan, pukulan, dan diceburkan ke kolam,” kata dia. Bahkan seorang pamannya menyiramnya dengan darah babi lalu dipaksa makan babi. Menurut sang paman, tindakan itu merupakan bagian dari ritual untuk mengembalikan Lianus kepada jalan yang benar.
"Dalam menghadapi tekanan bertubi, saya hanya bisa mengucapkan laa Illahalillah dan shalat," kata dia.
Saat itulah, Lianus merasa sendirian. Tidak ada yang membantu dirinya memperjuangkan Islam. “Terguncanglah saya saat itu,” kenang dia. Selama seminggu Lianus tidak shalat, seminggu itu pula iman Lianus babak belur; dirayu untuk kembali kepada ajaran agama sebelumnya.
Seorang Ustad bernama Sahabudin kemudian mendatangi dia dan memberikan nasihat. “Alhamdulillah, kembalilah saya kepada jalan Allah SWT,” ungkap dia.
Lianus kembali mendalami Islam. Dia kembali mengikuti berbagai majelis taklim yang digelar. Dia pun menjadi ketua remaja masjid di lingkungannya. Dia juga bertugas membimbing para mualaf . Lalu dipertemukanlah dia oleh Ustad Nababan, pengasuh pondok Pesantren Pembina Muallaf Annaba Center, Tangsel, Banten.
Lianus sempat kembali ke Nias lantaran menerima kabar bahwa ayahnya tengah sakit. Ia diminta kembali ke agama sebelumnya, agar sang ayah sembuh.
Ia menggeleng. "Dengan ilmu rukyah yang pas-pasan, hanya mengandalkan bacaan basmalah, surah al-Fatihah, al -Ikhlas, al-Alaq, dan ayat kursi. Subhanallah, ayah saya sembuh. Yang hadir menyaksikan kesembuhan ayah saya terkejut. Padahal waktu itu saya belum bisa baca Alquran, saya baru belajar mengaji," kenangnya.
Kini, Lianus merasakan ketenangan batin luar biasa dalam memeluk Islam. Dia merasa selalu dimudahkan dalam beraktivitas. “Ketika sedih, dengan berzikir, hilanglah kesedihan. Ketika tengah bermasalah, saya baca Alquran maka datanglah inspirasi,” kata dia. (republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/mengenal-islam-justru-setelah-menonton.html
Pergolakan di Timor Leste Mengantarkannya Pada Islam
Suasana Timor-Timur, kini Timor Leste, memasuki tahun 1999 begitu mencekam. Saat itu pula diputuskan bahwa Timor-Timur memisahkan diri dari bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arnaldo Pinto, saat itu masih duduk di sekolah dasar kelas 6, tengah menikmati liburan di kota Dili. Orlando kecil tidak tahu bahwa Timor-timur sudah menjadi negara Merdeka. Liburan belum berakhir, dia dan keluarga tak kembali ke kampungnya, tapi mengungsi ke Nusa Tenggara Timur.
Hijrah mendadak Orlando bersama orang tua angkatnya itu, merupakan awal dari perkenalan Orlando terhadap Islam. Orlando kecil tinggal bersama orang tua angkatnya di pengungsian eks Timor-timur di NTT.
Di pengungsian, Orlando menemukan "dunia" baru; senang mendengar teman-temannya di pengungsian mengaji dan belajar Iqro. Suatu malam, orang tua angkatnya, menyatakan ia harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Namun, Orlando kecil menolak.
Ia malah datang ke masjid saat Jumat. Hal yang pertama dilakukan, adalah berwudlu. “Karena baru pertama masuk masjid, rasanya sangat aneh. Biasanya saat ke gereja ada nyanyian atau apa, di sini (masjid) tidak ada. Juga harus melepaskan sandal, duduk dengan rapi,” ungkapnya. Tanpa tahu bacaannya, ia mengikuti gerakan shalat. Ia sempat menjadi bahan tertawaan ketika pada rakaan pertama langsung sujud, tanpa ruku terlebih dulu.
Setelah selesai shalat jumat, Orlando mendatangi ustadz minta diislamkan. Sang ustadz sempat kaget dan menanyakan apa motivasinya. "Saya langsung menjawab, karena kesadaran sendiri. Lalu ustad bertanya lagi, usai mengucapkan dua kalimat syahadat apakah Orlandoikhlas mengikuti ajaran Islam? Jawab saya, siap pak ustadz,” kata Orlando mengisahkan pada Republika.co.id.
Sang ustadz menawarkan padanya nama baru. Orlando pun mengiyakan. Nama lama, Arnaldo Pinto, menjadi Muhammad Orlando. “Saya waktu itu mempersilahkan ustad untuk memberikan nama apapun buat saya. Cuma saya bilang waktu itu, banyak teman memanggil saya Aldo, atau sahabat saya memanggil saya Orlando. Saat itu, ustadz akhirnya memberi nama saya Muhammad Orlando,” ungkap dia. Setelah itu, Orlando diajarkan wudhu, shalat, dan doa.
Babak baru keislaman Orlando terus berlanjut, saat orang tua angkatnya mengirim dia ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Di awal, Orlando yang sudah berusia 15 tahun dipanas-panasi agar tidak masuk pesantren."Ada seseorang yang berbisik kepada saya. Kamu nanti, kalau masuk sana bakalan tidak betah. Makan diatur, jam tidur sedikit. Kamu pasti tidak akan betah,” cerita Orlando.
Hasutan-hasutan itu rupanya tidak menggentarkan niat Orlando. "Awalnya saya takut, tapi karena jiwa saya seorang perantau. Maka saya memutuskan berangkat. Di sana aaya belajar Iqra, dan Islam setiap hari,” papar dia.
Di pesantren itu, pengetahuan Orlando meluas. Enam bulan mondok, Orlando sudah bisa membaca sejumlah surat Alquran. Tahun 2002, dia pun mahir membaca Alquran. “Di awal, saya banyak ditertawakan teman-teman. Al Fatihah bacaanya tidak jelas. Sudah begitu, Bahasa Indonesia saya juga terbata-bata, baru belajar,” kenang dia. Di pesantren itu pula, Orlando dikhitan.
Setelah mengeyam pendidikan di pesantren Al-Ikhlas, Mojokerto, Orlando segera membantu ustadz-ustadz membimbingmualaf baru. Berkat pengalamannya menjadi mualaf, dia tahu betul cara mendidik saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.
Tak lama, orang tua angkatnya meminta dia kebali ke NTT untuk mengamalkan ilmunya. Kebetulan pula saat itu, ada seorang dermawan, tengah membangun masjid megah berikut wismanya. Selama tujuh bulan Orlando mengabdi di sana. “Saya baru sadar, menghadapi masyarakat itu tidaklah mudah,” kata dia.
Dari situlah, lantaran merasa ilmunya yang kurang, Orlando memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk menempuh pendidikan S1 di LPIA, Jakarta Selatan. Beruntung baginya, lantaran dia berasal dari Timor-timur maka dia dimudahkan masuk LPIA.
Dua bulan di kampus, Orlando bisa bahasa arab, pengetahuan tenang Islam bertambah, begitupula dengan Alquran dan hadis.
Ke depan, usai menyelesaikan studinya, Orlando berharap bisa kembali ke NTT untuk membantu dakwah di sana. Kebetulan orang tua angkatnya tengah membangun masjid. “ Saya juga berharap menghantar hidayah kepada keluarga,” ujarnya.
Keluarganya di Timor Leste masih memeluk agama lama. Namun, ia hubungan mereka tak terputus. “Satu minggu yang lalu, setelah 11 tahun, saya dihubungi ibu. Walaupun saya sudah berpindah keyakinan, mereka tidak masalah. Tapi wajar bila ada yang tidak senang,” ungkap Orlando. (Republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/pergolakan-di-timor-leste.html
Arnaldo Pinto, saat itu masih duduk di sekolah dasar kelas 6, tengah menikmati liburan di kota Dili. Orlando kecil tidak tahu bahwa Timor-timur sudah menjadi negara Merdeka. Liburan belum berakhir, dia dan keluarga tak kembali ke kampungnya, tapi mengungsi ke Nusa Tenggara Timur.
Hijrah mendadak Orlando bersama orang tua angkatnya itu, merupakan awal dari perkenalan Orlando terhadap Islam. Orlando kecil tinggal bersama orang tua angkatnya di pengungsian eks Timor-timur di NTT.
Di pengungsian, Orlando menemukan "dunia" baru; senang mendengar teman-temannya di pengungsian mengaji dan belajar Iqro. Suatu malam, orang tua angkatnya, menyatakan ia harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Namun, Orlando kecil menolak.
Ia malah datang ke masjid saat Jumat. Hal yang pertama dilakukan, adalah berwudlu. “Karena baru pertama masuk masjid, rasanya sangat aneh. Biasanya saat ke gereja ada nyanyian atau apa, di sini (masjid) tidak ada. Juga harus melepaskan sandal, duduk dengan rapi,” ungkapnya. Tanpa tahu bacaannya, ia mengikuti gerakan shalat. Ia sempat menjadi bahan tertawaan ketika pada rakaan pertama langsung sujud, tanpa ruku terlebih dulu.
Setelah selesai shalat jumat, Orlando mendatangi ustadz minta diislamkan. Sang ustadz sempat kaget dan menanyakan apa motivasinya. "Saya langsung menjawab, karena kesadaran sendiri. Lalu ustad bertanya lagi, usai mengucapkan dua kalimat syahadat apakah Orlandoikhlas mengikuti ajaran Islam? Jawab saya, siap pak ustadz,” kata Orlando mengisahkan pada Republika.co.id.
Sang ustadz menawarkan padanya nama baru. Orlando pun mengiyakan. Nama lama, Arnaldo Pinto, menjadi Muhammad Orlando. “Saya waktu itu mempersilahkan ustad untuk memberikan nama apapun buat saya. Cuma saya bilang waktu itu, banyak teman memanggil saya Aldo, atau sahabat saya memanggil saya Orlando. Saat itu, ustadz akhirnya memberi nama saya Muhammad Orlando,” ungkap dia. Setelah itu, Orlando diajarkan wudhu, shalat, dan doa.
Babak baru keislaman Orlando terus berlanjut, saat orang tua angkatnya mengirim dia ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Di awal, Orlando yang sudah berusia 15 tahun dipanas-panasi agar tidak masuk pesantren."Ada seseorang yang berbisik kepada saya. Kamu nanti, kalau masuk sana bakalan tidak betah. Makan diatur, jam tidur sedikit. Kamu pasti tidak akan betah,” cerita Orlando.
Hasutan-hasutan itu rupanya tidak menggentarkan niat Orlando. "Awalnya saya takut, tapi karena jiwa saya seorang perantau. Maka saya memutuskan berangkat. Di sana aaya belajar Iqra, dan Islam setiap hari,” papar dia.
Di pesantren itu, pengetahuan Orlando meluas. Enam bulan mondok, Orlando sudah bisa membaca sejumlah surat Alquran. Tahun 2002, dia pun mahir membaca Alquran. “Di awal, saya banyak ditertawakan teman-teman. Al Fatihah bacaanya tidak jelas. Sudah begitu, Bahasa Indonesia saya juga terbata-bata, baru belajar,” kenang dia. Di pesantren itu pula, Orlando dikhitan.
Setelah mengeyam pendidikan di pesantren Al-Ikhlas, Mojokerto, Orlando segera membantu ustadz-ustadz membimbingmualaf baru. Berkat pengalamannya menjadi mualaf, dia tahu betul cara mendidik saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.
Tak lama, orang tua angkatnya meminta dia kebali ke NTT untuk mengamalkan ilmunya. Kebetulan pula saat itu, ada seorang dermawan, tengah membangun masjid megah berikut wismanya. Selama tujuh bulan Orlando mengabdi di sana. “Saya baru sadar, menghadapi masyarakat itu tidaklah mudah,” kata dia.
Dari situlah, lantaran merasa ilmunya yang kurang, Orlando memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk menempuh pendidikan S1 di LPIA, Jakarta Selatan. Beruntung baginya, lantaran dia berasal dari Timor-timur maka dia dimudahkan masuk LPIA.
Dua bulan di kampus, Orlando bisa bahasa arab, pengetahuan tenang Islam bertambah, begitupula dengan Alquran dan hadis.
Ke depan, usai menyelesaikan studinya, Orlando berharap bisa kembali ke NTT untuk membantu dakwah di sana. Kebetulan orang tua angkatnya tengah membangun masjid. “ Saya juga berharap menghantar hidayah kepada keluarga,” ujarnya.
Keluarganya di Timor Leste masih memeluk agama lama. Namun, ia hubungan mereka tak terputus. “Satu minggu yang lalu, setelah 11 tahun, saya dihubungi ibu. Walaupun saya sudah berpindah keyakinan, mereka tidak masalah. Tapi wajar bila ada yang tidak senang,” ungkap Orlando. (Republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/pergolakan-di-timor-leste.html
Niat Pelajari Ilmu Bela Diri Mengantarkannya pada Islam
Sejatinya, Ramzi tidaklah asing dengan Islam. Sebab dalam lingkungannya, Ramzi acap kali bersingunggan dengan umat Islam. Hanya saja, persinggungan itu hanya sekelebat saja.
Namun, ceritanya mulai berbeda ketika, dia bersama teman-teman sewaktu duduk di sekolah dasar, senang sekali menyaksikan tayangan film laga yang menampilkan adegan kiai mengeluarkan jurus-jurus sakti melalui tasbih yang dipegangnya. “Lucu ya, cerita awal saya tertarik pada Islam?" katanya kepada Agung Sasongko dari republika.co.id, baru-baru ini.
Ramzi kecil ingin menjadi murid si Kiai. Tema kiai sakti bahkan menjadi pembicaraan hingga ke sekolah minggu di gereja. "Kadang para pastor, melarang kami untuk menghindari ketertarikan kepada kiai,” ungkap pemilik nama Inacio Amaral de Saouza ini.
Singkat cerita, tahun 2005 lalu, ada semacam takblig akbar yang berlangsung di Timor Leste. Hadir dalam tablig akbar tersebut kiai yang berasal dari Pakistan, Indonesia dan Australia. Saat itu, rombongan tablig akbar disambut ketua RW setempat yang merupakan Muslim. Ramzi yang kebetulan mengenal dekat Ketua RW bertugas untuk mengantarkan rombongan tablig akbar itu.
Menurut Ramzi, kedatangan tablig akbar itu sangat pas dengan kondisi umat Islam negaranya yang tengah diterpa isu besar. Isu tersebut mengatakan bahwa Timor Leste hanya akan mengakui agama Katholik sebagai agama resmi negara. Karena itu, bagi masyarakat Timor Leste yang memeluk Islam harus berpindah agama menjadi Katholik.
Nah, ketika melihat rombongan itu datang, imajinasi Ramzi tentang kesaktian si kiai muncul kembali. Saat itu, teman-temannya, meminta Ramzi untuk mencoba kesaktian kiai tersebut, apakah kesaktiannya memang benar seperti yang digambarkan di televisi atau tidak.
Namun, ia justru menemukan hal lain. Hatinya tenteram berada di antara para kiai itu. Ia juga melihat keseharian mereka, berdzikir dan seterusnya. Bahkan, ketika berada di sebuah desa yang warganya fanatik beragama Katholik, mereka juga tetap tenang dan melewayti tanpa gangguan.
Berada dalam rombongan itu pula, ia berkesempatan membaca tarjamah Alquran.
***************
Menginjak dewasa, Ramzi berpindah ke Bandung, mengikuti sang kakak melanjutkan pendidikan. Di Kota Kembang, kakaknya telah menyatakan diri sebagai Muslim dengan bersyahadat. Di kota inilah, ia kembali berkesempatan membaca terjemah Alquran. Petikan surat Maryam, menggetarkan hatinya.
Ramzi mulai berpikir, untuk mencari tahu secara mendalam tentang Islam. “Yang tadinya, ingin jadi muridnya Kiai, jadi ingin mencari tahu tentang Islam," katanya. Ia persandingkan Alquran dengan kitab sucinya.
Selain membaca Alquran, Ramzi coba menggali khasanah tentang Islam dengan membaca buku yang dituliskan oleh mantan biarawati, Irene Handono dan mantan pendeta, Insan Mokoginta. Dari dua buku yang ia baca, dapat ia simpulkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. “Dari situ saya mengetahui ternyata selama ini saya memeluk agama yang sesat,” kata Ramzi.
Hal lain yang menjadi pertanyaan Ramzi, saat agamanya terdahulu menyatakan tidak menyembah berhala. Namun, pada praktiknya, "berhala" ada di rumah-rumah ibadah. "Ketika mereka beribadah, mereka malahan menyembah patung, belum lagi setiap foto dari orang suci mereka juga sembah,” kata dia.
Teman-teman yang membaca gelagat dia bakal masuk Islam, melakukan berbagai cara. Ada yang mengingatkan Islam agama teroris, ada yang membanjirinya dengan buku-buku karya kiai yang murtad.
Namun, tekadnya yang bulat tak bisa lagi dibelokkan. Tepat 27 Desember Tahun 2007, Ramzi memutuskan masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Ramzi mengaku masih belum bisa membaca Alquran dan shalat juga masih bolong-bolong. Itu dikarenakan ia tidak dibimbing.”Saya belajar shalat dari buku panduan. Tapi saya sudah hafal surah al-Fatihan, al-Ikhlas dan ann-Nas. Hafal saja, tapi belum bisa membaca Alquran,” ungkap dia.
Seorang teman menyarankannya masuk pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center. Dari pesantren ini Ramzi mengaku banyak belajar .”Waktu belajar, saya sampai menangis. Saya paksakan untuk bisa. Walau merasa sulit, ya akhirnya saya pun bisa. Kini saya sudah hafal dua juz,” kata dia.
Ramzi mengakui mendapatkan ejekan di sana sini. Namun, di awal ia sudah memperkenalkan diri sebagai Muslim dengan mengenakan peci. Baginya, dukungan keluarga, yang masing menganut agama lama, cukup baginya. (republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/niat-pelajari-ilmu-bela-diri.html
Namun, ceritanya mulai berbeda ketika, dia bersama teman-teman sewaktu duduk di sekolah dasar, senang sekali menyaksikan tayangan film laga yang menampilkan adegan kiai mengeluarkan jurus-jurus sakti melalui tasbih yang dipegangnya. “Lucu ya, cerita awal saya tertarik pada Islam?" katanya kepada Agung Sasongko dari republika.co.id, baru-baru ini.
Ramzi kecil ingin menjadi murid si Kiai. Tema kiai sakti bahkan menjadi pembicaraan hingga ke sekolah minggu di gereja. "Kadang para pastor, melarang kami untuk menghindari ketertarikan kepada kiai,” ungkap pemilik nama Inacio Amaral de Saouza ini.
Singkat cerita, tahun 2005 lalu, ada semacam takblig akbar yang berlangsung di Timor Leste. Hadir dalam tablig akbar tersebut kiai yang berasal dari Pakistan, Indonesia dan Australia. Saat itu, rombongan tablig akbar disambut ketua RW setempat yang merupakan Muslim. Ramzi yang kebetulan mengenal dekat Ketua RW bertugas untuk mengantarkan rombongan tablig akbar itu.
Menurut Ramzi, kedatangan tablig akbar itu sangat pas dengan kondisi umat Islam negaranya yang tengah diterpa isu besar. Isu tersebut mengatakan bahwa Timor Leste hanya akan mengakui agama Katholik sebagai agama resmi negara. Karena itu, bagi masyarakat Timor Leste yang memeluk Islam harus berpindah agama menjadi Katholik.
Nah, ketika melihat rombongan itu datang, imajinasi Ramzi tentang kesaktian si kiai muncul kembali. Saat itu, teman-temannya, meminta Ramzi untuk mencoba kesaktian kiai tersebut, apakah kesaktiannya memang benar seperti yang digambarkan di televisi atau tidak.
Namun, ia justru menemukan hal lain. Hatinya tenteram berada di antara para kiai itu. Ia juga melihat keseharian mereka, berdzikir dan seterusnya. Bahkan, ketika berada di sebuah desa yang warganya fanatik beragama Katholik, mereka juga tetap tenang dan melewayti tanpa gangguan.
Berada dalam rombongan itu pula, ia berkesempatan membaca tarjamah Alquran.
***************
Menginjak dewasa, Ramzi berpindah ke Bandung, mengikuti sang kakak melanjutkan pendidikan. Di Kota Kembang, kakaknya telah menyatakan diri sebagai Muslim dengan bersyahadat. Di kota inilah, ia kembali berkesempatan membaca terjemah Alquran. Petikan surat Maryam, menggetarkan hatinya.
Ramzi mulai berpikir, untuk mencari tahu secara mendalam tentang Islam. “Yang tadinya, ingin jadi muridnya Kiai, jadi ingin mencari tahu tentang Islam," katanya. Ia persandingkan Alquran dengan kitab sucinya.
Selain membaca Alquran, Ramzi coba menggali khasanah tentang Islam dengan membaca buku yang dituliskan oleh mantan biarawati, Irene Handono dan mantan pendeta, Insan Mokoginta. Dari dua buku yang ia baca, dapat ia simpulkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. “Dari situ saya mengetahui ternyata selama ini saya memeluk agama yang sesat,” kata Ramzi.
Hal lain yang menjadi pertanyaan Ramzi, saat agamanya terdahulu menyatakan tidak menyembah berhala. Namun, pada praktiknya, "berhala" ada di rumah-rumah ibadah. "Ketika mereka beribadah, mereka malahan menyembah patung, belum lagi setiap foto dari orang suci mereka juga sembah,” kata dia.
Teman-teman yang membaca gelagat dia bakal masuk Islam, melakukan berbagai cara. Ada yang mengingatkan Islam agama teroris, ada yang membanjirinya dengan buku-buku karya kiai yang murtad.
Namun, tekadnya yang bulat tak bisa lagi dibelokkan. Tepat 27 Desember Tahun 2007, Ramzi memutuskan masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Ramzi mengaku masih belum bisa membaca Alquran dan shalat juga masih bolong-bolong. Itu dikarenakan ia tidak dibimbing.”Saya belajar shalat dari buku panduan. Tapi saya sudah hafal surah al-Fatihan, al-Ikhlas dan ann-Nas. Hafal saja, tapi belum bisa membaca Alquran,” ungkap dia.
Seorang teman menyarankannya masuk pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center. Dari pesantren ini Ramzi mengaku banyak belajar .”Waktu belajar, saya sampai menangis. Saya paksakan untuk bisa. Walau merasa sulit, ya akhirnya saya pun bisa. Kini saya sudah hafal dua juz,” kata dia.
Ramzi mengakui mendapatkan ejekan di sana sini. Namun, di awal ia sudah memperkenalkan diri sebagai Muslim dengan mengenakan peci. Baginya, dukungan keluarga, yang masing menganut agama lama, cukup baginya. (republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/niat-pelajari-ilmu-bela-diri.html
Hidayah Datang Setelah Mimpi tentang Rasulullah
Siapa itu Muhammad? Itulah pertanyaan singkat Octhavio kepada pamannya yang bernama, Luqman Likur. Pertanyaan itu muncul ketika terbangun di siang hari, setelah bermimpi dibangunkan dari tidur.
Kemudian, kisahnya, terdengar suara kakek, yang mengatakan “Apa yang kamu lihat di atas kuburan kamu itu. Kamu ini suatu saat nanti kalau mati tidak akan masuk surga. Karena bukan umat Nabi Muhammad,” kenang dia.
Ia segera menghampiri sang paman, yang kebetulan seorang Muslim. Pamannya mengatakan Muhammad adalah pemimpin umat Islam.
Sang paman lantas mengatakan kepada Thayyib apa yang dimimpikannya merupakan berkah. Namun,sang paman belum mengatakan bahwa mimpi itu merupakan tanda-tanda hidayah. “Saat itu, saya tidak terlalu hiraukan mimpi itu, “ katanya.
Tak dinyana, mimpi itu kembali terulang. Tepat dua minggu usai mimpi yang pertama, saat itu hari Jumat, Thayyib kembali tertidur. Lalu dia kembali bermimpi.
Dalam mimpi itu, ia melihat kumpulan kakek tua berjanggut. Salah seorang dari mereka kemudian menggedor-gedor pintu rumahnya. “Hei bangun, orang-orang pada shalat kamu kok masih tidur. Ayo bangun shalat,” ungkapnya.
Usai Maghrib di hari yang sama, ia membuat putusan mengejutkan. “Saya mau masuk Islam,” kata Octhavio. Sang paman yang terkejut bertanya kepada ponakannya itu tentang keseriusannya. Keputusan berislam, kata sang paman, bukan keputusan main-main.
Ia menjawab, urusan memeluk sebuah agama merupakan hal pribadi.Tepat 31 April 2004, dengan disaksikan oleh sang kakek, ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Kepada para saksi, ia mengaku dirinya memutuskan memeluk Islam tanpa paksaan. "Meski saya tinggal bersama paman saya yang Muslim, saya tidak pernah dipaksa beliau untuk memeluk Islam,” kenangnya.
“Usai memutuskan memeluk Islam, saya belum giat mempelajari Islam. Masih banyak hal yang seharusnya tidak saya lakukan namun saya langgar,” aku pria yang bernama Muslim Muhammad Thayyib Gushah itu.
Kabar keislamannya sampai ke telinga sang mama. "Dua tahun saya tak disapa beliau, tapi saya terus menjelaskan alasan saya memilih Islam," katanya. Ia tetap menghormati ibunya, bahkan makin menunjukkan rasa hormat dan kasih sayangnya.
Pintu dialog pun terbuka. "Kenapa kau tiba-tiba memperhatikanku," kata sang ibu. ”Inilah Islam. Inilah ajaran Islam,” jawab dia. Akhirnya, mamanya menerima putusan anaknya untuk memeluk Islam. Bahkan seorang adiknya mengikuti jejak Octhavio memeluk Islam.
Kini ia mendalami agama di Pesantren Annaba Center. “Saya selalu mendapatkan godaan terutama saat melihat kaum hawa. Kedua, saya juga mudah tergoda dengan mabuk-mabukan dan merokok. Alhamdullah, selama mondok, saya sudah mengetahui tentang bagaimana menghindar dari larangan oleh Allah,” ujarnya. Dia pun serius mendalami Islam. Sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal Alquran dan rajin shalat.
Ke depan, Thayyib yang tengah kulaih di Fakultas Sastra Inggris ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru. (republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/hidayah-datang-setelah-mimpi-tentang.html
Kemudian, kisahnya, terdengar suara kakek, yang mengatakan “Apa yang kamu lihat di atas kuburan kamu itu. Kamu ini suatu saat nanti kalau mati tidak akan masuk surga. Karena bukan umat Nabi Muhammad,” kenang dia.
Ia segera menghampiri sang paman, yang kebetulan seorang Muslim. Pamannya mengatakan Muhammad adalah pemimpin umat Islam.
Sang paman lantas mengatakan kepada Thayyib apa yang dimimpikannya merupakan berkah. Namun,sang paman belum mengatakan bahwa mimpi itu merupakan tanda-tanda hidayah. “Saat itu, saya tidak terlalu hiraukan mimpi itu, “ katanya.
Tak dinyana, mimpi itu kembali terulang. Tepat dua minggu usai mimpi yang pertama, saat itu hari Jumat, Thayyib kembali tertidur. Lalu dia kembali bermimpi.
Dalam mimpi itu, ia melihat kumpulan kakek tua berjanggut. Salah seorang dari mereka kemudian menggedor-gedor pintu rumahnya. “Hei bangun, orang-orang pada shalat kamu kok masih tidur. Ayo bangun shalat,” ungkapnya.
Usai Maghrib di hari yang sama, ia membuat putusan mengejutkan. “Saya mau masuk Islam,” kata Octhavio. Sang paman yang terkejut bertanya kepada ponakannya itu tentang keseriusannya. Keputusan berislam, kata sang paman, bukan keputusan main-main.
Ia menjawab, urusan memeluk sebuah agama merupakan hal pribadi.Tepat 31 April 2004, dengan disaksikan oleh sang kakek, ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Kepada para saksi, ia mengaku dirinya memutuskan memeluk Islam tanpa paksaan. "Meski saya tinggal bersama paman saya yang Muslim, saya tidak pernah dipaksa beliau untuk memeluk Islam,” kenangnya.
“Usai memutuskan memeluk Islam, saya belum giat mempelajari Islam. Masih banyak hal yang seharusnya tidak saya lakukan namun saya langgar,” aku pria yang bernama Muslim Muhammad Thayyib Gushah itu.
Kabar keislamannya sampai ke telinga sang mama. "Dua tahun saya tak disapa beliau, tapi saya terus menjelaskan alasan saya memilih Islam," katanya. Ia tetap menghormati ibunya, bahkan makin menunjukkan rasa hormat dan kasih sayangnya.
Pintu dialog pun terbuka. "Kenapa kau tiba-tiba memperhatikanku," kata sang ibu. ”Inilah Islam. Inilah ajaran Islam,” jawab dia. Akhirnya, mamanya menerima putusan anaknya untuk memeluk Islam. Bahkan seorang adiknya mengikuti jejak Octhavio memeluk Islam.
Kini ia mendalami agama di Pesantren Annaba Center. “Saya selalu mendapatkan godaan terutama saat melihat kaum hawa. Kedua, saya juga mudah tergoda dengan mabuk-mabukan dan merokok. Alhamdullah, selama mondok, saya sudah mengetahui tentang bagaimana menghindar dari larangan oleh Allah,” ujarnya. Dia pun serius mendalami Islam. Sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal Alquran dan rajin shalat.
Ke depan, Thayyib yang tengah kulaih di Fakultas Sastra Inggris ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru. (republika.co.id)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/hidayah-datang-setelah-mimpi-tentang.html
10 Tahun Pilih Atheis, Dia Kini Tertunduk Pada Islam
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawab pertanyaan kamu.”
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/05/10-tahun-pilih-atheis-dia-kini.html
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawab pertanyaan kamu.”
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/05/10-tahun-pilih-atheis-dia-kini.html
Pengalaman Ramadhan Membuat Natasha 'Bangun dari Tidur'
Natasha baru masuk Islam pada Januari 2011 lalu. Awalnya, perempuan asal Slovakia itu tidak merasa penting untuk berbagi cerita tentang keputusannya memeluk Islam. Tapi ia menyadari, bahwa ia sendiri mendapatkan banyak manfaat dari para mualaf lainnya yang mau berbagi pengalaman dan cerita tentang keislaman mereka.
Natasha berharap, pengalaman yang akan ia bagi ini akan memberikan manfaat juga bagi orang lain, dan memberi inspirasi bagi mereka yang belum memeluk Islam, agar menemukan jalan kebenaran seperti jalan yang telah Natasha temukan sekarang, yaitu jalan Islam.
Natasha berasal dari keluarga Katolik di Slovakia, sebuah negara di Eropa Tengah yang penduduknya mayoritas memeluk agama Kristen, baik Kristen Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks dan beberapa aliran dalam Kristen lainnya, sedangkan agama Islam tidak populer dan tidak begitu dikenal oleh masyarakat negaranya.
Namun Natasha mengakui bahwa ia memeluk agama Katolik, karena kedua orang tuanya Katolik. Ia memang rajin ke gereja setiap minggu dan belajar agama Katolik di sekolahnya, tapi ia tidak pernah benar-benar menghayati ajaran agamanya.
Ketika menginjak usia 16 tahun, Natasha baru berpikir tentang dirinya sendiri dan mempertanyakan tentang keyakinan agamanya. Ia tidak lagi bisa menerima doktrin "Begitulah semuanya terjadi, terima saja!" seperti yang ditekankan oleh ajaran Kristen Katolik yang dianutnya.
Ia ingat, sering menanyakan pada ibunya tentang banyak hal yang disampaikan para pendeta dalam khutbahnya seusai misa yang dihadirinya. Dalam banyak kesempatan, memang ada khutbah yang isinya bagus dan si pendeta berusaha memberikan arah kehidupan bagi para jamaahnya.
Tapi Natasha merasa seperti seorang budak yang tidak punya keinginan sendiri. Ia menyadari, tak ada manusia yang sempurna dan manusia membutuhkan bimbingan. Tapi yang tidak dimengerti Natasha, mengapa seorang pendeta, yang juga manusia seperti dirinya dan bisa berbuat salah, bisa mendapatkan banyak otoritas.
"Waktu itu, tentu saja saya menghormati para pendeta dan ajaran Katolik dengan tradisinya yang sudah ada sejak lama, dan yang pasti karena keluarga saya Katolik. Tapi saya merasa itu saja tidak cukup. Saya melihat agama katolik hanya sebagai obyek tak berharga yang dibungkus dengan pembungkus yang indah. Saya mohon maaf pada umat Kristiani yang mungkin tersinggung oleh pernyataan ini, saya juga mengungkapkan apa yang saya rasalah. Ajaran Kristen mungkin memperkaya orang lain secara spiritual, tapi buat saya tidak," tutur Natasha.
Perlahan-lahan ia mulai menjaga jarak dari agama Katolik. Natasha tidak lagi ke gereja, tidak lagi berdoa dengan cara orang Kristen berdoa, meski ia masih tetap "bicara" pada Tuhan. "Ayah saya bukan seorang lelaki yang religius, tapi ia menyerap beragam ideologi, agama dan opini pribadinya sendiri. Maka saya pun mulai melakukan pencarian sendiri, pencarian tentang tujuan hidup ini dan prinsip-prinsip yang membawa manfaat buat saya dalam menjalani kehidupan ini," ujar Natasha.
Menurutnya, setiap orang mendengar panggilan dari lubuk hatinya yang terdalam pas sesuatu yang lebih tinggi dan lebih spiritual. Manusia, kata Natasha, dianugerahi intelijensia yang besar dan hawa nafsu yang bisa membuat manusia melupakan hal-hal penting. Misalnya bahwa "manusia akan pergi ke dunia yang lain" dan mereka akan tahu bahwa harta kekayaan tidak penting, dibandingkan teman-teman yang baik dan hubungan yang baik dengan mereka.
"Saya merasakan kehidupan saya sebelumnya sangat kosong, tanpa arah. Ketika Anda berkunjung ke negara lain, Anda melihat peta untuk mengetahui tempat-tempat menarik yang bisa didatangi. Jarang dari kita yang pergi tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju. Hal yang sama berlaku pada hidup kita. Jika hidup kita aalah sebuah perjalanan besar, kita membutuhkan petunjuk arah dan kita harus tahu apa yang akan kita jumpai di akhir perjalanan nanti," kata Natasha.
"Saya merasa bahagia merasakan hal ini, karena membuat hati saya terbuka. Saya jadi terbuka pada opini dan ide-ide baru. Saya ingin mencoba apa saja yang menurut saya masuk akal. Saya pergi ke India, dan saya tahu tentang Hindu dan Islam," sambungnya.
Sampai akhirnya Natasha berkesempatan datang ke Indonesia dan banyak berdiskusi dengan beberapa muslimah yang menjadi teman sekamarnya. Sebagai non-Muslim dari Eropa, Natasha mengakui bahwa ia sedikit terpengaruh dengan propaganda anti-Islam. Ia masih mengingat cerita tentang perempuan-perempuan muslim yang diperlakukan dengan tidak baik oleh suami mereka, para teroris yang oleh media seringkali diidentikkan dengan musim, dan ia berpikir bahwa rata-rata muslim sangat gampang dicuci otak agar mau membunuh orang lain atas nama agama mereka.
Tapi sikap Natasha yang terbuka, membuatnya mudah untuk menerima pengetahuan yang baru. Ia mulai merasa mendapat pencerahan tentang Islam dan Muslim pada saat bulan Ramadan. Natasha tinggal bersama sebuah keluarga muslim, ia ikut berpuasa dan mulai belajar tentang dirinya sendiri. Ia pun menyadari betapa pentingnya sikap disiplin untuk mencapai apa yang ia inginkan dalam hidup ini.
"Saya juga menyadari, betapa pentingnya untuk tidak menjadi budak dari hal-hal yang sifatnya materialistis. Saat berpuasa, saya harus mengendalikan hawa nafsu dan emosi, yang ternyata jauh lebih berat dibandingkan menahan lapar dan haus. Saya mulai melihat dunia ini dari perspektif yang berbeda. Tiba-tiba saja, hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan jadi terlihat tidak begitu penting. Tapi yang penting adalah hubungan antara manusia, memperlakukan orang lain dengan baik dan saling tolong menolong," tutur Natasha.
Masa-masa itulah yang membuat Natasha seperti "bangun dari tidur". Ia merasa senang dan bahagia meski ia lapar dan haus. Apalagi sebulan sebelum datangnya bulan Ramadan, Natasha berpikir bahwa tidak makan dan minum adalah sesuatu yang gila. Tapi selama menjalani Ramadan, Natasha melakukan pencarian jiwa untuk menemukan agama yang benar. Pada titik ini, ia membaca kembali Alkitab yang sudah lama ditinggalkannya.
"Dalam kekritenan, kami tidak membaca Alkitab. Yang saya maksud tidak membaca, kami hanya membaca beberapa bagian saja di gereja atau dalam kelas mata pelajaran agama, tapi tidak pernah secara sungguh-sungguh duduk dan membaca maknanya. Di saat saya mulai membaca Alkitab lagi, saya jadi tahu mengapa para pendeta tidak mendorong kami untuk membacanya. Isinya banyak yang bertentangan dengan apa yang saya pahami. Saya tidak akan menceritakannya dengan detil, karena sudah banyak cerita tentang kontradiksi ini, Anda bisa menemukan penjelasannya di mana-mana, termasuk dari internet," papar Natasha.
Itulah momen ketika Natasha akhirnya memutuskan untuk pindah ke agama Islam. "Tepatnya ketika saya menemukan banyak pernyataan dari para ilmuwan yang ternyata sudah ada dalam Al-Quran. Jadi, sangat absurd berpikir bahwa Nabi Muhammad Saw. mengetahui semua hal tanpa campur tangan sebuah kekuatan yang Maha Mulia. Nabi Muhammad seorang yang buta huruf! Ilmu pengetahuan itu sendiri sebelumnya bahkan tidak akurat, jadi tidak bisa dibilang bahwa Nabi Muhammad Saw menjiplak apa yang ada di Quran dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang," tukas Natasha.
Ia melanjutkan, "Jika Anda percaya bahwa dunia ini ada yang menciptakan, tidak susah buat Anda untuk menerima fakta bahwa hanya ada satu Tuhan, satu Sang Pencipta dan Dia menurunkan pengetahuannya itu pada utusan-Nya. Itulah yang kita kenal dengan kalimat syahadat, salah satu pilar Islam "
"Maka, setelah saya menyadari itu semua, saya yakin bahwa saya tidak bisa mundur lagi ke belakang. Jika kita mencari sesuatu dan kita berdoa untuk pencarian itu, kita tidak bisa pergi begitu saja ketika sudah menemukan apa yang kita cari," tukasnya.
Natasha bersyukur pada Allah Swt, yang telah membuka mata dan hatinya sehingga bisa menemuka jalan yang benar. Ia juga berharap orang lain yang belum menjadi muslim, juga akan menemukan jalan yang sama. "Menjadi seorang muslim penuh tantangan, tapi tantangan itu menyempurnakan kita. Saya tidak takut lagi dengan banyak hal yang dulu saya takuti. Saya menyandarkan kepercayaan saya pada Tuhan," ujarnya.
Sejak masuk Islam, Natasha mengaku menjadi manusia yang lebih disiplin. Ia yakin, dirinya bukan satu-satunya yang merasakan kedamaian dan keindahan Islam. "Insya Allah lebih banyak lagi orang yang menemukan jalan kebenaran Islam dan mereka berani untuk hidup sesuai dengan tuntutan Islam," tandasnya. (TROI eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/05/pengalaman-ramadhan-membuat-natasha_19.html
Natasha berharap, pengalaman yang akan ia bagi ini akan memberikan manfaat juga bagi orang lain, dan memberi inspirasi bagi mereka yang belum memeluk Islam, agar menemukan jalan kebenaran seperti jalan yang telah Natasha temukan sekarang, yaitu jalan Islam.
Natasha berasal dari keluarga Katolik di Slovakia, sebuah negara di Eropa Tengah yang penduduknya mayoritas memeluk agama Kristen, baik Kristen Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks dan beberapa aliran dalam Kristen lainnya, sedangkan agama Islam tidak populer dan tidak begitu dikenal oleh masyarakat negaranya.
Namun Natasha mengakui bahwa ia memeluk agama Katolik, karena kedua orang tuanya Katolik. Ia memang rajin ke gereja setiap minggu dan belajar agama Katolik di sekolahnya, tapi ia tidak pernah benar-benar menghayati ajaran agamanya.
Ketika menginjak usia 16 tahun, Natasha baru berpikir tentang dirinya sendiri dan mempertanyakan tentang keyakinan agamanya. Ia tidak lagi bisa menerima doktrin "Begitulah semuanya terjadi, terima saja!" seperti yang ditekankan oleh ajaran Kristen Katolik yang dianutnya.
Ia ingat, sering menanyakan pada ibunya tentang banyak hal yang disampaikan para pendeta dalam khutbahnya seusai misa yang dihadirinya. Dalam banyak kesempatan, memang ada khutbah yang isinya bagus dan si pendeta berusaha memberikan arah kehidupan bagi para jamaahnya.
Tapi Natasha merasa seperti seorang budak yang tidak punya keinginan sendiri. Ia menyadari, tak ada manusia yang sempurna dan manusia membutuhkan bimbingan. Tapi yang tidak dimengerti Natasha, mengapa seorang pendeta, yang juga manusia seperti dirinya dan bisa berbuat salah, bisa mendapatkan banyak otoritas.
"Waktu itu, tentu saja saya menghormati para pendeta dan ajaran Katolik dengan tradisinya yang sudah ada sejak lama, dan yang pasti karena keluarga saya Katolik. Tapi saya merasa itu saja tidak cukup. Saya melihat agama katolik hanya sebagai obyek tak berharga yang dibungkus dengan pembungkus yang indah. Saya mohon maaf pada umat Kristiani yang mungkin tersinggung oleh pernyataan ini, saya juga mengungkapkan apa yang saya rasalah. Ajaran Kristen mungkin memperkaya orang lain secara spiritual, tapi buat saya tidak," tutur Natasha.
Perlahan-lahan ia mulai menjaga jarak dari agama Katolik. Natasha tidak lagi ke gereja, tidak lagi berdoa dengan cara orang Kristen berdoa, meski ia masih tetap "bicara" pada Tuhan. "Ayah saya bukan seorang lelaki yang religius, tapi ia menyerap beragam ideologi, agama dan opini pribadinya sendiri. Maka saya pun mulai melakukan pencarian sendiri, pencarian tentang tujuan hidup ini dan prinsip-prinsip yang membawa manfaat buat saya dalam menjalani kehidupan ini," ujar Natasha.
Menurutnya, setiap orang mendengar panggilan dari lubuk hatinya yang terdalam pas sesuatu yang lebih tinggi dan lebih spiritual. Manusia, kata Natasha, dianugerahi intelijensia yang besar dan hawa nafsu yang bisa membuat manusia melupakan hal-hal penting. Misalnya bahwa "manusia akan pergi ke dunia yang lain" dan mereka akan tahu bahwa harta kekayaan tidak penting, dibandingkan teman-teman yang baik dan hubungan yang baik dengan mereka.
"Saya merasakan kehidupan saya sebelumnya sangat kosong, tanpa arah. Ketika Anda berkunjung ke negara lain, Anda melihat peta untuk mengetahui tempat-tempat menarik yang bisa didatangi. Jarang dari kita yang pergi tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju. Hal yang sama berlaku pada hidup kita. Jika hidup kita aalah sebuah perjalanan besar, kita membutuhkan petunjuk arah dan kita harus tahu apa yang akan kita jumpai di akhir perjalanan nanti," kata Natasha.
"Saya merasa bahagia merasakan hal ini, karena membuat hati saya terbuka. Saya jadi terbuka pada opini dan ide-ide baru. Saya ingin mencoba apa saja yang menurut saya masuk akal. Saya pergi ke India, dan saya tahu tentang Hindu dan Islam," sambungnya.
Sampai akhirnya Natasha berkesempatan datang ke Indonesia dan banyak berdiskusi dengan beberapa muslimah yang menjadi teman sekamarnya. Sebagai non-Muslim dari Eropa, Natasha mengakui bahwa ia sedikit terpengaruh dengan propaganda anti-Islam. Ia masih mengingat cerita tentang perempuan-perempuan muslim yang diperlakukan dengan tidak baik oleh suami mereka, para teroris yang oleh media seringkali diidentikkan dengan musim, dan ia berpikir bahwa rata-rata muslim sangat gampang dicuci otak agar mau membunuh orang lain atas nama agama mereka.
Tapi sikap Natasha yang terbuka, membuatnya mudah untuk menerima pengetahuan yang baru. Ia mulai merasa mendapat pencerahan tentang Islam dan Muslim pada saat bulan Ramadan. Natasha tinggal bersama sebuah keluarga muslim, ia ikut berpuasa dan mulai belajar tentang dirinya sendiri. Ia pun menyadari betapa pentingnya sikap disiplin untuk mencapai apa yang ia inginkan dalam hidup ini.
"Saya juga menyadari, betapa pentingnya untuk tidak menjadi budak dari hal-hal yang sifatnya materialistis. Saat berpuasa, saya harus mengendalikan hawa nafsu dan emosi, yang ternyata jauh lebih berat dibandingkan menahan lapar dan haus. Saya mulai melihat dunia ini dari perspektif yang berbeda. Tiba-tiba saja, hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan jadi terlihat tidak begitu penting. Tapi yang penting adalah hubungan antara manusia, memperlakukan orang lain dengan baik dan saling tolong menolong," tutur Natasha.
Masa-masa itulah yang membuat Natasha seperti "bangun dari tidur". Ia merasa senang dan bahagia meski ia lapar dan haus. Apalagi sebulan sebelum datangnya bulan Ramadan, Natasha berpikir bahwa tidak makan dan minum adalah sesuatu yang gila. Tapi selama menjalani Ramadan, Natasha melakukan pencarian jiwa untuk menemukan agama yang benar. Pada titik ini, ia membaca kembali Alkitab yang sudah lama ditinggalkannya.
"Dalam kekritenan, kami tidak membaca Alkitab. Yang saya maksud tidak membaca, kami hanya membaca beberapa bagian saja di gereja atau dalam kelas mata pelajaran agama, tapi tidak pernah secara sungguh-sungguh duduk dan membaca maknanya. Di saat saya mulai membaca Alkitab lagi, saya jadi tahu mengapa para pendeta tidak mendorong kami untuk membacanya. Isinya banyak yang bertentangan dengan apa yang saya pahami. Saya tidak akan menceritakannya dengan detil, karena sudah banyak cerita tentang kontradiksi ini, Anda bisa menemukan penjelasannya di mana-mana, termasuk dari internet," papar Natasha.
Itulah momen ketika Natasha akhirnya memutuskan untuk pindah ke agama Islam. "Tepatnya ketika saya menemukan banyak pernyataan dari para ilmuwan yang ternyata sudah ada dalam Al-Quran. Jadi, sangat absurd berpikir bahwa Nabi Muhammad Saw. mengetahui semua hal tanpa campur tangan sebuah kekuatan yang Maha Mulia. Nabi Muhammad seorang yang buta huruf! Ilmu pengetahuan itu sendiri sebelumnya bahkan tidak akurat, jadi tidak bisa dibilang bahwa Nabi Muhammad Saw menjiplak apa yang ada di Quran dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang," tukas Natasha.
Ia melanjutkan, "Jika Anda percaya bahwa dunia ini ada yang menciptakan, tidak susah buat Anda untuk menerima fakta bahwa hanya ada satu Tuhan, satu Sang Pencipta dan Dia menurunkan pengetahuannya itu pada utusan-Nya. Itulah yang kita kenal dengan kalimat syahadat, salah satu pilar Islam "
"Maka, setelah saya menyadari itu semua, saya yakin bahwa saya tidak bisa mundur lagi ke belakang. Jika kita mencari sesuatu dan kita berdoa untuk pencarian itu, kita tidak bisa pergi begitu saja ketika sudah menemukan apa yang kita cari," tukasnya.
Natasha bersyukur pada Allah Swt, yang telah membuka mata dan hatinya sehingga bisa menemuka jalan yang benar. Ia juga berharap orang lain yang belum menjadi muslim, juga akan menemukan jalan yang sama. "Menjadi seorang muslim penuh tantangan, tapi tantangan itu menyempurnakan kita. Saya tidak takut lagi dengan banyak hal yang dulu saya takuti. Saya menyandarkan kepercayaan saya pada Tuhan," ujarnya.
Sejak masuk Islam, Natasha mengaku menjadi manusia yang lebih disiplin. Ia yakin, dirinya bukan satu-satunya yang merasakan kedamaian dan keindahan Islam. "Insya Allah lebih banyak lagi orang yang menemukan jalan kebenaran Islam dan mereka berani untuk hidup sesuai dengan tuntutan Islam," tandasnya. (TROI eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/05/pengalaman-ramadhan-membuat-natasha_19.html
Jangan Remehkan Ucapan Anda
Mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala merupakan aktifitas yang sangat mulia. Allah ta’aala menyebutnya sebagai ”ucapan yang paling baik”. Namun tidak banyak muslim yang mau dan sanggup melakukannya.
Pada umumnya seorang muslim dihalangi oleh seribu satu alasan untuk tidak melakukannya. Ada alasan yang sangat umum yaitu ”nanti si non-muslim tersinggung”. Itulah sebabnya Allah ta’aala membekali kita dengan firmanNya: ”...dan berdebatlah (beradu argumenlah) dengan mereka dengan cara yang baik.”(QS AnNahl ayat 125)
Seorang muslim tatkala menyampaikan da’wah Islam harulah memiliki optimisme dan harapan hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia harus selalu mengingat bahwa kewajibannya hanyalah menyampaikan. Adapun soal obyek da’wahnya mau menerima atau tidak, maka ini bukan urusan si muslim. Soal seseorang memperoleh hidayah atau tetap sesat sepenuhnya terserah Allah subhaanahu wa ta’aala.
” Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS AnNahl ayat 125)
Hal lain yang juga harus selalu diingat oleh seorang muslim yang mengajak orang lain agar ikut jalan Allah ta’aala ialah: ”Jangan remehkan ucapan Anda.” Siapa tahu, justru melalui lisan Anda seseorang memperoleh hidayah. Anda tidak akan pernah tahu apakah ucapan Anda mendatangkan taufiq dan hidayah Allah ta’aala sebelum Anda mencobanya..!
Ada seorang kawan saya yang sewaktu lulus SMA pergi untuk kuliah ke luar negeri. Saat ia pertama kali tiba di London kemampuan berbahasa Inggrisnya masih belum lancar. Waktu itu sedang bulan Ramadhan. Hari-hari pertama tiba di Inggris ia ikut sebuah bus Tour Wisata keliling kota London. Saat datang waktu makan siang bus itu berhenti di sebuah restoran dan semua turis turun untuk makan siang. Termasuk kawan saya orang Indonesia muslim tersebut.
Semua penumpang bus wisata makan di restoran tersebut kecuali kawan saya karena ia sedang puasa. Maka ketika melihat ia tidak makan si Guide (penunjuk jalan) seorang berkebangsaan Inggris mendekatinya dan bertanya: ”Why aren’t you eating?” (Mengapa kamu tidak ikut makan?).
Dengan bahasa Inggris yang terbatas iapun menjawab: ”I am Muslim. This is Ramadhan. I am fasting.” (Saya seorang muslim. Ini bulan Ramadhan. Saya sedang puasa)
Tiba-tiba dengan nada mengejek si penunjuk jalan itupun berkata: ”Oh, rupanya Anda datang dari sebuah negera muslim. Negara yang miskin sehingga kamu tidak sanggup makan...”
Lalu kawan kitapun menjadi marah dan tersinggung. Tapi bagaimana caranya mengungkapkan kemarahan dalam suatu bahasa yang belum dikuasai? Akhirnya ia hanya bisa berkata: ”Wait, one year... I will explain to you the beauty of Islam…” (tunggulah satu tahun, nanti aku jelaskan padamu indahnya ajaran Islam). Maksudnya ia ingin diberi kesempatan belajar bahasa Inggris dahulu selama setahun, baru nanti ia akan jelaskan secara panjang lebar apa itu sebenarnya ajaran Islam nan indah ini.
Sesudah satu tahun kawan saya inipun memenuhi janjinya. Ia datangi si penunjuk jalan untuk menjelaskan Islam kepadanya. Namun apa yang terjadi? Begitu mereka berjumpa satu sama lain, tiba-tiba si guide orang Inggris ini menyapa kawan kita : ”Assalaamu’alaikum, brother...!”
Maka kawan saya ini terkejut dan bertanya: ”Anda sudah masuk Islam?”
”Iya benar, saya sudah masuk Islam, ” kata si orang Inggris.
”Waduh, saya baru saja mau menjelaskan kepada Anda apa itu Islam, ” kata kawan saya.
”Anda terlambat, saudaraku...” kata si Inggris.
Maka si orang Indonesiapun bertanya: ”Bagaimana ceritanya Anda sampai memeluk Islam?”
”Saya masuk Islam sejak Anda mengatakan ’I will explain to you the beauty of Islam’... Maka sayapun bertanya-tanya apa memang di dalam Islam ada keindahan? Saya selama ini hanya tahunya Islam itu identik dengan terorisme dan segala yang hitam dan jelek.. Maka karena saya penasaran sayapun belajar Islam. Dan alhamdulillah, saya mendapat hidayah dari Allah ta'aala...”
Subhanallah...! Maka, saudaraku, bersegeralah. Ajaklah teman kerja Anda, tetangga Anda atau barangkali saudara Anda yang non-muslim ke dalam rahmat Allah ta’aala... Jangan remehkan ucapan Anda. Siapa tahu lewat lisan Anda Allah ta’aala akan limpahkan hidayah iman-Islam kepada seseorang.....
sumber eramuslim.com
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/jangan-remehkan-ucapan-anda.html
Pada umumnya seorang muslim dihalangi oleh seribu satu alasan untuk tidak melakukannya. Ada alasan yang sangat umum yaitu ”nanti si non-muslim tersinggung”. Itulah sebabnya Allah ta’aala membekali kita dengan firmanNya: ”...dan berdebatlah (beradu argumenlah) dengan mereka dengan cara yang baik.”(QS AnNahl ayat 125)
Seorang muslim tatkala menyampaikan da’wah Islam harulah memiliki optimisme dan harapan hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia harus selalu mengingat bahwa kewajibannya hanyalah menyampaikan. Adapun soal obyek da’wahnya mau menerima atau tidak, maka ini bukan urusan si muslim. Soal seseorang memperoleh hidayah atau tetap sesat sepenuhnya terserah Allah subhaanahu wa ta’aala.
” Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS AnNahl ayat 125)
Hal lain yang juga harus selalu diingat oleh seorang muslim yang mengajak orang lain agar ikut jalan Allah ta’aala ialah: ”Jangan remehkan ucapan Anda.” Siapa tahu, justru melalui lisan Anda seseorang memperoleh hidayah. Anda tidak akan pernah tahu apakah ucapan Anda mendatangkan taufiq dan hidayah Allah ta’aala sebelum Anda mencobanya..!
Ada seorang kawan saya yang sewaktu lulus SMA pergi untuk kuliah ke luar negeri. Saat ia pertama kali tiba di London kemampuan berbahasa Inggrisnya masih belum lancar. Waktu itu sedang bulan Ramadhan. Hari-hari pertama tiba di Inggris ia ikut sebuah bus Tour Wisata keliling kota London. Saat datang waktu makan siang bus itu berhenti di sebuah restoran dan semua turis turun untuk makan siang. Termasuk kawan saya orang Indonesia muslim tersebut.
Semua penumpang bus wisata makan di restoran tersebut kecuali kawan saya karena ia sedang puasa. Maka ketika melihat ia tidak makan si Guide (penunjuk jalan) seorang berkebangsaan Inggris mendekatinya dan bertanya: ”Why aren’t you eating?” (Mengapa kamu tidak ikut makan?).
Dengan bahasa Inggris yang terbatas iapun menjawab: ”I am Muslim. This is Ramadhan. I am fasting.” (Saya seorang muslim. Ini bulan Ramadhan. Saya sedang puasa)
Tiba-tiba dengan nada mengejek si penunjuk jalan itupun berkata: ”Oh, rupanya Anda datang dari sebuah negera muslim. Negara yang miskin sehingga kamu tidak sanggup makan...”
Lalu kawan kitapun menjadi marah dan tersinggung. Tapi bagaimana caranya mengungkapkan kemarahan dalam suatu bahasa yang belum dikuasai? Akhirnya ia hanya bisa berkata: ”Wait, one year... I will explain to you the beauty of Islam…” (tunggulah satu tahun, nanti aku jelaskan padamu indahnya ajaran Islam). Maksudnya ia ingin diberi kesempatan belajar bahasa Inggris dahulu selama setahun, baru nanti ia akan jelaskan secara panjang lebar apa itu sebenarnya ajaran Islam nan indah ini.
Sesudah satu tahun kawan saya inipun memenuhi janjinya. Ia datangi si penunjuk jalan untuk menjelaskan Islam kepadanya. Namun apa yang terjadi? Begitu mereka berjumpa satu sama lain, tiba-tiba si guide orang Inggris ini menyapa kawan kita : ”Assalaamu’alaikum, brother...!”
Maka kawan saya ini terkejut dan bertanya: ”Anda sudah masuk Islam?”
”Iya benar, saya sudah masuk Islam, ” kata si orang Inggris.
”Waduh, saya baru saja mau menjelaskan kepada Anda apa itu Islam, ” kata kawan saya.
”Anda terlambat, saudaraku...” kata si Inggris.
Maka si orang Indonesiapun bertanya: ”Bagaimana ceritanya Anda sampai memeluk Islam?”
”Saya masuk Islam sejak Anda mengatakan ’I will explain to you the beauty of Islam’... Maka sayapun bertanya-tanya apa memang di dalam Islam ada keindahan? Saya selama ini hanya tahunya Islam itu identik dengan terorisme dan segala yang hitam dan jelek.. Maka karena saya penasaran sayapun belajar Islam. Dan alhamdulillah, saya mendapat hidayah dari Allah ta'aala...”
Subhanallah...! Maka, saudaraku, bersegeralah. Ajaklah teman kerja Anda, tetangga Anda atau barangkali saudara Anda yang non-muslim ke dalam rahmat Allah ta’aala... Jangan remehkan ucapan Anda. Siapa tahu lewat lisan Anda Allah ta’aala akan limpahkan hidayah iman-Islam kepada seseorang.....
sumber eramuslim.com
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/jangan-remehkan-ucapan-anda.html
Masuk Islam Setelah Seorang Pendeta Bilang Muslim Membenci Yesus
Pernyataan seorang pendeta bahwa Muslim membenci Yesus, justru mendorong Ericka--penganut Kristen Evangelis yang menikah dengan seorang lelaki muslim--mencari kebenaran akan pernyataan itu. Pencarian itulah yang membawa Ericka pada agama Islam dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang muslimah.
Perempuan Amerika keturunan Meksiko itu sebenarnya dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Sekira tahun 2008 lalu, seorang sahabat mengundang Ericka datang ke gereja penganut Evangelis. Sejak itu, ia merasa cocok dengan ajaran Evangelis.
"Mereka (jamaah Evangelis) sangat mirip dengan saya pada waktu itu dan banyak membantu saya. Saya memahami banyak ajaran mereka, antara lain kewajiban membaca Alkitab. Meski saya tidak selalu paham isi Alkitab, setidaknya saya berniat untuk belajar dan ikut kelas Alkitab pada hari Minggu," ujar Ericka.
Pada suatu kesempatan, seorang pendeta mengatakan bahwa Muslim membenci Yesus dan Muslim menyembah tuhan lain yang disebut "Allah". Pernyataan mendorong rasa ingin tahu Ericka akan kebenaran ucapan pendetanya.
"Saya terkejut, saya berjumpa dengan beberapa Muslim yang ternyata mencintai 'Yesus' sama besarnya dengan umat Kristiani. Saya juga akhirnya tahu bahwa kata 'Allah' adalah bahasa Arab yang artinya 'Tuhan' dan bahwa Yesus bukan tuhan seperti yang diyakini umat Kristiani, karena Yesus yang sama juga menyembah Tuhan yang sama seperti kita," tutur Ericka.
Sejak itu, rasa ingin tahu Ericka semakin besar. Ia mencari informasi tentang asal usul Alkitab dan para penyusun Alkitab. Ia menemukan banyak kontradiksi dan penyusun-penyusun Alkitab yang tidak jelas identitas dan kapabilitasnya. Ericka bahkan menemukan penyusun Alkitab yang bahkan tidak tahu Yesus, tap berani menulis tentang Yesus.
Pada awalnya, ada penolakan dalam hatinya untuk mengakui bahwa banyak hal-hal yang tak masuk akal dalam agama Kristen. "Sedih rasanya memikirkan bahwa kitab suci (Alkitab) saya yang suci dan sakral itu, yang buat saya adalah firman-firman Tuhan, ternyata banyak penyimpangan," ujar Ericka.
"Saya berdoa pada Tuhan yang Mahakuasa untuk membimbing saya, membiarkan saya melihat kebenaran, dan membawa saya untuk menyembah-Nya tanpa khawatir akan konsekuensi apapun," sambung Ericka.
Hal besar yang masih membuat Ericka ragu adalah pertanyaan mengapa Alkitab tidak menubuatkan tentang Nabi Muhammad Saw. Ia mencari bukti-bukti itu dan menemukan jawabannya; jika Alkitab memuat nubuat tentang Nabi Muhammad Saw, itu artinya Alkitab mengakui keberadaan Nabi Muhammad Saw dan Islam.
Ericka pun bertekad untuk lebih dalam mempelajari Islam. Ia membaca Al-Quran dan mengakui kemurnian Al-Quran sebagai perkataan yang langsung dari Allah Swt. "Saya menemukan bahwa Islam adalah agama yang benar dan logis, memberikan jawaban untuk kehidupan ini, dan Islam adalah agama yang damai dan membawa diri kita secara menyeluruh pada Allah," ungkap Ericka.
Setelah melalui pemikiran yang panjang, Ericka memutuskan untuk masuk Islam. Suami Ericka yang muslim, membantunya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah bersyahadat, Ericka merasa beban berat di pundaknya seketika lenyap. "Saya merasa bebas, bersih dan keyakinan yang penuh," tukas Ericka yang kemudian langsung mengenakan jilbab.
Ericka beruntung karena tidak mengalami kendala dari keluarganya yang Kristen. "Islam memberikan saya tuntunan hidup yang lengkap, kesempatan untuk lebih dekat pada Allah. Kesempatan untuk menerima rahmat-Nya, kesempatan untuk hidup di hari kemudian. Islam memberikan kedamaian dan memberikan penerang di jalan yang saya ikut," tandasnya.
Buat mereka yang belum mengenal Islam, Ericka berpesan, "Jangan takut untuk mempelajari Islam, paling tidak memahaminya dan jangan mengkritiknya. Anda akan paham jika Anda tahu sepenuhnya tentang Islam, dan jika Anda paham, Anda akan menghormati Islam. Teruslah mencari dan mintalah petunjuk Allah." (ln/oi eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/masuk-islam-setelah-seorang-pendeta.html
Perempuan Amerika keturunan Meksiko itu sebenarnya dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Sekira tahun 2008 lalu, seorang sahabat mengundang Ericka datang ke gereja penganut Evangelis. Sejak itu, ia merasa cocok dengan ajaran Evangelis.
"Mereka (jamaah Evangelis) sangat mirip dengan saya pada waktu itu dan banyak membantu saya. Saya memahami banyak ajaran mereka, antara lain kewajiban membaca Alkitab. Meski saya tidak selalu paham isi Alkitab, setidaknya saya berniat untuk belajar dan ikut kelas Alkitab pada hari Minggu," ujar Ericka.
Pada suatu kesempatan, seorang pendeta mengatakan bahwa Muslim membenci Yesus dan Muslim menyembah tuhan lain yang disebut "Allah". Pernyataan mendorong rasa ingin tahu Ericka akan kebenaran ucapan pendetanya.
"Saya terkejut, saya berjumpa dengan beberapa Muslim yang ternyata mencintai 'Yesus' sama besarnya dengan umat Kristiani. Saya juga akhirnya tahu bahwa kata 'Allah' adalah bahasa Arab yang artinya 'Tuhan' dan bahwa Yesus bukan tuhan seperti yang diyakini umat Kristiani, karena Yesus yang sama juga menyembah Tuhan yang sama seperti kita," tutur Ericka.
Sejak itu, rasa ingin tahu Ericka semakin besar. Ia mencari informasi tentang asal usul Alkitab dan para penyusun Alkitab. Ia menemukan banyak kontradiksi dan penyusun-penyusun Alkitab yang tidak jelas identitas dan kapabilitasnya. Ericka bahkan menemukan penyusun Alkitab yang bahkan tidak tahu Yesus, tap berani menulis tentang Yesus.
Pada awalnya, ada penolakan dalam hatinya untuk mengakui bahwa banyak hal-hal yang tak masuk akal dalam agama Kristen. "Sedih rasanya memikirkan bahwa kitab suci (Alkitab) saya yang suci dan sakral itu, yang buat saya adalah firman-firman Tuhan, ternyata banyak penyimpangan," ujar Ericka.
"Saya berdoa pada Tuhan yang Mahakuasa untuk membimbing saya, membiarkan saya melihat kebenaran, dan membawa saya untuk menyembah-Nya tanpa khawatir akan konsekuensi apapun," sambung Ericka.
Hal besar yang masih membuat Ericka ragu adalah pertanyaan mengapa Alkitab tidak menubuatkan tentang Nabi Muhammad Saw. Ia mencari bukti-bukti itu dan menemukan jawabannya; jika Alkitab memuat nubuat tentang Nabi Muhammad Saw, itu artinya Alkitab mengakui keberadaan Nabi Muhammad Saw dan Islam.
Ericka pun bertekad untuk lebih dalam mempelajari Islam. Ia membaca Al-Quran dan mengakui kemurnian Al-Quran sebagai perkataan yang langsung dari Allah Swt. "Saya menemukan bahwa Islam adalah agama yang benar dan logis, memberikan jawaban untuk kehidupan ini, dan Islam adalah agama yang damai dan membawa diri kita secara menyeluruh pada Allah," ungkap Ericka.
Setelah melalui pemikiran yang panjang, Ericka memutuskan untuk masuk Islam. Suami Ericka yang muslim, membantunya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah bersyahadat, Ericka merasa beban berat di pundaknya seketika lenyap. "Saya merasa bebas, bersih dan keyakinan yang penuh," tukas Ericka yang kemudian langsung mengenakan jilbab.
Ericka beruntung karena tidak mengalami kendala dari keluarganya yang Kristen. "Islam memberikan saya tuntunan hidup yang lengkap, kesempatan untuk lebih dekat pada Allah. Kesempatan untuk menerima rahmat-Nya, kesempatan untuk hidup di hari kemudian. Islam memberikan kedamaian dan memberikan penerang di jalan yang saya ikut," tandasnya.
Buat mereka yang belum mengenal Islam, Ericka berpesan, "Jangan takut untuk mempelajari Islam, paling tidak memahaminya dan jangan mengkritiknya. Anda akan paham jika Anda tahu sepenuhnya tentang Islam, dan jika Anda paham, Anda akan menghormati Islam. Teruslah mencari dan mintalah petunjuk Allah." (ln/oi eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/masuk-islam-setelah-seorang-pendeta.html
Menikahlah Dengan Siapa Saja, Asal Bukan Seorang Muslim
Pada malam tahun baru saat usianya masih 17 tahun, Susan Carland membuat beberapa resolusi, dan salah satunya adalah "mencari tahu tentang agama-agama lain" selain agama Kristen Baptis yang dianutnya sejak kecil.
Ketika Susan mengungkapkan resolusinya yang satu itu pada sang ibu, ibu yang sangat ia cintai itu menjawab dengan santai, "Aku tak peduli jika engkau menikah dengan seorang bandar narkoba sekalipun, asalkan jangan menikah dengan seorang muslim."
Kala itu itu, agama Islam tidak masuk dalam prioritas agama yang ingin Susan pelajari, apalagi berpikir untuk menikah dengan seorang muslim. "Islam terlihat keras, ekstrim dan asing," ujar Susan.
Tapi dua tahun kemudian, pada usia 19 tahun, Susan menjadi seorang muslimah. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat karena kemauannya sendiri, tanpa pengaruh siapa pun, termasuk pengaruh seorang laki-laki. Lalu bagaimana reaksi ibu Susan melihat puterinya masuk Islam?
Suatu malam, ibu Susan mengatakan bahwa ia membuat daging babi iris untuk makan malam. Malam itulah pertama kalinya ibu Susan tahu puterinya sudah menjadi seorang muslimah. Ibu menyebut Susan 'korban' Islam. "Tapi ibu memeluk saya, meski ia menangis," ungkap Susan. Beberapa hari kemudian, Susan malah memutuskan untuk mengenakan jilbab.
Selama 8 tahun memeluk Islam, hubungan Susan dengan ibunya mengalami masa-masa sulit. Tapi sekarang hubungan keduanya mulai membaik. Ibunya bahkan jadi sering membelikannya jilbab dan mengirimkan hadiah untuk anak-anak Susan pada saat Idul Fitri.
Susan menyelesaikan studinya hingga mencapai gelar PhD. Ia melakukan riset tentang tantangan yang dihadapi kaum perempuan musim dalam masalah kepemimpinan. Susan sekarang menjadi dosen dan tutor di School of Political and Social Inquiry di Universitas Monash, Melbourne, Australia, untuk bidang studi gender, pemuda dan sosiologi agama.
"Saya mencintai Islam dan Muslim, tanpa keraguan. Orang-orang yang paling mengagumkan dan paling inspiratif yang pernah saya temui adalah kaum Muslimin, dan hal itu membantu saya untuk tidak menarik diri sama sekali dari tengah masyarakat," tutur Susan.
Susan menikah dengan seorang lelaki muslim pada Februari 2002. Ia menggelar pesta pernikahannya di kebun binatang Melbourne. Suaminya seorang pengacara bernama Waleed Aly, yang juga menjabat sebagai dewan eksekutif Islamic Council of Victoria. Aly, muslim keturunan Mesir yang lahir di Australia itu juga menjadi dosen di Universitas Monash dan bekerja di Global Terrorism Research Centre.
"Ketika saya masuk Islam, saya dan Waleed belum bertemu. Saya masih seorang diri. Kami memutuskan menikah beberapa tahun setelah saya menjadi seorang muslimah," tukas Susan.
Ditanya tentang perjalanan spiritualnya setelah masuk Islam, Susan mengungkapkan bahwa ia merasakan sebuah kebebasan intelektual. "Saya mengawalinya dengan ikut masuk dalam ruang chatting Muslim di internet. Saya berkenalan dan menjalin komunikasi dengan beberapa muslimah yang sedang menimba ilmu di universitas saya. Mereka dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya," ujar Susan.
Ia melanjutkan, "Ketika saya membiarkan agama bicara untuk dirinya sendiri melalui tradisinya, melalui para ulama dan teks-teks suci, untuk melawan apa yang ditulis para wartawan di tabloid-tabloid dan perilaku muslim yang menggemparkan, saya menemukan bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian, egalitarian, berkeadilan sosial dan keseimbangan yang indah antara spiritual dan intelektual."
Susan mendakwahkan Islam dengan membuat program televisi Salam Cafe yang ditayangkan secara nasional oleh jaringan televisi Australia. Ia banyak menerima penghargaan untuk program yang dibuatnya itu. Susan juga sering diundang sebagai pembicara di gereja, sekolah-sekolah, organisasi bisnis, organisasi kemasyarakatan bahkan komunitas Yahudi. Ia aktif di berbagai lembaga penelitian. Tak heran jika ia pernah terpilih sebagai tokoh Muslim Australia Tahun 2004, dan mendapatkan hadiah sebesar 2.000 dollar yang ia sumbangkan ke berbagai lembaga amal, baik lembaga muslim maupun non-Muslim. (kw/oi eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/menikahlah-dengan-siapa-saja-asal-bukan.html
'Tuhan, Jika Engkau Ada, Sembuhkan Putri Saya'
Musim dingin 1990, putri kedua Laurence Brown lahir. Tapi putrinya mengalami gangguan kesehatan yang serius, terjadi penyempitan di lengkungan pembuluh darah aortanya, sehingga peredaran darah bayinya tidak lancar. Brown menyaksikan bagaimana tubuh puteri mungilnya membiru dari bagian dada sampai ujung kaki dan harus dirawat di ruang perawatan intensif untuk bayi yang baru lahir.
Sebagai seorang dokter bedah, Brown sangat paham tindakan medis apa yang akan dilakukan dokter terhadap putrinya. Tak ada jalan lain selain melakukan pembedahan darurat di bagian dada, meski tindakan medis itu tidak memberikan peluang besar bagi puterinya untuk bertahan hidup.
Ketika konsultan ahli bedah kardio-toraks yang akan menangani putrinya datang, perasaan Brown campur aduk antara sedih dan takut. "Tidak ada teman kecuali rasa takut, dan tidak tempat untuk berbagi kesedihan sementara saya menunggu hasil pemeriksaan konsultan itu. Saya lalu pergi ke ruangan tempat berdoa di rumah sakit dan duduk bersimpuh," ujar Brown menceritakan kekalutan hatinya saat itu.
Ia mengakui, itulah kali pertama dalam hidupnya ia berdoa dengan tulus dan sungguh-sungguh. "Sebagai seorang atheis, saat itulah pertama kalinya saya, dengan setengah hati, mengakui Tuhan. Saya katakan setengah hati, bahkan dalam situasi panik itu, saya tidak sepenuhnya meyakini Tuhan. Saya cuma berdoa dengan sikap skeptis. Tuhan, jika Tuhan itu memang ada, Tuhan akan menyelamatkan putri saya, saya berjanji akan mencari dan mengikuti agama yang paling menyenangkan hati-Nya," tutur Brown.
Sekitar 10 sampai 15 menit kemudian, Brown kembali ke ruang perawatan intensif putrinya dan sangat kaget mendengar penjelasan konsultan bedah yang mengatakan bahwa putrinya akan baik-baik saja. Perkataan konsultan itu terbukti, dalam waktu dua hari, kondisi bayi perempuan Brown menunjukkan kemajuan tanpa harus diberi obat-obatan dan menjalani pembedahan. Bayi perempuan Brown yang diberi nama Hannah itu selanjutnya tumbuh dengan normal seperti anak-anak lainnya.
Setelah putrinya dinyatakan sehat, sekarang giliran Brown yang harus memenuhi janjinya di depan Tuhan, saat ia berdoa memohon keselamatan Hannah. Ia mengatakan, sebagai seorang atheis, mudah bagi Brown untuk membangun kembali ketidakpercayaannya akan eksistensi Tuhan, dan menyerahkan pemulihan putrinya pada dokter dan bukan pada Tuhan. Tapi Brown tidak melakukan itu. "Dalam perjanjian itu, Tuhan sudah menunjukkan kebaikannya, dan saya merasa juga harus melakukan hal yang sama. Tuhan sudah mengabulkan doa saya," tukas Brown.
Selama beberapa tahun Brown berusaha memenuhi "perjanjian"nya dengan Tuhan. Tapi ia merasa gagal menemukan agama ingin ia peluk. Brown mempelajari Yudaisme, beragam aliran Kristen, tapi tidak pernah merasa bahwa ia telah menemukan kebenaran. "Selama beberapa waktu, saya mendatangi berbagai gereja aliran Kristen. Yang paling lama, saya ikut jamaah gereja Katolik Roma, tapi saya tidak pernah secara resmi memeluk agama itu," tutur Brown.
Ia mengaku tidak pernah bisa memilih agama Kristen karena alasan sederhana; ia tidak bisa menemukan kesesesuaian ajaran alkitab tentang Yesus dengan ajaran dari berbagai sekte Kristen lainnya. Karena tak menemukan agama yang sesuai dengan hatinya, Brown akhirnya memilih berdiam diri di rumah dan banyak membaca. Di masa-masa itulah, Brown mengenal Al-Quran dan buku biografi Nabi Muhammad Saw. yang ditulis oleh Martin Lings, berjudul "Muhammad, His Life Based on Earliest Sources".
Dari Al-Quran yang dibacanya, Brown menemukan bahwa kitab suci umat Islam itu mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya satu, dan nabi-nabi seperti Nabi Musa dan Yesus (Nabi Isa) juga mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Sebuah konsep berbeda yang pernah ia tahu dalam ajaran agama Yudaisme dan Kristen yang pernah dipelajarinya bertahun-tahun. Setelah membaca buku biografi Nabi Muhammad Saw. Brown juga mulai meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
"Tiba-tiba saja semuanya seperti masuk akal, seiring dengan keyakinan yang tumbuh itu. Kontinuitas rantai kenabian, turunnya wahyu, hanya satu Tuhan yang Mahabesar, dan lengkapnya wahyu-wahyu Allah dalam Al-Quran, tiba-tiba menimbulkan rasa yang sempurna. Inilah yang membuat saya kemudian menjadi seorang Muslim," papar Brown.
Sampai sekarang, sudah 10 tahun Laurence Brown menjadi seorang muslim. Selama itu, ia belajar satu hal, bahwa "Di luar sana banyak orang yang lebih cerdas dan pandai dibandingkan dirinya, tapi orang-orang itu tidak mampu mengetahui kebenaran Islam," ujar Brown.
"Yang terpenting bukan seberapa pintar seseorang, tapi sebuah pencerahan seperti yang ditegaskan Allah bahwa mereka yang percaya agama Allah, tetap akan tidak percaya, meski jika diberi peringatan akan dosa jika menolak keberadaan Allah. Jika demikian, Allah juga akan mengabaikan mereka dan menjauhkan mereka dari kebenaran-Nya ..."
"Karenanya, saya bersyukur pada Allah yang telah memberi petunjuk, dan saya memperkuat petunjuk itu dengan satu formula yang sederhana; mengakui adanya Tuhan, menyembah hanya Allah semata, dengan sungguh-sungguh berjanji untuk mencari dan mengikuti kebenaran ajaran-Nya, lalu menerima hidayah-Nya," tandas Brown. (ln/oi)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/tuhan-jika-engkau-ada-sembuhkan-putri.html
Sebagai seorang dokter bedah, Brown sangat paham tindakan medis apa yang akan dilakukan dokter terhadap putrinya. Tak ada jalan lain selain melakukan pembedahan darurat di bagian dada, meski tindakan medis itu tidak memberikan peluang besar bagi puterinya untuk bertahan hidup.
Ketika konsultan ahli bedah kardio-toraks yang akan menangani putrinya datang, perasaan Brown campur aduk antara sedih dan takut. "Tidak ada teman kecuali rasa takut, dan tidak tempat untuk berbagi kesedihan sementara saya menunggu hasil pemeriksaan konsultan itu. Saya lalu pergi ke ruangan tempat berdoa di rumah sakit dan duduk bersimpuh," ujar Brown menceritakan kekalutan hatinya saat itu.
Ia mengakui, itulah kali pertama dalam hidupnya ia berdoa dengan tulus dan sungguh-sungguh. "Sebagai seorang atheis, saat itulah pertama kalinya saya, dengan setengah hati, mengakui Tuhan. Saya katakan setengah hati, bahkan dalam situasi panik itu, saya tidak sepenuhnya meyakini Tuhan. Saya cuma berdoa dengan sikap skeptis. Tuhan, jika Tuhan itu memang ada, Tuhan akan menyelamatkan putri saya, saya berjanji akan mencari dan mengikuti agama yang paling menyenangkan hati-Nya," tutur Brown.
Sekitar 10 sampai 15 menit kemudian, Brown kembali ke ruang perawatan intensif putrinya dan sangat kaget mendengar penjelasan konsultan bedah yang mengatakan bahwa putrinya akan baik-baik saja. Perkataan konsultan itu terbukti, dalam waktu dua hari, kondisi bayi perempuan Brown menunjukkan kemajuan tanpa harus diberi obat-obatan dan menjalani pembedahan. Bayi perempuan Brown yang diberi nama Hannah itu selanjutnya tumbuh dengan normal seperti anak-anak lainnya.
Setelah putrinya dinyatakan sehat, sekarang giliran Brown yang harus memenuhi janjinya di depan Tuhan, saat ia berdoa memohon keselamatan Hannah. Ia mengatakan, sebagai seorang atheis, mudah bagi Brown untuk membangun kembali ketidakpercayaannya akan eksistensi Tuhan, dan menyerahkan pemulihan putrinya pada dokter dan bukan pada Tuhan. Tapi Brown tidak melakukan itu. "Dalam perjanjian itu, Tuhan sudah menunjukkan kebaikannya, dan saya merasa juga harus melakukan hal yang sama. Tuhan sudah mengabulkan doa saya," tukas Brown.
Selama beberapa tahun Brown berusaha memenuhi "perjanjian"nya dengan Tuhan. Tapi ia merasa gagal menemukan agama ingin ia peluk. Brown mempelajari Yudaisme, beragam aliran Kristen, tapi tidak pernah merasa bahwa ia telah menemukan kebenaran. "Selama beberapa waktu, saya mendatangi berbagai gereja aliran Kristen. Yang paling lama, saya ikut jamaah gereja Katolik Roma, tapi saya tidak pernah secara resmi memeluk agama itu," tutur Brown.
Ia mengaku tidak pernah bisa memilih agama Kristen karena alasan sederhana; ia tidak bisa menemukan kesesesuaian ajaran alkitab tentang Yesus dengan ajaran dari berbagai sekte Kristen lainnya. Karena tak menemukan agama yang sesuai dengan hatinya, Brown akhirnya memilih berdiam diri di rumah dan banyak membaca. Di masa-masa itulah, Brown mengenal Al-Quran dan buku biografi Nabi Muhammad Saw. yang ditulis oleh Martin Lings, berjudul "Muhammad, His Life Based on Earliest Sources".
Dari Al-Quran yang dibacanya, Brown menemukan bahwa kitab suci umat Islam itu mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya satu, dan nabi-nabi seperti Nabi Musa dan Yesus (Nabi Isa) juga mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Sebuah konsep berbeda yang pernah ia tahu dalam ajaran agama Yudaisme dan Kristen yang pernah dipelajarinya bertahun-tahun. Setelah membaca buku biografi Nabi Muhammad Saw. Brown juga mulai meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
"Tiba-tiba saja semuanya seperti masuk akal, seiring dengan keyakinan yang tumbuh itu. Kontinuitas rantai kenabian, turunnya wahyu, hanya satu Tuhan yang Mahabesar, dan lengkapnya wahyu-wahyu Allah dalam Al-Quran, tiba-tiba menimbulkan rasa yang sempurna. Inilah yang membuat saya kemudian menjadi seorang Muslim," papar Brown.
Sampai sekarang, sudah 10 tahun Laurence Brown menjadi seorang muslim. Selama itu, ia belajar satu hal, bahwa "Di luar sana banyak orang yang lebih cerdas dan pandai dibandingkan dirinya, tapi orang-orang itu tidak mampu mengetahui kebenaran Islam," ujar Brown.
"Yang terpenting bukan seberapa pintar seseorang, tapi sebuah pencerahan seperti yang ditegaskan Allah bahwa mereka yang percaya agama Allah, tetap akan tidak percaya, meski jika diberi peringatan akan dosa jika menolak keberadaan Allah. Jika demikian, Allah juga akan mengabaikan mereka dan menjauhkan mereka dari kebenaran-Nya ..."
"Karenanya, saya bersyukur pada Allah yang telah memberi petunjuk, dan saya memperkuat petunjuk itu dengan satu formula yang sederhana; mengakui adanya Tuhan, menyembah hanya Allah semata, dengan sungguh-sungguh berjanji untuk mencari dan mengikuti kebenaran ajaran-Nya, lalu menerima hidayah-Nya," tandas Brown. (ln/oi)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/06/tuhan-jika-engkau-ada-sembuhkan-putri.html
La Bianca, Perempuan Desa yang Memilih Menjadi Seorang Muslimah
La Bianca hanya seorang perempuan desa sederhana yang dibesarkan di sebuah peternakan di Perth, Australia Barat. Ketika masih anak-anak, ia punya hewan kesayangan, seekor kanguru. Ia juga membantu orang tuanya mengurus sapi-sapi dan domba. Meski perempuan, La Bianca senang berburu. Kelinci dan anjing hutan menjadi sasaran buruannya.
Keluarganya tidak terlalu ketat mengajarkan agama. Tapi La Bianca percaya adanya Tuhan dan ia dididik dengan tradisi dan nilai-nilai moral keluarga Italia, dimana seorang anak gadis sangat dijaga dan dilindungi.
Setiap Minggu, La Bianca dan keluarganya mengikuti misa ke gereja. Namun buat La Bianca, kedatangannya ke gereja cuma ikut-ikutan keluarganya saja, karena ia mengaku tidak paham apapun tentang agama yang dianutnya. Yang ia tahu, ia harus mengenakan gaun berwarna putih dan mengucapkan beberapa baris doa saat harus melakukan komuni. Yang ia tahu, Yesus dan Maria hanya patung yang dipajang di gereja. Tapi, La Bianca tetap percaya Tuhan itu ada dan ia tetap berdoa pada Tuhan.
Hingga beranjak remaja, La Bianca tidak pernah pergi ke kota, sehingga ia menjadi remaja yang cenderung lugu dan naif. Meski demikian, ada sisi positif dari kondisi seperti itu. La Bianca menjadi remaja yang sikapnya lebih alamiah dan lebih terbuka. Jika orang-orang kota cenderung bersikap lebih keras dan emosional, orang desa seperti La Bianca cenderung menerima setiap orang apa adanya.
Baru pada usia 16 tahun, La Bianca meninggalkan kehidupan pedesaan. Keluarga besar La Bianca yang keturunan Italia, banyak tersebar dan tinggal di kota-kota Australia dan ia tinggal dengan salah satu bibinya.
La Bianca mendapat pekerjaan pertamanya sebagai resepsionis. Di tempat kerjanya ia bertemu dengan seorang muslimah asal Afrika Selatan bernama Tasneem. Tasneem bukan tipikal muslim yang taat. Ia tidak mengenakan jilbab atau salat, tapi Tasneem selalu memastikan ia tidak makan makanan yang dilarang dalam agama Islam. Tasneem juga tidak minum minuman beralkohol. Namun Tasneem sering pergi klubing. Orang tua Tasneem mengizinkan puterinya klubing, asalkan pulang tidak terlalu larut malam.
Satu hal yang dipelajari La Bianca dari Tasneem adalah puasa di bulan Ramadan. Ia selalu merasa tertarik dengan Muslim, karena setiap muslim yang ia jumpai selalu bersikap hangat, ramah dan menerimanya apa adanya, dan ia melihat seorang muslim selalu cinta keluarga. La Bianca merasa nyaman bersosialisasi dengan teman-teman muslimnya. Suasana kekeluargaan yang ia rasakan, membuatnya selalu teringat akan kehidupan pedesaan yang ia tinggalkan selama ini.
Secara khusus, La Bianca mengaku lebih senang bergaul dengan mereka yang berasal dari atau keturunan orang Afrika. Karena orang-orang Afrika, menurutnya, lebih hangat dan ramah. Sedangkan orang Eropa, kata La Bianca, sikapnya dingin dan banyak menciptakan dinding pemisah di tengah pergaulan dengan orang lain.
Sikap La Bianca sama dengan ayahnya, yang selalu menghormati semua orang, tanpa melihat latar belakang etnisnya. Berbeda dengan ibunya yang agak rasis. Ibu Bianca masih beranggapan bahwa orang-orang Eropa lebih superior dibandingkan dengan bangsa lainnya.
Karena sering bergaul dengan muslim, teman-teman muslim Bianca terus bertambah. Dari mereka, ia tahu bahwa seorang muslim wajib menunaikan salat lima waktu setiap hari. Tapi La Bianca mulai banyak tahu tentang Islam ketika ia menikah dengan seorang lelaki muslim.
"Saya ingat, begitu ia bertemu saya, ia langsung mengenalkan saya pada ibunya dan mengatakan bahwa mereka ingin membuat komitmen jangka panjang--menikah dan membangun keluarga," tutur La Bianca.
Sejak itu, ia mulai mengikuti kursus agama Islam. Ia juga mulai mengubah cara berpakaiannya. La Bianca mulai mengenakan baju dan rok yang longgar. Ia mengatakan, saat belajar tentang Allah yang Mahabesar, ia merasa semua ajaran Islam masuk akal, indah dan harmonis.
Hal terberat bagi Bianca setelah belajar Islam adalah ketika ia mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya, mengubah citra dan sangat mempengaruhi jiwanya. "Di kampung halaman, di peternakan keluarga kami, di tempat kerja, orang selalu menanyakan mengapa saya mengenakan jilbab itu," ungkap Bianca.
Pertama kali melihatnya berjilbab, ayah Bianca berpikir bahwa Bianca tidak menghormati teman-teman ayahnya jika tidak mengenakan busana yang membuat senang teman-teman ayah Bianca. Bianca mengakui, awalnya ia merasa bersalah karena membuat ayahnya merasa tidak dihormati. Tapi seiring dengan menguatnya keyakinan pada Allah Yang Mahakuasa, Bianca menyadari bahwa ia ingin membuat Allah Swt senang lebih dari keinginannya untuk menyenangkan manusia.
"Saya berkata pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak mau membuat konsensi apapun, karena saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal yang benar. Saya juga tahu, jika saya mulai melakukan kompromi, maka kompromi itu tidak akan pernah berhenti dan saya akan hidup tanpa Islam sama sekali. Saya tidak mau itu terjadi," tukas La Bianca.
Meski awal mengenakan jilbab ia merasa repot dan kesulitan. La Bianca merasakan sendiri, setelah mengenakan jilbab, tak ada lelaki yang berani menggodanya dan ia merasa lebih dihormati sebagai perempuan.
"Saya mengagumi konsep bahwa kaum perempuan ibarat harta karun berharga, dan oleh sebab itu harus dilindungi dan hanya boleh dilihat oleh mereka yang berhak melihatnya," ujar La Bianca.
Ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh beberapa orang sahabatnya pada tahun 2008. Bagi Bianca, Islam adalah kebenaran dan ia ingin terus dan terus memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Suami dan keluarga suaminya memberikan dukungan moral pada La Bianca untuk mengenakan jilbab, meski butuh waktu untuk La Bianca untuk pada akhirnya mengenakan jilbab dengan benar. (kw/IR/eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/07/la-bianca-perempuan-desa-yang-memilih.html
Keluarganya tidak terlalu ketat mengajarkan agama. Tapi La Bianca percaya adanya Tuhan dan ia dididik dengan tradisi dan nilai-nilai moral keluarga Italia, dimana seorang anak gadis sangat dijaga dan dilindungi.
Setiap Minggu, La Bianca dan keluarganya mengikuti misa ke gereja. Namun buat La Bianca, kedatangannya ke gereja cuma ikut-ikutan keluarganya saja, karena ia mengaku tidak paham apapun tentang agama yang dianutnya. Yang ia tahu, ia harus mengenakan gaun berwarna putih dan mengucapkan beberapa baris doa saat harus melakukan komuni. Yang ia tahu, Yesus dan Maria hanya patung yang dipajang di gereja. Tapi, La Bianca tetap percaya Tuhan itu ada dan ia tetap berdoa pada Tuhan.
Hingga beranjak remaja, La Bianca tidak pernah pergi ke kota, sehingga ia menjadi remaja yang cenderung lugu dan naif. Meski demikian, ada sisi positif dari kondisi seperti itu. La Bianca menjadi remaja yang sikapnya lebih alamiah dan lebih terbuka. Jika orang-orang kota cenderung bersikap lebih keras dan emosional, orang desa seperti La Bianca cenderung menerima setiap orang apa adanya.
Baru pada usia 16 tahun, La Bianca meninggalkan kehidupan pedesaan. Keluarga besar La Bianca yang keturunan Italia, banyak tersebar dan tinggal di kota-kota Australia dan ia tinggal dengan salah satu bibinya.
La Bianca mendapat pekerjaan pertamanya sebagai resepsionis. Di tempat kerjanya ia bertemu dengan seorang muslimah asal Afrika Selatan bernama Tasneem. Tasneem bukan tipikal muslim yang taat. Ia tidak mengenakan jilbab atau salat, tapi Tasneem selalu memastikan ia tidak makan makanan yang dilarang dalam agama Islam. Tasneem juga tidak minum minuman beralkohol. Namun Tasneem sering pergi klubing. Orang tua Tasneem mengizinkan puterinya klubing, asalkan pulang tidak terlalu larut malam.
Satu hal yang dipelajari La Bianca dari Tasneem adalah puasa di bulan Ramadan. Ia selalu merasa tertarik dengan Muslim, karena setiap muslim yang ia jumpai selalu bersikap hangat, ramah dan menerimanya apa adanya, dan ia melihat seorang muslim selalu cinta keluarga. La Bianca merasa nyaman bersosialisasi dengan teman-teman muslimnya. Suasana kekeluargaan yang ia rasakan, membuatnya selalu teringat akan kehidupan pedesaan yang ia tinggalkan selama ini.
Secara khusus, La Bianca mengaku lebih senang bergaul dengan mereka yang berasal dari atau keturunan orang Afrika. Karena orang-orang Afrika, menurutnya, lebih hangat dan ramah. Sedangkan orang Eropa, kata La Bianca, sikapnya dingin dan banyak menciptakan dinding pemisah di tengah pergaulan dengan orang lain.
Sikap La Bianca sama dengan ayahnya, yang selalu menghormati semua orang, tanpa melihat latar belakang etnisnya. Berbeda dengan ibunya yang agak rasis. Ibu Bianca masih beranggapan bahwa orang-orang Eropa lebih superior dibandingkan dengan bangsa lainnya.
Karena sering bergaul dengan muslim, teman-teman muslim Bianca terus bertambah. Dari mereka, ia tahu bahwa seorang muslim wajib menunaikan salat lima waktu setiap hari. Tapi La Bianca mulai banyak tahu tentang Islam ketika ia menikah dengan seorang lelaki muslim.
"Saya ingat, begitu ia bertemu saya, ia langsung mengenalkan saya pada ibunya dan mengatakan bahwa mereka ingin membuat komitmen jangka panjang--menikah dan membangun keluarga," tutur La Bianca.
Sejak itu, ia mulai mengikuti kursus agama Islam. Ia juga mulai mengubah cara berpakaiannya. La Bianca mulai mengenakan baju dan rok yang longgar. Ia mengatakan, saat belajar tentang Allah yang Mahabesar, ia merasa semua ajaran Islam masuk akal, indah dan harmonis.
Hal terberat bagi Bianca setelah belajar Islam adalah ketika ia mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya, mengubah citra dan sangat mempengaruhi jiwanya. "Di kampung halaman, di peternakan keluarga kami, di tempat kerja, orang selalu menanyakan mengapa saya mengenakan jilbab itu," ungkap Bianca.
Pertama kali melihatnya berjilbab, ayah Bianca berpikir bahwa Bianca tidak menghormati teman-teman ayahnya jika tidak mengenakan busana yang membuat senang teman-teman ayah Bianca. Bianca mengakui, awalnya ia merasa bersalah karena membuat ayahnya merasa tidak dihormati. Tapi seiring dengan menguatnya keyakinan pada Allah Yang Mahakuasa, Bianca menyadari bahwa ia ingin membuat Allah Swt senang lebih dari keinginannya untuk menyenangkan manusia.
"Saya berkata pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak mau membuat konsensi apapun, karena saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal yang benar. Saya juga tahu, jika saya mulai melakukan kompromi, maka kompromi itu tidak akan pernah berhenti dan saya akan hidup tanpa Islam sama sekali. Saya tidak mau itu terjadi," tukas La Bianca.
Meski awal mengenakan jilbab ia merasa repot dan kesulitan. La Bianca merasakan sendiri, setelah mengenakan jilbab, tak ada lelaki yang berani menggodanya dan ia merasa lebih dihormati sebagai perempuan.
"Saya mengagumi konsep bahwa kaum perempuan ibarat harta karun berharga, dan oleh sebab itu harus dilindungi dan hanya boleh dilihat oleh mereka yang berhak melihatnya," ujar La Bianca.
Ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh beberapa orang sahabatnya pada tahun 2008. Bagi Bianca, Islam adalah kebenaran dan ia ingin terus dan terus memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Suami dan keluarga suaminya memberikan dukungan moral pada La Bianca untuk mengenakan jilbab, meski butuh waktu untuk La Bianca untuk pada akhirnya mengenakan jilbab dengan benar. (kw/IR/eramuslim.com)
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/07/la-bianca-perempuan-desa-yang-memilih.html
Langganan:
Postingan (Atom)