REPUBLIKA.CO.ID,LONDON - Selama beberapa bulan terakhir ini, Lucy Osborne telah mewawancarai perempuan-perempuan di Inggris yang telah masuk Islam. Tulisan ini adalah tulisan Lucy Osborne yang dikirimkan ke The Times tentang peningkatan jumlah perempuan Inggris yang memeluk Islam. Tapi, mengapa mereka masih dipandang dengan penuh kecurigaan.
Jumlah mualaf di Inggris meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun dan hampir dua pertiganya adalah perempuan. Lucy Osborne, yang berprofesi sebagai jurnalis lepas (freelance) sekaligus penulis ficer, menyelidiki mengapa hal ini terjadi.
I'sha adalah salah satu wanita mualaf yang diwawancarai oleh Lucy Osborne. Keluarga I'sha tidak menyetujui pilihan I'sha untuk menjadi seorang muslim. Keluarga semakin tidak setuju karena I'sha dalam kesehariannya menggunakan pakaian niqab yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya.
"Ketika saya pertama kali memberitahu orangtuaku bahwa aku menjadi seorang Muslim, mereka tidak ingin ada yang tahu. Apakah itu keluarga atau tetangga,'' kata I'sha (40) yang masuk Islam sejak empat tahun lalu. ''Mereka tidak bisa mengerti keputusan saya."
Lingkungan kini menentang I'sha yang telah memutuskan untuk masuk Islam. ''Orang-orang di mana saya dibesarkan kini berbalik melawan aku. Mereka tidak ingin anak-anak mereka bersama dengan anak-anak saya. Mereka menilai saya sudah gila.''
Seperti banyak keluarga di Inggris, agama tidak ada dalam kehidupan sehari-hari keluarga I'sha. Jika I'sha pulang dari sekolah dan berbicara tentang Tuhan, ayah selalu akan mengatakan,''sekarang, hanya ada satu Tuhan di sini dan itu saya.''
Temukan Jalan Pulang
I'sha, seorang pekerja perempuan pendukung di Masjid London Timur, berasal dari Newcastle. Dia adalah salah satu dari 100.000 orang Inggris yang saat ini telah masuk Islam. Menurut hasil studi Faith Matters oleh Kevin Brice dari Universitas Swansea, sebanyak 5.200 warga Inggris tahun lalu telah menjadi mualaf.
Pengalaman I'sha tidak biasa. Mayoritas publik Inggris masih memandang Islam, yang merupakan agama terbesar kedua di Inggris, sebagai sebuah keyakinan yang aneh dan asing. Tapi, I'sha tidak seperti kebanyakan orang Inggris yang berpikir negatif tentang Islam.
"Saya justru merasa seperti sudah menemukan jalan pulang," katanya. "Melalui Islam, saya telah menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang saya selama ini punyai. Saya telah menemukan kedamaian sejati."
I'sha dulunya adalah seorang punk. Dia memakai pakaian yang potongannya terbilang 'memalukan'. I'sha tentunya berpotongan rambut ala Mohican yang mirip landak. Adiknya secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang lesbian.
Ketika mengatakan kepada keluarganya, teman dan rekan-rekan bahwa dia telah memeluk Islam, I'sha mengatakan bahwa dirinya tetap tidak berubah. "Saya mencoba untuk meyakinkan mereka bahwa aku masih si lidah panjang dari utara seperti dulu. Tetapi, menjadi seorang Muslim itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang 'cool'.''
''Ketika orang melihat Anda berkulit putih dan orang Inggris, maka mereka benar-benar akan berperilaku kasar terhadap Anda. Karena, mereka berpikir bahwa Anda telah kembali pada cara hidup mereka dan menjadi bagian dari mereka,'' tambah I'sha.
Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: www.thetimes.co.uk
Rabu, 06 Juli 2011
Etnis Sempat Menyulitkan Miriam, Tapi Ia Tetap Igbo-Amerika dan Juga Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, Dia luar ia tampak seperti gadis Amerika-Igbo pada umumnya. Igbo adalah nama suku utama dan terbesar sekaligus paling berpengaruh di Nigeria. Hampir seluruh etnis Igbo memeluk Kristen. Namun si gadis, Miriam, adalah Muslim.
Fakta itu mungkin mengejutkan bagi mereka yang paham sejarah etnis Igbo. "Tapi maaf bila itu mengecewakan anda. Saya adalah bukti nyata bahwa saya sepenuhnya Igbo dan seorang Muslim yang menjalankan ibadah." ungkap si lajang lulusan Universitas Philadelphia itu
"Ketika saya bilang saya Igbo dan juga Muslim, saya sering mendengar orang sesama etnis bilang, 'tifaqua' (Tuhan melarang!)," tuturnya. Ia menegaskan bahwa tidak menjadi muslim karena menikahi seorang Muslim, pun karena terkena trik teman-teman Muslim. "Alhamdulillah, saya beralih karena saya merasa ini adalah jalan yang benar untuk saya, pengakuan serupa yang mendorong leluhur saya beralih ke Kristen.
Ia sadar benar, orang Igbo akan mengklaim bahwa Islam tidak sejalah dengan budaya Igbo. "Tapi saya tantang itu dengan membuktikan bahwa Kristen ternyata juga bisa sejalan dengan warisan keyakinan asli tradisi yang ada ribuan tahun sebelum Kristen datang. Apa yang gagal dipahami oleh etnis saya yakni kami adalah produk lingkungan," ujarnya.
Miriam menganalogikan, bila Budha mengambil alih Igbo ribuan tahun lalu, ia meyakini hampir seluruh Igbo akan cenderung memeluk Budha dan kokoh memegang keyakinan itu hingga kini. "Tantangan yang saya berikan adalah silahkan kaji mengapa anda meyakini dan menghormati dan setuju atau tidak setuju dengan perbedaan yang diusung orang lain."
Ia menuturkan menjadi Muslim dalam komunitasnya sangat sulit. "Tidak mustahil namun sangat menantang," ujarnya. Banyak kehidupan sehari-hari, budaya dan keyakinan berdasar pada Kriten, meski Kristen baru dikenal etnis Igbo pada 1990-an. Kakek buyut Mariam sendiri bukanlah seorang Kristen.
"Apakah menyimbolkan kematian halal? Apakah upacara memecah kacang kola sebagai tradisi budaya adalah penyelewengan ritual di mata Allah? Bagaimana saya dapat menemukan media yang membuat saya gembir sebagai Muslim tetapi masih tetap menjaga identitas Igbo saya?" ujarnya. "Hingga hari ini itu masih tantangan," imbuhnya.
Saat ini, Miriam mengaku masih berupaya menemukan sebuah komunitas--meski kecil--yang memiliki latar etnis serupa. Kadang Miriam bertanya apakah ada orang-orang yang seperti dirinya. Bahkan ia pernah frustasi, "Apakah Muslim Igbo selain saya ada di dunia?"
Hinga suatu hari saat berselancar di internet ia menemukan seorang Muslim wanita Igbo yang juga mualaf, bernama Ify. "Alhamdulillah, begitu saya mengontaknya kami pun menjadi teman," tutur Miriam.
Waktu berjalan, ia pun mengalami perlakuan kasar dari komunitasnya. Ia mengaku pernah terpana dan terkejut oleh perlakuan dari sesama Muslim, bahkan dari sesama Afrika. Suatu hari ia memasuki masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Ia baru saja memeluk Islam dan baru saja belajar bagaimana melakukan shalat.
Di sampingnya berdiri seorang wanita Afrika. Tiba-tiba dengan pandangan tajam wanita itu menolah ke arah Miriam dan berkata, "Kamu tidak tahu bagaimana cara shalat?" Miriam menerima teguran itu di depan banyak orang. Malu, Miriam pun meminta maaf dan mencari dalih. Namun ia terlalu malu dan terkejut hingga tak berani mengaku dirinya seorang mulaf yang baru saja mengikrarkan diri memeluk Islam. Sejak saat itu ia tak pernah lagi memasuki masjid tersebut. "Ia melihat saya masih kagok, tetapi tidak membantu, malah menuding saya," tuturnya.
"Tapi ketika saya melintas di depan gereja, saya akan mendapat sapaan 'halo' atau 'selamat datang' yang ramah," tuturnya. "Ini bukan serangan terhadap teman sesama Muslim yang juga telah menerima dan mendukung saya, tetapi ini adalah kritik terhadap mereka yang terlahir Muslim bagaimana seharusnya memperlakukan mualaf," kata Miriam.
"Anda tak pernah tahu siapa kelak yang menjadi Muslim, atau mereka yang memeluk Islam beberapa jam sebelum bertemu dengan anda. Bagaimana memperlakukan orang lain akan membantu mualaf untuk lebih menerima keyakinannya atau justru membuat mereka pergi lagi," ujar Miriam.
"Dengan kondisi ini, saya bisa memahami bila ada mualaf yang kembali memilih agama lama dan meninggalkan Islam, terutama bila anda bukan orang kulit putih di Barat. Tak ada seorang pun yang mendatangi anda, mengundang anda dalam buka puasa saat Ramadan. Tak ada yang mengenalkan anda dengan orang lain, atau kesulitan mencari pasangan hidup," ujar Miriam lagi.
Miriam pernah merasa putus asa mencari komunitas yang bisa menerima dan mendukungnya. "Ternyata masa-masa itu sangat kritis bagi pembangunan keyakinan saya dengan agama baru saya," ungkapnya. Sebagai Muslim berkulit hitam, ia merasa 'tak terlihat'. Ia pernah bertukar salam dengan beberapa wanita yang memberi pandangan dingin saat shalat Jumat berjamaah. Di akhir shalat, para jamaah berkumpul, berbicara dan bertukar salam serta cerita, sementara Miriam seperti tak menjadi bagian dari kumpulan itu, sendiri dan akhirnya memutuskan untuk pergi. "Saya bahkan berpikir apakah orang-orang tadi menyadari keberadaan saya," katanya.
Miriam dalam Muslim Matters baru-baru ini menulis, dalam kehidupan sehari-sehari sangat mungkin ada seorang mualaf seperti dirinya di luar sana. "Ia bukanlah kertas kosong sebelum memeluk Islam. Ia mungkin telah memiliki identitas kuat budaya tertentu dan mencoba keras menuangkan gambaran baru dirinya dalam kanvas," ujarnya.
Ia mengingatkan, seperti dirinya pula, ia bisa jadi tak memiliki dukungan keluarga atau komunitas sehingga membutuhkan uluran tangan Muslim lain untuk menjadi keluarga keduanya. "Jujur, bila iman saya hanya bergantung pada keberadaan Muslim lain dan komunitas, saya akan meninggalkan Islam sejak dulu. Tapi Allah telah memberi saya kekuatan untuk tetap memelihara iman ini meski melewati berbagai turbulensi dan saya selalu meminta setiap orang mendoakan saya agar memudahkan jalan saya dan menguatkan iman saya," tutur Miriam.
"Tapi tak perlu mengasihani saya. Saya telah menemukan satu kelompok kecil mualaf yang bisa saya mintai dukungan," ungkap Miriam lagi. Kini ia pun rutin bertemu dengan Ify dan kru barunya untuk memperluas jaringan. "Alhamdulillah, setiap Jumat malam, Ify dan teman Muslimah saya berkumpul. Kami menikmati Pizza, cupcake, mengobrol, diskusi dan tertawa bersama.
"Saya berpikir, jadi inilah rasanya memiliki komunitas yang akhirnya bisa menerima saya. Alhamdulillah," seloroh Miriam. Baginya, komunitas kecil itu layaknya niche, niche yang tidak berdasar etnis, budaya atau ras. "Melainkan berbasis prinsip-prinsip Islam dan rasa takut pada Allah," ujarnya.
Secara pribadi Miriam memilih kesimpulan terakhir. 'Karena teman, keluarga dan orang asing bisa mengisolasi dan mengasingkan anda, tapi cinta Allah, jauh lebih besar dan lebih berharga."
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Muslim Matters
Fakta itu mungkin mengejutkan bagi mereka yang paham sejarah etnis Igbo. "Tapi maaf bila itu mengecewakan anda. Saya adalah bukti nyata bahwa saya sepenuhnya Igbo dan seorang Muslim yang menjalankan ibadah." ungkap si lajang lulusan Universitas Philadelphia itu
"Ketika saya bilang saya Igbo dan juga Muslim, saya sering mendengar orang sesama etnis bilang, 'tifaqua' (Tuhan melarang!)," tuturnya. Ia menegaskan bahwa tidak menjadi muslim karena menikahi seorang Muslim, pun karena terkena trik teman-teman Muslim. "Alhamdulillah, saya beralih karena saya merasa ini adalah jalan yang benar untuk saya, pengakuan serupa yang mendorong leluhur saya beralih ke Kristen.
Ia sadar benar, orang Igbo akan mengklaim bahwa Islam tidak sejalah dengan budaya Igbo. "Tapi saya tantang itu dengan membuktikan bahwa Kristen ternyata juga bisa sejalan dengan warisan keyakinan asli tradisi yang ada ribuan tahun sebelum Kristen datang. Apa yang gagal dipahami oleh etnis saya yakni kami adalah produk lingkungan," ujarnya.
Miriam menganalogikan, bila Budha mengambil alih Igbo ribuan tahun lalu, ia meyakini hampir seluruh Igbo akan cenderung memeluk Budha dan kokoh memegang keyakinan itu hingga kini. "Tantangan yang saya berikan adalah silahkan kaji mengapa anda meyakini dan menghormati dan setuju atau tidak setuju dengan perbedaan yang diusung orang lain."
Ia menuturkan menjadi Muslim dalam komunitasnya sangat sulit. "Tidak mustahil namun sangat menantang," ujarnya. Banyak kehidupan sehari-hari, budaya dan keyakinan berdasar pada Kriten, meski Kristen baru dikenal etnis Igbo pada 1990-an. Kakek buyut Mariam sendiri bukanlah seorang Kristen.
"Apakah menyimbolkan kematian halal? Apakah upacara memecah kacang kola sebagai tradisi budaya adalah penyelewengan ritual di mata Allah? Bagaimana saya dapat menemukan media yang membuat saya gembir sebagai Muslim tetapi masih tetap menjaga identitas Igbo saya?" ujarnya. "Hingga hari ini itu masih tantangan," imbuhnya.
Saat ini, Miriam mengaku masih berupaya menemukan sebuah komunitas--meski kecil--yang memiliki latar etnis serupa. Kadang Miriam bertanya apakah ada orang-orang yang seperti dirinya. Bahkan ia pernah frustasi, "Apakah Muslim Igbo selain saya ada di dunia?"
Hinga suatu hari saat berselancar di internet ia menemukan seorang Muslim wanita Igbo yang juga mualaf, bernama Ify. "Alhamdulillah, begitu saya mengontaknya kami pun menjadi teman," tutur Miriam.
Waktu berjalan, ia pun mengalami perlakuan kasar dari komunitasnya. Ia mengaku pernah terpana dan terkejut oleh perlakuan dari sesama Muslim, bahkan dari sesama Afrika. Suatu hari ia memasuki masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Ia baru saja memeluk Islam dan baru saja belajar bagaimana melakukan shalat.
Di sampingnya berdiri seorang wanita Afrika. Tiba-tiba dengan pandangan tajam wanita itu menolah ke arah Miriam dan berkata, "Kamu tidak tahu bagaimana cara shalat?" Miriam menerima teguran itu di depan banyak orang. Malu, Miriam pun meminta maaf dan mencari dalih. Namun ia terlalu malu dan terkejut hingga tak berani mengaku dirinya seorang mulaf yang baru saja mengikrarkan diri memeluk Islam. Sejak saat itu ia tak pernah lagi memasuki masjid tersebut. "Ia melihat saya masih kagok, tetapi tidak membantu, malah menuding saya," tuturnya.
"Tapi ketika saya melintas di depan gereja, saya akan mendapat sapaan 'halo' atau 'selamat datang' yang ramah," tuturnya. "Ini bukan serangan terhadap teman sesama Muslim yang juga telah menerima dan mendukung saya, tetapi ini adalah kritik terhadap mereka yang terlahir Muslim bagaimana seharusnya memperlakukan mualaf," kata Miriam.
"Anda tak pernah tahu siapa kelak yang menjadi Muslim, atau mereka yang memeluk Islam beberapa jam sebelum bertemu dengan anda. Bagaimana memperlakukan orang lain akan membantu mualaf untuk lebih menerima keyakinannya atau justru membuat mereka pergi lagi," ujar Miriam.
"Dengan kondisi ini, saya bisa memahami bila ada mualaf yang kembali memilih agama lama dan meninggalkan Islam, terutama bila anda bukan orang kulit putih di Barat. Tak ada seorang pun yang mendatangi anda, mengundang anda dalam buka puasa saat Ramadan. Tak ada yang mengenalkan anda dengan orang lain, atau kesulitan mencari pasangan hidup," ujar Miriam lagi.
Miriam pernah merasa putus asa mencari komunitas yang bisa menerima dan mendukungnya. "Ternyata masa-masa itu sangat kritis bagi pembangunan keyakinan saya dengan agama baru saya," ungkapnya. Sebagai Muslim berkulit hitam, ia merasa 'tak terlihat'. Ia pernah bertukar salam dengan beberapa wanita yang memberi pandangan dingin saat shalat Jumat berjamaah. Di akhir shalat, para jamaah berkumpul, berbicara dan bertukar salam serta cerita, sementara Miriam seperti tak menjadi bagian dari kumpulan itu, sendiri dan akhirnya memutuskan untuk pergi. "Saya bahkan berpikir apakah orang-orang tadi menyadari keberadaan saya," katanya.
Miriam dalam Muslim Matters baru-baru ini menulis, dalam kehidupan sehari-sehari sangat mungkin ada seorang mualaf seperti dirinya di luar sana. "Ia bukanlah kertas kosong sebelum memeluk Islam. Ia mungkin telah memiliki identitas kuat budaya tertentu dan mencoba keras menuangkan gambaran baru dirinya dalam kanvas," ujarnya.
Ia mengingatkan, seperti dirinya pula, ia bisa jadi tak memiliki dukungan keluarga atau komunitas sehingga membutuhkan uluran tangan Muslim lain untuk menjadi keluarga keduanya. "Jujur, bila iman saya hanya bergantung pada keberadaan Muslim lain dan komunitas, saya akan meninggalkan Islam sejak dulu. Tapi Allah telah memberi saya kekuatan untuk tetap memelihara iman ini meski melewati berbagai turbulensi dan saya selalu meminta setiap orang mendoakan saya agar memudahkan jalan saya dan menguatkan iman saya," tutur Miriam.
"Tapi tak perlu mengasihani saya. Saya telah menemukan satu kelompok kecil mualaf yang bisa saya mintai dukungan," ungkap Miriam lagi. Kini ia pun rutin bertemu dengan Ify dan kru barunya untuk memperluas jaringan. "Alhamdulillah, setiap Jumat malam, Ify dan teman Muslimah saya berkumpul. Kami menikmati Pizza, cupcake, mengobrol, diskusi dan tertawa bersama.
"Saya berpikir, jadi inilah rasanya memiliki komunitas yang akhirnya bisa menerima saya. Alhamdulillah," seloroh Miriam. Baginya, komunitas kecil itu layaknya niche, niche yang tidak berdasar etnis, budaya atau ras. "Melainkan berbasis prinsip-prinsip Islam dan rasa takut pada Allah," ujarnya.
Secara pribadi Miriam memilih kesimpulan terakhir. 'Karena teman, keluarga dan orang asing bisa mengisolasi dan mengasingkan anda, tapi cinta Allah, jauh lebih besar dan lebih berharga."
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Muslim Matters
Nuh HA Mim Keller Tertarik pada Islam karena Lebih Utuh dan Sempurna
REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO - Nuh Ha Mim Keller masyhur sebagai seorang pakar hukum Islam. Bahkan, ia ditabalkan menjadi seorang teolog dan pakar tasawuf terkemuka di Barat. Keller pun menerjemahkan sederet kitab ke dalam bahasa Inggris. Di balik semua pencapaiannya itu, siapa sangka, ia adalah seorang penganut Katholik Roma yang kemudian memeluk Islam.
Keller terlahir pada 1954 di Northwestern, Amerika Serikat (AS). Ia lalu mengambil studi filsafat dan bahasa Arab di Universitas Chicago dan Universitas California, Los Angeles. Ia mengaku dibesarkan di sebuah daerah pertanian dalam keluarga yang taat menganut Katholik Roma.
“Sejak kecil, gereja memberikan alam spiritual yang tak terbantah, yang lebih riil daripada alam fisik yang berada di sekelilingku. Akan tetapi, aku tumbuh dewasa, hubunganku dengan agama itu sertamerta menimbulkan persoalan, dalam akidah ataupun amal,“ ujarnya sepeti dikutip dalam buku Bulan Sabit di Atas Patung Liberty.
Sejak kecil, ia mencoba membaca Alkitab. Namun, saat membacanya, ia menilai kitab suci itu bertele-tele dan tak memiliki susunan koheren. “Sehingga menyulitkan orang yang ingin menjadikannya sebagai pedoman hidup,“ tutur Keller. Pandangannya tentang agama yang diwariskan orang tuanya itu semakin terbuka ketika dia mulai masuk kuliah.
“Ketika aku masuk ke universitas, aku tahu bahwa keaslian kitab suci itu, khususnya Perjanjian Baru, benar-benar meragukan dan merupakan produk kajian hermeneutik modern kaum Kristen sendiri,“ ungkapnya. Rasa penasaran tehadap kebenaran agama yang dianutnya sangat tinggi. Ia lalu membaca terjemahan Norman Perrin atas The Problem of the Historical Jesus karya Joachim Jeremias, salah seorang ahli Perjanjian Baru ternama abad ini. Hal itu dilakukannya agar bisa memahami teologi kontemporer.
Keller pun mulai terpengaruh dengan pandangan Jeremias dan teolog Jerman, Rudolph Bultmann, yang menyatakan bahwa menulis biografi Yesus adalah mimpi yang mustahil dilakukan. Menurut mereka, kehidupan Kristus yang sebenarnya tak mungkin direkonstruksi dari Perjanjian Baru secara meyakinkan.
“Jika hal ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli tekstualnya yang ternama, lalu apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuhnya?“ ujar Keller. Ia lalu belajar filsafat di universitas.
Menurutnya, filsafat mengajarkan untuk menanyakan dua hal terhadap siapa pun yang mengklaim memiliki kebenaranApa yang Anda maksudkan? Dan, bagaimana Anda tahu?
Ia pun mengajukan kedua pertanyaan tersebut terhadap tradisi agama Katholik Roma yang dianutnya. “Namun, tak kutemukan jawaban dan aku pun sadar bahwa agama Kristen telah terlepas dari tanganku. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian yang mungkin tidak populer bagi kebanyakan anak muda di Baratyakni mencari makna di balik dunia tak bermakna,“ ungkap Keller.
Dalam masa pencarian kebenaran itulah, ia kemudian mulai mengenal Alquran. Awalnya, ia hanya membaca terjemahan Alquran. Keller mengaku tak begitu tertarik dengan terjemahan Alquran itu. Ia justru penasaran dengan Alquran yang berbahasa Arab.
“Aku tahu kitab aslinya (Alquran) yang berbahasa Arab telah diakui keindahan dan kefasihannya di antara berbagai kitab agama manusia.
Aku bertekad belajar bahasa Arab untuk membaca aslinya,“ paparnya.
Ia pun memutuskan untuk belajar bahasa Arab di Chicago.
Dalam waktu satu tahun, ia berhasil mempelajari tata bahasa dengan nilai yang baik. Meski begitu, ia masih merasa kurang. Keller akhirnya memutuskan untuk mempelajari bahasa Arab ke Kairo, Mesir. Di Mesir, Keller mengaku men emukan sesuatu yang benar-benar membawanya kepada Islam.
“Yakni tanda monoteisme murni pada para penganutnya, yang jauh lebih mengejutkanku daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya,“ ujar Keller. Di negeri piramida itu, ia bertemu dengan banyak Muslim, mulai dari yang baik hingga yang buruk.
Selama di Mesir, ada sebuah pengalaman yang berkesan di hati Keller. Suatu ketika, ada seorang pria di pinggir Sungai Nil di dekat taman Muqyas. Tempat itu biasa dilewatinya. Ia pun mendekati orang itu. Ternyata pria itu sedang shalat di atas sehelai kardus, dengan wajah menghadap ke seberang air.
Awalnya, Keller mengaku akan lewat di depan orang itu. Namun, niat itu diurungkannya. Ia memilih memutar dan berjalan di belakang pria yang sedang shalat itu karena tak ingin mengusiknya. “Aku menyaksikan seorang manusia larut dalam hubungannya dengan Tuhan, tak memperhatikan kehadiranku.“
Ia pun sempat bertemu seorang remaja di Kairo. Anak itu lalu mengucapkan salam kepada Keller di dekat Khan Al-Khalili. Siswa yang duduk di sekolah menengah pertama yang pandai berbahasa Inggris itu bercerita kepadanya tentang agama Islam. Dia menjelaskan tentang Islam semampunya. “Ketika kami berpisah, kurasa dia berdoa agar aku menjadi Muslim,“ tuturnya.
Saat berada di Kairo, Keller mengaku memiliki seorang teman yang berasal dari Yaman. Ia selalu meminta temannya itu untuk membawa Alquran dan mengajarinya belajar bahasa Arab. Di kamar hotel tempatnya menginap tak ada meja. Sehingga, Keller pun meletakkan Alquran di dekat buku-buku yang berjajar di atas lantai.
Melihat Keller menyimpan Alquran di atas lantai, temannya lalu membungkuk dan mengangkatnya. “Ia memuliakan Alquran. Ini membuatku terkesan sebab kutahu dia kurang taat menjalankan agama, tetapi tetap terlihat pengaruh Islam terhadap dirinya,“ ungkap Keller.
Saat berada di Mesir, Keller mengaku mengalami banyak peristiwa dan pengalaman. Setelah melepas agama Katholik Roma yang dianutnya, ia lebih memilih untuk tak beragama sementara waktu. Dalam kondisi tak beragama itulah, pikirannya selalu berkecamuk.
Ia menyadari pun bahwa seorang manusia haruslah beragama.
Pada saat itu, ia mulai terkesan pada pengaruh agama Islam terhadap kehidupan kaum Muslim. Keller menilai agama Islam begitu mulianya tujuan. “Aku menjadi semakin tertarik kepada Islam karena ekspresinya yang lebih utuh dan lebih sempurna.“
Keller pun kerap merenung. Hingga akhirnya, ia menyadari bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan jalan. Agama yang paling komprehensif dan mudah dipahami untuk mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun benar-benar jatuh cinta dengan Islam.
Hingga akhirnya, seorang temannya di Kairo mengajukan pertanyaan, “Mengapa engkau tidak menjadi seorang Muslim?“ Ketika mendengar pertanyaan itu, Keller telah meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan dirinya untuk menjadi bagian dari agama Islam. “Islam benar-benar memperkaya para pengikutnya, dari hati yang paling sederhana hingga kaum intelektual yang paling cerdas. Seseorang menjadi Muslim bukanlah melalui tin dakan pikiran atau kehendak, melainkan semata-mata melalui kasih sayang Allah,“ tuturnya. Keller pun mengucapkan dua kalimah syahadat dan menjadi seorang Muslim pada 1977 di Kairo, Mesir. Hingga akhirnya, ia menjadi seorang pemikir dan ulama terkemuka. Islam dalam Pandangan Nuh Ha Mim Keller Oleh Heri Ruslan Keller adalah pakar hukum Islam yang diakui kehebatannya oleh seorang ulama terkemuka Abd alRahman al-Shaghouri. Tak heran jika Keller pun diakui sebagai seorang Syekh pada tarekat tawasuf Shadhili. Ia menetap di Aman, Yordania. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Islam di abad modern.
Lalu, apa pendapatnya tentang kondisi umat Islam saat ini? Syekh Nuh Ha Mim Keller berpendapat bahwa nasib buruk politik Islam dewasa ini bukanlah sebuah kehinaan agama Islam, atau menempatkannya pada sebuah kedudukan rendah dalam tatanan alamiah berbagai ideologi dunia.
“Aku memandangnya sebagai fase rendah dalam perputaran sejarah yang lebih luas. Hegemoni asing terhadap negara-negara Islam telah pernah terjadi sebelumnya,“ paparnya. Menurut dia, peradaban Islam pernah tergelincir pada harubiru kehancuran akibat serbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 M.
Saat itu, kata dia, bangsa Mongol menjarah kota-kota dan mendirikan piramida kepala manusia dari gurun Asia Tengah hingga ke jantung negeri-negeri Islam. “Sesudah itu, takdir telah mendorong kaum Turki Usmani untuk membangkitkan firman Allah SWT, dan membuatnya menjadi realitas politik yang menggetarkan hati yang berlan sung selama berabad-abad,“ ungkapnya.
Menurut dia, inilah saatnya mendorong kaum Muslim kontemporer untuk berjuang demi sejarah baru kristalisasi Islam, sesuatu yang mungkin didambakan umat manusia.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Heri Ruslan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/06/14/lmryhq-nuh-ha-mim-keller-tertarik-pada-islam-karena-lebih-utuh-dan-sempurna
Keller terlahir pada 1954 di Northwestern, Amerika Serikat (AS). Ia lalu mengambil studi filsafat dan bahasa Arab di Universitas Chicago dan Universitas California, Los Angeles. Ia mengaku dibesarkan di sebuah daerah pertanian dalam keluarga yang taat menganut Katholik Roma.
“Sejak kecil, gereja memberikan alam spiritual yang tak terbantah, yang lebih riil daripada alam fisik yang berada di sekelilingku. Akan tetapi, aku tumbuh dewasa, hubunganku dengan agama itu sertamerta menimbulkan persoalan, dalam akidah ataupun amal,“ ujarnya sepeti dikutip dalam buku Bulan Sabit di Atas Patung Liberty.
Sejak kecil, ia mencoba membaca Alkitab. Namun, saat membacanya, ia menilai kitab suci itu bertele-tele dan tak memiliki susunan koheren. “Sehingga menyulitkan orang yang ingin menjadikannya sebagai pedoman hidup,“ tutur Keller. Pandangannya tentang agama yang diwariskan orang tuanya itu semakin terbuka ketika dia mulai masuk kuliah.
“Ketika aku masuk ke universitas, aku tahu bahwa keaslian kitab suci itu, khususnya Perjanjian Baru, benar-benar meragukan dan merupakan produk kajian hermeneutik modern kaum Kristen sendiri,“ ungkapnya. Rasa penasaran tehadap kebenaran agama yang dianutnya sangat tinggi. Ia lalu membaca terjemahan Norman Perrin atas The Problem of the Historical Jesus karya Joachim Jeremias, salah seorang ahli Perjanjian Baru ternama abad ini. Hal itu dilakukannya agar bisa memahami teologi kontemporer.
Keller pun mulai terpengaruh dengan pandangan Jeremias dan teolog Jerman, Rudolph Bultmann, yang menyatakan bahwa menulis biografi Yesus adalah mimpi yang mustahil dilakukan. Menurut mereka, kehidupan Kristus yang sebenarnya tak mungkin direkonstruksi dari Perjanjian Baru secara meyakinkan.
“Jika hal ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli tekstualnya yang ternama, lalu apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuhnya?“ ujar Keller. Ia lalu belajar filsafat di universitas.
Menurutnya, filsafat mengajarkan untuk menanyakan dua hal terhadap siapa pun yang mengklaim memiliki kebenaranApa yang Anda maksudkan? Dan, bagaimana Anda tahu?
Ia pun mengajukan kedua pertanyaan tersebut terhadap tradisi agama Katholik Roma yang dianutnya. “Namun, tak kutemukan jawaban dan aku pun sadar bahwa agama Kristen telah terlepas dari tanganku. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian yang mungkin tidak populer bagi kebanyakan anak muda di Baratyakni mencari makna di balik dunia tak bermakna,“ ungkap Keller.
Dalam masa pencarian kebenaran itulah, ia kemudian mulai mengenal Alquran. Awalnya, ia hanya membaca terjemahan Alquran. Keller mengaku tak begitu tertarik dengan terjemahan Alquran itu. Ia justru penasaran dengan Alquran yang berbahasa Arab.
“Aku tahu kitab aslinya (Alquran) yang berbahasa Arab telah diakui keindahan dan kefasihannya di antara berbagai kitab agama manusia.
Aku bertekad belajar bahasa Arab untuk membaca aslinya,“ paparnya.
Ia pun memutuskan untuk belajar bahasa Arab di Chicago.
Dalam waktu satu tahun, ia berhasil mempelajari tata bahasa dengan nilai yang baik. Meski begitu, ia masih merasa kurang. Keller akhirnya memutuskan untuk mempelajari bahasa Arab ke Kairo, Mesir. Di Mesir, Keller mengaku men emukan sesuatu yang benar-benar membawanya kepada Islam.
“Yakni tanda monoteisme murni pada para penganutnya, yang jauh lebih mengejutkanku daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya,“ ujar Keller. Di negeri piramida itu, ia bertemu dengan banyak Muslim, mulai dari yang baik hingga yang buruk.
Selama di Mesir, ada sebuah pengalaman yang berkesan di hati Keller. Suatu ketika, ada seorang pria di pinggir Sungai Nil di dekat taman Muqyas. Tempat itu biasa dilewatinya. Ia pun mendekati orang itu. Ternyata pria itu sedang shalat di atas sehelai kardus, dengan wajah menghadap ke seberang air.
Awalnya, Keller mengaku akan lewat di depan orang itu. Namun, niat itu diurungkannya. Ia memilih memutar dan berjalan di belakang pria yang sedang shalat itu karena tak ingin mengusiknya. “Aku menyaksikan seorang manusia larut dalam hubungannya dengan Tuhan, tak memperhatikan kehadiranku.“
Ia pun sempat bertemu seorang remaja di Kairo. Anak itu lalu mengucapkan salam kepada Keller di dekat Khan Al-Khalili. Siswa yang duduk di sekolah menengah pertama yang pandai berbahasa Inggris itu bercerita kepadanya tentang agama Islam. Dia menjelaskan tentang Islam semampunya. “Ketika kami berpisah, kurasa dia berdoa agar aku menjadi Muslim,“ tuturnya.
Saat berada di Kairo, Keller mengaku memiliki seorang teman yang berasal dari Yaman. Ia selalu meminta temannya itu untuk membawa Alquran dan mengajarinya belajar bahasa Arab. Di kamar hotel tempatnya menginap tak ada meja. Sehingga, Keller pun meletakkan Alquran di dekat buku-buku yang berjajar di atas lantai.
Melihat Keller menyimpan Alquran di atas lantai, temannya lalu membungkuk dan mengangkatnya. “Ia memuliakan Alquran. Ini membuatku terkesan sebab kutahu dia kurang taat menjalankan agama, tetapi tetap terlihat pengaruh Islam terhadap dirinya,“ ungkap Keller.
Saat berada di Mesir, Keller mengaku mengalami banyak peristiwa dan pengalaman. Setelah melepas agama Katholik Roma yang dianutnya, ia lebih memilih untuk tak beragama sementara waktu. Dalam kondisi tak beragama itulah, pikirannya selalu berkecamuk.
Ia menyadari pun bahwa seorang manusia haruslah beragama.
Pada saat itu, ia mulai terkesan pada pengaruh agama Islam terhadap kehidupan kaum Muslim. Keller menilai agama Islam begitu mulianya tujuan. “Aku menjadi semakin tertarik kepada Islam karena ekspresinya yang lebih utuh dan lebih sempurna.“
Keller pun kerap merenung. Hingga akhirnya, ia menyadari bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan jalan. Agama yang paling komprehensif dan mudah dipahami untuk mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun benar-benar jatuh cinta dengan Islam.
Hingga akhirnya, seorang temannya di Kairo mengajukan pertanyaan, “Mengapa engkau tidak menjadi seorang Muslim?“ Ketika mendengar pertanyaan itu, Keller telah meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan dirinya untuk menjadi bagian dari agama Islam. “Islam benar-benar memperkaya para pengikutnya, dari hati yang paling sederhana hingga kaum intelektual yang paling cerdas. Seseorang menjadi Muslim bukanlah melalui tin dakan pikiran atau kehendak, melainkan semata-mata melalui kasih sayang Allah,“ tuturnya. Keller pun mengucapkan dua kalimah syahadat dan menjadi seorang Muslim pada 1977 di Kairo, Mesir. Hingga akhirnya, ia menjadi seorang pemikir dan ulama terkemuka. Islam dalam Pandangan Nuh Ha Mim Keller Oleh Heri Ruslan Keller adalah pakar hukum Islam yang diakui kehebatannya oleh seorang ulama terkemuka Abd alRahman al-Shaghouri. Tak heran jika Keller pun diakui sebagai seorang Syekh pada tarekat tawasuf Shadhili. Ia menetap di Aman, Yordania. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Islam di abad modern.
Lalu, apa pendapatnya tentang kondisi umat Islam saat ini? Syekh Nuh Ha Mim Keller berpendapat bahwa nasib buruk politik Islam dewasa ini bukanlah sebuah kehinaan agama Islam, atau menempatkannya pada sebuah kedudukan rendah dalam tatanan alamiah berbagai ideologi dunia.
“Aku memandangnya sebagai fase rendah dalam perputaran sejarah yang lebih luas. Hegemoni asing terhadap negara-negara Islam telah pernah terjadi sebelumnya,“ paparnya. Menurut dia, peradaban Islam pernah tergelincir pada harubiru kehancuran akibat serbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 M.
Saat itu, kata dia, bangsa Mongol menjarah kota-kota dan mendirikan piramida kepala manusia dari gurun Asia Tengah hingga ke jantung negeri-negeri Islam. “Sesudah itu, takdir telah mendorong kaum Turki Usmani untuk membangkitkan firman Allah SWT, dan membuatnya menjadi realitas politik yang menggetarkan hati yang berlan sung selama berabad-abad,“ ungkapnya.
Menurut dia, inilah saatnya mendorong kaum Muslim kontemporer untuk berjuang demi sejarah baru kristalisasi Islam, sesuatu yang mungkin didambakan umat manusia.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Heri Ruslan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/06/14/lmryhq-nuh-ha-mim-keller-tertarik-pada-islam-karena-lebih-utuh-dan-sempurna
Agama adalah Misteri dan Tuhan Sulit Dipahami, Hingga ia Mengenal Islam
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika mengenang kembali seluruh perjalanannya, Carole Sturm merunut satu-persatu jejak, mulai dari sebuah doa yang ia lafalkan di gereja Katolik Roma saat berusia 15 tahun.
Ia bertutur, perjalanannya menuju Islam didorong oleh semangat spiritual seorang remaja yang dibesarkan dalam gereja. Saat masih menjadi wanita muda ia telah mempercayai Tuhan. Namun, ia juga berjuang mengatasi keraguan ditimbulkan misteri keimanan dan pengampunan dalam Katholik.
"Saya lalu berkata, Tuhan tunjukkan padaku apa artinya semua ini atau perlihatkan padaku sesuatu yang lain," ujar Sturm, kini 45 tahun. Ia mengatakan itu 20 tahun lalu di Tulsa, Oklahoma. "Setelah itu saya merasa saya seperti masuk neraka. Maksud saya, karena saya masih 15 thun."
Ia merasa butuh waktu 5 tahun hingga ia mendapat jawaban. Sturm mengatakan Tuhan menanggapi doanya dan menunjukkan Islam kepadanya
"Rasanya seperti fajar yang lambat merekah," ungkap analis sistem komputer sebuah perusahaan di Texas itu. "Itu bukan pengalaman seperti saya terjaga satu malam dan tiba-tiba berkata, "Ini dia."
Ketika beralih ke Islam, Sturm bergabung dengan sejumlah besar warga Amerika yang telah berganti keyakinan ke agama Tauhid tersebut, agama yang awalnya ia pandang diimpor masuk ke tanah AS yang didominasi umat Kristen.
Seperti sebagian besar yang beralih, Sturm mengatakan ia menemukan bahwa agama barunya mengizinkan ia secara spiritual untuk memahami Tuhan yang sebelumnya ia pandang sulit dipahami.
Untuk memeluk Islam pun, Sturm menilai sangat sederhana, tak ada ritual resmi. "Mereka hanya diminta mengikrarkan keyakinan pada satu Tuhan dan mengakui Muhammad adalah rasull Allah," ujar Sturm.
Meski Sturm mengatakan Islam awalnya terkesan sebagai keyakinan asing baginya, ia menjadi kian akrab ketika mengejar gelar keuangan dari Universitas Oklahoma dan bertemu banyak negara Islam. Dari sana ia mendapat banyak pengetahuan baru, termasuk dari pria yang akhirnya ia nikahi, Shazhad Khan.
Bagi Sturm, dengan membaca Al Qur'an, semua pertanyaannya terkait keyakinan dapat terjawab secara logis. "Islam tak menuntut saya untuk membuat lompatan keimanan besar hingga diluar logika, seperti menerima bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan jalan untuk menebus dosa," ujarnya.
"Tidak mungkin kita sampai ke surga tanpa pengampunan Tuhan, dan untuk itu ada tanggung jawab lebih di pundak setiap orang," kata Sturm mengungkapkan ajaran Islam yang ia yakini. "Ini penting bagi saya."
Melihat putrinya beralih ke Islam, Ayah Sturm, merasa tidak nyaman. Namun ia kini menerima keputusan putrinya setelah melihat bagaimana ia sekarang, menikah dengan Khan dan memiliki dua cucu putri yang juga memeluk Islam.
"Saya tentu dulu tidak akan menyarankan putri saya melakukan ini," ujar Charles Sturm. "Ketika ia menganut Katholik, ia adalah wanita yang baik. "Namun saya tidak memiliki keraguan bahwa ia kini menjadi wanita lebih baik ketika mengikuti Islam."
Sturm tidak selalu menutup kepalanya di tempat kerja, di mana ia kerap berhubungan dengan klien perusahaannya. Namun ia menekankan bahwa perusahaannya memberi lingkungan kerja nyaman bagi Muslim, termasuk dirinya.
"Saya hanya tidak bisa menghadapi pertanyaan dan pandangan orang-orang," ungkapnya. "Orang-orang akan memandang anda berbeda, warna berbeda, bagaimana serius mereka memandang semua yang anda lakukan dan yang anda utarakan."
Namun ia juga menolak keras anggapan bahwa Islam menindas wanita. Salah satu contoh, ujarnya, adalah kebebasan bekerja atau bahkan berjalan sendiri di luar yang diterapkan di negara-negara Islam. Bagi Strum yang terpenting adalah Islam telah menunjukkan jalan untuk memahami Tuhan.
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Star Telegram /Chjcago Tribune
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/06/09/lmiufo-awalnya-agama-adalah-misteri-dan-tuhan-sulit-dipahami-hingga-carole-sturm-berjumpa-islam
Ia bertutur, perjalanannya menuju Islam didorong oleh semangat spiritual seorang remaja yang dibesarkan dalam gereja. Saat masih menjadi wanita muda ia telah mempercayai Tuhan. Namun, ia juga berjuang mengatasi keraguan ditimbulkan misteri keimanan dan pengampunan dalam Katholik.
"Saya lalu berkata, Tuhan tunjukkan padaku apa artinya semua ini atau perlihatkan padaku sesuatu yang lain," ujar Sturm, kini 45 tahun. Ia mengatakan itu 20 tahun lalu di Tulsa, Oklahoma. "Setelah itu saya merasa saya seperti masuk neraka. Maksud saya, karena saya masih 15 thun."
Ia merasa butuh waktu 5 tahun hingga ia mendapat jawaban. Sturm mengatakan Tuhan menanggapi doanya dan menunjukkan Islam kepadanya
"Rasanya seperti fajar yang lambat merekah," ungkap analis sistem komputer sebuah perusahaan di Texas itu. "Itu bukan pengalaman seperti saya terjaga satu malam dan tiba-tiba berkata, "Ini dia."
Ketika beralih ke Islam, Sturm bergabung dengan sejumlah besar warga Amerika yang telah berganti keyakinan ke agama Tauhid tersebut, agama yang awalnya ia pandang diimpor masuk ke tanah AS yang didominasi umat Kristen.
Seperti sebagian besar yang beralih, Sturm mengatakan ia menemukan bahwa agama barunya mengizinkan ia secara spiritual untuk memahami Tuhan yang sebelumnya ia pandang sulit dipahami.
Untuk memeluk Islam pun, Sturm menilai sangat sederhana, tak ada ritual resmi. "Mereka hanya diminta mengikrarkan keyakinan pada satu Tuhan dan mengakui Muhammad adalah rasull Allah," ujar Sturm.
Meski Sturm mengatakan Islam awalnya terkesan sebagai keyakinan asing baginya, ia menjadi kian akrab ketika mengejar gelar keuangan dari Universitas Oklahoma dan bertemu banyak negara Islam. Dari sana ia mendapat banyak pengetahuan baru, termasuk dari pria yang akhirnya ia nikahi, Shazhad Khan.
Bagi Sturm, dengan membaca Al Qur'an, semua pertanyaannya terkait keyakinan dapat terjawab secara logis. "Islam tak menuntut saya untuk membuat lompatan keimanan besar hingga diluar logika, seperti menerima bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan jalan untuk menebus dosa," ujarnya.
"Tidak mungkin kita sampai ke surga tanpa pengampunan Tuhan, dan untuk itu ada tanggung jawab lebih di pundak setiap orang," kata Sturm mengungkapkan ajaran Islam yang ia yakini. "Ini penting bagi saya."
Melihat putrinya beralih ke Islam, Ayah Sturm, merasa tidak nyaman. Namun ia kini menerima keputusan putrinya setelah melihat bagaimana ia sekarang, menikah dengan Khan dan memiliki dua cucu putri yang juga memeluk Islam.
"Saya tentu dulu tidak akan menyarankan putri saya melakukan ini," ujar Charles Sturm. "Ketika ia menganut Katholik, ia adalah wanita yang baik. "Namun saya tidak memiliki keraguan bahwa ia kini menjadi wanita lebih baik ketika mengikuti Islam."
Sturm tidak selalu menutup kepalanya di tempat kerja, di mana ia kerap berhubungan dengan klien perusahaannya. Namun ia menekankan bahwa perusahaannya memberi lingkungan kerja nyaman bagi Muslim, termasuk dirinya.
"Saya hanya tidak bisa menghadapi pertanyaan dan pandangan orang-orang," ungkapnya. "Orang-orang akan memandang anda berbeda, warna berbeda, bagaimana serius mereka memandang semua yang anda lakukan dan yang anda utarakan."
Namun ia juga menolak keras anggapan bahwa Islam menindas wanita. Salah satu contoh, ujarnya, adalah kebebasan bekerja atau bahkan berjalan sendiri di luar yang diterapkan di negara-negara Islam. Bagi Strum yang terpenting adalah Islam telah menunjukkan jalan untuk memahami Tuhan.
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Star Telegram /Chjcago Tribune
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/06/09/lmiufo-awalnya-agama-adalah-misteri-dan-tuhan-sulit-dipahami-hingga-carole-sturm-berjumpa-islam
Allah Datang Ketika Saya Berada di Titik Terendah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - "Mudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan kita," kata Rita Rahmat. Direktur perusahaan komunikasi dan media relation Aircomm ini tidak asal bicara. Mengelola bisnis, ia kerap mengalami jatuh bangun. Namun ia selalu optimis, sampai di suatu titik, kemudahan akan datang tanpa disangka-sangka. "Itu matematika yang susah untuk dijelaskan."
Mengenal Allah, dilakukan Rita saat dia berada di titik terendah hidupnya. Usahanya bangkrut, dan musibah datang bertubi-tubi. Ia mengurung diri di kamar, merenung. Rita kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Daripada bingung berdoa pada banyak Tuhan, katanya, maka ia memutuskan 'berhenti' beragama. "Saya menyembah dan percaya pada Tuhan Sang Maha Pencipta, tapi tanpa agama," katanya.
Ia memutuskan pergi dari Jakarta, menggarap tawaran proyek kecil di Pulau Bintan. Walau diakuinya, pekerjaan itu tak terlalu menolong secara ekonomi.
Bahkan, ia pernah pulang ke Jakarta dari Bintan, dalam kondisi tak punya sepeser uangpun, dan terdampar di bandara Changi pula, karena tertinggal pesawat. Namun ia menyadari kini, itulah cara yang diatur-Nya untuk hidup dalam tuntunan Islam.
Dengan uang seadanya hasil pengembalian tiket, ia menyeberang ke Batam. Baru keesokan harinya ia kembali ke Jakarta dengan penerbangan berikutnya.
Jalan pulang yang dilalui, tidaklah mulus. Cuaca buruk, pesawat bergetar hebat. Penumpang panik, termasuk Rita. "Saya berpikir tentang kematian. Bagaimana jika saya mati dan tak beragama?" ia mengisahkan pada Republika Online, Rabu Siang.
Tiba-tiba ia teringat Islam yang ajarannya sempat mencuri perhatiannya beberapa bulan terakhir. "Saya bersumpah dalam hati, jika pesawat berhenti terguncang, maka saya akan masuk Islam," ujarnya. Tak menunggu sampai semenit, seketika itu juga pesawat kembali tenang.
Rita bersyukur. Namun, ia menyesali sumpahnya, dan meralat, dengan menyatakan guncangan adalah akibat cuaca buruk, dan membaik karena cuaca membaik, bukan campur tangan Allah.
"Sesaat setelah pikiran itu terlintas, pesawat kembali terguncang, lebih hebat. Seketika itulah saya menyadari, saya manusia lemah, ada yang lebih berkuasa atas saya. Islam, itu yang ada dalam hati saya," katanya, yang kemudian bertekad untuk menjadi Muslim secepatnya. Ia ingat, waktu menunjukkan pukul 17.35 saat itu, di pengujung 1999. Ia pulang untuk menghormati keluarga besarnya yang merayakan Natal.
***
Sampai di Jakarta, Rita belajar tentang Islam. Hingga ia mantap untuk bersyahadat, dan menghadiahkan Islam bagi dirinya sendiri, di hari ulang tahunnya, 2 April.
Namun, kedatangannya di masjid, ditolak takmirnya. "Besok saja datang lagi," ujarnya menirukan sang takmir. Pintu ditutup.
Ia menuju Masjid Agung Al Azhar Jakarta. Bertemu dengan seorang guru mengaji di lantai dua yang tengah mengajar seorang ibu dengan anak gadisnya, ia mengutarakan niatnya. Sang guru mengaji menyarankan untuk menunggu hingga Maghrib. "Namun saya minta bersyahadat saat itu juga, dan dia menuntun saya," ujarnya. Ia bersyahadat disaksikan dua orang yang ada di situ. Ia melihat arlojinya, jarum jam menunjukkan pukul 17.35. "Waktu yang sama dengan saat saya bersumpah akan masuk Islam."
Maghrib menjelang, ia terharu ketika banyak mualaf berdatangan, menyalaminya. Ia melakukan shalat pertamanya, berjamaah. "Saya dituntun berwudhu, diajari sebentar tentang shalat. Karena saya hanya bisa membaca Al Fatihah, itulah yang saya baca sepanjang shalat," kenangnya.
Pulang dari Al Azhar, ia pergi ke Melawai, membeli perlengkapan shalat.
Hal terberat adalah ketika memberitahu keluarganya tentang keislamannya. Ibunya hanya terdiam, dan menyodorkan Injil padanya untuk kembali dipelajari. Ia menggeleng. "Saya sudah memutuskan Islam, tapi saya tak akan berubah. Saya tetap Rita anak mama." Sang ibu menunduk, meneteskan air mata.
Demi menghormati sang mama, Rita selalu pergi ke masjid jika hendak menunaikan shalat, saat ibunya itu berkunjung ke rumahnya. "Saya tak ingin frontal di depan mama," ujarnya.
Namun ia selalu meyakinkan ibunya, bahwa Islam adalah pilihan hatinya. "Itu hanya antara saya dan pencipta saya, dan cara saya berkomunikasi dengan-Nya," ujarnya. Sedang soal habluminannas (hubungan antar manusia), ia tak mngurangi sedikitpun sikapnya pada wanita yang melahirkannya dan keluarga besarnya. Lama-lama hati sang mama luluh. Dua bulan kemudian, ia harus kehilangan papanya, berpulang ke alam baka.
***
Rita berkisah, ajaran Islam tentang berbaik sangka benar adanya. Apalagi berbaik sangka pada nikmat Allah. ia kerap menemukan 'keajaiban' berbaik sangka ini.
Salah satunya, saat ia berniat umrah Ramadhan. "Daripada berlebaran di Jakarta seorang diri, mending saya berumrah dan berlebaran di sana," katanya.
Namun, pendaftaran telah ditutup. Pemilik biro malah menyarankan untuk berhaji. "Saya tak punya uang," katanya.
Namun, saran pemilik biro untuk menyerahkan berkas untuk berhaji, dipenuhi. "Toh bisa batal seandainya urung," katanya. "Niat saya ke Tanah Suci baik, insya Allah, Allah memberi jalan."
Tak disangka, sepulang dari biro haji, ia ditelepon stafnya. Proposal proyeknya berhasil, dan ia mempunyai sisa uang lebih untuk melunasi ongkos haji.
Rita memandang hidup bak puzzle. Saling terangkai. Ibadah haji pulalah yang mengantarkannya pada jodohnya saat ini, Hari Rahmat. "Dua bulan berkenalan, kami menikah," ujarnya.
Menurut Rita, hidup akan mudah jika selalu berbaik sangka. Ia juga memegang teguh satu filosofi lain: "Mudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusan kita."
"Bantulah siapa saja, tak usah melihat latar belakangnya," kata dia yang mengaku hubungannya dengan keluarga tetap terjalin baik hingga saat ini.
"Kuncinya saling menenggang, saling bertoleransi," ujar ibu satu anak yang kini aktif sebagai relawan di sebuah lembaga nirlaba yang peduli pada penderita lupus ini.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/06/08/lmh4rp-mualaf-rita-rahmat-allah-datang-ketika-saya-berada-di-titik-terendah
Mengenal Allah, dilakukan Rita saat dia berada di titik terendah hidupnya. Usahanya bangkrut, dan musibah datang bertubi-tubi. Ia mengurung diri di kamar, merenung. Rita kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Daripada bingung berdoa pada banyak Tuhan, katanya, maka ia memutuskan 'berhenti' beragama. "Saya menyembah dan percaya pada Tuhan Sang Maha Pencipta, tapi tanpa agama," katanya.
Ia memutuskan pergi dari Jakarta, menggarap tawaran proyek kecil di Pulau Bintan. Walau diakuinya, pekerjaan itu tak terlalu menolong secara ekonomi.
Bahkan, ia pernah pulang ke Jakarta dari Bintan, dalam kondisi tak punya sepeser uangpun, dan terdampar di bandara Changi pula, karena tertinggal pesawat. Namun ia menyadari kini, itulah cara yang diatur-Nya untuk hidup dalam tuntunan Islam.
Dengan uang seadanya hasil pengembalian tiket, ia menyeberang ke Batam. Baru keesokan harinya ia kembali ke Jakarta dengan penerbangan berikutnya.
Jalan pulang yang dilalui, tidaklah mulus. Cuaca buruk, pesawat bergetar hebat. Penumpang panik, termasuk Rita. "Saya berpikir tentang kematian. Bagaimana jika saya mati dan tak beragama?" ia mengisahkan pada Republika Online, Rabu Siang.
Tiba-tiba ia teringat Islam yang ajarannya sempat mencuri perhatiannya beberapa bulan terakhir. "Saya bersumpah dalam hati, jika pesawat berhenti terguncang, maka saya akan masuk Islam," ujarnya. Tak menunggu sampai semenit, seketika itu juga pesawat kembali tenang.
Rita bersyukur. Namun, ia menyesali sumpahnya, dan meralat, dengan menyatakan guncangan adalah akibat cuaca buruk, dan membaik karena cuaca membaik, bukan campur tangan Allah.
"Sesaat setelah pikiran itu terlintas, pesawat kembali terguncang, lebih hebat. Seketika itulah saya menyadari, saya manusia lemah, ada yang lebih berkuasa atas saya. Islam, itu yang ada dalam hati saya," katanya, yang kemudian bertekad untuk menjadi Muslim secepatnya. Ia ingat, waktu menunjukkan pukul 17.35 saat itu, di pengujung 1999. Ia pulang untuk menghormati keluarga besarnya yang merayakan Natal.
***
Sampai di Jakarta, Rita belajar tentang Islam. Hingga ia mantap untuk bersyahadat, dan menghadiahkan Islam bagi dirinya sendiri, di hari ulang tahunnya, 2 April.
Namun, kedatangannya di masjid, ditolak takmirnya. "Besok saja datang lagi," ujarnya menirukan sang takmir. Pintu ditutup.
Ia menuju Masjid Agung Al Azhar Jakarta. Bertemu dengan seorang guru mengaji di lantai dua yang tengah mengajar seorang ibu dengan anak gadisnya, ia mengutarakan niatnya. Sang guru mengaji menyarankan untuk menunggu hingga Maghrib. "Namun saya minta bersyahadat saat itu juga, dan dia menuntun saya," ujarnya. Ia bersyahadat disaksikan dua orang yang ada di situ. Ia melihat arlojinya, jarum jam menunjukkan pukul 17.35. "Waktu yang sama dengan saat saya bersumpah akan masuk Islam."
Maghrib menjelang, ia terharu ketika banyak mualaf berdatangan, menyalaminya. Ia melakukan shalat pertamanya, berjamaah. "Saya dituntun berwudhu, diajari sebentar tentang shalat. Karena saya hanya bisa membaca Al Fatihah, itulah yang saya baca sepanjang shalat," kenangnya.
Pulang dari Al Azhar, ia pergi ke Melawai, membeli perlengkapan shalat.
Hal terberat adalah ketika memberitahu keluarganya tentang keislamannya. Ibunya hanya terdiam, dan menyodorkan Injil padanya untuk kembali dipelajari. Ia menggeleng. "Saya sudah memutuskan Islam, tapi saya tak akan berubah. Saya tetap Rita anak mama." Sang ibu menunduk, meneteskan air mata.
Demi menghormati sang mama, Rita selalu pergi ke masjid jika hendak menunaikan shalat, saat ibunya itu berkunjung ke rumahnya. "Saya tak ingin frontal di depan mama," ujarnya.
Namun ia selalu meyakinkan ibunya, bahwa Islam adalah pilihan hatinya. "Itu hanya antara saya dan pencipta saya, dan cara saya berkomunikasi dengan-Nya," ujarnya. Sedang soal habluminannas (hubungan antar manusia), ia tak mngurangi sedikitpun sikapnya pada wanita yang melahirkannya dan keluarga besarnya. Lama-lama hati sang mama luluh. Dua bulan kemudian, ia harus kehilangan papanya, berpulang ke alam baka.
***
Rita berkisah, ajaran Islam tentang berbaik sangka benar adanya. Apalagi berbaik sangka pada nikmat Allah. ia kerap menemukan 'keajaiban' berbaik sangka ini.
Salah satunya, saat ia berniat umrah Ramadhan. "Daripada berlebaran di Jakarta seorang diri, mending saya berumrah dan berlebaran di sana," katanya.
Namun, pendaftaran telah ditutup. Pemilik biro malah menyarankan untuk berhaji. "Saya tak punya uang," katanya.
Namun, saran pemilik biro untuk menyerahkan berkas untuk berhaji, dipenuhi. "Toh bisa batal seandainya urung," katanya. "Niat saya ke Tanah Suci baik, insya Allah, Allah memberi jalan."
Tak disangka, sepulang dari biro haji, ia ditelepon stafnya. Proposal proyeknya berhasil, dan ia mempunyai sisa uang lebih untuk melunasi ongkos haji.
Rita memandang hidup bak puzzle. Saling terangkai. Ibadah haji pulalah yang mengantarkannya pada jodohnya saat ini, Hari Rahmat. "Dua bulan berkenalan, kami menikah," ujarnya.
Menurut Rita, hidup akan mudah jika selalu berbaik sangka. Ia juga memegang teguh satu filosofi lain: "Mudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusan kita."
"Bantulah siapa saja, tak usah melihat latar belakangnya," kata dia yang mengaku hubungannya dengan keluarga tetap terjalin baik hingga saat ini.
"Kuncinya saling menenggang, saling bertoleransi," ujar ibu satu anak yang kini aktif sebagai relawan di sebuah lembaga nirlaba yang peduli pada penderita lupus ini.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/06/08/lmh4rp-mualaf-rita-rahmat-allah-datang-ketika-saya-berada-di-titik-terendah
Ibuku: Bila Ingin Menjadi Muslim, Bacalah Injil Hingga Akhir !
Kisah saya bermula pada tahun 1979. Kisah dimana saya dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat religius. Sebelum memeluk agama Islam, keluarga kami menganut Ortodoks Katolik Roma. Keluarga amat memahami dan secara aktif terlibat dalam urusan gereja. Kami punya pendeta, biarawati dan misionaris sebagai bagian dari keluarga kami. Kakek saya merupakan pendiri gereja di Kerala, India. Keluarga saya berpegang kepada idealisme. Kami mencintai Pencipta kami walaupun telah menyimpang dari jalan benar, dan senantiasa berusaha untuk menjadi insan yang baik. Kami bangga dengan diri kami sebagai orang-orang yang beriman dan yang terbaik di kalangan kami ialah ibu kami. Dalam banyak hal ibu kami dijadikan sebagai model terbaik untuk wanita-wanita lain oleh pendeta kami. Ibu kami adalah model bagi wanita Kristiani. Dia membaca injil secara rutin dan mengamalkan agama ini dengan sungguh-sungguh.
Untuk memulai kisah, ibu saya memiliki beberapa pengalaman spiritual yang menimbulkan rasa tidak puas hati dengan agama kristen. Dia mengalihkan pandangannya kepada Injil untuk mendapatkan jawaban. Sayangnya ia hanya membawanya lebih jauh dari apa yang dianggap mulia baginya. Pada masa tersebut, seorang pengacara bermana Ibrahim Khan bekerja dengan ayah dan ibu saya sebagai penasihat legal, itupun dalam jangka masa yang singkat karena pengacara kami libur, sementara ayah dan ibu saya memerlukan nasihat berhubung masalah bisnis. Sebagai seorang muslim yang berpengetahuan, dia telah memperkenalkan Islam kepada ibu saya dan beberapa pekan setelah itu, ibu saya memeluk agama Islam. Ketika itu usia saya sekitar 13 tahun.
Kondisi saya agak membingungkan, sebab saya adalah anak sulung. Keluarga saya berpisah karena ibu saya merasakan bahwa perkahwinan tersebut telah menjadi kosong dan sia-sia. Saya membenci Islam karena saya yakin Islamlah yang menyebabkan perpecahan terjadi dalam keluarga saya. Ayah saya juga akhirnya meninggalkan kami. Sekalipun demikian, anehnya, saya amat suka dengan suara azan.
Pada waktu itu saya membenci Islam dan saya bisa menjadi apa saja selain muslim. Sekalipun demikian, saya amat menghormati dan mencintai ibu saya. Saya sungguh-sungguh tidak faham kenapa ia bisa berubah begini. Saya ingin sekali memahami kenapa ia memilih Islam, sebagai seorang perempuan yang berpendidikan, lalu memilih agama kuno semacam Islam. Suatu hari saya bertanya kepadanya, jawaban yang diberikan sangat mudah. "Bacalah Injil dari halaman ke halaman."
Dari situ dimulailah perjalanan spiritual saya. Benar, saya masih muda, tetapi Tuhan telah memberikan saya kedewasaan untuk memahami apa yang saya baca. Saya menemui begitu banyak sekali inkonsisten dan kontradiksi dalam Injil. Saya menemui perkara-perkara yang disebutkan dalam Injil, tetapi tidak dipatuhi oleh umat Kristen. Saya juga menemui perkara-perkara yang saya rasakan tidak masuk akal. Saya menemui persyaratan perjanjian yang tidak dipatuhi. Lebih aneh lagi, saya bahkan menemui ayat yang menyebutkan tentang Nabi Muhammad Saw. Tetapi saya begitu keras kepala dan enggan untuk menerima kebenaran ketika itu.
Saya tetap mempelajari Kristen dan mula mempelajari perbandingan agama tetapi mengelakkan diri dari mempelajari Islam. Pada waktu-waktu itulah ibu saya mengirimkan saya surat dan terjemahan al-Ikhlas dan ia menjadi satu daya tarik yang kuat bagi saya. Saya membaca terjemahannya sepanjang hari dan berulang-ulang kali. Ia menjadi seperti tasbih buat saya. Sehingga pada akhirnya tidak ada lagi ayat atau kata-kata lain yang bisa memuaskan hati saya. Akhirnya saya berpaling pada al-Quran dan benar-benar terpesona dengan keindahannya!!. Inilah kebenaran yang selama ini saya cari!.
Di sini semua persoalan saya terjawab! Saya tahu bahwa saya telah menemukan nasib saya. Saya telah mempelajati Islam selama 2 tahun dan saya benar-benar bersyukur. Pada ketika itu usia saya sekitar 15 tahun.
Saya memeluk agama Islam di Bandara Bombay! Ketika itu saya ke bandara untuk menjemput ibu saya dan saya ingin ia menyaksikan keislaman saya. Ia mengaku bahwa dia telah berdoa supaya saya diberikan hidayah, supaya saya dia tidak menerima bantuan, saya akan menjadi pendukungnya. Allah telah mengaruniakan anugerah-Nya. Allahu Akbar.
Pada masa itu, saudara lelaki dan perempuan saya masih muda untuk mengikuti jejak langkah saya dan menerima Islam. Kami terpaksa berhijrah ke Bombay, kami bimbang ada orang tertentu yang akan memisahkan kami tiga beradik dengan ibu kami. Kami yakin bahwa jika kami berada di Kerala, kami tidak akan dapat mengamalkan ajaran Islam. Hanya dengan berhijrah ke Bombay, masalah ini dapat diatasi. Masya Allah! Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. Umat Islam di sini menyambut kami dengan tangan terbuka.
Kami belajar bahasa arab. Kami menamatkan pelajaran dan kini kami juga mempunyai rumah. Alhamdulillah. Ayah kami juga akhirnya pulang ke pangkuan kami, walaupun ia masih lagi menganut agama Katolik Roma. Seklipun demikian, kami tetap sayang padanya dan ini juga merupakan bagian dari keputusan yang kami buat bersama. Ia juga mempelajari Islam dan amat menghormati agama, cara hidup dan apa yang kami amalkan. Ia menjadi tonggak pembantu kami dan walaupun ia sendiri tidak memeluk agama Islam, ia telah membesarkan kami tanpa mencampuri urusan agama kami. Ia sering melindungi kami dan senantiasa berada di sisi kami. Karana masih banyak anggota keluarga kami yang masih memusuhi Islam, walaupun mereka terpaksa menerima bahwa kami akan tetap memegang agama Islam. InsyaAllah. Memang ada kalanya kami masih menerima e-mail menyuruh kami kembali menjadi kristian. Tapi hal ini semakin berkurang belakangan ini.
Baru-baru ini kami pulang ke Kerala untuk menemui kakek dan nenek kami. Memang kami rasakan gembira mengunjungi tempat kami dibesarkan. Kami kuat dengan iman yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kami dan Alhamdulillah, Tuhan telah memberikan kami kekuatan untuk menghadapi semua pancaroba ini. Mungkin satu hari nanti kami bisa pula mendirikan sebuah masjid dan pusat pengajian Islam di sini. Insya Allah. (IRIB/islamreligion/AN/SL)
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=28385:ibuku-bila-ingin-menjadi-muslim-bacalah-injil-hingga-akhir-&catid=48:keindahan-islam&Itemid=79
Untuk memulai kisah, ibu saya memiliki beberapa pengalaman spiritual yang menimbulkan rasa tidak puas hati dengan agama kristen. Dia mengalihkan pandangannya kepada Injil untuk mendapatkan jawaban. Sayangnya ia hanya membawanya lebih jauh dari apa yang dianggap mulia baginya. Pada masa tersebut, seorang pengacara bermana Ibrahim Khan bekerja dengan ayah dan ibu saya sebagai penasihat legal, itupun dalam jangka masa yang singkat karena pengacara kami libur, sementara ayah dan ibu saya memerlukan nasihat berhubung masalah bisnis. Sebagai seorang muslim yang berpengetahuan, dia telah memperkenalkan Islam kepada ibu saya dan beberapa pekan setelah itu, ibu saya memeluk agama Islam. Ketika itu usia saya sekitar 13 tahun.
Kondisi saya agak membingungkan, sebab saya adalah anak sulung. Keluarga saya berpisah karena ibu saya merasakan bahwa perkahwinan tersebut telah menjadi kosong dan sia-sia. Saya membenci Islam karena saya yakin Islamlah yang menyebabkan perpecahan terjadi dalam keluarga saya. Ayah saya juga akhirnya meninggalkan kami. Sekalipun demikian, anehnya, saya amat suka dengan suara azan.
Pada waktu itu saya membenci Islam dan saya bisa menjadi apa saja selain muslim. Sekalipun demikian, saya amat menghormati dan mencintai ibu saya. Saya sungguh-sungguh tidak faham kenapa ia bisa berubah begini. Saya ingin sekali memahami kenapa ia memilih Islam, sebagai seorang perempuan yang berpendidikan, lalu memilih agama kuno semacam Islam. Suatu hari saya bertanya kepadanya, jawaban yang diberikan sangat mudah. "Bacalah Injil dari halaman ke halaman."
Dari situ dimulailah perjalanan spiritual saya. Benar, saya masih muda, tetapi Tuhan telah memberikan saya kedewasaan untuk memahami apa yang saya baca. Saya menemui begitu banyak sekali inkonsisten dan kontradiksi dalam Injil. Saya menemui perkara-perkara yang disebutkan dalam Injil, tetapi tidak dipatuhi oleh umat Kristen. Saya juga menemui perkara-perkara yang saya rasakan tidak masuk akal. Saya menemui persyaratan perjanjian yang tidak dipatuhi. Lebih aneh lagi, saya bahkan menemui ayat yang menyebutkan tentang Nabi Muhammad Saw. Tetapi saya begitu keras kepala dan enggan untuk menerima kebenaran ketika itu.
Saya tetap mempelajari Kristen dan mula mempelajari perbandingan agama tetapi mengelakkan diri dari mempelajari Islam. Pada waktu-waktu itulah ibu saya mengirimkan saya surat dan terjemahan al-Ikhlas dan ia menjadi satu daya tarik yang kuat bagi saya. Saya membaca terjemahannya sepanjang hari dan berulang-ulang kali. Ia menjadi seperti tasbih buat saya. Sehingga pada akhirnya tidak ada lagi ayat atau kata-kata lain yang bisa memuaskan hati saya. Akhirnya saya berpaling pada al-Quran dan benar-benar terpesona dengan keindahannya!!. Inilah kebenaran yang selama ini saya cari!.
Di sini semua persoalan saya terjawab! Saya tahu bahwa saya telah menemukan nasib saya. Saya telah mempelajati Islam selama 2 tahun dan saya benar-benar bersyukur. Pada ketika itu usia saya sekitar 15 tahun.
Saya memeluk agama Islam di Bandara Bombay! Ketika itu saya ke bandara untuk menjemput ibu saya dan saya ingin ia menyaksikan keislaman saya. Ia mengaku bahwa dia telah berdoa supaya saya diberikan hidayah, supaya saya dia tidak menerima bantuan, saya akan menjadi pendukungnya. Allah telah mengaruniakan anugerah-Nya. Allahu Akbar.
Pada masa itu, saudara lelaki dan perempuan saya masih muda untuk mengikuti jejak langkah saya dan menerima Islam. Kami terpaksa berhijrah ke Bombay, kami bimbang ada orang tertentu yang akan memisahkan kami tiga beradik dengan ibu kami. Kami yakin bahwa jika kami berada di Kerala, kami tidak akan dapat mengamalkan ajaran Islam. Hanya dengan berhijrah ke Bombay, masalah ini dapat diatasi. Masya Allah! Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. Umat Islam di sini menyambut kami dengan tangan terbuka.
Kami belajar bahasa arab. Kami menamatkan pelajaran dan kini kami juga mempunyai rumah. Alhamdulillah. Ayah kami juga akhirnya pulang ke pangkuan kami, walaupun ia masih lagi menganut agama Katolik Roma. Seklipun demikian, kami tetap sayang padanya dan ini juga merupakan bagian dari keputusan yang kami buat bersama. Ia juga mempelajari Islam dan amat menghormati agama, cara hidup dan apa yang kami amalkan. Ia menjadi tonggak pembantu kami dan walaupun ia sendiri tidak memeluk agama Islam, ia telah membesarkan kami tanpa mencampuri urusan agama kami. Ia sering melindungi kami dan senantiasa berada di sisi kami. Karana masih banyak anggota keluarga kami yang masih memusuhi Islam, walaupun mereka terpaksa menerima bahwa kami akan tetap memegang agama Islam. InsyaAllah. Memang ada kalanya kami masih menerima e-mail menyuruh kami kembali menjadi kristian. Tapi hal ini semakin berkurang belakangan ini.
Baru-baru ini kami pulang ke Kerala untuk menemui kakek dan nenek kami. Memang kami rasakan gembira mengunjungi tempat kami dibesarkan. Kami kuat dengan iman yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kami dan Alhamdulillah, Tuhan telah memberikan kami kekuatan untuk menghadapi semua pancaroba ini. Mungkin satu hari nanti kami bisa pula mendirikan sebuah masjid dan pusat pengajian Islam di sini. Insya Allah. (IRIB/islamreligion/AN/SL)
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=28385:ibuku-bila-ingin-menjadi-muslim-bacalah-injil-hingga-akhir-&catid=48:keindahan-islam&Itemid=79
Saat Jauhi Islam, Ratna Novita Menyadari Keinginannya Jadi Muslim
Meski dibesarkan dalam keluarga Budha, sejak kecil, orang tua Ratna Novita, 32 tahun, tidak pernah memaksa atau melarangnya untuk menganut agama tertentu. "Intinya kami sendiri yang mencari agama itu," ungkap Ratna
Ayah dan ibunya membebaskan dalam urusan satu itu. Tak heran, bila menyimak kisahnya, Ratna yang tertarik belajar Islam sempat pula beribadah di Gereja.
Perkenalan serius dengan Islam dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya Ratna yang melihat teman-temannya sebagian besar beragama Islam, awalnya ikut-ikutan memilih pelajaran agama Islam. Maklum, saat itu sekolah umum hanya memberikan dua pilihan pelajaran agama, Islam dan Kristen.
Sejak itu, Ratna mulai mempelajari segala hal tentang Islam, mulai kisah para nabi, bacaan Shalat, surat-surat pendek serta sejarah Islam. Lambat laun ketertarikannya dengan Islam sangat besar.
"Lingkungan sekitar yang mayoritas Muslim membuat saya tertarik dengan Islam, maka dari sana lah saya giat mempelajari segala hal mengenai Islam" ujar Ratna
Ratna tak hanya belajar di sekolah. Selepas maghrib bersama teman-temannya di kampung halaman, ia mengikuti pelajaran mengaji Al Qur'an.
Rutinitas itu ia lakoni selama enam tahun. Ratna yang keturunan Tionghoa dan tercatat beragama Budha dalam data kependudukan sipil, mengaku merasa menjadi Muslim meski belum pernah mengikrarkan syahadat.
Tapi ketika SMP, ritual Ratna mulai berganti. Ketika ia tinggal dengan kakaknya yang menganut Katholik, di sekolah ia beralih mempelajari agama tersebut. Tiap minggu ia juga ikut pergi ke gereja bersama sang kakak.
"Saat SMP saya ikut kakak, jadi saya mengikuti agama yang ia anut. Tetapi saat saya menginjakkan kaki ke gereja saya tidak merasakan kenyamanan di sana," ungkapnya.
"Saat itu saya pikir karena baru pertama kali dan masih canggung. Tetapi lama kelamaan rasa itu semakin tak bisa dipungkiri. Saya benar-benar tidak tenang di gereja" tutur anak ke-6 dari 8 bersaudara itu.
Ketidaknyamanan itu membuat Ratna berpikir ulang. Ia menyadari Katholik bukan lah agama yang ia cari selama ini. Islam-lah yang sesungguhnya ia butuhkan. Kesadaran itu mendorong Ratna untuk kembali pada Islam.
Ia pun membulatkan tekad dengan mengucap dua kalimat syahadat di salah satu masjid di kampungnya, Jawa Tengah. "Saat SD mungkin dianggap karena ikut-ikutan teman, tetapi saya merasakan hal yang lebih dari sekedar ikut-ikutan," ujarnya.
Setelah menyandang status sebagai seorang Muslim, Ratna tak hanya menjadikan Islam sebagai agama sesuai catatan sipil di KTP. Ia juga terus belajar menegenai Islam dan mencoba mengaplikasikan semua ajaran agama yang ia peroleh sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari.
Saat menikah, Ratna memutuskan untuk menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Selama pernikahannya Ratna dikaruniai satu orang anak.
Meskipun saat ini ia telah berpisah dengan sang suami, namun, itu tak membuat ke-Islamannya menurun. "Awalnya saya merasa sendiri, karena saya pikir sangat jarang keturunan Cina yang menjadi seorang muslim," tuturnya.
Akhirnya ia mencoba mencari di internet mengenai keberadaan komunitas Muslim Cina dan mendapatkan satu komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berkantor di Jakarta Timur. "Kini saya mengikuti pengajian di Masjid Lautze, Pasar Baru," tutur Ratna
"Islam adalah agama yang Damai, banyak hal-hal yang diluar akal manusia" ujar Ratna. "Saya mengatakan demikian karena saya telah merasakannya," katanya.
Beberapa perilaku keseharian itu menurut Ratna, seperti menyisihkan uang untuk bersedekah setiap hari. Ia merasakan manfaat besar dari bersedekah, yakni pertolongan Allah yang tidak diduga-duga ketika ia tengah mengalami kesulitan.
"Intinya adalah kita harus yakin akan kebesaran Allah, karena setiap prilaku kita Allah akan membalasnya, jika kita menjadi orang baik maka Allah akan senantiasa member kebaikan pada kita" ujarnya.
Ratna kini memiliki keinginan besar untuk beribadah Haji. Ia juga berharap dapat mendirikan sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu terutama dalam bidang pendidikan. "Dikampung saya masih banyak orang-orang kurang mampu, jika saya bisa membantu mereka dalam hal pendidikan, alangkah bahagianya mereka." (IRIB) www.republika.asia
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=32046:saat-jauhi-islam-ratna-novita-menyadari-keinginannya-jadi-muslim&catid=48:keindahan-islam&Itemid=79
Ayah dan ibunya membebaskan dalam urusan satu itu. Tak heran, bila menyimak kisahnya, Ratna yang tertarik belajar Islam sempat pula beribadah di Gereja.
Perkenalan serius dengan Islam dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya Ratna yang melihat teman-temannya sebagian besar beragama Islam, awalnya ikut-ikutan memilih pelajaran agama Islam. Maklum, saat itu sekolah umum hanya memberikan dua pilihan pelajaran agama, Islam dan Kristen.
Sejak itu, Ratna mulai mempelajari segala hal tentang Islam, mulai kisah para nabi, bacaan Shalat, surat-surat pendek serta sejarah Islam. Lambat laun ketertarikannya dengan Islam sangat besar.
"Lingkungan sekitar yang mayoritas Muslim membuat saya tertarik dengan Islam, maka dari sana lah saya giat mempelajari segala hal mengenai Islam" ujar Ratna
Ratna tak hanya belajar di sekolah. Selepas maghrib bersama teman-temannya di kampung halaman, ia mengikuti pelajaran mengaji Al Qur'an.
Rutinitas itu ia lakoni selama enam tahun. Ratna yang keturunan Tionghoa dan tercatat beragama Budha dalam data kependudukan sipil, mengaku merasa menjadi Muslim meski belum pernah mengikrarkan syahadat.
Tapi ketika SMP, ritual Ratna mulai berganti. Ketika ia tinggal dengan kakaknya yang menganut Katholik, di sekolah ia beralih mempelajari agama tersebut. Tiap minggu ia juga ikut pergi ke gereja bersama sang kakak.
"Saat SMP saya ikut kakak, jadi saya mengikuti agama yang ia anut. Tetapi saat saya menginjakkan kaki ke gereja saya tidak merasakan kenyamanan di sana," ungkapnya.
"Saat itu saya pikir karena baru pertama kali dan masih canggung. Tetapi lama kelamaan rasa itu semakin tak bisa dipungkiri. Saya benar-benar tidak tenang di gereja" tutur anak ke-6 dari 8 bersaudara itu.
Ketidaknyamanan itu membuat Ratna berpikir ulang. Ia menyadari Katholik bukan lah agama yang ia cari selama ini. Islam-lah yang sesungguhnya ia butuhkan. Kesadaran itu mendorong Ratna untuk kembali pada Islam.
Ia pun membulatkan tekad dengan mengucap dua kalimat syahadat di salah satu masjid di kampungnya, Jawa Tengah. "Saat SD mungkin dianggap karena ikut-ikutan teman, tetapi saya merasakan hal yang lebih dari sekedar ikut-ikutan," ujarnya.
Setelah menyandang status sebagai seorang Muslim, Ratna tak hanya menjadikan Islam sebagai agama sesuai catatan sipil di KTP. Ia juga terus belajar menegenai Islam dan mencoba mengaplikasikan semua ajaran agama yang ia peroleh sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari.
Saat menikah, Ratna memutuskan untuk menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Selama pernikahannya Ratna dikaruniai satu orang anak.
Meskipun saat ini ia telah berpisah dengan sang suami, namun, itu tak membuat ke-Islamannya menurun. "Awalnya saya merasa sendiri, karena saya pikir sangat jarang keturunan Cina yang menjadi seorang muslim," tuturnya.
Akhirnya ia mencoba mencari di internet mengenai keberadaan komunitas Muslim Cina dan mendapatkan satu komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berkantor di Jakarta Timur. "Kini saya mengikuti pengajian di Masjid Lautze, Pasar Baru," tutur Ratna
"Islam adalah agama yang Damai, banyak hal-hal yang diluar akal manusia" ujar Ratna. "Saya mengatakan demikian karena saya telah merasakannya," katanya.
Beberapa perilaku keseharian itu menurut Ratna, seperti menyisihkan uang untuk bersedekah setiap hari. Ia merasakan manfaat besar dari bersedekah, yakni pertolongan Allah yang tidak diduga-duga ketika ia tengah mengalami kesulitan.
"Intinya adalah kita harus yakin akan kebesaran Allah, karena setiap prilaku kita Allah akan membalasnya, jika kita menjadi orang baik maka Allah akan senantiasa member kebaikan pada kita" ujarnya.
Ratna kini memiliki keinginan besar untuk beribadah Haji. Ia juga berharap dapat mendirikan sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu terutama dalam bidang pendidikan. "Dikampung saya masih banyak orang-orang kurang mampu, jika saya bisa membantu mereka dalam hal pendidikan, alangkah bahagianya mereka." (IRIB) www.republika.asia
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=32046:saat-jauhi-islam-ratna-novita-menyadari-keinginannya-jadi-muslim&catid=48:keindahan-islam&Itemid=79
Ada yang Hilang dari Saya Sebelum Berislam
Satu lagi warga Inggris menganut Islam. Dia adalah Stuart Mee, seorang pegawai negeri sipil. "Saya merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup yang tidak bisa tergantikan dengan harta benda apapun," katanya.
Pria berusia 46 tahun asal West Reading ini mulai melakukan pencarian agama tiga tahun lalu. Beragam agama yang ada di sekitarnya dipelajari. Namun, hatinya kemudian tertambat pada Islam. "Jauh di lubuk hati saya, saya selalu percaya pada makhluk yang lebih besar, dan Islam mengenalkan konsep Allah," ujarnya.
Ia rajin mendatangi perpustakaan umum untuk membaca buku-buku keislaman, dan mengenal Islam dari beragam sumber. Sesekali, ia datang ke Masjid di London Tengah untuk sekadar mendengarkan ceramah agama. "Sampai di titik itu, saya makin yakin Islamlah yang saya cari," kata Mee.
Namun, untuk satu dan lain alasan, ia menyembunyikan keinginannya untuk berislam. Sampai kemudian, ia tak bisa menahannya lagi. "Saya menemukan 'sesuatu yang hilang dari hidup saya' -- saya tahu ini kalimat yang klise dan usang, tapi itu benar -- dan saya memutuskan untuk segera bersyahadat," katanya.
Salah satu yang menjadi pertimbangan sebelum berislam adalah: ia perlu mempersiapkan diri keluar dari "zone nyaman" yang selama ini memeluknya, dan masuk dalam "wilayah yang belum teruji". "Ya, saya memiliki kegamangan: Muslim seperti apa? Apakah mereka seperti yang digambarkan dalam berita? Bagaimana dengan wanita dalam Islam? Bagaimana orang di sekitar saya akan membincangkan saya setelah berpindah agama?"
Namun, ia mengaku, "Ada hal yang saya temukan tidak biasa tetapi ini sebanding dengan aspek indah kehidupan Islam."
Ia pun kemudian mengirimkan email pada seorang imam, menyatakan keinginannya masuk Islam. Tak disangka, emailnya berbalas di hari itu juga. bahkan, mereka sempat melakukan chatting 15 menit terlebih dulu untuk menanyakan kemantapan hatinya.
Ia menyebut, berislam membuat sebuah "perbaikan jangka pendek" dalam hidupnya. "Saya berhenti menjadi seorang pecandu, tidak konsumtif, dan hidup lebih tertata," ujarnya. (IRIB)
www.republika.co.id
Pria berusia 46 tahun asal West Reading ini mulai melakukan pencarian agama tiga tahun lalu. Beragam agama yang ada di sekitarnya dipelajari. Namun, hatinya kemudian tertambat pada Islam. "Jauh di lubuk hati saya, saya selalu percaya pada makhluk yang lebih besar, dan Islam mengenalkan konsep Allah," ujarnya.
Ia rajin mendatangi perpustakaan umum untuk membaca buku-buku keislaman, dan mengenal Islam dari beragam sumber. Sesekali, ia datang ke Masjid di London Tengah untuk sekadar mendengarkan ceramah agama. "Sampai di titik itu, saya makin yakin Islamlah yang saya cari," kata Mee.
Namun, untuk satu dan lain alasan, ia menyembunyikan keinginannya untuk berislam. Sampai kemudian, ia tak bisa menahannya lagi. "Saya menemukan 'sesuatu yang hilang dari hidup saya' -- saya tahu ini kalimat yang klise dan usang, tapi itu benar -- dan saya memutuskan untuk segera bersyahadat," katanya.
Salah satu yang menjadi pertimbangan sebelum berislam adalah: ia perlu mempersiapkan diri keluar dari "zone nyaman" yang selama ini memeluknya, dan masuk dalam "wilayah yang belum teruji". "Ya, saya memiliki kegamangan: Muslim seperti apa? Apakah mereka seperti yang digambarkan dalam berita? Bagaimana dengan wanita dalam Islam? Bagaimana orang di sekitar saya akan membincangkan saya setelah berpindah agama?"
Namun, ia mengaku, "Ada hal yang saya temukan tidak biasa tetapi ini sebanding dengan aspek indah kehidupan Islam."
Ia pun kemudian mengirimkan email pada seorang imam, menyatakan keinginannya masuk Islam. Tak disangka, emailnya berbalas di hari itu juga. bahkan, mereka sempat melakukan chatting 15 menit terlebih dulu untuk menanyakan kemantapan hatinya.
Ia menyebut, berislam membuat sebuah "perbaikan jangka pendek" dalam hidupnya. "Saya berhenti menjadi seorang pecandu, tidak konsumtif, dan hidup lebih tertata," ujarnya. (IRIB)
www.republika.co.id
Senin, 04 Juli 2011
Elaine Atkinson, Feminis yang Memutuskan Menjadi Mualaf
ISLAM AGAMAKU -Penonton televisi Channel4 yang populer di Inggris terkejut pada natal tahun lalu. Setelah ratu Elizabeth II menyampaikan pesan Natal, tak berselang lama muncul seorang wanita bercadar yang mengucapkan "pesan Natal alternatif". Ia hanya diidentifikasi sebagai Khadijah.
Dari suaranya, pemirsa menebak-nebak siapa wajah dibalik cadar itu. Dari logat Inggrisnya yang kental, dipastikan dia adalah keturunan Inggris, bukan imigran. Tampil dalam acara yang dipandu Jack Straw, ia mengkritik mereka yang berpandangan salah tentang jilbab, dan menyebut jilbab justru perisai bagi kaum wanita.
Pekan ini, Daily Mail mengungkap siapa "Khadijah" di balik cadar itu.
Ia adalah Elaine Atkinson, seorang Inggris kulit putih yang mengganti nama menjadi Khadijah setelah menganut agama Islam. Meski kerap dituding masuk kelompok Islam radikal, namun ia mengaku berpikiran sangat moderat.
Pilihannya mengenakan jilbab - dan sesekali cadar - adalah pilihan sadar yang dibuatnya untuk melindungi diri. Wanita berusia 38 tahun ini menyatakan, sebelum menganut Islam, ia bak "hamster yang berlari di treadmill di kandang". "Pub dan konsumtif adalah trademark saya," ujarnya mengenang.
Di lingkungannya, dia dikenal sebagai seorang feminis radikal. Nenek buyutnya adalah aktivis feminis yang menuntut hak pilih bagi perempuan Inggris (suffragette). Kakaknya berdinas di militer Inggris, dan sekarang tengah bertugas di Afghanistan.
Pernah menentang segala bentuk pernikahan, ia akhirnya "tunduk" saat dilamar seorang Muslim kelahiran Inggris asal Pakistan, Iqbal. Pernikahan ini pula yang membuat hubungan keluarganya retak.
Atkinson, ibu satu anak, didekati oleh Channel4 untuk memberikan alternatif pesan Natal, setelah perempuan berkerudung yang dipilih sebalumnya, Khadijah Ravat, seorang guru berusia 33 tahun, mundur karena publisitas negatif.
Channel4 mengatakan akan menutup identitas aslinya, bersama dengan wajah, untuk memungkinkan pemirsa untuk fokus pada kata-katanya, bukan kepribadiannya.
Atkinson lahir tahun 1968 di barak militer kota Wiltshire. Ia menyatakan, ia tak pernah bersinggungan dengan kaum Muslim sebelumnya. Menginjak dewasa, ia meninggalkan kotanya untuk menjadi pekerja sosial di London.
Tapi pada tahun 1996 dia tiba-tiba menjadi tertarik pada Quran, dan mulai menghadiri acara-acara keagamaan di Masjid Regent's Park di pusat ibukota. "Teman-teman dan keluarga selalu menggambarkan hal-hal yang negatif tentang Islam. Namun justru saya ingin menyelami lebih dalam," ujarnya.
Ia misalnya, mencoba menyelami fikih Muslimah. Pasalnya, feminisme dan islam kerap dipandang bak minyak dan air. "Intinya, Islam adalah agama penindas perempuan," ujarnya.
Namun dari apa yang dibacanya, ia menemukan hal sebaliknya. islam justru memuliakan perempuan. "Kalau saja mereka bisa membuka mata dan melihat kerusakan, maka yang menyebabkan diri mereka sendiri," ujarnya.
Di tengah perjalanan menyelami Islam itulah, ia bertemu Dr Zahid Iqbal, pria yang menjadi suaminya sekarang. Kini Khadijah Iqbal, namanya sekarang, tinggal di Southampton, tempat suaminya mengabdi sebagai seorang dokter. Mereka tinggal di sebuah rumah senilai 350 ribu poundsterling dengan tiga kamar tidur besar di Barking, London Timur. Dia meninggalkan nama lamanya sejak empat tahun lalu.
Ia kini aktif di kelompok pembinaan mualaf perempuan dan secara berkala memandu siaran di sebuah radio lokal.
http://badrislam.blogspot.com/2011/03/elaine-atkinson-feminis-yang-memutuskan.html
Dari suaranya, pemirsa menebak-nebak siapa wajah dibalik cadar itu. Dari logat Inggrisnya yang kental, dipastikan dia adalah keturunan Inggris, bukan imigran. Tampil dalam acara yang dipandu Jack Straw, ia mengkritik mereka yang berpandangan salah tentang jilbab, dan menyebut jilbab justru perisai bagi kaum wanita.
Pekan ini, Daily Mail mengungkap siapa "Khadijah" di balik cadar itu.
Ia adalah Elaine Atkinson, seorang Inggris kulit putih yang mengganti nama menjadi Khadijah setelah menganut agama Islam. Meski kerap dituding masuk kelompok Islam radikal, namun ia mengaku berpikiran sangat moderat.
Pilihannya mengenakan jilbab - dan sesekali cadar - adalah pilihan sadar yang dibuatnya untuk melindungi diri. Wanita berusia 38 tahun ini menyatakan, sebelum menganut Islam, ia bak "hamster yang berlari di treadmill di kandang". "Pub dan konsumtif adalah trademark saya," ujarnya mengenang.
Di lingkungannya, dia dikenal sebagai seorang feminis radikal. Nenek buyutnya adalah aktivis feminis yang menuntut hak pilih bagi perempuan Inggris (suffragette). Kakaknya berdinas di militer Inggris, dan sekarang tengah bertugas di Afghanistan.
Pernah menentang segala bentuk pernikahan, ia akhirnya "tunduk" saat dilamar seorang Muslim kelahiran Inggris asal Pakistan, Iqbal. Pernikahan ini pula yang membuat hubungan keluarganya retak.
Atkinson, ibu satu anak, didekati oleh Channel4 untuk memberikan alternatif pesan Natal, setelah perempuan berkerudung yang dipilih sebalumnya, Khadijah Ravat, seorang guru berusia 33 tahun, mundur karena publisitas negatif.
Channel4 mengatakan akan menutup identitas aslinya, bersama dengan wajah, untuk memungkinkan pemirsa untuk fokus pada kata-katanya, bukan kepribadiannya.
Atkinson lahir tahun 1968 di barak militer kota Wiltshire. Ia menyatakan, ia tak pernah bersinggungan dengan kaum Muslim sebelumnya. Menginjak dewasa, ia meninggalkan kotanya untuk menjadi pekerja sosial di London.
Tapi pada tahun 1996 dia tiba-tiba menjadi tertarik pada Quran, dan mulai menghadiri acara-acara keagamaan di Masjid Regent's Park di pusat ibukota. "Teman-teman dan keluarga selalu menggambarkan hal-hal yang negatif tentang Islam. Namun justru saya ingin menyelami lebih dalam," ujarnya.
Ia misalnya, mencoba menyelami fikih Muslimah. Pasalnya, feminisme dan islam kerap dipandang bak minyak dan air. "Intinya, Islam adalah agama penindas perempuan," ujarnya.
Namun dari apa yang dibacanya, ia menemukan hal sebaliknya. islam justru memuliakan perempuan. "Kalau saja mereka bisa membuka mata dan melihat kerusakan, maka yang menyebabkan diri mereka sendiri," ujarnya.
Di tengah perjalanan menyelami Islam itulah, ia bertemu Dr Zahid Iqbal, pria yang menjadi suaminya sekarang. Kini Khadijah Iqbal, namanya sekarang, tinggal di Southampton, tempat suaminya mengabdi sebagai seorang dokter. Mereka tinggal di sebuah rumah senilai 350 ribu poundsterling dengan tiga kamar tidur besar di Barking, London Timur. Dia meninggalkan nama lamanya sejak empat tahun lalu.
Ia kini aktif di kelompok pembinaan mualaf perempuan dan secara berkala memandu siaran di sebuah radio lokal.
http://badrislam.blogspot.com/2011/03/elaine-atkinson-feminis-yang-memutuskan.html
Saya Gadis Meksiko dan Saya Seorang Muslimah
ISLAM AGAMAKU -Tanggal 15 Desember 2008 menjadi hari yang bersejarah bagi Lucia, gadis Meksiko yang lahir dan besar di Mexico City. Pada hari itu, Lucia membuat keputusan besar dalam hidupnya, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslimah.
"Itu adalah hari pertama saya menerima Islam dalam hidup saya," kata Lucia.
Meksiko adalah negara yang unik dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Amerika Selatan. Negara ini merupakan perpaduan antara budaya pra-Hispanik, tradisi dan keyakinan dengan budaya dan agama orang-orang Spanyol. Jumlah penduduk Meksiko lebih dari 100 juta orang, tapi jumlah Muslim di negara ini relatif sedikit, hanya sekitar 3.000 jiwa. Katolik menjadi agama mayoritas di Meksiko
"Meski orang-orang Meksiko adalah orang-orang yang hangat, terbuka dan bisa menerima siapa saja, tapi kami agak sungkan jika sudah membicarakan masalah agama," ujar Lucia.
Lucia mengungkapkan, ia pertama kali mengenal Islam lewat seorang sahabat karibnya saat menjalani tahun-tahun pertama sebagai mahasiswi di sebuah universitas. Nama sahabatnya itu Navide, asal Afghanistan.
"Dia bilang, ia datang ke Meksiko karena tertarik dengan budaya kami dan bahasa Spanyolnya yang 'seksi'. Ketika ia mulai membicarakan tentang Islam, saya harus mengakui, rasanya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya kagum dengan kesederhanaan yang indah, yang diajarkan Islam ..."
"Tidak seperti ajaran Katolik, Islam tidak mengajarkan dogma. Islam tidak memaksa orang masuk Islam, tapi Islam memberikan Anda dasar-dasar yang kuat untuk meyakini Islam. Islam tidak memberikan ide-ide yang kadang tanpa makna bagi manusia. Selain itu, Islam mengajarkan toleransi dan kasih sayang pada seluruh umat manusia, tanpa melihat latar belakang ras, agama dan keyakinannya," tutur Lucia mengungkapkan kekagumannya pada Islam.
Meski demikian, ketika itu masih ada keraguan di dalam hatinya. Lucia pun mulai mencari tahu sendiri dengan membeli buku-buku tentang sejarah Islam, masyarakat Islam, ajaran dan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam. Selain dari buku, Lucia juga mencoba mengakses internet dan menemukan banyak informasi tentang Islam di dunia maya.
"Saya tidak tahu dari mana harus memulai. Navide menyarankan agar saya mencoba bergaul dengan komunitas Muslim. Masalahnya, saya juga tidak tahu dimana bisa bertemu dengan komunitas Muslim di Meksiko," Lucia mengungkapkan kesulitannya di awal ia ingin mengenal Islam lebih jauh.
Lucia akhirnya memilih jejaring sosial untuk melakukan kontak dengan komunitas Muslim. Cara ini, menurut Lucia, cukup menarik, tapi ia mengaku agak kecewa karena menemukan beberapa orang yang bersikap tidak ramah begitu tahu Lucia bukan seorang muslim.
Pengalaman itu tidak membuat Lucia mundur, ia terus mencari informasi dimana bisa menemukan komunitas Muslim tempat ia bisa belajar banyak tentang Islam.
Akhirnya, Lucia menemukan seorang Muslim bernama Sajad yang kemudian menjadi sahabatnya. Dengan Sajad yang sekarang tinggal di Inggris, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan banyak hal, termasuk tentang Islam.
Dalam sebuah perbincangan, Sajad membuat Lucia menyadari bahwa hidup ini ibarat melihat refleksi diri kita dalam sebuah kolam. "Pertama, kita hanya melihat pantulan wajah kita, lalu kita menyadari bahwa banyak mahkluk yang ada hidup di dalam dan di luar kolam. Ada angin yang bertiup, ada matahari yang bersinar ... Islam, buat saya seperti mendapatkan kesadaran itu," imbuh Lucia.
Semakin banyak membaca tentang Islam, Lucia makin menyukai ajaran Islam. "Saya juga seorang ilmuwan, dengan ilmu pengetahuan saya mendapat kesempatan untuk merenungkan makna kehidupan, dan bagaimana semua yang ada di bumi ini bekerja. Saya mendapat kesempatan untuk berkontemplasi, menganalisa dan bertanya pada diri sendiri tentang detil kehidupan sampai yang sekecil-kecilnya, banyak orang yang tidak menemukan jawabannya. Tapi begitu ada jawabannya, ribuan pertanyaan lain menyerbu," tutur Lucia.
Ia melihat perbedaan antara ajaran Katolik dan ajaran Islam. Di agama Katolik, segala sesuatunya terkesan dirahasiakan. Sedangkan Islam, agama ini mengajarkan manusia untuk mencari ilmu dan kebenaran. "Ajaran ini saya sebut, sangat cocok dengan gaya hidup kemusliman saya," tukas Lucia.
Hidayah itu Akhirnya Datang Juga
Ia mengakui pernah ragu apakah akan masuk Islam atau tidak, karena khawatir akan pandangan orangtuanya dan orang-orang sekitar yang mengenalnya. Lucia masih belum yakin akan seperti apa reaksi mereka jika tahu ia menjadi seorang muslim.
"Harus saya akui, sulit bagi saya mengesampingkan semua kekhawatiran itu. Pikiran saya jadi kacau. Saya sedih dan bingung," ungkap Lucia.
Di tengah kegundahan dan kerisauan itu, Lucia menyadari bahwa manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Manusia kadang memikirkan soal hari esok, padahal belum tentu hari esok itu datang untuknya. Lucia merasa ia harus mengubah hidupnya.
Setelah merenungkan semuanya, malam hari Lucia menghubungi Sajad dan mengatakan keinginannya untuk masuk Islam. Sajad juga yang membimbing Lucia mengucapkan syahadat keesokan harinya.
"Setelah itu, rasa takut dan khawatir dalam diri saya hilang. Dan saya akhirnya tahu bahwa rasa takut itu yang membuat saya ragu untuk meraih apa yang saya inginkan," ujarnya.
Seminggu kemudian, Lucia berusaha sendiri mencari masjid yang ada di Mexico City. Ia ingin mengucapkan syahadat secara resmi. Keluarga Lucia syok mendengar apa yang ingin dilakukan puterinya, mereka memutuskan untuk tidak ikut Lucia ke masjid. Sebuah situasi yang sulit bagi Lucia karena dituding telah menerima sesuatu yang bukan budaya orang Meksiko.
Hari itu, 15 Januari 2008, Lucia berasa di sebuah apartemen kecil yang berfungsi sebagai masjid. Ia mengucapkan syahadat di sana dan diberi nama Islami, Noor Sabiya.
Setelah resmi menjadi seorang muslimah, Lucia belajar salat. Ia merasa kedamaian dalam hatinya setelah masuk Islam. Apalagi ia bertemu dengan teman baru. "Tapi yang paling penting buat saya, akhirnya saya menemukan tempat yang saya inginkan, tempat itu saya temukan dalam Islam," tandasnya.
http://badrislam.blogspot.com/2011/03/saya-gadis-meksiko-dan-saya-seorang.html
"Itu adalah hari pertama saya menerima Islam dalam hidup saya," kata Lucia.
Meksiko adalah negara yang unik dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Amerika Selatan. Negara ini merupakan perpaduan antara budaya pra-Hispanik, tradisi dan keyakinan dengan budaya dan agama orang-orang Spanyol. Jumlah penduduk Meksiko lebih dari 100 juta orang, tapi jumlah Muslim di negara ini relatif sedikit, hanya sekitar 3.000 jiwa. Katolik menjadi agama mayoritas di Meksiko
"Meski orang-orang Meksiko adalah orang-orang yang hangat, terbuka dan bisa menerima siapa saja, tapi kami agak sungkan jika sudah membicarakan masalah agama," ujar Lucia.
Lucia mengungkapkan, ia pertama kali mengenal Islam lewat seorang sahabat karibnya saat menjalani tahun-tahun pertama sebagai mahasiswi di sebuah universitas. Nama sahabatnya itu Navide, asal Afghanistan.
"Dia bilang, ia datang ke Meksiko karena tertarik dengan budaya kami dan bahasa Spanyolnya yang 'seksi'. Ketika ia mulai membicarakan tentang Islam, saya harus mengakui, rasanya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya kagum dengan kesederhanaan yang indah, yang diajarkan Islam ..."
"Tidak seperti ajaran Katolik, Islam tidak mengajarkan dogma. Islam tidak memaksa orang masuk Islam, tapi Islam memberikan Anda dasar-dasar yang kuat untuk meyakini Islam. Islam tidak memberikan ide-ide yang kadang tanpa makna bagi manusia. Selain itu, Islam mengajarkan toleransi dan kasih sayang pada seluruh umat manusia, tanpa melihat latar belakang ras, agama dan keyakinannya," tutur Lucia mengungkapkan kekagumannya pada Islam.
Meski demikian, ketika itu masih ada keraguan di dalam hatinya. Lucia pun mulai mencari tahu sendiri dengan membeli buku-buku tentang sejarah Islam, masyarakat Islam, ajaran dan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam. Selain dari buku, Lucia juga mencoba mengakses internet dan menemukan banyak informasi tentang Islam di dunia maya.
"Saya tidak tahu dari mana harus memulai. Navide menyarankan agar saya mencoba bergaul dengan komunitas Muslim. Masalahnya, saya juga tidak tahu dimana bisa bertemu dengan komunitas Muslim di Meksiko," Lucia mengungkapkan kesulitannya di awal ia ingin mengenal Islam lebih jauh.
Lucia akhirnya memilih jejaring sosial untuk melakukan kontak dengan komunitas Muslim. Cara ini, menurut Lucia, cukup menarik, tapi ia mengaku agak kecewa karena menemukan beberapa orang yang bersikap tidak ramah begitu tahu Lucia bukan seorang muslim.
Pengalaman itu tidak membuat Lucia mundur, ia terus mencari informasi dimana bisa menemukan komunitas Muslim tempat ia bisa belajar banyak tentang Islam.
Akhirnya, Lucia menemukan seorang Muslim bernama Sajad yang kemudian menjadi sahabatnya. Dengan Sajad yang sekarang tinggal di Inggris, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan banyak hal, termasuk tentang Islam.
Dalam sebuah perbincangan, Sajad membuat Lucia menyadari bahwa hidup ini ibarat melihat refleksi diri kita dalam sebuah kolam. "Pertama, kita hanya melihat pantulan wajah kita, lalu kita menyadari bahwa banyak mahkluk yang ada hidup di dalam dan di luar kolam. Ada angin yang bertiup, ada matahari yang bersinar ... Islam, buat saya seperti mendapatkan kesadaran itu," imbuh Lucia.
Semakin banyak membaca tentang Islam, Lucia makin menyukai ajaran Islam. "Saya juga seorang ilmuwan, dengan ilmu pengetahuan saya mendapat kesempatan untuk merenungkan makna kehidupan, dan bagaimana semua yang ada di bumi ini bekerja. Saya mendapat kesempatan untuk berkontemplasi, menganalisa dan bertanya pada diri sendiri tentang detil kehidupan sampai yang sekecil-kecilnya, banyak orang yang tidak menemukan jawabannya. Tapi begitu ada jawabannya, ribuan pertanyaan lain menyerbu," tutur Lucia.
Ia melihat perbedaan antara ajaran Katolik dan ajaran Islam. Di agama Katolik, segala sesuatunya terkesan dirahasiakan. Sedangkan Islam, agama ini mengajarkan manusia untuk mencari ilmu dan kebenaran. "Ajaran ini saya sebut, sangat cocok dengan gaya hidup kemusliman saya," tukas Lucia.
Hidayah itu Akhirnya Datang Juga
Ia mengakui pernah ragu apakah akan masuk Islam atau tidak, karena khawatir akan pandangan orangtuanya dan orang-orang sekitar yang mengenalnya. Lucia masih belum yakin akan seperti apa reaksi mereka jika tahu ia menjadi seorang muslim.
"Harus saya akui, sulit bagi saya mengesampingkan semua kekhawatiran itu. Pikiran saya jadi kacau. Saya sedih dan bingung," ungkap Lucia.
Di tengah kegundahan dan kerisauan itu, Lucia menyadari bahwa manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Manusia kadang memikirkan soal hari esok, padahal belum tentu hari esok itu datang untuknya. Lucia merasa ia harus mengubah hidupnya.
Setelah merenungkan semuanya, malam hari Lucia menghubungi Sajad dan mengatakan keinginannya untuk masuk Islam. Sajad juga yang membimbing Lucia mengucapkan syahadat keesokan harinya.
"Setelah itu, rasa takut dan khawatir dalam diri saya hilang. Dan saya akhirnya tahu bahwa rasa takut itu yang membuat saya ragu untuk meraih apa yang saya inginkan," ujarnya.
Seminggu kemudian, Lucia berusaha sendiri mencari masjid yang ada di Mexico City. Ia ingin mengucapkan syahadat secara resmi. Keluarga Lucia syok mendengar apa yang ingin dilakukan puterinya, mereka memutuskan untuk tidak ikut Lucia ke masjid. Sebuah situasi yang sulit bagi Lucia karena dituding telah menerima sesuatu yang bukan budaya orang Meksiko.
Hari itu, 15 Januari 2008, Lucia berasa di sebuah apartemen kecil yang berfungsi sebagai masjid. Ia mengucapkan syahadat di sana dan diberi nama Islami, Noor Sabiya.
Setelah resmi menjadi seorang muslimah, Lucia belajar salat. Ia merasa kedamaian dalam hatinya setelah masuk Islam. Apalagi ia bertemu dengan teman baru. "Tapi yang paling penting buat saya, akhirnya saya menemukan tempat yang saya inginkan, tempat itu saya temukan dalam Islam," tandasnya.
http://badrislam.blogspot.com/2011/03/saya-gadis-meksiko-dan-saya-seorang.html
Sang Ibu pun Menangis Melihat Beatty Memakai Jilbab
ISLAM AGAMAKU -Diana Beatty pertama kali bertemu dengan seorang muslim saat di bangku kuliah. Setelah itu ia mengenal beberapa muslim lagi yang pelan-pelan membuatnya sadar betapa selama ini ia bersikap arogan terhadap Islam dan Muslim.
Beatty banyak mendengar informasi tentang Islam dan Muslim, tapi kebanyakan yang ia dengar adalah hal-hal yang buruk. Setelah berinteraksi dengan beberapa Muslim yang dijumpainya, muncul rasa ingin tahu yang besar dalam dirinya untuk lebih mengenal Islam, karena orang-orang Islam ia jumpai menunjukkan sikap dan perilaku yang membuatnya kagum, jauh berbeda dengan apa yang ia dengar selama ini. Beatty juga tertarik dengan ketulusan dan aspek-aspek peribadahan yang dilakukan orang Islam, terutama salat.
"Agama yang membimbing kita dalam semua aspek kehidupan, adalah sesuatu yang saya cari selama ini. Saya dibesarkan sebagai seorang Kristiani dan ketika saya mengenal beberapa orang Islam, saya adalah orang yang lumayan religius dan serius mempelajari Alkitab," kisah Beatty.
"Tapi banyak pertanyaan saya tentang isi Alkitab yang tidak terjawab, dan saya justru menemukan jawabannya dalam Al-Quran. Awalnya, saya tidak suka membaca isi Al-Quran karena Al-Quran menyebutkan bahwa Yesus bukan anak Tuhan dan Al-Quran menyebut tentang perang yang membuat saya teringat kembali pada apa yang saya dengar tentang teroris muslim dan kekerasan ..."
"Tapi orang-orang Islam yang saya kenal, menjadi contoh buat saya seperti apa sebenarnya seorang muslim dan saya melihat bahwa stereotipe yang terbangun dalam pandangannya saya selama ini tentang muslim, tidak sesuai dengan fakta yang saya lihat," tutur Beatty.
Perempuan asal Colorado AS itu pun berpikir, bagaimana ia bisa tahu bahwa Alkitab itu benar dan Al-Quran salah, jika ia tidak mempelajarinya. "Terutama ketika banyak hal yang sama antara keduanya, Alkitab dan Al-Quran sepertinya berasal dari sumber yang sama," sambung Beatty.
Semakin dalam mempelajari Al-Quran, Betty menemukan perbedaannya dengan Alkitab. Dalam Alkitab ia menemukan banyak kesalahan dan kontradiksi, tapi tidak dalam Al-Quran. Ia mengatakan, "Apa yang Quran katakan tentang Tuhan dan apa tujuan manusia hidup di dunia, buat saya lebih logis dan mudah untuk dipahami."
Berbulan-bulan Beatty melakukan perbandingan antara agama Kristen yang dianutnya dengan agama Islam yang sedang dipelajarinya. Dan masa itu merupakan masa-masa yang sulit baginya. Tapi hati Beatty memenangkan Islam. Ia makin yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, yang dikirim Allah untuk umat manusia.
"Saya pun memutuskan untuk masuk Islam. Saat itu saya masih belum yakin tentang banyak hal, khususnya tentang jilbab. Saya juga belum tahu bagaimana melakukan salat, dan peribadahan lainnya. Tapi saya mulai belajar," ungkap Beatty.
Ia tak membantah bahwa di hati kecilnya ada rasa takut ketika memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Berat baginya membayangkan akan berhadapan dengan keluarganya dan melakukan sesuatu yang mereka benci dan tidak mereka mengerti. Sempat tebersit dalam hatinya, bagaimana jika ia membuat keputusan yang salah? Beatty khawatir respon negatif yang akan ia terima dari teman-temannya, rekan kerja, atasan di kantor dan ia khawatir dikeluarkan dari keluarganya.
Keluarga Beatty memang tidak suka melihat Beatty menjadi seorang muslim, tapi Beatty tetap diterima oleh keluarganya. "Tiap kali saya berbincang dengan ibu, dia mengeluhkan busana muslimah yang saya kenakan, sepertinya hal itu sangat mengganggunya lebih dari apapun dan ia akan menyodorkan berbagai literatur Kristen pada saya," tutur Beatty.
Beatty bercerita, ibunya merasa terluka dan menangis seminggu penuh ketika Beatty memutuskan untuk mengenakan jilbab. Dalam surat, sang ibu mengatakan bahwa apa yang dilakukan Beatty adalah tamparan keras di wajahnya, Beatty dianggap telah melanggar didikan orang tuanya dan sedang berusaha menjadi orang Arab. Keluarga Beatty juga menuding bahwa Beatty melakukan itu gara-gara suami Beatty yang seorang muslim. Keluarga Beatty tidak menyukainya dan meminta Beatty bercerai.
"Keluarga saya bilang, saya akan masuk neraka. Buat saya, tidak sulit menghindar dari makanan yang tidak halal, menjauhkan diri dari alkohol. Tidak sulit buat saya untuk belajar salat dan mengenakan jilbab. Satu-satunya yang berat buat saya adalah menyakiti keluarga saya dan terus-terusan ditekan oleh mereka," imbuh Beatty.
Pada titik ini Beatty merasakan, tantangan yang berat setelah ia menjadi muslim adalah keluarganya sendiri, karena teman-teman dan orang-orang yang ia kenal, ternyata bisa menerima pilihannya menjadi muslim.
Tiga tahun sudah Beatty memeluk Islam. Ia mengakui bahwa Islam banyak memberikan perubahan dan meningkatkan kualitas hidupnya. "Islam mengubah saya secara total. Sekarang, saya tidak ragu lagi akan tujuan hidup saya di dunia ini dan bahwa saya sudah mengikuti jalan yang benar. Dulu, saya bahkan tidak menyadari bahwa saya sedang kehilangan arah. Tapi ketika saya menemukan Islam dan merenungkannya kembali, sangat jelas buat saya bahwa Islam-lah yang saya cari selama ini," papar Beatty.
Beatty bersyukur menjadi seorang muslim karena Islam memualiakan hidupnya sebagai seorang perempuan. Ia melihat sendiri bahwa lelaki muslim yang baik akan memperlakukan perempuan dengan baik. Suatu hal yang jarang ia temui dalam budaya masyarakat Amerika, dimana ia dibesarkan.
"Memilih masuk Islam, buat saya seperti kembali pulang ke rumah setelah sekian lama berkelana," tandas Beatty yang sekarang menggunakan nama Islami Masuuma Amatullah.
Beatty banyak mendengar informasi tentang Islam dan Muslim, tapi kebanyakan yang ia dengar adalah hal-hal yang buruk. Setelah berinteraksi dengan beberapa Muslim yang dijumpainya, muncul rasa ingin tahu yang besar dalam dirinya untuk lebih mengenal Islam, karena orang-orang Islam ia jumpai menunjukkan sikap dan perilaku yang membuatnya kagum, jauh berbeda dengan apa yang ia dengar selama ini. Beatty juga tertarik dengan ketulusan dan aspek-aspek peribadahan yang dilakukan orang Islam, terutama salat.
"Agama yang membimbing kita dalam semua aspek kehidupan, adalah sesuatu yang saya cari selama ini. Saya dibesarkan sebagai seorang Kristiani dan ketika saya mengenal beberapa orang Islam, saya adalah orang yang lumayan religius dan serius mempelajari Alkitab," kisah Beatty.
"Tapi banyak pertanyaan saya tentang isi Alkitab yang tidak terjawab, dan saya justru menemukan jawabannya dalam Al-Quran. Awalnya, saya tidak suka membaca isi Al-Quran karena Al-Quran menyebutkan bahwa Yesus bukan anak Tuhan dan Al-Quran menyebut tentang perang yang membuat saya teringat kembali pada apa yang saya dengar tentang teroris muslim dan kekerasan ..."
"Tapi orang-orang Islam yang saya kenal, menjadi contoh buat saya seperti apa sebenarnya seorang muslim dan saya melihat bahwa stereotipe yang terbangun dalam pandangannya saya selama ini tentang muslim, tidak sesuai dengan fakta yang saya lihat," tutur Beatty.
Perempuan asal Colorado AS itu pun berpikir, bagaimana ia bisa tahu bahwa Alkitab itu benar dan Al-Quran salah, jika ia tidak mempelajarinya. "Terutama ketika banyak hal yang sama antara keduanya, Alkitab dan Al-Quran sepertinya berasal dari sumber yang sama," sambung Beatty.
Semakin dalam mempelajari Al-Quran, Betty menemukan perbedaannya dengan Alkitab. Dalam Alkitab ia menemukan banyak kesalahan dan kontradiksi, tapi tidak dalam Al-Quran. Ia mengatakan, "Apa yang Quran katakan tentang Tuhan dan apa tujuan manusia hidup di dunia, buat saya lebih logis dan mudah untuk dipahami."
Berbulan-bulan Beatty melakukan perbandingan antara agama Kristen yang dianutnya dengan agama Islam yang sedang dipelajarinya. Dan masa itu merupakan masa-masa yang sulit baginya. Tapi hati Beatty memenangkan Islam. Ia makin yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, yang dikirim Allah untuk umat manusia.
"Saya pun memutuskan untuk masuk Islam. Saat itu saya masih belum yakin tentang banyak hal, khususnya tentang jilbab. Saya juga belum tahu bagaimana melakukan salat, dan peribadahan lainnya. Tapi saya mulai belajar," ungkap Beatty.
Ia tak membantah bahwa di hati kecilnya ada rasa takut ketika memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Berat baginya membayangkan akan berhadapan dengan keluarganya dan melakukan sesuatu yang mereka benci dan tidak mereka mengerti. Sempat tebersit dalam hatinya, bagaimana jika ia membuat keputusan yang salah? Beatty khawatir respon negatif yang akan ia terima dari teman-temannya, rekan kerja, atasan di kantor dan ia khawatir dikeluarkan dari keluarganya.
Keluarga Beatty memang tidak suka melihat Beatty menjadi seorang muslim, tapi Beatty tetap diterima oleh keluarganya. "Tiap kali saya berbincang dengan ibu, dia mengeluhkan busana muslimah yang saya kenakan, sepertinya hal itu sangat mengganggunya lebih dari apapun dan ia akan menyodorkan berbagai literatur Kristen pada saya," tutur Beatty.
Beatty bercerita, ibunya merasa terluka dan menangis seminggu penuh ketika Beatty memutuskan untuk mengenakan jilbab. Dalam surat, sang ibu mengatakan bahwa apa yang dilakukan Beatty adalah tamparan keras di wajahnya, Beatty dianggap telah melanggar didikan orang tuanya dan sedang berusaha menjadi orang Arab. Keluarga Beatty juga menuding bahwa Beatty melakukan itu gara-gara suami Beatty yang seorang muslim. Keluarga Beatty tidak menyukainya dan meminta Beatty bercerai.
"Keluarga saya bilang, saya akan masuk neraka. Buat saya, tidak sulit menghindar dari makanan yang tidak halal, menjauhkan diri dari alkohol. Tidak sulit buat saya untuk belajar salat dan mengenakan jilbab. Satu-satunya yang berat buat saya adalah menyakiti keluarga saya dan terus-terusan ditekan oleh mereka," imbuh Beatty.
Pada titik ini Beatty merasakan, tantangan yang berat setelah ia menjadi muslim adalah keluarganya sendiri, karena teman-teman dan orang-orang yang ia kenal, ternyata bisa menerima pilihannya menjadi muslim.
Tiga tahun sudah Beatty memeluk Islam. Ia mengakui bahwa Islam banyak memberikan perubahan dan meningkatkan kualitas hidupnya. "Islam mengubah saya secara total. Sekarang, saya tidak ragu lagi akan tujuan hidup saya di dunia ini dan bahwa saya sudah mengikuti jalan yang benar. Dulu, saya bahkan tidak menyadari bahwa saya sedang kehilangan arah. Tapi ketika saya menemukan Islam dan merenungkannya kembali, sangat jelas buat saya bahwa Islam-lah yang saya cari selama ini," papar Beatty.
Beatty bersyukur menjadi seorang muslim karena Islam memualiakan hidupnya sebagai seorang perempuan. Ia melihat sendiri bahwa lelaki muslim yang baik akan memperlakukan perempuan dengan baik. Suatu hal yang jarang ia temui dalam budaya masyarakat Amerika, dimana ia dibesarkan.
"Memilih masuk Islam, buat saya seperti kembali pulang ke rumah setelah sekian lama berkelana," tandas Beatty yang sekarang menggunakan nama Islami Masuuma Amatullah.
Melalui Anak Kecil Penyemir Sepatu, Hidayah Datang pada Idris Tawfiq
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Sebelumnya, Idris Tawfiq adalah seorang pastor gereja Katholik Roma di Inggris. Mulanya, ia memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Baginya saat itu, Islam hanya identik dengan terorisme, potong tangan, diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya.
Namun, pandangan itu mulai berubah, ketika ia melakukan kunjungan ke Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris Tawfiq menyaksikan ketulusan dan kesederhanaan kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah dan serta keramahan sikap mereka.
Berikut pengakuan Idris tentang keputusannya memilih Islam:
Apa yang membuat Anda tertarik pada Islam?
Perkenalan saya dengan Islam datang dari seorang anak kecil di jalanan di Kairo, membersihkan sepatu dengan sandal jepit di kakinya. Dia melihat kulit putih saya dan menyapa saya dengan assalamu alaikum. Selama 40 tahun di Inggris, saya pernah melihat Muslim; saya melihat mereka di jalan-jalan, dan saya catat apa yang televisi katakan pada saya tentang Muslim yang akan memotong tangan saya atau memukuli para wanita; tapi anak kecil itu sungguh membuka jendela yang lain tentang Islam.
Setelah saya menjadi Muslim beberapa tahun kemudian, saya katakan pada audiens saya di Manchester Metropolitan University tentang anak itu. Saya memberitahu mereka bahwa pada Hari Penghakiman ia akan mendapatkan kejutan dalam hidupnya.
Apa yang Anda tangkap tentang Islam setelah itu?
Dia sangat membekas di hati saya. Apa yang saya sukai tentang Islam adalah kesederhanaannya. Sayangnya, umat Islam memperumit agama mereka, baik untuk diri mereka sendiri dan ketika menjelaskan kepada non-Muslim. Padahal, Islam dapat diringkas dalam dua pernyataan sederhana: satu, ada Allah, dan dua, bahwa Allah berbicara kepada ciptaan-Nya. Itu adalah Islam. Itulah pesan Islam yang ada sejak awal waktu.
Kesederhanaan Islam memastikan daya tarik universal. Islam berbicara kepada hati semua orang, di mana-mana. Tapi sebagai Muslim, kadang kita berkonsentrasi pada hal-hal sepele, hal-hal yang tidak penting ketika dunia pada umumnya adalah haus akan Allah. Mereka tidak tahu bahwa mereka sedang haus untuk Allah, dan kekosongan dalam hidup mereka diisi oleh mabuk, kekerasan, premanisme, sepatu, belanja, dan segala hal.
(Dia melihat reaksi terhadap kematian Putri Diana sebagai indikasi kerinduan ini. "Ketika Putri Diana meninggal, orang menangis di jalanan. Aku bisa melihat sekarang bahwa orang-orang tidak berkabung atas kematian putri. Mereka berkabung atas kematian kebaikan, hilangnya keindahan dalam hidup kita, dan mereka menangis. Karena orang menginginkan kebaikan, mereka mencari kebaikan, dan untuk perdamaian kebahagiaan, dan dan keindahan)
Perenungan apa yang Anda dapat setelah pertemuan itu?
Ketika saya kembali ke Inggris, saya mulai mengenal Islam dan Muslim. Saya mulai mengajar di sebuah sekolah di mana ada banyak Muslim anak-anak, dan saya datang untuk melihat secara langsung bahwa mereka tidak seperti yang diberitakan media massa. Islam tiba-tiba merasuk dalam hidup saya. Di sekolah, ketika saya akan mengajar tentang Nabi Muhammad, saya menemukan air mata di mata saya atau benjolan di tenggorokan saya ketika saya berbicara tentang rukun Islam.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari Alquran. Ia membaca ayat-ayat Alquran dari terjemahannya. Dan ketika membaca ayat 83 surah Al-Maidah, ia pun tertegun. ''Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran).'' (Al-Maidah ayat 83).
Dari sini, Tawfiq mengaku makin intensif mempelajari Islam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, dengan dibomnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, dan ketika banyak orang menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia menjadi heran. Kendati masih memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam tidak seperti itu.
Ia menjadi rajin berkunjung ke Masjid terbesar di London. Di sana berbicara dengan Yusuf Islam tentang Islam. Ia pun kemudian memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ''Apa yang kamu lakukan saat menjadi Muslim?''
Yusuf Islam menjawab. ''Seorang Muslim harus percaya pada satu Tuhan, shalat lima kali sehari, dan berpuasa selama bulan Ramadhan,'' ujar Yusuf.
Tawfiq berkata, ''Semua itu sudah pernah saya lakukan.'' Yusuf berkata, ''Lalu apa yang Anda tunggu?''
Saya katakan, ''Saya masih seorang pemeluk Kristiani.''
Pembicaraan terputus ketika akan dilaksanakan Shalat Zhuhur. Setelah shalat selesai dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia menyatakan ingin masuk Islam di hadapan umum. Ia meminta Yusuf Islam mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat. Beberapa menit setelah itu, ia resmi menjadi penganut Islam.
Di berbagai kesempatan, Anda selalu bicara tentang Islam sebagai agama yang toleran dan pentingnya toleransi. Mengapa?
Ini bukan tentang menyerah atau apapun. Kejujuran adalah penting. Saya telah bertemu dengan beberapa tokoh agama yang sangat penting dari seluruh dunia dan kadang-kadang Anda perlu untuk mengatakan kepada mereka sejak awal, "Meskipun saya sepenuhnya Muslim dan Saya menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah nabi-Nya, saya masih menghormati agama Anda."
Penghormatan terhadap agama lain dan kepercayaan mereka secara fundamental adalah penting. Orang akan mendengar Anda jika Anda menghormati mereka. Jika Anda keras kepada orang-orang, mereka menjadi defensif dan tidak ingin mendengar apa yang Anda katakan.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Emel
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/03/lklpm3-melalui-anak-kecil-penyemir-sepatu-hidayah-datang-pada-idris-tawfiq
Namun, pandangan itu mulai berubah, ketika ia melakukan kunjungan ke Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris Tawfiq menyaksikan ketulusan dan kesederhanaan kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah dan serta keramahan sikap mereka.
Berikut pengakuan Idris tentang keputusannya memilih Islam:
Apa yang membuat Anda tertarik pada Islam?
Perkenalan saya dengan Islam datang dari seorang anak kecil di jalanan di Kairo, membersihkan sepatu dengan sandal jepit di kakinya. Dia melihat kulit putih saya dan menyapa saya dengan assalamu alaikum. Selama 40 tahun di Inggris, saya pernah melihat Muslim; saya melihat mereka di jalan-jalan, dan saya catat apa yang televisi katakan pada saya tentang Muslim yang akan memotong tangan saya atau memukuli para wanita; tapi anak kecil itu sungguh membuka jendela yang lain tentang Islam.
Setelah saya menjadi Muslim beberapa tahun kemudian, saya katakan pada audiens saya di Manchester Metropolitan University tentang anak itu. Saya memberitahu mereka bahwa pada Hari Penghakiman ia akan mendapatkan kejutan dalam hidupnya.
Apa yang Anda tangkap tentang Islam setelah itu?
Dia sangat membekas di hati saya. Apa yang saya sukai tentang Islam adalah kesederhanaannya. Sayangnya, umat Islam memperumit agama mereka, baik untuk diri mereka sendiri dan ketika menjelaskan kepada non-Muslim. Padahal, Islam dapat diringkas dalam dua pernyataan sederhana: satu, ada Allah, dan dua, bahwa Allah berbicara kepada ciptaan-Nya. Itu adalah Islam. Itulah pesan Islam yang ada sejak awal waktu.
Kesederhanaan Islam memastikan daya tarik universal. Islam berbicara kepada hati semua orang, di mana-mana. Tapi sebagai Muslim, kadang kita berkonsentrasi pada hal-hal sepele, hal-hal yang tidak penting ketika dunia pada umumnya adalah haus akan Allah. Mereka tidak tahu bahwa mereka sedang haus untuk Allah, dan kekosongan dalam hidup mereka diisi oleh mabuk, kekerasan, premanisme, sepatu, belanja, dan segala hal.
(Dia melihat reaksi terhadap kematian Putri Diana sebagai indikasi kerinduan ini. "Ketika Putri Diana meninggal, orang menangis di jalanan. Aku bisa melihat sekarang bahwa orang-orang tidak berkabung atas kematian putri. Mereka berkabung atas kematian kebaikan, hilangnya keindahan dalam hidup kita, dan mereka menangis. Karena orang menginginkan kebaikan, mereka mencari kebaikan, dan untuk perdamaian kebahagiaan, dan dan keindahan)
Perenungan apa yang Anda dapat setelah pertemuan itu?
Ketika saya kembali ke Inggris, saya mulai mengenal Islam dan Muslim. Saya mulai mengajar di sebuah sekolah di mana ada banyak Muslim anak-anak, dan saya datang untuk melihat secara langsung bahwa mereka tidak seperti yang diberitakan media massa. Islam tiba-tiba merasuk dalam hidup saya. Di sekolah, ketika saya akan mengajar tentang Nabi Muhammad, saya menemukan air mata di mata saya atau benjolan di tenggorokan saya ketika saya berbicara tentang rukun Islam.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari Alquran. Ia membaca ayat-ayat Alquran dari terjemahannya. Dan ketika membaca ayat 83 surah Al-Maidah, ia pun tertegun. ''Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran).'' (Al-Maidah ayat 83).
Dari sini, Tawfiq mengaku makin intensif mempelajari Islam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, dengan dibomnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, dan ketika banyak orang menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia menjadi heran. Kendati masih memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam tidak seperti itu.
Ia menjadi rajin berkunjung ke Masjid terbesar di London. Di sana berbicara dengan Yusuf Islam tentang Islam. Ia pun kemudian memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ''Apa yang kamu lakukan saat menjadi Muslim?''
Yusuf Islam menjawab. ''Seorang Muslim harus percaya pada satu Tuhan, shalat lima kali sehari, dan berpuasa selama bulan Ramadhan,'' ujar Yusuf.
Tawfiq berkata, ''Semua itu sudah pernah saya lakukan.'' Yusuf berkata, ''Lalu apa yang Anda tunggu?''
Saya katakan, ''Saya masih seorang pemeluk Kristiani.''
Pembicaraan terputus ketika akan dilaksanakan Shalat Zhuhur. Setelah shalat selesai dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia menyatakan ingin masuk Islam di hadapan umum. Ia meminta Yusuf Islam mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat. Beberapa menit setelah itu, ia resmi menjadi penganut Islam.
Di berbagai kesempatan, Anda selalu bicara tentang Islam sebagai agama yang toleran dan pentingnya toleransi. Mengapa?
Ini bukan tentang menyerah atau apapun. Kejujuran adalah penting. Saya telah bertemu dengan beberapa tokoh agama yang sangat penting dari seluruh dunia dan kadang-kadang Anda perlu untuk mengatakan kepada mereka sejak awal, "Meskipun saya sepenuhnya Muslim dan Saya menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah nabi-Nya, saya masih menghormati agama Anda."
Penghormatan terhadap agama lain dan kepercayaan mereka secara fundamental adalah penting. Orang akan mendengar Anda jika Anda menghormati mereka. Jika Anda keras kepada orang-orang, mereka menjadi defensif dan tidak ingin mendengar apa yang Anda katakan.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Emel
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/03/lklpm3-melalui-anak-kecil-penyemir-sepatu-hidayah-datang-pada-idris-tawfiq
Langganan:
Postingan (Atom)